1 PB

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

Tinjauan Yuridis Akta Notaris Secara Elektronik Dalam Bidang E-commerce

Anisa Ribut Septihana, Luluk Lusiati Cahyarini


Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
[email protected]

Abstract

This research is to identify the existence of rule of law for Electronic Signatures because in the 4.0 era
technology has become more sophisticated and some of them have relied on the latest technology. The
same applies to the scope of a notary. That the electronic signature has the power of perfect proof like an
authentic deed. In fact, this provision is contrary to the provisions of article1 paragraph 7 of law number
30 of 2004 concerning Notary Positions concering notary deeds. This case, judges must rely on the
principle of lex derogate lex specialis, the power of proving an electronic signature as evidence, so that
the power of proving an electronic signature is the same as authentic deed in accordance with the
provisions of the ITE Law. Research above, it can be concluded that electronic signatures on authentic
deeds are very much needed in this pandemic period. using an electronic signature system can be easily
and systematically. Where the system also gets legal protection provided by the State to the Cyber Notary
system and applicable laws. A violation of relevance in the field which results in a weak electronic
signature in the trial. So it can be concluded that the related articles are: Article 1 paragraph 7 of the Act
No. Notary Position. 30 of 2004.
Keywords: digital signature; notarial deeds
Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya peraturan hukum terhadap tanda tangan elektronik,
mengingat di era 4.0 teknologi semakin kompleks, beberapa diantaranya mengandalkan teknologi terkini.
Hal yang sama berlaku untuk ruang lingkup notaris. Tanda tangan elektronik memiliki kemampuan untuk
membuktikan selengkap dan sesempurna kontrak yang sebenarnya. Padahal, ketentuan ini bertabrakan
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
khususnya akta notaris. Menimbang hal tersebut, penegak hukum disarankan untuk berpedoman pada
aturan hukum dalam pengurangan yang diatur dalam undang-undang ITE, sehingga kekuatan pembuktian
tanda tangan elektronik sama dengan perbuatan nyata menurut undang-undang ITE. Dapat disimpulkan
tanda tangan elektronik dari aksi nyata sangat dibutuhkan di masa pandemi ini. Penggunaan sistem tanda
tangan elektronik dapat dilakukan dengan mudah dan sistematis. Sistem juga menerima perlindungan
hukum yang diberikan oleh negara kepada sistem notaris jaringan dan hukum yang berlaku. Pelanggaran
relevansi ada di area ini, yang mengakibatkan digital signature yang lebih lemah di persidangan. Dapat
disimpulkan bahwa ketentuan yang relevan adalah: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris Pasal 1 ayat (7).
Kata kunci: tanda tangan elektronik; akta notaris

1591
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

A. PENDAHULUAN
Teknologi yang berkembang yang semakin canggih dan sistem informasi telah berdampak pada
aspek ekonomi, sosial dan budaya kehidupan masyarakat. Teknologi Informasi atau yang sering kita
sebut IT, IT menurut Williams dan Sawyer yaitu teknologi yang menyatukan komputasi (komputer)
dengan jalur komunikasi dalam kecepatan tinggi yang membawa data, suara, dan video di bidang
ekonomi.
Teknologi yang berkembang sebagai informasi telah secara signifikan mengubah sistem
ekonomi tradisional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem digital ini memungkinkan dunia bisnis
untuk bertransaksi menggunakan media elektronik yang menawarkan kemudahan, kecepatan dan
efisiensi yang lebih besar”.(Rachmawati, 2011) “Teknologi yang berkembang serta platform digital
telah menjaadi sorotan aktivitas perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia (Andalan, 2019).
Seiring teknologi yang berkembang, menurut Regina alat bukti pun turut berkembang. Mulai
dikenal alat bukti dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik (Christy, 2016).
Alat bukti yang sah adalah sebagai berikut: alat bukti, saksi, kecurigaan, pengakuan, dan keterangan
tertulis. Pembuktian merupakan bagian dari rangkaian proses pengadilan dan berperan penting dalam
membantu hakim menemukan hukum dan mengambil keputusan.
KUHPerdata mengklasifikasikan jenis-jenis alat bukti yang sah, yaitu alat bukti surat atau alat
bukti lainnya, menurut kekuatan alat buktinya. Bagian 1866 KUHPerdata mengatur tentang bukti
dokumenter, saksi, kecurigaan, pengakuan dan sumpah. Meskipun Pasal 1866 KUHPerdata membuat
ketentuan yang jelas dan rinci tentang alat bukti yang sah, dalam sengketa perdata khususnya sengketa
e-commerce, tanda tangan elektronik digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dan alat bukti tidak
berlaku dalam perkembangannnya. Dalam penafsiran yang diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa alat bukti yang diatur didalamnya
mempunyai kekuatan pembuktian, dan disamping ketentuan-ketentuan alat bukti lainnya, juga harus
mempunyai kekuatan pembuktian sebelum dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan menurut
undang-undang. Mengenai kekuatan pembuktian tanda tangan elektronik, Pasal 18 UU Teknologi
Informasi menggabungkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 11, dan kekuatan pembuktian dokumen
elektronik yang ditanda tangani secara elektronik sama dengan kekuatan pembuktian tanda tangan
elektronik. Pengesahan akta notaris, namun ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 1
ayat 7 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004. Menurut Pasal 1 ayat (7) akta notaris
adalah akta yang dibuat di hadapan atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang

1592
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 1866 KUHPerdata menyatakan bahwa notaris adalah
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh atau ditempat notaris dilakukan
oleh pejabat umum. E-Commerce itu sendiri adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya dengan berdasar pada
perbuatan hukum (Ardwiyansyah, 2017).
Elektronik dalam hal ini membantu melakukan Tanda tangan datang dalam suatu dokumen
secara elektronik yang tidak berbentuk dokumen tertulis (non paperless). Dengan demikian, maka
konsep tanda tangan elektronik tidak sesuai dengan undang-undang yang mewajibkan dokumen untuk
dilihat, dikirim, dan disimpan dalam bentuk kertas. Seiring dengan kemajuan teknologi, perlu diingat
bahwa hukum Indonesia kemudian mengadopsi hukum Belanda, di mana tanda tangan elektronik
dianggap memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan kertas dan memiliki tingkat
akurasi yang tinggi. Maka jika bidang infromasi dan teknologi mulai beradaptasi dengan sistem
hukum acara Indonesia. Hal ini penting mengingat transaksi elektronik bersifat faceless (tidak tatap
muka) dan signatureless (tanpa tanda tangan), serta dapat membuat beberapa pihak ragu dalam
kemampuan alat bukti tanda tangan elektronik sebagai alat bukti di pengadilan. Transaksi elektronik
bersifat nonface (tanpa bertatap muka) nonsign (tidak memakai tandatangan asli) dan tanpa batas
wilayah karena seseorang dapat melakukan transaksi elektronik dengan pihak lain walaupun mereka
berada di Negara Berbeda. Menurut ahli hukum praktek, hakim, pengacara pada umumnya untuk
setiap orang yang ikut serta dalam hubungan hukum secara aktif dalam hukum adalah suatu peraturan,
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan (Apeldoorn, 1994)
Semakin berkembangnya peradaban, Khususnya dalam dunia bisnis, dipergunakan tanda tangan
dalam suatu perjanjian saat ini sudah mulai menggunakan tanda tangan elektronik ada dalam akta,
maka akta elektronik timbul perbedaan pendapat terkait kekuatan hukum tanda tangan elektronik.
Menurut Tan Thong Kie, tanda tangan adalah suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan
(penandatanganan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan
menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri (Thong, 1994).
Dalam Pembuktian informasi elektronik tidak hanya tidak sepenuhnya dianut oleh sistem hukum
acara Indonesia, tetapi dapat mudah dipalsukan dan disebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik.
Data elektronik yang telah ditandatangani dengan tanda tangan digital disebut alat bukti dokumenter,
mungkin sulit untuk mengembangkan penggunaan dokumen elektronik dari segi prinsip hukum, yaitu
sesuai dengan ayat 1 (1) Undang Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang

1593
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Undang Undang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN)
memiliki fungsi dan fungsi yang diperlukan untuk terjaminnya legalitas transaksi di Indonesia.
Notaris adalah pejabat publik yang disumpah untuk bertindak sesuai dengan undang-undang,
dan notaris netral dalam tindakan dan tindakannya karena dia tidak bertindak untuk kepentingan para
pihak, tetapi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hal ini menjadikan notaris bertanggung
jawab penuh atas kualitas akta yang dibuatnya, yang disebut juga sebagai akta yang memiliki
kekuatan penegakan hukum (Budi, 2002) Pasal 16 UUJN menerangkan bahwa salah satu tugas notaris
adalah membaca akta didepan didepan umum dengan dihadiri sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi
atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk membuat wasiat rahasia dan menandatanganinya. Oleh orang
yang hadir pada waktu itu, saksi dan notaris. Menurut peraturan ini, notaris, pihak dan saksi harus
hadir secara langsung. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, notaris tidak
hanya memiliki kewajiban dan kewenangan dalam melakukan transaksi biasa, tetapi juga melakukan
transaksi elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 15 UUJN berisi adanya pihak pihak dalam suatu perjanjian atau akta untuk
hadir secara fisik. Seiring dengan perkembangan teknologi mempengaruhi kehidupan sehari hari
termasuk perbuatan hukum yaitu melakukan transaksi secara elektronik, notaris juga mendapatkan
kewenangan baru. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN disebutkan bahwa notaris memiliki kewenangan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu kewenangan untuk mengesahkan transaksi
yang dilakukan secara elektronik (Cyber notary).”
Di Belanda punya sistem hukum sama dengan Indonesia, notaris jadi pihak ketiga yang
dipercaya dalam suatu transaksi elektronik. Selain itu notaris juga punya peran penting untuk
mencegah salah paham. Istilah cyber notary bukan tentang notaris modern yang memakai sistem
komputer dan internet untuk berkas perkantoran, tetapi juga memperluas fungsi dan peran notaris
dalam transaksi elektronik dan membantu dalam pekerjaannya sebagai notaris dengan menggunakan
sarana elektronik ini.
‘Cara untuk terjaminnya keutuhan tanda tangan elektronik adalah dengan menggunakan Teknik
kriptologi. Kriptologi berasal dari kata Yunani “kryptos” (tersembunyi) dan “logos” (Ilmu) yang
berarti ilmu yang mempelajari penulisan rahasia dan menjamin dokumen. Kriptologi adalah gabungan
antara kriptografi dan kripnalis yang terkait oleh keamanan pesan rahasia, Teknik kriptologi menjamin
keamanan minimal, yaitu keaslian; penerima pesan harus tahu penerima pesan harus tahu siapa
pengirim pesan dan benar benar yakin bahwa pesan itu dari pengirim. Integritas; penerima harus yakin

1594
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

bahwa pesan tidak pernah diubah atau dipalsukan oleh pihak yang beritikad buruk. Kerahasiaan; pesan
tidak dapat dibaca oleh pihak yang tidak berwenang.”
Harus diakui, si pengirim tidak dapat memungkiri bahwa pesan itu bukan darinya. Control
akses; sistem kriptografi dapat mengotorisasi/menolak akses apapun ke pesan. Ada dua bentuk
kriptografi yang dikenal, kriptografi simetris dan kriptografi asimetris. Kriptografi simetris
menggunakan satu kunci untuk mengenkripsi dan mendeskripsi pesan. Ini menghasilkan keamanan
pesan yang tidak dijamin karena hanya menggunakan kunci yang sama untuk mengenkripsi dan
mendeksripsi pesan. Oleh karena itu, tanda tangan digital menggunakan algoritma asimetris sebagai
tanda tangan elektronik. Teknik ini menggunakan 2 dua kunci, kunci publik dan kunci privat
digunakan untuk mendeskripsi pesan rahasia agar dapat dibaca.
Tanda tangan elektronik memiliki informasi mengenai informasi elektronik dan atau dokumen
elektronik yang ditandatangani. Dalam hal tanda tangan elektronik bersertifikat, tanggung jawab
verifikasi ditanggung oleh penyelenggara sistem elektronik sebagai pihak yang menerbitkan,
mengadministrasikan sertifikat elektronik yang berisi tanda tangan elektronik tersebut.”
Dalam penerapan tanda tangan elektronik, muncul permasalahan terkait dengan Pasal 16 ayat
(1) UUJN, yaitu kewajiban untuk tidak membacakan akta di depan para pihak dan keaslian akta yang
membuat tanda tangan elektronik tersebut. Akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum
merupakan akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat (7) UUJN bahwa akta notaris adalah akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditentukan undang-undang.”
Akta ada dua macam, akta partij dan akta relaas. Akta pihak adalah akta yang dibuat di hadapan
pihak yang berhubungan langsung dengan notaris, dan akta tersebut ditandatangani di hadapan notaris.
Akta relaas adalah akta yang menceritakan suatu peristiwa dan ditandatangani oleh notaris. Beberapa
masalah yang muncul ketika menegakkan perjanjian hibah adalah kapan dan dimana itu diberlakukan.
Pada saat yang sama, tanda tangan elektronik dapat diterapkan pada akta-akta terkait, seperti risalah
rapat RUPS, karena notaris terlibat langsung, dan ada akta dalam RUPS sebagai “E-Paspor”. Yang
tidak dapat dipisahkan dari E-Paspor karena memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam
menandatangani identitas. Untuk memberikan keabsahan hukum sertifikat, sertifikat harus memiliki
struktur internal yang berisi data yang harus diberitahukan oleh penanda tangan.
Menurut Pasal 1 ayat 9 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (Permenkominfo PSE), penanda tangan adalah pemilik

1595
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

sertifikat elektronik yang identitasnya didaftarkan oleh PSE dan telah melewati proses verifikasi.
Sertifikat elektronik setidaknya harus memuat informasi berikut: versi sertifikat; nomor seri sertifikat;
algoritma yang digunakan; nama pemilik sertifikat digital, termasuk negara sumber, organisasi, dan
informasi lainnya; nama organisasi yang menerbitkan sertifikat elektronik
Berdasar Pasal 13 UU ITE, setiap orang berhak menggunakan tanda tangan elektronik (e-
signature) yang didukung oleh suatu jasa layanan PSE (Certification Authority/ CA). PJPK adalah
otoritas yang memiliki kewenangan untuk mengelola sertifikat elektronik seperti penerbitan,
pencabutan dan pembaruan sertifikat elektronik. Tujuannya adalah membuat jelas identitas subjek
hukum dan melindungi keamanan dan keaslian informasi elektronik yang dikirim lewat sistem
elektronik.
Teknologi yang berkembang dan informasi yang pesat menyebabkan data pribadi dan data
privasi dari pengguna tanda tangan elektronik rentan untuk disalahgunakan, salah satunya untuk
kejahatan siber (cybercrime) misalnya voice phishing. Phishing (Pengelabuan) merupakan suatu
tindak pidana penipuan dengan menggunakan data pribadi dan data privasi dari seseorang (Siregig,
et.al., 2021).
“Salah satu persoalan yang berpotensi menjatuhkan sanksi kepada notaris adalah akad yang
dibuat tanpa tatap muka oleh para pihak. Menurut koordinator tindak pidana dan harta benda
kejaksaan agung muda pidana umum (jampidum) kejaksaan agung heri jerman, ada 20 akta notaris
yang berkaitan dengan tindak pidana, yaitu: para pihak tidak menandatangani tetapi dibuat secara
tertulis atau ditandatangani, dan akta tidak dibaca tetapi menyatakan apa yang dibacakan, pokok akta
tidak sesuai/berbeda dengan fakta sebagaimana ditafsirkan oleh notaris yang mengintervensi syarat-
syarat perjanjian; akta tersebut menyatakan bahwa para pihak telah membayar lunas jumlah yang
diperjanjikan, padahal sebenarnya belum dibayar, atau bahkan benar-benar dibayar; termasuk
pembacaan akta yang harus dilakukan oleh notaris sendiri, padahal sebenarnya tidak; termasuk
mengetahui orang yang menghadapinya, dan dia sebenarnya tidak mengenalnya; data identitas dari
salah satu pihak dalam kontrak diyakini tidak benar. Ada 2 (dua) kontrak dengan peredaran yang sama
tetapi isinya berbeda.”
“Adapun alasan pelanggaran merek terkenal yang semakin marak terjadi di pasaran, sehingga
perlu adanya perlindungan hukum terhadap merek terkenal khususnya merek terkenal luar negeri
terhadap pelanggaran merek sangat memerlukan penanganan yang lebih bijak. Ada beberapa faktor
atau alasan yang menyebabkan pihak tertentu melanggar merek dagang orang lain.”

1596
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

Oleh karena itu, penulis ingin analisa lebih dalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan
bagaimana adanya perlindungan merek di Indonesia, dalam hal ini berupa jurnal yang berjudul:
“Tinjauan Yuridis Akta Notaris Secara Elektronik Dalam Bidang E-Commerce”
Aristoteles tentang keadilan dapat didapatkan dalam karyanya nichomacheanethics, politics, dan
rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nichomacheanethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi
keadilan, yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat
hukumnya (Aristoteles, 2003). Pada hakikatnya pandangan keadilan ini adalah pemberian hak yang
sama tetapi bukan persamaan. Aristoteles membedakan persamaan hak sesuai dengan hal hal yang
proporsional. Persamaan hak dipandang oleh manusia sebagai satu kesatuan atau wadah yang sama.
Kesetaraan proporsional memberi setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan
dan prestasinya.
Teori keadilan yang memiliki arti persamaan terhadap pemenuhan hak kesehatan seperti teori
keadilan oleh Rawls (Rawls, 1971). John Rawls dipandang sebagai perspektif “liberal-
egalitarianofsocialjustice”. Berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa
keadilan, khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.
Menurut paparan penulis yang ada dalam latar belakang diatas, permasalahan yang penulis teliti
yaitu: 1) Landasan hukum keberadaan akta notaris secara elektronik pada E- Commerce? 2) Kekuatan
alat bukti dengan Tanda Tangan Elektronik sesuai UUJN?
Sebenarnya belum banyak hasil penelitian yang terkait dengan objek penelitian yang terkait oleh
objek penelitian, khususnya berupa jurnal. Khusus untuk penelitian hukum, dan terbatasnya
kewenangan penulis untuk mendalami hasil penelitian di bidang hukum, terdapat beberapa penelitian
tentang penerapan doktrin persamaan pada Tinjauan Yuridis Akta Notaris Secara Elektronik Dalam
Bidang E-commerce. Beberapa hasil pencarian, penulis mendapatkan hasil penelitian dalam bentuk
artikel yang ditulis oleh Dini Sukma Listyana, Ismi Ambar Wati, Lisnawati yang berjudul “Kekuatan
Pembuktian Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Persepektif Hukum
Acaradi Indonesia dan Belanda, (Listyana, et.all, 2014) yang meneliti dua pokok permasalahan, yaitu :
1) Bagaimana Peraturan terkait pembuktian dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata?. 2)
Bagaimana Kekuatan Hukum dalam pembuktian didalam persidangan? Maka perbedaan dengan jurnal
yang Penulis saat ini perbedaannya yaitu dalam Akta Notaris Elektronik dalam bidang E-commerce

1597
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

yang lebih membahas peruntukan dan sah atau tidaknya dalam bidang jual beli. dimana perbedaan
dengan artikel yang dibahas oleh Dini dan kawan kawan yaitu perbedaannya lebih mengulas secara
mendalam mengenai pembuktian tanda tangan elektronik
Artikel yang ditulis oleh Aulia Delvina di tahun 2019 yang berjudul “Penggunaan Tanda Tangan
Elektronik dalam Pengajuan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah” (Delvina, 2019) dengan dua
permasalahan, yaitu: 1) Bagaimana spesifikasi Penggunaan Tanda Tangan Elektronik dalam
Pengajuan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 2) Bagaimana Prinsip yang berlaku syariah
dalam penyelenggaraan layanan penggunaan tanda tangan elektronik pada pengajuan pembiayaan di
bank BJB Syariah. Maka perbedaan dengan jurnal yang Penulis saat ini perbedaannya yaitu dalam
Akta Notaris Elektronik dalam bidang E-commerce yang lebih membahas peruntukan dan sah atau
tidaknya dalam bidang jual beli. dimana perbedaan dengan artikel yang dibahas oleh Aulia yaitu
perbedaannya lebih mengulas secara mendalam mengenai Pengajuan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Artikel yang ditulis oleh Ni Kadek Sofia Arianti, I Nyoman Putu Budiartha, Desak Gde Dwi
Arini 2020 yang berjudul “Tanda Tangan Elektronik Dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham Perseroan Terbatas”, (Arianti, Budiartha, & Arini, 2020) yang meneliti dua pokok
permasalahan, yaitu bagaimana Peraturan Tanda Tangan Elektronik Dalam RUPS Perseroan
Terbatas, dan bagaimana masalah Hukum Tanda Tangan yang dilakukan secara elektronik dalam akta
pernyataan keputusan RUPS. Maka perbedaan dengan jurnal yang Penulis saat ini perbedaannya yaitu
dalam Akta Notaris Elektronik dalam bidang E-commerce yang lebih membahas peruntukan dan sah
atau tidaknya dalam bidang jual beli. Yang Artikel yang ditulis Ni Kadek dan Kawan Kawan
membahas secara mendalam mengenai Pernyataan Akta Keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham PT.

B. METODE PENELITIAN
Pada penelitian kali ini, metode pendekatan yang penulis gunakan yaitu yuridis normatif.
Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian jurnal ini adalah data sekunder, berupa
beberapa resmi, buku-buku dan peraturan perundang-undangan meliputi Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang RI Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Kode Etik Notaris, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi

1598
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

Elektronik (ITE), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Teknik pengumpulan data
hanya diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan mencari keterangan-keterangan melalui putusan
pengadilan, sedangkan untuk metode analisis data melalui bahan-bahan yang telah dikumpulkan
dengan metode kualitatif dan ditinjau dari Undang-undang yang berlaku.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Landasan Hukum Keberadaan Akta Notaris Secara Elektronik Pada Bidang E- Commerce
Commerce padahal akad sama seperti akad jual beli biasa yang ada di masyarakat. Jual beli
pada umumnya oleh masyarakat. Jual beli pada umumnya oleh masyarakat sampai sekarang
dilakukan dengan sistem hukum perdata dan sistem hukum adat. Menurut hukum adat, Indonesia,
yang disebut jual beli bukan kesepakatan bersama yang sederhana, tetapi penjual menyerahkan
barang kepada pembeli dengan tujuan untuk mengalihkan kepemilikan barang pada saat pembeli
membayar barang tersebut. Bayar penjual dengan harga tertentu dalam mata uang. Oleh karena itu,
dalam common law, setiap jenis jual beli tidak terikat oleh asas atau sistem obligator atau sistem
atau asas lainnya.
Prodjodikoro Berpendapat bahwa “dalam hukum adat ada juga persetujuan antara kedua
belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan
penjual ke tangan pembeli dan pembayaran harga pembeli oleh pembeli kepada penjual, tetapi
persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa
penyerahan tadi” (Projodikoro, 1976) Selama pemberian barang belum terjadi, maka tidak ada jual
beli. terkait perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara penjual dan pembeli, jika para pihak
sepakat mengenai objek dan menyepakati kondisi dan harga barang, walaupun barang tersebut
belum diserahkan dan belum diumumkan (Pasal 1458 KUHPerdata)
“Jual beli ada (wis overeensteeming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga.
Barang dan harga merupakan inti dari perjanjian jual beli. Tanpa barang untuk dijual, tidak
mungkin untuk membeli dan menjual. Sebaliknya, jika objek jual beli tersebut tidak dibayar
dengan harga tertentu, maka jual beli tersebut dianggap tidak ada. Cara dan pembentukan
perjanjian jual beli, dapat terjadi secara terbuka, seperti yang terjadi dalam penjualan secara
eksekutorial atau yang disebut dengan excutoriale verkoop.”

1599
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

“Lelang eksekusi dapat dilakukan melalui lelang umum oleh pejabat lelang, tetapi bentuk dan
format umum dari lelang eksekusi ini jarang terjadi dan memerlukan perintah pengadilan. Dari
gambaran diatas dapat ditelaah bahwa transaksi antar tangan, yaitu transaksi antara pembeli dan
penjual tanpa terkait resmi, tidak perlu dilakukan secara terbuka. Bahkan bentuk penjualan, yang
utama jika barang barang bergerak, hanya dapat secara lisan, kecuali untuk barang-barang tertentu,
terutama barang-barang tidak bergerak pada umumnya, yang memerlukan bentuk akta penjualan.
Padahal, memahami akta adalah meneliti jual beli yang perlu diajukan, terkadang
membutuhkan pengajuan pengadilan di samping pengiriman yang sebenarnya. Melihat hal tersebut
yang dipaparkan diatas tentang bagaimana transaksi e-commerce mirip dengan jual beli pada
umumnya, terlihat bahwa perbedaan utama hanya dengan media yang digunakan. Dalam transaksi
e-commerce, media yang dipakai adalah media elektronik atau internet. Penandatanganan
perjanjian atau kontrak dilakukan secara online. Yah, hampir seperti kontrak penjualan dan
kesepakatan/karena penjualan e-commerce juga mencakup penawaran dan kesepakatan. Karena
suatu perjanjian diawali dengan adanya penawaran dari satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain.
Kontrak penjualan e-commerce dihadapkan pada permasalahan teknis, permasalahan teknis
dan permasalahan hukum dalam perkembangannya. Masalah teknis, termasuk kerahasiaan,
integritas (integritas) pesan, biodata pihak dan undang-undang untuk mengolah transaksi. Untuk
mengatasi masalah yaitu, dikembangkan Teknik kriptografi (kriptografi). Undang-undang saat ini,
Undang-Undang informasi dan transaksi Elektronik, hanya membahas transaksi elektronik secara
umum. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 17-22 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang membahas tentang transaksi elektronik. Sedangkan ketentuan Pasal 28 (1) membahas tentang
perbuatan yang dilarang sehubungan dengan transaksi elektronik.
“Peraturan ini nantinya akan menjadi pedoman bagi masyarakat dalam melakukan transaksi
perdagangan elektronik dan diharapkan dengan adanya peraturan ini, sistem e-commerce dapat
berjalan dengan baik, terstruktur dan terjamin dalam pelaksanaannya. Memang dalam UU
Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjadi sorotan adalah masih belum diatur secara tegas
mengenai bentuk perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.”

2. Kekuatan Alat Bukti dengan Tanda Tangan Elektronik Sesuai UUJN


“Dijelaskan dalam KUHPerdata bahwa alat bukti secara umum dalam buku keempat (IV)
tentang pembuktian dan daluarsa. Sedangkan untuk sistem pembuktian, hukum acara perdata

1600
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

bertumpu asas “mencari kebenaran formal” formeel warhead), maka hakim dalam memeriksa
perkara bersifat pasif yaitu ia tidak boleh berinisiatif dalam menambah atau mengajukan bukti-
bukti yang dibutuhkan karena ini adalah pilihan masing masing pihak.”
Salah satu tugas hakim dalam mencari kebenaran formil adalah menyelidiki apakah benar ada
hubungan hukum yang menjadi dasar perbuatan itu. Penggugat harus membuktikan adanya
hubungan hukum ini untuk memenangkan perkara dalam peristiwa lain ditemukan dalam
pembuktian perkara perdata adalah putusan dibuat sebagai buah dari pembuktian di pengadilan.
Hakim tidak dapat ambil keputusan dengan tidak membawa bukti.
Kunci untuk menolak atau/mengabulkan suatu tindakan harus didasarkan pada kejadian yang
sebenarnya yang diajukan oleh para pihak. “Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan
dukungan fakta-fakta sehingga pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa adanya fakta yang ada
(Vide Putusan MA No. 2775 K/Pdt/1983). Pengertian pembuktian salah satunya disampaikan oleh
H. Riduan Syahrani dalam bukunya yang berjudul Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata”
(Syahrani, 2008) yaitu suatu sajian bukti hukum kepada hakim yang menelaah perkara sesuai
dengan hukum untuk memastikan benar atau tidaknya suatu peristiwa yang dihadirkan.
Pembuktian diperlukan dalam kasus kasus dimana pengadilan memutuskan suatu perselisihan
(judicicto contetiosa) atau dalam kasus permohonan (judicicto Voluntair) yang mengarah pada
suatu keputusan. Menurut Pasal 1866 KUHPerdata, ada (lima) jenis alat bukti yang sah. Alat bukti
dokumen atau tertulis dimana suatu peristiwa, situasi atau sesuatu dibahas. Surat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu buku adalah akta dan non akta, serta akta itu sendiri dibagi menjadi akta
nyata dan akta pribadi. Mengenai kekuatan pembuktian dari alat bukti tertulis, akad yang
sebenarnya memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap dan sempurna, sedangkan kekuatan
pembuktian akad rahasia tergantung pada diakui atau tidaknya tanda tangan pada akad tersebut.
Alat bukti Saksi-Saksi sebagai pembuktian saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang
berbunyi: “Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan
oleh undang-undang”. Pada dasarnya, alat bukti saksi dapat semua dalam bidang dan jenis sengketa
perdata kecuali apabila undang-undang sendiri berketentuan sengketa dapat dibuktikan dengan
akta, maka alat bukti saksi tidak dapat diaplikasikan. Kekuatan pembuktian dari alat bukti saksi
yaitu bukti bebas. Artinya, penilaiannya tergantung pada hakim. Persangkaan Pasal 1915 KUH
Perdata menjelaskan: “persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui

1601
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

umum”. Ada dua 2 (dua) jenis dakwaan: dugaan atau fakta hakim dan undang-undang atau undang-
undang. Kekuatan pembuktian adalah pembuktian bebas dan juga pembuktian saksi. Pengakuan
pengakuan (pengakuan bakentenis) diatur dalam Pasal 174-176 dan 1923-1928 KUHPerdata.
Pengakuan adalah pernyataan yang seberapa atau seluruhnya mendukung argumen lawan.
Pengakuan di persidangan sepenuhnya dan secara meyakinkan dibuktikan atau diterima. Pada saat
yang sama, pengakuan diluar pengadilan adalah bukti serampangan. Sumpah sebagai alat bukti
adalah pernyataan atau pernyataan yang ditegaskan atas nama Tuhan dengan tujuan untuk
memberikan informasi tentang ketakutan akan murka Tuhan ketika ia berbohong. Karena tidak ada
alat bukti lain, sumpah diucapkan secara lisan didepan hakim persidangan dan didepan pihak
lawan. Pembuktian sumpah mempunyai kekuatan pembuktian, tergantung jenis sumpahnya.
Sumpah suppletoir (Sumpah Tambahan) adalah alat bukti yang sempurna, dan Sumpah Decisoir
(melanggar sumpah) adalah bukti yang menentukan.”

D. SIMPULAN
Untuk “ketentuan UU ITE yang disebut diatas berlawanan dengan Pasal 1 ayat (7) Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, hakim wajib membuat hukum tanda tangan
elektronik menurut ketentuan UU ITE berdasarkan asas derogasi dari undang-undang khusus yang
mempunyai kekuatan alat bukti yang kuat. Sama dengan kontrak nyata perlu dipahami bahwa
Indonesia manurut sistem hukum perdata yang mirip dengan sistem hukum Belanda, dan notaris
memiliki kekuasaannya yaitu hak untuk memverifikasi keaslian identitas pihak pihak, dan juga tanda”
tangannya.
Notaris “berhak menentukan keterangan yang diberi oleh para pihak mengenai perbuatan hukum
yang telah dilakukan. Notaris harus dapat menyatakan kepada pengadilan bahwa notaris membuat
akta yang disengketakan dan menyatakan asli biodata para pihak dan keaslian tanda tangan. Sistem
hukum Belanda akui keakuratan tanda tangan elektronik dan menjamin keasliannya, dengan demikian
akui penggunaanya sebagai bukti hukum di pengadilan. Sedangkan bagi notaris, di Belanda dan
Indonesia, notaris bertindak sebagai Registration Authority (RA) yang bertanggung jawab untuk
memverifikasi data dan biodata calon pemakai tanda tangan elektronik.

DAFTAR PUSTAKA

Andalan, A. (2019). Kedudukan Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Teknologi Finansial. Retrived
from: https://e-journal.unair.ac.id/JD/article/view/15921.
1602
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

Apeldoorn, M.L.J. (1994). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Arianti, Ni. Kadek. Sofia., Budiartha, I. Nyoman. Putu., & Arini, Desak. Gede. Dwi. (2020). Tanda
Tangan Elektronik dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan
Terbatas. Jurnal Interpretasi Hukum, Vol. 1, (No. 1), p.148-153.

Ardwiyansyah, B. (2017). Keabsahan Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Aristoteles. (2003). The History Of Economic Thought: A Reader Routledge, (Nicomachean Ethics. In S.
G. Medena & W. J. Samuels (eds), ed.). London.

Azwar, S. (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budi, U. (2002). Visi Global Notaris. Yogyakarta: Andi.

Cristy, R. (2017) Informasi Elektronik Dan/Atau Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/Puu-Xiv/2016 Dikaitkan Dengan Hukum Pembuktian
(Hukum Acara Pidana) Indonesia. Retrived From :
http://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/4379.

Delvina, A. (2019). Penggunaan Tanda Tangan Elektronik dalam Pengajuan Pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah. Jurnal Akuntansi Bisnis Dan Ekonomi, Vol. 05, (No. 01), p.1317.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Listyana, D.S., et.al. (2014). Kekuatan Pembuktian Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang
Sah Dalam Persepektif Hukum Acara Indonesia Dan Belanda. Jurnal Verstek, Vol. 131, (No. 12),
p.146-154.

Marzuki, P. M. (2014). Penelitian Hukum Edisi Revisi.

Projodikoro, W.R. (1976). Azas Azas Hukum Perdata. Jakarta: Sumur Bandung.

Rachmawati, S.A. (2011). Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Sistem
Hukum Pembuktian Di Indonesia. Universitas Indonesia.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: The Belknap Press.

Siregig, Ketut., et.al. (2021). Implementation Of Criminal Sanctions Against Officials Without The Right
1603
NOTARIUS, Volume 16 Nomor 3 (2023) E-ISSN:2686-2425 ISSN: 2086-1702

To Transmit Electronic Information, Vol. 3, (No. 02).

Soekanto, S. (2009). Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.

Syahrani, R. (2008). Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Citra Aditya Bakti.

Thong, T. (1994). Studi Notariat dan Serba Serbi Praktik Notaris.

Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

1604

Anda mungkin juga menyukai