Modul Fiqh Kelas Xii Reguler
Modul Fiqh Kelas Xii Reguler
Modul Fiqh Kelas Xii Reguler
KELAS XII
O
L
E
H
SHIDQIYAH SYAFRIDAH, S. Ag
NIP. 19790518 200501 2 00 5
Kompetensi Dasar
1.6. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah amar
dan nahi
2.6. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah amar dan nahî
3.6. Memahami ketentuan kaidah amar dan nahî
4.6. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah amar dan nahi dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik
dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih amar dan nahî
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih amar dan nahî
7. Menganalisis kaidah pokok fikih amar dan nahî
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah amar dan nahî
C. Materi Pokok
Al- Amru dan An – Nahy
1. AL AMRU
a. Pengertian Al Amru (perintah) dan contohnya
Amar (perintah) bisa dinyatakan dengan beberapa sighat (redaksi kata), yaitu :
1) Dengan menggunakan Fi’il Amr
Contoh :
وَأِقيُم وا الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َكاَة َو اْر َك ُعوا َم َع الَّراِكِع يَن
“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang
rukuk.” (QS Albaqarah: 43)
2) Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amr :
Contoh :
(٦٣ : )النور.. َفْلَيْح َذ ِر َاَّلِذ ْيَن َيَخ اِلُفْو َن َع ْن َأْم ِر َه
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut” (QS. An Nur : 63)
3) Isim Fi’il Amar
Contoh :
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا عََلْيُك ْم َأْنُفَس ُك ْم اَل َيُضُّر ُك ْم َم ْن َض َّل ِإَذ ا اْهَتَد ْيُتْم
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk… (QS Almaidah:105)
4) Isim Masdar pengganti fi’il
Misal kata : = إْح َس اًناberbuat baiklah
Contoh :
َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِإْح َس اًنا
“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah.” (QS Albaqarah: 83)
5) Kalimat berita (kalam khabar) bermakna Insya (perintah)
Contoh :
َو ْالُم َطَّلـَقاُت يََتَر َبْص نَ ِبَاْنُفِس ِهَّن َثَالَثَة ُقُرْو ٍء
“perempuan- perempuan yang telah dicerai itu Hendaklah menahan dirinya 3 x suci dari
haid (iddahny).” (QS. Albaqarah: 228)
6) Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
َو َجَب، َكَتَب، َفَر ض، َأَم َر
Contoh :
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنواُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم اُك ِتَب َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقْو َن
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan
kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS Albaqarah: 183)
Seperti sabda Rasulullah SAW : “jika tidaklah memberatkan terhadap umatku, sungguh aku
perintahkan kepada mereka menggosok gigi setiap akan melaksanakan salat” (HR Bukhari).
Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak
ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah
terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Dalam kewajiban yang dibatasi dengan waktu, dapat
diambil pengertian “segera” dari batasan waktu untuk kewajiban yang habis dengan habisnya
waktu itu, seperti firman Allah Albaqarah: 148.
)148: فا استبقوا الخيرات (البقرة
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
5) Amr dengan wasilah-wasilahnya
َاْال ِبالَّش َأ ِب اِئِلِه
ْم ُر ْئ ْم ٌر َو َس
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya”.
Perintah mendirikan sholat berarti juga perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah
(jalan kepada) sahnya sholat. Oleh karena itu, perintah shalat berarti juga perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama’ menetapkan kaidah: “tiap-tiap perkara yang
kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula”.
6) Amr yang menunjukkan kepada larangan
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari
Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Q.S Al Jumuah :
9)
- َفِاَذ ا ُقِض َيِت الَّص ٰل وُة َفاْنَتِش ُرْو ا ِفى اَاْلْر ِض َو اْبَتُغ ْو ا ِم ْن َفْض ِل ِهّٰللا َو اْذ ُك ُروا َهّٰللا َك ِثْيًرا َّلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َن
١٠
“ Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.( QS. Al Jumuah : 10)
Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang dibolehkan, seperti pada awalnya
Nabi melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak
menunjukkan kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah), sabda Nabi SAW :
ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِز َياَرِة ْالُقُبْو ِر َفُز ْو ُرَها
“Dan saya larang kamu menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (HR Muslim)
d. Macam-Macam Amar
()للندب artinya sunat, seperti firman Allah :
)33: فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا ( النور
“ maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka
“. (An-Nur : 33)
( )لإلرشادartinya petunjuk, contoh :
) 282 : إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فا كتبوه (البقرة
“ apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (hutang) untuk waktu yang ditentukan, maka
tulislah “ . (Al-Baqarah : 282 )
( ) لإلباحةartinya mubah atau boleh, contoh :
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط األبيض من الخيط األسود من الفجر
(187: ) البقرة
“ dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar “.
(Al Baqaqrah : 187)
() للتهديد artinya ancaman, seperti firman Allah :
) 40: إعملوا ما شئتم (فصلت
“ berbuatlah apa yang kamu kehendaki “. (Fushilat : 40)
2. AN NAHYU
a. Pengertian An Nahyu
Menurut bahasa nahi/ An Nahyu berarti larangan, sedangkan menurut istilah ialah:
ِإ ِك ِم
َطَلُب الَّتْر َن اَألْع لَى لَى ْاَألْد نَى: َالَّنْه ُي
“An Nahyu (larangan) ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada
yang lebih rendah (kedudukannya)”.
Kedudukan yang lebih tinggi di sini adalah Syari’ (Allah atau Rasul Nya) dan kedudukan yang lebih
rendah adalah mukallaf. Jadi nahi adalah larangan yang datang dari Allah atau Rasul-Nya kepada
mukallaf.
b. Sihgat (redaksi kata) Nahi
1) Menggunakan Fi’il Mudhari yang didahului dengan la nahiyah/ lam nahi (janganlah)
َو َال َتْأُك ُلـْو ا َأْم ـَو اَلُك ْم َبْيَنُك ـْم ِباْلَباِط ِل
“Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil.” (QS Albaqarah: 188)
َو َال ُتْف ِس ـُد ْو ا ِىف ْاَألْر ِض
“Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Albaqarah: 11)
2) Lafal-lafal yang dengan tegas bermakna larangan (mengharamkan).
Misalnya : َنَه ى،َح َّر َم،
Firman Allah SWT:
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْقَر ُبوا الَّص ٰل وَة َو َاْنُتْم ُس َك اٰر ى َح ّٰت ى َتْع َلُم ْو ا َم ا َتُقْو ُلْو ن
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, “ (QS. Annisa: 43)
Ayat ini mengandung perintah mentauhidkan Allah, sebagai kebalikan larangan mensekutukan-
Nya.
Misalnya menjual anak hewan yang masih dalam kandungan ibunya, berarti akad jual belinya
tidak sah. Karena yang diperjualbelikan tidak jelas dan belum memenuhi rukun jual beli.
Hikmah
b. Betapa pentingnya mempunyai pengetahuan kebahasaan tentang amar dan nahî ini, yang
mana diharapkan mampu memahami hukum-hukum syariat secara kaffah dan menyeluruh,
yang pada akhirnya dapat menjadi seorang muslim dan mukmin sejati, yang bisa
mengerjakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, yang termaktub dalam
bentuk amar maupun nahî.
c. Perlu diketahui dan dicamkan dalam setiap kalbu manusia, bahwa di dalam semua perintah
(amar) Allah pasti ada mashlahah dan manfaat yang terkandung di dalamnya, yang mungkin
manusia itu sendiri tidak menyadari karena keterbatasan pikiran dan sedikitnya ilmu yang
dimiliki. Begitu juga sebaliknya, apabila Allah melarang mengerjakan sesuatu pasti ada
mafsadah dan madharahnya yang harus kita hindari sejauh-jauhnya.
UJI KOMPETENSI
B. Tugas individu
a. Carilah contoh sighat (redaksi kata) amar dari alquran atau hadits
b. Carilah contoh sighat (redaksi kata) nahî dari ayat al-Qur’an atau Hadis
(minimal 3 ayat atau hadits)
D. Tugas individu
Tulislah kaidah al amru dan an nahyu kemudian hafalkan !
N PERTANYAAN JAWABAN
O
1. Adakah perbedaan antara amr dan nahy?Jelaskan!
2. Adakah perbedaan antara sighat amr dan nahy?Jelaskan!
3. Apakah semua lafadz amr artinya adalah perintah? Jelaskan!
4. Apakah semua lafadz nahy artinya adalah larangan?
5. Jelaskan makna lain dari lafadz amr artinya adalah wajib?
6. Jelaskan makna lain dari lafadz nahy artinya adalah haram?
7. Menurut Anda kenapa Allah SWT mewajibkan kita shalat?
8. Apa akibatnya jika memahami Al Qur’an tanpa dasar ilmu yang
mendalam?
9. Bagaimana hukumnya memerintahkan sesuatu yang kita sendiri tidak
melakukannya?
10. Jelaskan akibat jika kita tidak mentaati larangan Allah SWT?
BAB VII
‘AMM DAN KHASH
Kompetensi Dasar
1.7. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah ‘āmm dan
khāṣh
2.7. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah ‘āmm dan khāṣh
3.7. Memahami ketentuan kaidah ‘āmm dan khāṣh
4.7. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah ‘āmm dan khāṣh dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik
dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih ‘āmm dan khāṣṣ
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih ‘āmm dan khāṣṣ
7. Menganalisis kaidah pokok fikih ‘āmm dan khāṣṣ
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah ‘āmm dan khāṣṣ
C. Materi Pokok
1. ‘Amm
a. Pengertian am
( ) َاْلَع اُم َهَو َاَّللْفُظ َاْلُم ْسَتْغ ِرُق َلَجِم ْيِع َم ا َيْص ِلَح َلُه َبَح ْس ِب َو ْض ٍع َو اِح َد
‘Āmm(umum) adalah satu lafal yang mencakup seluruh bagian yang ia lingkupi dengan satu
makna saja.
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum.Menurut istilah am adalah lafal yang
memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu. Dengan
pengertian lain, am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
b. Bentuk lafal am
1) Lafal ( كلsetiap) dan ( جميعseluruhnya), kedua kata tersebut keduanya mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas jumlahnya.
Misalnya firman Allah:
ُك ُّل َنْفٍس َذ ۤا ِٕىَقُة اْلَم ْو ِۗت
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (QS Ali Imran: 185)
Kata al walidat dalam ayat diatas bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau
disebut ibu.
3) Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
َو َاَح َّل ُهّٰللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر ٰب وۗا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Albaqarah:
275)
Kata al bai’ (jual beli) dan al riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh
karena itu, keduanya adalah lafal ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat
dimasukkan kedalamnya.
4) Lafal asma’ al-Maushul, Seperti ma, al-ladhi na, al-ladzi dan sebagainya.
١٠ - ِࣖاَّن اَّلِذ ْيَن َيْأُك ُلْو َن َاْم َو اَل اْلَيٰت ٰم ى ُظْلًم ا ِاَّنَم ا َيْأُك ُلْو َن ِفْي ُبُطْو ِنِهْم َناًراۗ َو َسَيْص َلْو َن َسِع ْيًرا
“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS Annisa: 10)
5) Lafal asma’ al-syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan
sebagainya.
ۗ ۗ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم َنٍة َّو ِدَيٌة ُّمَس َّلَم ٌة ِآٰلى َاْهِلٖٓه ِآاَّل َاْن َّيَّص َّد ُقْو ا
“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.”
(QS Annisa: 92)
6) Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata
َو اَل ُج َناَحdalam ayat berikut
ۗ َو اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم َاْن َتْنِك ُحْو ُهَّن ِاَذ ٓا ٰا َتْيُتُم ْو ُهَّن ُاُجْو َر ُهَّن
“dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”
(QS Almumtahanah: 10)
8) Lafal َس اِئَرyang berarti selainnya, contoh: lafal َس اِئَرyang berarti selainnya, bukan isim
fa’il kata َس اَر َيِس ْيَر, misalnya: (ambil dari mereka empat saja, lepaskanlah selebihnya)
َأْمِس ْك َم ْنُهَّن َأْر َبعاا َو فاَر ْق َس اِئُر ُهَّن
c. Dalalah Lafal am
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafal ‘am itu dzanniy dalalahnya atas
semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafal ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-
satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah
yang berbunyi:
ِم ٍم ِإ
َم ا ْن َعا َّال ُخ ِّص َص
“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafal ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda
dengan jumhur ulama, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafal am itu qath’iy dalalahnya, selagi
tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafal am itu dimaksudkan
oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh,
Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah,
karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
َو اَل َتْأُك ُلْو ا ِمَّم ا َلْم ُيْذ َك اْس ُم ِهّٰللا َع َلْيِه َو ِاَّنٗه َلِفْس ٌۗق
ِر
“dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya.” (QS Alanam: 121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadis Nabi SAW yang berbunyi:
ا ْس ِلُم َيْذ َبُح َعَلى اْس ِم اِهلل َّمَسى َأْو َمل ُيَس ِّم رواه أبو داود
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
ْمل
menyebutnya atau tidak.” (HR Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya,
sedangkan hadis Nabi itersebut hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafiiyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadis tersebut.
Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafal am pada ayat itu dzanniy dalalahnya.
d. Kaidah-kaidah Lafal am
ِه
1) ( َع اٌم ُيَر اُد ِب الُعُم ـْو َمlafal am yang dikehendaki keumumannya), karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Contoh:
(ال ـا ا ِب ِهlafal
2)
اُخلُصـْو ُص َع ُم ُيَر ُد am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus), karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
َم ا َك اَن َاِلْهِل اْلَم ِد ْيَنِة َو َم ْن َح ْو َلُهْم ِّم َن اَاْلْع َر اِب َاْن َّيَتَخ َّلُفْو ا َع ْن َّر ُسْو ِل ِهّٰللا َو اَل َيْر َغ ُبْو ا ِبَاْنُفِس ِهْم َع ْن
ۗ َّنْفِس ٖه
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam
di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. “ (QS Attaubah:
120).
Adapun yang dimaksud penduduk Madinah tersebut bukan seluruh penduduk Madinah, tapi
hanya orang-orang yang mampu.
3) ( َعـاٌم ْخَمُصـْو ٌصlafal am yang menerima pengkhususan), ialah lafal amyang tidak disertai
penghalang/ qarinah ia tidak mungkin dikhususkan dan tidak ada pula penghalang/ qarinah yang
meniadakan tetapnya atau keumumannya. Tidak ada penghalang/ qarinah lafal atau akal atau urf
yang memastikannya umum atau khusus. Lafal am seperti ini secara lahiriyah menunjukkan
umum sampai ada dalil pengkhususannya.
Contoh: Firman Allah SWT
َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS
Albaqarah: 228).
Lafal am dalam ayat tersebut adalah al muthallaqatu (wanita-wanita yang ditalak), terbebas
dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian
cakupannya
Bolehkah kita mengamalkan dalil ‘am sebelum menyelidiki dan mencari dalil-dalil lain yang
mentakhsiskan? Menurut kaidah fiqih yang berbunyi :
العمل بالعام قبل البحث عن المخصص اليجوز
“mengamalkan dalil ‘am sebelum menyelidiki yang mentakhsis tidak diperbolehkan”.
Jadi menurut kaidah diatas, kita tidak boleh mengamalkan dalil-dalil ‘am tanpa menyelidiki lebih
dahulu dalil-dalil yang mentakhsiskannya.
2. Khash
a. Pengertian Khas
Khas ialah lafal yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum, dengan kata
lain, khas itu kebalikan dari am.
هو اللفظ املوضوع ملعىن واحد معلوم على اإلنفراد
Suatu lafal yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut istilah, definisi khas adalah lafal yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat,
sekumpulan, sekelompok, dan lafal-lafal lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi
tidak mencakup semua satuan-satuan itu.
b. Redaksi kata khash
Sebagaimana penjelasan diatas, bahwa khas adalah menunjukkan batasan dai ‘am, maka
redaksi kata khas adalah meliputi :
c. Menunjukkan batasan
Contoh : َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخْيُط اَأْلْبَيُض ِم َن اْلَخْيِط اَأْلْس َو ِد ِم َن اْلَفْج ِر ۖ ُثَّم َأِتُّم وا
c. Dalalah Khas
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan
hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzaniy, selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ِّج
”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji ” (QS Albaqarah: 196)
Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau
lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafal itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy
dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Tetapi apabila ada qarinah, maka lafal khas harus ditakwilkan
kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
d. Ketentuan-Ketentuan Khash
Ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan dalam rangka menyikapi dalil-dalil ‘āmm dan
khāṣṣ dalam realitas kehidupan, antara lain:
Ketika terjadi pertentangan antara dalil ‘āmm dengan dalil khāṣṣ, maka yang didahulukan
adalah dalil khāṣṣ, misalnya pertentangan antara dua hadis terkait zakat biji-bijian berikut:
َو َم ا َسِقَي،َ َفيَم ا َس َقِت َالَّس َم اَء َو الُعُيوَن َأْو َك اَن َع َثِر ًّيا الُع ْش ُر:َ َع ِن َالَّنِبّي ِص َّلى ِهَّللَا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل
ِبالَّنْض َح ِنْص ُف َالَع ْش ِر
َقاَل َر ُسوُل َالّلِه ِص َّلى َالّلِه ُع َلْيِه َو َس َّلَم َلْيَس فيَم ا َدُوَن َخ َم َسِة َأَو اٍقَص د َقة ٌو اَل َفيَم ا َدُوَن َخ ْم ِس َذ َو ٍد َص د َقة
ٌو لْيَس َفِيَم ا َدوَن َخ ْمَس أَو ُس ٍق َص د َقَة
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada zakat pada perak yang
kurang dari lima ekor uqiyah, tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor dan tidak
ada zakat pada (biji-bijian) yang kurang dari lima wasaq."
Hadis pertama menyatakan bahwa semua tanaman terkena zakat, sedangkan hadis
kedua mengkhususkan zakat hanya pada biji-bijian yang mencapai lima sak (720 gram).
Hadis kedua yang khāṣṣ didahulukan daripada hadis pertama yang ‘āmm.
Adat atau ’urf tidak boleh dijadikan sebagai sarana khāṣṣ, karena syariat tidak disusun
berdasarkan adat.
Yang dijadikan patokan adalah keumuman lafal, bukan hanya khusus pada kasus yang
melatarinya ( ) َالَّس َبب ْالِع ْبَر ُة َبُع ُم ْو ِم َالَّلْفِظ اَل َبُخ ُصْو ِص.
Misalnya hadis ( َاْلِح ل َم ْيَتُتَُه،) ُهَو َالَّطُهوُر َم اُؤ ُهyang dilatari oleh pertanyaan sahabat yang
kekurangan air tawar untuk bersuci ketika sedang berlayar di laut. Jawaban Rasulullah
bersifat umum, tidak hanya untuk kasus dan kondisi semisal itu saja, tapi menunjukkan
kebolehan bersuci dengan air laut dalam kondisi apapun dan halal ikan yang ada di laut
meskipun sudah mati. Demikianlah para sahabat memahami keumuman hadis ini. Meskipun
demikian ada ulama yang menyatakan sebaliknya dan menjadikan dalil tersebut tidak tidak
berlaku umum.
Lafal ‘āmm setelah di-takhṣīṣ masih berlaku pada ruang lingkup yang tidak terkena
pengkhususan
العا م َإذا َدخله َالَّتخصيُص َفإَّنُه َح قيقة َفيما َبقي َبعَد َالَّتخصيِص ُم طَلقَا
Misalnya ayat ( ) َو الَّساِر ُق َو الَّساِر َقُة َفاْقَطُع ْٓو ا َاْيِدَيُهَم ا
yang ditakhṣīṣ dengan hadis: َو عن َالَّصبي َح َّتى، َعن َالَّنائِم َح َّتى َيستيقَظ:ُر ِفع َالَقلُم َعن َثًلثٍة
َيحتِلَم،
وعن َالمجنوِن َح َّتى َيعِقََل
“ Pena diangkat (kewajiban tidak diberlakukan) terhadap tiga (golongan)" rang gila
hingga sadar (sembuh)terhadap oterhadap anak kecil hingga balig, tidur hingga bangun."
(HR. Abu Daud, 4403 dan Ibnu Majah, dan dari orang)2041
Keumuman ayat tersebut hukum potong tangan bagi semua pencuri, kemudian di-
takhṣīṣ hadis kecuali tiga golongan yaitu: anak kecil yang belum baligh, orang gila dan orang
yang tidak sadar atau dipaksa. Maka mereka tidak termasuk mendapatkan hukuman potong
tangan jika mencuri.
Dalil yang tidak dirinci, padahal memungkinkan untuk lebih diperinci menunjukkan bahwa
dalil tersebut berlaku umum.
Hikmah
Hikmah (perenungan) dari kaidah ‘āmm dan khāṣh, antara lain:
a. Pendekatan dalam memahami al-Qur’an memiliki berbagai varian di dalamnya (gaya
ushlub), karena al-Qur’an di turunkan kepada Nabi SAW menggunakan bahasa arab yang
indah dan mudah untuk dipahami. Al-Qur’an menjadi mukjizat terbesar serta menjadi
pedoman untuk umatnya. Ada rahasia-rahasia yang perlu banyak dikaji secara luas dan
mendalam dalam aturan syariat dan hukum agama salah satunya melalui pendekatan kaidah
‘āmm dan khāṣṣ.
b. Setiap kata di dalam al-Qur’an pasti mengandung maksud dan faedah, meskipun tidak
berkaitan secara langsung dengan masalah hukum. Namun tetap harus diperhatikan
bagaimana sebuah ayat dapat menarik hingga memberlakukan hukum. Seperti pembahasan
terkait dengan kaidah ‘āmm dan khāṣṣ.
c. Penunjukkan kepada lafadz ‘āmm dan khāṣṣyang nantinya dapat menarik hukum apakah
hukum itu berlaku kepada semua atau hanya disandarkan pada yang khusus saja. Mengingat
banyak arti yang bisa dperdalami secara luas dari lafadz tersebut.
d. Terkadang untuk memperoleh (menggali, istinbat͎) hukum itu dimulai pada keumumannya
kemudian baru adanya pembatasan secara spesifik. Padahal terdapat kaidah-kaidah yang bisa
menunjukkan keumuman atau kekhususan dari pemberlakuan hukum tersebut, baik itu dari
lafadz am maupun khāṣṣ. Dengan demikian pembahasan terkait dengan kaidah kebahasan
sangatlah penting dalam seseorang yang ingin mengkaji al-Qur’an serta memahami lebih
dalam. Sehingga dapat dengan baik dan benar memahami apa yang terkandung di dalamnya.
e. Belajar dari ‘āmm dan khāṣṣsekaligus bisa memahami kerangka berpikir dari yang umum
menuju khusus (deduktif) dan sebaliknya kerangka berpikir dari yang khusus menuju umum
(induktif).
f. Contoh kerangka berpikir umum (deduktif) seorang penulis secara umum dianalogikan
seperti seorang petani, jika petani ingin mencangkul ladangnya dia harus punya tenaga yang
cukup dengan berbekal makan dan minum bergizi, jika kurang maka pak tani akan cepat
lemas dan loyo. Begitu juga seorang penulis, jika ingin tidak kehabisan dan kekeringan ide
maka harus memperbanyak bacaan dan peka terhadap lingkungan dan realitas sosial.
g. Contoh kerangka berpikir khusus (induktif); seorang penulis dianalogikan secara khusus
seperti sebuah kendi atau tempat air minum dari tanah yang dibakar dan memiliki dua lubang
di atas dan samping, lobang atas untuk memasukkan air dan lobang samping untuk
mengeluarkan air, jika kendi tidak terisi maka tidak akan ada air yang bisa keluar meski
dijungkir balikkan sekalipun, sebaliknya jika kendi itu penuh digoyang sedikit saja air akan
keluar dengan lancar. Demikian juga dengan persamaan seorang penulis, membaca bagi
penulis adalah upaya mengisi pengetahuan ke dalam otaknya, semakin banyak membaca
semakin banyak pula bahan yang dapat dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga
menghasilkan sebuah karya besar.
Uji Kompetensi
Jawablah pertanyaan dibawah ini !
1. Jelaskan pengertian ‘am!
2. Sebutkan contoh lafadh ‘amm!
3. Jelaskan pengertian Khas!
4. Tulislah contoh bentuk khash!
5. Bagaimana hukum beramal dengan lafadz ‘am?
6. Apa yang dimaksud dengan khas dan tulislah contohnya!
7. Adakah perbedaan antara ‘āmm dan khāṣṣ?Jelaskan!
8. Sebutkan ketentuan –ketentuan khas
9. Sebutkan redaksi kata khas
10. Sebutkan hikmah kaidah ‘am dan khash
Tugas individu
1. Carilah contoh ‘am dan khash dari ayat al-quran atau hadits (masing-masing minimal tiga
contoh)
2. Bagaimana pendapat ulama’ tentang kaidah ‘am dan khash
BAB VIII
‘TAKHSISH DAN MUKHOSSISH
Kompetensi Dasar
1.8 Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah takhṣīṣ
dan mukhāṣîṣh
2.8. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
3.8. Memahami ketentuan kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
4.8. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣdikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan
peserta didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
7. Menganalisis kaidah pokok fikih takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah takhṣīṣ dan mukhāṣîṣ
C. Materi Pokok
ُقْل َم ْن َح َّر َم ِز ْيَنَة ِهّٰللا اَّلِتْٓي َاْخ َر َج ِلِعَباِدٖه َو الَّطِّيٰب ِت ِم َن الِّر ْز ِۗق ُقْل ِهَي ِلَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ِفى اْلَح ٰي وِة الُّد ْنَيا
٣٢ - َخاِلَص ًة َّيْو َم اْلِقٰي َم ِۗة َك ٰذ ِلَك ُنَفِّص ُل اٰاْل ٰي ِت ِلَقْو ٍم َّيْع َلُم ْو َن
“ Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah,
“Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk
mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-
orang yang mengetahui.(Q.S Al –A’raf : 32)
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa perhiasan-perhiasan dan makanan dari Allah
yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh siapapun baik orang-orang beriman dan tidak
beriman, sedangkan di akhirat nanti semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Dalam penjelasan ayat diatas semua perhiasan boleh dipakai, perhiasan tersebut meliputi
cincin dari emas atau intan, gelang, kalung, dan lain-lain. Semua jenis perhiasan ini disebut
jenis satuan yang bersifat umum (afrad al-aam). Cincin emas kemudian dikeluarkan
(ditakhṣīṣ)dari ketentuan surat Al-A’raf ayat 32 tersebut, sebab cincin emas tidak boleh di
pakai oleh kaum laki-laki. Proses seleksi, verifikasi dan dieliminasi ini dinamakan takhṣīṣ).
Pengeluaran cincin emas ini berdasarkan pada hadits karena membatasi keumuman ayat
tersebut (sebab tidak meliputi cincin emas), haditnya dinamai mukhāṣîṣ. Karena hanya
mengenai satu hal saja, yaitu cincin emas, hadis itu di sebut khāṣ.
b. Macam Takhsis
1. Takhsish Muttasil
Apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat atau
bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Ada beberapa macam takhṣīs muttasil (bersambung) yaitu sebagai berikut:
a. Pengecualian (al-Istina)
Contoh firman Allah:
إَال َاَّلِذ يَن َآَم ُنوا َو َع َم ُلوا َالَّصاِلَح اَت، ِإَّن َاْلْنَس اَن َلِفي َخْس ٍر
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh”. (QS. al-Ashr:2-3)
b. Syarat
Contoh firman Allah:
َو ُبُعوَلُتُهَّن َأَح ق َبَر ِّد ِهَّن َفي َذ ِلَك َإْن َأَر اَدوا َإْص اًل حا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah". (QS. Al-Baqarah: 288).
c. Sifat
Contoh firman Alloh :
ٰٓل
٢٧ - َو ُتَس ِّلُم ْو ا َع ى َاْهِلَهۗا ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْد ُخ ُلْو ا ُبُيْو ًتا َغْيَر ُبُيْو ِتُك ْم َح ّٰت ى َتْسَتْأِنُسْو ا
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.(Q.S An Nur :27)
d. Kesudahan
Contoh firman Alloh :
ۚ َو اَل َتْقَر ُبْو ُهَّن َح ّٰت ى َيْط ُهْر َن
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)
٩٧ - َو ِهّٰلِل َع َلى الَّناِس ِح ُّج اْلَبْيِت َمِن اْسَتَطاَع ِاَلْيِه َس ِبْياًل ۗ َو َم ْن َكَفَر َفِاَّن َهّٰللا َغ ِنٌّي َع ِن اْلٰع َلِم ْيَن
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
َو ُأواَل ُت اَأْلَمْحاِل َأَج ُلُه َّن َأْن َيَض ْع َن ْمَحَلُه َّن
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.”
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri
kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
3) Menakhshish hadis dengan Alquran
متفق عليه. لَا َيْق َبُل اُهلل َص َالَة َأَح ِد ُك ْم ِإَذا َأْح َدَث َخَّىت َيَتَو َّض َأ
“Allah tidak menerima salat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia
berwudu”. (Muttafaq Alaihi).
Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam QS Almaidah: 6.
وِاْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُرْو ۗا َو ِاْن ُكْنُتْم َّم ْر ٰٓض ى َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ۤا َء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغ ۤا ِٕىِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم الِّنَس ۤا َء َفَلْم
َتِج ُد ْو ا َم ۤا ًء َفَتَيَّمُم ْو ا َص ِع ْيًدا َطِّيًباا
“dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”.
Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudu bagi setiap orang yang
salat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air,
sebagaimana firman Allah di atas.
4) Menakhshish hadis dengan hadis
متفق عليه. ِفْيَم ا َس َق ْت الَّس َم اُء اْلُعْش ُر
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq
Alaihi).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian
hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
متفق عليه. َلْيَس ِفْيَم ا ُدْو َن ْمَخَس ِة َأْو ُس ٍق َص َد َقٌة
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq
(1000 kilogram)”. (Muttafaq Alaihi).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali
yang sudah mencapai 5 watsaq.
5) MenakhsishAlquran dengan ijma
ِاَذ ا ُنْو ِدَي ِللَّص ٰل وِة ِم ْن َّيْو ِم اْلُج ُمَعِة َفاْس َع ْو ا ِاٰل ى ِذ ْك ِر ِهّٰللا َو َذ ُروا اْلَبْيَۗع
“apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Aljumuah: 9)
Menurut ayat tersebut, kewajiban salat Jumat berlaku bagi semua orang. Tapi
para ulama telah sepakat (ijma) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak
wajib salat Jumat.
6) Menakhshish Alquran dengan qiyas
“ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, “
Hikmah
Hikmah (perenungan) dari kaidah takhṣīṣdan mukhāṣîṣ, antara lain:
Para ulama ahli ushul fiqh mengarahkan perhatian mereka terhadap uslub-uslub dan ibarat-
ibarat (analisis kritis) terhadap bahasa Arab yang digunakan untuk memahami nash-nash
termasuk kaidah takhṣīṣdan mukhāṣîṣ.
Takhṣīṣ nas merupakan upaya pembatasan keumuman yang terkandung dalam
nasdengancaramengeluarkan(ikhrāj) sebagianobjek daricakupan keumumannas seperti masa
iddah selama tiga quru’ (masa suci/haidh) bagi perempuan yang diceraikan suaminya pada
surat Al-Baqarah ayat 228. Kemudian keumuman ini ditakhṣīṣoleh surat At-Thalaq ayat 4
dan Al Ahzab ayat 49 kecuali perempuan yang hamil masa iddah sampai melahirkan dan
perempuan yang cerai sebelum dhuhul (hubungan suami istri) yang tidak ada masa
iddah(masa tunggu untuk tidak menikah dengan lelaki lain untuk mengetahui ada bayi
dikandungan atau tidak karena berkaitan dengan nasab bayi).
Takhṣīṣ termasuk bagian dari penjelasan dan penafsiran terhadap sesuatu yang mengandung
keumuman (al-‘am). Keumuman dapat berlaku pada lafal dan makna nas baik mafhum,
muqtadā’ maupun hukum nas. Seperti keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan
shalat, kemudian diberikan penjelasan dengan ditakhṣīṣ boleh memakai tayammum bagi
orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 6.
Takhṣīṣ dalam operasionalnya membutuhkan alatataudalil takhṣīṣ yaitu mukhāṣîṣitu sendiri
yang harus mengandung kemaslahatanatas keumuman hukum nas tatkala penerapan hukum
secara umum pada konteks tertentu berpotensi menimbulkan mudarat dan
tidakberpihakpadamaqasid syari’ah (tujuan hukum diterapkan),seperti pada sahabat Umar
bin Khatab ra sebagai seorang khalifah (presiden)waktu itu memutuskan tidak melakukan
hukum potong tangan bagi pencuri dengan alasan terjadinya pencurian bukan faktor
kesengajaan tetapi terpaksa dilakukan karena lapar di musim panceklik. Orang kaya yang
dicuri menimbun harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli sesama, sedangkan pencuri
tersebut kelaparan ingin mempertahankan hidupnya atau mempertahankan keluarganya dari
kematian yaitu kelaparan. Oleh karna itu pencuri tersebut dikenai ta’zir.
Takhṣīṣ sama sekali tidak menghasilkan dualisme hukum dalam satu permasalahan, akan
tetapi takhṣīṣ hanya memberikan pengecualian yang sifatnya spesifik dan kasuistik.
Sementara hukum asal yang terkandung pada nas al-‘āmm tetap berlaku dan diakui
kehujjahannya, meskipun sifat keumumannya menjadi terbatas seperti pada hukum iddah,
memotong tangan pencuri, semua tanaman wajib dizakati dan sebagainya pada penjelasan
sebelumnya.
Uji Kompetensi
Jawablah pertanyaan dibawah ini !
1. Apa yang dimaksud dengan takhsis dan mukhasis ?
2. Sebutkan macam-macam takhsish !
3. Apa yang dimaksud dengan takhsish muttashil ?
4. Sebutkan macam-macam takhsish muttashil !
5. Tulislah contoh masing-masing takhsish muttashil
6. Apa yang dimaksud dengan takhsish munfashil?
7. Sebutkan macam-macam takhsish munfashil
8. Tulislah contoh masing-masing takhsish munfashil
9. Sebutkan hikmah kaidah takhsish mukhossish
10. Buatlah contoh penetapan ‘am dan khash dalam kehidupan sehari-hari
Tugas mandiri
a. Carilah contoh takhsish muttashil dan takhsish munfashil dalam al-quran atau hadits
BAB IX
MUJMAL DAN MUBAYYAN
Kompetensi Dasar
1.9. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah
mujmal dan mubayyan
2.9. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah mujmal dan mubayyan.
3.9. Memahami ketentuan kaidah mujmal dan mubayyan
4.9. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah mujmal dan mubayyan dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan
peserta didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih mujmāl dan mubayyan
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih mujmāl dan mubayyan
7. Menganalisis kaidah pokok fikih mujmāl dan mubayyan
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah mujmāl dan mubayyan
C. Materi Pokok
1. Mujmal
a. Pengertian Mujmal
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/ majemuk. Mujmal ialah
suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada
keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafal yang global, masih
membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran.contoh lafadz quru’ dalam ayat 228 surat al
Baqarah sebagai berikut :
َّب ِبَأ ُف ِس ِه َّن َثاَل َثَة وٍء
ُقُر َو اْلُم َطَّلَق اُت َيَتَر ْص َن ْن
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS
Albaqarah: 228).
Lafadz quru’ ini masih mujmal (belum jelas), bisa bermakna haid atau berarti suci
dari haid, dalam hal ini harus ada dalil lain yang menjelaskannya, menurut Imam Syafi’i
lafadz quru’ berarti suci, sedang menurut Imam Hanafi lafadz quru’ berarti haidl.
2. Mubayyaan
a. Pengertian Mubayyan
Mubayyan artinya yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafal
yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Al
bayan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang
mujmal.
b. Klasifikasi Mubayyan
1) Mubayyan muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam
satu hukum/hukum/nash. Misalnya dalam QS Annisa: 176.
َيْسَتْفُتْو َنَۗك ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلَك ٰل َلِةۗ ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلٓٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َۚك َو ُهَو َيِر ُثَهٓا
ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلَها َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَنَتا اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َك ۗ َو ِاْن َك اُنْٓو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ااًل َّو ِنَس ۤا ًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْثُل
١٧٦ - ࣖ َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِۗن ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلُك ْم َاْن َتِض ُّلْو اۗ َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم
“mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
“…Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam
ilmunya.
Kalimat : Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena adanya
huruf waw yang dapat bermakna ganda, yakni kata dan yang berkonotasi kata penghubung
(athaf) atau kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf).
Jika huruf wawdianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah:
hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya”. Namun,
jika huruf waw dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah : hanya
Allah yang mengetahui takwilnya. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya tidak
mengetahui takwilnya. Mereka hanya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih”.
Oleh karena itu, ayat tersebut memerlukan penjelasan, seperti pada QS Annahl ayat 89:
َو َنَّز ْلَنا َع َلْيَك اْلِكٰت َب ِتْبَياًنا ِّلُك ِّل َش ْي ٍء
c. Macam-macam Mubayyan
1) Bayan Perkataan
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul).
َۗفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ِّج َو َس ْبَعٍة ِاَذ ا َر َج ْع ُتْم ۗ ِتْلَك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة
Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya
mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak
menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu. Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’
pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan (mubayyan) dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan
sebelum itu.
2) Bayan Perbuatan
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
Contoh: Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudu:
memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji,
salat dan sebagainya.Perintah mendirikan sholat dijelaskan tata caranya sholat oleh Rasulullah.
Untuk menghindari kesalahpahaman. Nabi SAW naik keatas bukit kemudian melakukan sholat
hingga sempurna, lalu bersabda:
“Salatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku salat” (HR Bukhari).
3) Bayan dengan Tulisan
Penjelasan dengan tulisan penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah
dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para sahabat) dan
dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
4) Bayan dengan Isyarat
Penjelasan dengan isyarat Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh
jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.
5) Bayan dengan taqrir
Penjelasan dengan diam (taqrir). Dalam pengertian, ketika Rasulullah melihat suatu kejadian,
atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak
mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau
Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu
turunnya wahyu untuk menjawabnya.
6) Dengan macam-macam takhsis.
Lihat pada bab takhsis
7) Dengan meninggalkan.
Penjelasan dengan meninggalkan, misalnya Nabi perna h melakukan hal senbagai
berikut, Nabi mengambil wudlu setelah memakan makanan yang dimasak. Hal ini menunjukkan
bahwa memakan makanan yang dimasak membatalkan wudlu, tetapi setelah itu nabi
meninggalkan wudlu setelah memakan makanan yang dimasak, artinya memakan makanan yang
dimasak tidak membatalkan wudlu.
d. Hukum ta’khirul bayan
Setiap lafadz ‘am, muthlaq, mujmal dan musytarak memerlukan penjelasan, mengenai
penangguhan waktu ada 2 penjelasan , yaityu :
Penangguhan penjelasan dari waktu diperlukan (ta’khirul bayan ‘an waqtil hajati)
Para ulama’ sepakat bahwa penjelasan tidak boleh terlambat dari waktu yang
diperlukan, karena menangguhkan penjelasan beearti membenarkan i’tikad yang salah
atau membenarkan beramal menurut cara yang tidak sesuai dengan syar’i. Contoh :
hadits riwayat Aisyah mengenai kedatangan Fatimah kepada Nabi seraya bertanya :
Ya Rosul, saya perempuan yang berpenyakit istihadhah, sebab itu saya tidak pernah
suci, apakah saya boleh meninggalkan shalat?
lalu Nabi menjawab : ‘tidak itu hanya semacam cairan dan bukan haidl, maka apabila
datang haidl tinggalkan shalat dan
apabila telah selesai maka basuhlah darah itu lalu kerjakanlah shalat. (HR Bukhari
Muslim)
Dari contoh diatas maka ulama’ fiqh membuat kaidah : Ta’khirul Bayan ‘An
Waqtil Hajati La Yajuzu (tidak boleh menangguhkan penjelasan dari waktu yang
telah ditentukan)
Penangguhan penjelasan dari waktu khitab.(ta’khirul bayan ‘an waqtil khithab)
Dalam hal ini jumhur ulama’ fiqh dan para mutakallimin berpandapat bahwa
boleh mengguhkan penjelasan dari waktu khitab(perintah) sampai waktu diperlukan
untuk pelaksanaanya.
Lalu dibuatlah kaidah : “Ta’khirul Bayan ‘an Waqtil Khithab Yajuzu “
(boleh menangguhkan penjelasan dari waktu khithab (perintah))
c. Perintah shalat pada ayat Dirikanlah shalat (QS.al-Baqarah: 110) tidaklah langsung
diiringi dengan penjelasannya. Adapun penjelasan mengenai bentuk atau tata
caranya adalah kemudian, yakni dengan cara-cara yang ditunjukkan oleh Nabi SAW.
sendiri. hal tersebut menunjukkan bolehnya menunda penjelasan atau bayan.
Uji Kompetensi
1. Apa yang dimaksud dengan mujmal !
2. Sebutkan sebab-sebab mujmal
3. Sebutkan hukum mujmal!
4. Tulislah contoh mujmal
5. Jelaskan pengertian bayan ?
6. Sebutkan klasifikasi bayan !
7. Sebutkan macam-macam bayan
8. Sebutkan ketentuan mujmal dan mubayyan
9. Jelaskan tentang ta’khirul bayan !
10. Jelaskan hikmah mujmal dan mubayyan !
Tugas mandiri
Carilah contoh tentang “Mujmal dan Bayan “dalam al Quran atau hadits kemudian beri penjelasan dengan
pendapatmu !
\
BAB X
MURADIF DAN MUSYTARAK
Kompetensi Dasar
1.10. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah muradif dan
musytarak
2.10. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah muradif dan musytarak
3.10. Memahami ketentuan kaidah muradif dan musytarak
4.10. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah muradif dan musytarak dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta
didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih muradif dan musytarak
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih muradif dan musytarak
7. Menganalisis kaidah pokok fikih muradif dan musytarak
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah muradif dan musytarak
C. Materi Pokok
1. Muradif
a. Pengertian Muradhif
المرادف هو اللفظ المتعدد للمعنى الواحد
Muradif ialah beberapa lafal yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafalnya banyak, sedang artinya
dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.Misalnya kata املعلم, املدَر س,االستاذ
yang mempunyai sinonim dengan arti pendidik/ guru.
b. Kaidah Muradhif
ايقاع كل من املرادفني مكان االخر جيوز اذا مل يقم عليه طالع شرعي
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak
ditetapkan oleh syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara.
Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Alquran, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab Maliki,
takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal Allah akbar. Sementara Imam Abu Hanifah
membolehkan lafal Allah Akbar diganti dengan lafal Allah-ul Adzim.
Jumhur ulama yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syara yaitu bersifat
ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena
adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
c. Contoh lafadz muradif dalam Al quran
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadz muradif dan musytarak, hal utama yang harus
diperhatikan adalah siyaqul kalamnya. Dalam al-Qur’an beberapa contoh redaksi lafadh-lafadh
muradif, antara lain:
Al-khauf dan khasyah artinya (takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas
sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khas yah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna
ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :
١٦ - َيْدُع ْو َن َر َّبُهْم َخ ْو ًفا َّو َطَم ًعۖا َّوِم َّم ا َر َز ْقٰن ُهْم ُيْنِفُقْو َن
mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. As-Sajdah:16)
٢١ - َۗو اَّلِذ ْيَن َيِص ُلْو َن َم ٓا َاَم َر ُهّٰللا ِبٖٓه َاْن ُّيْو َص َل َو َيْخ َش ْو َن َر َّبُهْم َو َيَخاُفْو َن ُس ْۤو َء اْلِحَس اِب
“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”(QS.
Ar-Ra’d: 21)
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyah dikhususkan hanya untuk
Allah SWT, sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khauf
berfaedah melemahkan atau dha’if.
Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan
kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-bukhl karena
keadaannya. Seperti contoh berikut :
ۗ َفْض ِلٖه اَّلِذ ْيَن َيْبَخ ُلْو َن َو َيْأُم ُرْو َن الَّناَس ِباْلُبْخ ِل َو َيْك ُتُم ْو َن َم آ ٰا ٰت ىُهُم ُهّٰللا ِم ْن
“orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan
karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. (QS. An-Nisa': 37)
َْاْنُفِس ِهم ْو َيُر ُّد ْو َنُك ْم ِّم ْۢن َبْع ِد ِاْيَم اِنُك ْم ُك َّفاًر ۚا َحَس ًدا ِّم ْن ِع ْنِد
” menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamusetelah kamu beriman,
menjadi kafir kembali,karena rasa dengki dalam diri mereka, .(QS. Al-Baqarah: 109)
As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :
– َقاُلْو ا ٰي َقْو َم َنٓا ِاَّنا َسِم ْعَنا ِكٰت ًبا ُاْنِزَل ِم ْۢن َبْع ِد ُم ْو ٰس ى ُمَص ِّد ًقا ِّلَم ا َبْيَن َيَد ْيِه َيْهِد ْٓي ِاَلى اْلَح ِّق َو ِاٰل ى َطِرْيٍق ُّم ْسَتِقْيٍم
٣٠
“ Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh, kami telah mendengarkan Kitab (Al-
Qur'an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya,
membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.. (QS. Al-Ahqaf: 30)
d. Hukum muradif
Dari pengertian di atas jelas, bahwa muradif ialah beberapa kata yang mempunyai satu arti
yang sama. Para ulama berbeda pendapat, apakah dua lafadz atau lebih yang bersamaan arti boleh
dipertukarkan dalam pemakaian atau tidak.
Menurut pendapat yang terkuat :
إيقاع المترادفين مكان اآلخر يجوز إذا لم يقم عليه مانع شرعي
“ Menempatkan masing-masing dari dua lafadz yang muradif di tempat yang lain adalah boleh, apabila
tidak ada pencegahan yang bersifat syar’i “.
Menurut pendapat yang lain :
2. MUSYTARAK
a. Pengertian Musytarak
Lafadz min
Demikian juga musytarak dapat berupa huruf, seperti huruf min (dari) yang dapat
dimaksudkan untuk makna tujuan awal (li ibtida’ al-ghayah), seperti dalam QS. Al-
Isyra’:1.
Ushul Fikih Kelas XI MA PK 182
ُسْبٰح َن اَّلِذ ْٓي َاْس ٰر ى ِبَع ْبِدٖه َلْياًل ِّم َن اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم ِاَلى اْلَم ْس ِج ِد اَاْلْقَص ا اَّلِذ ْي ٰب َر ْك َنا َح ْو َلٗه
١ - ِلُنِر َيٗه ِم ْن ٰا ٰي ِتَنۗا ِاَّنٗه ُهَو الَّس ِم ْيُع اْلَبِص ْيُر
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil
Haram ke masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekililingnyaagar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tAnda-tAnda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Lafadz min juga dapat berarti menunjukkan sebagian (li al-tab’idh), seperti dalam
QS. Ali-Imran: 92.
٩٢ - َلْن َتَناُلوا اْلِبَّر َح ّٰت ى ُتْنِفُقْو ا ِمَّم ا ُتِح ُّبْو َن ۗ َو َم ا ُتْنِفُقْو ا ِم ْن َش ْي ٍء َفِاَّن َهّٰللا ِبٖه َع ِلْيٌم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Lafadz min juga dapat digunakan untuk menunjukkan makna sebab (li al-
sababiyah), dalam QS. Nuh: 25.
ّم ِّم َا َخ ِط ْۤي ٰٔـ ِتِهْم ُاْغ ِر ُقْو ا َفُاْد ِخ ُلْو ا َناًرا ۙە َفَلْم َيِج ُد ْو ا َلُهْم ِّم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا َاْنَص اًرا
“Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan
ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari
Allah.”
Lafadz mahidh
Dalam Al-Qur’an contoh lafadz musytarak terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 222
ِفى اْلَم ِح ْيِۙض َو اَل َتْقَر ُبْو ُهَّن َح ّٰت ى َو َيْس َٔـُلْو َنَك َع ِن اْلَم ِح ْيِضۗ ُقْل ُهَو َاًذ ۙى َفاْعَتِز ُلوا الِّنَس ۤا َء
َهّٰللا ُيِح ُّب الَّتَّو اِبْيَن َو ُيِح ُّب َيْطُهْر َن ۚ َفِاَذ ا َتَطَّهْر َن َفْأُتْو ُهَّن ِم ْن َح ْيُث َاَم َر ُك ُم ُهّٰللاۗ ِاَّن
٢٢٢ - اْلُم َتَطِّهِر ْيَن
Lafadz quru’
Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah: 228
َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Lafadz quru’ di atas berarti masa suci, dan juga bisa berarti dengan masa
haidh. Para ulama berbeda pendapat mengartikan lafadz quru’ tersebut.
Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci, alasannnya karena ada
indikasi tAnda muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaidah
bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafaẓat-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh, karena
bahwa lafadz tsalatsah adalah lafaẓ yang kha>s}s} yang secara ẓahir menunjukkan
sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini
hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci,
maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
c. Hukum musytarak
Jumhur ulama’ termasuk Imam Syafi’i dan Ali Juba’i berpendapat :
Hikmah
Hikmah dari kaidah muradif dan musytarak, antara lain:
Salah satu Mufasir al-Qur’an kontemporer yang menolak adanya tara>duf dalam al-
Qur’an diantaranya adalah Muhammad Syahrur dan BintSya>ti’. Syahrur berpendapat
bahwa linguistik Arab tidak mengenal sinonimitas (muradif) dikarenakan setiap kata
memiliki makna tertentu dan setiap kata mengacu pada satu kata referen. Begitu pula
Bint Syati’, ia berpendapat bahwa lafadz-lafadz dalam al-Qur’an tidak memiliki
sinonim antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tersebut terlihat dari salah satu dari
beberapa prinsip dasar penafsirannya, antara lain:Adalah diktum yang telah ditemukan
oleh para mufasir klasik, bahwa al- Qur’an dapatmenjelaskan dirinya sendiri(al-
Qur’a>nyufassiruba’dul ba’dan), Adalah metode yang bisa disebut dengan metode
munasabah, yaitu metode yang mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat yang
ada didekatnya, sehingga disini tampak jelas bahwa al-Qur’an harus dipahami dalam
keseluruhannya sebagai suatukesatuan. Adalah prinsip bahwa suatu ‘ibrah (ketentuan
atau ungkapan) suatu masalah berdasar atas bunyi umumnya lafadz atau teks bukan
pada adanyasebabyangkhusus.
Ulama’ yang yang memastikan adanya lafad mustarak dalam bahasa Arab
mengemukakan argument baik akli maupun naqli diantaranya adalah: Kata-kata itu
terbatas sedangkan makna itu tidak terbatas, oleh sebab itulah bila yang terbatas
diterapkan pada yang tidak terbatas tentulah harus ada lafad mustarak (satu kata
berbagai arti) dan tidak dapat dipungkiri bahwa makna memang tidak terbatas, semua
sepakat akan hal ini. Penggunaan kata yang umum riel digunakan dalam percakapan
sehari-hari, hal ini dapat dijumpai pada banyak kata diantaranya adalah kata ‘ada’
(maujud) atau kata ‘sesuatu’ (syai), kata ‘ada’ itu untuk menunjukkan satu benda
padahal wujud sesuatu itu berbeda dengan wujud sesuatu yang lain namun dalam
penggunaan kata ‘ada’ acap kali dimutlakkan dengan maksud mustarak.
Ulama’ yang menolak adanya musytarak dalam penggunaanya berargumen :Bahwa
ketika seseorang berbicara dengan lafad musytarak maka niscaya tidak dapat difahami
secara sempurna, dan hal ini akan muncul persepsi negative (menimbulkan kerusakan)
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa musytarak itu boleh jadi terjadi
menggunakan argumentasi: Makna sebuah kata itu tergantung orang yang
mengucapkannya, terkadang seseorang mengucapkan sesuatu secara jelas, namun
terkadang juga mengucapkan sesuatu dengan maksud secara umum (tidak terperinci),
sebagai mana ketika diucapkan secara terperinci akan menyebabkan kerusakan sebagai
mana ucapan Abu Bakar ketika hijrah kemadinah ditanya oleh orang kafir “ ( ) من َهو
siapa dia ? Abu Bakar menjawab”( ) هورجل َيهدني َالسبيلdia adalah penunjuk
jalanku” dari jawaban ini adalah dikehendaki mustarak yaitu antara arti penunjuk jalan
dan Nabi yang menunjukkan jalan.
Namun dalam kenyataannya penggunaan lafad musytarak lebih dari satu arti
diperdebatkan oleh segolongan ulama diantra yang membolehkan musytarak
digunakan lebih dari satu arti adalah imam syafi’I, al-Qadi Abu Bakar, Abu Ali Al-
Jiba’I, Qadi Abdul Jabbar bin Ahmad, Qadi Ja’far, syeh Hasan dan jumhur ulama dan
imam-imam ahli bait, dan yang menolak adanya mustarak yang menggunakan lebih
dari satu arti adalah Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri, dan al-Karkhi.
(https://fikbooks.blogspot.com/2018/05/pengertian-dan-macam-macam-
musytarak.html)
Uji Kompetensi
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini !
1. Apa yang dimaksud dengan muradif!
2. Tulislah kaidah muradif!
3. Tulislah contoh muradif dalam al-quran!
4. Bagaimana hukum muradif
5. Jelaskan pengertian musytarak !
6. Tulislah contoh muradif dalam al-quran!
7. Jelaskan hukum musytarak !
8. Tulislah pendapat ulama’ tentang adanya kalimat musytarak !
9. Sebutkan hikmah kaidah muradif dan musytarak!
10. Tulislah contoh muradif dan musytarak dalam kehidupan sehari-hari!
b. Tugas mandiri
Carilah contoh kata muradif dan musytarak dalam kamus bahsa arab, kemudian buatlah kalimat dari
kata-kata tersebut !
Tulis kembali kaidah muradif dan musytarak dalam bukumu
c. Tugas kelompok
Kelas dibentuk menjadi 6 kelompok
Masing-masing kelompok membuat kasus yang berhubungan dengan kaidah
musytarak dan muradif
Setelah itu tukarkan masing-masing kasus tersebut kepada kelompok lain
Kelompok yang mendapatkan kasus dari kelompok lain harus mendiskusikan dengan
kelompoknya untuk menjawab
Sampaikan hasil diskusi tersebut dalam bentuk video atau youtube
BAB XI
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Kompetensi Dasar
1.11. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah mutlaq
dan muqayyad
2.11. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah mutlaq dan muqayyad
3.11. Memahami ketentuan kaidah mutlaq dan muqayyad
4.11. Menyajikan contoh hasil analisis dari kaidah mutlaq dan muqayyad dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta
didik dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih mutalq dan muqayyad
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih mutalq dan muqayyad
7. Menganalisis kaidah pokok fikih mutalq dan muqayyad
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah mutalq dan muqayyad
C. Materi Pokok
1. Muthlaq
Muthlaq adalah lafal yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam
QS. Almujadalah: 3.
َو اَّلِذ ْيَن ُيٰظ ِهُرْو َن ِم ْن ِّنَس ۤا ِهْم ُثَّم َيُعْو ُد ْو َن ِلَم ا َقاُلْو ا َفَتْح ْيُر َر َقَبٍة ِّم ْن َقْبِل َاْن َّيَتَم ۤا َّس ۗا
ِر ِٕى
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafalraqabah/ budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala budak, baik yang mukmin maupun
kafir.
2. Muqayyad
Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam surah Annisa ayat 92 :
ٍ َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َاْن َّيْقُتَل ُم ْؤ ِم ًنا ِااَّل َخ َطًٔـاۚ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم
َنة
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena
tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman.”
Lafal raqabah/ budak diatas dibatasi dengan yang beriman.
3. Macam-macam muthlaq dan muqayyad serta hukumnya
a. Lafal yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng- qayyid-kannya
(membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat
mengalihkan ke mutlakannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contoh
pada surah Annisa ayat 11:
ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَر َكۚ َو ِاْن
َكاَنْت َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِح ٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد ۚ َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه
ۗ َو َلٌد َّو َو ِرَثٓٗه َاَبٰو ُه َفُاِلِّمِه الُّثُلُث ۚ َفِاْن َك اَن َلٓٗه ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْي ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن
١١ - ٰا َبۤا ُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤا ُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْقَر ُب َلُك ْم َنْفًعاۗ َفِر ْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Bahwa “(pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
dan sesudah dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalam ayat diatas bersifat
muthlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi
batasan oleh hukum/hukum/nash hadis yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih
dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak
muthlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari
harta pusaka.”
Lafadz ayyam:
َاَّياًم ا َّم ْعُد ْو ٰد ٍۗت َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َّم ِر ْيًضا َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِّم ْن َاَّياٍم ُاَخ َر
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak
berpuasa itu) pada hari-hari yang lain (Q.S Al Baqarah:184).
Dari ayat ini terdapat َاَّي اٍَمdalam redaksi ayat diatas berlaku mutlak, sehingga
pemberlakuan hukum mengqadha’ puasa di lain hari dijalankan sebagaimana mestinya dalam
arti berlaku pada hari-hari yang lain baik berurutan maupun tidak.
Lafadz azwajan:
ۚ َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًجا َّيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّوَع ْش ًرا
Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah
mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.( Q.S Al Baqarah :234)
.Dari ayat ini terdapat kata َاْز َو اًجاdalam ayat tersebut berlaku mutlak bagi istri baik
dalam kondisi sudah digauli suami atau belum, untuk diharuskan menjalani masa ‘iddah
karena ditinggal mati oleh sang suami.
Adapun status hukum kata muqayyad dapat dijelaskan dengan ketentuan bahwa
selama variable pembatas tersebut belum ada variable lain yang kontradiktif maka
pemberlakuan hukum yang terkandung dalam kata muqayyad tersebut adalah sebagaimana
mestinya. Berikut beberapa contoh yang dapat dirincikan:
َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َاْن َّيْقُتَل ُم ْؤ ِم ًنا ِااَّل َخ َطًٔـاۚ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًٔـا َفَتْح ِر ْيُر َر َقَبٍة ُّم ْؤ ِم َنٍة َّو ِدَيٌة
ُّمَس َّلَم ٌة ِآٰلى َاْهِلٖٓه ِآاَّل َاْن َّيَّص َّد ُقْو ا
Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran. (Q.S An Nisa’:92)
Dari ayat ini terdapat kata مْؤ ِم َنٍَةdalam ayat tersebut merupakan variable pembatas
atas kemutlakan kata َر َقَبٍَة, sehingga pemberlakuan hukum kafarat yang dapat diabsahkan
adalah bahwa budak tersebut harus beriman
ۤا سۗا
َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َشْهَر ْيِن ُم َتَتاِبَع ْيِن ِم ْن َقْبِل َاْن َّيَتَم
Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. (Q.S Al Mujadalah:4)
Dari ayat ini terdapat kata ُم َتَت اِبَع ْيَِنdalam ayat tersebut berfungsi sebagai variable
pembatas dari kemutlakan kata َش ْهَر ْيَِن, sehingga pemberlakuan puasa bagi orang yang
membatalkan puasa karena bersenggama dengan istri adalah dua bulan berturut-turut.
b. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafal muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contoh pada surah Almaidah ayat 3:
ُِحِّر َم ْت َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْلِخ ْنِز ْير
ُقْل ٓاَّل َاِج ُد ِفْي َم ٓا ُاْو ِح َي ِاَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع ٰل ى َطاِعٍم َّيْط َعُم ٓٗه ِآاَّل َاْن َّيُك ْو َن َم ْيَتًة َاْو َد ًم ا َّم ْس ُفْو ًحا َاْو َلْح َم
ِخ ْنِز ْيٍر
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang)
suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”
c. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafal yang mutlaq tetap diartikan
sesuai dengan ke mutlaqannya.
d. Kaidah Makna Kata yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernya”
maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas. Makna Majaz yaitu makna
kiasan. Pada kalimat “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka
kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani. Musytarak yaitu kata
yang punya lebih dari satu makna (ambigu). Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini
salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa
pada perbedaan pendapat.
Kalimat raqabah dalam ayat tersebut adalah lafadz muqayyad yang dibatasi dengan sifat
yaitu seorang hamba sahaya yang beriman.
اَل ُيَؤ اِخ ُذ ُك ُم ُهّٰللا ِبالَّلْغ ِو ِفْٓي َاْيَم اِنُك ْم َو ٰل ِكْن ُّيَؤ اِخ ُذ ُك ْم ِبَم ا َع َّقْد ُّتُم اَاْلْيَم اَۚن َفَك َّفاَر ُتٓٗه ِاْط َع اُم َع َش َر ِة َم ٰس ِكْيَن
ِم ْن َاْو َسِط َم ا ُتْط ِعُم ْو َن َاْهِلْيُك ْم َاْو ِكْس َو ُتُهْم َاْو َتْح ِر ْيُر َر َقَبٍةۗ َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ۗ ٰذ ِلَك َك َّفاَر ُة َاْيَم اِنُك ْم
ِاَذ ا
٨٩ – َح َلْفُتْم ۗ َو اْح َفُظْٓو ا َاْيَم اَنُك ْم ۗ َك ٰذ ِلَك ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلُك ْم ٰا ٰي ِتٖه َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن
Kafarat puasa tiga hari tersebut disyaratkan ketika orang yang melanggar sumpah tidak
mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan atau pakaian.
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. (Q.S
2:187)
Dalam ayat tersebut ibadah puasa tersebut dibatasi sampai pada waktu malam.Oleh
karena itu puasa sepanjang malam tidak diperbolehkan.
Antara Muthlaq dan Muqayyad
Jika ada lafadz muthtlaq yang hukum dan obyeknya sama dengan lafadz yang muqayyad,
maka pengertian lafaz yang muthlaq tersebut disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad.
Misalnya QS. Al-Maidah [5], 3:
ُحِّر َم ْت َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْلِخ ْنِزْيِر َو َم ٓا ُاِهَّل ِلَغْيِر ِهّٰللا ِب ٖه
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah, (Q.S 5:3)
Dalam ayat tersebut darah yang disebutkan di atas adalah bersifat muthlaq (luas
tanpa ada batasan baik jumlah atau sifatnya, unlimited).Oleh karena itu, pengertian darah
yang bersifat muthlaq tersebut, disesuaikan dengan pengertian darah yang muqayyad dalam
QS. Al- An’am [6],145:
ُقْل ٓاَّل َاِج ُد ِفْي َم ٓا ُاْو ِح َي ِاَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع ٰل ى َطاِعٍم َّيْط َعُم ٓٗه ِآاَّل َاْن َّيُك ْو َن َم ْيَتًة َاْو َد ًم ا َّم ْس ُفْو ًحا َاْو َلْح َم
ۚ ِخ ْنِز ْيٍر َفِاَّنٗه ِر ْج ٌس َاْو ِفْس ًقا ُاِهَّل ِلَغْيِر ِهّٰللا ِبٖه
“ Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang
mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Q.S 6:145
Oleh karena obyek kedua lafaz tersebut adalah sama yakni darah, dan hukum
keduanya juga sama yaitu diharamkan, maka pengertian lafadz yang muthlaq tersebut
disesuaikan dengan lafadz yang muqayyad. Dengan demikian darah yang diharamkan ialah
darah yang mengalir. Adapun hati dan limpah tidak diharamkan, karena tidak termasuk
kriteria darah yang mengalir.
Pendapat mazhab Hanafiyah adalah jika lafaz muthlaq berbeda dengan muqayyad, dalam
segi hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang muthlaq tidak dapat disesuaikan
dengan yang muqayyad. Contoh perbedaan lafaz muthlaq dan muqayyad dari segi sebab tapi
hukum keduanya sama, adalah QS. An-Nisa’[4], 92:
َٰٓل
- َوَم ْن ََقَتَل َُم ْؤ ِم ناا ََخ ًَٔطا ََفَتْح ِرْيُر ََر َقَبٍة مْؤ ِم َنٍَة َََّو ِد ََيٌة َم َس َّلَم ٌة َِا ى ََََاْهِل ٓه ََِآاَّل َََاَْن ََّيَّصَّد ُقْو ََِۗا١
Dalam ayat kedua ini, budak disebutkan secara muthlaq tidak ada batasan dan masih
umum, sedangkan pada ayat pertama disebutkan secara muqayyad (batasan), yakni budak
yang beriman saja. Pengertian lafaz yang muthlaq dalam ayat kedua ini, tidak dapat
disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad dalam ayat pertama di atas, karena faktor
penyebab wajibnya membayar kafârah karena pembunuhan berbeda dengan ayat kedua
faktor penyebab wajibnya kafarat adalah zhihâr.
Meskipun akibat hukum keduanya adalah sama, yaitu sama-sama memerdekakan
budak. Dengan demikian, kafarat zhihar adalah memerdekan budak secara muthlaq,
sedangkan kafarat pembunuhan adalah memerdekakan budak dengan qayd
(batasan)yangberiman.
Adapun apabila ada lafadz muthlaq mempunyai perbedaan hukum dengan lafaz yang
muqayyad, maka ulama sepakat bahwa pengertian lafaz yang muthlaq tidak dapat
disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad, meskipun keduanya mempunyai sebab yang
sama, kecuali bila ada indikasi (qarînah) atau dalil lain yang tersendiri. Misalnya QS. Al-
Ma’idah [5] 6:
ٰٓياَي َها َاَّلِذ ْيَن َٰا َم ُنْٓو ا َِاَذ ا َُقْم ُتْم َِاَلى َالَّص ٰل وِة َََفاْغ َِس ُلْو ا َُو ُجْو َهُك َْم ََو َاْيِدَيُك ْم َِاَلى َاَْلَم َر اِفِق ََواْمَسُحْو َا
َٰٓض
ِبُرُءْو ِس ُك ْم ََو َاْر ُج َلُك ْم َِاَلى َاْلَكْع َبْيِِۗن ََو ِاْن َُك ْنُتَْم َُج َُنباا َََفاَّطَّهُرْو َِۗا ََو ِاْن َُك ْنُتْم ََّم ْر ى ََاْو ََع ٰل َى
َس َفٍر ََاْو ََج ۤا َء ََاَح ٌد َِّم ْنُك ْم َِّم َن َاْلَغ ِٕۤا ىِط ََاْو َٰل َم َْسُتُم َالِّنََس ۤا َء ََفَلْم َََتِج ُد ْو ا ََم ۤا ا ء ََفَتَيَّم َُمْو ا ََص ِع ْيداا ََطِّيباَا
ََُّٰل
َفاْمَسُحْو ا َِبُوُجْو ِهُك ْم ََو َاْيِد ْيُك ْم َِّم ْنُه ََِۗم ا َُيِرْيُد َال َِلََيْج َعَل ََع َلَْيُك ْم َِّم ْن ََح ََر ٍج ََّو ٰل ِكَْن َي ِرْيَُد
ِلُيَطِّهَر ُك ْم ََو ِلُيِتَّم َِنْع َم َت ه ََعَلْيُك ْم ََلَع َّلُك ْم ََتَْش ُك ُر َْو ََن
“ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua
kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, agarkamu bersyukur. (Q.S 5:6)
Dalam ayat tersebut terdapat dua hukum yang berbeda, yakni kewajiban membasuh
kedua tangan dalam berwudhu dan bertayammum. Kalau kewajiban membasuh kedua
tangan dalam berwudhu dibatasi (muqayyad) hingga siku, sedangkan dalam bertayammum
tidak dibatasi (muthlaq). Padahal yang menjadi penyebab mengerjakan wudhu dan
tayammum adalah sama, yaitu untuk mengerjakan shalat.Permasalahannya, apakah
kewajiban mengusap kedua tangan dalam bertayammum yang bersifat muthlaq (tidak
dibatasi)itu, dapat disesuaikan dengan kewajiban membasuh kedua tangan dalam berwudhu
yang bersifat muqayyad lantaran keduanya mempunyai sebab yangsama? Ahli ushul fikih
telah menetapkan, bahwa lafaz yang muthlaq (tayammum)tersebut tidak dibawa kepada
lafaz yang muqayyad
(wudhu). Sedangkan kewajiban mengusap kedua tangan sampai dengan kedua siku dalam
bertayammum adalah berdasarkan dalil lain yaitu sabda Rasulullah SAW:
َالّتَيُم َُم: َقال َر سوُل َاللِهصلى هللَا َعليه َو سلم: وعن َابن َُع َم َر َر ضي هللَا َعنهما َقاَل
َو َص ّحََح، رواه َالدارقطن ي. َو َض ْر َبٌة َلْلَيَد ْيِن َإلى َالمْر ََفَقَْيَِن، ََض ْر َبٌة َلْلَو ْج ِه: َض ْر َبَتاِن
األئمُة َو ْقَفَُه.
“Dari Ibn Umar ra, dia berkata: Rasullullah SAW bersabda: melakukan Tayammum
dengan dua usapan: mengusap pada wajah, dan mengusap ke tangan sehingga sampai siku.
Hadis riwayat al-Daraqutni, dan dibenarkan oleh para imam serta menerimanya.
Dari sabda Rasullullah SAW di atas, bisa dipahami bahwa kewajiban mengusap
kedua tangan sampai dengan kedua siku dalambertayammum, bukanlah karena
menyesuaikan pengertian muthlaq pada muqayyad, akan tetapi karena berdasarkan sabda
Rasulullah saw. diatas.
Pembahasan mutlak dan muqayyad termasuk dalam pembahasan kata dan dipandang
dari segi keluasan dan tidaknya cakupan artinya. Secara spesifik ada beberapa karakteristik
yang dapat dipahami. Dilihat dari materi kata yang mutlak mengambil bentuk isim nakirah
(indefinite article) dalam konteks kalimat aktif, sedangkan muqayyad ada dua hal yang
dapat diperhatikan, yakni: (1) kata yang menunjuk pada obyek yang tertentu misalnya Boy,
Sahal, lelaki itu. (2) kata yang menunjuk pada arti secara mutlak tetapi dengan adanya
variabel pembatas misalnya siswa MAPK.
Kemudian, pembahasan berlanjut pada beberapa kemungkinan sketsa kata mutlak
ketika dalam rangkaian kalimat, yaitu:
1. Dalam sketsa kalimat perintah, contoh : َِإْر ِم ََنِج ا سا،ُأْقُتْل ََح َّيٌة
2. Dalam sketsa kalimat perintah bentuk masdar, contoh : َفَتْح ِرْيُر ََر َقَبٍَة
3. Dalam sketsa kalimat berita masa mendatang, contoh : َال َِنَكاَح َِإَّال َِبَوِلَّي
Adapun kalau dilihat pada status dari mutlak dan muqayyad, Musthofa Syalabi
menggolongkannya kedalam bahasan kata khusus ( ) َخ اٌَصdikarenakan keduanya memiliki
cakupan arti yang terfokus dan terealisasikan pada satu obyek dari satuan jenis obyek kata
tersebut, sehingga daya cakupnya tidaklah bersifat umum tanpa adanya tentatifitas (belum
pasti) sebab kata yang mutlak kandungan keumumannya mengandung tentatifitas. Dan
karakteristik tersebutlah yang membedakannya dengan‘Am, dimana kata yang umum
mempunyai cakupan arti yang luas dengan tanpa memandang tentatifitas.
Lebih jelasnya dapat kita lihat aplikasinya pada contoh: Semua siswa MAPK wajib bisa
aktif berbahasa Arab dan Inggris. Uraian: Dari contoh tersebut dapat dipahami bahwa kata
‘semua siswa MAPK’ berlaku umum mencakup semua siwa yang terdaftar dalam MAPK
dengan tanpa tentatif terkena hukum wajib aktif berbahasa Arab dan Inggris, sedangkan
kata ‘aktif berbahasa Arab dan Inggris’ berlaku mutlak (tidak mengikat), dalam arti semua
tema yang masuk dalam kategori aktif berbahasa Arab dan Inggris dan berlaku secara
tentatif.
Hikmah
Hikmah dari kaidah mutlaq dan muqayyad, antara lain:
Melalui kaidah mutlaq dan muqayyad dapat membangun kerangka pemikiran bahwa hukum
dibentuk oleh Allah diproyeksikan untuk merespon problematika kehidupan manusia dalam
kaitanya sebagai solusi (problem solver), sebagaimana termanifestasikan dalam sebuah teks
yang menjadi sumber hukum. Normatifnya, latar belakang terbentuknya pola mutlak
muqayyad adalah karena adanya kontradiksi interteks (lafadz satu dengan yang lain),
dimana dalam satu konteks (situasi dan kondisi) tertentu dapat ditemukan ayat-ayat yang
belum mempunyai daya greget yang kuat dalam merespon problematika yang ada,
sementara di ayat lain dalam frame (kaca mata) yang sama ataupun berbeda lebih
mempunyai daya greget yang kuat.
Mekanisme aktualisasi tersebut dapat dicontohkan dalam kasus bunga bank, yang oleh
konsensus ulama klasik tergolong dalam riba yang diharamkan oleh al-Quran. Namun,
sebagaimana kita ketahui bahwa jenis riba bervariasi. Oleh karena itu larangan riba dalam
al-Quran menjadi mutlak, sehingga gregetnya menjadi kurang, walaupun hadits juga
berperan membatasi kemutlakan tersebut, namun kalau dipahami secara mendalam
gregetnya juga masih belum kelihatan. Dalam posisi ini, proses pengambilan hukum
dengan mendasarkan apa yang terkandung dalam dasar inter-Syar‘i masih terlalu prematur
bila dihadapkan pada frame dunia sekarang ini. Dengan demikian perlu kiranya melibatkan
elemen ekstra-syar`i untuk melihat hal ini, yakni frame pemikiran perbankan tentang bunga
bank, yang dapat dinyatakan bahwa roda perekonomian akan menjadi timpang ketika
mengisolir sistem bunga bank, disamping itu kalau mau jujur bunga bank merupakan
manifestasi dari simbiosis mutualisme antara nasabah dengan bank sendiri. Dasar pemikiran
inilah yang membuat Fazlur Rahman berpandangan bahwa bunga bank yang ringan tidaklah
haram, bukan sebaliknya..
Uji Kompetensi
BAB XII
DZAHIR DAN TA’WIL
Kompetensi Dasar
1.12. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah zahir
dan takwil
2.12. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman
tentang kaidah zahir dan takwil
3.12. Memahami ketentuan kaidah zahir dan takwil
4.12. Mengomunikasikan contoh hasil analisis dari kaidah zahir dan takwil
B. Tujuan Pembelajaran
C. Materi Pokok
1. Dzahir
Dzahir secara bahasa mempunyai arti yang terang dan yang jelas. Dalam pengertian istilah adalah
apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rajih/ jelas dengan lafalnya sendiri dengan adanya
kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi SAW:
توضؤوا من حلوم اإلبل
“Berwudulah kalian karena memakan daging unta!”
Maka yang dzahir dari istilah wudlu adalah membasuh anggota badan yang empat sesuai syara,
bukan wudlu yang berarti membersihkan diri.
2. Takwil
Secara etimologi berarti penjelasan, uraian, atau kembali, tempat kembali, atau balasan yang
kembali kepadanya. Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna
dari lafal yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari
makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
Jadi ta’wil ialah memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang kepada makna yang tidak
terang, karerna ada suatu dalil yng menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai.
Contoh firman Allah dalam surah Alanam ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-
mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Ditakwilkan menjadi bermakna Allah
mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh.Contoh lain,
firman Allah dalam surah Alfajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika ditakwilkan bermaknaAllah memperingatkan para hamba-Nya
yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah.
3. Syarat-syarat ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Ta’wil harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan sastra arab
Ta’wil itu biasa digunakan sepanjang pengertian bahasa.
Ta’wil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang ta’wilnya tersebut.
Jika ta’wil itu berdasarkan qiyas maka harus memakai qiyas yang jelas dan kuat.
4. Masalah-masalah yang bisa dita’wil dan tidak
Para ulama’ berpendapat bahwa masalah-masalah furu’ yang dapat menerima ta’wil. Adapun
mengenai masalahyang berhubungan dengan ushul atau aqidah, mereka berbeda pendapat, yaitu :
Masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah tidak dapat menerima ta’wil. Ini
adalah pendapat golongan Musyabbihah, yaitu mereka yang menyamakan Tuhan
dengan Makhluk.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah dapat menerima ta’wil , tetapi
ta’wilnya diserahkan kepada Allah. Ini adalah pendapat ulama’ salaf.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah dapat menerima ta’wil, ini
pendapat ulama’ khalaf.
5. Macam-macam ta’wil
Golongan Syafi’iyah membagi ta’wil menjadi 2, yaitu :
Ta’wil yang jauh
Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafadz yang sangat jauh, sehingga
tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
Ta’wil dekat
Yaitu ta’wil yang tidak jauh dari makna dhahirnya, sehingga dengan petunjuk
yang sederhana sudah dapat difahami maknanya.
Secara garis besar ta’wil ada dua macam, yaitu :
1. Ta’wil al-Quran atau hadits Nabi
Contoh dalam surat al-Fath ayat 60, terdapat kata “ Yadullahi fauqo Aidihim.
Kata Yadun yang berarti tangan dita’wil dengan arti kekuasaan
2. Ta’wil bagi nash, khusus berlaku dalam hukum taklifi.
Bolehnya perkawinan sebelum mencapai usia baligh dengan syarat harus melampirkan izin dari
pejabat setempat itu merupakan pendekatan ta’wil yang mana memindahkan makna rajih (yang lebih kuat)
kepada makna marjuh (yang lemah).
Ketentuan batas umur perkawinan ini, disebutkan dalam KHI dengan pertimbangan kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.
Sedangkan dalam konsep Islam masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang tampaknya lebih ditonjolkan
pada aspek fisik. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, yang dalam
term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung bebanhukum).
Hikmah
Hikmah dari kaidah zahir dan takwil, antara lain:
1. Melalui kaidah zahir dan takwil dapat membangun kerangka pemikiran bahwa hukum dibentuk oleh
Allah diproyeksikan untuk merespon problematika kehidupan manusia dalam kaitanya sebagai solusi
(problem solver)
2. Para ulama ushul fikih berpendapat zahir merupakan dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat
dalil yang menunjukkan lain daripadanya.” Artinya apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk
mendorong pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib
diikuti.
3. Praktik mengamalkan dalil takwil adalah sesuai konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya.
Karena takwil mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa,
takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil. Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad sebagai
cara meng-istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil, syaratnya :
jika arti nash sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh
ditakwilkan dengan akal.
Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya.
Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada dalil,
bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
4. Pentingnya menjaga keseimbangan dalam pola hubungan antara zahir lafal dan makna dalam sebuah
takwil maupun tafsir. Terlalu berlebihan dengan hanya mengedepankan lafal/zahir teks dalam pemahaman
akan terjerumus pada kekeliruan. Seperti yang dilakukan kelompok literal (d͎ āhiriyah), sebab ajaran Al-
Qur'an menjadi terkesan jumud (diam kaku) dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga
terlalu berlebihan dalam upaya menangkap pesan atau makna batin dari sebuah ayat akan terjerumus
kepada kesalahan kelompok batiniyah yang banyak menggugurkan hukum-hukum syara’ demi
mengedepankan makna batin atau maksud di balik teks.
5. Tafsir lebih umum daripada takwil dan biasanya tafsir lebih banyak digunakan dalam lafal dan
mufradatnya, sedang takwil lebih dititikberatkan kepada makna dan kalimat serta sering dikenakan
kepada kitab-kitab suci, berbeda halnya dengan tafsir yang digunakan pada selain kitabsuci.
6. Penggunaan Al-Qur'an terhadap lafal ta'wîl, tampak bahwa pengertian takwil berkisar pada hasil akhir,
penerjemahan secara simbolik, penjelasan, serta penuturan kembali terhadap sesuatu.
7. Takwil lebih banyak menggunakan nalar. Dalam dunia penafsiran dikenal dua macam metodologi tafsir
yaitu tafsîr bil- ma'śūr dan tafsîr bir-ra'yi. Tafsîr bil- ma'śūr adalah tafsir dengan menggunakan
penjelasan Al-Qur'an sendiri, penjelasan Rasulullah, perkataan para sahabat dan tabi‘in. Sedangkan tafsîr
bir-ra'yi adalah tafsir dengan menggunakan kemampuan nalar dalam memahami ayat Al-Qur'an. Tafsîr
bir-ra'yi terbagi dua yaitu bir-ra'yi al-mahmμd (terpuji) dan bir-ra'yi al-mażmμm (tercela). Takwil lebih
dekat dengan tafsîr bir-ra'yi karena dalam takwil peran nalar sangat dominan.
Uji kompetensi
B. TUGAS MANDIRI
Carilah contoh lafadz dhahir dan ta’wil dalam al Quran, kemudian jelaskan pendapatmu
C. TUGAS KELOMPOK
Takwil menurut para pakar ushul fikih diartikan sebagai pemalingan suatu lafadz dari maknanya
yang zahir ke makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa
makna itulah yang dimaksud dengan lafadz. Untuk itulah kaidah ini dibangun! Yang menjadi
pertanyaan besar adalah bagaimana memahami Al-Qur'an sebagaimana dipahami bangsa Arab yang
hidup ketika Al-Qur'an diturunkan dengan pendekatan zahir dan takwil?
Maka carilah surat al-Nisa’ ayat 6 kaitannya dengan kata baligh, kemudian takwilkan pembatasan
usia perkawinan di Indonesia, umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun begi perempuan, kemudian
komparasikan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 1, tentang batas usia minimal
melangsungkan perkawinan.
BAB XIII
MANTŪQ DAN MAFHŪM
Kompetensi Dasar
1.13. Menghayati kebenaran produk ijtihad yang dihasilkan melalui penerapan kaidah mantūq dan
mafhum
2.13. Mengamalkan sikap tanggung jawab dan patuh sebagai implementasi dari pemahaman tentang
kaidah mantūq dan mafhum
3.13. Memahami ketentuan kaidah mantūq dan mafhum
4.13. Mengomunikasikan contoh hasil analisis dari kaidah mantūq dan mafhum
E. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, megasosiasi dan mengomunikasikan peserta didik
dapat:
1. Mematuhi ajaran agama
2. Menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama
3. Membiasakan berpikir solutif untuk memecahkan masalah
4. Membiasakan sikap mandiri dalam aplikasi kaidah keilmuan
5. Memahami kaidah pokok fikih mantūq dan mafhūml
6. Menerapkan dalam kehidupan kaidah pokok fikih mantūq dan mafhūml
7. Menganalisis kaidah pokok fikih mantūq dan mafhūml
8. Mempresentasikan argumentatif aplikatif kaidah mantūq dan mafhūm.
F. Materi Pokok
1. Manthuq
a. Pengertian Manthuq
َم ا َد ّل َع َلْيِه َاَّللْفُظ َفْي َم َح ِّل َالنْطِق: َاْلَم ْنُطْو ُق
Secara istilah artinya sesuatu hal atau hukum yang diterangkan oleh suatu lafal sesuai bunyi
lafal itu sendiri.
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan
pengertian ke makna yang lain.
b. Pembagian Manthuq
1) Hukum/nash
Hukum/nash ialah lafal yang bentuknya sendiri telah jelas maknanya. Seperti pada surah
Albaqarah ayat 196:
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh ini diartikan lain
secara majaz (kiasan).
2) Zahir
Zahir ialah lafal yang yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada
kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Seperti pada QS Albaqarah: 222,
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti dari haid dinamakan suci (tuhr), berwudu dan mandi pun disebut tuhr. Namun
penunjukan kata tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah
makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid)
adalah marjuh (lemah).
3) Muawwal
Muawwal adalah lafal yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Contoh rendahkan sayapmu.
4) Dalalah Istida'
Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk lafal kepada makna yang tepat tapi terkadang
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS. Annisa: 23.
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”,
sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-
ibumu.”
5) Dalalah Isyaroh
Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafal kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat
lafal. Contoh pada QS Albaqarah: 187,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar…”
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu pagi hari masih dalam
keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga
tidak ada kesempatan untuk mandi.
2. Mafhum
a. Pengertian Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang
tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
b. Pembagian Mafhum
1) Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan
makna lahiriyah.Misalnya pada QS Alisra: 23
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan
‘ah’ .
Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua,
maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti
mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat
2) Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari makna
lahiriyah. Misalnya pada QS At talaq ayat 6 :
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkah.”
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) maka jika di talak dalam
keadaan tidak hamil tidak perlu diberi nafkah
“ jika mereka dengan senang hati menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu,
maka makanlah(ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (Q. S An-Nisa: 4)
Persyaratan halalnya bagi suami memakan sebagian dari maskawin istrinya
dengan penyerahan secara sengan hati, mafhumnya jika istri tidak menyerahkan
dengan senang hati, maka haram bagi seorang suami memakannya.
Mafhum Ghayah, yaitu berlakunya hukum yang disebutkan sampai batas waktu
tertentu, dan berlaku kebalikan hukum setelah batas waktu tersebut habis/.berlalu.
contoh ayat :
“ Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar ............... (Q.S Al- Baqarah : 187)
Ayat menunjukkan boleh makan dan minum pada waktu malam bulan
ramadlan sampai terbit fajar, mafhumnya haram makan dan minum sesudah fajar
terbit.
Mafhum ‘Adad, yaitu mafhum kata bilangan, yaitu berlaku kebalikan suatu hukum
yang diasngkutkan dengan bilangan tertentu bagi jumlah yang kurang atau lebih
daripada yang dinyatakan oleh kata bilangan itu. Contoh dalam ayat :
“ Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera “. (Q. S An-Nur :
4)
Ayat ini menunjukkan bahwa, hukuman dera atas orang yang menuduh orang
baik-baik berbuat zina adalah 80 kali dera, mafhumnya hukuman dera karena
menuduh itu tidak boleh kurang atau lebih dari 80 kali.
Mafhum Hashri, artinya mafhum pembatasan, yaitu hukum sesuatu yang disertai
pembatasan tidak melampaui kepada sesuatu yang lain di luar yang telah ditetapkan.
Dan bagi yang lain berlaku kebalikan dari hukum itu. Misalnya hadits yang berbunyi :
إنما الربا فى النسيئة
“ Riba itu hanya pada nasiah “
Hadits ini menunjukkan, bahwa riba hanya ada pada nasiah, mafhumnya pada
yang bukan nasiah tidak ada riba.
Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari nama yang menyatakan dzat, baik nama diri,atau
berbentuk kata shifat. Dalam mafhum laqab, tetap berlakunya hukum bagi yang
disebut dan tidak melampaui kepada yang lain, dan bagi yang lainnya itu berlaku
kebalikan hukum tersebut. Misalnya hadits yang berbunyi :
ألذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح
مثال بمثل سواء بسواء يد بيد
“ Menukar emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan
syair, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, (hendaklah) dengan yang
serupa (sifatnya), sama jumlahnya dan tangan dengan tangan kiri “.
Hadits tersebut menunjukkan, bahwa pada keenam macam barang tersebut
akan terjadi riba apabila mempertukarkan barang yang sejenis dalam keadaan tidak
sama sifatnya,
jumlahnya dan tidak langsung menyerahkan dengan tangan kanan dan menerima
tukarannya dengan tangan kiri. Bagi barang selain enam macam tersebut berlaku
kebalikan hukum tersebut, mafhumnya tidak terjadi riba meskipun tidak sama sifat,
jumlahnya dan tidak langsung tangan kanan dan tangan kiri.
Uji kompetensi
A. Jawablah pertanyaan dibawah ini !
1. Jelaskan pengertian manthuq dan tulislah contohnya !
2. Apa yang dimaksud dengan mafhum, dan beri contohnya !
3. Sebutkan macam-macam mafhum dan jelaskan !
4. Sebutkan macama-macam mafhum muwaqah !
5. Sebutkan macam-macam mafhum mukhalafah!
6. Buatlah contoh tentang macam-macam mafhum muwafaqah !
7. Buatlah contoh tentang macam-macam mafhum mukhalafah !
8. Sebutkan syarat-syarat suatu mafhum bisa dijadikan hujjah !
9. Tulislah ayat yang berhubungan dengan mafhum dan manthuq !
10. Jelaskan pendapat kalian tentang berhujjah dengan mafhum dan manthuq !
B. Tugas individu
Cari dan Tulislah dalil yang terdapat dalam materi diatas yang masih kosong !
C. Tugas Kelompok
Carilah contoh mafhum dan manthuq yang ada didalam al –Quran atau hadits, kemudian
diskusian dengan kelompok kalian
Carilah pendapat ulama’ tentang manthuq dan mafhum, kemudian diskusikan dengan kelompok
kalian