22191-Article Text-92472-1-10-20220829
22191-Article Text-92472-1-10-20220829
22191-Article Text-92472-1-10-20220829
E-ISSN: 2716-0394
12 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
Dynastic politics has always reaped pros and cons, the pro side thinks dynastic politics is not
contrary to democratic principles, but the contra side regards dynastic politics as a tool for
maintaining power. This study aims to find out how Islamic law views dynastic politics,
especially in Balleanging Village, Ujung Loe District, Bulukumba Regency. The research
methods used are field qualitative, with juridical, historical, and syar'i approaches. The results
showed that historically, the leadership relay in Balleanging Village had used dynastic politics,
especially during the Gallarang-an period. Meanwhile, when using a democratic system, it was
recorded that there had been a transition of leadership in one lineage, namely from Bundu
Boto (1965 - 1993) which was replaced through the election process by Djohan Boto (1993 -
2007), and both were considered village heads who succeeded in building Balleanging Village.
The Quran and the leadership practices of the Messenger of Allah do not specifically regulate
the ideal system of government, only affirm the basic principles of leadership such as siddiq,
tabligh, amanah, and fathanah, and the political history of Islam after the leadership of the
Prophet and the khulafaurrasidins, recorded as having used dynastic politics, namely during
the reigns of the Bani Ummayah and the Abbasids.
Keywords: Democracy; Islamic Law; Leadership; Dynastic Politics
Abstrak
Politik dinasti selalui menuai pro dan kontra, pihak pro menilai politik dinasti tidak
bertentangan dengan prinsip demokrasi, tetapi pihak yang kontra menganggap politik
dinasti sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap politik dinasti, khususnya di
Desa Balleanging Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif lapangan, dengan pendekatan yuridis, historis, dan syar’i. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara historis, estafet kepemimpinan di Desa Balleanging
pernah menggunakan politik dinasti khususnya pada masa ke-Gallarang-an. Sementara
pada saat menggunakan sistem demokratis, tercatat pernah terjadi peralihan
kepemimpinan dalam satu garis keturunan, yaitu dari Bundu Boto (1965 – 1993) yang
digantikan melalui proses pemilihan oleh Djohan Boto (1993 – 2007), dan keduanya
dianggap sebagai kepala desa yang berhasil membangun Desa Balleanging. Al-Quran dan
praktik kepemimpinan Rasulullah tidak mengatur secara spesifik tentang sistem
pemerintahan yang ideal, hanya menegaskan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan seperti
siddiq, tabligh, amanah, dan fathanah, dan sejarah politik Islam pasca kepemimpinan
| 249
Ayu Fajri Karunia dan Sohrah. “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Politik Dinasti.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 3, no. 2 (2022): 249-260.
E-ISSN: 2716-0394
Rasulullah dan para khulafaurrasidin, tercatat pernah menggunakan politik dinasti, yaitu
pada masa pemerintahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah.
Kata Kunci: Demokrasi; Hukum Islam; Kepemimpinan; Politik Dinasti
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara kesatuan yang pemerintahannya diselenggarakan
secara demokratis. Sistem pemerintahan dengan corak demokrasi dipahami sebagai
pemerintahan yang diselenggarakan untuk dan oleh rakyat (kepentingan rakyat).
Penegasan tersebut termuat dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, Kedaulatan berada
ditangan rakyat. Ketentuan tersebut menjadi dasar bahwa Indonesia merupakan negara
yang pemerintahannya menganut prinsip demokratis. Salah satu ciri negara demokrasi
adalah adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan, sehingga kekuasaan negara tidak
terpusat hanya pada satu organ atau satu lembaga, tetapi tersebar pada organ-organ
negara. Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk meminimalisasi penyalahgunaan
kekuasaan,1 sehingga tidak melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter.
Keadaan demokrasi diyakini sebagai sistem politik yang mampu menutupi berbagai
kekurangan yang dimiliki oleh sistem timokrasi, aristokrasi, oligarki, dan tirani. Selain itu,
dalam prinsip demokrasi, rakyat dilibatkan dan berperan aktif dalam penyelenggaraan
negara, sehingga konsep demokrasi dinilai mengandung prinsip- prinsip keadilan,
transparansi sistem pemerintahan, kesetaraan, dan toleransi.2 Sebuah sistem politik dapat
dikatakan demokratis apabila setiap kebijakan diputuskan secara kolektif dengan
melibatkan seluruh elemen.3
Hans Kelsen mendefinisi politik menjadi dua, yang pertama politik adalah etika yang
berkaitan dengan tujuan manusia untuk mencapai kehidupan yang sempurna. Kedua,
sebagai teknologi yang terkait cara manusia mencapai tujuan yang diinginkan.4
Munculnya politik dinasti pada dasarnya melahirkan banyak perdebatan, sebagian
menilai sistem tersebut dapat dijalankan, jika kestabilan politik masih dapat terjaga, dan
1
Kusnadi Umar. “Pasal Imunitas Undang-Undang ‘Corona’ dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan
Dalam Menetapkan Kerugian Negara.” El-Iqtishady: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 2, no. 1 (2020): 114-129.
https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v2i1.14044
2
Darmawati dan Halimah Basri. “Nasionalisme dan Demokrasi dalam Pandangan Hukum Islam.”
Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 1, no. 3 (2020): 558.
3
Ayu Andira dan Fatmawati. “Fenomena Kotak Kosong pada Pilkada Kota Makassar Tahun 2018.”
Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 1, no. 3 (2020): 501.
4
Budiardjo Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007): 16.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 250
E-ISSN: 2716-0394
sebagian beranggapan bahwa para elit menggunakan sistem dinasti sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaannya. Selain itu, politik dinasti juga diyakini dapat mengurangi
peluang orang lain untuk berpartisipasi dalam politik, sebab relasi kekeluargaan dalam
sistem pemelihan langsung akan sangat menentukan tingkat keterpilihan, apalagi jika
menggunakan struktur kekuasaan.
Dinasti politik diartikan sebagai “kerajaan politik” yang menempatkan keluarga dan
kerabat dalam berbagai posisi penting dalam pemerintahan, baik lokal maupun nasional,
atau para elit dapat dikatakan telah membentuk strategi jaringan yang terstruktur dan
sistematis.5 Potensi untuk membangun kerajaan politik, tidak hanya terbuka pada level
pemerintahan nasional, tetapi juga pada level pemerintahan yang paling bawah, yaitu pada
pemerintah desa.
Pemilihan kepala desa yang juga diselenggarakan secara langsung sangat
memungkinkan lahirnya connection power atau kekuasaan yang diperoleh seseorang
berdasarkan hubungan kekerabatan. Kepala desa petahana akan bekerja keras untuk
menjaga estafet kepemimpinannya agar tetap berada dilingkup kerabatnya. Oleh karena
itu, fenomena ini dapat dijelaskan sebagai modus mewariskan kekuasaan dari generasi ke
generasi. Bahkan seiring berjalannya waktu, pemilihan kepala desa dinilai telah mengalami
banyak kemajuan bila dibandingkan pada Era Orde Baru misalnya, posisi kepala desa
sangatlah tertutup sehingga tidak jarang posisi kepala desa itu hanya ditempati oleh elit
tertentu. Sedangkan pada masa reformasi mengalami sedikit kemajuan di mana proses
pemilihan lebih terbuka dan demokratis, dan setiap orang dapat mencalonkan diri tanpa
dibatasi oleh latar belakang dan pandangan politik.
Pemilihan kepala desa yang benar-benar terbuka membuat persaingan antar warga
desa benar-benar harus bertumpu pada kekuatan politik masing-masing untuk menarik
dukungan pemilih atau masyarakat. Para calon kepala desa harus memiliki kelebihan dan
kemampuan sehingga dapat meyakinkan pemilih bahwa mereka dapat memimpin desa.
Namun tidak jarang pula pemilihan kepala desa tidak memperhatikan kemampuan calon,
dalam hal ini kekerabatan bisa menjadi faktor penting bagi calon untuk memenangkan
permainannya. Unsur kekerabatan inilah yang dinilai menjadi wadah bagi para elit untuk
memiliki pengaruh besar di desa yang penduduknya masih didominasi penduduk asli,
sehingga rasa persaudaraan menjadi petimbangan tersendiri dalam pemilihan.
5
Leo Agustino. Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi.
(Bandung: Widya Padjadjaran, 2011): 130.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 251
E-ISSN: 2716-0394
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan, dengan pendekatan
yuridis, historis, dan syar’i. Adapun sumber data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi serta data sekunder yang
diperoleh dari jurnal, buku, dan sumber-sumber lainya yang relevan dengan fokus
penelitian.6 Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan yaitu editing data,
cooding dan identifikasi data serta menggunakan analisis deskriptif.
6
Kusnadi Umar dan Patawari. “Menyoal Netralitas RT/RW Pada Pilkada Kota Makassar Tahun
2020.” PETITUM: Jurnal Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia Timur 9, no. 1 (2021): 78-87.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 252
E-ISSN: 2716-0394
dipungkiri bahwa, sistem politik tersebut membentuk politik dinasti di Desa Balleanging
hingga saat ini.
Kepemimpinan Gallarang di Desa Balleangging pada awalnya dipimpin oleh seorang
Gallarang perempuan yang bernama Bombong Dg. Taralla. Kepemimpinan Bombong Dg.
Taralla merupakan hasil penunjukan langsung dari pihak Belanda. Setelah kepemimpinan
Bombong Dg. Taralla berakhir, ditunjuklah sang anak yang bernama Habai Dg. Silasa
sebagai penerus. Kemudian dilanjutkan oleh Rokko Dg. Matasa yang merupakan menantu
dari Habai Dg. Silasa, namun setelah 10 tahun memimpin, kepemimpinan Gallarang Rokko
Dg. Matasa digantikan oleh Bo’go Dg. Mateppo yang juga merupakan menantu
kemenakan dari Habai Dg. Silasa.
Selanjutnya pada tahun 1932, diangkatlah Gallarang Bonggong Dg. Patappo sebagai
Gallarang. Bonggong merupakan cucu dari Habai Dg. Silasa, namun tidak lama setelah
masa jabatannya sebagai Gallarang berakhir, Bonggong Dg. Patappo diasingkan oleh pihak
Belanda, sehingga pemerintahan pada masa itu ambil alih oleh Lompi Dg. Matarang
sebagai pelaksana tugas dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Habai Dg.
Silasa (cucu kemenakan). Setelah kembali dari pengasingan, Bonggong Dg. Patappo
mengambil alih kembali kepemimpinannya dan menjabat dalam waktu yang lebih lama,
kurang lebih selama 24 tahun. Masa jabatan Bonggong Dg. Patappo merupakan akhir dari
sistem Gallarang di Desa Balleangging.
Untuk pertama kali setelah peralihan dari sistem pemerintahan Gallarang ke sistem
pemerintahan desa, pelaksana jabatan (plt) Kepala Desa Balleanging dijabat oleh
Saifuddin, dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Bonggong Dg. Patappo
(kemenakan). Setelah menjabat sebagai pelaksana tugas selama kurang lebih 3 (tiga)
tahun, untuk pertama kalinya pada tahun 1965, Desa Balleanging melakukan pemilihan
kepala desa dan terpilih Bundu Boto Dg. Manggopo sebagai kepala desa yang pertama.
Pada Tahun 1965 pemerintahan Desa masih diatur oleh undang-undang yang dibuat
oleh Belanda yaitu RR dan IGO, sementara mekanisme atau cara pemilihan yang dilakukan
menggunakan undang-undang Regering Reglement (RR) Tahun 1854 Pasal 128:
“wewenang masyarakat Desa untuk memilih sendiri Kepala Desa yang dikehendaki
sesuai dengan Adat istiadat.”
Proses pemilihan kepala desa pada saat itu diawali dengan musyawarah oleh
perangkat desa dan tokoh masyarakat untuk membentuk panitia pemilihan. Panitia
bertugas mengadakan pendaftaran calon kepala desa dengan syarat; tidak buta huruf,
dapat menulis, dan cakap kelakuannya. Informasi tersebut diperoleh dari hasil wawancara
dengan Djohan Boto:
“Saat pemilihan pertama pada tahun 1965 terdapat 3 orang calon: H. Bundu, H.
Saifuddin, dan Pabottinggi. Pada tahun 1979 terjadi perubahan terkait Undang-Undang
dan mekanisme pemilihan Kepala Desa dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Desa.”9
Setelah 13 tahun kepemimpinan Djohan Boto, maka dilantiklah Muh. Syahrir sebagai
penerus nahkoda kepemimpinan di Desa Balleanging, melalui pemilihan pada Tahun 2007.
Hal tersebut diakui oleh Muh. Syahrir:
“Saat itu terdapat beberapa calon kepala Desa, yaitu: Muh. Asri, Mustaking, Muin dan
Muh. Syahri. Sementara pada periode kedua, saya bertarung dengan Kamaruddin,
Alimuddin, dan Muin, karena pada 2014 terdapat peraturan baru terkait pemilihan
Kepala Desa, di mana pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diatur terkait masa
jabatan yang menjadi 6 tahun dan Kepala Desa petahanan dapat menjabat dan
mencalonkan diri sebanyak 3 periode. Pada tahun 2020 dilakukan pemilihan kembali
dimana Muh. Syahrir mencalonkan dirinya untuk periode ketiga. Pada saat itu terdapat
4 bakal calon: Irfandi Bahri, Kamaruddin, dan Lutfi Fahrullah. Namun dalam pemilihan
tersebur M.Syahrir tidak berhasil terpilih kembali dan terpilih Irfandi Bahri sebagai
kepala Desa yang baru”.11
Jika dicermati, sejak proses pemilihan kepala desa dilakukan secara langsung, suksesi
kepemimpinan selalu diikuti lebih dari dua calon, dan tidak didominasi oleh keluarga
petahana, sehingga prosesnya masih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena
siapapun yang memenuhi syarat dapat mendaftar sebagai calon kepala desa.
2. Pandangan Masyarakat Terhadap Kepemimpinan Dinasti di Desa Balleanging
Masyarakat Desa Balleanging termasuk masyarakat yang antusias dalam
memberikan hak suara dalam pemilihan. Masyarakat Balleanging sendiri dikenal mampu
mengapresiasi dan memberi masukan terhadap adanya kebijakan disuatu kepemimpinan.
Tidak hanya itu, minat masyarakat untuk mendudukki roda kepemimpinan terlihat sangat
besar. Hal ini dapat dibuktikan disetiap masa pendaftaran calon terdapat lebih dari 2 calon
pendaftar. Masyarakat menganggap proses demokrasi yang melibatkan power keluaraga
sangat berpengaruh karena disetiap pemilihan para calon mengandalkan peran keluarga
besar, sehingga dapat dikatakan pemilihan Kepala Desa di Desa Balleanging tidak hanya
pertarungan antara individu, tetapi antara keluarga besar sang calon. Hal ini yang
cenderung manarik perhatian masyakat sehingga tertarik memberikan hak suaranya,
namun hal tersebut bukanlah faktor utama bagi masyarakat, sebab disisi lain masyarakat
lebih melihat visi, misi, dan kapasitas sang calon.
Anggapan adanya dinasti kekuasan dalam satu lingkup keluarga tidak sepenuhnya
dapat mencedarai proses demokrasi, sebab secara regulatif tidak ada larangan bagi
keluarga kepala desa untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala desa. Selain itu, proses
pemilihan kepala desa tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, meskipun tidak dapat
11
Muh Syahrir, Mantan Kepala Desa Balleanging, wawancara, Bulukumba, tanggal 10 Juni 2021.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 255
E-ISSN: 2716-0394
dipungkiri bahwa dukungan politik kepala desa tetap menjadi salah satu faktor penentu,
selain kapasitas dan visi misi calon kepala desa. Apalagi siklus kepemimpinan kepala desa
dengan garis keturunan yang pernah terjadi di Desa Balleanging dianggap memiliki kinerja
yang cukup baik. Seperti pada periode kepemimpinan Bundu Boto (1965 – 1993/28 tahun),
Bundu Boto dikenal sebagai kepala desa yang berwibawa dan mampu membangun desa,
meskipun berada pada masa transisi dari desa gaya lama menuju desa gaya baru, sehingga
dalam kepemimpinannya dapat dikatakan berhasil membawa perubahan bagi desa yang
sedang tahap pembangunan.
Pasca Bundu Boto, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Djohan Boto yang
merupakan kerabat dari Bundu Boto (periode 1993 – 2007 atau 13 Tahun). Mengikuti jejak
pendahulunya, Djohan Boto juga dianggap sebagai salah satu kepala desa yang terbilang
sukses, Djohan Boto dikenal sebagai pemimpin yang tegas dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, dan termasuk banyak meletakkan pondasi pembangunan desa, seperti
pembangunan pasar sebagai fasilitas yang mendukung perekonomian masyarakat desa
dan pemanfaatan lahan dibidang pertanian.
Pandangan masyarakat justru berbeda dalam menilai kepemimpinan Muh. Syahrir
(2007 – 2020/12 tahun). Muh. Syahrir dianggap sebagai kepala desa yang memiliki gagasan,
namun terkesan kaku dalam mengambil kebijakan, sementara gaya kepemimpinan yang
kaku tentu tidak tepat diterapkan dilevel pemerintahan desa, yang tipe masyarakatnya
masih sangat tradisionil dan kekeluargaan. Sehingga sebagian masyarakat tidak lagi
memberikan dukungan pada saat maju untuk periode ketiga, meskipun pada aspek
pembangunan Muh. Syahrir juga banyak berkontribusi.
3. Pandangan Hukum Islam Terhadap Politik Dinasti
Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem yang telah diatur dan sesuai dengan
syara’. Allah Swt. menciptakan syariat yang dilengkapi dengan bahan baku dan
insfratukturnya, sehingga apapun yang disyari’atkan tidak akan menjadi beban bagi
manusia, justru akan mendatangkan kemaslahatan. 12 Siyasah syar’iyyah merupakan
bidang keilmuan yang secara khusus mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengurusan dan aturan tentang kehidupan manusia yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan. Hukum Islam adalah suatu sistem atau kaidah-kaidah yang didasarkan pada
wahyu Allah Swt dan sunnah Rasulullah mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah
12
Abdi Wijaya. “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqasid al-Syari’ah.” al-Risalah: Jurnal Ilmu Syariah
dan Hukum 15, no. 2 (2015): 216.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 256
E-ISSN: 2716-0394
dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, dan berisfat mengikat bagi
pemeluknya13.
Hukum Islam memiliki ciri khas rasional dibekali wahyu sebagai sumber rujukan guna
menjadikan agama ini sebagai ajaran yang lurus. 14 Dalam perkembangan sejarah Islam
sendiri, keberagaman pemikiran para teoritikus melahirkan pula berbagai praktik
ketatanegaraan yang berbeda dikalangan umat Islam. 15 Dilihat dari sejarahnya, politik
dinasti juga menimbulkan polemik dikalangan fuqaha, sebab baik al-Qur’an, hadis, dan
sumber-sumber hukum Islam lainnya tidak menjelaskan secara detail bahwa
kepemimpinan dinasti bertentangan atau tidak dalam syariat Islam.
Sedangkan dalam beberapa literatur, dijelaskan bahwa politik dinasti merupakan
sesuatu yang diperbolehkan ketika konteks kepemimpinan tersebut masih dalam kriteria
dan memenuhi unsur-usur kepemimpinan menurut syariat.16 Bahkan dalam sejarah politik
Islam, terdapat sistem kepemimpinan yang dijalankan secara turun-temurun, misalnya
pada masa dinasti Muawiyyah dan dinasti Abbasiyah. Kedua sistem tersebut dianggap
sebagai cikal bakal praktik politik dinasti, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
sejarah politik Islam sesungguhnya telah memperkenalkan sistem monarki sebagai sistem
pemerintahan.17 Islam sebagai agama yang sempurna banyak mengatur etika, nilai nilai,
dan kehidupan manusia, salah satu diantaranya kepemimpinan, 18 Bahkan Islam
menempatkan posisi kepemimpinan sebagai sebagai suatu kewajiban.19
Oleh karena itu, pemimpin harus menjadi orang yang paling memahami hukum ilahi.
Bahkan setelah wafatnya para khalifah, kepemimpinan harus berada ditangan orang yang
paham hukum (faqih) dan memenuhi beberapa syarat, dan salah satunya adalah tugas
untuk menasehati dan mengajak pada hal-hal yang baik dan meninggalkan yang jahat.20
13
Zulhas’ari Mustafa. “Determinasi al-Ahkam al-Syar’iyah dalam Tradisi Hukum Islam.” al-Daulah: Jurnal
Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 1, no. 2 (2013): 31.
14
Subehan Khalik. “Menguak eksistensi Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam.” al-Daulah: Jurnal Hukum
Pidana dan Ketatanegaraan 6, no. 2 (2017): 359.
15
Usman Jafar. “Negara dan Fungsinya (Telaah atas Pemikiran Politik).” al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan 4, no. 1 (2015): 130.
16
Nurekasari dan Hamzah Hasan. “Tinjaun Hukum Siyasah Syariah Terhadap Eksistensi Lembaga Legislatif
Sebelum Dan Setelah Reformasi.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 2, no. 1 (2021):
173.
17
Anwar Sewang. Sejarah Peradaban Islam. (Parepare: STAIN Parepare, 2017): 119-132.
18
Sohra. “Etika Makan dan Minum dalam Pandangan Syariah.” al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan 5, no. 1 (2016): 22.
19
Andi Nurmayapada dan Nila Sastrawati. “Golput dan Kewajiban Memilih Pemimpinan dalam Islam.”
Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 1, no. 5 (2020): 429.
20
Halimah Basri. “Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Pemikiran Musaffir.” al-Daulah: Jurnal Hukum
Pidana dan Ketatanegaraan 7, no. 1 (2018): 8.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 257
E-ISSN: 2716-0394
KESIMPULAN
Secara historis, estafet kepemimpinan di Desa Balleanging sempat didasarkan pada
hubungan kekeluargaan, khususnya pada masa ke-Gellarang-an. Sementara pada saat
21
Kementerian Agama Republik Indonesia. al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Gema Risalah Press,
2015): 42.
22
Nata Haryanto dan Abdul Wahid Haddade. “Penggelolahan Bandan Usaha Milik Desa Ditinjau dari Hukum
Positif dan Hukum Islam.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 2, no. 1 (2021): 156.
23
Dudung Abdullah. “al-Qur’an dan Berbuat Baik (Kajian Tematik Term al-Bir).” al-Daulah: Jurnal Hukum
Pidana dan Ketatanegaraan 6, no. 1 (2017): 4.
Siyasatuna | Volume 3 Nomor 2 Mei 2022 | 258
E-ISSN: 2716-0394
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Abdullah, Dudung. “al-Qur’an dan Berbuat Baik (Kajian Tematik Term al-Bir).” al-Daulah:
Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 6, no. 1 (2017).
Andira, Ayu dan Fatmawati. “Fenomena Kotak Kosong pada Pilkada kota Makassar Tahun
2018.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 1, no. 3 (2020).
Basri, Halimah. “Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Pemikiran Musaffir.” al-Daulah:
Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 7, no. 1 (2018).
Darmawati dan Halimah Basri. “Nasionalisme dan Demokrasi dalam Pandangan Hukum
Islam.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 1, no. 3 (2020).
Haryanto, Nata dan Abdul Wahid Haddade. “Penggelolahan Bandan Usaha Milik Desa
Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Siyasah Syar’iyyah 2, no. 1 (2021).
Jafar, Usman. “Negara dan Fungsinya (Telaah atas Pemikiran Politik).” al-Daulah: Jurnal
Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 4, no. 1 (2015).
Khalik, Subehan. “Menguak eksistensi Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam.” al-Daulah:
Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 6, no. 2 (2017).
Mustafa, Zulhas’ari. “Determinasi al-Ahkam al-Syar’iyah dalam Tradisi Hukum Islam.” al-
Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 1, no. 2 (2013).
Nurekasari dan Hamzah Hasan. “Tinjaun Hukum Siyasah Syariah Terhadap Eksistensi
Lembaga Legislatif Sebelum Dan Setelah Reformasi.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 2, no. 1 (2021).
Nurmayapada, Andi dan Nila Sastrawati. “Golput dan Kewajiban Memilih Pemimpinan
dalam Islam.” Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah 1, no. 5 (2020).
Sohra. “Etika Makan dan Minum dalam Pandangan Syariah.” al-Daulah: Jurnal Hukum
Pidana dan Ketatanegaraan 5, no. 1 (2016).
Umar, Kusnadi. “Pasal Imunitas Undang-Undang ‘Corona’ dan Kewenangan Badan
Pemeriksa Keuangan Dalam Menetapkan Kerugian Negara.” El-Iqtishady: Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah 2, no. 1 (2020). https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v2i1.14044
Umar, Kusnadi dan Patawari. “Menyoal Netralitas RT/RW Pada Pilkada Kota Makassar
Tahun 2020.” PETITUM: Jurnal Magistem Ilmu Hukum Universitas Indonesia Timur 9, no.
1 (2021).
Wijaya, Abdi. “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqasid al-Syari’ah.” al-Risalah:
Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum 15, no. 2 (2015).
Buku
Agustino, Leo. Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding
Era Sentralisasi. Bandung: Widya Padjadjaran, 2011.
Kementerian Agama Republik Indonesia. al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Gema
Risalah Press, 2015).
Miriam, Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Sewang, Anwar. Sejarah Peradaban Islam. Parepare: STAIN Parepare, 2017.
Wawancara
Boto, Djohan, Ketua Lembaga Adat dan Mantan Kepala Desa Balleanging (1993-2007,
wawancara, Bulukumba, tanggal 20 Juni 2021.
Syahrir, Muh., Mantan Kepala Desa Balleanging (2007-2020), wawancara, Bulukumba,
tanggal 10 Juni 2021.