2018 Petunjuk Praktikum Bioteknologi Tanaman
2018 Petunjuk Praktikum Bioteknologi Tanaman
2018 Petunjuk Praktikum Bioteknologi Tanaman
Disusun oleh:
Wahyu Widoretno
Teori Dasar
Transformasi genetik merupakan salah satu teknik rekayasa
genetik yang dapat menghasilkan tanaman transgenik yang
memiliki sifat baru. Tiga faktor yang harus dipenuhi dalam
transformasi genetik adalah ketersediaan gen yang akan
ditransformasikan, sistem transformasi gen ke dalam genom
tanaman target dan sistem regenerasi sel-sel transforman menjadi
plantlet atau tanaman yang membawa dan mengekspresikan gen
asing tersebut.
Transformasi genetik dengan perantara Agrobacterium
memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat menghasilkan jumlah
transforman yang banyak, murah dan prosedurnya relatif lebih
sederhana dibandingkan dengan teknik lainnya. Keberhasilan
transformasi genetik ditandai dengan terintegrasi dan
terekspresinya gen yang diintroduksikan serta tetap terpelihara
dalam proses pembelahan sel sampai regenerasi tanaman.
Agrobacterium rhizogenes merupakan bakteri tanah gram-
negatif yang mempunyai Ri-plasmid (root inducing plasmid) dan
menginduksi penyakit akar rambut, yang menyebabkan proliferasi
akar dari tempat infeksi. T-DNA dari Ri-plasmid tipe agropine terdiri
dari 2 daerah T-DNA yang terpisah pada Ri-plasmidnya, yaitu TL-
DNA dan TR-DNA. TL-DNA pada Ri plasmid mempunyai 4 gen yaitu
rol A, B, C, dan D, yang mempunyai peran dalam induksi akar
rambut. Sedangkan TR-DNA pada Ri-plasmid membawa gen yang
bertanggung jawab untuk sintesis opin dan gen untuk sintesis
auksin (aux1 dan aux2) (Gambar 1).
Jika A.rhizogenes menginfeksi tanaman, bagian T-DNA dari
Ri-plasmid ditransfer pada sel tanaman. DNA akan terintegrasi pada
kromosom tanaman dan akan mengekspresikan gen-gen untuk
mensintesis senyawa opin dan induksi akar rambut. Ekspresi gen
pada plasmid Ri dapat diketahui melalui pembentukan akar
adventif pada tempat yang diinfeksi oleh Agrobacterium dan
dikenal dengan ‘hairy root’ (akar rambut) (Nilson dan Olsson 1997;
Gelvin 2003). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gen aux
tidak memegang peran utama dalam penyakit akar rambut,
sementara gen rol diperlukan untuk induksi akar rambut.
Produksi akar rambut yang diperantai oleh A.rhizogenes
merupakan alat yang penting untuk biosintesis metabolit sekunder.
Teknologi kultur akar rambut telah terbukti merupakan sistem
produksi alternatif yang efisien untuk metabolit sekunder pada
beberapa tanaman (Giri dan Narasu 2000; Guillon dkk., 2006).
Penggunaan metode kultur akar rambut dengan bantuan A.
rhizogenes dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder
anthraquinone pada sel Rubia cordifolia (Bulgakov, dkk., 2003),
glukotropaeolin dari Tropaeolum majus (Wielanek and Urbanek.
1999), hiosiamin dan skopolamin dari Atropa belladonna (Kamada
dkk., 1986; Aoki dkk., 1997) dan Daturainnoxia (Boitel-Conti dkk.,
2000). Keuntungan menggunakan kultur akar rambut hasil
transformasi dalam produksi metabolit sekunder adalah relatif
seragam, memiliki kestabilan genetik yang tinggi, pertumbuhannya
cepat dengan menggunakan medium tanpa penambahan zat
pengatur tumbuh serta mudah dimanipulasi untuk meningkatkan
pembentukan metabolit sekunder (Mathius dkk., 2006; Dhakulkar
dkk., 2005; Doran, 2006)
Efisiensi transformasi pada tanaman dipengaruhi oleh: (1)
umur tanaman pada saat infeksi yang berkaitan dengan kompetensi
sel, (2) umur isolat Agrobacterium yang digunakan untuk infeksi
yang berhubungan dengan virulensi. Dalam hal ini umur isolat
bakteri berkaitan dengan fase pertumbuhan Agrobacterium,
sedangkan waktu inkubasi menentukan fase pertumbuhan yang
berkaitan dengan proses molekuler dalam sel bakteri dalam
mengatur gen rol pada proses transformasi, dan (3) suhu untuk
pertumbuhan Agrobacterium.
Lama infeksi atau inokulasi bakteri dan kokultivasi juga
dapat mempengaruhi efisiensi transformasi genetik. Pawlicki dkk.
(1992) menyatakan bahwa efisiensi transformasi tertinggi
didapatkan dari potongan tangkai daun yang dikokultivasi selama 2-
3 hari sebesar 40-50% dan setelah 7 hari kokultivasi terjadi
penurunan efisiensi karena kesulitan mematikan bakteri. Segmen
hipokotil kacang tanah yang diinfeksi dengan A. rhizogenes selama
15 menit dan lama kokultivasi selama 2 hari memberikan respon
pembentukan akar paling tinggi (Karthikeyan dkk., 2007).
A. rhizogenes
Cara Kerja
Tahapan percobaan yang dilakukan meliputi: persiapan
strain A. rhizogenes, persiapan eksplan kecambah tomat dan ubi bit
merah, tranformasi genetik A. rhizogenes pada eksplan dan seleksi
akar rambut transforman putative pada medium selektif kanamisin.
Teori dasar
Kultur sel dan jaringan tumbuhan merupakan teknik yang
bermanfaat untuk mempelajari metabolisme tumbuhan dalam
kondisi terkontrol. Sistem ini tidak hanya dalam membantu kita
memahami bagaimana sel mensintesis dan mengakumulasi produk
sekunder tetapi juga merupakan sistem alternatif yang potensial
untuk produksi metabolit sekunder tumbuhan. Produksi metabolit
sekunder dalam kultur jaringan dan sel tumbuhan telah dilaporkan
pada antosianin pada kultur kalus Vitis vinifera (Mihai dkk., 2010)
dan catharanthus (Piovan dan Filipinni, 2007), rosmarinic acid pada
Echium amoenum (Mehrabani dkk., 2005); trans-resveratrol pada
jaringan kalus Vitis vinifera L ( Keskin dan Kunter 2010).
Antosianin merupakan pigmen dari golongan flavonoid
yang memperlihatkan warna merah muda sampai merah cerah
yang terdapat pada semua jaringan tanaman. Pigmen antosianin
ini dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan alami yang
menyehatkan karena mempunyai aktifitas antioksidan, dan terbukti
sebagai antikanker, dan digunakan untuk melawan gangguan
cardiovascular, penyakit neurologi, diabetes dan inflamasi (Maharik
dkk., 2009). Produksi antosianin dalam kultur jaringan dan sel
tumbuhan telah dilaporkan pada beberapa spesies tumbuhan
meliputi wild carrot (Dougall dan Weyrauch 1980), Hibiscus
sabariffa (Mizukami, dkk. 1988), Vitis sp. (Tamura, dkk. 1989),
strawberry (El-Sawy dan Taha 2000) dan catharanthus (Taha, dkk.,
2008).
Penerapan kultur jaringan tumbuhan untuk produksi
metabolit sekunder mempunyai beberapa keuntungan.
Keuntungan-keuntungan tersebut, antara lain (a) membentuk
senyawa bioaktif dalam kondisi terkontrol dan waktu yang
butuhkan relatif lebih singkat, (b) bebas dari kontaminasi mikroba,
(c) setiap sel dapat diperbanyak untuk menghasilkan senyawa
metabolit sekunder tertentu, (d) pertumbuhan sel terkontrol dan
proses metabolismenya dapat diatur secara rasional, dan (e) tidak
bergantung kepada kondisi lingkungan seperti keadaan geografi,
iklim dan musim (Fitriani, 2003).
Produksi metabolit sekunder dalam kultur jaringan dapat
ditingkatkan dengan menggunakan metode elisitasi, pemberian
prekursor serta modifikasi medium dan lingkungan tumbuh kultur.
Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan
dengan tujuan untuk meningkatkan pembentukan metabolit
sekunder. Elisitor terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik
dan elisitor biotik. Elisitor abiotik berasal dari senyawa anorganik,
radiasi secara fisik seperti ultraviolet, logam berat dan deterjen.
Elisitor biotik dapat dikelompokkan dalam elisitor endogen dan
elisitor eksogen.
Pengaruh elisitor terhadap peningkatan sintesis metabolit
sekunder dimulai dengan interaksi elisitor dengan reseptor
membran tanaman. Interaksi tersebut menimbulkan sinyal yang
akan mengaktifkan gen spesifik dalam sintesis metabolit sekunder.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa metode elisitasi
dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder Kapsaicin pada
kultur sel Capsicium frutescens (Sudha dan Ravishankar, 2002),
gosipol dalam kultur akar kapas (Setiawati, 2006) dan solasodin
pada kultur pucuk Solanum mammosum L. (Kusumastuti, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa auksin dan
sitokinin merupakan faktor utama dalam mengatur produksi
antosianin secara in vitro (El-Sawy, 2000). Konsentrasi dan
keseimbangan zat pengatur tumbuh, tipe eksplan merupakan faktor
penting dalam memacu kecepatan pertumbuhan kalus dan
produksi antosianin (Mizukami dkk, 1988; Endress, 2008).
Gambar 3. Pertumbuhan kalus dan produksi antosianin pada kultur kalus
Crataegus sinaica 6 minggu setelah kultur pada medium MS dengan
penambahan zat pengatur tumbuh yang berbeda. Pertumbuhan kalus
A) pada media MS+2mg/L BA+1mg/L NAA, (B 1) pada media MS +1mg/L
KIN+0.5 mg/L NAA, (B 2) pada media MS+1mg/L BA+0.5mg/NAA B3
pada media MS+2mg/L BA+1mg/L NAA, (C 1, 2, 3) Ekstrak antosianin
dari kalus pada gambar B. (Maharik dkk., 2009).
Cara kerja
1. Perkecambahan biji
● Biji ubi bit merah disterilisasi dengan baycline 20% (0,25% NaOCl)
selama 15 menit, kemudian dibilas dengan aquades steril 2x,
masing-masing selama 5 menit.
● Biji steril dikecambahkan pada media agar.
● Hipokotil dan daun kecambah berumur 14 hari digunakan sebagai
eksplan untuk induksi kalus
2. Induksi kalus
● Daun dan batang muda tanaman mawar disterilisasi dengan
baycline 30% (0,25% NaOCl) selama 15 menit
● Larutan sterilan dibuang dan eksplan dibilas dengan air distilasi
steril 2 x @ 5 menit.
● Eksplan daun dan batang yang telah disterilisasi atau eksplan
daun dan hipokotil dari kecambah in vitro ubi bit merah dikultur
pada media dan kultur diinkubasi di bawah temperatur 26 ± 1 oC
di bawah pencahayaan 16 jam/hari.
● Setelah 3 minggu, kalus disubkultur pada media yang baru.
Sebelum disubkultur, diamati pertumbuhan kalus dengan
menghitung persentase pembentukan kalus dan menimbang
berat basah (dalam kondisi steril).
3. Analisis antosianin.
• Kalus ditimbang 0,1 g, digerus dengan mortal dan pestle dan
dihomogenasi dengan larutan methanol asam 10 ml (rasio
MeOH : HCl= 99 : 1 V/V).
• Larutan disimpan dalam kondisi gelap selama 24 jam pada
suhu 250C.
• Sampel disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 4000
rpm
• Supernatan diambil untuk digunakan analisis kuantitatif dan
kualitatif antosianin.
• Analisis kuantitatif antosianin dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometri sedangkan analisis kualitatif
antosianin dilakukan dengan menggunakan metode
kromatografi lapis tipis (KLT)
Analisis kuantitatif
• Konsentrasi pigmen antosianin diekspresikan sebagai
cyanidin-3-glucoside
• Penentuan kandungan antosianin total dilakukan dengan
metode pH Differential Method (Giusti and Wrolstad, 2000)
• Ekstrak antosianin/supernatan dilarutkan dalam buffer KCL-
HCL (1 M, pH 1) dan buffer NaOAc (1 M, pH 4,5) (Lampiran
4) dengan perbandingan ekstrak terhadap buffer = 1:5
(v/v).
• Larutan diinkubasi dalam suhu ruang selama 15 menit.
• Masing-masing larutan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 520 nm dan 700 nm.
• Kandungan antosianin (cyanidin-3-glucosida, mg/L) dihitung
dengan menggunakan dengan rumus:
Kandungan antosianin (mg/L)= A x MW x DF x 103/ ε x 1
Dimana
A = absorbansi larutan = (A520nm – A700nm)pH 1.0 –
(A520nm – A700nm)pH4.5
MW = berat molekul = 449,2 g mol-1 untuk cyanidin-3-
glucoside (cyd-3-glu)
DF = faktor pengenceran
1 = tebal kuvet
ε = coefisien ekstingsi, untuk cyd-3-glu = 26900 L mol-1cm-1
103 = faktor konversi dari g ke mg
Analisis kualitatif
• Supernatan (dapat dipekatkan dengan rotary evaporator/gas
nitrogen) 10 μl ditotolkan pada plat silica gel F254 dengan
menggunakan pipa kapiler pada jarsak 1 cm dari garis bawah
plat silica gel F254.
• Plat yang sudah ada totolan sampel dielusi dalam eluen
butanol:asam asetat glasial:air (3:1:1) sampai tanda batas
kertas (1 cm dari batas plat bagian atas).
• Hasil kromatogram kemudian dilihat di bawah sinar UV pada
panjang gelombang 254 dan 366.
• Derajat letak bercak pada kromatogram KLT ditentukan
berdasarkan nilai Rf. Nilai Rf dapat dihitung dengan rumus
berikut:
Rf = Jarak yang ditempuh substansi/Jarak yang ditempuh oleh
pelarut
Pengamatan
No Tanaman Media BB Warna Warna Jumlah Nilai Nilai
kalus awal setelah spot Rf Absorbansi
sampel ekstraksi
1 Mawar 1
2
2 Ubi bit 1
2
Daftar Pustaka
Aoki, T, H. Matsumoto, Y. Asako, Y. Matsunaga & K. Shimomura. 1997. Variation
of alkaloid productivity among several clones of hairy roots and
regenerated plants of Atropa belladonna transformed with Agrobacterium
rhizogenes 15834. Plant Cell Rep.,16: 282-286.
Atlas, R.M. 2004. Handbook of Microbiological media. Third edition. CRC Press.
New York.
Boitel-Conti, M., J.C. Laberche, A. Lanoue, C. Ducroucq and B.s. Sangwan-
Norreeel. 2000. Influence of feeding precursors on tropane alkaloid
production during an abiotic stress in Datura innoxia transformed roots.
Plant Cell, Tissue and Organ Culture 60 (2): 131-137
Bulgakov, V.P. , G. K. Tchernoded, N. P. Mischenko, Yu. N. Shkryl, V. P.
Glazunov, S. A. Fedoreyev, and Yu. N. Zhuravlev. 2003. Increase in
Anthraquinone Content in Rubia cordifolia Cells Transformed by rol Genes
Does Not Involve Activation of the NADPH Oxidase Signaling Pathway.
Biochemistry 68 (7): 795-801.
Dhakulkar, S., S. Bhargava, T.R. Ganapathi and V.A. Bapat. 2005. Induction of
Hairy Roots in Gmelina arborea Roxb. Using Agrobacterium rhizogenes.
Founder’s Day Special Issue. 100-105
Doran, P.M. 2006. Properties and Applications of Hairy Root Cultures. Department
of Biotechnology, University of New South Wales, Sydney, Australia
Dougall, D.K. and K.W. Weyrauch, 1980. Abilities of organic acids to support
growth and anthocyanin accumulation by suspension cultures of wild carrot
cells using ammonium as the sole nitrogen source. In vitro 16: 969-975.
El-Sawy, A. and H.S. Taha, 2000. Stimulation of anthocyanin production in
strawberry callus cultrures. J. Agric.Sci. Mansoura Uni., 25(4): 2247-2256
El-Sawy A. and HS. Taha. 2000. Stimulation of anthocyanin production in
strawberry callus cultrures. J. Agric.Sci., 25(4):2247-2256.
Endress R. 2008. Plant cells as producers of secondary compounds, in
Anthocyanins Biosynthesis Functions and Applications K Gould, K Davies, C
Winfield (1stEd) Springer, pp. 110-111.
Fitriani, A. 2003. Kandungan Ajmalisin Pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.)
G. Don Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium phanidermatum
Edson Fitzp. http://tumoutou.net/6_sem2_023/any_fitriani.htm. Diakses 11
Januari 2008
Gelvin, S.B. 2009. Agrobacterium in the genomics age. Plant Physiology 50:1665-
1676.
Giri A, Narasu MJ. 2000. Transgenic hairy roots: recent trends and applications.
Biotechnol. Adv. 18: 1-22.
Guillon S, Tremouillaux-Guiller J, Pati PK, Rideau M, Gantet P. 2006. Harnessing
the potential of hairy roots: dawn of a new era. Trends. Biotechnol. 24:
403-409.
Kamada, H., N. Okamura, M.Satake, H.Harada & K. Shimomura. 1986. Alkaloid
production by hairy root culture in Atropla belladonna. Plant Cell Rep.5:
239-242.
Karthikeyan, A. S. Palanivel, S. Parvathy and R.B. Raj. 2007. Hairy root induction
from hypocotyls segments of groundnut (Arachis hypogaea L.). African
Journal of Biotecnology 6 (15): 1817-1820
Keskin N and B. Kunter. 2010. Production of trans-resveratrol in callus tissue of
Vitis vinifera L. in response to ultraviolet-C irradiation. The Journal of
Animal & Plant Sciences, 20(3), 2010, Page: 197-200
Kusumastuti, M. Y. 2006. The influence of Copper and Cobalt Ions on The Growth
Index and Solasodine Accumulation in Shoot Culture of Solanum
laciniatum Ait. Undergraduate Theses Airlangga University
Maharik N, S. Elgengaihi, H Taha 2009. Anthocyanin production in callus of
Crataegus sinica Boiss. International Journal of Academic Research 1(1)
Mathius, N. T., N. Haris, J. Santoso dan A. Heri. 2006. Pengaruh elisitasi terhadap
pertumbuhan dan produksi alkaloida kinolin dari akar rambut tanaman
kina(Cinchona succirubra Pavon ex Klotzsch). Menara Perkebunan 74 (1):
10-22
Mehrabani M, Shams-Ardakani M, Ghannadi A, Dehkordic NG and Jazi SES. 2010.
Production of Rosmarinic Acid in Echium amoenum Fisch. and C.A. Mey.
Cell Cultures. Iranian Journal of Pharmaceutical Research 2: 111-115
Mihai R, Mitoi M, Brezeanu A, Cogalniceanu G. 2010. Two–stage system, a
possible strategy for the enhancement of anthocyanin biosynthesis in a
long-term grape callus cultures. Romanian Biotechnological Letters 15 (1)
Mizukami, H., K. Tomita, H. Ohashi and N. Hiraoka, 1988. Anthocyanin production
in callus cultures of roselle (Hibiscus sabdariffa L.). Plant Cell Rep. 7: 553-
556.
Nilson, O. dan O. Olson. 1997. Getting to the root: the role of the Agrobacterium
rhizogenes rol genes in formation of hairy roots. Physiol. Plant 100, 463-
473
Piovan A and Filippini R. 2007Anthocyanins in Catharanthus roseus in vivo and in
vitro: a review. Photochemistry review 6 (2-3): 235-242
Setiawati, T. 2001. Pengaruh Pemberian Elisitor Yang Berasal dari Jamur
Verticilum dahliae Terhadap Kandungan Gosipol dalam Kultur Akar. Tesis.
571.638
Sudha, G., G. A. Ravishankar,. 2002. Influence of Calcium Channel Modulators in
Capsaicin Production by Cell Suspension Cultures of Capsicum frutescens
Mill. Researce Communication. 1:570- 578
Taha, H. S., Abd El-Rahman, R.A., Fathalla, M. Abd-El-Kareem and Aly, U.E.
2008. Successful Application for Enhancement and Production of
Anthocyantn Pigment from Calli Cultures of Some Ornamental Plants.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 2(4): 1148-1156
Tamura, H., Y. Kumaoka and H. Sugisawa, 1989. Identification and quantitative
variation of anthocyanins produced by cultured callus tissue of Vitis sp.
Agric Bio. Chem., 53: 1969-1970.
Wielanek, M. & H. Urbanek. 1999. Glucotropaeolin and myrosinase production in
hairy root cultures of Tropaeolum majus. Plant Cell Tiss. & Org. Cult. 57:
39-45.
LAMPIRAN
Judul/Topik Praktikum