Jurnal Fikih

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Kaidah Amr Dan Nahi dalam Al-Qur’an Sebagai Pedoman Penetapan

Hukum Dalam Kehidupan

Suci Endrizal

Universitas Islam Negeri Syech M.Djamil Djambek Bukittinggi

[email protected]

Abstrak

Islam mengatur segala hal dengan terperinci terutama dalam masalah aqidah,
hukum dan akhlak. Aturan-aturan yang ditetapkan oleh islam dapat ditemukan dengan
mengkaji dan menelaah Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk melaksanakan perintah perintah
agama Islam tersebut dioptimalkan kepada tata aturan dan ketentuan hukum Islam yang
berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Hal ini secara universal bahwa
setiap muslim berkewajiban bertingkah laku dalam seluruh aktivitas kehidupan manusia,
dengan demikian setiap muslim hedaklah memperhatikan tingkah laku yang menyangkut
perintah dan larangan serta kehalalan dan keharaman dalam menjalani kehidupan.

Kata kunci: al-Amr, al-Nahi, Al-Qur’an, Sunnah, Hukum

Abract

Islam regulates everything in detail, especially in matters of aqeedah, law and morals,

the rules set by Islam can be found by studying and studying the Koran and Sunnah to

carry out Islamic religious orders. Sunnah, this universally means that every Muslim is

obliged to behave in all activities of human life, thus every Muslim should pay attention

to behavior related to orders and prohibitions as well as halal and haram in living life.
Key word: al-Amr, al-Nahi, Al-Qur’an, Sunnah, law
Pendahuluan

Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur segala hal dengan terperinci
terutama dalam masalah aqidah, hukum dan akhlak. Aturan-aturan yang ditetapkan oleh
islam dapat ditemukan dengan mengkaji dan menelaah Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk
melaksanakan perintah perintah agama Islam tersebut dioptimalkan kepada tata aturan
dan ketentuan hukum Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw. Hal ini secara universal bahwa setiap muslim berkewajiban bertingkah laku dalam
seluruh aktivitas kehidupan manusia, dengan demikian setiap muslim hedaklah
memperhatikan tingkah laku yang menyangkut perintah dan larangan serta kehalalan dan
keharaman dalam menjalani kehidupan.

Al-Qur’an yang diturunkan dari Allah dan diterima oleh Nabi Muhammad saw,
adalah pedoman bagi umat manusia agar dapat menjalani kehidupan sesuai dengan
petunjuk-Nya. Apabila Al-Qur’an difungsikan sebagai pedoman hidup di dunia dan
pedoman untuk mencapai kebahagiaan di akhirat maka harus dibaca dan dipahami
perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya. Pada masa awal diturunkannya Al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad saw Ketika beliau masih hidup umat islam tidak
kesulitan untuk mengetahui maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, setelah ilmu islam
berkembang umat islam mulai mempelajari ilmu-ilmu bantu seperti kaidah-kaidah bahasa
Arab, dan kaidah-kaidah tafsir untuk dapat memahami maksud dan kandungan dari ayat-
ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah dan larangan.

Dalam jurnal ini penulis akan memaparkan kaidah Amr dan Nahi, bentuk-
bentuknya sera cara menggunakan kaidah Amr dan Nahi dalam pelaksanaan kehidupan
sehari-hari, diarahkan pada upaya pengalamalan hukum yang terdapat dalam syariat
Islam yang diarahkan pada masalah yang berkaitan dengan perintah dan larangan guna
memahami hukum yang terdapat didalamnya.

Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan berbentuk library research, yaitu Teknik
pengumpulan data dan informasi bersumber dari buku dan karya-karya tulis sebelumnya,
yang kemudian dibahas, dipahami, dan ditarik kesimpulannya.

Pembahasan

A. Al-Amr (Perintah)
1. Pengertian Al-Amr

Al-Amr artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Dengan kata lain berarti
menuntut untuk mengerjakan sesuatu dalam membuatnya.1 Al-amr berarti tuntutan
memperbuat dari atasan kepada bawahan. Dari pengertian al-amr tersebut
menunjukkan bahwa dalam arti suruhan, dapat berarti orang yang menyuruh itu ebih
tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, dapat pula tidak diperlukannya yang
menyuruh itu harus lebiih tinggi derajatnya daripada yang disuruh. Sebagian ulama
menyaratkan bahwa yang menyuruuh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang
yang disuruh.2

2. Bentuk-bentuk lafaz yang mengandung amr


a. Menggunakan sihghat amr

Menggunakan sighat amr contohnya terdapat pada QS. Al-Baqarah 43

ِِ َّ ‫َواَ قِْي ُمو‬


َّ ‫االص ٰلوةَ َواٰ تُو‬
َ ْ ‫االزٰكوةَ َوا ْرَكعُ ْوا َم َع الرٰكع‬
‫ي‬
(dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang

ruku’). Contoh lafaznya terdapat pada ‫واَ قِْيمو‬


ُ َ
b. Menggunakan sihghat mudhari’

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1975), h. 17


1
2
A. Hanafie, Ushul Fiqh (Cet. VII Jakarta: Widjaya, 1981)
Menggunakan sighat mudhari’ yang dimasuki lam amr contohnya terdapat
pada QS. Ali Imran 104

ِ ْ ‫َولْتَ ُك ْن ِمْن ُك ْم اَُّمةٌ يَّ ْدعُ ْو َن اِ ََل‬


َ ِ‫اْلَِْْي َو ََيْ ُم ُرْو َن ِِب لْ َم ْع ُرْوف َويَْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمْن َك ِر ۗ َواُ وٰلٰٓئ‬
‫ك ُه ُم‬
‫الْ ُم ْفلِ ُح ْو َن‬
(dan hendaklah diantara kamu segolongan umat menyeruh kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang ungkar, merekalah

orang-orang yang beruntung). Contoh lafaznya yaitu ‫ن‬


ْ ‫ولْتَ ُك‬ َ
c. Menggunakan jumlah khabariyah (kalimat berita) yang dimaksudkan sebagai
kalimat yang mengandung tuntutan (amr).

Menggunakan kalimat berita contohnya terdapat pada QS. Al-Baqarah 228

ْۤ
‫ص َن ِِبَ نْ ُف ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُ ُرْٰٓوء ۗ َوَل ََِيل ََلُ َّن اَ ْن يَّكْتُ ْم َن َما َخلَ َق ٰاللُ ِ ْف اَْر َحا ِم ِه َّن‬ ُ ‫َوا لْ ُمطَلَّ ٰق‬
ْ َّ‫ت يََََت ب‬
ۗ ‫ص َل ًحا‬ ِ‫ال ِخ ِر ۗ وب عولَت ه َّن اَحق بِرِد ِه َّن ِف ٰذلِك اِ ْن اَرا د ْۤوا ا‬ ٰ ْ ‫اِ ْن ُك َّن يُ ْؤِم َّن ِِب ٰللِ َوا لْيَ ْوِم‬
ْ ُْ َ َ ْ َ َ ُ ُ ُْ َُ
‫ف ۗ َولِ ِلر َجا ِل َعلَْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َوا ٰللُ َع ِزيٌْز َح ِكْي ٌم‬ ِ ‫وََل َّن ِمثْل الَّ ِذي علَي ِه َّن ِِب لْمعرو‬
ُْ ْ َ َْ ْ ُ ُ َ
(wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru’)3

3. Kaidah Amr

Kaidah amr yaitu ketentuan-ketentuan yang dipakai mujtahid dalam


memberikan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah Amr dalam 5 bentuk:

Kaidah pertama

Pada dasarnya amr (perintah) itu menunjukkan kepada wajib

Maksudnya yaitu jika ada dalil Al-Qur’an ataupun Hadist yang menunjukkan perintah
wajib apabila tidak dkerjakan perintah tersebut maka berdosa, kecuali dengan sebab ada

3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabay, 1377 H/1958 M), h. 139
qarinah, diantaranya yaitu nabd (anjuran), irsyad (membimbing), ibahah (boleh
dikerjakan atau boleh ditinggalkan), tahdid (mengancam), takshir (menghina dan
merendakan derajat), ta’jiz (menunjukkan), taswiyah (penyamaan), takdzib (pendustaan),
talhif (membuat sedih atau merana), takwin (penciptaan), dan lainnya.4

Kaidah kedua

Perintah itu pada dasarnya tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan


perintah)

Maksud kaidah ini adalah bahwa suatu perintah itu apabila sudah dilakukan, tidak perlu
diulang kembali. Contohnya dalam mengerjakan ibadah haji wajib dikerjakan sekali
seumur hidup. Kaidah ini dapat digunakan dalam semua kewajiban. Dalam kaidah ini
tidak dapat berdiri sendiri, namun perlu diperhatikan adanya illat, sifat dan syarat. Maka
amr (perintah) tersebut harus dikerjakan berdasarkan illat, sifat, dan syarat.

Hukum dilaksanakan berdasarkan illat, contohnya, perintah Allah melakukan hukum dera
bagi laki-laki dan perempuan ghairu muhsan ketika melakukan zina berulang kali. Tetapi
apabila hanya sekali melakukan zina maka deranya hanya sekali, perintah dera tersebut
sesuai dengan kondisi sebabnya, perzinaan.

Kaidah ketiga

Perintah itu pada dasarnya tidak menunjukkan pada kesegeraan

Sesungguhnya perintah akan sesuatu tidak harus selalu disegerakan mengerjakan. Sebab
melaksanakan perintah tidak terletak pada kesegerannya, namun berdasarkan pada
kesempurnaan dan kesiapan untuk melakukannya, tidak dilihat dari penghususan waktu
pelaksanaannya. Contohnya, perintah untuk melakukan ibadah haji tidak harus segara
dilaksanakan, namun menunggu kemampuan dan kesanggupan seseorang untuk
melaksanakannya.

4
Mukhtar Yahya, Fatchurrahrnan, Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqhisom, (Bandung: Al-Ma’rif 1986),
h. 175
Kaidah keempat

Perintah terhadap suatu perbuatan, perintah juga terhadap perantaranya (wasilahnya)

Maksud kaidah ini adalah bahwa hukum perantara (wasilah) suatu yang diperintahkan
berarti juga sama hukumnya. Contoh: seseorang diperintahkan melaksanakan shalat,
maka hukum mengerjakan wasilahnya yaitu wudhu bagi seseorang tersebut sama
kedudukannya sebagai perintah.

Kaidah kelima

Perintah sesudah larangan berarti diperbolehkan mengerjakan kebalikannya.

Maksudnya adalah sesudah dilarang mengerjakan kemudian diperintahkan mengerjakan


berarti pekerjaan tersebut boleh dikerjakan. Contoh, pada awalnya tidak diperintahkan
(wajibkan) ziarah kubur, namun pada akhirnya diperintahkan untuk ziarah kubur, maka
perintah ziarah kubur tersebut boleh (mubah).5

B. Nahi (Larangan)
1. Pengertian nahi

Menurut bahasa nahi artinya larangan. Sedangkan menurut istilah nahi adalah
tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah
(kedudukannya). Yang lebih tinggi kedudukannya dalam hal ini adalah Allah swt.
Yang lebih rendah adalah manusia (mukallaf). Jadi nahi itu adalah larangan Allah
swt. Larangan-larangan Allah swt itu terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist.

Dengan demikian, al-nahi merupakan suatu pernyataan yang bermakna adanya


suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kepada yang lebih rendah. Apabila ada kata yang mengandung larangan yang tidak
sesuai dengan qarinah, maka tentu secara logika kita dapat memahami bahwa
keharusan yang diminta adalah larangan, jadi nahi dapat dipahami tuntutan untuk

5
Abd al-Wahhab Khallaf, lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.
th.), 21.
meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan dari orang yang lebih tinggi
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. 6

2. Kaidah memahami al-Nahi


Dalam bahasa Arab bentuk sighat nahi ada banyak macamnya, diantara sebagai
berikut:
a) Asal pada larangan untuk haram. Ini menunjukkan pada dasarnya, setiap masalah
yang sunyi dari qarinah yang menunjukkan pada arti hakiki yaitu haram, seperti
dalam QS al-Isra (17):32, yaitu:
ْۤ
‫الز ٰٰن اِنَّهٗ َكا َن فَا ِح َشةً ۗ َو َسآٰءَ َسبِْي ًل‬
ِ ‫َوَل تَ ْقربُوا‬
َ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji,
dan suatu jalan yang buruk.”
b) Larangan sesuatu, suruhan bagi larangan (dilarang mengerjakan sesuatu berarti
perintah mengerjakan lawannya), jadi jika dilarangan melakukan sesutu
lakukanlah yang berlawanan dari larangan tersebut. Misalnya, dilarang duduk
ditaman, maka tidak duduk ditempat lain, selain di taman.
c) Larangan yang mutlak. Larangan seperti ini ada untuk dijauhi selama-lamanya,
secara mutlak dilarang karena akan membawa kebinasaan, misalnya larangan
jangan mendekati anjing gila, karena dapat membahayakan dan membinasakan.
d) Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadat. Untuk
mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan ibadah, harus
menjauhi larangan dan mengerjakan perintah.
e) Larangan dalam urusan muamalat. Apabila larangan itu kembali kepada akad itu
sendiri bukan kepada yang lain, sebagaimana dilarang menjual anak hewan yang
masih berada dalam kandungan induknya.

Untuk menentukan kedudukan suatu larangan berkonotasi hram atau makruh, berikut
beberapa kriterianya:

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (cet.I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 317
1. Kriteria al-nahi merujuk pada haram
• Adanya larangan
• Qarinah lain menyebutkan bahwa orang yang melakukan sangat tercela, dan
sebaliknya orang yang meninggalkan sangat terpuji.
• Orang yang melakukan mendapat siksaan dan yang menjauhi mendapat
kenikmatan.
• Nabi tidak pernah ditemui melanggar larangan itu dalam keadaan sengaja.
2. Kriteria al-nahi menunjuk pada makruh
• Adanya larangan.
• Orang yang melakukan dicela, dan sebaliknya orang yang meninggalkan
dipuji.
• Orang yang meninggalkan mendapat pahala dan yang mengerjakan tidak
disiksa.
• Nabi pernah melanggar perintah itu secara sengaja.7

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa al-amr adalah perintah, perintah yang diberikan oleh yang lebih
tinggi derajatnnya daripada yang diperintah, dalam hal ini yang lebih tinggi derajatnya
itu adalah Allah, sedangkan al-nahi adalah kebalikan al-amr yaitu artinya larangan,
larangan yang diberikan oleh yang lebih tinggi derajatnya dari yang dilarangan. Apabila
ada larangan yang dijelaskan dalam al-Qur’an yang diperintahkan oleh allah dan
memenuhi kaidah-kaidah larangan tersebut maka kita wajib menjauhinya dan
mengerjakan kebalikan dari larangan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafie, Ushul Fiqh. (Cet. VII Jakarta: Widjaya, 1981)


Muhammad Abu Zahrah.1377 M. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabay
Amir Syarifuddin.1997. Ushul Fiqh. cet.I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu

7
Kartini, penerapan al-amr al-nahi dan al-ibahah, dalam jurnal al-Adl’, vol.9, no.1, januari (2016), h. 20-
36
Abd al-Wahhab Khallaf. lihat Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-
Fikr al-‘Arabi
Mukhtar Yahya, Fatchurrahrnan. 1986. Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqhisom.
Bandung: Al-Ma’rif
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah. 1975. Ushul Fiqh. Bairut: Dar al-Masyriq
Kartini. penerapan al-amr al-nahi dan al-ibahah, dalam jurnal al-Adl’, vol.9, no.1, januari
(2016), h. 20-36

Anda mungkin juga menyukai