Modul Fiqh Kelas Xii Reguler

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 62

MODUL FIQIH

KELAS XII

O
L
E
H

SHIDQIYAH SYAFRIDAH, S. Ag
NIP. 19790518 200501 2 00 5

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 JOMBANG


TAHUN PELAJARAN 2022-2023
BAB VI

AL AMRU DAN AN NAHYU

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi secara
efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan
lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar
1.6. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah amar
dan nahi
2.6. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah amar dan nahî
3.6. Memahami ketentuan kaidah amar dan nahî
4.6. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah amar dan nahi dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik
dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih amar dan nahî
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih amar dan nahî
7. Menganalisis kaidah pokok fikih amar dan nahî
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah amar dan nahî
C. Materi Pokok
Al- Amru dan An – Nahy

1. AL AMRU
a. Pengertian Al Amru (perintah) dan contohnya

Definisi Amr (perintah ) adalah :

‫ طلب الفعل من األعلى إلى األدنى‬: ‫األمر‬


“Al Amru adalah tuntutan melakukan suatu pekerjaan dari yang lebih tinggi kedudukannya
kapada yang lebih rendah kedudukannya”.
Pada masalah amar, yang lebih tinggi kedudukannya adalah syari’ (Allah atau Rasul-Nya) dan
kedudukan yang lebih rendah adalah mukallaf. Jadi amar adalah perintah Allah atau Rasulnya
kepada mukallaf untuk berbuat suatu pekerjaan.

b. Sighat ( redaksi kata) Amar

Amar (perintah) bisa dinyatakan dengan beberapa sighat (redaksi kata), yaitu :
1) Dengan menggunakan Fi’il Amr
Contoh :
‫وَأِقيُم وا الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َكاَة َو اْر َك ُعوا َم َع الَّراِكِع يَن‬
“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang
rukuk.” (QS Albaqarah: 43)
2) Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amr :
Contoh :
(٦٣ : ‫ )النور‬.. ‫َفْلَيْح َذ ِر َاَّلِذ ْيَن َيَخ اِلُفْو َن َع ْن َأْم ِر َه‬
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut” (QS. An Nur : 63)
3) Isim Fi’il Amar
Contoh :
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا عََلْيُك ْم َأْنُفَس ُك ْم اَل َيُضُّر ُك ْم َم ْن َض َّل ِإَذ ا اْهَتَد ْيُتْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk… (QS Almaidah:105)
4) Isim Masdar pengganti fi’il
Misal kata : ‫ = إْح َس اًنا‬berbuat baiklah
Contoh :
‫َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِإْح َس اًنا‬
“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah.” (QS Albaqarah: 83)
5) Kalimat berita (kalam khabar) bermakna Insya (perintah)

Contoh :

‫َو ْالُم َطَّلـَقاُت يََتَر َبْص نَ ِبَاْنُفِس ِهَّن َثَالَثَة ُقُرْو ٍء‬
“perempuan- perempuan yang telah dicerai itu Hendaklah menahan dirinya 3 x suci dari
haid (iddahny).” (QS. Albaqarah: 228)
6) Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
‫َو َجَب‬، ‫ َكَتَب‬،‫ َفَر ض‬، ‫َأَم َر‬
Contoh :
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنواُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم اُك ِتَب َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقْو َن‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan
kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS Albaqarah: 183)

c. Kaidah-Kaidah Amar ( Dilalatul Amri )

1) Amr menunjukkan kepada wajib


‫َاَألْص ُل ِفى ْاَألْم ِر ِلْلُوُجْو ِب‬
“Pada asalnya amar itu menunjukkan wajib”
Menurut akal adalah orang-orang yang tidak mematuhi perintah dinamakan orang yang ingkar,
Misalnya: sholat dan membayar zakat dan lain-lain.
sedangkan menurut naqal, seperti firman Allah SWT.
)24: ‫أسجدوا ألدم فسجدوا اال إبليس (البقرة‬
‘ sujudlah kamu sekalian kapada Adam, kemudian mereka bersujud, kecuali Iblis “. (Al-
Baqarah: 24)
2) Amr menunjukkan kepada sunnah
‫َاَألْص ِفى ْاَألْم ـِر ِللَّنْد ِب‬
‫ُل‬
“Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab (sunnah)”

Amr di sini menunjukkan kepada sunnah, seperti Firman Allah:


‫ۗ َفَك اِتُبْو ُهْم ِاْن َع ِلْم ُتْم ِفْيِهْم َخْيًرا َّو ٰا ُتْو ُهْم ِّم ْن َّم اِل ِهّٰللا اَّلِذ ْٓي ٰا ٰت ىُك ْم‬
“ Hendaklah kamu buat perjanjian (menebus diri ) dengan mereka (hamba sahaya ), jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka (QS Annur: 33)

Seperti sabda Rasulullah SAW : “jika tidaklah memberatkan terhadap umatku, sungguh aku
perintahkan kepada mereka menggosok gigi setiap akan melaksanakan salat” (HR Bukhari).

3) Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang


‫ِض‬ ‫ِف‬
‫َاَألْص ُل ى ْاَألْم ِر َال َيْق َت ى الَّتْك َر اَر‬
“Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki pengulangan”
Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (perintah cukup sekali
untuk selamanya). Hal itu karena tuntutan dalam bahasa Arab lazimnya cukup hanya sekali saja,
yang terpenting terlaksananya hal yang diperintahkan. Namun jika di situ terdapat qarinah yang
menunjukkan perintah untuk mengulangi, maka pengertiannya diambil dari qarinah bukan dari
bentuk amar itu sendiri. Contohnya ketika seseorang berkata, “shalatlah” atau “puasalah”. Ini
adalah tuntutan untuk melaksanakan shalat wajib setiap hari lima waktu atau puasa setiap bulan
Ramadhan. Jika telah melaksanakan shalat satu kali atau puasa satu kali, berarti ia telah
melaksanakan tuntutan.
Menurut jumhur ulama’ perintah itu tidak menunjukkan apakah yang diperintah itu
cukup dilakukan satu kali atau berulang kali, jadi jika perbuatan itu dilakukan maka perintah itu
juga harus dikerjakan . contoh :

)6: ‫و إن كنتم جنبا فا طهروا ( المائدة‬


“ dan jika kamu junub maka mandilah “(Aal- Maidah : 6)

4) Amr tidak menunjukkan untuk bersegera


‫ِض‬ ‫ِف‬
‫َاألْص ُل ى ْاَألْم ِر َال َيْق َت ى ْالَف ْو َر‬
“Perintah pada asalnya tidak menghendaki kesegeraan”.

Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak
ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah
terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Dalam kewajiban yang dibatasi dengan waktu, dapat
diambil pengertian “segera” dari batasan waktu untuk kewajiban yang habis dengan habisnya
waktu itu, seperti firman Allah Albaqarah: 148.
)148: ‫فا استبقوا الخيرات (البقرة‬
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
5) Amr dengan wasilah-wasilahnya
‫َاْال ِبالَّش َأ ِب اِئِلِه‬
‫ْم ُر ْئ ْم ٌر َو َس‬
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya”.

Perintah mendirikan sholat berarti juga perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah
(jalan kepada) sahnya sholat. Oleh karena itu, perintah shalat berarti juga perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama’ menetapkan kaidah: “tiap-tiap perkara yang
kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula”.
6) Amr yang menunjukkan kepada larangan

‫َاْال ِبالَّش ْه َع ِض ِّد ِه‬


‫ْم ُر ْئ َن ٌي ْن‬
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya”.

Maksudnya, jika seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mestinya dia


meninggalkan segala kebalikannya. Misalnya, disuruh beriman, berarti dilarang kufur.
Contoh :
) 92 : ‫وأطيعوا هللا وأطيعو الرسول واحذروا (المائدة‬

7) Amr menurut masanya


‫ِاَذا ُفِع ْا ْأُمْو ُر ِبِه َعَلى َو ْج ِه ِه ْخَيُرُج ْا ْأُمْو ُر َعْن َعْه َد ِة ْاَالْم ِر‬
“Apabila dikerjakan yang
‫َمل‬
diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa
‫َل َمل‬
perintah itu”.
Misalnya: Seseorang yang telah melaksanakan suatu perintah dengan sempurna pada masanya,
maka terlepas dia dari tuntutan pada masa itu. seperti keadaan musafir yang tidak memperoleh
air untuk berwudu hendaklah dia bertayamum sebagai pengganti wudu.
8) Qadha dengan perintah yang baru

‫َاْلَق َض اُء ِبَأْم ٍر َج ِدْيًد‬


“Qadha itu dengan perintah yang baru”.
Maksudnya, suatu perbuatan yang tidak dapat dilaksanakan pada waktunya harus dikerjakan
pada waktu yang lain (qadla’). Pelaksanaan perintah bukan pada waktunya ini berdasarkan pada
perintah baru, bukan perintah yang lama. Misalnya: qadla’ puasa bagi yang mengalami udzur
pada bulan ramadhan, tidak dikerjakan berdasarkan ayat 183 surah Albaqarah :(‫كتب عليكم الصيام‬
...) tetapi berdasarkan pada perintah baru, yaitu firman Allah surah Albaqarah ayat 184:(... ‫فعـدة‬
‫) من ايام اخر‬
9) Martabat amr
‫َاَاْل ْا َّل َلى ْاِال ِم ْق َتِض ْاِال ْقِت ا ل َاَّو ِلِه‬
‫َص ُر َع َى‬ ‫ْس َي‬ ‫ْم ُر ُملَتَع ُق َع‬
“Jika berhubungan dengan nama (isim) adalah menghendaki akan tersimpannya pada
permulaan.”
Sependek-pendek masa amr, apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian
keseluruhannya dalam bentuk yang berlainan tentang tinggi dan rendah, dipendekkan hukum itu
menurut sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu.
Misalnya: “Perintah melakukan tuma’ninah dalam salat, dan perintah memerdekakan seorang
budak, tidak memandang harga tapi memandang martabatnya”.

10) Amr sesudah larangan

‫َاَاْلْم ُر َبْع َد ْالَنْه ِي ُيِف ْيُد ْاِإل َباَح َة‬

“Amr sesudah larangan menunjukkan pada hukum boleh”.


Contoh :
‫ٰٓياَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ُنْو ِدَي ِللَّص ٰل وِة ِم ْن َّيْو ِم اْلُج ُمَعِة َفاْس َع ْو ا ِاٰل ى ِذ ْك ِر ِهّٰللا َو َذ ُروا اْلَبْيَۗع‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari
Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Q.S Al Jumuah :
9)

- ‫َفِاَذ ا ُقِض َيِت الَّص ٰل وُة َفاْنَتِش ُرْو ا ِفى اَاْلْر ِض َو اْبَتُغ ْو ا ِم ْن َفْض ِل ِهّٰللا َو اْذ ُك ُروا َهّٰللا َك ِثْيًرا َّلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َن‬
١٠
“ Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.( QS. Al Jumuah : 10)

Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang dibolehkan, seperti pada awalnya
Nabi melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak
menunjukkan kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah), sabda Nabi SAW :
‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِز َياَرِة ْالُقُبْو ِر َفُز ْو ُرَها‬
“Dan saya larang kamu menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (HR Muslim)

d. Macam-Macam Amar
 (‫)للندب‬ artinya sunat, seperti firman Allah :
)33: ‫فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا ( النور‬
“ maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka
“. (An-Nur : 33)
 (‫ )لإلرشاد‬artinya petunjuk, contoh :
) 282 : ‫إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فا كتبوه (البقرة‬
“ apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (hutang) untuk waktu yang ditentukan, maka
tulislah “ . (Al-Baqarah : 282 )
 (‫ ) لإلباحة‬artinya mubah atau boleh, contoh :
‫وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط األبيض من الخيط األسود من الفجر‬
(187: ‫) البقرة‬
“ dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar “.
(Al Baqaqrah : 187)
 (‫) للتهديد‬ artinya ancaman, seperti firman Allah :
) 40: ‫إعملوا ما شئتم (فصلت‬
“ berbuatlah apa yang kamu kehendaki “. (Fushilat : 40)

 (‫) لإلكرام‬ untuk memulyakan, contoh :


) 46: ‫أدخلوها بسالم أمنين (الحجر‬
“ masuklah kedalam (surga) dengan sejahtera lagi aman “. ( Al Hijr : 46)

 (‫) للتسخير‬ artinya penghinaan , contoh :


) 65: ‫كونوا قردة خاسئين ( البقرة‬
“ jadilah kamu kera yang hina “. ( Al Baqarah : 65)

 (‫ ) للتعجيز‬artinya melemahkan, seperti firman Allah :


) 23 : ‫فأتوا بسورة من مثله (البقرة‬
“ buatlah satu surat saja yang semisal dengan Al-Quran itu “. (Al-Baqarah : 23)
 (‫) للتسوية‬ artinya penyamaan, contoh :
) 16 : ‫فاصبروا او ال تصبروا سواء عليكم (الطور‬
“ maka baik kamu sabar atau tidak, sama saja bagimu “. ( At-Thur : 16)

 (‫)للتكوين‬ artinya penciptaan, contoh :


) 82: ‫كن فيكون (يس‬
“ jadilah, maka jadilah ia “. ( Yasin : 82)

 (‫) للتفويض‬ artinya penyerahan, seperti firman Allah :


) 72: ‫فاقض ما انت قاض (طه‬
“ sebab itu putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan “. (Thoha: 72)
 (‫) للتلهيف‬ artinya agar menyesal, conotoh :
) 119 : ‫موتوا بغيظكم (آل عمران‬
“ matilah kamu karena kemarahanmu itu........ (Ali Imran :119)

 (‫) للدعاء‬ artinya do’a, seperti firman Allah :


) 201: ‫ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى اآلخرة حسنة (البقرة‬
“ ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”. (Al –
Baqarah : 201)

2. AN NAHYU
a. Pengertian An Nahyu

Menurut bahasa nahi/ An Nahyu berarti larangan, sedangkan menurut istilah ialah:
‫ِإ‬ ‫ِك ِم‬
‫ َطَلُب الَّتْر َن اَألْع لَى لَى ْاَألْد نَى‬: ‫َالَّنْه ُي‬
“An Nahyu (larangan) ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada
yang lebih rendah (kedudukannya)”.
Kedudukan yang lebih tinggi di sini adalah Syari’ (Allah atau Rasul Nya) dan kedudukan yang lebih
rendah adalah mukallaf. Jadi nahi adalah larangan yang datang dari Allah atau Rasul-Nya kepada
mukallaf.
b. Sihgat (redaksi kata) Nahi

1) Menggunakan Fi’il Mudhari yang didahului dengan la nahiyah/ lam nahi (janganlah)
‫َو َال َتْأُك ُلـْو ا َأْم ـَو اَلُك ْم َبْيَنُك ـْم ِباْلَباِط ِل‬
“Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil.” (QS Albaqarah: 188)
‫َو َال ُتْف ِس ـُد ْو ا ِىف ْاَألْر ِض‬
“Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Albaqarah: 11)
2) Lafal-lafal yang dengan tegas bermakna larangan (mengharamkan).
Misalnya : ‫ َنَه ى‬،‫َح َّر َم‬،
Firman Allah SWT:

‫ُح ِّر َم ْت َعـَلْيُك ْم ُأَّم هُتُك ْم َو َبَنا ُتُك ْم‬


“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu.” (QS Annisa: 23)

‫ۤا‬ ‫ۤا‬ ‫ْأ‬


‫ِاَّن َهّٰللا َي ُم ُر ِباْلَع ْد ِل َو اِاْل ْح َس اِن َو ِاْيَت ِئ ِذ ى اْلُقْر ٰب ى َو َيْنٰه ى َع ِن اْلَفْح َش ِء َو اْلُم ْنَك ِر َو اْلَبْغ ِي‬
٩٠ – ‫َيِع ُظُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُرْو َن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(An
Nahl: 90)

c. Kaidah- Kaidah an-Nahyu (dilalatun Nahyi)

1) Nahi menunjukkan haram


‫َاَاْلْص ُل ِفى الَّنْه ِي ِللَّتْح ِر ْيِم‬
“Pada asalnya nahi itu menunjukkan haram”.
Menurut jumhur ulama, berdasarkan kaidah ini, bila tidak ada dalil yang memalingkan nahi, maka
tetaplah ia menunjukkan hukum haram. Misalnya: Jangan salat ketika mabuk, Jangan mendekati
perbuatan zina.

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْقَر ُبوا الَّص ٰل وَة َو َاْنُتْم ُس َك اٰر ى َح ّٰت ى َتْع َلُم ْو ا َم ا َتُقْو ُلْو ن‬

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, “ (QS. Annisa: 43)

2) Larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya


‫َالَّنْه َعِن الَّش ِئ َا ِبِض ِّد ِه‬
‫ْي ْم ٌر‬ ‫ُي‬
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.
Contoh: Firman Allah SWT
‫َال ُتْش ِر ْك ِباِهلل‬
“Janganlah kamu mempersekutukan Allah (QS Luqman: 13)

Ayat ini mengandung perintah mentauhidkan Allah, sebagai kebalikan larangan mensekutukan-
Nya.

3) Larangan yang mutlak


‫َالَّن ْا ْطَل ْق َتِض ى الَّد اِم ىِف ِمَج ِح ْاَالِز ِم َنِة‬
‫ْي‬ ‫َو‬ ‫ْه ُي ُمل ُق َي‬
“Larangan yang mutlak menghendaki berkekalan dalam sepanjang masa”
Larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu.
Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-
sebab lain, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan larangan itu selamanya.

Contoh firman Allah :


٣٢ - ‫َو اَل َتْقَر ُبوا الِّز ٰن ٓى ِاَّنٗه َك اَن َفاِح َش ًةۗ َو َس ۤا َء َس ِبْياًل‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu
jalan yang buruk. (Q S Al Isra’: 3)

4) Larangan dalam urusan ibadah


‫َالَّنْه ُّد ُل َعَلى َف ِد ْال ْتِه ٌّي َعْنُه ِفى ِع اَد اِت‬
‫َب‬ ‫َس ُم‬ ‫ُي َي‬
“Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”.
Untuk mengetahui mana yang syah dan mana yang batil dalam urusan ibadah, harusnya setiap
orang itu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Contoh diharamkan puasa pada tanggal 1 syawal dan pada hari tasyrik, maka jika ada
orang muslim yang puasa pada tanggal-tanggal tersebut puasanya tidak syah
5) Larangan dalam urusan muamalah
‫َالَّنْه ُي َيُّد ُل َعَلى َفَس ِد ْالُم ْتِه ٌّي َعْنُه فِى ْالُعُقْو د‬
“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’aqad”

Misalnya menjual anak hewan yang masih dalam kandungan ibunya, berarti akad jual belinya
tidak sah. Karena yang diperjualbelikan tidak jelas dan belum memenuhi rukun jual beli.

Hikmah

Hikmah (perenungan) dari kaidah amar dan nahî, antara lain:


a. Al-Qur’an merupakan firman Allah sebagai sumber dari segala sumber hukum dan ilmu
pengetahuan dari zaman dahulu, kini dan nanti yang tidak akan pernah habis ilmunya bagi
siapa saja yang ingin mempelajarinya. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an adalah mukjizat
teragung sepanjang sejarah peradaban manusia yang senantiasa mampu menjawab tantangan
zaman sampai kapanpun. Lafadz Al-Qur’an akan selalu tetap dan terjaga, tetapi
pemahamannya akan selalu berkembang seiring berkembangnya zaman, ruang dan waktu.
Selain itu Al-Qur’an adalah sebuah maha karya sastra, sehingga para sastrawan telah
menjadikannya sebagai obyek penelitian sastra sejak dahulu hingga sekarang dan akan terus
berlanjut sampai kiamat.

b. Betapa pentingnya mempunyai pengetahuan kebahasaan tentang amar dan nahî ini, yang
mana diharapkan mampu memahami hukum-hukum syariat secara kaffah dan menyeluruh,
yang pada akhirnya dapat menjadi seorang muslim dan mukmin sejati, yang bisa
mengerjakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, yang termaktub dalam
bentuk amar maupun nahî.

c. Perlu diketahui dan dicamkan dalam setiap kalbu manusia, bahwa di dalam semua perintah
(amar) Allah pasti ada mashlahah dan manfaat yang terkandung di dalamnya, yang mungkin
manusia itu sendiri tidak menyadari karena keterbatasan pikiran dan sedikitnya ilmu yang
dimiliki. Begitu juga sebaliknya, apabila Allah melarang mengerjakan sesuatu pasti ada
mafsadah dan madharahnya yang harus kita hindari sejauh-jauhnya.
UJI KOMPETENSI

A. Jawablah pertanyaan dibawah ini !


1. Jelaskan pengertian Al Amru dan berikan contohnya!
2. Sebutkan macam-macam sighat atau lafadz amr dan beri contohny!
3. Sebutkan dilalatul amri dan tulislah contohnya!
4. Jelaskan pengertian An Nahy dan berikan contohnya!
5. Sebutkan macam-macam sighat atau lafadz nahy dan beri contohny!
6. Sebutkan dilalatul nahy dan tulislah contohnya!
7. Jelaskan pendapatmu tentang dampak hukum dari al amr!
8. Jelaskan pendapatmu tentang dampak hukum dari an nahy!
9. Apa akibat jika seorang muslim tidak melaksanakan amr!
10. Sebutkan efek jika seorang mukallaf melaksanakan nahy!

B. Tugas individu

a. Carilah contoh sighat (redaksi kata) amar dari alquran atau hadits
b. Carilah contoh sighat (redaksi kata) nahî dari ayat al-Qur’an atau Hadis
(minimal 3 ayat atau hadits)

C. Tugas kelompok (diskusi)


Lakukan diskusi dengan kelompok kalian tentang :
 Pelaksanaan kaidah amar dan nahi dalam kehidupan sehari-hari
 Pendapat ulama’ Indonesia tentang sighat amr dan nahy dalam sebuah analisis kritis (kajian
mendalam)
 Contoh kasus amar yang ada dalam alquran dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari
 Contoh kasus nahyu yang ada dalam alquran dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari

D. Tugas individu
Tulislah kaidah al amru dan an nahyu kemudian hafalkan !

E. Kerjakan Uji kompetensi berikut !

N PERTANYAAN JAWABAN
O
1. Adakah perbedaan antara amr dan nahy?Jelaskan!
2. Adakah perbedaan antara sighat amr dan nahy?Jelaskan!
3. Apakah semua lafadz amr artinya adalah perintah? Jelaskan!
4. Apakah semua lafadz nahy artinya adalah larangan?
5. Jelaskan makna lain dari lafadz amr artinya adalah wajib?
6. Jelaskan makna lain dari lafadz nahy artinya adalah haram?
7. Menurut Anda kenapa Allah SWT mewajibkan kita shalat?
8. Apa akibatnya jika memahami Al Qur’an tanpa dasar ilmu yang
mendalam?
9. Bagaimana hukumnya memerintahkan sesuatu yang kita sendiri tidak
melakukannya?
10. Jelaskan akibat jika kita tidak mentaati larangan Allah SWT?

BAB VII
‘AMM DAN KHASH

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi secara
efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan
lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar

1.7. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah ‘āmm dan
khāṣh
2.7. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah ‘āmm dan khāṣh
3.7. Memahami ketentuan kaidah ‘āmm dan khāṣh
4.7. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah ‘āmm dan khāṣh dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik
dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih ‘āmm dan khāṣṣ
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih ‘āmm dan khāṣṣ
7. Menganalisis kaidah pokok fikih ‘āmm dan khāṣṣ
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah ‘āmm dan khāṣṣ

C. Materi Pokok

‘Amm dan Khash

1. ‘Amm

a. Pengertian am
( ‫) َاْلَع اُم َهَو َاَّللْفُظ َاْلُم ْسَتْغ ِرُق َلَجِم ْيِع َم ا َيْص ِلَح َلُه َبَح ْس ِب َو ْض ٍع َو اِح َد‬
‘Āmm(umum) adalah satu lafal yang mencakup seluruh bagian yang ia lingkupi dengan satu
makna saja.

‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum.Menurut istilah am adalah lafal yang
memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu. Dengan
pengertian lain, am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.

b. Bentuk lafal am
1) Lafal ‫( كل‬setiap) dan ‫( جميع‬seluruhnya), kedua kata tersebut keduanya mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas jumlahnya.
Misalnya firman Allah:
‫ُك ُّل َنْفٍس َذ ۤا ِٕىَقُة اْلَم ْو ِۗت‬
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (QS Ali Imran: 185)

Hadis Nabi SAW.,


‫ِع ِتِه‬
‫ُك ُّل َر اٍع َم ْس ُؤ ٌل َعْن َر َي‬
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”

‫ُهَو اَّلِذ ْي َخ َلَق َلُك ْم َّم ا ِفى اَاْلْر ِض َجِم ْيًعا‬


“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS Albaqarah: 29)

2) Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya


ۗ‫َو اْلَو اِلٰد ُت ُيْر ِض ْع َن َاْو اَل َد ُهَّن َح ْو َلْيِن َك اِم َلْيِن ِلَم ْن َاَر اَد َاْن ُّيِتَّم الَّر َض اَع َة‬
“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS Albaqarah: 233)

Kata al walidat dalam ayat diatas bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau
disebut ibu.
3) Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
‫َو َاَح َّل ُهّٰللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر ٰب وۗا‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Albaqarah:
275)

Kata al bai’ (jual beli) dan al riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh
karena itu, keduanya adalah lafal ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat
dimasukkan kedalamnya.

4) Lafal asma’ al-Maushul, Seperti ma, al-ladhi na, al-ladzi dan sebagainya.

١٠ - ࣖ‫ِاَّن اَّلِذ ْيَن َيْأُك ُلْو َن َاْم َو اَل اْلَيٰت ٰم ى ُظْلًم ا ِاَّنَم ا َيْأُك ُلْو َن ِفْي ُبُطْو ِنِهْم َناًراۗ َو َسَيْص َلْو َن َسِع ْيًرا‬
“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS Annisa: 10)
5) Lafal asma’ al-syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan
sebagainya.

‫ۗ ۗ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم َنٍة َّو ِدَيٌة ُّمَس َّلَم ٌة ِآٰلى َاْهِلٖٓه ِآاَّل َاْن َّيَّص َّد ُقْو ا‬
“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.”
(QS Annisa: 92)
6) Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata
‫ َو اَل ُج َناَح‬dalam ayat berikut
ۗ ‫َو اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم َاْن َتْنِك ُحْو ُهَّن ِاَذ ٓا ٰا َتْيُتُم ْو ُهَّن ُاُجْو َر ُهَّن‬
“dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”
(QS Almumtahanah: 10)

7) Kata tanya (adawat al-istifham), contoh:


‫ۜ َقاُلْو ا ٰي َو ْيَلَنا َم ْن ۢ َبَع َثَنا ِم ْن َّم ْر َقِد َنا‬
Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami
(kubur)?” (Q.S Yasin : 52)

8) Lafal ‫ َس اِئَر‬yang berarti selainnya, contoh: lafal ‫ َس اِئَر‬yang berarti selainnya, bukan isim
fa’il kata ‫ َس اَر َيِس ْيَر‬, misalnya: (ambil dari mereka empat saja, lepaskanlah selebihnya)
‫َأْمِس ْك َم ْنُهَّن َأْر َبعاا َو فاَر ْق َس اِئُر ُهَّن‬
c. Dalalah Lafal am
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafal ‘am itu dzanniy dalalahnya atas
semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafal ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-
satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah
yang berbunyi:
‫ِم ٍم ِإ‬
‫َم ا ْن َعا َّال ُخ ِّص َص‬
“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafal ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda
dengan jumhur ulama, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafal am itu qath’iy dalalahnya, selagi
tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafal am itu dimaksudkan
oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh,
Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah,
karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:

‫َو اَل َتْأُك ُلْو ا ِمَّم ا َلْم ُيْذ َك اْس ُم ِهّٰللا َع َلْيِه َو ِاَّنٗه َلِفْس ٌۗق‬
‫ِر‬
“dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya.” (QS Alanam: 121)

Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadis Nabi SAW yang berbunyi:
‫ا ْس ِلُم َيْذ َبُح َعَلى اْس ِم اِهلل َّمَسى َأْو َمل ُيَس ِّم رواه أبو داود‬
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
‫ْمل‬
menyebutnya atau tidak.” (HR Abu Daud)

Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya,
sedangkan hadis Nabi itersebut hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafiiyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadis tersebut.
Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafal am pada ayat itu dzanniy dalalahnya.
d. Kaidah-kaidah Lafal am
‫ِه‬
1) ‫( َع اٌم ُيَر اُد ِب الُعُم ـْو َم‬lafal am yang dikehendaki keumumannya), karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Contoh:

‫َو َم ا ِم ْن َد ۤا َّبٍة ِفى اَاْلْر ِض ِااَّل َع َلى ِهّٰللا ِرْز ُقَها‬


Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, (QS. Hud: 6).
Adapun yang dimaksud binatang melata adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.

‫(ال ـا ا ِب ِه‬lafal
2)
‫اُخلُصـْو ُص‬ ‫َع ُم ُيَر ُد‬ am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus), karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
‫َم ا َك اَن َاِلْهِل اْلَم ِد ْيَنِة َو َم ْن َح ْو َلُهْم ِّم َن اَاْلْع َر اِب َاْن َّيَتَخ َّلُفْو ا َع ْن َّر ُسْو ِل ِهّٰللا َو اَل َيْر َغ ُبْو ا ِبَاْنُفِس ِهْم َع ْن‬
ۗ ‫َّنْفِس ٖه‬

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam
di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. “ (QS Attaubah:
120).
Adapun yang dimaksud penduduk Madinah tersebut bukan seluruh penduduk Madinah, tapi
hanya orang-orang yang mampu.

3) ‫( َعـاٌم ْخَمُصـْو ٌص‬lafal am yang menerima pengkhususan), ialah lafal amyang tidak disertai
penghalang/ qarinah ia tidak mungkin dikhususkan dan tidak ada pula penghalang/ qarinah yang
meniadakan tetapnya atau keumumannya. Tidak ada penghalang/ qarinah lafal atau akal atau urf
yang memastikannya umum atau khusus. Lafal am seperti ini secara lahiriyah menunjukkan
umum sampai ada dalil pengkhususannya.
Contoh: Firman Allah SWT
‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS
Albaqarah: 228).

Lafal am dalam ayat tersebut adalah al muthallaqatu (wanita-wanita yang ditalak), terbebas
dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian
cakupannya

Bolehkah kita mengamalkan dalil ‘am sebelum menyelidiki dan mencari dalil-dalil lain yang
mentakhsiskan? Menurut kaidah fiqih yang berbunyi :
‫العمل بالعام قبل البحث عن المخصص اليجوز‬
“mengamalkan dalil ‘am sebelum menyelidiki yang mentakhsis tidak diperbolehkan”.
Jadi menurut kaidah diatas, kita tidak boleh mengamalkan dalil-dalil ‘am tanpa menyelidiki lebih
dahulu dalil-dalil yang mentakhsiskannya.

2. Khash
a. Pengertian Khas

Khas ialah lafal yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum, dengan kata
lain, khas itu kebalikan dari am.
‫هو اللفظ املوضوع ملعىن واحد معلوم على اإلنفراد‬
Suatu lafal yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.

Menurut istilah, definisi khas adalah lafal yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat,
sekumpulan, sekelompok, dan lafal-lafal lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi
tidak mencakup semua satuan-satuan itu.
b. Redaksi kata khash
Sebagaimana penjelasan diatas, bahwa khas adalah menunjukkan batasan dai ‘am, maka
redaksi kata khas adalah meliputi :

a. Menunjukkan isim ‘alam / nama


Contoh : Muhammad, Imron, Zainab dll
b. Menunjukkan bilangan
Contoh : ‫َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ّج‬
”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji ” (QS Albaqarah: 196)

c. Menunjukkan batasan
Contoh : ‫َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخْيُط اَأْلْبَيُض ِم َن اْلَخْيِط اَأْلْس َو ِد ِم َن اْلَفْج ِر ۖ ُثَّم َأِتُّم وا‬

‫ۚ الِّص َياَم ِإَلى الَّلْيِل‬


“ Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam.(Q.S Al-Baqarah : 187)

d. Menunjukkan kata sifat

Contoh : ‫َو َم ْن َقَت َل ُمْؤ ِم ًن ا َخ َط ًأ َفَت ْح ِر يُر َر َق َب ٍة ُمْؤ ِم َن ٍة‬


“ dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (Q.S An Nisa’: 92)

c. Dalalah Khas

Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan
hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzaniy, selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
‫َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ِّج‬
”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji ” (QS Albaqarah: 196)
Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau
lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafal itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy
dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Tetapi apabila ada qarinah, maka lafal khas harus ditakwilkan
kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:

‫ْيِف ُك ِّل َأْر َبِعَنْي َش اًة َش اٌة‬


“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya
adalah lafal khas. Karena kedua lafal tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna
yang ditunjuk oleh lafal itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafal tersebut adalah qath’iy. Tetapi
menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadis tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti
yang lain. Yakni bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat
dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan
harga seekor kambing yang dizakatkan.

d. Ketentuan-Ketentuan Khash

Ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan dalam rangka menyikapi dalil-dalil ‘āmm dan
khāṣṣ dalam realitas kehidupan, antara lain:
 Ketika terjadi pertentangan antara dalil ‘āmm dengan dalil khāṣṣ, maka yang didahulukan
adalah dalil khāṣṣ, misalnya pertentangan antara dua hadis terkait zakat biji-bijian berikut:
‫ َو َم ا َسِقَي‬،َ ‫ َفيَم ا َس َقِت َالَّس َم اَء َو الُعُيوَن َأْو َك اَن َع َثِر ًّيا الُع ْش ُر‬:َ ‫َع ِن َالَّنِبّي ِص َّلى ِهَّللَا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
‫ِبالَّنْض َح ِنْص ُف َالَع ْش ِر‬
‫َقاَل َر ُسوُل َالّلِه ِص َّلى َالّلِه ُع َلْيِه َو َس َّلَم َلْيَس فيَم ا َدُوَن َخ َم َسِة َأَو اٍقَص د َقة ٌو اَل َفيَم ا َدُوَن َخ ْم ِس َذ َو ٍد َص د َقة‬
‫ٌو لْيَس َفِيَم ا َدوَن َخ ْمَس أَو ُس ٍق َص د َقَة‬
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada zakat pada perak yang
kurang dari lima ekor uqiyah, tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor dan tidak
ada zakat pada (biji-bijian) yang kurang dari lima wasaq."
Hadis pertama menyatakan bahwa semua tanaman terkena zakat, sedangkan hadis
kedua mengkhususkan zakat hanya pada biji-bijian yang mencapai lima sak (720 gram).
Hadis kedua yang khāṣṣ didahulukan daripada hadis pertama yang ‘āmm.
 Adat atau ’urf tidak boleh dijadikan sebagai sarana khāṣṣ, karena syariat tidak disusun
berdasarkan adat.
 Yang dijadikan patokan adalah keumuman lafal, bukan hanya khusus pada kasus yang
melatarinya ( ‫) َالَّس َبب ْالِع ْبَر ُة َبُع ُم ْو ِم َالَّلْفِظ اَل َبُخ ُصْو ِص‬.

Misalnya hadis (‫ َاْلِح ل َم ْيَتُتَُه‬،‫) ُهَو َالَّطُهوُر َم اُؤ ُه‬yang dilatari oleh pertanyaan sahabat yang
kekurangan air tawar untuk bersuci ketika sedang berlayar di laut. Jawaban Rasulullah
bersifat umum, tidak hanya untuk kasus dan kondisi semisal itu saja, tapi menunjukkan
kebolehan bersuci dengan air laut dalam kondisi apapun dan halal ikan yang ada di laut
meskipun sudah mati. Demikianlah para sahabat memahami keumuman hadis ini. Meskipun
demikian ada ulama yang menyatakan sebaliknya dan menjadikan dalil tersebut tidak tidak
berlaku umum.
 Lafal ‘āmm setelah di-takhṣīṣ masih berlaku pada ruang lingkup yang tidak terkena
pengkhususan
‫العا م َإذا َدخله َالَّتخصيُص َفإَّنُه َح قيقة َفيما َبقي َبعَد َالَّتخصيِص ُم طَلقَا‬
Misalnya ayat ( ‫) َو الَّساِر ُق َو الَّساِر َقُة َفاْقَطُع ْٓو ا َاْيِدَيُهَم ا‬

yang ditakhṣīṣ dengan hadis: ‫ َو عن َالَّصبي َح َّتى‬،‫ َعن َالَّنائِم َح َّتى َيستيقَظ‬:‫ُر ِفع َالَقلُم َعن َثًلثٍة‬
‫َيحتِلَم‬،
‫وعن َالمجنوِن َح َّتى َيعِقََل‬
“ Pena diangkat (kewajiban tidak diberlakukan) terhadap tiga (golongan)" rang gila
hingga sadar (sembuh)terhadap oterhadap anak kecil hingga balig, tidur hingga bangun."
(HR. Abu Daud, 4403 dan Ibnu Majah, dan dari orang)2041
Keumuman ayat tersebut hukum potong tangan bagi semua pencuri, kemudian di-
takhṣīṣ hadis kecuali tiga golongan yaitu: anak kecil yang belum baligh, orang gila dan orang
yang tidak sadar atau dipaksa. Maka mereka tidak termasuk mendapatkan hukuman potong
tangan jika mencuri.
 Dalil yang tidak dirinci, padahal memungkinkan untuk lebih diperinci menunjukkan bahwa
dalil tersebut berlaku umum.

‫ترك َاالستفصال َفي َم كان َاالحتمال َينزل َم نزلة َالعموم َم ن َالمقال‬


Misalnya dalam kasus Mr. X yang memiliki 10 istri. Setelah masuk Islam, ia hanya dizinkan
mempertahankan 4 orang istrinya dan menceraikan sisanya. Rasulullah tidak menyinggung
bagaimana model pernikahannya sebelumnya.

Hikmah
Hikmah (perenungan) dari kaidah ‘āmm dan khāṣh, antara lain:
a. Pendekatan dalam memahami al-Qur’an memiliki berbagai varian di dalamnya (gaya
ushlub), karena al-Qur’an di turunkan kepada Nabi SAW menggunakan bahasa arab yang
indah dan mudah untuk dipahami. Al-Qur’an menjadi mukjizat terbesar serta menjadi
pedoman untuk umatnya. Ada rahasia-rahasia yang perlu banyak dikaji secara luas dan
mendalam dalam aturan syariat dan hukum agama salah satunya melalui pendekatan kaidah
‘āmm dan khāṣṣ.
b. Setiap kata di dalam al-Qur’an pasti mengandung maksud dan faedah, meskipun tidak
berkaitan secara langsung dengan masalah hukum. Namun tetap harus diperhatikan
bagaimana sebuah ayat dapat menarik hingga memberlakukan hukum. Seperti pembahasan
terkait dengan kaidah ‘āmm dan khāṣṣ.
c. Penunjukkan kepada lafadz ‘āmm dan khāṣṣyang nantinya dapat menarik hukum apakah
hukum itu berlaku kepada semua atau hanya disandarkan pada yang khusus saja. Mengingat
banyak arti yang bisa dperdalami secara luas dari lafadz tersebut.
d. Terkadang untuk memperoleh (menggali, istinbat͎) hukum itu dimulai pada keumumannya
kemudian baru adanya pembatasan secara spesifik. Padahal terdapat kaidah-kaidah yang bisa
menunjukkan keumuman atau kekhususan dari pemberlakuan hukum tersebut, baik itu dari
lafadz am maupun khāṣṣ. Dengan demikian pembahasan terkait dengan kaidah kebahasan
sangatlah penting dalam seseorang yang ingin mengkaji al-Qur’an serta memahami lebih
dalam. Sehingga dapat dengan baik dan benar memahami apa yang terkandung di dalamnya.
e. Belajar dari ‘āmm dan khāṣṣsekaligus bisa memahami kerangka berpikir dari yang umum
menuju khusus (deduktif) dan sebaliknya kerangka berpikir dari yang khusus menuju umum
(induktif).
f. Contoh kerangka berpikir umum (deduktif) seorang penulis secara umum dianalogikan
seperti seorang petani, jika petani ingin mencangkul ladangnya dia harus punya tenaga yang
cukup dengan berbekal makan dan minum bergizi, jika kurang maka pak tani akan cepat
lemas dan loyo. Begitu juga seorang penulis, jika ingin tidak kehabisan dan kekeringan ide
maka harus memperbanyak bacaan dan peka terhadap lingkungan dan realitas sosial.
g. Contoh kerangka berpikir khusus (induktif); seorang penulis dianalogikan secara khusus
seperti sebuah kendi atau tempat air minum dari tanah yang dibakar dan memiliki dua lubang
di atas dan samping, lobang atas untuk memasukkan air dan lobang samping untuk
mengeluarkan air, jika kendi tidak terisi maka tidak akan ada air yang bisa keluar meski
dijungkir balikkan sekalipun, sebaliknya jika kendi itu penuh digoyang sedikit saja air akan
keluar dengan lancar. Demikian juga dengan persamaan seorang penulis, membaca bagi
penulis adalah upaya mengisi pengetahuan ke dalam otaknya, semakin banyak membaca
semakin banyak pula bahan yang dapat dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga
menghasilkan sebuah karya besar.

Uji Kompetensi
Jawablah pertanyaan dibawah ini !
1. Jelaskan pengertian ‘am!
2. Sebutkan contoh lafadh ‘amm!
3. Jelaskan pengertian Khas!
4. Tulislah contoh bentuk khash!
5. Bagaimana hukum beramal dengan lafadz ‘am?
6. Apa yang dimaksud dengan khas dan tulislah contohnya!
7. Adakah perbedaan antara ‘āmm dan khāṣṣ?Jelaskan!
8. Sebutkan ketentuan –ketentuan khas
9. Sebutkan redaksi kata khas
10. Sebutkan hikmah kaidah ‘am dan khash

Tugas kelompok (diskusi)


Temanya :
1. Studi Perbandingan Sighat ‘āmm dan khāṣṣ
2. Metodologi Rumusan Kaidah ‘āmm dan khāṣṣ
3. Pengaruh Kajian Kebahasaan ‘āmm dan khāṣṣ terhadap hukum Islam
4. ‘āmm dan khāṣṣ dalam Konteks Kehidupan
5. Contoh kasus kaidah ‘am dan khash dalam kehidupan sehari-hari

Tugas individu
1. Carilah contoh ‘am dan khash dari ayat al-quran atau hadits (masing-masing minimal tiga
contoh)
2. Bagaimana pendapat ulama’ tentang kaidah ‘am dan khash

BAB VIII
‘TAKHSISH DAN MUKHOSSISH

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong, kerjasama,
toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi secara efektif sesuai
dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam
sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan factual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan kompleks
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena
dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat
dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara: efektif,
kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah konkret dan
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan bertindak secara
efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah keilmuan

Kompetensi Dasar
1.8 Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah takhṣīṣ
dan mukhāṣîṣh
2.8. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
3.8. Memahami ketentuan kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
4.8. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣdikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan
peserta didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
7. Menganalisis kaidah pokok fikih takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ

C. Materi Pokok

Takhsish dan Mulhossish

a. Pengertian takhsish dan mukhossish


Takhṣīṣartinya mengeluarkan sebagian apa yang tercakup dalam lafadz umum (‘āmm),
sedangkan mukhāṣîṣ adalah kalimat yang membatasi secara khusus atau spesifik ada yang
bersifat tersambung antara ‘āmm dan khāṣṣ(muttasil) dan ada yang terpisah antara ‘āmm dan
khāṣṣ(munfasil). Contoh dalam Al-Qur’an:

‫ُقْل َم ْن َح َّر َم ِز ْيَنَة ِهّٰللا اَّلِتْٓي َاْخ َر َج ِلِعَباِدٖه َو الَّطِّيٰب ِت ِم َن الِّر ْز ِۗق ُقْل ِهَي ِلَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ِفى اْلَح ٰي وِة الُّد ْنَيا‬
٣٢ - ‫َخاِلَص ًة َّيْو َم اْلِقٰي َم ِۗة َك ٰذ ِلَك ُنَفِّص ُل اٰاْل ٰي ِت ِلَقْو ٍم َّيْع َلُم ْو َن‬
“ Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah,
“Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk
mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-
orang yang mengetahui.(Q.S Al –A’raf : 32)
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa perhiasan-perhiasan dan makanan dari Allah
yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh siapapun baik orang-orang beriman dan tidak
beriman, sedangkan di akhirat nanti semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Dalam penjelasan ayat diatas semua perhiasan boleh dipakai, perhiasan tersebut meliputi
cincin dari emas atau intan, gelang, kalung, dan lain-lain. Semua jenis perhiasan ini disebut
jenis satuan yang bersifat umum (afrad al-aam). Cincin emas kemudian dikeluarkan
(ditakhṣīṣ)dari ketentuan surat Al-A’raf ayat 32 tersebut, sebab cincin emas tidak boleh di
pakai oleh kaum laki-laki. Proses seleksi, verifikasi dan dieliminasi ini dinamakan takhṣīṣ).
Pengeluaran cincin emas ini berdasarkan pada hadits karena membatasi keumuman ayat
tersebut (sebab tidak meliputi cincin emas), haditnya dinamai mukhāṣîṣ. Karena hanya
mengenai satu hal saja, yaitu cincin emas, hadis itu di sebut khāṣ.

b. Macam Takhsis
1. Takhsish Muttasil
Apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat atau
bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Ada beberapa macam takhṣīs muttasil (bersambung) yaitu sebagai berikut:
a. Pengecualian (al-Istina)
Contoh firman Allah:
‫ إَال َاَّلِذ يَن َآَم ُنوا َو َع َم ُلوا َالَّصاِلَح اَت‬، ‫ِإَّن َاْلْنَس اَن َلِفي َخْس ٍر‬
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh”. (QS. al-Ashr:2-3)

b. Syarat
Contoh firman Allah:
‫َو ُبُعوَلُتُهَّن َأَح ق َبَر ِّد ِهَّن َفي َذ ِلَك َإْن َأَر اَدوا َإْص اًل حا‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah". (QS. Al-Baqarah: 288).

c. Sifat
Contoh firman Alloh :
‫ٰٓل‬
٢٧ - ‫َو ُتَس ِّلُم ْو ا َع ى َاْهِلَهۗا‬ ‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْد ُخ ُلْو ا ُبُيْو ًتا َغْيَر ُبُيْو ِتُك ْم َح ّٰت ى َتْسَتْأِنُسْو ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.(Q.S An Nur :27)

d. Kesudahan
Contoh firman Alloh :
‫ۚ َو اَل َتْقَر ُبْو ُهَّن َح ّٰت ى َيْط ُهْر َن‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)

e. Sebagian ganti keseluruhan


Contoh firman Alloh :

٩٧ - ‫َو ِهّٰلِل َع َلى الَّناِس ِح ُّج اْلَبْيِت َمِن اْسَتَطاَع ِاَلْيِه َس ِبْياًل ۗ َو َم ْن َكَفَر َفِاَّن َهّٰللا َغ ِنٌّي َع ِن اْلٰع َلِم ْيَن‬

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.

2. Takhsish Munfasil (terpisah)


Dalil umum atau makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang
megkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri dalam arti tidak berkumpul tetapi
terpisah. Takhsish munfashil dibagi menjadi :

1) Menakhshishayat Alquran dengan ayat Alquran


‫َّب ِبَأ ُف ِس ِه َّن َثاَل َثَة وٍء‬
‫ُقُر‬ ‫َو اْلُم َطَّلَق اُت َيَتَر ْص َن ْن‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.” (QS Al-Baqarah: 228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi
ketentuan itu dapat ditakhshish dengan QS. Atthalaq ayat 4 sebagai berikut:

‫َو ُأواَل ُت اَأْلَمْحاِل َأَج ُلُه َّن َأْن َيَض ْع َن ْمَحَلُه َّن‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.”

Dapat pula ditakhshish dengan surat Alahzab:49


‫ياَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َنَكْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت ُثَّم َطَّلْقُتُم ْو ُهَّن ِم ْن َقْبِل َاْن َتَم ُّسْو ُهَّن َفَم ا َلُك ْم َع َلْيِهَّن ِم ْن ِع َّد ٍة‬
٤٩ - ‫َتْع َتُّد ْو َنَهۚا َفَم ِّتُعْو ُهَّن َو َس ِّر ُحْو ُهَّن َسَر اًحا َجِم ْياًل‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.”
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga
kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan
belum pernah melakukan hubungan kelamin.

2) Menakhshish Alquran dengan sunnah


‫َو الَّساِرُق َو الَّساِر َقُة َفاْقَطُع ْٓو ا َاْيِدَيُهَم ا‬
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya “ (QS Almaidah: 38)
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang telah dicuri. Kemudian
ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
‫ رواه اجلماعة‬. ‫َال َقْطَع يِف َأَقَّل ِم ْن ُر ْبِع ِد ْيَناٍر‬
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang
dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (HR Jamaah).

Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri
kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
3) Menakhshish hadis dengan Alquran

‫ متفق عليه‬. ‫لَا َيْق َبُل اُهلل َص َالَة َأَح ِد ُك ْم ِإَذا َأْح َدَث َخَّىت َيَتَو َّض َأ‬
“Allah tidak menerima salat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia
berwudu”. (Muttafaq Alaihi).
Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam QS Almaidah: 6.

‫وِاْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُرْو ۗا َو ِاْن ُكْنُتْم َّم ْر ٰٓض ى َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ۤا َء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغ ۤا ِٕىِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم الِّنَس ۤا َء َفَلْم‬
‫َتِج ُد ْو ا َم ۤا ًء َفَتَيَّمُم ْو ا َص ِع ْيًدا َطِّيًباا‬

“dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”.
Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudu bagi setiap orang yang
salat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air,
sebagaimana firman Allah di atas.
4) Menakhshish hadis dengan hadis
‫ متفق عليه‬. ‫ِفْيَم ا َس َق ْت الَّس َم اُء اْلُعْش ُر‬
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq
Alaihi).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian
hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
‫ متفق عليه‬. ‫َلْيَس ِفْيَم ا ُدْو َن ْمَخَس ِة َأْو ُس ٍق َص َد َقٌة‬
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq
(1000 kilogram)”. (Muttafaq Alaihi).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali
yang sudah mencapai 5 watsaq.
5) MenakhsishAlquran dengan ijma
‫ِاَذ ا ُنْو ِدَي ِللَّص ٰل وِة ِم ْن َّيْو ِم اْلُج ُمَعِة َفاْس َع ْو ا ِاٰل ى ِذ ْك ِر ِهّٰللا َو َذ ُروا اْلَبْيَۗع‬
“apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Aljumuah: 9)

Menurut ayat tersebut, kewajiban salat Jumat berlaku bagi semua orang. Tapi
para ulama telah sepakat (ijma) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak
wajib salat Jumat.
6) Menakhshish Alquran dengan qiyas

“ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, “

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. Annisa: 25


‫ِاَذ آ ُاْح ِص َّن َفِاْن َاَتْيَن ِبَفاِح َش ٍة َفَع َلْيِهَّن ِنْص ُف َم ا َع َلى اْلُم ْح َص ٰن ِت ِم َن اْلَع َذ اِۗب‬
“Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami..”
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina
budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang
berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman
bagi budak perempuan, yaitu 50 kali dera.
7) Menakhshish dengan pendapat sahabat
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat
tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika
sahabat itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:
‫ متفق عليه‬. ‫َمْن َبَّد َل ِد ْيَنُه َفاْقُتُلْو ُه‬
“Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu
murtad), maka bunuhlah dia”. (Muttafaq Alaih).
Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad
hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa
perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa perempuan
yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadis tersebut.
Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadis di atas tidak dibenarkan
karena menurut jumhur ulama yang menjadi pegangan adalah lafal-lafal umum yang
datang dari Nabi SAW.

Hikmah
Hikmah (perenungan) dari kaidah takhṣīṣdan mukhāṣîṣ, antara lain:
 Para ulama ahli ushul fiqh mengarahkan perhatian mereka terhadap uslub-uslub dan ibarat-
ibarat (analisis kritis) terhadap bahasa Arab yang digunakan untuk memahami nash-nash
termasuk kaidah takhṣīṣdan mukhāṣîṣ.
 Takhṣīṣ nas merupakan upaya pembatasan keumuman yang terkandung dalam
nasdengancaramengeluarkan(ikhrāj) sebagianobjek daricakupan keumumannas seperti masa
iddah selama tiga quru’ (masa suci/haidh) bagi perempuan yang diceraikan suaminya pada
surat Al-Baqarah ayat 228. Kemudian keumuman ini ditakhṣīṣoleh surat At-Thalaq ayat 4
dan Al Ahzab ayat 49 kecuali perempuan yang hamil masa iddah sampai melahirkan dan
perempuan yang cerai sebelum dhuhul (hubungan suami istri) yang tidak ada masa
iddah(masa tunggu untuk tidak menikah dengan lelaki lain untuk mengetahui ada bayi
dikandungan atau tidak karena berkaitan dengan nasab bayi).
 Takhṣīṣ termasuk bagian dari penjelasan dan penafsiran terhadap sesuatu yang mengandung
keumuman (al-‘am). Keumuman dapat berlaku pada lafal dan makna nas baik mafhum,
muqtadā’ maupun hukum nas. Seperti keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan
shalat, kemudian diberikan penjelasan dengan ditakhṣīṣ boleh memakai tayammum bagi
orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 6.
 Takhṣīṣ dalam operasionalnya membutuhkan alatataudalil takhṣīṣ yaitu mukhāṣîṣitu sendiri
yang harus mengandung kemaslahatanatas keumuman hukum nas tatkala penerapan hukum
secara umum pada konteks tertentu berpotensi menimbulkan mudarat dan
tidakberpihakpadamaqasid syari’ah (tujuan hukum diterapkan),seperti pada sahabat Umar
bin Khatab ra sebagai seorang khalifah (presiden)waktu itu memutuskan tidak melakukan
hukum potong tangan bagi pencuri dengan alasan terjadinya pencurian bukan faktor
kesengajaan tetapi terpaksa dilakukan karena lapar di musim panceklik. Orang kaya yang
dicuri menimbun harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli sesama, sedangkan pencuri
tersebut kelaparan ingin mempertahankan hidupnya atau mempertahankan keluarganya dari
kematian yaitu kelaparan. Oleh karna itu pencuri tersebut dikenai ta’zir.
 Takhṣīṣ sama sekali tidak menghasilkan dualisme hukum dalam satu permasalahan, akan
tetapi takhṣīṣ hanya memberikan pengecualian yang sifatnya spesifik dan kasuistik.
Sementara hukum asal yang terkandung pada nas al-‘āmm tetap berlaku dan diakui
kehujjahannya, meskipun sifat keumumannya menjadi terbatas seperti pada hukum iddah,
memotong tangan pencuri, semua tanaman wajib dizakati dan sebagainya pada penjelasan
sebelumnya.

Uji Kompetensi
Jawablah pertanyaan dibawah ini !
1. Apa yang dimaksud dengan takhsis dan mukhasis ?
2. Sebutkan macam-macam takhsish !
3. Apa yang dimaksud dengan takhsish muttashil ?
4. Sebutkan macam-macam takhsish muttashil !
5. Tulislah contoh masing-masing takhsish muttashil
6. Apa yang dimaksud dengan takhsish munfashil?
7. Sebutkan macam-macam takhsish munfashil
8. Tulislah contoh masing-masing takhsish munfashil
9. Sebutkan hikmah kaidah takhsish mukhossish
10. Buatlah contoh penetapan ‘am dan khash dalam kehidupan sehari-hari

Tugas mandiri
a. Carilah contoh takhsish muttashil dan takhsish munfashil dalam al-quran atau hadits
BAB IX
MUJMAL DAN MUBAYYAN

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi
secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar
1.9. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah
mujmal dan mubayyan
2.9. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah mujmal dan mubayyan.
3.9. Memahami ketentuan kaidah mujmal dan mubayyan
4.9. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah mujmal dan mubayyan dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan
peserta didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih mujmāl dan mubayyan
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih mujmāl dan mubayyan
7. Menganalisis kaidah pokok fikih mujmāl dan mubayyan
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah mujmāl dan mubayyan

C. Materi Pokok

Mujmal dan Mubayyan

1. Mujmal
a. Pengertian Mujmal
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/ majemuk. Mujmal ialah
suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada
keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafal yang global, masih
membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran.contoh lafadz quru’ dalam ayat 228 surat al
Baqarah sebagai berikut :
‫َّب ِبَأ ُف ِس ِه َّن َثاَل َثَة وٍء‬
‫ُقُر‬ ‫َو اْلُم َطَّلَق اُت َيَتَر ْص َن ْن‬
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS
Albaqarah: 228).
Lafadz quru’ ini masih mujmal (belum jelas), bisa bermakna haid atau berarti suci
dari haid, dalam hal ini harus ada dalil lain yang menjelaskannya, menurut Imam Syafi’i
lafadz quru’ berarti suci, sedang menurut Imam Hanafi lafadz quru’ berarti haidl.

b. Sebab adanya ijmal


Ijmal terdapat dalam :
 Kata-kata tunggal (mufrad)
 Susunan kata-kata (tarkib )
Contoh ijmal :
- Dalam kalimat isim yang tunggal :
- qur’un dengan pengertian suci atau datang bulan
- jaun dengan pengertian hitam atau putih
- naahil dengan pengertia dahaga atau segar
- Dalam kalimat fi’il :
- qaala yang berati berkata atau tidur siang
- khataba dengan pengertian berpidato atau meminang
- ‘as’asa dengan pengertian menghadap atau membelakangi
 Lafadz yang mengandung makna ambigu (tidak jelas) dan tidak ada indikator yang
menentukan salah satu makna yang dikehendaki. Seperti lafadz mawaali dalam
perkataan “aku berwasiat 1/3 hartaku untuk mawali budak itu”, padahal bagi orang
yang berwasiat itu ada mawali berupa orang yang memerdekakannya dan ada pula
mawali berupa orang yang dimerdekakan. Maka maksud perkataannya itu tidak bisa
dipahami kecuali melalui penjelasan langsung orang yang berwasiat tersebut,
 Asingnya penggunaan lafadz dalam bahasa Arab dan kesamaran maksudnya.
Seperti kata halu’a pada firman Allah (QS Al-Ma’arij: 19). Kata itu asing dalam
bahasa Arab sehingga tidak diketahui makna yang dimaksud sampai Allah
menjelaskannya dengan ayat selanjutnya.
‫ِاَّن َاِاْل ْنَس اَن َخ ِلَق ْهُلو عا‬
Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.(QS Al-Ma’arij: 19)
 Perpindahan makna secara bahasa kepada makna secara istilah. Seperti lafadz
shalat, zakat, riba dan lain-lain. Makna kata-kata tersebut tidak bisa dipahami secara
bahasa, oleh karena itu ia memerlukan penjelasan langsung dari yang mengeluarkan
istilah tersebut. Biasanya penjelasan kata-kata yang seperti ini berasal dari sunnah
Nabi. Oleh karena itu, penentuan makna yang tepat dari lafadz mujmal hanya
terbatas pada masa kerasulan Nabi Muhammad dan terhenti sejak beliau meninggal.
Jika penjelasan langsung itu sudah cukup terang dalam menentukan maknanya
maka lafadz itu tidak lagi menjadi lafadz mujmal akan tetapi menjadi lafadz
mufassar dan berlakulah hukum lafadz mufassar, seperti penjelasan tentang shalat,
zakat, haji dan lain sebagainya. Apabila penjelasan tersebut tidak tuntas untuk
menghilangkan kemujmalan lafadz tersebut, maka lafadz itu menjadi lafadz
musykil, dan berlakulah hukum-hukum lafadz musykil. Misalnya adalah riba, yang
datang dalam Al-Quran secara mujmal, menurut madzhab Hanafi, dan Rasulullah
SAW menjelaskannya dengan hadits harta riba yang enam jenis itu. Akan tetapi
penjelasan ini belum tuntas karena sebenarnya riba tidak terbatas pada enam jenis
itu
Dengan penjelasan ini, maka beliau membuka pintu ijtihad untuk menjelaskan
hal-hal lain yang mengandung riba.
Jadi mujmal itu adalah suatu lafadz yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami
maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya dapat karena
peralihan lafadz dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki
syara’, karena sinonim lafadz itu sendiri, ataupun karena lafadz itu ganjil artinya.
Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga mujmal
lebih tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya lafadz shalat, menurut
bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara’adalah ibadah khusus yang segala
sesuatunya dijelaskan oleh Rasullullah.
Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’ tentang lafadz mujmal itu
timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat
memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran.
Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash
Al-Quran.

c. Hukum lafadz mujmal


Apabila ada perkataan yang mujmal baik dalam al Quran maupun hadits, maka kita
tidak menggunakannya, sehingga datang penjelasan, seperti perkataan shalat, zakat, haji,
zakat dan lain-lain yang dijelaskan oleh nabi SAW tentang tata cara melakukannya,
begitu juga tentang batas-batas harta yang dikenai zakat.

d. Contoh Mujmal dalam Al-Qur’an


Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam:
 lafadz mufrad (tunggal) Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri
dari satu kalimat. Lafadz-lafadz mufrad juga dilihat dari segi jenis ada
tiga macam:
- Isim artinya nama atau nama benda. Contoh: ‫ ُم ْخ َتاٌَر‬boleh sebagai
pelaku (fa’il), dalam hal ini diartikan dengan “orang yang memilih”,
dan boleh juga sebagai maf’ul (tujuan), yang dalam hal ini diartikan
dengan “orang yang dipilih”.
- Fi”il atau kata kerja Contoh: ‫ َع ْس َع َْس‬boleh diartikan dengan “datang”
dan boleh juga dengan arti “kembali’ atau “pulang”. ‫ َباََع‬boleh
diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”. ‫َو ٱَّلۡي ِل َإَذ ا‬
‫ َع ۡس َعَس‬Demi malam apabila telah larut, (QS. At-Takwir, Ayat 17)
- Huruf ( ‫ ) ُحُر َْف‬kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang
tidak akan berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya.
Contoh: ‫ و‬artinya ‘dan” kedudukannya boleh sebagai ataf ( ‫) َع َطَْف‬
artinya penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-Ibtida’ ( ‫) اِال ْبِتدَاَْء‬
artinya kata awal atau permulaan. ‫َو ٱلَّطاِر َق َو ٱلَّس َم ٓاِء‬
Demi langit dan yang datang pada malam hari. (QS. Ath-Thariq :
1)
Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :
1. Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara haqiqat, yakni
lafadz-lafadz yang musytarak, seperti lafadz ‫ الُقُر َْء‬yang
diletakkan untuk menunjukkan makna “suci” dan makna
“haid”. ‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِه َّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء‬
“ Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
menunggu tiga kali quru’ (Q.S Al : 228)
2. Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan
sebab adanya musyabahah (keserupaan) dalam sebuah titik
persamaan. Seperti lafadz ‫ َالن ْو َر‬yang layak untuk diarahkan
pada makna “akal” dan “cahaya matahari”.
3. Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan
sebab adanya mumatsalah (kemiripan). Seperti lafadz ‫َاْلِج ْسَُم‬
yang layak diarahkan pada “langit’ dan “bumi”, atau benda-
benda yang lain.
4. Lafadz yang terkena imbas I’lal, seperti lafadz ‫ َاْلُم ْخ َتاَُر‬yang
diarahkan pada bentuk isim fa’il atau isim maf’ul.

 Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa


kalimat. Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:
‫ۗ َاْو َيْع ُفَو ا اَّلِذ ْي ِبَيِدٖه ُع ْقَد ُة الِّنَك اِح‬
Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-
Baqarah: 237)
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau
suami, karena maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti.
Oleh karena itu, tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau al-
Bayan.

2. Mubayyaan

a. Pengertian Mubayyan
Mubayyan artinya yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafal
yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Al
bayan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang
mujmal.

b. Klasifikasi Mubayyan
1) Mubayyan muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam
satu hukum/hukum/nash. Misalnya dalam QS Annisa: 176.

‫َيْسَتْفُتْو َنَۗك ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلَك ٰل َلِةۗ ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلٓٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َۚك َو ُهَو َيِر ُثَهٓا‬
‫ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلَها َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَنَتا اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َك ۗ َو ِاْن َك اُنْٓو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ااًل َّو ِنَس ۤا ًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْثُل‬
١٧٦ - ࣖ ‫َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِۗن ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلُك ْم َاْن َتِض ُّلْو اۗ َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬

“mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Lafalkalalah adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu


hukum/hukum/nash: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
”Dengan demikian kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak
mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh sahabat Umar bin Khtattab.
2) Mubayyan munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam
satu hukum/hukum/nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

Misalnya dalam QS Ali Imran: 7 :


‫َو َم ا َيْع َلُم َتْأِو ْيَلٓٗه ِااَّل ُهّٰللاۘ َو الَّراِس ُخ ْو َن ِفى اْلِع ْلِم‬

“…Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam
ilmunya.
Kalimat : Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena adanya
huruf waw yang dapat bermakna ganda, yakni kata dan yang berkonotasi kata penghubung
(athaf) atau kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf).
Jika huruf wawdianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah:
hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya”. Namun,
jika huruf waw dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah : hanya
Allah yang mengetahui takwilnya. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya tidak
mengetahui takwilnya. Mereka hanya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih”.

Oleh karena itu, ayat tersebut memerlukan penjelasan, seperti pada QS Annahl ayat 89:
‫َو َنَّز ْلَنا َع َلْيَك اْلِكٰت َب ِتْبَياًنا ِّلُك ِّل َش ْي ٍء‬

“Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu.”


Ayat menjedi petunjuk terhadap QS AliImran ayat 7, bahwa huruf waw ayat diatas
merupakan huruf penghubung (athaf) . Sehingga susunan redaksi maknaya adalah yang
mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya.”

c. Macam-macam Mubayyan

1) Bayan Perkataan
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul).

Contoh: pada surah Albaqarah: 196.

ۗ‫َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ِّج َو َس ْبَعٍة ِاَذ ا َر َج ْع ُتْم ۗ ِتْلَك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة‬
Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya
mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak
menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu. Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’
pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan (mubayyan) dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan
sebelum itu.
2) Bayan Perbuatan
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
Contoh: Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudu:
memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji,
salat dan sebagainya.Perintah mendirikan sholat dijelaskan tata caranya sholat oleh Rasulullah.
Untuk menghindari kesalahpahaman. Nabi SAW naik keatas bukit kemudian melakukan sholat
hingga sempurna, lalu bersabda:

“Salatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku salat” (HR Bukhari).
3) Bayan dengan Tulisan
Penjelasan dengan tulisan penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah
dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para sahabat) dan
dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
4) Bayan dengan Isyarat
Penjelasan dengan isyarat Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh
jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.
5) Bayan dengan taqrir
Penjelasan dengan diam (taqrir). Dalam pengertian, ketika Rasulullah melihat suatu kejadian,
atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak
mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau
Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu
turunnya wahyu untuk menjawabnya.
6) Dengan macam-macam takhsis.
Lihat pada bab takhsis
7) Dengan meninggalkan.
Penjelasan dengan meninggalkan, misalnya Nabi perna h melakukan hal senbagai
berikut, Nabi mengambil wudlu setelah memakan makanan yang dimasak. Hal ini menunjukkan
bahwa memakan makanan yang dimasak membatalkan wudlu, tetapi setelah itu nabi
meninggalkan wudlu setelah memakan makanan yang dimasak, artinya memakan makanan yang
dimasak tidak membatalkan wudlu.
d. Hukum ta’khirul bayan
Setiap lafadz ‘am, muthlaq, mujmal dan musytarak memerlukan penjelasan, mengenai
penangguhan waktu ada 2 penjelasan , yaityu :
 Penangguhan penjelasan dari waktu diperlukan (ta’khirul bayan ‘an waqtil hajati)
Para ulama’ sepakat bahwa penjelasan tidak boleh terlambat dari waktu yang
diperlukan, karena menangguhkan penjelasan beearti membenarkan i’tikad yang salah
atau membenarkan beramal menurut cara yang tidak sesuai dengan syar’i. Contoh :
hadits riwayat Aisyah mengenai kedatangan Fatimah kepada Nabi seraya bertanya :
Ya Rosul, saya perempuan yang berpenyakit istihadhah, sebab itu saya tidak pernah
suci, apakah saya boleh meninggalkan shalat?
lalu Nabi menjawab : ‘tidak itu hanya semacam cairan dan bukan haidl, maka apabila
datang haidl tinggalkan shalat dan

apabila telah selesai maka basuhlah darah itu lalu kerjakanlah shalat. (HR Bukhari
Muslim)
Dari contoh diatas maka ulama’ fiqh membuat kaidah : Ta’khirul Bayan ‘An
Waqtil Hajati La Yajuzu (tidak boleh menangguhkan penjelasan dari waktu yang
telah ditentukan)
 Penangguhan penjelasan dari waktu khitab.(ta’khirul bayan ‘an waqtil khithab)
Dalam hal ini jumhur ulama’ fiqh dan para mutakallimin berpandapat bahwa
boleh mengguhkan penjelasan dari waktu khitab(perintah) sampai waktu diperlukan
untuk pelaksanaanya.
Lalu dibuatlah kaidah : “Ta’khirul Bayan ‘an Waqtil Khithab Yajuzu “
(boleh menangguhkan penjelasan dari waktu khithab (perintah))

e. Ketentuan Mujmal dan Mubayyan dalam Kehidupan


Ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan dalam rangka menyikapi dalil-dalil mujmal dan
mubayyan dalam realitas kehidupan, antara lain:
1. Para ulama, baik Hanafiyah maupun Syafi’iyah telah membagi lafal mujmal dan
mubayyan menjadi beberapa bagian, meskipun kedua golongan ini berbeda
pembagiannya, namun pada dasarnya sama-sama membagi kedua lafal tersebut menjadi
beberapa bagian. Bila ditilik dari pembagian yang telah dilakukan oleh kedua kelompok
di atas, secara tidak langsung menunjukkan bahwa antara tiap-tiap bagian itu memiliki
tingkat akurasi dan kepastian/ketegasan maknanya.
2. Jenjang masing-masing lafal tersebut juga sangat menentukan dalam hal mengamalkan
terhadap isi atau kandungan dari masing-masing lafal yang dimaksud. Seperti diketahui,
bahwa dari segi kejelasan makna suatu lafal, para ulama menempatkan zhahir sebagai
bagian pertama, kemudian nash, mufassar dan bagian terakhir adalah muhkam.
Penempatan seperti ini tidaklah berarti bahwa bagian pertama memiliki tingkat kejelasan
makna yang paling tinggi dan bagian yang terakhir merupakan lafal yang tingkat
kejelasan maknanya paling rendah. Akan tetapi justru yang paling tinggi tingkat kejelasan
maknanya adalah bagian yang terakhir. Karenanya, dari keempat bagian lafal yang jelas
itu, bila diurut berdasarkan tingkat kejelasan arti dari yang tinggi hingga rendah adalah
sebagai berikut, yaitu: Pertama, yang paling tinggi tingkatannya adalah “muhkam”,
Kedua, yang lebih tinggi namun di bawah posisi muhkam adalah “mufassar”, Ketiga,
yang dipandang sedikit lebih tinggi namun di bawah posis mufassar adalah “nash”.
Keempat, yang paling rendah tingkat kekuatan dalalahnya adalah “zhahir”
3. Empat peringkat dari masing-masing lafal tersebut, dapat dipahami bahwa
meskipun keempat lafal tersebut memiliki perbedaan tingkat kejelasan
maknanya, namun kedudukan keempat lafal yang jelas itu adalah wajib
diamalkan sesuai petunjuk masing-masing lafal, sepanjang tidak ada dalil yang
mentakhsisnya, menta’wilny aataupun yang menasakhnya.
4. Hukum lafal yang mujmal, ulama ushul fikih menyatakan bahwa lafal yang
mujmal tidak bisa dijadikan hujjah atau tidak bisa diamalkan sebelum ada dalil
yang menjelaskannya (mubayyan). Oleh karena itu, selama tidak ada dalil yang
menjelaskannya (mubayyan), maka lafal yang mujmal selamanya tetap tidak bisa
dijadikan hujjah atau tidak boleh diamalkan.
5. Hikmah HikmahHikmahHikmahHikmah
Hikmah
Hikmah dari kaidah mujmal dan mubayyan, antara lain:
a. Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau terdapat
bayan (penjelasan).”Maksudnya adalah apabila terdapat satu dalil yang bersifat
mujmal, sedang bayannya belum didapat atau belum ditemukan, maka dalil tersebut
tidak boleh diamalkan sebelum mendapatkan penjelasan atau bayan dari dalil
tersebut.Tapi ada sebagian ulama yang tidak sependirian dengan ketentuan di atas,
antara lain Daud Adzahiri yang berpendapat bahwa boleh mengamalkan dalil yang
mujmal bila tidak terdapat bayan atau penjelassannya. Alasaan beliau antara lain
adalah tidak mungkin terdapat dalil yang mujmal setelah Nabi wafat, karena sebelum
Nabi wafat, Islam telah disempurnakan terlebih dahulu .
b. Hukum menangguhkan penjelasan, misalnya seorang bertanya tentang suatu perkara
yang berhubungan dengan agama, dalam hal demikian apakah kita boleh
menangguhkan jawaban karena sesuatu hal, dan bagaimana bila saat itu si penanya
sangat memerlukan hukumnya.
Dilihat dari segi waktunya, maka penangguhan ada dua macam, masing-
masing terdapat ketentuan ulama:
(1) menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh. Alasannya
bila dalam hal demikian kita menangguhkan penjelasan, berarti kita
membenarkan seseorang berijtihad salah atau membenarkan seseorang
melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak agama. Di
samping itu beralasan itu berlandaskan juga dengan hadits yang berasal dari
A’isyah, yang mana ketika Fatimah binti Abi Hubeisy bertanya pada Nabi
‘apakah boleh meninggalkan sholat, karena dirinya selalu ‘istihadhah”’,
yakni tidak pernah suci. Maka Nabi menjawab:“Tidak, itu adalah cairan dan
bukan darah haid, dan bila datang haid maka tinggalkanlah sholat, dan bila
telah habis (waktu haid) maka cucilah darah itu dari dirimu dan shalatlah”
(HR. Bukhari dan Muslim).
(2) Dari hadits ini tampak bahwa, tidak boleh ditangguhkan penjelasan pada
waktu yang diperlukan, karena bila Nabi menundanya berarti Nabi telah
membenarkan orang tersebut tidak shalat. Oleh sebagian ulama, hadits
A’isyah tersebut dipakai juga sebagai alasan, bahwa wanita-wanita istihadhah
tidak wajib bersuci setiap akan sholat.

c. Perintah shalat pada ayat Dirikanlah shalat (QS.al-Baqarah: 110) tidaklah langsung
diiringi dengan penjelasannya. Adapun penjelasan mengenai bentuk atau tata
caranya adalah kemudian, yakni dengan cara-cara yang ditunjukkan oleh Nabi SAW.
sendiri. hal tersebut menunjukkan bolehnya menunda penjelasan atau bayan.

Uji Kompetensi
1. Apa yang dimaksud dengan mujmal !
2. Sebutkan sebab-sebab mujmal
3. Sebutkan hukum mujmal!
4. Tulislah contoh mujmal
5. Jelaskan pengertian bayan ?
6. Sebutkan klasifikasi bayan !
7. Sebutkan macam-macam bayan
8. Sebutkan ketentuan mujmal dan mubayyan
9. Jelaskan tentang ta’khirul bayan !
10. Jelaskan hikmah mujmal dan mubayyan !

Tugas mandiri
Carilah contoh tentang “Mujmal dan Bayan “dalam al Quran atau hadits kemudian beri penjelasan dengan
pendapatmu !
\

BAB X
MURADIF DAN MUSYTARAK

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi
secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah,
masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan
internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,
dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar
1.10. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah muradif dan
musytarak
2.10. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah muradif dan musytarak
3.10. Memahami ketentuan kaidah muradif dan musytarak
4.10. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah muradif dan musytarak dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta
didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih muradif dan musytarak
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih muradif dan musytarak
7. Menganalisis kaidah pokok fikih muradif dan musytarak
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah muradif dan musytarak

C. Materi Pokok

MURADIF DAN MUSYTARAK

1. Muradif
a. Pengertian Muradhif
‫المرادف هو اللفظ المتعدد للمعنى الواحد‬
Muradif ialah beberapa lafal yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafalnya banyak, sedang artinya
dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.Misalnya kata ‫ املعلم‬,‫ املدَر س‬,‫االستاذ‬
yang mempunyai sinonim dengan arti pendidik/ guru.
b. Kaidah Muradhif
‫ايقاع كل من املرادفني مكان االخر جيوز اذا مل يقم عليه طالع شرعي‬
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak
ditetapkan oleh syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara.
Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Alquran, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab Maliki,
takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal Allah akbar. Sementara Imam Abu Hanifah
membolehkan lafal Allah Akbar diganti dengan lafal Allah-ul Adzim.
Jumhur ulama yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syara yaitu bersifat
ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena
adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
c. Contoh lafadz muradif dalam Al quran
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadz muradif dan musytarak, hal utama yang harus
diperhatikan adalah siyaqul kalamnya. Dalam al-Qur’an beberapa contoh redaksi lafadh-lafadh
muradif, antara lain:
 Al-khauf dan khasyah artinya (takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas
sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khas yah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna
ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

١٦ - ‫َيْدُع ْو َن َر َّبُهْم َخ ْو ًفا َّو َطَم ًعۖا َّوِم َّم ا َر َز ْقٰن ُهْم ُيْنِفُقْو َن‬
mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. As-Sajdah:16)
٢١ - ۗ‫َو اَّلِذ ْيَن َيِص ُلْو َن َم ٓا َاَم َر ُهّٰللا ِبٖٓه َاْن ُّيْو َص َل َو َيْخ َش ْو َن َر َّبُهْم َو َيَخاُفْو َن ُس ْۤو َء اْلِحَس اِب‬
“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”(QS.
Ar-Ra’d: 21)
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyah dikhususkan hanya untuk
Allah SWT, sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khauf
berfaedah melemahkan atau dha’if.
 Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan
kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-bukhl karena
keadaannya. Seperti contoh berikut :

ۗ ‫الُّش َّح‬ ‫َو ُاْح ِض َر ِت اَاْلْنُفُس‬


“ walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.(QS. An-Nisa':128)

ۗ ‫َفْض ِلٖه‬ ‫اَّلِذ ْيَن َيْبَخ ُلْو َن َو َيْأُم ُرْو َن الَّناَس ِباْلُبْخ ِل َو َيْك ُتُم ْو َن َم آ ٰا ٰت ىُهُم ُهّٰللا ِم ْن‬
“orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan
karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. (QS. An-Nisa': 37)

٢٤ - ‫َو َم ا ُهَو َع َلى اْلَغْيِب ِبَض ِنْيٍۚن‬


Dan dia (Muhammad) bukanlah seorang yang kikir (enggan) untuk menerangkan yang gaib.
(QS. At-Takwir: 24)
 Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

ْ‫َاْنُفِس ِهم‬ ‫ْو َيُر ُّد ْو َنُك ْم ِّم ْۢن َبْع ِد ِاْيَم اِنُك ْم ُك َّفاًر ۚا َحَس ًدا ِّم ْن ِع ْنِد‬
” menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamusetelah kamu beriman,
menjadi kafir kembali,karena rasa dengki dalam diri mereka, .(QS. Al-Baqarah: 109)
 As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

٥٥ - ࣖ ‫َو َك ٰذ ِلَك ُنَفِّص ُل اٰاْل ٰي ِت َو ِلَتْسَتِبْيَن َس ِبْيُل اْلُم ْج ِر ِم ْيَن‬


Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an,dan agar terlihat jelas (pula) jalan
orang-orang yang berdosa.(QS. Al-An'am: 55)

– ‫َقاُلْو ا ٰي َقْو َم َنٓا ِاَّنا َسِم ْعَنا ِكٰت ًبا ُاْنِزَل ِم ْۢن َبْع ِد ُم ْو ٰس ى ُمَص ِّد ًقا ِّلَم ا َبْيَن َيَد ْيِه َيْهِد ْٓي ِاَلى اْلَح ِّق َو ِاٰل ى َطِرْيٍق ُّم ْسَتِقْيٍم‬
٣٠
“ Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh, kami telah mendengarkan Kitab (Al-
Qur'an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya,
membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.. (QS. Al-Ahqaf: 30)

d. Hukum muradif
Dari pengertian di atas jelas, bahwa muradif ialah beberapa kata yang mempunyai satu arti
yang sama. Para ulama berbeda pendapat, apakah dua lafadz atau lebih yang bersamaan arti boleh
dipertukarkan dalam pemakaian atau tidak.
Menurut pendapat yang terkuat :
‫إيقاع المترادفين مكان اآلخر يجوز إذا لم يقم عليه مانع شرعي‬
“ Menempatkan masing-masing dari dua lafadz yang muradif di tempat yang lain adalah boleh, apabila
tidak ada pencegahan yang bersifat syar’i “.
Menurut pendapat yang lain :

‫إيقاع المترادفين مكان اآلخر يجوز إذا كان من لغة واحد‬


“ Menempatkan masing-masing dari dua lafadz yang muradif di tempat yang lain adalah boleh, apabila
lafadz muradif itu dari satu bahasa.”
Pebedaan ini hanya dalam bacaan selain al Quran, seperti bacaan dalam shalat, do’a dan lain-
lain. Adapun al Quran, maka lafadznya tidak boleh diganti dengan lafadz yang sama artinya, karena
membaca lafadznya merupakan ibadah kepada Allah, dan lafadznya merupakan mu’jizat.
Diantara perbedaan pendapat, misalnya lafadz ALLAHU AKBAR dalam takbiratul ihram,
menurut Imam Malik tidak boleh selain kata ALLAHU AKBAR, menurut Imam Syafi’i boleh
ALLAHU AKBAR WALLAHU AKBAR, menurut Imam Abu Hanifah lafadz ALLAHU AKBAR sama
artinya dengan ALLAHU A’ADHOM atau ALLAHUL AJLU.

2. MUSYTARAK
a. Pengertian Musytarak

‫هو اللفظ الموضوع لحقيقتين مختلفتين اواكثر المشترك‬


Musytarak ialah satu lafal yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafal
mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata
tersebut secara bersamaan, tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata ‫ قرء‬yang
dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan masa haidh, lafal ‫ عين‬bisa berarti mata,
sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata ‫يد‬ musytarak antara tangan
kanan dan kiri, kekuasaan kata ‫ سنة‬dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun
masehi.

b. Contoh Lafal Musytarak dalam al-Quran


 Lafadz al-nikah
Adapun bentuk-bentuk lafadz musytarak itu adakalanya berupa ism (kata benda),
seperti lafadz al-nikah dalam QS. Al-Ahzab: 49 digunakan untuk makna al-‘aqd
(akad). Sebagaimana Allah berfirman:
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َنَك ْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت ُثَّم َطَّلْقُتُم ْو ُهَّن ِم ْن َقْبِل َاْن َتَم ُّسْو ُهَّن َفَم ا َلُك ْم َع َلْيِهَّن‬
٤٩ – ‫ِم ْن ِع َّد ٍة َتْع َتُّد ْو َنَهۚا َفَم ِّتُعْو ُهَّن َو َس ِّر ُحْو ُهَّن َسَر اًحا َجِم ْياًل‬
“ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun
berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(
Q.S 33:49)

Di sisi lain lafadz al-nikah juga digunakan untuk makna al-wath’


(bersenggama), seperti dalam QS. Al-baqarah: 230.
‫ۗ ِاْن َطَّلَقَها َفاَل َتِح ُّل َلٗه ِم ْۢن َبْعُد َح ّٰت ى َتْنِكَح َز ْو ًجا َغْيَر ٗه‬
“Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
 Lafadz ‘as’as
Dan terkadang lafadz musytarak juga dapat berupa fi’il (kata kerja), seperti lafadz
‘as’as yang terdapat pada QS. Al-Takwir:17.
‫َو الَّلْيِل َإَذ َع ْس َعَس ا‬
“Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya.”
Lafadz ‘as‘as yang terdapat pada ayat di atas dapat di gunakan untuk makna
menjelang (al-iqbal) dan dapat pula dipakai untuk makna meninggalkan (al-idbar).

 Lafadz min
Demikian juga musytarak dapat berupa huruf, seperti huruf min (dari) yang dapat
dimaksudkan untuk makna tujuan awal (li ibtida’ al-ghayah), seperti dalam QS. Al-
Isyra’:1.
Ushul Fikih Kelas XI MA PK 182
‫ُسْبٰح َن اَّلِذ ْٓي َاْس ٰر ى ِبَع ْبِدٖه َلْياًل ِّم َن اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم ِاَلى اْلَم ْس ِج ِد اَاْلْقَص ا اَّلِذ ْي ٰب َر ْك َنا َح ْو َلٗه‬
١ - ‫ِلُنِر َيٗه ِم ْن ٰا ٰي ِتَنۗا ِاَّنٗه ُهَو الَّس ِم ْيُع اْلَبِص ْيُر‬
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil
Haram ke masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekililingnyaagar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tAnda-tAnda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”

Lafadz min juga dapat berarti menunjukkan sebagian (li al-tab’idh), seperti dalam
QS. Ali-Imran: 92.

٩٢ - ‫َلْن َتَناُلوا اْلِبَّر َح ّٰت ى ُتْنِفُقْو ا ِمَّم ا ُتِح ُّبْو َن ۗ َو َم ا ُتْنِفُقْو ا ِم ْن َش ْي ٍء َفِاَّن َهّٰللا ِبٖه َع ِلْيٌم‬
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Lafadz min juga dapat digunakan untuk menunjukkan makna sebab (li al-
sababiyah), dalam QS. Nuh: 25.
‫ّم ِّم َا َخ ِط ْۤي ٰٔـ ِتِهْم ُاْغ ِر ُقْو ا َفُاْد ِخ ُلْو ا َناًرا ۙە َفَلْم َيِج ُد ْو ا َلُهْم ِّم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا َاْنَص اًرا‬
“Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan
ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari
Allah.”

Lafadz mahidh
Dalam Al-Qur’an contoh lafadz musytarak terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 222

‫ِفى اْلَم ِح ْيِۙض َو اَل َتْقَر ُبْو ُهَّن َح ّٰت ى‬ ‫َو َيْس َٔـُلْو َنَك َع ِن اْلَم ِح ْيِضۗ ُقْل ُهَو َاًذ ۙى َفاْعَتِز ُلوا الِّنَس ۤا َء‬
‫َهّٰللا ُيِح ُّب الَّتَّو اِبْيَن َو ُيِح ُّب‬ ‫َيْطُهْر َن ۚ َفِاَذ ا َتَطَّهْر َن َفْأُتْو ُهَّن ِم ْن َح ْيُث َاَم َر ُك ُم ُهّٰللاۗ ِاَّن‬
٢٢٢ - ‫اْلُم َتَطِّهِر ْيَن‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah


kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.”
Lafadz ‫ اْلَم ِح يَِض‬dapat diartikan masa/waktu haidh (zaman), dan juga bisa
berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut
para ulama ‫اْلَم ِح يَِض‬
diartikan sebagai tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah
bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-
istrinya dalam
waktu haidh. Sehingga yang dimaksud dengan lagadz ‫ اْلَم ِح يَِض‬di atas bukanlah waktu
haidh, akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).

Lafadz quru’
Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah: 228
‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Lafadz quru’ di atas berarti masa suci, dan juga bisa berarti dengan masa
haidh. Para ulama berbeda pendapat mengartikan lafadz quru’ tersebut.
Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci, alasannnya karena ada
indikasi tAnda muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaidah
bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafaẓat-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh, karena
bahwa lafadz tsalatsah adalah lafaẓ yang kha>s}s} yang secara ẓahir menunjukkan
sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini
hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci,
maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).

c. Hukum musytarak
Jumhur ulama’ termasuk Imam Syafi’i dan Ali Juba’i berpendapat :

‫استعمال المشترك فى معنييه اومعانيه يجوز‬


“ Pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa maknanya adalah boleh “.
Abu Hasyim, Abu Hasan Al Basyari dab ulama’ lain berpendapat :

‫استعمال المشترك فى معنييه ال يجوز‬


“ Pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa maknanya adalahtidak boleh “.

d. Contoh Muradif dan Musytarak dalam Kehidupan


Lafad mustarak yang masih belum bisa ditentukan makna yang dikehendaki oleh
mutakalim (orang yang berbicara) harus ditangguhkan dalam artian harus ditetapkan
makna yang dikehendaki dengan merenungkan makana yang sesuai atau yang
dikehendaki dengan melihat dan mempertimbangkan faktor-faktor dan argumen yang
menguatkan terhadap makna yang dikehendaki, terlebih bila musytarak ini adalah firman
Allah atau undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan umat manusia, karena
pada dasarnya mutakalim (orang yang berbicara) pastilah ada yang dimaksudkan dari
pembicaraan tersebut.
Untuk mengetahui bahwa lafad mustarak itu ada atau tidak dalam pembicaraan baik
dalam kalam Allah atau perkataan keseharian manusia perlu diulas perbedaan ulama
dalam menyikapi hal ini diantranya adalah :
Para pakar berbeda pendapat dalam menentukan apakah lafad mustarak itu dapat
terwujud atau tidak ? setidaknya ada tiga golongan diantaranya adalah :
1. Berpendapat bahwa lafad mustarak pasti terjadi (wajibu al-wujud) pada bahasa arabikih
2. Menolak adanya lafad mustarak dalam Bahasa Arab
3. Boleh jadi (jaizu al-wujud) lafad mustarak terjadi dalam Bahasa Arab

Hikmah
Hikmah dari kaidah muradif dan musytarak, antara lain:
 Salah satu Mufasir al-Qur’an kontemporer yang menolak adanya tara>duf dalam al-
Qur’an diantaranya adalah Muhammad Syahrur dan BintSya>ti’. Syahrur berpendapat
bahwa linguistik Arab tidak mengenal sinonimitas (muradif) dikarenakan setiap kata
memiliki makna tertentu dan setiap kata mengacu pada satu kata referen. Begitu pula
Bint Syati’, ia berpendapat bahwa lafadz-lafadz dalam al-Qur’an tidak memiliki
sinonim antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tersebut terlihat dari salah satu dari
beberapa prinsip dasar penafsirannya, antara lain:Adalah diktum yang telah ditemukan
oleh para mufasir klasik, bahwa al- Qur’an dapatmenjelaskan dirinya sendiri(al-
Qur’a>nyufassiruba’dul ba’dan), Adalah metode yang bisa disebut dengan metode
munasabah, yaitu metode yang mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat yang
ada didekatnya, sehingga disini tampak jelas bahwa al-Qur’an harus dipahami dalam
keseluruhannya sebagai suatukesatuan. Adalah prinsip bahwa suatu ‘ibrah (ketentuan
atau ungkapan) suatu masalah berdasar atas bunyi umumnya lafadz atau teks bukan
pada adanyasebabyangkhusus.
 Ulama’ yang yang memastikan adanya lafad mustarak dalam bahasa Arab
mengemukakan argument baik akli maupun naqli diantaranya adalah: Kata-kata itu
terbatas sedangkan makna itu tidak terbatas, oleh sebab itulah bila yang terbatas
diterapkan pada yang tidak terbatas tentulah harus ada lafad mustarak (satu kata
berbagai arti) dan tidak dapat dipungkiri bahwa makna memang tidak terbatas, semua
sepakat akan hal ini. Penggunaan kata yang umum riel digunakan dalam percakapan
sehari-hari, hal ini dapat dijumpai pada banyak kata diantaranya adalah kata ‘ada’
(maujud) atau kata ‘sesuatu’ (syai), kata ‘ada’ itu untuk menunjukkan satu benda
padahal wujud sesuatu itu berbeda dengan wujud sesuatu yang lain namun dalam
penggunaan kata ‘ada’ acap kali dimutlakkan dengan maksud mustarak.
 Ulama’ yang menolak adanya musytarak dalam penggunaanya berargumen :Bahwa
ketika seseorang berbicara dengan lafad musytarak maka niscaya tidak dapat difahami
secara sempurna, dan hal ini akan muncul persepsi negative (menimbulkan kerusakan)
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa musytarak itu boleh jadi terjadi
menggunakan argumentasi: Makna sebuah kata itu tergantung orang yang
mengucapkannya, terkadang seseorang mengucapkan sesuatu secara jelas, namun
terkadang juga mengucapkan sesuatu dengan maksud secara umum (tidak terperinci),
sebagai mana ketika diucapkan secara terperinci akan menyebabkan kerusakan sebagai
mana ucapan Abu Bakar ketika hijrah kemadinah ditanya oleh orang kafir “ ( ‫) من َهو‬
siapa dia ? Abu Bakar menjawab”( ‫ ) هورجل َيهدني َالسبيل‬dia adalah penunjuk
jalanku” dari jawaban ini adalah dikehendaki mustarak yaitu antara arti penunjuk jalan
dan Nabi yang menunjukkan jalan.
 Namun dalam kenyataannya penggunaan lafad musytarak lebih dari satu arti
diperdebatkan oleh segolongan ulama diantra yang membolehkan musytarak
digunakan lebih dari satu arti adalah imam syafi’I, al-Qadi Abu Bakar, Abu Ali Al-
Jiba’I, Qadi Abdul Jabbar bin Ahmad, Qadi Ja’far, syeh Hasan dan jumhur ulama dan
imam-imam ahli bait, dan yang menolak adanya mustarak yang menggunakan lebih
dari satu arti adalah Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri, dan al-Karkhi.

(https://fikbooks.blogspot.com/2018/05/pengertian-dan-macam-macam-
musytarak.html)
Uji Kompetensi
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini !
1. Apa yang dimaksud dengan muradif!
2. Tulislah kaidah muradif!
3. Tulislah contoh muradif dalam al-quran!
4. Bagaimana hukum muradif
5. Jelaskan pengertian musytarak !
6. Tulislah contoh muradif dalam al-quran!
7. Jelaskan hukum musytarak !
8. Tulislah pendapat ulama’ tentang adanya kalimat musytarak !
9. Sebutkan hikmah kaidah muradif dan musytarak!
10. Tulislah contoh muradif dan musytarak dalam kehidupan sehari-hari!

b. Tugas mandiri
 Carilah contoh kata muradif dan musytarak dalam kamus bahsa arab, kemudian buatlah kalimat dari
kata-kata tersebut !
 Tulis kembali kaidah muradif dan musytarak dalam bukumu

c. Tugas kelompok
 Kelas dibentuk menjadi 6 kelompok
 Masing-masing kelompok membuat kasus yang berhubungan dengan kaidah
musytarak dan muradif
 Setelah itu tukarkan masing-masing kasus tersebut kepada kelompok lain
 Kelompok yang mendapatkan kasus dari kelompok lain harus mendiskusikan dengan
kelompoknya untuk menjawab
 Sampaikan hasil diskusi tersebut dalam bentuk video atau youtube
BAB XI
MUTLAQ DAN MUQAYYAD

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi
secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar
1.11. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah mutlaq
dan muqayyad
2.11. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah mutlaq dan muqayyad
3.11. Memahami ketentuan kaidah mutlaq dan muqayyad
4.11. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah mutlaq dan muqayyad dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta
didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih mutalq dan muqayyad
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih mutalq dan muqayyad
7. Menganalisis kaidah pokok fikih mutalq dan muqayyad
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah mutalq dan muqayyad

C. Materi Pokok

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

1. Muthlaq
Muthlaq adalah lafal yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam
QS. Almujadalah: 3.
‫َو اَّلِذ ْيَن ُيٰظ ِهُرْو َن ِم ْن ِّنَس ۤا ِهْم ُثَّم َيُعْو ُد ْو َن ِلَم ا َقاُلْو ا َفَتْح ْيُر َر َقَبٍة ِّم ْن َقْبِل َاْن َّيَتَم ۤا َّس ۗا‬
‫ِر‬ ‫ِٕى‬
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”

Lafalraqabah/ budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala budak, baik yang mukmin maupun
kafir.

2. Muqayyad
Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam surah Annisa ayat 92 :
ٍ ‫َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َاْن َّيْقُتَل ُم ْؤ ِم ًنا ِااَّل َخ َطًٔـاۚ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم‬
‫َنة‬

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena
tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman.”
Lafal raqabah/ budak diatas dibatasi dengan yang beriman.
3. Macam-macam muthlaq dan muqayyad serta hukumnya
a. Lafal yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng- qayyid-kannya
(membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat
mengalihkan ke mutlakannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contoh
 pada surah Annisa ayat 11:
‫ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَر َكۚ َو ِاْن‬
‫َكاَنْت َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِح ٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد ۚ َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه‬
ۗ ‫َو َلٌد َّو َو ِرَثٓٗه َاَبٰو ُه َفُاِلِّمِه الُّثُلُث ۚ َفِاْن َك اَن َلٓٗه ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْي ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن‬
١١ - ‫ٰا َبۤا ُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤا ُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْقَر ُب َلُك ْم َنْفًعاۗ َفِر ْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا‬
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Bahwa “(pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
dan sesudah dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalam ayat diatas bersifat
muthlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi
batasan oleh hukum/hukum/nash hadis yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih
dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak
muthlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari
harta pusaka.”
 Lafadz ayyam:

‫َاَّياًم ا َّم ْعُد ْو ٰد ٍۗت َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َّم ِر ْيًضا َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِّم ْن َاَّياٍم ُاَخ َر‬
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak
berpuasa itu) pada hari-hari yang lain (Q.S Al Baqarah:184).
Dari ayat ini terdapat ‫ َاَّي اٍَم‬dalam redaksi ayat diatas berlaku mutlak, sehingga
pemberlakuan hukum mengqadha’ puasa di lain hari dijalankan sebagaimana mestinya dalam
arti berlaku pada hari-hari yang lain baik berurutan maupun tidak.
 Lafadz azwajan:

‫ۚ َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًجا َّيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّوَع ْش ًرا‬
Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah
mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.( Q.S Al Baqarah :234)
.Dari ayat ini terdapat kata ‫ َاْز َو اًجا‬dalam ayat tersebut berlaku mutlak bagi istri baik
dalam kondisi sudah digauli suami atau belum, untuk diharuskan menjalani masa ‘iddah
karena ditinggal mati oleh sang suami.
Adapun status hukum kata muqayyad dapat dijelaskan dengan ketentuan bahwa
selama variable pembatas tersebut belum ada variable lain yang kontradiktif maka
pemberlakuan hukum yang terkandung dalam kata muqayyad tersebut adalah sebagaimana
mestinya. Berikut beberapa contoh yang dapat dirincikan:
‫َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َاْن َّيْقُتَل ُم ْؤ ِم ًنا ِااَّل َخ َطًٔـاۚ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم َنٍة َّو ِدَيٌة‬
‫ُّمَس َّلَم ٌة ِآٰلى َاْهِلٖٓه ِآاَّل َاْن َّيَّص َّد ُقْو ا‬
Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran. (Q.S An Nisa’:92)
Dari ayat ini terdapat kata ‫ مْؤ ِم َنٍَة‬dalam ayat tersebut merupakan variable pembatas
atas kemutlakan kata ‫ َر َقَبٍَة‬, sehingga pemberlakuan hukum kafarat yang dapat diabsahkan
adalah bahwa budak tersebut harus beriman
‫ۤا سۗا‬
‫َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َشْهَر ْيِن ُم َتَتاِبَع ْيِن ِم ْن َقْبِل َاْن َّيَتَم‬
Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. (Q.S Al Mujadalah:4)
Dari ayat ini terdapat kata ‫ ُم َتَت اِبَع ْيَِن‬dalam ayat tersebut berfungsi sebagai variable
pembatas dari kemutlakan kata ‫ َش ْهَر ْيَِن‬, sehingga pemberlakuan puasa bagi orang yang
membatalkan puasa karena bersenggama dengan istri adalah dua bulan berturut-turut.
b. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafal muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contoh pada surah Almaidah ayat 3:
ِ‫ُحِّر َم ْت َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْلِخ ْنِز ْير‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”


Lafal ad dam/ darah, pada ayat diatas adalah muthlaq tanpa ada batasan. Tetapi
Lafalad dam/ darah pada ayat 145 surah Alanam.Dalam ayat ini bersifat muqayyad
karena dibatasi dengan lafal “yang mengalir.”

‫ُقْل ٓاَّل َاِج ُد ِفْي َم ٓا ُاْو ِح َي ِاَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع ٰل ى َطاِعٍم َّيْط َعُم ٓٗه ِآاَّل َاْن َّيُك ْو َن َم ْيَتًة َاْو َد ًم ا َّم ْس ُفْو ًحا َاْو َلْح َم‬
‫ِخ ْنِز ْيٍر‬
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang)
suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”

c. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafal yang mutlaq tetap diartikan
sesuai dengan ke mutlaqannya.
d. Kaidah Makna Kata yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernya”
maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas. Makna Majaz yaitu makna
kiasan. Pada kalimat “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka
kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani. Musytarak yaitu kata
yang punya lebih dari satu makna (ambigu). Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini
salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa
pada perbedaan pendapat.

4. Cara beralihnya lafadz Muthlaq ke Muqayyad


Ada beberapa kemungkinan beralihnya muthlaq ke muqayyad, yaitu :
 Jika persoalan dan hukum dalam kedua nash itu sama serta keadaan muthlaq dan
muqayyad terdapat pada hukum, maka wajib membawa yang muthlaq kepada yang
muqayyad .
 Jika persoalan dan hukum dalam kedua nash itu sama serta kedaan muthlaq dan
muqayyad terdapat pada sebab hukum, maka wajib pula membawa yang muthlaq
kepada yang muqayyad.
 Jika persoalan berbeda dan hukum sama , maka menurut ulama’ syafi’iyah wajib
membawa yang muthlaq kepada yang muqayyad
 Jika persoalan sama dan hukum berbeda, maka menurut jumhur syafi’iyah dan
hanafiyah, yang muthlaq dibawa ke yang muqayyad
 Jika persoalan berbeda dan hukum berbeda, maka ulama sepakat masing-masing tetap
pada posisinya , jadi tidak ada yang berubah.

5. Batasan lafadh muqayyad


Lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan, tanpa
memandang pada jumlahnya. Misalnya QS.An-Nisa;92.
a. lafadz muqayyad yang dibatasi dengan sifat
contoh :
‫ٰٓل‬
‫َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َاْن َّيْقُتَل ُم ْؤ ِم ًنا ِااَّل َخ َطًٔـاۚ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم َنٍة َّو ِدَيٌة ُّمَس َّلَم ٌة ِا ى َاْهِلٖٓه‬
‫ِآاَّل َاْن َّيَّص َّد ُقْو ا‬
“ Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan
pembayaran. (Q.S 4:92)

Kalimat raqabah dalam ayat tersebut adalah lafadz muqayyad yang dibatasi dengan sifat
yaitu seorang hamba sahaya yang beriman.

b. Lafadz muqayyad yang dibatasi dengan syarat


Adapun contoh lafadzmuqayyad yang dibatasi dengan syarat, ialah ayat yang berkaitan
dengan kafarat sumpah dalam surat Al-Ma’idah (5) ayat 89:

‫اَل ُيَؤ اِخ ُذ ُك ُم ُهّٰللا ِبالَّلْغ ِو ِفْٓي َاْيَم اِنُك ْم َو ٰل ِكْن ُّيَؤ اِخ ُذ ُك ْم ِبَم ا َع َّقْد ُّتُم اَاْلْيَم اَۚن َفَك َّفاَر ُتٓٗه ِاْط َع اُم َع َش َر ِة َم ٰس ِكْيَن‬
‫ِم ْن َاْو َسِط َم ا ُتْط ِعُم ْو َن َاْهِلْيُك ْم َاْو ِكْس َو ُتُهْم َاْو َتْح ِر ْيُر َر َقَبٍةۗ َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ۗ ٰذ ِلَك َك َّفاَر ُة َاْيَم اِنُك ْم‬
‫ِاَذ ا‬
٨٩ – ‫َح َلْفُتْم ۗ َو اْح َفُظْٓو ا َاْيَم اَنُك ْم ۗ َك ٰذ ِلَك ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلُك ْم ٰا ٰي ِتٖه َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن‬

“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja


(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu
melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-
hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).( Q.S 5:89)

Kafarat puasa tiga hari tersebut disyaratkan ketika orang yang melanggar sumpah tidak
mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan atau pakaian.

c. Lafadz muqayyad yang dibatasi dengan batasan lain:


Sedang lafaz muqayyad yang dibatasi dengan batasan lain, misalnya QS. Al-Baqarah
[2], 187:
‫َو ُك ُلْو ا َو اْش َر ُبْو ا َح ّٰت ى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخْيُط اَاْلْبَيُض ِم َن اْلَخْيِط اَاْلْس َو ِد ِم َن اْلَفْج ِۖر ُثَّم َاِتُّم وا الِّص َياَم ِاَلى‬
‫اَّلْيِۚل‬

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. (Q.S
2:187)

Dalam ayat tersebut ibadah puasa tersebut dibatasi sampai pada waktu malam.Oleh
karena itu puasa sepanjang malam tidak diperbolehkan.
Antara Muthlaq dan Muqayyad
Jika ada lafadz muthtlaq yang hukum dan obyeknya sama dengan lafadz yang muqayyad,
maka pengertian lafaz yang muthlaq tersebut disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad.
Misalnya QS. Al-Maidah [5], 3:
‫ُحِّر َم ْت َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْلِخ ْنِزْيِر َو َم ٓا ُاِهَّل ِلَغْيِر ِهّٰللا ِب ٖه‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah, (Q.S 5:3)

Dalam ayat tersebut darah yang disebutkan di atas adalah bersifat muthlaq (luas
tanpa ada batasan baik jumlah atau sifatnya, unlimited).Oleh karena itu, pengertian darah
yang bersifat muthlaq tersebut, disesuaikan dengan pengertian darah yang muqayyad dalam
QS. Al- An’am [6],145:
‫ُقْل ٓاَّل َاِج ُد ِفْي َم ٓا ُاْو ِح َي ِاَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع ٰل ى َطاِعٍم َّيْط َعُم ٓٗه ِآاَّل َاْن َّيُك ْو َن َم ْيَتًة َاْو َد ًم ا َّم ْس ُفْو ًحا َاْو َلْح َم‬
ۚ ‫ِخ ْنِز ْيٍر َفِاَّنٗه ِر ْج ٌس َاْو ِفْس ًقا ُاِهَّل ِلَغْيِر ِهّٰللا ِبٖه‬
“ Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang
mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Q.S 6:145

Oleh karena obyek kedua lafaz tersebut adalah sama yakni darah, dan hukum
keduanya juga sama yaitu diharamkan, maka pengertian lafadz yang muthlaq tersebut
disesuaikan dengan lafadz yang muqayyad. Dengan demikian darah yang diharamkan ialah
darah yang mengalir. Adapun hati dan limpah tidak diharamkan, karena tidak termasuk
kriteria darah yang mengalir.
Pendapat mazhab Hanafiyah adalah jika lafaz muthlaq berbeda dengan muqayyad, dalam
segi hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang muthlaq tidak dapat disesuaikan
dengan yang muqayyad. Contoh perbedaan lafaz muthlaq dan muqayyad dari segi sebab tapi
hukum keduanya sama, adalah QS. An-Nisa’[4], 92:

‫َٰٓل‬
- ‫ َوَم ْن ََقَتَل َُم ْؤ ِم ناا ََخ ًَٔطا ََفَتْح ِرْيُر ََر َقَبٍة مْؤ ِم َنٍَة َََّو ِد ََيٌة َم َس َّلَم ٌة َِا ى ََََاْهِل ٓه ََِآاَّل َََاَْن ََّيَّصَّد ُقْو ََِۗا‬١

“ Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia


memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran. (Q.S 4:92)

Serta QS. Al-Mujadilah [58], 3:


‫ َو اَّلِذ ْيَن َُيٰظ ِهُرْو َن َِم ْن َِّنَس ِٕۤا ىِهْم َُثَّم ََيُعْو ُد ْو ََن َِلََم ا ََقاَُلْو ا ََفَتْح ْيُر ََر َقَبٍَة َِّم ْن ََقْبَِل ََاْن ََّيَتَم ۤا َّس ِۗا‬٢ -َ
‫َِر‬
“ Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah
mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur.. (QS. Al-Mujadilah [58], 3)

Dalam ayat kedua ini, budak disebutkan secara muthlaq tidak ada batasan dan masih
umum, sedangkan pada ayat pertama disebutkan secara muqayyad (batasan), yakni budak
yang beriman saja. Pengertian lafaz yang muthlaq dalam ayat kedua ini, tidak dapat
disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad dalam ayat pertama di atas, karena faktor
penyebab wajibnya membayar kafârah karena pembunuhan berbeda dengan ayat kedua
faktor penyebab wajibnya kafarat adalah zhihâr.
Meskipun akibat hukum keduanya adalah sama, yaitu sama-sama memerdekakan
budak. Dengan demikian, kafarat zhihar adalah memerdekan budak secara muthlaq,
sedangkan kafarat pembunuhan adalah memerdekakan budak dengan qayd
(batasan)yangberiman.
Adapun apabila ada lafadz muthlaq mempunyai perbedaan hukum dengan lafaz yang
muqayyad, maka ulama sepakat bahwa pengertian lafaz yang muthlaq tidak dapat
disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad, meskipun keduanya mempunyai sebab yang
sama, kecuali bila ada indikasi (qarînah) atau dalil lain yang tersendiri. Misalnya QS. Al-
Ma’idah [5] 6:

‫ٰٓياَي َها َاَّلِذ ْيَن َٰا َم ُنْٓو ا َِاَذ ا َُقْم ُتْم َِاَلى َالَّص ٰل وِة َََفاْغ َِس ُلْو ا َُو ُجْو َهُك َْم ََو َاْيِدَيُك ْم َِاَلى َاَْلَم َر اِفِق ََواْمَسُحْو َا‬
‫َٰٓض‬
‫ِبُرُءْو ِس ُك ْم ََو َاْر ُج َلُك ْم َِاَلى َاْلَكْع َبْيِِۗن ََو ِاْن َُك ْنُتَْم َُج َُنباا َََفاَّطَّهُرْو َِۗا ََو ِاْن َُك ْنُتْم ََّم ْر ى ََاْو ََع ٰل َى‬
‫َس َفٍر ََاْو ََج ۤا َء ََاَح ٌد َِّم ْنُك ْم َِّم َن َاْلَغ ِٕۤا ىِط ََاْو َٰل َم َْسُتُم َالِّنََس ۤا َء ََفَلْم َََتِج ُد ْو ا ََم ۤا ا ء ََفَتَيَّم َُمْو ا ََص ِع ْيداا ََطِّيباَا‬
‫ََُّٰل‬
‫َفاْمَسُحْو ا َِبُوُجْو ِهُك ْم ََو َاْيِد ْيُك ْم َِّم ْنُه ََِۗم ا َُيِرْيُد َال َِلََيْج َعَل ََع َلَْيُك ْم َِّم ْن ََح ََر ٍج ََّو ٰل ِكَْن َي ِرْيَُد‬
‫ِلُيَطِّهَر ُك ْم ََو ِلُيِتَّم َِنْع َم َت ه ََعَلْيُك ْم ََلَع َّلُك ْم ََتَْش ُك ُر َْو ََن‬
“ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua
kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, agarkamu bersyukur. (Q.S 5:6)

Dalam ayat tersebut terdapat dua hukum yang berbeda, yakni kewajiban membasuh
kedua tangan dalam berwudhu dan bertayammum. Kalau kewajiban membasuh kedua
tangan dalam berwudhu dibatasi (muqayyad) hingga siku, sedangkan dalam bertayammum
tidak dibatasi (muthlaq). Padahal yang menjadi penyebab mengerjakan wudhu dan
tayammum adalah sama, yaitu untuk mengerjakan shalat.Permasalahannya, apakah
kewajiban mengusap kedua tangan dalam bertayammum yang bersifat muthlaq (tidak
dibatasi)itu, dapat disesuaikan dengan kewajiban membasuh kedua tangan dalam berwudhu
yang bersifat muqayyad lantaran keduanya mempunyai sebab yangsama? Ahli ushul fikih
telah menetapkan, bahwa lafaz yang muthlaq (tayammum)tersebut tidak dibawa kepada
lafaz yang muqayyad
(wudhu). Sedangkan kewajiban mengusap kedua tangan sampai dengan kedua siku dalam
bertayammum adalah berdasarkan dalil lain yaitu sabda Rasulullah SAW:
‫ َالّتَيُم َُم‬: ‫ َقال َر سوُل َاللِهصلى هللَا َعليه َو سلم‬: ‫وعن َابن َُع َم َر َر ضي هللَا َعنهما َقاَل‬
‫ َو َص ّحََح‬،‫ رواه َالدارقطن ي‬. ‫ َو َض ْر َبٌة َلْلَيَد ْيِن َإلى َالمْر ََفَقَْيَِن‬،‫ ََض ْر َبٌة َلْلَو ْج ِه‬: ‫َض ْر َبَتاِن‬
‫ األئمُة َو ْقَفَُه‬.
“Dari Ibn Umar ra, dia berkata: Rasullullah SAW bersabda: melakukan Tayammum
dengan dua usapan: mengusap pada wajah, dan mengusap ke tangan sehingga sampai siku.
Hadis riwayat al-Daraqutni, dan dibenarkan oleh para imam serta menerimanya.

Dari sabda Rasullullah SAW di atas, bisa dipahami bahwa kewajiban mengusap
kedua tangan sampai dengan kedua siku dalambertayammum, bukanlah karena
menyesuaikan pengertian muthlaq pada muqayyad, akan tetapi karena berdasarkan sabda
Rasulullah saw. diatas.

Contoh Mutlaq dan Muqayyad Dalam Al-Qur’an


Munculnya terma mutlak dan muqayyad tidak lepas dari permasalahan adanya
hubungan interteks hukum yang kontradiktif, sehingga untuk menyikapinya perlu dilakukan
langkah substitusi. Dalam pembahasan ini, penting diungkap polemik para pakar dalam
menyikapi kasus kekontradiksian interteks (pemahaman terhadap lafadz) yang mutlaq
dengan yang muqayyad. Berikut rincian dua pendapat dua kontradiksi interteks terma
mutlaq dan muqayyad :
1. Sebagian pakar mensubstitusikan (menggantikan) hukum yang terkandung dalam
teks yang mutlak ke dalam teks yang muqayyad, kemudian menjadikannya
prototype (model asli) untuk diaplikasikan pada semua redaksi ayat dalam satu
genre (irama). Argumentasi yang dipegang adalah bahwa teks-teks hukum pada
hakekatnya adalah satu kesatuan, dalam artian jika ada kasus pembatasan ayat
tertentu maka dapat diberlakukan juga pada redaksi ayat yang lain yang dalam satu
genre.
2. Sebagian pakar yang lain memperketat prosedur, dengan tidak mensubstitusikan
teks yang mutlak ke dalam teks yang muqayyad, dengan catatan tidak ada faktor
tertentu yang mengharuskan untuk membatasi teks mutlak tersebut. Argumentasi
yang dipegang adalah (1) upaya pembatasan teks yang mutlak merupakan ilegal
(tidak sah), (2) substitusi tersebut sama artinya dengan penyamaan sejarah turunnya
teks tersebut, sehingga sangat tidak rasional sekali bila terjadi ada teks yang turun
terakhir dibatasi oleh teks yang turun lebih dahulu.

Berangkat dari polemik diatas, bahwa prosedur substitusi merupakan sebuah


keniscayaan, mengingat terjadinya kontradiksi interteks sudah pasti, sehingga barangkali
pendapat yang kedua sebagaimana uraian diatas perlu ditinjau ulang, sebab argumen yang
dipakai sangatlah dangkal.
Selanjutnya, parameter apa yang dapat dijadikan acuan untuk proses substitusi tersebut
ketika terjadi kontradiksi?. Dalam hal ini ada dua pendapat yang mengemuka, yaitu:
a. Golongan imam Syafii berpendapat bahwa substitusi dapat dilakukan jika teks (lafadz)
yang kontradiktif mempunyai konten (isi) hukum yang sama.
b. Golongan imam Hanafi berpandangan bahwa substitusi berlaku jika teks yang
kontradiksi mempunyai konten dan motif hukum yang sama.

Contoh Redaksi Mutlaq dan Muqayyad dalam Kehidupan

Pembahasan mutlak dan muqayyad termasuk dalam pembahasan kata dan dipandang
dari segi keluasan dan tidaknya cakupan artinya. Secara spesifik ada beberapa karakteristik
yang dapat dipahami. Dilihat dari materi kata yang mutlak mengambil bentuk isim nakirah
(indefinite article) dalam konteks kalimat aktif, sedangkan muqayyad ada dua hal yang
dapat diperhatikan, yakni: (1) kata yang menunjuk pada obyek yang tertentu misalnya Boy,
Sahal, lelaki itu. (2) kata yang menunjuk pada arti secara mutlak tetapi dengan adanya
variabel pembatas misalnya siswa MAPK.
Kemudian, pembahasan berlanjut pada beberapa kemungkinan sketsa kata mutlak
ketika dalam rangkaian kalimat, yaitu:
1. Dalam sketsa kalimat perintah, contoh : ‫ َِإْر ِم ََنِج ا سا‬،‫ُأْقُتْل ََح َّيٌة‬
2. Dalam sketsa kalimat perintah bentuk masdar, contoh : ‫َفَتْح ِرْيُر ََر َقَبٍَة‬
3. Dalam sketsa kalimat berita masa mendatang, contoh : ‫َال َِنَكاَح َِإَّال َِبَوِلَّي‬

Adapun kalau dilihat pada status dari mutlak dan muqayyad, Musthofa Syalabi
menggolongkannya kedalam bahasan kata khusus ( ‫ ) َخ اٌَص‬dikarenakan keduanya memiliki
cakupan arti yang terfokus dan terealisasikan pada satu obyek dari satuan jenis obyek kata
tersebut, sehingga daya cakupnya tidaklah bersifat umum tanpa adanya tentatifitas (belum
pasti) sebab kata yang mutlak kandungan keumumannya mengandung tentatifitas. Dan
karakteristik tersebutlah yang membedakannya dengan‘Am, dimana kata yang umum
mempunyai cakupan arti yang luas dengan tanpa memandang tentatifitas.
Lebih jelasnya dapat kita lihat aplikasinya pada contoh: Semua siswa MAPK wajib bisa
aktif berbahasa Arab dan Inggris. Uraian: Dari contoh tersebut dapat dipahami bahwa kata
‘semua siswa MAPK’ berlaku umum mencakup semua siwa yang terdaftar dalam MAPK
dengan tanpa tentatif terkena hukum wajib aktif berbahasa Arab dan Inggris, sedangkan
kata ‘aktif berbahasa Arab dan Inggris’ berlaku mutlak (tidak mengikat), dalam arti semua
tema yang masuk dalam kategori aktif berbahasa Arab dan Inggris dan berlaku secara
tentatif.

Hikmah
Hikmah dari kaidah mutlaq dan muqayyad, antara lain:
 Melalui kaidah mutlaq dan muqayyad dapat membangun kerangka pemikiran bahwa hukum
dibentuk oleh Allah diproyeksikan untuk merespon problematika kehidupan manusia dalam
kaitanya sebagai solusi (problem solver), sebagaimana termanifestasikan dalam sebuah teks
yang menjadi sumber hukum. Normatifnya, latar belakang terbentuknya pola mutlak
muqayyad adalah karena adanya kontradiksi interteks (lafadz satu dengan yang lain),
dimana dalam satu konteks (situasi dan kondisi) tertentu dapat ditemukan ayat-ayat yang
belum mempunyai daya greget yang kuat dalam merespon problematika yang ada,
sementara di ayat lain dalam frame (kaca mata) yang sama ataupun berbeda lebih
mempunyai daya greget yang kuat.

 Mekanisme aktualisasi tersebut dapat dicontohkan dalam kasus bunga bank, yang oleh
konsensus ulama klasik tergolong dalam riba yang diharamkan oleh al-Quran. Namun,
sebagaimana kita ketahui bahwa jenis riba bervariasi. Oleh karena itu larangan riba dalam
al-Quran menjadi mutlak, sehingga gregetnya menjadi kurang, walaupun hadits juga
berperan membatasi kemutlakan tersebut, namun kalau dipahami secara mendalam
gregetnya juga masih belum kelihatan. Dalam posisi ini, proses pengambilan hukum
dengan mendasarkan apa yang terkandung dalam dasar inter-Syar‘i masih terlalu prematur
bila dihadapkan pada frame dunia sekarang ini. Dengan demikian perlu kiranya melibatkan
elemen ekstra-syar`i untuk melihat hal ini, yakni frame pemikiran perbankan tentang bunga
bank, yang dapat dinyatakan bahwa roda perekonomian akan menjadi timpang ketika
mengisolir sistem bunga bank, disamping itu kalau mau jujur bunga bank merupakan
manifestasi dari simbiosis mutualisme antara nasabah dengan bank sendiri. Dasar pemikiran
inilah yang membuat Fazlur Rahman berpandangan bahwa bunga bank yang ringan tidaklah
haram, bukan sebaliknya..

Uji Kompetensi

A. Jawablah pertanyaan dibawah ini !


1. Apa yang dimaksud dengan muthlaq dan tulislah contohnya!
2. Apa yang dimaksud dengan muqayyad dan tulislah contohnya!
3. Jelaskan hukum yang diakibatkan dari lafadz muthlaq dan muqayyad!
4. Jelaskan beralihnya lafadz muthlak ke muqayyad !
5. Tulislah ayat al quran atau hadits yang berhubungan dengan muthlaq dan muqayyad!
6. Berikanlah contoh ayat yang bersifat mutlaq!
7. Berikanlah contoh ayat yang bersifat Muqayyad!
8. Berikan contoh lafadz mutlaq yang dibatasi dengan sifat!
9. Berikan contoh lafadz mutlaq yang dibatasi dengan syarat!
10. Berikan contoh lafadz mutlaq yang dibatasi dengan selain sifat dan syarat!

BAB XII
DZAHIR DAN TA’WIL

A. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi
secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah,
masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan
internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,
dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar
1.12. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah zahir
dan takwil
2.12. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah zahir dan takwil
3.12. Memahami ketentuan kaidah zahir dan takwil
4.12. Mengomunikasikan contoh hasil analisis dari kaidah zahir dan takwil

B. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik


dapat:

1. Mematuhi ajaran agama


2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih zahir dan takwil
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih zahir dan takwil
7. Menganalisis kaidah pokok fikih zahir dan takwil
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah zahir dan takwil

C. Materi Pokok

DZAHIR DAN TA’WIL

1. Dzahir
Dzahir secara bahasa mempunyai arti yang terang dan yang jelas. Dalam pengertian istilah adalah
apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rajih/ jelas dengan lafalnya sendiri dengan adanya
kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi SAW:
‫توضؤوا من حلوم اإلبل‬
“Berwudulah kalian karena memakan daging unta!”
Maka yang dzahir dari istilah wudlu adalah membasuh anggota badan yang empat sesuai syara,
bukan wudlu yang berarti membersihkan diri.

2. Takwil
Secara etimologi berarti penjelasan, uraian, atau kembali, tempat kembali, atau balasan yang
kembali kepadanya. Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna
dari lafal yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari
makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
Jadi ta’wil ialah memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang kepada makna yang tidak
terang, karerna ada suatu dalil yng menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai.

Contoh firman Allah dalam surah Alanam ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-
mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Ditakwilkan menjadi bermakna Allah
mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh.Contoh lain,
firman Allah dalam surah Alfajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika ditakwilkan bermaknaAllah memperingatkan para hamba-Nya
yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah.
3. Syarat-syarat ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
 Ta’wil harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan sastra arab
 Ta’wil itu biasa digunakan sepanjang pengertian bahasa.
 Ta’wil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang ta’wilnya tersebut.
 Jika ta’wil itu berdasarkan qiyas maka harus memakai qiyas yang jelas dan kuat.
4. Masalah-masalah yang bisa dita’wil dan tidak
Para ulama’ berpendapat bahwa masalah-masalah furu’ yang dapat menerima ta’wil. Adapun
mengenai masalahyang berhubungan dengan ushul atau aqidah, mereka berbeda pendapat, yaitu :
 Masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah tidak dapat menerima ta’wil. Ini
adalah pendapat golongan Musyabbihah, yaitu mereka yang menyamakan Tuhan
dengan Makhluk.
 Masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah dapat menerima ta’wil , tetapi
ta’wilnya diserahkan kepada Allah. Ini adalah pendapat ulama’ salaf.
 Masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah dapat menerima ta’wil, ini
pendapat ulama’ khalaf.

5. Macam-macam ta’wil
Golongan Syafi’iyah membagi ta’wil menjadi 2, yaitu :
 Ta’wil yang jauh
Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafadz yang sangat jauh, sehingga
tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
 Ta’wil dekat
Yaitu ta’wil yang tidak jauh dari makna dhahirnya, sehingga dengan petunjuk
yang sederhana sudah dapat difahami maknanya.
Secara garis besar ta’wil ada dua macam, yaitu :
1. Ta’wil al-Quran atau hadits Nabi
Contoh dalam surat al-Fath ayat 60, terdapat kata “ Yadullahi fauqo Aidihim.
Kata Yadun yang berarti tangan dita’wil dengan arti kekuasaan
2. Ta’wil bagi nash, khusus berlaku dalam hukum taklifi.

Contoh Redaksi zahir dan takwil dalam Kehidupan


Takwil dipahami sebagai kaidah-kaidah penafsiran berdasarkan akal terhadap ayat-ayat alegoris
(kiasan, perlambang, ibarat, majaz) yang bertujuan menyingkap sebanyak mungkin makna yang terkandung di
dalam suatu teks serta memilih yang paling tepat.
Pada mulanya tafsir dan takwil dipahami sebagai dua kata yang memiliki makna sinonim, kemudian
keduanya dibedakan seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu Al- Qur'an pada kurun awal hijriah. Kedua
istilah ini dipahami sebagai sebuah kegiatan dalam rangka menggali dan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-
Qur'an. Pada masa Rasulullah, tafsir dan takwil dianggap sama (mutarādif), karena memang yang memiliki
otoritas penuh dalam menjelaskan isi Al-Qur'an adalahRasulullah. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu istilah
tafsir dan takwil memiliki pengertian dan wilayah masing-masing. Walaupun dalam praktiknya, masih ada
ulama yang
menganggap keduanya sama, semisal Abμ ‘Ubaidah dan kelompoknya Metode ta’wil dinilai masih cocok dan
relevan untuk diterapkan dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Hal ini dibuktikan setidaknya pada
kasus
hukum perkawinan (fiqh munakahat). Relevansi itu terlihat dalam menyelesaikan kasus tentang pembatasan
usiaperkawinan. Artinya, jika ada kasus dari calon pengantin yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-
kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Maka undang-undang tetap memberi jalan keluar
dengan cara meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2). (Pasal 7 ayat (2). Dalam hal
penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Adanya konsesi bagi calon mempelai yang kurang
dari sembilan belas tahun, atau enam belas tahun bagi wanita, dikarenakan adanya ayat al-Qur’an
mengindikasikan kebolehan perkawinan sebelum mencapai usia baligh, sebagaimana firman Allah surah at-
Talak ayat 4:
‫ّٰۤل‬ ‫ّٰۤل‬
‫َو ا ِٔـْي َيِٕىْس َن ِم َن اْلَم ِح ْيِض ِم ْن ِّنَس ۤا ِٕىُك ْم ِاِن اْر َتْبُتْم َفِع َّد ُتُهَّن َثٰل َثُة َاْش ُهٍۙر َّو ا ِٔـْي َلْم َيِح ْض َۗن َو ُاواَل ُت اَاْلْح َم اِل‬
٤ - ‫َاَج ُلُهَّن َاْن َّيَض ْع َن َحْم َلُهَّۗن َو َم ْن َّيَّتِق َهّٰللا َيْج َع ْل َّلٗه ِم ْن َاْم ِر ٖه ُيْسًرا‬
“ Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-
ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Sedangkan perempuanperempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam
urusannya. (Q.S 65:4)

Bolehnya perkawinan sebelum mencapai usia baligh dengan syarat harus melampirkan izin dari
pejabat setempat itu merupakan pendekatan ta’wil yang mana memindahkan makna rajih (yang lebih kuat)
kepada makna marjuh (yang lemah).
Ketentuan batas umur perkawinan ini, disebutkan dalam KHI dengan pertimbangan kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.
Sedangkan dalam konsep Islam masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang tampaknya lebih ditonjolkan
pada aspek fisik. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, yang dalam
term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung bebanhukum).

Hikmah
Hikmah dari kaidah zahir dan takwil, antara lain:
1. Melalui kaidah zahir dan takwil dapat membangun kerangka pemikiran bahwa hukum dibentuk oleh
Allah diproyeksikan untuk merespon problematika kehidupan manusia dalam kaitanya sebagai solusi
(problem solver)
2. Para ulama ushul fikih berpendapat zahir merupakan dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat
dalil yang menunjukkan lain daripadanya.” Artinya apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk
mendorong pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib
diikuti.
3. Praktik mengamalkan dalil takwil adalah sesuai konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya.
Karena takwil mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa,
takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil. Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad sebagai
cara meng-istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil, syaratnya :
 jika arti nash sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh
ditakwilkan dengan akal.
 Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya.
 Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada dalil,
bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
4. Pentingnya menjaga keseimbangan dalam pola hubungan antara zahir lafal dan makna dalam sebuah
takwil maupun tafsir. Terlalu berlebihan dengan hanya mengedepankan lafal/zahir teks dalam pemahaman
akan terjerumus pada kekeliruan. Seperti yang dilakukan kelompok literal (d͎ āhiriyah), sebab ajaran Al-
Qur'an menjadi terkesan jumud (diam kaku) dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga
terlalu berlebihan dalam upaya menangkap pesan atau makna batin dari sebuah ayat akan terjerumus
kepada kesalahan kelompok batiniyah yang banyak menggugurkan hukum-hukum syara’ demi
mengedepankan makna batin atau maksud di balik teks.
5. Tafsir lebih umum daripada takwil dan biasanya tafsir lebih banyak digunakan dalam lafal dan
mufradatnya, sedang takwil lebih dititikberatkan kepada makna dan kalimat serta sering dikenakan
kepada kitab-kitab suci, berbeda halnya dengan tafsir yang digunakan pada selain kitabsuci.
6. Penggunaan Al-Qur'an terhadap lafal ta'wîl, tampak bahwa pengertian takwil berkisar pada hasil akhir,
penerjemahan secara simbolik, penjelasan, serta penuturan kembali terhadap sesuatu.
7. Takwil lebih banyak menggunakan nalar. Dalam dunia penafsiran dikenal dua macam metodologi tafsir
yaitu tafsîr bil- ma'śūr dan tafsîr bir-ra'yi. Tafsîr bil- ma'śūr adalah tafsir dengan menggunakan
penjelasan Al-Qur'an sendiri, penjelasan Rasulullah, perkataan para sahabat dan tabi‘in. Sedangkan tafsîr
bir-ra'yi adalah tafsir dengan menggunakan kemampuan nalar dalam memahami ayat Al-Qur'an. Tafsîr
bir-ra'yi terbagi dua yaitu bir-ra'yi al-mahmμd (terpuji) dan bir-ra'yi al-mażmμm (tercela). Takwil lebih
dekat dengan tafsîr bir-ra'yi karena dalam takwil peran nalar sangat dominan.

Uji kompetensi

A. Jawablah pertanyaan dibawah ini !


1. Apa yang dimaksud dengan dhahir, tulislah contohnya !
2. Jelaskan pengertian ta’wil, dan contohnya !
3. Sebutkan syarat-syarat ta’wil
4. Sebutkan macam-macam ta’wil !
5. Sebutkan masalah-masalah yang bisa dita’wil !

B. TUGAS MANDIRI
Carilah contoh lafadz dhahir dan ta’wil dalam al Quran, kemudian jelaskan pendapatmu

C. TUGAS KELOMPOK
 Takwil menurut para pakar ushul fikih diartikan sebagai pemalingan suatu lafadz dari maknanya
yang zahir ke makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa
makna itulah yang dimaksud dengan lafadz. Untuk itulah kaidah ini dibangun! Yang menjadi
pertanyaan besar adalah bagaimana memahami Al-Qur'an sebagaimana dipahami bangsa Arab yang
hidup ketika Al-Qur'an diturunkan dengan pendekatan zahir dan takwil?

 Maka carilah surat al-Nisa’ ayat 6 kaitannya dengan kata baligh, kemudian takwilkan pembatasan
usia perkawinan di Indonesia, umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun begi perempuan, kemudian
komparasikan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 1, tentang batas usia minimal
melangsungkan perkawinan.
BAB XIII
MANTŪQ DAN MAFHŪM

D. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar


Kompetensi Inti
1. (SIKAP SPRIRITUAL) Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. (SIKAP SOSIAL) Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), bertanggungjawab, responsif, dan pro aktif, dalam berinteraksi
secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional
3. (PENGETAHUAN) Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
factual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. (KETERAMPILAN) Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah
konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah dan
bertindak secara efektif dan kreatif serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah
keilmuan

Kompetensi Dasar
1.13. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah mantūq dan
mafhum
2.13. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah mantūq dan mafhum
3.13. Memahami ketentuan kaidah mantūq dan mafhum
4.13. Mengomunikasikan contoh hasil analisis dari kaidah mantūq dan mafhum

E. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik
dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih mantūq dan mafhūml
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih mantūq dan mafhūml
7. Menganalisis kaidah pokok fikih mantūq dan mafhūml
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah mantūq dan mafhūm.
F. Materi Pokok

MANTŪQ DAN MAFHŪM

1. Manthuq
a. Pengertian Manthuq
‫ َم ا َد ّل َع َلْيِه َاَّللْفُظ َفْي َم َح ِّل َالنْطِق‬: ‫َاْلَم ْنُطْو ُق‬
Secara istilah artinya sesuatu hal atau hukum yang diterangkan oleh suatu lafal sesuai bunyi
lafal itu sendiri.
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan
pengertian ke makna yang lain.

b. Pembagian Manthuq
1) Hukum/nash
Hukum/nash ialah lafal yang bentuknya sendiri telah jelas maknanya. Seperti pada surah
Albaqarah ayat 196:

“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh ini diartikan lain
secara majaz (kiasan).
2) Zahir
Zahir ialah lafal yang yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada
kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Seperti pada QS Albaqarah: 222,

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti dari haid dinamakan suci (tuhr), berwudu dan mandi pun disebut tuhr. Namun
penunjukan kata tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah
makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid)
adalah marjuh (lemah).
3) Muawwal
Muawwal adalah lafal yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Contoh rendahkan sayapmu.
4) Dalalah Istida'
Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk lafal kepada makna yang tepat tapi terkadang
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS. Annisa: 23.

“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”,
sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-
ibumu.”
5) Dalalah Isyaroh
Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafal kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat
lafal. Contoh pada QS Albaqarah: 187,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar…”
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu pagi hari masih dalam
keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga
tidak ada kesempatan untuk mandi.
2. Mafhum
a. Pengertian Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang
tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
b. Pembagian Mafhum
1) Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan
makna lahiriyah.Misalnya pada QS Alisra: 23

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan
‘ah’ .
Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua,
maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti
mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat
2) Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari makna
lahiriyah. Misalnya pada QS At talaq ayat 6 :

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkah.”
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) maka jika di talak dalam
keadaan tidak hamil tidak perlu diberi nafkah

c. Pembagian mafhum muwafaqah


Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua, yaitu :
 Fahwal khithab , yaitu apabila yang tidak diucapkan lebih utama hukumnya daripada
yang diucapkan. Misalnya, larangan memukul orang tua merupakan mafhum dari
lafadz WA LAA TAQUL LAHUMA UFFIN (Q.S Al-Isra : 23). Ayat ini menunjukkan
haram mengatakan “AH” kepada orang tua, apalagi memukul mereka.
 Lahnal Khithab, yaitu apabila yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan
yang diucapkan, seperti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan
memakan harta anak yatim, walaupun hukum membakar anak yatim tidak disebutkan
dalam ayat tersebut.
(Q.S An-Nisa’ : 10)

d. Pembagia mafhum Mukhalafah


Mafhum mukhalafah dibagi menjadi :
 Mafhum Shifat, yaitu berlakunya kebalikan hukum sesuatu yang disertai dengan sifat,
apabila sifat itu tidak menyertainya. Misalnya firman Allah dalam surat An-Nisa’ :25
“ Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka, suci lagi beriman, dia boleh
mengawini wanita yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki ..................
(Q.S An- Nisa’ :25)
Menyifatkan hamba sahaya wanita dengan yang beriman, maka mafhumnya
haram menikahi hamba sahaya wanita yang kafir.

 Mafhum Syarata, yaitu berlakunya kebalikan hukum sesuatu yang disangkutkan


dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya. Misalnya firman Allah dalam
surat An-Nisa’ : 4

“ jika mereka dengan senang hati menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu,
maka makanlah(ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (Q. S An-Nisa: 4)
Persyaratan halalnya bagi suami memakan sebagian dari maskawin istrinya
dengan penyerahan secara sengan hati, mafhumnya jika istri tidak menyerahkan
dengan senang hati, maka haram bagi seorang suami memakannya.
 Mafhum Ghayah, yaitu berlakunya hukum yang disebutkan sampai batas waktu
tertentu, dan berlaku kebalikan hukum setelah batas waktu tersebut habis/.berlalu.
contoh ayat :

“ Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar ............... (Q.S Al- Baqarah : 187)
Ayat menunjukkan boleh makan dan minum pada waktu malam bulan
ramadlan sampai terbit fajar, mafhumnya haram makan dan minum sesudah fajar
terbit.
 Mafhum ‘Adad, yaitu mafhum kata bilangan, yaitu berlaku kebalikan suatu hukum
yang diasngkutkan dengan bilangan tertentu bagi jumlah yang kurang atau lebih
daripada yang dinyatakan oleh kata bilangan itu. Contoh dalam ayat :

“ Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera “. (Q. S An-Nur :
4)
Ayat ini menunjukkan bahwa, hukuman dera atas orang yang menuduh orang
baik-baik berbuat zina adalah 80 kali dera, mafhumnya hukuman dera karena
menuduh itu tidak boleh kurang atau lebih dari 80 kali.
 Mafhum Hashri, artinya mafhum pembatasan, yaitu hukum sesuatu yang disertai
pembatasan tidak melampaui kepada sesuatu yang lain di luar yang telah ditetapkan.
Dan bagi yang lain berlaku kebalikan dari hukum itu. Misalnya hadits yang berbunyi :
‫إنما الربا فى النسيئة‬
“ Riba itu hanya pada nasiah “
Hadits ini menunjukkan, bahwa riba hanya ada pada nasiah, mafhumnya pada
yang bukan nasiah tidak ada riba.
 Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari nama yang menyatakan dzat, baik nama diri,atau
berbentuk kata shifat. Dalam mafhum laqab, tetap berlakunya hukum bagi yang
disebut dan tidak melampaui kepada yang lain, dan bagi yang lainnya itu berlaku
kebalikan hukum tersebut. Misalnya hadits yang berbunyi :
‫ألذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح‬
‫مثال بمثل سواء بسواء يد بيد‬
“ Menukar emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan
syair, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, (hendaklah) dengan yang
serupa (sifatnya), sama jumlahnya dan tangan dengan tangan kiri “.
Hadits tersebut menunjukkan, bahwa pada keenam macam barang tersebut
akan terjadi riba apabila mempertukarkan barang yang sejenis dalam keadaan tidak
sama sifatnya,
jumlahnya dan tidak langsung menyerahkan dengan tangan kanan dan menerima
tukarannya dengan tangan kiri. Bagi barang selain enam macam tersebut berlaku
kebalikan hukum tersebut, mafhumnya tidak terjadi riba meskipun tidak sama sifat,
jumlahnya dan tidak langsung tangan kanan dan tangan kiri.

e. Pendapat para ulama’ tentang kedudukan hukum mafhum


Menurut jumhur ulama’ semua mafhum mukhalafah, kecuali mafhum laqab, dapat menjadi
dalil atau hujjah. Menurut Abu Hanifah tidak satupun mafhum mukhalafah dapat menjadi hujjah. Oleh
karena itu jumhur mempunyai syarat-syarat agar suatu mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah.
Syarat-syarat tersebut adalah :
 Mafhum Mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat ( rajih).
 Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan ni’mat
 Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penring dan
agungnya persoalan.
 Jika qayid yang disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain maka mafhum
mukhalafahnya tidak bisa dijadikan hujjah.
 Qayid tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum.
 Jika suati qayid menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum tersebut
tidak menjadi hujjah
 Jika suatu qayid itu menunjukkan jumlah yang banyak yang tidak terbatas, maka mafhum
mukhalafah tidak menjadi hujjah

Uji kompetensi
A. Jawablah pertanyaan dibawah ini !
1. Jelaskan pengertian manthuq dan tulislah contohnya !
2. Apa yang dimaksud dengan mafhum, dan beri contohnya !
3. Sebutkan macam-macam mafhum dan jelaskan !
4. Sebutkan macama-macam mafhum muwaqah !
5. Sebutkan macam-macam mafhum mukhalafah!
6. Buatlah contoh tentang macam-macam mafhum muwafaqah !
7. Buatlah contoh tentang macam-macam mafhum mukhalafah !
8. Sebutkan syarat-syarat suatu mafhum bisa dijadikan hujjah !
9. Tulislah ayat yang berhubungan dengan mafhum dan manthuq !
10. Jelaskan pendapat kalian tentang berhujjah dengan mafhum dan manthuq !

B. Tugas individu
Cari dan Tulislah dalil yang terdapat dalam materi diatas yang masih kosong !

C. Tugas Kelompok
 Carilah contoh mafhum dan manthuq yang ada didalam al –Quran atau hadits, kemudian
diskusian dengan kelompok kalian
 Carilah pendapat ulama’ tentang manthuq dan mafhum, kemudian diskusikan dengan kelompok
kalian

Anda mungkin juga menyukai