Makalah 16

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ANALISIS PROBLEMATIKA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI


INDONESIA

Dosen Pengampu :
Dr, Hj. Khairiah, M.Pd

Disususn Oleh :
1. Ikhsan Tri Hartanto (2223210126)
2. Iren Pibri Floresti (2223210132)
3. Melisa Nurul Hidayati(2223210141)
4. Suci Hanifah Kasih (2223210133)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO (UINFAS)

BENGKULU 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

Semua pujian adalah kepada Allah SWT yang telah memberi kita
kebahagiaan sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tanpa
bantuan-Nya saya tidak akan pernah memiliki pilihan untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Shalawat dan kabar baik dapat diberikan kepada nabi kita yang disayangi
Muhammad SAW yang akan kita menengahi di luar yang besar. Sang pencipta
mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT atas kekayaan berkat-Nya yang
sehat, baik sebagai kesejahteraan dan alasan yang sebenarnya, sehingga pencipta
dapat menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari Mata Kuliah: Dasar-
dasar Pendidikan dengan judul “Analisis Problematika Pendidikan Sebagai
Suatu Sub-Sistem Nasional di Indonesia"
Pencipta memahami bahwa makalah ini cukup cacat dan masih ada banyak
kesalahan dan noda di dalamnya. Oleh karena itu, penulis mengantisipasi analisis
dan ide-ide dari para pembaca untuk makalah ini, dengan tujuan agar tulisan ini
nantinya dapat berubah menjadi makalah yang jauh dan jauh. Kemudian, pada saat
itu, dengan asumsi ada banyak slip-up dalam makalah ini, pencipta meminta maaf
dengan berlimpah.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pertemuan, terutama


kepada para Dosen yang telah menyutradarai rekaman sebagai hard copy makalah
ini. Selanjutnya, idealnya makalah ini bisa berharga. Terima kasih banyak kepada
Anda.

Bengkulu, 22 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3


A. Problematika Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem .................... 3
B. Pemerataan Pendidikan .................................................................. 7
C. Pengelolaan dan Efisiensi .............................................................. 9
D. Relevansi Pendidikan ..................................................................... 12
E. Solusi untuk Problematika Derivat ................................................ 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17


A. Kesimpulan.................................................................................... 17
B. Saran .............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang tercatat sebagai salah satu


Negara yang tengah mengalami kemerosotan. Adapun penyebabnya ialah
Indonesia tak jarang menempatkan pendidikan pada urutan terakhir bidang
yang harus diperbaiki, bahkan terkadang tanpa sadar bahwasannya
pendidikan merupakan kunci utama dalam upaya membangkitkan Indoneisa
yang tengah terpuruk. Pendidikan merupakan keindahan proses belajar
mengajar dengan pendekatan manusia (man centered), dan bukan sekedar
memindahkan otak dari kepala-kepala atau mengalihakn mesin ke tangan,
dan sebaliknya. Pendidikan lebih dari itu, yakni menjadikan manusia
mampu menaklukkan masa depan dan menaklukkan dirinya sendiri dengan
daya pikir, daya dzikir, dan daya ciptanya.

Pendidikan memberikan kemampuan kepada suatu komunitas untuk


melihat kemungkinan-kemungkinan yang terbuka dimasa depan.
Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang berbasis ilmu
pengetahuan. Artinya, apabila kekuatan ilmu pengetahuan tidak digunakan
sebagaimana mestinya maka suatu komunitas akan terjepit di antara
kekuatan-kekuatan yang ada sehingga mengakibatkan kehancuran
komunikasi. Itu sebabnya mengapa pendidikan merupakan modal utama
dalam menghadapi masa depan. Pendidikan Islam didefinisikan sebagai
proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nila-nilai pada
diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya
guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala
aspeknya.

Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa problem yang


menyebabkan gagalnya sebuah capaian dari Pendidikan Islam. Problem
tersebut terbagi dua macam, yakni problem internal dan problem eksternal.
Untuk menanggulangi berbagai problem dalam pelaksanaan Pendidikan
Islam tersebut, salah satu jalan yang dikeluarkan oleh Negara ialah dengan

1
memberikan peluang yang cukup luas terhadap Pendidikan Islam melalui
penetapan urgensi perannya di Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional. Sebelum penetapan itu masih dikenal dengan dualism sistem
pendidikan nasional, yang mana hal ini merupakan sebuah kesinambungan
sejarah, baik sejarah pada umat Islam pada khususnya maupun sejarah
bangsa Indonesia pada umumnya. Di samping itu, wacana dualisme sistem
pendidikan kembali menguat akibat gejolak politik nasional yang berisi
sebuah ideologi tertentu. Apapun alasannya, dualisme banyak berdampak
negatif terhadap lembaga pendidikan di Indonesia terlebih lembaga
pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Problematika Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem?
2. Bagaimana Pemerataan Pendidikan?
3. Bagaimana Pengelolaan dan Efisiensi?
4. Bagaimana Relevansi Pendidikan?
5. Bagaimana Solusi untuk Problematika Derivat?

C. Tujuan
1. Untuk Memahami Problematika Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem
2. Untuk Memahami Pemerataan Pendidikan
3. Untuk Memahami Pengelolaan dan Efisiensi
4. Untuk Memahami Relevansi Pendidikan
5. Untuk Memahami Solusi untuk Problematika Derivat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Problematika Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem

Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan


realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem
yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran
pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan
merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi
oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek
politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi
sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pendidikan sebagai suatu
sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri
dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal,
sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, berbagai
perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan
kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.1

Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan,


maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya
ditunjukan sebagai berikut:

1. Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah


kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada
rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan
ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan
sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para
pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.

1
Telaah Epistemologi, Terhadap Problematika, and Pendidikan Islam, ‘ANALISIS
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN
MODRN’, 19.1 (2018), 34–49.

3
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53
tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab


penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara
kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP
tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi
Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan,
sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for
Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa
dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas
akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.

4
Kenyataan yang menunjukan bahwa penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas adalah data dari
Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya
pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-
87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia
Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia
ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya
pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak
langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh
pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar
antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo,
07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia
hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan
pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India
telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%.

2. Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandasakan


sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura),
permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya
di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan
mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat
ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun
keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan
membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh berdasarkan pandangan
syari’at islam). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003
pasal 3 yang menunjukan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI
menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang
membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam
regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No.19/2005, RUU Wajib
Belajar dan RUU BHP.

5
Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan
belajar siswa setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang
pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional
pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional
(UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata pelajaran
saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang
ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan).

Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di


antara akibatnya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat
narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan
berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan,
pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita
kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah
keadaan yang menunjukan tidak relevannya sistem pendidikan yang
selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia
indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-
citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU
No.20/2003), karena realitas justru memperlihatkan kontradiksinya.
Siswa sebagai bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di
sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat lebih baik
ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun
karena kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum
berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan
dalam satuan pendidikan dalam kerangka sekulerisme juga, maka siklus
ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekulerisme yang makin
meluas.

3. Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah


membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi
mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk
dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan

6
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP)
yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim
Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme
global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat
Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor
pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi
badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.2

B. Pemerataan Pendidikan
1. Keterbatasan Aksesibilitas dan Daya Tampung

Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan


nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada
tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun
kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini
diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005
adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK=
perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu
dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya
siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04
juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen
Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang
artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP
baru mencapai 85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari
target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK
sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya
kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung

2
Jurnal Teologi and Agama Kristen, ‘Pendahuluan Metode Hasil Dan Pembahasan
Teologi’, 7.2 (2021), 275–94.

7
di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI
2006).

2. Kerusakan Sarana/ Prasarana Ruang Kelas

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor


utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam
jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan
dapat berlangsung secara efektif. Sebagai contoh, problematika yang
terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan
Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang
mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu,
kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak
6.523 ruang kelas, SMP sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak
2.729 ruang kelas.

Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si


(PR,15/07/2005), berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap
tahun kebutuhan biaya menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI
saja butuh dana sebesar Rp 251 miliar, terdiri dari penambahan ruang
kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6 miliar, rehab total ruang kelas
sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar dan rehabilitasi sedang
ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar. Kemudian
kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat
SD/MI sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya
pembangunan dan rehabilitasi ditambah penanggulangan drop out
SD/MI saja setiap tahunnya mencapai Rp 410 miliar. Sedangkan
kemampuan anggaran pemerintah untuk pembangunan pendidikan di
Jabar hanya mampu untuk mengantisipasi kedua hal tersebut. Adapun
kemampuan daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan
setiap tahunnya hanya antara Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar, anggaran
tersebut hanya akan menjangkau kebutuhan minimal.

8
3. Kekurangan Jumlah Tenaga Guru

Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem


pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu
mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan
guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat
maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.3

C. Pengelolaan dan Efisiensi

Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya


dikelompokan berdasarkan tiga hal yaitu:

1. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal

Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus


diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja
yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU
No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16
menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru
dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan
penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi,
berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan
khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan
kesejahteraan..

Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang


sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah
pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat
memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam
teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai

3
U I N Sunankalijaga Yogyakarta, ‘EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN
Refleksi Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Islam Kh . Ahmad Dahlan Terhadap
Problematika Pendidikan Islam Ghufran Hasyim Achmad’, 3.6 (2021), 4329–39.

9
merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam
bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para
pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang
selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru
mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu
besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.

2. Proses Pembelajaran Yang Konvensional

Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-


sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang
ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana,
ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan
model pembelajaran yang efektif.

Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan


disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses
pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan
efisien dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses


pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik
seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional
sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien

Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik


membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-
akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya

10
berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam
menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat
mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan
relevan.

3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai

Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu


prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang
keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005
tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana
disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang
meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan
sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan
berkelanjutan (ayat 1).

Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi


boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa
secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag
direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun 2007 ini, pemerintah
melalui Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
(PKPS) Dana BOS buku 2007 akan dicairkan karena dana BOS buku
tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan
dana BOS buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat
kabupaten/kota. Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp
22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. Jadi
kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat SD
maupun SMP sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang
dibeli juga harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah
melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11
Tahun 2005. Jumlah penerbit yang telah mendapatkan sertifikat dan
sesuai menurut Permendiknas No. 11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit
dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit tersebut jika dirinci, untuk

11
penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit, bahasa Indonesia
sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit (www.
Klik-galamedia.com, 08 Februari 2007).

4. Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan

Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan,


sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam
pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum
pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan


tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada
lembaga pendidikan itu sendiri. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 RUU
Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa Kemandirian dalam
penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai
melalui pendirian BHP, dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi
pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan dapat
menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan
mobilitasnya.4

D. Relevansi Pendidikan

4
AHMAD MUKANA, ‘PROBLEMATIKAN PENDIDIKAN SOSIAL DAN
ISLAMISASI’, Islam, Jurnal Pendidikan, X.X (2019), 5–10
<https://doi.org/10.32832/tawazun.v12i2.2554>.

12
1. Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai

Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta


didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP
No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk
SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB
atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan
kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan
akademik, dan kecakapan vokasional.

2. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah

Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU


No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan: (1)
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2)
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan
akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g.
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i.
dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

3. Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri

Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam


UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat

13
Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.5

E. Solusi untuk Problematika Derivat

Dari beberapa permasalahan dan pembahasan makalah di atas, kami


menemukan 12 permasalahan yangjadi acuan dalam probleatika
pendidikan, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di
Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, berikut beberapa
masalah yang kami temukan :

1. Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,


2. Kerusakan sarana dan prasarana,
3. Kekurangan tenaga guru,
4. Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5. Proses pembelajaran yang konvensional,
6. Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7. Otonomi pendidikan. Keterbatasan anggaran
8. Mutu SDM Pengelola pendidikan
9. Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
10. Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
11. Kemitraan dengan DU/DI

5
Pinton Setya Mustafa, Universitas Islam, and Negeri Mataram, ‘Problematika Rancangan
Penilaian Pendidikan Jasmani , Olahraga , Dan Kesehatan Dalam Kurikulum 2013
Pada Kelas XI SMA’, 5.1 (2021), 184–95.

14
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya
juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar.
Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:

1. Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem


sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem
ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan
demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi
kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah
dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu
bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya
pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap
masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan
sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan
memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa
dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin
terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa
termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah
sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar
melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai
pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu
mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi
terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran
mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan
memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang
diperoleh siswa di sekolah.
2. Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan.
Diantaranya: Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen
untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang
memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam
yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya
ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan

15
permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan
gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum
bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun
menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan
tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan
disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk
mereka.

Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas


untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang
berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya
pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu
menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah
menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik
yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan
mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak
dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu
keislaman lainnya.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari permasalahan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa


Indonesia menghadapi era globalisasi dunia sekarang. Yang pertama adalah
Teknologi. Minimnya pengetahuan teknologi sangat mempengaruhi
kemampuan para edukator. Saya yakin bahwa banyak guru-guru yang tidak
mengetahui adanya internet sedangkan para murid sudah technology-aware.
Yang kedua, masuknya sekolah plus dengan overseas syllabus. Tantangan
ini bisa berdampak positif dan berdampak negatif, tergantung dari
perspektif mana kita melihatnya. Syllabus dari luar negeri tidak sepenuhnya
sempurna seperti yang dipikirkan oleh banyak orang, banyak hal-hal yang
tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Tetapi di lain sisi, overseas syllabus
maupun sekolah plus akan memberikan nilai tambah tersendiri dan mungkin
akan menjadikan suatu warning bahwa era globalisasi has truly arrived. Dan
kita berharap pemerintah mempunyai peraturan yang mengatur sekolah plus
dan syllabus-nya.

B. Saran

Demi kelancaran dan kesempurnaan pembuatan makalah ini, kami


mohon kepada para pembaca untuk memberikan saran yang membangun.
Karena kami sadar betul bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat
banyak kekuarangan dan kesalahannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Epistemologi, Telaah, Terhadap Problematika, and Pendidikan Islam, ‘ANALISIS


PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN
MODRN’, 19.1 (2018), 34–49

MUKANA, AHMAD, ‘PROBLEMATIKAN PENDIDIKAN SOSIAL DAN


ISLAMISASI’, Islam, Jurnal Pendidikan, X.X (2019), 5–10
<https://doi.org/10.32832/tawazun.v12i2.2554>

Mustafa, Pinton Setya, Universitas Islam, and Negeri Mataram, ‘Problematika


Rancangan Penilaian Pendidikan Jasmani , Olahraga , Dan Kesehatan Dalam
Kurikulum 2013 Pada Kelas XI SMA’, 5.1 (2021), 184–95

Teologi, Jurnal, and Agama Kristen, ‘Pendahuluan Metode Hasil Dan Pembahasan
Teologi’, 7.2 (2021), 275–94

Yogyakarta, U I N Sunankalijaga, ‘EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN


Refleksi Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Islam Kh . Ahmad Dahlan
Terhadap Problematika Pendidikan Islam Ghufran Hasyim Achmad’, 3.6
(2021), 4329–39

18

Anda mungkin juga menyukai