LP Stemi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.I


DENGAN DIAGNOSA STEMI
DI RSUD KOTA BAUBAU

OLEH :

NAMA : NAMA :
NIM : NIM :

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IST BUTON
(STIKES) IST BUTON
2024
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan kematian atau
nekrosis jaringan miokard akibat penurunan secara tiba-tiba aliran
darah arteri koronaria ke jantung atau terjadinya peningkatan
kebutuhan oksigen secara tiba-tiba tanpa perfusi arteri koronaria
yang cukup. Infark miokard dapat disebabkan oleh penyempitan
kritis arteri koronaria akibat aterioklerosis atau oklusi arteri
komplet akibat embolus atau thrombus. Penurunan aliran darah
koroner dapat disebabkan oleh syok, hemoragi dan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada
jantung (Kurnia, 2021).
Infark Miokard Akut merupakan gangguan aliran darah ke
jantung yang menyebabkan sel otot jantung mengalami hipoksia.
Pembuluh darah koronaria mengalami penyumbatan sehingga
aliran darah yang menuju otot jantung terhenti, kecuali sejumlah
kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah
otot yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya
sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark (Nasanah, 2021).
Infark Miokard Akut merupakan kematian sel – sel otot
jantung karena iskemia yang berlangsung lama akibat adanya
oklusi di arteri koroner. Akibat adanya kematian sel – sel miokard
dikarenakan suplai oksigen ke miokard, maka kompensasi dari
miokard adalah dengan melakukan metabolisme anaerob agar
jantung tetap tersuplai oksigen ke seluruh tubuh. Hasil dari
metabolisme anaerob inilah yang menyebabkan peningkatan
asam laktat dimana dapat meningkatkan nyeri dada yang
dirasakan pasien infark miokard akut (Vike, 2019).
Berdasarkan pengertian di atas, maka peneliti
menyimpulkan bahwa IMA merupakan penyakit akibat penurunan
suplai oksigen dalam darah secara tiba-tiba karena penyempitan
arteri koroner yang disebabkan aterosklerosis.
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Jantung
1) Letak Jantung
Jantung terletak di mediastinum diantara costae
kedua dan keenam, yaitu kompartemen pada bagian
tengah rongga thoraks diantara dua rongga paru.
Mediastinum merupakan struktur dinamis, lunak yang
digerakkan oleh struktur-struktur terdapat di dalamnya
(jantung) dan mengelilinginya (diafragma dan gerakan lain
pada pernafasan) serta efek gravitasi dan posisi tubuh).
Ukuran jantung sekitar satu kepalan tangan dengan berat
pada rentang 7-15 ons (200-425 gram). Dalam setiap
harinya jantung mampu memompa sampai dengan
100.000 kali dan dapat memompa darah sampai dengan
7.571 liter (Oliver, 2019).

Gambar 2.1 Anatomi Jantung


Sumber : Setiadi (2019).

2) Ruang Jantung
Jantung manusia mempunyai empat ruang
berongga di bagian tengahnya yang berfungsi sebagai
tempat menampung darah yang masuk ke jantung dan
yang kemudian darah tersebut akan dikeluarkan dari
jantung. Ruang-ruang jantung tersebut adalah atrium
jantung terbagi berdasarkan letaknya, yaitu atrium kanan
dan atrium kiri. Atrium jantung berfungsi menampung
darah yang masuk ke jantung melalui pembuluh darah
vena pulmonalis untuk atrium kiri dan pembuluh darah
vena cava atrium kanan. Ventrikel jantung Terbagi
berdasarkan letaknya, yaitu ventrikel kanan dan ventrikel
kiri. Ventrikel jantung berfungsi menampung darah yang
berasal ari ruang atrium kemudian memompanya keluar
melalui pembuluh darah aorta untuk ventrikel kiri dan
pembuluh darah arteri pulmonalis untuk ventrikel kanan
(Gama, 2019).
3) Katup Jantung
Katup jantung atau yang disebut sebagai valve
mempunyai fungsi sebagai pintu pembatas antara ruang-
ruang yang mempunyai kemampuan membuka dan
menutup. Terdapat dua jenis katup jantung di dalam
rongga jantung manusia, yaitu katup atrioventrikularis
adalah katup jantung yang berada di antara ruang atrium
dengan ruang ventrikel. Fungsi katup A.V adalah
mencegah aliran balik darah dari ventrikel kembali ke
atrium selama fase Sistole. Katup ini terbagi atas katup
bikuspidalis/katup mitral yaitu katup jantung yang
mempunyai dua daun katup yang membatasi ruang atrium
kiri dengan ventrikel kiri. Katup trikuspidalis katup jantung
yang mempunyai tiga daun katup membatasi ruang atrium
kanan dengan ventrikel kiri (Gama, 2019).
4) Selaput Pembungkus Jantung
Selaput pembungkus jantung disebut perikardium.
Fungsi selaput ini adalah untuk melindungi jantung dari
gesekan dengan organ-organ sekitarnya seperti tulang
rusuk dan paruparu. Selaput pembungkus jantung
tersusun atas dua lapis, yaitu lamina parietalis dimana
lapisan perikardium sebelah luar yang disebut sebagai
parietal layer adalah selaput pericardium yang melekat
pada tulang rusuk, rongga dada dan organ paruparu.
Sedangkan lamina viseralis yaitu lapisan pericardium
sebelah dalam yang melekat pada jantung pada lapisan
epikardium. Di antara kedua lapisan perikardium ini
terdapat ruang pericardium (pericardial cavity) yang berisi
cairan yang disebut serous yang berfungsi sebagai
bantalan cair pelindung
jantung (Niniek, 2019).
5) Lapisan penyusun dinding jantung
Dinding jantung yang tebal ini tersusun atas tiga
lapisan penyusun dinding jantung lapisan epikardium
dimana lapisan epikardium adalah lapisan dinding terluar
jantung yang tersusun atas jaringan ikat dan lemak yang
berfungsi sebagai pelindung tambahan jantung di bawah
lapisan perikardium. Lapisan miokardium yaitu
miokardium adalah lapisan dinding jantung kedua di
bawah epikardium. Lapisan ini adalah lapisan paling tebal
yang terdiri atas jaringan otot-otot jantung. Lapisan
miokardium inilah yang memungkinkan terjadinya gerak
jantung berdenyut memompa darah ke seluruh tubuh.
Lapisan endokardium adalah lapisan dinding jantung
paling dalam yang bertemu dengan jantung darah, terdiri
atas jaringan epitel skuamosa (Rachmawati, 2020).
6) Pembuluh Darah Jantung
Jantung mendapatkan pasokan oksigen dan zat
nutrisi dari pembuluh darah yang disebut pembuluh darah
koroner. Pembuluh darah ini terbagi atas dua jenis, yaitu :
a) Arteri koronaria kanan / Right Coronary Artery (RCA)
Arteri koroner kanan keluar dari sinus aorta kanan dan
berjalan sepanjang dinding jantung di celah antara
atrium kanan dan kiri, kemudian menuju bagian apeks
(bawah) jantung.
b) Arteti koroner utama kiri Left Main Coronary Artery
(LMCA)
Arteri koronaria kiri keluar dari sinus aorta kiri dan
kemudian mencabang menjadi dua. Arteri Desenden
Anterior/ Left Anterior Descending (LAD). Arteri
Sirkumflex/ Left Circumflex Artery (LCX). Vena
koronaria / pembuluh darah balik vena. Pembuluh
darah vena bertugas membawa karbondioksida zat
ampas sisa metabolisme dari jantung untuk kemudian
dibawa ke paru-paru untuk dibuang (Gama, 2019).
b. Fisiologi Jantung
Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang
terpisah terkait fungsinya sebagai pompa darah. Masing-
masing terdiri dari satu atrium-ventrikel kiri dan kanan.
Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa jantung
tersebut, pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru
sedangkan bagian pompa jantung yang kiri berperan dalam
sirkulasi sistemik untuk seluruh tubuh. Kedua jenis sirkulasi
yang dilakukan oleh jantung ini adalah suatu proses yang
berkesinambungan. Ada 5 pembuluh darah mayor yang
mengalirkan darah dari dan ke jantung. Vena cava inferior dan
vena cava superior mengumpulkan darah dari sirkulasi vena
dan mengalirkan darah tersebut ke jantung sebelah kanan
(Suksmarini, 2020).

Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup


tricuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru
melalui katup pulmonal. Darah tersebut melepaskan
karbondioksida, mengalami oksigenasi di paru-paru. Darah ini
kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena
pulmonalis. Dari atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri
melalui katup mitral dan selanjutnya dipompakan ke aorta.
Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri,
dinamakan tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri
berkontraksi maksimal, ventrikel ini mulai mengalami relaksasi
dan darah dari atrium kiri akan mengalir ke ventrikel ini.
Tekanan dalam arteri akan segera turun saat ventrikel terisi
darah. Tekanan ini selanjutnya dinamakan tekanan darah
diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, begitu
pula dengan kedua ventrikel (Kesit, 2019).
3. Etiologi
Menurut (Sudoyo, 2019) etiologi dari infark miokard akut
dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor
antara lain:
1) Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh
darah sebagai jalan darah mencapai sel jantung.
Beberapa hal yang dapat menganggu kepatenan
pembuluh darah diantaranya aterosklerosis, spasme, dan
arteritis. Spasme pembuluh darah dapat juga terjadi pada
orang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung
sebelumnya sehingga biasanya dihubungkan dengan
beberapa hal, seperti mengonsumsi obat-obatan tertentu,
stress emosi atau nyeri, terpajan suhu dingin yang
ekstrem, dan merokok.
2) Faktor sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran
darah dari jantung ke seluruh tubuh hingga kembali lagi ke
jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari faktor
pemompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi
yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya
kondisi hipotensi. Stenosis maupun insufisiensi yang
terjadi pada katup jantung (aorta, mitralis, trikuspidalis)
menyebabkan penurunan curah jantung. Penurunan curah
jantung diikuti oleh penurunan sirkulasi yang
menyebabkan beberapa bagian tubuh tidak tersuplai
darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot
jantung.
3) Faktor darah
Hal yang menyebabkan terganggunya daya angkut
darah, antara lain anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
b. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Pada orang yang mengidap penyakit jantung
mekanisme kompensasi justru pada akhirnya makin
memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen makin
meningkat, sedangkan suplai oksigen tidak bertambah. Oleh
karena itu segala aktivitas yang menyebabkan peningkatan
oksigen akan memicu terjadinya infark, aktivitas tersebut
misalnya: aktivitas berlebihan, emosi dan makan terlalu
banyak.
c. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya IMA yaitu:
1) Sumbatan pada arteri coroner
Plak aterosklerosis dapat menyebabkan suatu
bekuan darah setempat (thrombus) dan akan menyumbat
arteri
2) Sirkulasi kolateral didalam darah
Bila arteri koronaria perlahan menyempit dalam
periode bertahun-tahun, pembuluh kolateral dapat
berkembang pada saat yang sama dengan perkembangan
aterosklerotik. Jika proses sklerotik berkembang diluar
batas penyediaan pembuluh kolateral untuk memberikan
aliran darah yang diperlukan maka hasil kerja otot jantung
menjadi sangat terbatas sehingga jantung tidak dapat
memompa aliran darah normal yang diperlukan.
Penurunan kemampuan pemompaan jantung
berhubungan dengan luas dan lokasi jaringan infrak jika
lebih dari separuh jaringan jantung akan mengalami
kerusakan, biasanya tidak dapat berfunsi dan
kemungkinan terjadi kematian.
3) Embolus
Terbentuk didalam jantung lalu pecah dan
tersangkut di arteri koroner. Spasme pada arteri koroner
menyebabkan aliran darah berhenti, spasme ini berasal
dari obat (seperti kokain) atau merokok tapi terkadang
tidak diketahui penyebabnya.

4. Patofisiologi
Infark miokard akut didefinisikan dalam patologi sebagai
kematian sel miokard karena iskemia yang berkepanjangan.
Setelah terjadinya iskemia sedangkan kematian sel histologis
tidak langsung terjadi, tetapi membutuhkan periode waktu yang
terbatas untuk berkembang menjadi plak - sedikitnya 20 menit.
Plak aterosklerosis dalam pembuluh darah koroner akan
terjadinya penyempitan lumen pembuluh darah, plak
aterosklerosis dilapisi oleh fibrosa tipis sehingga sangat rentan
ruptur. Ruptur aterosklerotik menyebabkan inflamasi monosit dan
makrofag, pembentukan trombus, dan agregasi trombosit.
Sehingga dapat menyebabkan penurunan pengiriman oksigen
melalui arteri koroner yang akan mengakibatkan penurunan
oksigenasi ke miokardium. Trombus yang menyumbat pembuluh
darah koroner baik parsial maupun total yang mengakibatkan
kematian sel miokard. Nekrosis mulai berkembang sekitar 15-30
menit setelah oklusi korener pada subendokardium daerah
nekrotik meluas kearah luar epikardium, miokardium yang
mengalami infark mulai mengalami koagulasi nekrosis yaitu suatu
proses yang ditandai dengan adanya pembengkakan sel,
kerusakan organel, serta denaturasi protein, serta gagal jantung.
Nekrosis pada miokard dapat menyebabkan perfusi perifer
menurun akibat perubahan hemodinamika progresif, sehingga
terjadi gangguan perfusi jaringan perifer yang dapat menyebabkan
kematian akibat syok kardiogenik (Santosa, 2020).
5. Manifestasi Klinis
Gambaran penyakit Infark Miokard Akut dapat bervariasi
dari pasien yang datang hanya untuk melakukan pemeriksaan
rutin, pasien yang merasa nyeri disubsternal yang hebat dan
secara cepat berkembang menjadi shock, pasien edema
pulmonal, hingga pasien yang tampak sehat namun tiba-tiba
meninggal. Serangan Infark Miokard biasanya akut dengan rasa
sakit seperti angina tetapi tidak biasa. Terdapat penekanan yang
luar biasa pada dada. Angina pada infark miokard akut terjadi
sewaktu pasien dalam keadaan istirahat dan pada jam-jam awal di
pagi hari yang dapat disertai dengan nausea dan vomitus. Pasien
sering memperlihatkan wajah pucat dengan keringat dan kulit
dingin dan disertai nadi yang berdetak cepat (Hariyono, 2020).
IMA biasanya disertai nyeri dada dan terasa menekan,
yang mungkin menyebar ke leher, rahang, epigastrium seperti
rasa mual dan kembung, serta muntah, bahu, atau lengan kiri.
Pada sekitar 50% pasien, infark miokard didahului oleh serangan-
serangan angina pektoris. Namun berbeda dengan nyeri pada
angina pektoris, nyeri pada miokard infark biasanya berlangsung
beberapa jam sampai hari dan tidak banyak berkurang dengan
nitrogliserin. Nadi biasanya cepat dan lemah, dan pasien sering
mengalami diaphoresis, mual muntah disertai keluar keringat
dingin dan sesak napas. Sesak napas timbul karena adanya
sumbatan di pembuluh darah yang mengakibatkan adanya
kerusakan sel sehingga kerja jantung tidak optimal dan tidak
mampu memberikan suplai oksigen yang ditandai dengan napas
terasa pendek, detak jantung meningkat, terdapat tanda gagal
jantung, syok kemudian terjadi penurunan saturasi oksigen <90%.
Pada miokard infark massif yang lebih dari 40% ventrikel kiri,
timbul syok kardiogenik (Veni, 2019).
6. Tes Diagnostik
Menurut (Rachmawati, 2020), saat ini telah dikembangkan
pula tes high sensitivity C Reactive Protein (hs-CRP) sebagai
salah satu parameter yang digunakan untuk mendiagnosis IMA.
a. Creatine Kinase (CK) adalah enzym yang mengkatalisis jalur
kreatin-kreatinin dalam sel otot dan otak. Pada infark miokard
akut CK dilepaskan dalam serum 48 jam setelah kejadian dan
normal kembali setelah 3 hari. CK-MB merupakan isoenzym
CK. CK maupun CK-MB meningkat pada angina pektoris berat
atau iskemik reversible. Kadar meningkat 4-8 jam setelah
infark dan mencapai puncak 12-24 jam kemudian. Kadarnya
menurun pada hari ke-3 (Gusti, 2020).
b. Lactat Dehydrogenase (LDH) merupakan enzim mengkatalisis
perubahan reversible dari laktat ke piruvat. Terdapat 5 jenis
isoenzym LDH. Pada otot jantung terutama ditemukan LDH1
dan LDH2. Kadarnya meningkat 8-12 jam setelah terjadi
infark, mencapai puncak 24-48 jam kemudian menurun pada
hari ke 7-12 (Annisaa, 2019).
c. Troponin T adalah kompleks protein kontraktil yang terdapat
pada filamen serabut otot termasuk otot jantung. Kadarnya
meningkat 2-8 jam setelah kejadian infark, mencapai puncak
pada 12-96 jam kemudian dan kadarnya mulai menurun
setelah hari ke-14.
d. Mioglobin terdapat pada otot skelet maupun otot jantung.
Pada infark miokard akut mioglobin akan cepat dilepas
dibanding CK- MB dan Troponin serta dapat dideteksi di
dalam darah dalam waktu 2 jam setelah infark dan
menghilang dalam waktu kurang 24 jam setelah infark.
e. C-Reaktif Protein (CRP) merupakan reaktan fase akut utama
yang di produksi hati, meningkat sampai 1000 kali selama
inflamasi akut, dengan waktu paruh sekitar 19 jam. Kadar
CRP stabil untuk jangka waktu yang lama dengan demikian
mengukur peningkatan aktivitas inflamasi jangka panjang dan
tidak dipengaruhi oleh faktor lain (independen). Saat ini
dikembangkan beberapa metode tes hs-CRP misalnya
imunoluminimetri dan imuniturbidimetri. Standarisasi tes hs-
CRP sangat penting karena interpretasinya menggunakan
batasan (cut off) yang berbeda untuk setiap metode yang
digunakan.
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Rumaisyah (2022), penatalaksanaan IMA di bagi
menjadi

dua, yaitu:

8. Pathway
Invasi & Multiplikasi

APPENDISITIS

Peradangan pada jaringan Sekresi mucus berlebih


Mual Muntah
pada lumen apendiks

Kerusakan control suhu Resiko Hipovolemia


terhadap inflamasi Appendiks teregang

Hipertermia Nyeri Akut


Operasi

Luka Insisi Defisit


Anastesi

Ansietas
Kerusakan Jaringan
Peristaltic usus

Ujung sayaraf terputus Pintu masuk Kuman

Mual Muntah
Pelepasan Prostagladin
Resiko infeksi
Resiko Hipovolemia
Spinal cord

Cortex serebri

Nyeri dipersepsikan

Nyeri Akut

Sumber: (Nurarif & Kusuma, 2016)

1. Penatalaksanaan Medis
2. Komplikasi

B. Konsep Masalah Keperawatan


1. Definisi
Masalah keperawatan merupakan label diagnosis
keperawatan yang menggambarkan inti dari respon klien terhadap
kondisi kesehatan atau proses kehidupannya (PPNI, 2017).
2. Kriteria Mayor & Minor
Kriteria mayor adalah tanda dan gejala yang ditemukan
sekitar 80%-100% untuk validasi diagnosa. Sedangkan kriteria
minor adalah tanda dan gejala yang tidak harus ditemukan,
namun dapat mendukung penegakan diagnosis (PPNI, 2017).
3. Faktor Yang Berhubungan
Kondisi atau situasi yang berkaitan dengan suatu masalah
yang dapat menunjang kelengkapan data untuk menegakan suatu
diagnosis atau masalah keperawatan (PPNI, 2017).
a. Masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus pre
operatif appendicitis yaitu :
1) Nyeri akut (D.0077).
Pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
Penyebab :
a) Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia,
neoplasma).
b) Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia
iritan).
c) Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebihan).
Gejala dan Kriteria :
a) Mayor :
- Subjektif : Mengeluh nyeri.
- Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif (mis.
Waspada posisi menghindari nyeri), gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur.
b) Minor :
- Subjektif :
- Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas
berubah, nafsu makan berubah, proses berfikir
terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri,
diaphoresis.
2) Hipertermia (D.130).
Suhu tubuh meningkat di atas rentang tubuh normal.
Penyebab
a) Dehidrasi.
b) Terpapar lingkungan panas.
c) Proses penyakit (mis. Infeksi, kanker.)
d) Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan.
e) Peningkatan laju metabolisme.
f) Respon trauma.
g) Aktivitas berlebihan.
h) Penggunaan incubator.
Gejala dan Kriteria :
a) Mayor :
- Subjektif :
- Objektif : Suhu tubuh diatas nilai normal.
b) Minor :
- Subjektif :
- Objektif : Kulit memerah, kejang, takikardi, takpnea,
kulit terasa hangat.
3) Ansietas ( D.0080).
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu
terhadap obyek yang tidak jelas dan spesifik akibat
antisipasi bahaya yang memugkinkan individu melakukan
tindakan untuk menghadapi ancaman.
Penyebab :
a) Krisis situsional.
b) Kebutuhan tidak terpenuhi.
c) Krisis maturasional.
d) Ancaman terhadap konsep diri.
e) Ancaman terhadap kematian.
f) Kekhawatiran mengalami kegagalan.
g) Disfungsi system keluarga.
h) Hubungan orang tua anak tidak memuaskan.
i) Factor keturunan (tempramen mudah teragitasi sejak
lahir ).
j) Penyalahgunaan zat.
k) Terpapar bahaya lingkungan (mis. Toksin, polutan,
dan lain lain).
l) Kurang terpapar informasi.
Gejala dan Kriteria :
a) Mayor :
- Subjektif : Merasa bingung, merasa khawatir
dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit
berkonsentrasi.
- Objektif : Tampak gelisah, tampak tegang, sulit
tidur.
b) Minor :
- Subjektif : Mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi,
merasa tidak berdaya.
- Objektif : Frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah meningkat, diaphoresis,
tremor, muka tampak pucat, suara bergetar, kontak
mata buruk, sering berkemih, berorintasi pada
masa lalu.
4) Resiko hypovolemia (D.0034).
Beresiko mengalami penurunan volume cairan
intravaskuler, interstisiel, dan atau intraseluler.
Factor resiko :
a) Kehilangan cairan secara aktif.
b) Gangguan absorsi cairan.
c) Usia lanjut.
d) Kelebihan berat badan.
e) Status hipermetabolik.
f) Kegagalan mekanisme regulasi.
g) Evaporasi.
h) Kekurangan intake dan output cairan.
i) Efek agen farmakologis
5) Resiko Infeksi (D.0142).
Beresiko mengalami peningkatan terserang
organisme patogenik.
Factor resiko :
a) Penyakit kronis (mis. Diabetes mellitus).
b) Efek prosedur infasif.
c) Malnutrisi.
d) Peningkatan paparan organisme pathogen
lingkungan.
e) Ketidak adekuatan pertahanan tubuh primer :
- Gangguan peristaltic.
- Perubahan sekresi HP.
- Kerusakan integritas kulit.
- Penurunan kerja siliaris.
- Ketuban pecah lama.
- Ketuban pecah sebelum waktunya.
- Merokok.
- Status cairan tubuh.
f) Ketidak adekuatan pertahanan pertahanan tubuh
sekunder :
- Penurunan hemoglobin.
- Imunosupresi.
Leukopenia.
- Supresi respon inflamasi.
- Vaksinasi tidak adekuat.

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Data demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,
alamat, nomor register.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan
bawah yang menembus kebelakang sampai pada
punggung dan mengalami demam tinggi
3) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya
pada colon.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis
penyakit yang sama.
c. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
1) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak
menyeringai, konjungtiva anemis.
2) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat,
edema, TD >110/70mmHg; hipertermi.
3) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit),
dada simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak
ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang O2, tidak ada
ronchi, whezing, stridor.
4) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
5) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan
keluhan sakit pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin
secara lancer.
6) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam
pergerakkan karena proses perjalanan penyakit.
7) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit
menurun, sianosis, pucat.
8) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus
ditandai dengan distensi abdomen.
d. Pola fungsi kesehatan menurut
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-
obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama
frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya
penyembuhan luka.
2) Pola nutrisi dan metabolism.
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan
nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman
sampai peristaltik usus kembali normal.
3) Pola Eliminasi.
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya
konstraksi kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak
biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola
eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami
gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh
anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
4) Pola aktifitas.
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak
karena rasa nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus
bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
5) Pola sensorik dan kognitif.
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta
pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu,
orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
6) Pola Tidur dan Istirahat.
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat
sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
7) Pola Persepsi dan konsep diri.
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya
kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien
mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
8) Pola hubungan.
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak
bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam
masyarakat. penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
9) Pemeriksaan diagnostic.
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis
akut.
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi
sekum, kelainan non spesifik seperti fekalit dan pola
gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui
adanya komplikasi pasca pembedahan.
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi.
d) Pemeriksaan Laboratorium.
- Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000
μ/ml.
- Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan
eritrosit.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis
mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial (PPNI, 2017).
Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada kl appendicitis,
antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi
(inflamasi appendicitis).(D.0077)
b. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
(D.0080)
c. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive
(D.0142).
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan
adalah perumusan tujuan, tindakan dan penilaian rangkaian
asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisa pengkajian
agar masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat diatasi
(Nurarif, A. H., &amp; Kusuma, 2016).
Diagnosa Luaran dan
Intervensi Keperwatan
Keperawatan Kriteria Hasil
Nyeri akut b .d. Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238).
agen Tindakan 3x24 Observasi:
pencedera fisik keperawatan 1. Identifikasi karakteristik nyeri
tingkat nyeri (mis. pencetus, pereda, kualitas,
(L.08066) lokasi, intensitas, frekuensi,
menurun dengan durasi)
Kriteria Hasil : 2. Identifikasi riwayat alergi obat
1. Keluhan 3. Identifikasi kesesuaian jenis
nyeri analgesik (mis. narkotika, non-
menurun. narkotika, atau NSAID) dengan
2. Meringis tingkat keparahan nyeri
menurun. 4. Monitor tanda-tanda vital
3. Sikap sebelum dan sesudah pemberian
protektif analgesik
menurun. 5. Monitor efektifitas analgesic
4. Gelisah Terapeutik:
menurun. 1. Diskusikan jenis analgesik yang
5. Frekuensi disukai untuk mencapai
nadi analgesia optimal
membaik 2. Pertimbangkan pengguanaan
infus kontinu, atau bolus oploid
untuk mempertahankan kadar
dalam serum
3. Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk mengoptimalkan
respons pasien
4. Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
Edukasi:
1. Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi
Ansietas b.d. Setelah dilakukan Reduksi ansietas (I.09314).
kurang tindakan Observasi
terpaparnya keperawatan 1. Identivikasi saat tingkat ansietas
informasi selama 1x8 jam berubah.
tingkat ansietas 2. Monitor tanda tanda ansietas
(L.01006) verbal non verbal.
menurun dengan 3. Temani klien untuk mengurangi
Kriteria Hasil : kecemasan jika perlu.
1. Verbalisasi 4. Dengarkan dengan penuh
kebingungan perhatian.
menurun. 5. Gunakan pendekatan yang tenang
2. Verbalisasi dan meyakinkan.
khawatir 6. Jelaskan prosedur, termasuk
akibat sensasi yang mungkin dialami.
menurun. 7. Anjurkan keluarga untuk tetap
3. Prilaku bersama klien, jika perlu.
gelisah 8. Anjurkan mengungkapkan
menurun. perasaan dan persepsi.
4. Prilaku 9. Latih teknik relaksasi.
tegang 10. Kolaborasi pemberian
menurun Kolaborasi
1. obat antiansietas jika perlu.
Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi (I.14539)
b.d. efek tindakan Observasi
prosedur keperawatan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
invasif tingkat infeksi local dan sistemik.
(L.14137) dengan 2. Batasi jumlah pengunjung
Kriteria Hasil : 3. Berikan perawatan kulit pada area
1. Kebersihan edema.
tangan 4. Cuci tangan seblum dan sesudah
meningkat. kontak dengan klien dan
2. Kebersihan lingkungan klien.
badan 5. Pertahankan teknik aseptic pada
meningkat. klien beresiko tinggi.
3. Demam, Edukasi
kemerahan, 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
nyeri, 2. Ajarkan cara mencuci tangan
bengkak dengan benar.
menurun. 3. Ajarkan etika batuk.
4. Kadar sel 4. Anjurkan meningkatkan asupan
darah putih nutrisi.
meningkat. 5. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi
jika perlu.
4. Pelaksanaan Tindakan keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik
yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter, P., &
Perry, 2017).
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses
keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan
melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada
tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan
aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar
implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap
biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan
klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan
mencatat respons klien terhadap setiap intervensi dan
mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan
kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat
mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap
proses keperawatan berikutnya (Wilkinson.M.J, 2017).
Komponen tahap implementasi :
a. Tindakan keperawatan mandiri.
b. Tindakan keperawatan edukatif.
c. Tindakan keperawatan kolaboratif.
d. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap
asuhan keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut (Setiadi, 2016) dalam buku konsep dan penulisan
asuhan keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah
perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan
klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga
kesehatan lainnya. Terdapa dua jenis evaluasi:
a. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi
formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang
dikenal dengan istilah SOAP :
1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien,
kecuali pada klien yang afasia.
2) (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan
oleh perawat.
3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien
yang dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data
objektif.
4) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang
pengembangan tindakan keperawatan, baik yang
sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan klien.
b. Evaluasi Sumatif (Hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan
setelah semua aktivitas proses keperawatan selesi dilakukan.
Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas
asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3
kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan (Setiadi, 2016), yaitu:
1) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien
menunjukan perubahan sesuai dengan standar yang telah
ditentukan.
2) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian
atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan jika
klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang
telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien
hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada
kemajuan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, D. S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Post


Operatif Apendiktomy et cause Appendisitis Acute.

Ariska, D. W., & Ali, M. S. (2019). Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Junk


Food Terhadap Kejadiaan Obesitas Remaja. Jurnal Kesehatan
Surya Mitra Husada, 1–7.
Bickley Lynn S & Szilagyi Peter G. (2018). Buku Saku Pemeriksaan Fisik
& Riwayat Kesehatan (p. 49). p. 49.

Burkitt, and R. (2017). Appendicitis. In: Essential Surgery Problems,


Diagnosis, & Management . (4th ed.). London: Elsevier Ltd.

Dewi, A. A. W. T. (2015). Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis


Pada klien Operasi Appendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RS
Baptis Batu Jawa Timur.

Eylin. (2019). Karakteristik Klien dan Diagnosis Histologi Pada Kasus


Appendisitis Berdasarkan Data Registasi di Departemen Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran UI RSUP Cipto Mangunkusumo.

Hidayatullah, R. M. R. (2015). Efektivitas Antibiotik yang Digunakan pada


Pasca Operasi Appendisitis Di RUMKITAL dr . Mintohardjo
Jakarta Pusat.

Kiik, S. M. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Waktu Pemulihan


Peristaltik Usus Pada Ruang ICU BPRSUD Labuang Baji
Makassar.
Mulya, R. E. (2015). Pemberian Mobilisasi Dini Terhadap Lamanya
Penyembuhan Luka Post Operasi Apendiktomi.

Nurarif, A. H., &amp; Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis


Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam
Berbagai Kasus. Jogjakarta: Mediaction.

Potter, P., & Perry, A. (2017). Fundamentals of Nursing (7th ed.).


Philadelphia: Elsevier Ltd.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Rasubala. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Skala


Nyeri pada Klien Post Operasi di RSUP. PROF. dr. R.D. Kandou
dan RS Tk. III R.W. Monginsidi Teling Manado.

Setiadi. (20176). Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan


Keperawatan Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha ilmu.

Sibuea, S. H. (2017). Perbedaan Antara Jumlah Leukosit darah Pada


Klien Appendisitis Akut dengan Appendisitis Perforasi di RSUP Dr.
Kariadi Semarang.
Sibuea, Siti Hardiyanti. (2018). Perbedaan Antara Jumlah Leukosit darah
Pada Klien Appendisitis Akut dengan Appendisitis Perforasi di
RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Sjamsuhidajat & de jong. (2019). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta.

Smeltzer & Bare. (2019). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brurner
& Suddarath (8th ed.). Jakarta: EGC.

Soewito, B. (2017). Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan


Pada Klien Pre Operasi Appendisitis.

Sofiah, Wiwik. (2017). Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Post


Op Apendiktomi Dengan Resiko Infeksi di RSUD Kota Jakarta
Utara. 8(2), 1–10.

stang dalam Novita. (2017). GAMBARAN KEBIASAAN KONSUMSI


MAKANAN CEPAT SAJI (FAST FOOD). (1).

Sulekale, A. (2016). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Kasus Appendisitis di Rumah Sakit Santa Anna Kendari.

Sulikhah, N. M. (2017). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada


Pasein Operasi Apendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Moewardi. 1–12.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2017). Keperawatan Medikal Bedah 2,


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Wilkinson.M.J. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi


Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai