359-Article Text-2327-1-10-20190629

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID AL-BAGHDADI


(Studi Kitab Al-Amwal)

Asra Febriani & Jalaluddin


Dosen STAIN Meulaboh

Abstract

Economic thought of Abu Ubaid reflects the significance of


maintaining the society’s rights and obligations, making
justice a central principle in running the government and
building a sense of unity and shared responsibility. Abu
Ubaid also explicitly states that the government is obliged
to provide an adequate standard of living for every
individual in a Muslim society. He said that state revenue
(fai ', khumus, alms and zakat) have to be managed by the
state and allocated to the community. In term of monetary,
he states that the money have to have intrinsict value,
standard exchange rate and medium of exchange. He is of
the opinion that only dinars and dirhams that deserve to be
used as a medium of exchange because it has a stable value
so the inflation flows which adversely affect the economy of
the country can be avoided.

Kata kunci: Kitab Al-Amwal, Abu Ubaid, Ekonomi

A. Pendahuluan
Entitas pembangunan ekonomi dewasa kini dapat diamati
berjalan dengan konsep-konsep yang kapitalis. Perkembangan ini
tidak terlepas dari adanya gagasan untuk dihadirkannya pedoman
yang bersesuaian dengan zaman yang kian hari semakin terus
berkembang oleh pelaku-pelaku ekonomi secara global. Padahal bila
menilik kepada sejarah perkembangan Islam, tidak sedikit juga
kajian-kajian yang dilakukan hingga kemudian menghadirkan
pemikiran-pemikiran yang memiliki tingkat relevansi yang tinggi
untuk berjalan dan mengejar keberadaan zaman yang begitu
abstrak perubahannya. Purwaragamnya masyarakat global,
hadirnya berbagai pemikiran baru, rendahnya kepercayaan
128 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017
Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

terhadap konsep terdahulu, dapat dianulir sebagai penyebab utama


ditinggalkannya pemikiran-pemikiran tersebut.
Secara sistematis, permasalahan terkait dengan
perkembangan pemikiran ekonomi terus tarjadi dan terhadap ini,
masyarakat harus menghadirkan sebuah solusi yang lebih baru
untuk mengatasi keadaan yang secara masif merusak tatanan sosial
dikarenakan alasan-alasan ekonomi tersebut. Namun lebih lanjut,
masalah yang hari ini terjadi bukannya tidak pernah menjadi fokus-
fokus diskusi dimasa terdahulu, akan tetapi pemikiran-pemikiran
tersebut ikut tergerus oleh zaman dan terasa dilupakan. Maka dari
itu, penting untuk kembali menelaah sejarah guna menemukan
solusi-solusi dari pada masalah ekonomi tersebut. Diantara sejarah
yang juga memiliki kualitas pemecahan masalah ekomoni yang
kaliber, dapat ditemukan dalam sejarah-sejarah pemikiran ekonomi
Islam, oleh tokoh-tokoh yang telah menuangkan pemikirannya
dalam kitab-kitab secara turun temurun.
Sejarah begitu banyak melahirkan pemikir-pemikir inspiratif,
tidak hanya meninggalkan kisah kelam dimasa lalu, namun juga
mewariskan pemikiran-pemikiran monumental yang menjadi
warisan ilmu bagi generasi setelahnya. Abad klasik dan abad
pertengahan yang berlangsung begitu panjang, banyak melahirkan
tokoh-tokoh multi talenta di berbagai bidang baik di bidang
astronomi, sejarah, teknik, maupun dalam bidang pemikiran
ekonomi. Sebagian dari karya mereka, masih sangat relevan bila
diaplikasikan dalam kehidupan modern saat ini. Di antara
cendikiawan muslim di bidang ekonomi tersebutlah deretan nama
seperti Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) dengan karya
monumentalnya Kitab Al-Kharaj,Asy-Syaibani (132-189 H/750-804
M), Abu Ubaid (150-224 H), Yahya bin Umar (213-289 M), Al-
Maswardi (364-450H/974-1058 M), Al-Ghazali (450-505H/1058-1111
M), Ibnu Taimiyah(661-728 H/1263-1328 M), Al-Syathiby (790 /1388
M), Ibnu khaldun (732-808 H/1332-1406M) dan Al-Maqrizy (766-
845H/1364-1442 M).
Perkembangan Ekonomi di Indonesia sesungguhnya tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor keilmuan ekonomi saja secara
tunggal, namun juga dipengaruhi oleh hal-hal sosial, baik secara

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 129


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

sosio-kultural maupun secara sosio-politiknya. Tantangan ini


menjadi bagian hal yang harus disentuh dengan sangat hati-hati,
mengingat dampaknya terhadap pembangunan kualitas
masyarakat juga bagian yang penting dalam sebuah tatanan negara
yang makmur. Pendekatan iman dan ilmu adalah yang paling
efektif untuk mencapai sebuah pemecahan masalah dalam
menjawab tantangan ini.
Pemikiran para tokoh tersebut begitu komprehensif meliputi
banyak aspek, diantaranya berkaitan dengan mekanisme pasar,
teori inflasi, fungsi uang dan berbagai masalah lainnya. Sehingga
terhadap hal ini penulis menganggap penting untuk
menguaksebuah Jurnal dengan memfokuskan teori kepada
“Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid." Abu Ubaid merupakan satu
diantara banyak tokoh Islam yang pemikirannya menurut hemat
penulis mampu menjawab tantangan ekonomi global, jika benar
diikuti dengan baik dan sebenarnya. Selain berdasarkan kepada
Alquran dan Alhadist, konsepnya juga begitu dinamis, sehingga
mampu menyesuaikan dengan setiap perubahan yang terus terjadi
dari masa-masa.
Pentingnya sebuah kajian yang komprehensif, dapat
menghindarkan dari tumpang tindihnya sebuah konsep yang
diusung. Namun tidak demikian dengan pemikiran ekonomi ala Abu
Ubaid ini. Pemikirannya yang dinamis dapat disandingkan dengan
konsep lain, baik secara kontekstual maupun tekstual. Hal ini
dikarenakan pemikirannya secara garis besar didasarkan kepada
hal-hal mendasar saja seperti kondisi pemerintahan yang sedang
berlangsung dan asas manfaat yang dapat ditemukan oleh setiap
pelaku ekomoni kala itu, namun tidak meninggalkan esensi
keimanan dan ketaqwaan sebagai hamba Allah yang mestinya
menjaga diri daripada potensi-potensi dosa dalam setiap aktivitas
yang berkaitan dengan ekonomi tersebut.
Begitu luas sesunngguhnya ruang kaji yang harus dilakukan
untuk mengulik pemikiran-pemikiran Abu Ubaid tentang ekonomi,
namun tulisan ini diharap mampu memberi pemahaman awal
kepada khalayak, akan eksistensi pemikiran Islam juga mampu

130 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017


Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

menjawab tantangan perkembangan global yang selama ini


perlahan mulai ditinggalkan.

Mengenal Abu Ubaid


Nama lengkap Abu Ubaid adalah al-Qasim bin Sallam bin
Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi. Ia lahir pada
tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat Laut
Afghanistan. Pemikirannya di bidang fiqh dipengaruhi oleh Mazhab
Hanafi. Pada usia 20 tahun ia merantau ke berbagai kota seperti
Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Ilmu-ilmu yang
dipelajarinya antara lain Nahwu, Sharaf, qira'ah, tafsir, hadis dan
fiqih. Pada tahun 192 H, gubernur Thughur Thabit ibn Nasr ibn
Malik yang memimpin pada masa pemerintahan khalifah Harun al
Rasyid mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi(hakim) di Tarsus
hingga tahun 210 H. Ia menetap di Makkah pada tahun 219 H
sampai wafatnya pada tahun 224 H.1
Abu Ubaid merupakan seorang muhaddits (ahli hadits) dan
fuqahalegendaris. Kiprahnya selama menjabat qadi di Tarsus
sangat luar biasa. Ia memiliki kinerja yang sangat baik, hal itu
dibuktikan dengan kemampuannya dalam menangani berbagai
kasus pertanahan dan perpajakan yang rumit. Ia juga seorang
translator (penterjemah) bahasa Persia ke bahasa Arab dalam studi
terjemah kitab-kitab.Pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu
Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awza’i serta ulama suriah lainnya
pada masa ia menjadi qadi di Tarsus karena ia sering
mengutippendapatAmr dalam kitab Al-Amwal. Hal ini antara lain
dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid
terhadap permasalahan militer, politik, dan fiscal yang dihadapi
pemerintah daerah Tarsus.

B. Kitab Al-Amwal Dalam Pembahasan


Karya Abu Ubaid yang fenomenal adalah Kitab Al-Amwal
yang pembahasannya lebih luas daripada Kitab Al Kharaj karya
Abu Yusuf. Kitab al-Amwal pembahasannya fokus pada masalah

1Adiwarman A.Karim, Sejarah pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2004, h. 264

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 131


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

Keuangan Publik (Public Finance), meskipun mayoritas membahas


permasalahan administrasi pemerintahan. Kitab al Amwal
merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh
Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan,
hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab
ini memberi informasi yang sangat urgen mengenai kesuksesan
pemerintah dalam meregulasikan berbagai kebijakan seperti
keberhasilan Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz
dalam membangun sistem perpajakan yang Islami serta memberi
kemaslahatan sosial.

Ekonomi Abu Ubaid


1) Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Abu Ubaid sangat menekankan asas keadilan sebagai prinsip
utamakarena hal tersebut akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan keselarasan sosial. Menurutnya, kepentingan umum
harus didahulukan daripada kepentingan pribadi karena hal
tersebut dapat membawa kepada kemaslahatan.
Pemikiran Abu Ubaid mengenai wewenang kekhalifahan
menekankan pada pentingnya meninjau kemaslahatan sejauh tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Artinya khalifah harus
mengambil kebijakan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam
dan berdasarkan prinsip kemaslahatan bagi umat Islam.
Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan
dapat diberikan pada negara ataupun langsung pada mustahiq,
sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah,
dan jika tidak berarti kewajiban agama belum ditunaikan.
Disamping itu ia mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan
demi kepentingan publik dalam hal membagi tanah taklukan pada
para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada
penduduk setempat. Setelah memaparkan alokasi khums, ia
menyatakan bahwa seorang penguasa yang adil dapat memperluas
batasan yang telah ditentukan demi kepentingan publik. Ia juga
menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh
disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk
kepentingan pribadi, dengan kata lain perbendaharaan negara

132 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017


Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

harus digunakan untuk kepentingan publik.2Dalam hal tarif atau


persentase untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang
pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non
Muslim yang dalam terminology finansial modern disebut sebagai
"capacity to pay" dengan kepentingan golongan Muslim yang berhak
menerimanya. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap
tanah non muslim melebihi apa yang diperbolehkan dalam
perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid memiliki pandangan bahwa tarif pajak kontraktual
tidak dapat dinaikkan bahkan bisa saja turun apabila subjek tidak
mampu membayar. Lebih jauh ia menyatakan bahwa jika ada
seorang ahlu zimmahmengajukan pemohonan pembebasan hutang
dan hal itu disaksikan oleh saksi muslim, maka barang perniagaan
ahlu zimmah tersebut yang setara dengan jumlah utangnya akan
dibebaskan dari cukai (duty free). Lebih jauh ia menjelaskan bahwa
masyarakat harus memiliki kesadaran membayar kewajiban-
kewajiban seperti kharaj, jizyah, ushr dan zakat dan begitu juga
dengan petugas, mereka tidak boleh berlaku arogan dalam
melakukan pengutipan dana.
Abu Ubaid berupaya menghentikan terjadinya diskriminasi,
penindasan dalam perpajakan dan upaya penghindaran pajak (tax
evation). Pemikiran Abu Ubaid tentang kharaj berbeda dengan
pemikiran Umar bin Khattab. Ia menitik beratkan pandangannya
pada perubahan situasi dan kondisi yang menyebabkan perubahan
hukum. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
‫تغري اۡلحكام بتغري اۡلمكنة واۡلهمنة‬
"Perubahan hukum disebabkan oleh perubahan tempat dan waktu."

2) Sumber Penerimaan Keuangan Publik


Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal menjelaskan secara detil
masalah keuangan publik (public finance).Ia memaparkan dan
melakukan studi secara mendalam terhadap praktek yang
dilakukan Rasulullah dan Umar bin Khattab sebagai maestro
pengelola keuangan publik. Dengan institusi yang dinamakan

2Adiwarman A Karim, Sejarah,...h. 273

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 133


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

Baitul Mal, Umar bin Khattab mengumpulkan anggaran


pendapatan belanja negara seperti ghanimah, shadaqah dan fa’i.
Sebelum Baitul Mal dibentuk, harta-harta tersebut disimpan di
mesjid.Tak lama kemudian sumber penerimaan keuangan publik
pun bertambah, seperti kharaj, ‘ursy dan khumus.
Fa'i adalah harta benda dan tanah yang mereka serahkan
tanpa melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah firman
Allah dalam surah al-Hasyr : 6, yang artinya:
“Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk
mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak
pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan
kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya”.
Fa’i menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali,
sedang menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta
ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah
peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena Allah mengembalikan
harta tersebut kepada kaum muslimin. Menurut Abu Ubaid adalah
sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian
atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan
dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan pemerintahan
dan kesejahteraan umat.3 Bagian-bagian fa’i adalah:

1. Kharaj
Kharaj ialah tanah taklukan milik kaum kafir yang kalah
dalam peperangan dan tanah tersebut jatuh kepada umat
Islam. Tanah tersebut dimanfaatkan untuk lahan pertanian,
siapapun yang ingin menggaraap maka ia harus membayar
sewa. Pendapatan dari sewa inilah yang termasuk kedalam
ruang lingkup kharaj. Jika terjadi konfrontasi antara kaum
kafir dan muslim yang berakhir dengan perdamaian, maka
mereka membuat perjanjian untuk menentukan apakah lahan
yang diolah tetap menjadi milik non-muslim atau diserahkan
kepada umat Islam. Jika non-muslim yang mengolahnya, maka

3Abu Ubaid,Al-Amwal,…h. 24
134 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017
Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

mereka wajib membayar pajak yang disebut kharaj. Tetapi jika


tanah tersebut di olah oleh umat Islam, maka mereka wajib
membayar sewa. Biaya sewa ini juga termasuk dalam ruang
lingkup kharaj.4
2. Jizyah
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh
seorang non-muslim khusunya ahli kitab, untuk jaminan
perlindungan jiwa, properti, ibadah dan harta merdeka atau
budak yang tinggal di wilayah pemerintahan Islam. Pada masa
Rasullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas
ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala
adalah:
a. 1 dinar atau
b. 30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi’ [sapi umur 1 tahun]
c. 40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinah
d. Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan
1/5 bila menggunakan biaya.5

Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu penduduk


Najran yang beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah
akan hilang setelah masuk Islam. Persamaan antara kharaj dan
jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan
dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’i, perbedaannya
jizyah itu atas kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat
masuk Islam, dan kharaj tidak.
3. Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari
ahli harbi, rikaz, dan luqathah. Dalam
pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta
yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan
itu ghanimah, sesuai dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat
41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui
penambangan dan harta yang terpendam (rikaz).

4Alibin Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo: Maktabah al-


taufiqiyyah, t.t, h. 167
5Abu Ubaid,Al-Amwal,…h. 31-32.

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 135


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

Ketiga, khumus pada harta yang dipendam hal, sebagaimana


terjadi ketika mujahid dari as’sya’abi dimana seorang laki-laki
menemukan 1000 dinar yang dipendam di luar kota, kemudian
datang kepadanya Umar, dan Umar mengambil 1/5 dari harta
itu sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan pada orang yang
menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum
muslimin. Namun yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid
menyatakan bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar
kepada harta benda yang dipendam. Pertama, bahwa harta itu
diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang
menemukannya. Kedua, yang menemukan tidak diberikan
harta itu, namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul Mal.
Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang
menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.6
4. ‘usyr
Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu
bagian dari sepuluh. Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua
pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu sesuatu yang diambil
pada zakat tanaman dan buah-buahan (Q.S. Al-An’am :
141).7 Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir
dzimmi yang melintas untuk perniagaan.8 Pada masa pra islam,
setiap suku yang tinggal di pedesaan biasa membayar ushr jual
beli yang berkisar satu dirham dalam setiap transaksi. Setelah
kedatangan Islam, Rasulullah melakukan inovasi untuk
meningkatkan usaha tijari dengan menghapus bea masuk antar
provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Hal ini
dilakukan setelah adanya perjanjian yang ditanda-tangani oleh
suku-suku tersebut.
Ushr hanya dibebankan sekali dalam setahun. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa orang-orang Manbij
(Hierapolis) meminta izin kepada Khalifah Umar bin Khattab
untuk mmasuk ke dalam wilayah Islam untuk berdagang
dengan membayar 1/10 dari nilai barang. Setelah

6Abu Ubaid,Al-Amwal,…h. 353.


7Abu Ubaid,Al-Amwal,…h.. 243.
8Abu Ubaid,Al-Amwal,…h. 245.

136 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017


Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

bermusyawarah dengan para sahabat, Umar mengizinkan


mereka berdagang. Namun ketika Abu Musa al-Asy'ary
menginformasikan bahwa pedagang muslim juga dikenajakan
pajak 1/10 di tanah harbi, khalifah Umar memutuskan
mengenakan pajak pembelian dan penjualan yang normal
kepada mereka. Adapun kadar pengutipan bervariasi, 2,5%
untuk muslim, 5% untuk ahlu zimmah dan 10% untuk kafir
harbi dengan catatan harga barang lebih dari 200 dirham.9
Ada hal menarik dalam pembahasan tentang harta fa'i,Abu
Ubaid menyorot tentang alokasi pendapatan fa'i terhadap kaum
badui dan urban. Kedua kaum tersebut tidak dapat disamakan
kedudukannya karena perbedaan partisipasi dalam hal bela negara
dan keselarasan sosial. Kaum Badui yang tidak memberikan
kontribusi sebesar yang diberikan kaum urban, maka mereka tidak
bisa mendapat jumlah fa'i sebesar kaum urban. Dalam artian
mereka (kaum badui) tidak berhak menerima tunjangan dari
negara. Mereka hanya memiliki hak klaim dalam tiga keadaan yaitu
saat diserang musuh, saat kemarau panjang dan saat terjadi
kerusuhan (fatq).
Tunjangan terhadap kaum urban disamakan antara
tunjangan untuk dewasa dan tunjangan untuk anak-anak, yang
semua itu berasal dari harta fa'i. Perlakuan istimewa terhadap
kaum urban ini berdasarkan argumentasi bahwa kaum urbanlah
yang ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagi
kewajiban administratif dari semua kaum muslimin. Mereka juga
memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi
jiwa dan harta mereka. Disamping itu mereka juga menggalakkan
pendidikan dengan mempelajari Al-Quran dan hadits, menyebarkan
keutamaan-keutamaan menuntut ilmu, memberi konstribusi
terhadap keselarasan sosial melalui penerapan hudud serta
mewajibkan gerakan shalat berjamaah untuk membangun
persatuan dan kesatuan muslim.
Adiwarman (2004) meyebutkan bahwa dalam karyanya Kitab
al-Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan
negara (pemerintah), yakni fa’i, khums dan shadaqah,termasuk

9Adiwarman A.karim, Sejarah..., h. 71

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 137


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan


mendistribusikan kepada masyarakat.
Ibn Umar dipandang dalam hal ini sebagai rujukan untuk
memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan
pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan
kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih
dan Mu’awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam
kebingungan dalam menentukan kepada siapa mereka
membayarkan zakatnya.
Tempat pengumpulan kekayaan negara Islam yang digunakan
untuk anggaran belanja negara adalah Baitul Mal. Pada awal
perkembangan Islam, sumber utama pendapatan negara adalah
khumus, zakat, kharaj dan jizyah. Nishab, haul dan alokasinya
dijelaskan oleh Al-Quran dan Hadith Nabi SAW. Pajak yang
pertama adalah khums yang diwajibkan pada tahun ke dua
Hijriyah, kharaj pada tahun ketujuh setelah peristiwa penaklukan
tanah Khaibar. Sedangkan zakat dan jizyah diwajibkan pada tahun
ke-8 Hijriyah. Pada awal pemerintahan Islam, semua sumber
pendapatan negara dikumpulkan di masjid yang tidak hanya
berfungsi sebagai tempat ibadah saja, akan tetapi seluruh aktifitas
dakwah, strategi militer, pengajian yang langsung dipimpin oleh
Rasulullah juga dipusatkan di sini. 10
Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi)
kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq)
sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang
mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan
masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari
penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah
institusi khusus, sehingga zakat dapat dikelola dengan baik.
Pembayaran zakat secara individual tentunya akan menjadikan
pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta tujuan
akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai.

10Adiwarman A. Karim, Sejarah..., h. 99


138 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017
Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

Pada awal masa Hijrah, pengumpulan sumber pendapatan


negara dikumpulkan oleh para sahabat yang bertugas menyebarkan
ajaran Islam. Seiring semakin luasnya wilayah, pekerjaan tersebut
didistribusikan kepada sahabat-sahabat yang lain dan jumlah
petugas pengumpul dana semakin bertambah. Rasulullah
mengangkat banyak sekretaris dan pencatat administratif dan
Qadhi. pengelolaan zakat dilakukan dengan menunjuk seorang
utusan yang dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada
suatu suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus
Mu’az bin bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu
dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan
shalat dan membayar zakat. Posisi Mu’az disamping sebagai
seorang da’i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang
menarik dan menyalurkan zakat di Yaman. Untuk menggaji para
petugas tersebut, Rasululullah menggunakan kas negara.11
Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas
masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada
komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti
halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang
mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk
Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan
daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan
menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah
komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa
penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan
bermasyarakat.
Teori tentang distribusi Baitu Mal pada masa Rasulullah
bersifat sangat fleksibel dan tidak terlalu birokratis. Rasulullah
mendistribusikan dana harian yang bersifat tidak tertentu seperti
pendataan fakir miskin untuk diberikan makanan dan pakaian,
pemberian hadiah bagi muallaf selain zakat dan pengeluaran-
pengeluaran lainnya. Praktek ini tidak mengalami perubahan
signifikan sampai pada masa pemerintahan Abu Bakar. Namun

11Abdul Hay Al-Kattani, Nizham al-Hukumah al-Nabawiyah, Beirut: Dar al Ihya


al-Turats al-araby, t.t,123

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 139


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, pengaruh ekspedisi,


perluasan tanah taklukan dan bertambahnya sumber pendapatan
negara membuat Khalifah memandang perlunya dilakukan
reformasi besar-besaran mengenai administrasi negara termasuk
masalah kebijakan fiskal. Mengutip dalam Al-Amwal hal. 596:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus
bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya,
bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil
zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah,
karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima
zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika
kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar
kembali menolaknya dan berkata, •Saya tidak mengutusmu
sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk
memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan
membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka
juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin
di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun
kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh
hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar
mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan
semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan
Umar. Muadz berkata, •Saya tidak menjumpai seorang pun
yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut. (Al-
Qaradhawi, 1995).

Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di


mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke
daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami
kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian
serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami
kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ibukota negara
dipindah dari Madinah ke Kufah karena faktor politik dan sosial,
sehingga secara otomatis Baitul Mal ikut berpindah. Perpindahan
ini membawa keuntungan karena setelaah penaklukan Irak, Syiria,
Iran dan berbagai wilayah lainnya, letak Baitul Mal menjadi sangat
strategis secara geografis. Pada masa ini, Baitul Mal didirikan di
setiap provinsi.
140 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017
Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

Kembali ke pembahasan pemikiran Abu Ubaid, Abu Ubaid


sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa
pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima
zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi
terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling
penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya
serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan
kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak
memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40
dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan
pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum).
Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham
(jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada
kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga
tingkatan sosio-ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status
zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan
menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak
menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan
dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan
melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi
setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli
wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada
prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia
membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya
(pengelola) atas kebijakan Imam.12
Zakat Mal wajib dipungut dari mereka yang mampu
membayarnya, zakat ini wajib atas komoditi-komoditi seperti emas,
perak, perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-
buahan. Di zaman modern, komoditi harta yang menjadi beban
zakat menjadi lebih luas, mencakup zakat profesi, zakat atas
pertokoan yang disewakan oleh pemiliknya, zakat atas pelaku usaha
MLM yang mencapai nishab dan haulnya serta berbagai unit usaha
lain yang bisa dianalogikan dengan yang tersebut dalam al-Quran
dan hadits. Alokasi mustahiq diperuntukkan kepada delapan

12Adiwarman Azwar Karim, Sejarah … h. 278-279.

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 141


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

golongan yang Allah sebutkan dalam Al-quran. Ini merupakan


keputusan final (qath'iy) yang tidak dapat di ganggu gugat.
Perintah zakat diabadikan dalam Al-Quran surat al-Baqarah
ayat 43, At-Taubah ayat 103 dan al-An'am ayat 141, sebagai berikut:
“…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat ……” (Q.S.
Al-Baqarah : 43)
“…… dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka ……” (Q.S. At-Taubah : 103)
“…… dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(hendak dikeluarkan zakatnya) …… (Q.S. Al- An’am : 141)

3) Hak atas Kekayaan Publik


Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi
orang yang berhak atas kekayaan publik. Dengan menukil pendapat
Umar sebagaimana diriwayatkan dari Aslam, ia berkata:
“Telah berkata Umar ra bahwa tidak seirang muslim kecuali
hak atas harta menerima atau menolak, setelah itu Umar
membacakan surah (al-Hasyr : 7-10) dan berkata Umar: ayat
ini memuat semuanya (manusia) dan tidak tersisa seorang
muslim kecuali ia mendapat hak akan harta itu (harta fa’i).
Menurut riwayat Ibnu Syibah bahwa ketika Umar
membentuk dewan membagi para istri Rasulullah saw yang
dinikahi 12.000 dirham, bagian juwairiyah dan shafiyah
6.000 dirham (karena keduanya fa’i dari Allah untuk Rasul-
Nya) kaum muhajirin syahid Badar masing-masing 5.000
dirham dan kaum anshar yang syahid 4.000 dirham.”13

Selanjutnya, bahwa zakat diambil dari mereka yang kaya dan


dikembalikan kepada mereka yang berhak. Bagaimanpun
pendistribusian harta dalam Islam itu sangat penting dimana
Rasulullah telah memberi batasan, yaitu seseorang yang memikul
tanggungan (hidup) kaumnya, seseorang yang tertimpa musibah

13Abu Ubaid,Al-Amwal,…h. 237


142 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017
Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

besar dan memusnahkan harta bendanya dan seseorang yang


tertimpa kemiskinan.
Abu Ubaid pun mengkhususkan bab tersendiri mengenai
persamaan manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini,
diantaranya adalah komentar Abu Bakar ra, ketika datang
kepadanya harta (fa’i/ghanimah) ia menjadikan (bagian) manusia
sama, dan berkata: “Aku menginginkan terhindar dari meminta-
minta dan memurnikan perjuangan (jihad) ku bersama Rasulullah
saw, kelebihan mereka adalah di sisi Allah, adapun dalam hidup ini
persamaan adalah hal yang baik.”14
Dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khumus
(khumus ghanimah, khumus, barang tambang dan rikaz serta khumus
lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah saw dan
pendistribusiannya kapan dan untuk siapa tentu juga dengan
ketentuan Rasulullah. Karena dana-dana publik merupakan kekayaan
publik, maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik seperti
kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya.

4) Kebijakan Pemerintah mengenai Tanah Pertanian


Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan
kepemilikan publik. Pemikiran Abu Ubaid yang khas dalam konteks
kepemilikan adalah mengenai hubungan antara kepemilikan
dengan kebijakan perbaikan pertanian.Abu Ubaid secara implisit
memaparkan bahwa pemerintah harus mengeluarkan regulasi
terhadap kepemilikan tanah tandus dan iqta'(enfeoffment) tanah
gurun agar bisa dimanfaatkan oleh setiap individu untuk
meningkatkan produksi pertanian dan tanak tersebut harus
dibebaskan dari pajak. Akan tetapi jika dibiarkan menganggur
selama 3 tahun berturut-turut, pemerintah berhak menarik kembali
dan memberi denda bagi yang menelantarkannya.
. Iqthaialah tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada
seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan
mengabaikan yang lainnya. Abu Ubaid mengklasifikasikan tanah
mana saja yang bisa dijadikan iqta dan yang tidak bisa diiqtha’kan.
Biasanya setiap daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama,

14Abu Ubaid,Al-Amwal,…h. 277.

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 143


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah


itu diserahkan kepada kepala negara, begitu juga setiap tanah yang
mati (tidak digarap). Umar ra mengirim surat kepada Abu
Musa,“Jika tanah itu bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku
akan meng-’iqtha tanah itu baginya”. Di sini jelas bahwa ‘iqtha itu
terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah,
Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasulullah meng-
’iqtha-kan tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan
pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah ‘iqtha-kan
kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya.
Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasullah meng-’iqtha-kan
kepada Zubair.
Dari Muhammad bin Ubaidillah as-Tsaqafi keluar, disebutkan
orang Nafi’ Abu Abdillah. Ia berkata kepada Umar ra, “Sebelum
kami memiliki tanah di Basrah yang tidak termasuk tanah kharaj
dan tidak merugikan seseorang dari kaum muslimin. Jika engkau
memandang perlu meng-’iqtha-kan, maka aku lakukan, aku hanya
mengambil satu petakan untuk perlu meng-’iqtha-kan, maka
lakukanlah, aku hanya mengambil satu petakan untuk kudaku
saja”. Lalu Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Jika
tanah itu seperti yang diceritakan maka petakanlah baginya.”
Dari penjelasan di atas, mengenai ‘iqtha hendaknya
pemerintah menurut Abu Ubaid tidak meng-’iqtha tanah kharaj.
Alasannya karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif
memberikan hasil dan menambah devisa negara. Dan di sisi lain
dengan mempetakan tanah bukan kharaj dapat memberikan
manfaat untuk bagi para pengembalaan hewan ternak, dimana hal
ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama
pentingnya dengan masalah pertanian. Adapun dalam hal
menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus,
tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan
membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam
kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini
negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya
milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan
umat.

144 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017


Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

Dalam hal ihya’ al-amwat Abu Ubaid mengklasifikasikan


dalam tiga jenis:
1. Seseorang datang ke tanah tersebut lalu mengelola dan
mendiaminya, kemudian datang orang lain yang
mempebaharui tanaman dan bangunan agar menjadi haknya
tanah yang dikelola oleh orang sebelumnya. Dalam hal ini
perbuatan orang itu disebut al-irrqi al-Zhalim; perbuatan atas
sesuatu yang bukan haknya dan ingin memilikinya. Adapun
yang berhak atas tanah itu adalah yang mengelola lebih awal,
seperti hadis riwayat Abu Hisyam, Rasullah saw
bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka
tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi
zhalim”.
2. Kepala negara meng-’iqtha-kan kepada seseorang tanah mati
dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha’, kemudian orang
itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan mendiaminya
sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta
menyangka tanah ini tidak ada yang mengurusi. Dalam hal
ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar
ra, terhadap orang yang telah memperoleh tanah iqtha’ pada
masa Rasullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada masa
kekhalifahan Umar ra, dan tanah itu digarap oleh orang lain,
dengan berkata: “Kalau bukan ‘iqtha dari Rasullah aku tidak
akan memberimu sedikitpun”.
3. Jika seseorang membangun tembok tanah apakah
dengan ‘iqtha dari pemerintah atau tidak kemudian
meninggalkannya pada waktu yang lama dengan tidak
mendiaminya. Abu Ubaid berkata: “Pada sebagian hadist dari
Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang
lain utnuk mendiami tempat tersebut”. Maka dari ketentuan
Umar ini mengandung arti, jika telah melewati masa tiga
tahun dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang
memutuskan dan dibolehkan bagi kepala Negara untuk
menyerahkan kepala yang lain, yang mampu dan bisa
menempatinya.

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 145


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

Persoalan himayaitu lahan yang tidak berpenduduk yang


dilindungi negara untuk tempat mengembala hewan-hewan
ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat
perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh
seluruh umat hasil yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput
dan tanaman, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Orang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi
mereka keleluasaan air dan rumput”.15
Menurut pandangan Abu Ubaid sumber daya publik seperti
air, padang rumput dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima
(tanah pribadi). Semua sumber daya ini dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat.

5) Fungsi Uang16
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yaitu sebagai
standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of exchange). Dalam
memaparkan teori tentang uang ia memaparkan bahwa emas dan
peraklah yang dapat diakui sebagai alat tukar karena keduanya
memiliki nilai intrinsik dan nilai nominal yang sama sehingga
keduanya sangat layak bila dikonversikan dengan objek yang lain.
Ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas
dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda
tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan
memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai
atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu
Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value)
dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi
tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum
tahunan yang wajib terkena zakat.
Abu Ubaid mengungkap sebuah bab khusus yang membedakan
kitab al-Amwal dengan kitab-kitab lainnya, yaitu pada

15Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik

Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2010, hal. 152-154


16Adiwarman Azwar Karim, Sejarah,…h. 279-280

146 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017


Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

pembahasantimbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam


menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta
benda.Juga pembahasan tentang khalifah Abdul Malik bin Marwan
dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada
dalam sirkulasi.
Wawasan Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab al-Amwal
menggambarkan bahwa ia adalah pelopor pemikir ekonomi mazhab
klasik diantara para penulis public finance lainnya. Langkah dan
pemikirannya diikuti oleh para pemikir yang lain seperti Yahya bin
Adam bin Sulaiman dan Abu al-faraj Zayn al-Din Abdurrahman bin
Ahmad bin Rajab al-Sulamy al-hanbali (w. 795 H)
Dalam karya monumentalnya, Abu Ubaid tampak jelas berusaha
untuk mengartikulasikan ajaran Islam dalam aktifitas kehidupan
manusia. Inti dari doktrinnya adalah pembelaan terhadap
pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna
mungkin. Menurut Abu Ubaid, pemberian hibah dalam berbagai
bentuknya dalam yang dilakukan negara atau penguasa terhadap
seseorang atau sekelompok orang harus berdasarkan pada besarnya
pengabdian yang diberikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, Abu
Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya
menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok
masyarakat lainnya harus dihindari negara semaksimal mungkin.
Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara agar selalu
dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak
kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga menggangu
atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan
perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara
hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan esprit de corps,
rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu
Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib
memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap
individu dalam sebuah masyarakat Muslim.17Sehingga dalam

17AdiwarmanA.karim, Sejarah…,h. 281

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 147


Jurnal Syari'ah Juli – Desember 2017

pandangannya ini dapat juga menjaga ukhuwah antara umat dan


umara yang hidup dalam suatu tatanan masyarakat.

C. Penutup
Pemikiran-pemikiran ekonomi Abu Ubaid merefleksikan
perlunya memelihara dan mempertahankan hak dan kewajiban
masyarakat, menjadikan keadilan sebagai prinsip utama dalam
menjalankan roda kebijakan pemerintah serta menekankan rasa
persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu Ubaid
juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib
memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap
individu dalam sebuah masyarakat muslim. Abu Ubaid mengatakan
bahwa penerimaan negara (fai', khumus, shadaqah dan zakat) wajib
dikelola negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat.
Menuriut Abu Ubaid uang harus memiliki nilai intrinsic sebagai
standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of exchange). Ia berpandangan
bahwa hanya dinar dan dirham yang layak digunakan sebagai alat
tukar karena memiliki nilai yang stabil sehingga bisa menghindari
arus inflasi yang berakibat buruk bagi perekonomian negara.

148 JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017


Juli – Desember 2017 Jurnal Syari'ah

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, DR. Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa


Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta:Gramata Publishing.
2010.

Al Qasim, Abu Ubaid. Kitab al Amwal, Beirut: Dar al Fikr. 1988.

Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti


Tamu FEM IPB dalamshariaeconomicforum, 2012.

Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro.


Jakarta:Karim Business Consulting. 2001.

Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:


Rajawali Pers. 2004, 2006, 2008.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN


Jogja, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaWali Press. 2009.

Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz


Zakat). Jakarta:Pustaka Litera AntarNusa. 2004.

Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan


Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan Pertama.
Yogyakarta:Pusat Studi Zakat (PSZ). 2004

Sukarno Wibowo, S.E., M.M dan Dedi Supriadi, M.Ag., Ekonomi


Mikro Islam, Bandung: Pustaka Setia 2013.

JURISPRUDENSI IAIN LANGSA, Vol. IX, No. 2, Tahun 2017 149

Anda mungkin juga menyukai