Laporan Kasus DHF Puskesmas

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER GRADE I

Disusun Oleh
dr. Pisi Nopita Wigati

Pembimbing
dr. Rita Yuanny

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


(PIDI) UPTD PUSKESMAS LAMBANGSARI
KABUPATEN
BEKASI TAHUN
2023-2024
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER GRADE I

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan


tugas Program Internsip Dokter Indonesia

Oleh :
dr. Pisi Nopita Wigati

Bekasi, 25 Januari 2024


Telah dibimbing dan disahkan
oleh,

Pembimbing

dr. Rita Yuanny


BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. VNF
Usia : 15 tahun
Agama : Kristiani
Suku : Batak
Tanggal Pemeriksaan : 20 September 2023

A. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poli Infeksi Puskesmas Lambangsari tanggal
20 September 2023.
Keluhan Utama:
Demam sejak 4 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli infeksi Puskesmas Lambangsari tanggal 20 September 2023
dengan keluhan demam. Demam dirasakan pasien sejak 4 hari SMRS, terasa sepanjang hari
namun lebih meningkat saat sore dan malam hari. Demam dirasakan di seluruh tubuh.
Demam sangat mengganggu aktivitas dan tidur pasien. Pasien juga mengalami mual (+),
muntah (-). Pasien kurang nafsu makan akibat mual yang dirasakannya. Pasien juga
merasakan nyeri kepala dan nyeri pada ulu hati, serta nyeri tenggorokan. Keluhan lainnya
seperti mimisan, gusi berdarah, nyeri retroorbital, nyeri tulang, dan BAB berdarah/hitam
tidak dirasakan. Pasien tidak mengeluhkan batuk, pilek, sesak, anosmia, dan nyeri dada.
BAB dan BAK pasien normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu
(-) Cacar air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit prostat
(-) Batuk rejan (-) Tifus abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) Influensa (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Kolera (-) HIV (-) Demam Rematik Akut
(-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh (-) Pneumonia
(-) Ulkus Ventrikuli (-) Perdarahan otak (-) Pleuritis
(-) Ulkus duodeni (-) Spondyloarthrosis (-) Osteoarthritis Coxae
(-) Tuberkulosis (-) Operasi/transfuse (-) Gastritis
(-) Covid-19

Riwayat Keluarga
Pada keluarga tidak ada keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada riwayat hipertensi, DM,
jantung maupun penyakit kronik lainnya.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan
Pasien tidak pernah merokok maupun minum minuman beralkohol. Saat ini pasien
tinggal bersama orangtua dan adiknya. Aktivitas sehari- hari adalah sekolah dan pekerjaan
rumah tangga. Pasien tidak mengetahui di lingkungan rumahnya apakah ada yang mengalami
keluhan yang sama atau tidak.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien sebelumnya sudah berobat ke klinik dan minum obat yaitu paracetamol dan
guanefesin serta vitamin C selama 2 hari. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Objektif (Pemeriksaan Umum)
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
 Tekanan darah : 126/80 mmHg
 Frekuensi nadi : 92x/menit, reguler
 Frekuensi napas : 20x/menit
 Suhu : 37,9ᵒC
 SpO2 : 99%

Primary Survey
Airway : bebas
Breathing : normal, napas spontan dan adekuat, bunyi napas vesikuler
Circulation : denyut nadi teraba, CRT <3 detik, akral hangat
Antropometri
Berat badan : 43 kg
Tinggi Badan : 168 cm
BMI : 15.2 Kg/mm2
Kesan status gizi : Kurang
Kesan (pemeriksaan) Umum
 Sianosis : Tidak ada
 Edema umum : Tidak ada
 Ikterus : Tidak ada
 Mobilitas : Normal
Kulit
Warna sawo matang, pertumbuhan rambut merata, tidak terdapat lesi, tidak ada pelebaran
pembuluh darah, petekie (-), turgor baik dan kulit lembab.
Kepala
Normocephal, tidak ada deformitas, distribusi rambut merata, tidak mudah rontok, tidak ada
lesi dan benjolan abnormal.
Mata
Palpebra : tidak cekung, tidak oedem Eksoftalmus : tidak ada
Sekret : tidak ada Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : +/+ (3mm/3mm)
Lensa : jernih Visus : kesan baik
Gerak bola mata : dalam batas normal Lapang pandang: dalam batas normal
Tekanan bola mata : normal
Telinga
Tuli : tidak ada Liang telinga : lapang
Penyumbatan : tidak ada Membran timpani : intak
Cairan : tidak ada Serumen : tidak ada
Perdarahan : tidak ada
Hidung
Napas cuping hidung : tidak ada Septum deviasi : tidak ada
Deformitas : tidak ada Sekret dan darah : tidak ada
Mukosa dan konka : kering, tidak ada oedem/livid/hiperemis/pucat
Mulut
Bibir : bentuk normal, simetris, tidak ada kelainan, warna bibir merah pucat, tidak kering
dan pecah-pecah
Lidah : normoglosia, tidak ada hiperemis/ulkus/sianosis, tidak kering
Bukal : tidak ada hiperemis, tidak ada sianosis, mukosa tidak kering
Uvula : tampak di linea mediana, tidak hiperemis/livid/sianosis
Faring : arkus faring simetris, tidak hiperemis, tidak ada PND dan pseudomembran
Tonsil : ukuran T1-T1, tenang, tidak ada kripta dan detritus
Leher
Bentuk leher normal, tampak lurus ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kelenjar
getah bening leher tidak tampak dan teraba membesar.
Dada
Bentuk : datar, normothorax (diameter AP-Lat
1:2) Pembuluh darah : tidak melebar
Paru-paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kiri Tidak ada benjolan dan krepitus Tidak ada benjolan dan krepitus
Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Sela iga tidak melebar Sela iga tidak melebar
Kanan Tidak ada benjolan dan krepitus Tidak ada benjolan dan krepitus
Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Sela iga tidak melebar Sela iga tidak melebar
Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi Kiri Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler


Wheezing (-), ronki basal (-) Wheezing (-), ronki basal(-)
Kanan Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler
Wheezing (-), ronki basal(-) Wheezing (-), ronki basal (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba pulsasi iktus kordis di ICS V linea midklavikularis
kiri Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
Pembuluh Darah
Arteri karotis : teraba
pulsasi Arteri brakialis : teraba
pulsasi Arteri radialis : teraba pulsasi
Vena : tidak ada tanda bendungan dan varicose
Arteri : tidak ada tanda iskemia, CRT <3 detik
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak terdapat shagging of the flanks, warna kulit tidak ikterik, tidak
ada benjolan, tidak ada tanda inflamasi, tidak terdapat skar, tidak ada spider
nevii, tidak tampak dilatasi vena, tidak tampak smiling umbilicus.
Auskultasi : Bising usus (+) normal, bruit aorta abdominal (-)
Palpasi : Dinding perut supel, tidak ada defans muscular, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan limpa tidak teraba, Murphy’s sign negatif, ballottement negatif,
undulasi negative
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, shifting dullness negative
Ekstremitas
Kanan Kiri
Lengan
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Normal Normal
Kekuatan 5555 5555
Refleks BTR (++), patologis (-) BTR (++), patologis (-)
Oedem Tidak ada Tidak ada
Petekie/purpura Ada Ada
Hematom Tidak ada Tidak ada
Lesi Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan kaki
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Normal Normal
Kekuatan 5555 5555
Oedem Tidak ada Tidak ada
Refleks KPR-APR (++) KPR-APR (++)
patologis (-) patologis (-)
Petekie/purpura Tidak Ada Idak Ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Hematom Tidak ada Tidak ada

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 20 September 2023
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN KETERANGAN
HEMATOLOGI
Hema I
Hemoglobin 12.3 g/dL 11.7-15.5
Leukosit 3800 103/µL 3.6-11
Trombosit 95.000 103/µL 150-440
Widal
S Typhi 1/160 Negatif
S. Paratyphi 1/80 Negatif

D. DIAGNOSIS (KERJA)
Observasi Febris hari ke-4
Dengue Hemorrhagic Fever Grade I

E. PENATALAKSANAAN
Paracetamol 3x500 mg
Omeprazol 2x40 mg
Vit B Complex 1x1
Diet makanan lunak
Saran segera ke IGD untuk tatalaksana lebih lanjut jika terdapat warning sign
F. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1-4, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus betina dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia (trombosit
kurang dari 100.000) dan diathesis hemoragik. Pada demam berdarah dengue terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%
atau lebih dari nilai normal) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrome renjatan
dengue (Dengue Shock Syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.
Dengue adalah penyakit nyamuk yang disebabkan oleh salah satu dari empat virus
dengue yang terkait erat dengan (DENV-1, -2, -3, dan -4). Infeksi dengan salah satu
serotipe dari DENV memberikan kekebalan terhadap serotipe tersebut untuk hidup, tapi
tidak memberikan kekebalan jangka panjang untuk serotipe lainnya. Dengan demikian,
seseorang bisa terinfeksi sebanyak empat kali, sekali dengan masing-masing serotipe.

II.2 Epidemiologi
Dengue menginfeksi sekitar 390 juta orang di dunia setiap tahunnya. Indonesia
merupakan negara endemis, dan menjadi negara kedua dengan jumlah kasus terbanyak.
Pada tahun 2020, kemenkes mencatat 95.893 kasus DBD dengan 661 kematian. Persentase
pasien perempuan 47% dan laki-laki 53%. (Kemenkes, 2017; CDC, 2020).
Demam berdarah dengue sering terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun. Sekitar
50% penderita DBD berusia 10-15 tahun yang merupakan golongan usia yang tersering
menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa. Nyamuk Aedes aegypti aktif
menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan
15.00 – 17.00.
II.3 Etiologi dan Transmisi
a. Virus
Demam dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk.
Virus dengue merupakan RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus
oleh lapisan kapsul lipid, termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, merupakan virus dengan
diameter 30 nm, yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106. Virus ini mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Genom virus dengue mengandung sekitar 11000 basis nukleotida, yang
dipecah menjadi 3 molekul protein struktural (C, prM, dan E) yang membentuk
partikel virus dan 7 protein nonstruktural (NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan
NS5) yang hanya ditemukan pada sel inang yang terinfeksi dan diperlukan untuk
replikasi virus. Di antara protein nonstruktural, glikoprotein envelope yaitu NS1,
bersifat diagnostik dan patologis. Di Indonesia keempat serotipe ini ditemukan, dengan
DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Penelitian terbaru menemukan adanya serotipe
DEN-5 yang pertama kali diumumkan pada tahun 2013.

b. Vektor
Virus dengue ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari. Infeksi
bisa didapat melalui satu gigitan saja. Nyamuk Aedes aegypty biasanya mengigit pada
siang hari. Nyamuk ini merupakan spesies tropis dan subtropis yang terdistribusi
secara luas di seluruh dunia. Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di
habitat air, terutama pada penampungan dengan air yang tenang dan menggenang
seperti ember, bak mandi, ban bekas, dan yang lainnya.
Jika seseorang yang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti,
maka virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh
nyamuk itu virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam
kelenjar saliva nyamuk. Jika nyamuk tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk
nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah. Sebelum darah orang itu diisap maka
terlebih dahulu dikeluarkan saliva agar darah yang diisapnya tidak membeku. Bersama
dengan saliva nilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.
c. Host
Setelah masa inkubasi yang terjadi sekitar 4-10 hari, infeksi oleh salah satu dari
empat serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit ini,
walaupun sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau subklinis. Infeksi
primer diduga menginduksi munculnya kekebalan protektif seumur hidup dengan
serotipe yang terinfeksi. Individu yang menderita infeksi dilindungi dari penyakit
klinis dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3 bulan dari infeksi primer, tetapi tanpa
kekebalan lintas pelindung jangka panjang.
Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi virus
dengue, dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita terutama pada
hari ke 5. Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang signifikan namun dapat
mentransmisikan virus ke dalam nyamuk yang menggigitnya. Setelah virus masuk ke
dalam nyamuk, virus tersebut akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum
dapat ditularkan ke manusia lain. Nyamuk tersebut tetap terinfeksi selama sisa
hidupnya, yang mungkin dari beberapa hari hingga beberapa minggu.

II.4 Patogenesis
DHF merupakan mosquito-borne viral disease yang disebabkan oleh virus dengue
dengan tipe antigen yang berbeda, yaitu tipe 1-4. Walaupun DF dan DHF disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DHF
yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan disebabkan karena kebocoran plasma
yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh monosit
dan makrofag. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam
sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan virus genomnya masuk ke dalam sel.
Dengan bantuan organel sel, genom virus membentuk baik komponen perantara maupun
komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari
dalam sel. Proses replikasi virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima
hari gejala panas mulai. Limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksis (CD8) juga
berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Makrofag akan segera bereaksi
dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen
Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper
dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus,
juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody
Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement
(ADE).

Berdasarkan perannya, terdiri dari antibodi netralisasi atau neutralizing antibody


yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non
netralizing serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS. Terdapat dua teori atau hipotesis
immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder
(secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE).
Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan
infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap
infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang
tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan
terjadi infeksi yang berat. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan Fc reseptor yang selanjutnya akan memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-
alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui
dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang
komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan
prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipolemik) dan perdarahan.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (secondary


heterologous infection) dapat dilihat pada gambar. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi yang akan terjadi
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48jam. Perembesan plasma yang erat
hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di
dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara
adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena
itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi.
II.5 Manifestasi Klinis
Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Infeksi virus dengue dapat tidak menunjukan gejala
(asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang
jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue
(DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD). Infeksi dengue yang tidak berat (non-
severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning
sign dan tanpa warning sign.

Menurut WHO, berdasarkan gejala klinis, infeksi dengue diklasifikasikan sebagai


berikut (Srikiatkhachorn, 2011; WHO 2009).

Gambar 1. Klasifikasi dan pendekatan diagnosis infeksi dengue menurut guideline WHO.
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang.
Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot
terutama pada tendon.

Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3 hari mencapai
40oC, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan
sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi
perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 6
sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran
plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada
fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi
pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik
stabil dan diuresis membaik.
Berdasarkan tingkat keparahan, WHO (2004) membagi demam berdarah dengue
menjadi 4 derajat, yaitu:
DF/DHF Derajat Gejala Laboratorium
DF Demam disertai 2 atau lebih - Leukopenia (wbc
tanda: - sakit kepala 5000sel/mm3)
- nyeri retro orbital -Trombositopenia (Platelet
- myalgia/ nyeri otot <150 000 cells/mm3).
- arthralgia -Peningkatan HCT (5% –
- ruam 10% ).
-tidak adanya tanda kebocoran -Tidak ada bukti kebocoran
plasma Plasma

DHF I Demam dan manifestasi  Trombositopenia (≤


100.000 sel/mm3),
perdarahan (uji tourniquet
positif) serta, adanya bukti  Peningkatan hematocrit
kebocoran plasma (≥20%)
DHF II Seperti pada derajat I ditambah  Trombositopenia (≤
100.000 sel/mm3),
perdarahan spontan
 Peningkatan hematocrit
(≥20%)
DHF III Seperti derajat I dan II  Trombositopenia (≤
100.000 sel/mm3),
ditambah kegagalan sirkulasi
nadi lemah, tekanan darah  Peningkatan hematocrit
menyempit (≤20 mmHg), (≥20%)
hipotensi, gelisah.
DHF IV Seperti pada derajat III  Trombositopenia (≤
100.000 sel/mm3),
ditambah syok yang nyata
dimana tekanan darah dan nadi  Peningkatan hematocrit
tidak dapat terdeteksi (≥20%)

II.6 Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
2011 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011:
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri seluruh
tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan:
- Uji tourniket positif (yang palinng umum)
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan/atau melena
3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai dengan nadi
lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.
4. Pembesaran hati
Kriteria Laboratoris:
- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda hemokonsentrasi sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan hematokrit,
cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya pembesaran
hati selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam berdarah dengue
sebelum onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau ultrasonografi) adalah
bukti objektif terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya hipoalbumin dapat memperkuat
diagnosis terutama pada pasien anemia, perdarahan berat, kondisi ketika tidak adanya
hematocrit dasar, dan peningkatan hematocrit kurang dari 20% akibat pemberian terapi
intravena secara dini.
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Tes Respon Imunologi Berdasarkan Tes Antibodi IgM dan IgG
Viremia akibat dengue biasanya berlangsung singkat, biasanya terjadi 2-3 hari
sebelum timbulnya demam kemudian masa penyakit berlangsung selama empat sampai
tujuh hari. Selama periode ini virus dengue, asam nukleat dan beredar antigen virus
dapat dideteksi. Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari kemunculan berbagai
jenis imunoglobulin; dan IgM dan IgG merupakan imunoglobulin memiliki nilai
diagnostik pada dengue. Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari 3-5 setelah mulai
sakit, naik cepat sekitar dua minggu dan selanjutnya menurun hingga tingkat yang
tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan.

Antibodi IgG dapat dijumpai pada kadar yang rendah hingga akhir minggu
pertama, kemudian meningkat secara tetap bertahap dan dapat bertahan untuk jangka
yang panjang (selama bertahun-tahun). Pada infeksi dengue sekunder (ketika host
sebelumnya telah terinfeksi virus DBD), titer antibodi meningkat pesat. Antibodi IgG
dapat terdeteksi dengan kadar yang tinggi, bahkan di fase awal, dan bertahan beberapa
bulan sampai seumur hidup. Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah
dalam kasus-kasus infeksi sekunder.
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR dapat digunakan untuk mendeteksi DENV pada lima hari pertama setelah
onset penyakit. Beberapa uji PCR dapat mendeteksi genom virus serta mengisolasi
virus untuk mengenali karakteristik virus yang menginfeksi. Real Time RT-PCR assay
saat ini telah berkembang, namun masih belum tersedia secara umum. RT-PCR sangat
bermanfaat mendeteksi virus pada awal terjadinya infeksi dengan sensitivitas 80-90%
dan spesifisitas mencapai 95%.
3. Pemeriksaan Protein NS1
Protein nonstructural 1 (NS1) merupakan salah satu dari tujuh protein
nonstruktural yang diproduksi oleh DENV. Protein NS1 intrasel berperan sebagai
kofaktor dalam proses replikasi virus, sementara NS1 yang terdapat di permukaan sel
maupun dalam bentuk sekresi bersifat imunogenik. Protein NS1 jenis ini berperan
untuk memunculkan respon imun dari penjamu serta terlibat dalam patogenesis infeksi.
terdapat antigen NS1 dengan jumlah yang banyak di dalam sirkulasi. Oleh karena itu,
pemeriksaan antigen NS1 sangat bermanfaat untuk mendiagnosa infeksi dengue,
terutama pada fase awal infeksi sebelum IgM dan IgG dapat terdeteksi.
4. Pemeriksaan Leukosit
Pada fase awal infeksi, jumlah leukosit akan normal atau sedikit menurun.
Leukopenia merupakan gejala khas DBD yang terjadi beriringan dengan
trombositopenia. Leukopenia merupakan penurunan jumlah total leukosit di dalam
sirkulasi, termasuk penurunan jumlah netrofil, limfosit dan monosit. Hal ini dapat
terjadi akibat penurunan produksi maupun peningkatan penggunaan dan penghancuran
leukosit. Infeksi virus akut menyebabkan terjadinya netropenia. Netropenia biasa
terjadi pada dua hari pertama dan dapat menetap selama 3-7 hari. Viremia akut
menyebabkan kerusakan pada leukosit. Jumlah sel darah putih dan neutrofil akan
turun, hingga mencapai titik terendah di akhir fase demam. Perubahan pada jumlah
total sel darah putih.
5. Pemeriksaan Platelet

Pemeriksaan platelet digunakan untuk menentukan derajat dari kebocoran


plasma pada infeksi dengue. Umumnya akan terjadi penurunan jumlah trombosit
disertai peningkatan hemtokrit. Trombositopenia awalnya terjadi akibat penekanan
terhadap sumsum tulang pada fase demam viremia. Trombositopenia progresif disertai
penurunan demam disebabkan oleh destruksi platelet oleh sistem imun. Hal ini
didukung oleh adanya kompleks virus-antibodi yang telah terdeteksi pada permukaan
platelet dari pasien DBD. Perlekatan platelet dengan sel endotel akibat tingginya
pelepasan plateletactivating factor oleh monosit dan infeksi sekunder oleh serotype
berbeda juga semakin memperberat trombositopenia pada pasien.
6. Pemeriksaan Lainnya
 Hemokonsentrasi atau naiknya hematokrit sebesar 20% dari batas normal
merupakan bukti obyektif adanya kebocoran plasma.
 Hipoproteinemia/ albuminemia (sebagai kosekuensi kebocoran plasma),
hiponatremia, dan kenaikan ringan AST serum (<=200 U/L) dengan rasio AST:
ALT>2.
 Albuminuria ringan sesaat juga dapat terlihat
 Pemeriksaan koagulasi dan faktor fibrinolitik menunjukkan berkurangnya
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin. Pengurangan
antiplasmin (penghambat plasmin) juga terdeteksi pada beberapa kasus. Pada kasus
berat dengan disfungsi hepar, kofaktor protrombin tergantung vitamin K berkurang,
seperti faktor V, VII, IX, dan X.
 Waktu tromboplastin (PPT) sebagian dan waktu protrombin (PT) memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD. Waktu trombin juga memanjang di kasus
yang berat.
 Hiponatremia terjadi beberapa kali pada DBD dan lebih parah pada syok.
 Hipokalsemia (dikoreksi dengan hipoalbuminemia) terjadi pada seluruh kasus
DBD, levelnya lebih rendah pada derajat 3 dan 4
 Asidosis metabolik juga sering ditemukan di kasus dengan syok berkepanjangan.
Kadar nitrogen urea dalam darah meningkat pada syok berkepanjangan.

II.7 Diagnosis Banding


 Demam berdarah dengue berbeda dengan demam tifoid, dimana jenis demam tifoid
yang lama dan suhu tubuh lebih meningkat biasanya pada sore hari dan menurun pada
pagi hari. Pola demam berperti anak tangga. Gejala lain sama dengan DHF seperti
sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan uji
widal.
 Demam berdarah dengue dengan demam chikungunya berbeda. Pada demam
chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan cara penularannya
mirip dengan penularan influenza. Pada demam chikungunya, serangan demam
mendadak lebih mendadak dibandingkan dengan demam berdarah dengue, masa
demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
adanya injeksi konjungtiva dan lebih sering disertai dengan nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan demam berdarah
dengue. Pada demam chikungunya tidak ditemukan adanya perdarahan
gastrointestinal, syok, dan tidak terjadinya peningkatan hematokrit.
 Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu biasanya demam menggigil
secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu badan
menurun, terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi ikterus
(hemolisis dan gangguan hepar). Namun pada demam berdarah dengue, demam terjadi
secara mendadak, suhu dapat mencapai 380C - 400C yang terjadi 2 hingga 7 hari,
terdapat manifestasi perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda syok, lemah,
mual, muntah, sakit kepala, diare, dan ruam merah dan sakit pada otot dan persendian.
Pada tes laboratorium demam berdarah dengue biasanya dilakukan uji serologi IgM,
IgG, dan ELISA, dan mendeteksi antigen viral dengan metode PCR serta dengan cara
fluorosensi imunoglobulin. Sedangkan pada malaria, tes laboratorium bisanya
ditemukan parasit dalam darah yang dipulas dengan Giemsa.
 Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DHF, oleh karena
didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD
jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
II.8 Penatalaksanaan

1. Penanganan DF Tanpa Warning Sign


Perawatan di rumah (edukasi keluarga) untuk pasien:
o Pasien harus cukup beristirahat.
o Asupan cairan yang cukup (jangan air putih) seperti susu, jus buah, cairan elektrolit
isotonik, larutan rehidrasi oral (oralit) dan air tajin. Waspadalah terhadap kelebihan
cairan pada bayi dan anak-anak.
o Jaga suhu tubuh tetap di bawah 39°C. Jika suhu melebihi 39°C, berikan parasetamol
tablet dengan dosis 500 mg atau sirup 120 mg per 5 ml. Dosis yang dianjurkan adalah
10 mg/kg/dosis dan diberikan dalam frekuensi tidak kurang interval enam jam.
o Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 4 gram / hari. Hindari menggunakan
terlalu banyak parasetamol. Aspirin atau OAINS tidak dianjurkan.
o Berikan spon hangat di dahi, ketiak dan kaki. Mandi air hangat direkomendasikan untuk
orang dewasa.
Perhatikan kemunculan warning sign:
 Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat sebelum atau selama transisi ke
fase afebris.
 Muntah persisten, tidak bisa minum.
 Nyeri abdomen yang berat
 Lesu dan/atau gelisah, perubahan perilaku mendadak.
 Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis, perdarahan menstruasi
yang berlebihan, urin berwarna gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.
 Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.
 Kurang/tidak ada produksi urine selama 4-6 jam.
2. Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis
Indikasi cairan IV:
 Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
 Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah diberikan.
 Adanya ancaman munculnya syok
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
 Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6 bulan
lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
 Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm/l) seperti dekstran 40 atau
larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada respon
dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang optimal (seperti yang
direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik seperti plasma dan hemaccel
kemungkinan tidak efektif.
 Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk sekedar
mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
 Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi
mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi cairan intravena
bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena pasien yang
tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran plasma sementara pasien yang sudah
syok, kebocoran plasma berlangsung dalam durasi yang lebih panjang hingga terapi
intravena dimulai.
 Transfusi trombosit tidak direkomendasikan dalam penanganan trombositopenia (tidak
boleh ada transfusi trombosit profilaksis). Namun pemberian transfusi trombosit dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat hipertensi dengan trombositopenia yang
sangat berat (<10.000 sel/mm3)

3. Penanganan Pasien dengan Warning Sign


a. Manajemen DBD derajat I, II (kasus non-syok)
Secara umum, masukan cairan (oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk
sehari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-sama), yang diberikan dalam 48 jam.
Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 =
1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5%
adalah 2.500 ml. Pada pasien non-syok, jmlah cairan ini akan diberikan dalam 48 jam
pertama. Kecepatan infus cairan 2.500 ml ini dapat diberikan sesuai. Kecepatan
pemberian cairan IV harus disesuaikan dengan tingkat kehilangan plasma, dan
disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit.
b. Manajemen syok: DBD derajat III
SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan ditandai
dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi tekanan nadi
yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik,
misalnya 100/90 mmHg). Ketika hipotensi muncul, selain kebocoran plasma, kita harus
menduga bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang masif, dimana yang paling
sering adalah perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak tampak/tersembunyi. Perlu
dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok yang lain misalnya syok
septik. Sebagian besar kasus SSD akan memberikan respon terhadap pemberian cairan
10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300- 500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila
perlu secara bolus. Namun, sebelum memutuskan untuk mengurangi jumlah cairan IV
yang diberikan, kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit
harus diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan perbaikan klinis. Penting diketahui
bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi jika telah terjadi perbaikan perfusi perifer,
tetapi harus tetap diteruskan sampai minimum 24 jam dan dapat dihentikan setelah 36-
48 jam. Pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi masif karena
peningkatan permeabilitas kapiler.

c. Manajemen Syok: DBD derajat IV


Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat
mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menilai ABCS dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi yang ringan pun
harus segera ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan secepat
mungkin, idealnya dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan darah
berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana penanganan
pada derajat III. Jika syok tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi
bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera
mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya harus segera dikerjakan (setelah
menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan monitoring ketat, misalnya kateterisasi kandung
kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral atau intraarterial.
Obat inotropik dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah, jika pemberian
cairan dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral tinggi (CVP),
kardiomegali, atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas jantung yang buruk. Jika
tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi cairan dengan atau tanpa
transfusi darah, dan dijumpai adanya gangguan fungsi organ, maka pasien harus mendapat
penanganan suportif yang sesuai.
d. Manajemen perdarahan massif

 Jika sumber perdarahan dapat diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk menghentikan
pendarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat dikontrol dengan nasal
packing. Transfusi darah harus segera dilakukan dan tidak boleh ditunda sampai nilai HCT
mengalami penurunan. Jika jumlah darah yang hilang dapat diukur, maka jumlah tersebut
harus digantikan. Namun, jika pengukuran tidak mungkin dilakukan, berikan 10 ml/kg
whole blood atau 5 ml/kg packed red cell dan evaluasi respon terapi. Pasien mungkin
memerlukan pengulangan satu kali atau lebih.
 Pada perdarahan saluran cerna, antagonis H-2 dan penghambat pompa proton bisa
digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan efikasinya.
 Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti trombosit
konsentrat, fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat
memberikan meningkatkan resiko kelebihan cairan.
 Rekombinan factor VII diketahui bisa bermanfaat pada beberapa pasien yang belum
mengalami kegagalan organ, namun harganya sangat mahal dan umumnya tidak tersedia.
e. Tanda-tanda pemulihan
 Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan stabil
 Suhu normal.
 Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
 Nafsu makan membaik.
 Tidak ada muntah, tidak ada sakit perut
 Produksi urin baik.
 Hematokrit yang stabil pada nilai baseline.
 Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa gatal, terutama
pada ekstremitas.
f. Kriteria untuk pemulangan pasien:
 Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan terapi antidemam.
 Nafsu makan membaik.
 Perbaikan klinis terlihat.
 Jumlah produksi urine memuaskan.
 Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock
 Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites.
 Jumlah trombosit lebih dari 50 000/mm3. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan untuk
menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu hingga trombosit menjadi normal.
Pada kebanyakan kasus yang kompleks, trombosit meningkat normal dalam waktu 3-5 hari.
II.9 Pencegahan
Kemenkes saat ini sudah menggalakkan program pencegahan DBD, menginta
Indonesia merupakan salah satu negara endemik DBD. Dengan 3M PLUS diharapkan
angka kejadian dan penyebaran DBD di Indonesia semakin berkurang. 3M PLUS meliputi,
menguras dan menyikat, menutup tempat penampungan air, memanfaatkan barang bekas,
dan mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk (Kemenkes, 2019).

II.10 Komplikasi
a. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat
dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat
menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan
dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun
menjadi apatis atau somnolen, dapat disertai atau tidak dengan kejang dan dapat terjadi
pada DBD/SSD.
b. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan
baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam.
Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah
dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai
akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin.
c. Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien
akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang
dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen
II.11 Prognosis
Secara umum, dengue ringan berprognosis baik apabila terdeteksi dini dan
tertangani dengan baik. Namun dengue berat memiliki angka mortalitas 10 - 20%
dibanding baseline. Penanganan suportif yang sesuai dapat menurunkan mortalitas sebesar
1%. (Schaefer, 2021)
BAB III
PEMBAHASAN

An VNF datang ke poli infeksi Puskesmas Lambangsari dengan keluhan demam 4


hari SMRS. Demam terjadi karena terdapat proses infeksi atau inflamasi yang masuk ke
dalam tubuh. Demam dapat berperan dalam meningkatkan perkembangan imunitas spesifik
dan non spesifik dalam membantu pemulihan atau pertahanan terhadap infeksi. Pasien juga
mengeluhkan mual namun tidak muntah. Kejadian mual muntah dapat disebabkan oleh
beberapa stimulus, seperti perasaan nyeri, toksin, cemas, bau, motion sickness dan berbagai
stimulus lain.
Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 September 2023
dengan hasil parameter hematologi menunjukkan terjadinya penurunan trombosit hingga
<100.000 sel/mm3 (trombositopenia), dan penurunan jumlah leukosit (leukopenia).
Berdasarkan temuan klinis pada pasien dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis
mengarah pada Dengue Hemorhagic Fever Grade I.
Pada pasien DHF, trombositopenia dapat terjadi karena beberapa mekanisme,
diantaranya terjadi depresi sumsum tulang yaitu tahap hiposeluler pada hari ke 3-4 karena
infeksi virus langsung pada sel hematopoietik progenitor dan sel stromal. Selain itu dapat
juga karena meningkatnya destruksi trombosit akibat Reaksi silang antara antibodi virus
dengue, terutama anti-NS1 dengan sel dari endotel dan platelet. Antibodi anti-NS1 yang
bereaksi silang dengan sel endotel dapat merangsang sel ini untuk menghasilkan NO dan
apoptosis. Nitrit oxide berfungsi untuk menghambat replikasi virus dengue, akan tetapi jika
diproduksi dalam jumlah berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel. Antibodi anti-NS-1
juga menunjukkan adanya reaksi silang dengan platelet dan menyebabkan trombositopenia.
Hal tersebut terjadi pada fase akut pasien DBD, diduga platelet mengekspresikan molekul
permukaan spesifik yang dikenali oleh autoantibodi seperti anti-NS1 tersebut. Pengaruh
dari reaksi silang antara antibodi dengan platelet adalah terjadi lisis dari platelet dan
inhibisi agregasi platelet. Platelet yang bereaksi silang dengan antibodi anti-NS1 akan
mengaktivasi komplemen yang akhirnya akan mengakibatkan bertambah banyaknya lisis
dari platelet. Antibodi anti-NS1 yang paling banyak berperan dalam reaksi silang dengan
platelet adalah IgM. Mekanisme lainnya terjadi destruksi platelet melalui ikatan
langsung DV dengan platelet dan antibodi virus spesifik, selanjutnya akan dihancurkan
oleh sel fagosit pada sistim retikulo endotelial-terutama pada limpa.
Pada pasien DHF juga dapat terjadi peningkatan hematokrit. Nilai hematokrit
adalah besarnya volume sel-sel eritrosit seluruhnya di dalam 100 mm3 darah dan
dinyatakan dalam %. Meningkatnya nilai hematokrit di atas 20% adalah tanda
hemokonsentrasi dan mengawali syok pada pasien, Sering ditemukan mulai hari ke-3. Nilai
hematokrit harus dipantau minimal setiap 24 jam untuk pasien DBD dan setiap 3 hingga 4
jam pada pasien SSD. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi selanjutnya akan
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Pada penderita DBD ditemukan leukopenia. Pada saat demam, mulai terjadi
pengurangan jumlah leukosit dan netrofil disertai limfositosis relatif. Leukopenia mencapai
puncaknya sesaat sebelum demam turun dan normal kembali pada 2-3 hari setelah
defervescence (demam turun). Terjadinya leukopenia pada infeksi dengue disebabkan
karena adanya penekanan sumsum tulang akibat dari proses infeksi virus secara langsung
ataupun karena mekanisme tidak langsung melalui produksi sitokin-sitokin proinflamasi
yang menekan sumsum tulang. Leukopenia pada kasus infeksi dengue disebabkan oleh
penghancuran atau penghambatan sel progenitor myeloid yang terjadi sejak hari ke-2 dan
terendah pada hari ke-5 demam pada kelompok DBD. Limfositosis, dengan limfosit
atipikal, biasanya berkembang sebelum demam atau syok. Pasien kemudian diberikan obat
dan dijelaskan mengenai warning sign DHF. Jika terdapat warning sign maka dianjurkan
segera ke IGD untuk tatalksana lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Candra, Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan. Semarang: FK UNDIP

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), National Center for Emerging and
Zoonotic Infectious Diseases (NCEZID), Division of Vector-Borne Diseases (DVBD).
(2020) Dengue Around The World. Available at:
https://www.cdc.gov/dengue/areaswithrisk/around-the-world.html

Cucuwaningsih. 2015. Diagnosis Klinis Dini Penyakit Dengue Pada Pasien Dewasa.
MEDICINUS Vol. 4 No. 8 Februari 2015 – Mei 2015. Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan.

Kementrian Kesehatan Repubik Indonesia. 2017. Infodatin: Situasi Penyakit Demam


Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Kemenkes RI

Kementrian Kesehatan Repubik Indonesia. (2019) Upaya Pencegahan DBD dengan 3M


Plus.
Available at: https://promkes.kemkes.go.id/upaya-pencegahan-dbd-dengan-3m-plus

Schaefer, Timothy J, et al. (2021) Dengue Fever. Available at:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430732/

Simmons, Cameron, Et Al. (2015) Recent Advances In Dengue Pathogenesis And Clinical
Management. DOI:10.1016/j.vaccine.2015.09.103. Available At:
https://www.researchgate.net/publication/282875453_Recent_advances_in_dengue_pat
hogenesis_and_clinical_management

Smith, Darvin Scott, et al. (2019) Dengue. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/215840-overview#a3

Srikiatkhachorn, A., Rothman, A. L., Gibbons, R. V., Sittisombut, N., Malasit, P., Ennis, F.
A., Nimmannitya, S., & Kalayanarooj, S. (2011). Dengue--how best to classify it.
Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society
of America, 53(6), 563–567. https://doi.org/10.1093/cid/cir451

Susilo, Adityo. (2019) Demam Berdarah Dengue (DBD). Available at:


https://www.papdi.or.id/berita/kesehatan/521-demam-berdarah-dengue-dbd.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Wen-Hung Wang, et al. 2020. Dengue hemorrhagic fever e A systemic literature review of
current perspectives on pathogenesis, prevention and control. Journal of Microbiology,
Immunology and Infection (2020) 53, 963e978.
https://doi.org/10.1016/j.jmii.2020.03.007

World Health Organization. (2009) Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,


Prevention, and Control. WHO

World Health Organization. (2021) Dengue and Severe Dengue. Available at:
https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue

Anda mungkin juga menyukai