Dhifa Al-Sunnah KLP 8-1

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

ALIRAN MU’TAZILAH DAN SIKAPNYA TERHADAP AL-SUNNAH

Makalah
Dosen Pengampu:
Radhie Munadi, S. Hd., M. Ag

Oleh Kelompok 8:
NUR ASISA (30300122073)
NUR FADHILAHTUL QUR’ANI (30300122099)
NUR HAJARAHMA (30300122096)
NURUL HASANAH ZULFIKAR (30300122088)
KAYLA AULIA MAHARDIKA (30300122095)
NUR ILHAM HIDAYAT (30300122102)
NUR MUFLIH AZZAM (30300122075)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Aliran Mu’tazilah Dan Sikapnya Terhadap Al-Sunnah” Terima kasih kami
ucapkan kepada Ustadz Radhie Munadi, S. Hd., M. Ag yang telah membantu kami
baik secara moral maupun materi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-
teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas ini tepat waktu.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat
untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Samata, 29 November 2023

Penulis
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Asal-Usul Mu’tazilah .......................................................................... 2

B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah ...................................................... 3

C. Doktrin Mu’tazilah .............................................................................. 4

D. Pemikiran Hadis dikalangan Mu’tazilah………………………… 5


BAB III PENUTUP ....................................................................................... 14

A. Kesimpulan .......................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam, yang


menggunakan pemikiran rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan. Secara
epistemologi pemikiran rasional Mu’tazilah terpengaruh oleh pemikiran filsafat.
Mu’tazilah menggunakan metoda berfikir filsafat untuk memnjelaskan dan
menetapkan persolan Ketuhanan. Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan telah
memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya, karena Tuhan tidak terbatas dalam kehendak-Nya,
dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban menempati janji,
berkewajiban memberi rizki. Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia,
kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena kebebasan itu telah diberikan
kepada manusia dalam menentukan kemauan dan kehendaknya. Menurut
mu’tazilah posisi manusia dalam tatanan alam semesta memiliki pandangan
tersendiri. Manusia harus berhubngan dengan alam, dan tidak dapat
menghindarkan diri dari ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan hukum
alamiah.
B. Rumusan Masalah
1. Asal Usul Mu’tazilah
2. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah dan Pemikirannya
3. Doktrin Mu’tazilah
4. Pemikiran Hadis dikalangan Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Mu’tazilah
Asal-usul Mu’tazilah Para ilmuan berbeda pendapat tentang penamaan
Mu’tazilah. Secara kata Mu’tazilah berawal dari kata “I’tizal” yang berarti
meninggalkan, menjauh, dan memisahkan diri. Sebagian orang berpendapat
bahwa Mu’tazilah adalah sebutan yang diberikan oleh lawan mereka, yaitu
kaum ahlu sunnah. Yang lain mengatakan bahwa nama Mu’taziah adalah nama
yg diberikan oleh mereka sendiri(kaum Mu’tazilah). Sebagian lagi mengatakan
bahwa munculnya Mu’tazilah adalah erat kaitannya dengan situasi politik pada
masa perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Syufyan. Ada
pula yang berpendapat bahwasannya nama Mu’tazilah yang diberikan oleh
mereka adalah berkaitan dengan keluarnya washil bin ‘atho dari forum Hasan al-
Bashri terkait dengan peseteruan diantara mereka seputar pelaku dosa besar.

Mu’tazilah merupakan salah satu aliran pemikiran Islam yang muncul pada
permulaan abad II, yaitu pada saat Washil Ibnu Atha Pendiri Mu’tazilah berbeda
pendapat dengan gurunya yaitu Hasan Basri, dan oleh karena itu ia keluar dari
pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri kemudian pendapat
pengikut banyak. Kemudian Hasan Basri berkata “Washil telah memisahkan diri
dari kami”. Dan yang paling pokok, Washil mengatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar, bukan mu’min dan bukan kafir melainkan fasik. (Hanafi,
1974:39) Mu’tazilah sebagai aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam,
timbul sesudah peristiwa washil ibn Atha yang lahir tahun 81 H dan Madinah dan
wafat tahun 131 H di Basrah berbeda pendapat dengan gurunya Hasan al Basri
yang memberikan nama Mu’tazilah kepada washil dan pengikut-pengikutnya.

Selain itu kaum Mu’tazilah sendiri menyebut dirinya seperti demikian,


seperti Al-Qadi Al-Jabbah mengatakan bahwa kata-kata I’tazila yang terdapat
dalam Al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan
dengan 4 demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Kemudian Ia
menjelaskan Hadits Nabi bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan
yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya adalah Mu’tazilah. (Nasution, 1974:
42-43)

B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah beserta pemikirannya


1. Wasil bin Atha Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya,
yaitu paham almanzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya
dari Ma‟bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-
sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah,
yaitu almanzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf Abu Huzail al-Allaf (w. 235 H), seorang pengikut
aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu‟tazilah pertama di kotaBashrah.
Lewat sekolah ini, pemikiran Mu‟tazilah dikaji dan dikembangkan. Sebagian
orang berpendapat bahwa Mu’tazilah adalah sebutan yang diberikan oleh lawan
mereka, yaitu kaum ahlu sunnah. Yang lain mengatakan bahwa nama Mu’taziah
adalah nama yg diberikan oleh mereka sendiri(kaum Mu’tazilah). Sebagian lagi
mengatakan bahwa munculnya Mu’tazilah adalah erat kaitannya dengan situasi
politik pada masa perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi
Syufyan. Ada pula yang berpendapat bahwasannya nama Mu’tazilah yang
diberikan oleh mereka adalah berkaitan dengan keluarnya washil bin ‘atho dari
forum Hasan al-Bashri terkait dengan peseteruan diantara mereka seputar
pelaku dosa besar.

3. Al-Jubba’i Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran


Asy‟ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat
Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia
menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban
manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban
yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah aqliah) dan
kewajibankewajiban yang diketahui melalui ajaranajaran yang dibawa para rasul
dan nabi (wajibah syar’iah).
4. An-Nazzam An-Nazzam: pendapatnya yang terpenting adalah mengenai
keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku
zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf
mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-
Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan
tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat pebuatan
zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan
Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
5. Al- jahiz Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan aljahiz Abu Usman bin Bahar
dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum
muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-
perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri
bahwa, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad Mu‟ammar bin Abbad: Mu’ammar bin Abbad
adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan
pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan
bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-„arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum
alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang
dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan
hasil ciptaan Tuhan
7. Bisyr al-Mu’tamir Bisyr al-Mu’tamir: Ajarannya yang penting
menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak
dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum
mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi
berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas
dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar Abu Musa al-Mudrar: al-Mudrar dianggap sebagai
pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah
mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang
mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat
Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati Hisyam bin Amr al-Fuwati: AlFuwati
berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum
ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang
memasuki surga dan neraka.
C. Doktrin Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah telah mengidentifikasi lima doktrin dasar atau satu paket
doktrin yang membeda-kan mazhab mereka dari yang lain. Yang dikenal dengan
istilah Al-Usul Al-Khamsah yang menjadi pegangan kaum Mu‟tazilah, hanya orang
yang menerima kelima dasar ini yang disebut kaum Mu‟tazilah. Dan kelima dasar
itu terdiri dari:
1. At-Tauhid (Pengesaan Tuhan) adalah merupakan inti paham Mu’tazilah.
Prinsip tauhid golongan Mu’tazilah menetapkan bahwa Allah mustahil dapat
dilihat pada hari kiamat, karena hal itu akan menjadikan Allah berjasad dan
berarah. Mereka juga menetapkan bahwa sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang
lain dari zat-Nya sendiri. Jika tidak demikian, maka menurut pendapat mereka
akan terjadi ta’addud alqudama’(yang qadim menjadi berbilang). Dengan dasar
tauhid itu juga mereka menetapkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan)
Allah. Penetapan ini dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya yang qadim dan
menafikan sifat al-kalam (berkata-kata) dari Allah yang diyakini banyak penganut
paham Mu’tazilah.
2. Al-‘Adl (Keadilan). Al-Mas’udi dalam kitabnya, Muruj al-Dzahab,
menerangkan bahwa prinsip keadilan sesuai dengan pandangan Mu’tazilah. Allah
tidak menyukai kerusakan, dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi
hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang dengan
qudrab (daya) yang diberikan dan diletakan Allah kepada mereka. Dia tidak
memerintahkan sesuatu kecuali yang dikehendaki-Nya dan tidak pula melarang
kecuali sesuatu yang tidak disukai-Nya. Dia mengayomi segala kebaikan yang
diperintahkan dan berlepas diri dari segala kejahatan yang dilarang-Nya.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman). Mu’tazilah berkeyakinan
bahwa janji berupa balasan kebaikan, dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil
diturunkan. Janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan
atas kejahatan juga akan terjadi, dan janji akan menerima taubat yang sungguh-
sungguh juga terjadi. Dengang begitu barang siapa yang berbuat baik , akan
dibalas dengan kebaikan, dan barang siapa yang berbuat kejahatan akan dibalas
dengan siksaan yang sangat pedih. Perbuatan dosa tidak diampuni ampa
bertaubat sebagaimana pahala tidak diharamkan terhadap orang yang berbuat
baik.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Tengah-tengah). Orang yang berbuat
maksiat (pendurhakaan terhadap Tuhan) ditempatkan diantara orang yang
beriman dan orang yang kafir. Cara menempatkan prinsip ini sebagaimana yang
diuraikan Washil ibn ‘Atha’: Iman adalah sesuatu gambaran tentang macam-
macam kebaikan. Jika kebaikan itu terhimpun dalam diri seseorang, maka ia
disebut mukmin, dan itu adalah nama yang menunjukkan pujian. Orang yang fasik
tidak sempurna kebaikannya, sehingga ia tidak berhak mendapatkan nama pujian
dan tidak pula dinamakan mukmin, tetapi ia juga tidak kafir, karena
iamengucapkan syahadatain pada dirinya terdapat berbagai kebaikan yang tidak
bisa dipungkiri.
5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (menyuruh berbuat baik
dan melarang kemungkaran). Prinsip ini adalah dasar yang kelima dari paham
Mu’tazilah. Mereka menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya
untuk menyiarkan dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesat, dan mencegah
orang untuk mencampuradukan kebenaran dan kebatilan, sehingga tidak dapat
menghancurkan Islam. Mereka gigih menghadapi orang-orang zindiq yang
bertujuan menghancurkan sendi-sendi Islam. Demikianlah lima dasar atau
prinsip-prinsip yang disepakati, dipegang dan dijalankan para tokoh Mu’tazilah.
Prinsip ini menjadi syarat bagi seseorang untuk bisa dinamakan Mu’tazilah.
D. Pemikiran hadits di kalangan Mu’tazilah

Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah menjuluki


dirinya sendiri dengan sebutan “Ahl al Adl wa al-Tauhid”(penegak keadilan dan
Tauhid). Maksud dari Tauhid disini adalah mereka yang meniadakan sifat-sifat
Tuhan. Karena dalam akidah mereka, adanya sifat-sifat bagi Tuhan akan
menyebabkan penyerupaaan. Adapun al-Adl mereka bermaksud untuk
mensucikan Allah dari sifat Dzalim (menganiaya). Kaum Mu’tazilah dalam
menyikapi Sunnah, mereka berpedoman pada kaidah pokok mereka yaitu al
Ushul al khamsah, 5 kaidah pokok. Mereka menjadikannya dasar serta asas
dalam berdebat dan berinteraksi dengan al-Qur’an dan Hadits. Dalam memahami
al-Qur’an apabila bertentangan dengan kaidah al Ushul al-Khamsah, maka mereka
akan menakwilkannya dengan memberikan interpretasi lain. Dan apabila yang
menyalahi hadits Nabi, maka mereka akan mengingkarinya. Pandangan mereka
terhadap hadits Nabi adalah seperti halnya orang yang mengingkari akan
keotentikan suatu Hadits.

Karena pada dasarnya mereka menggunakan akal dalam menghukumi


Hadits, bukannya Hadits yang menghukumi akal.Dalam pandangan Mu’tazilah,
mereka menmpatkan akal pada level posisi paling atas dalam memahami dalil-
dalil syar’i. Berbeda jauh dengan ulama-ulama lain yang dimana mereka
menenempatkan akal pada posisi terakhir setelah al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’
para Ulama’. Alasan yang dipakai Mu’tazilah adalah dengan akal maka seseorang
akan mengetahui fungsi dan kedudukan al-Quran dan Hadits. Memang tidak ada
yang kontradiktif antar ulama terkait dengan peranan akal dalam memahami
al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi peranan akal tersebut harus proporsional dan
tidak menyalahi aturan-aturan syari’at.

Beberapa pandangan Mu’tazilah terkait dengan hadits Nabi diantaranya:

1.Tentang Sahabat.

Mereka memandang sahabat dengan melakukan tuduhan yang keji dan


memalukan. Niat hati yang jelek lebih mendominasi pikiran mereka, daripada
memahami makna sahabat yang sebenarnya. Diantara tuduhan mereka yang
patut diwaspadai terhadap para sahabat adalah, ketika para sahabat
menerapkan ijtihad, maka mereka menganggap bahwa itu merupakan suatu
aib yang tidak bisa dima’afkan dan pelakunya harus mendapatkan balasan
dan menanggung akibatnya, dan mereka harus dihukum. Bahkan mereka
mengkritik sahabat yang jelas-jelas sudah dijamin sama Rosulullah masuk
surga. Baghdadi berkata bahwasannya Mu’tazilah tidak mempunya
sumbangsih tujuan yang mulia terhadap agama, akan tetapi ingin
memenangkan hawa nafsunya untuk kepentingan dirinya sendiri. Nidzom
dalam kenyataanya memiliki pandangan yang jelek terhadap sahabat semua.

Pandangan Mu’tazilah tentang kejadian perang shiffin juga demikian,


mereka tidak menerima persaksian sahabat yang terlibat perang shiffin,
mereka menuduh sahabat yang terlibat sebagai orang yang fasiq.10Mereka
berkata, “jikalau sayyidah ‘Aisyah, sayyidina ‘Ali dan sayyidina Tolhah bersaksi,
maka aku tidak menerima persaksian mereka”. Mereka berkata, “jikalau
sayyidah ‘Aisyah, sayyidina ‘Ali dan sayyidina Tolhah bersaksi, maka aku tidak
menerima persaksian mereka”. Persaksian dua orang laki-laki dari sahabat
sayyidina ‘Ali dan persaksian dua orang laki-laki dari sahabat sayyidina
Tholhah dan sayyidina Zubair bisa diterima kalau masing-masing golongan
sahabat bertindak adil.

2. Penolakan Hadits Mutawatir.


Menurut ijma’ ulama hadits Rasulullah merupakan sumber hukum kedua
setelah al-Quran. Sunnah berdasarkan jumlah rawinya terdiri dari mutawatir
dan ahad. Ulama mustholah hadis memberikan pengertian hadits mutawatir
sebagai sesuatu yang diriwayatkan orang banyak yang tidak memungkinkan
akal untuk berbohong, dan bisa dijadikan sumber ilmu bagi pendengarnya. Ia
merupakan hasil tanggapan panca indera dan merupakan kepastian bagi
orang yang mendengarnya. Bagi Muktazilah tidak demikian. Setidaknya bagi
al-Nadzam dan Abu Hudhay. Bagi keduanya, boleh jadi sekumpulan orang
banyak yang jumlahnya tidak terhitung melakukan kedustaan.
Berdasarkan pemikiran Muktazilah tentang kelayakan dan kemampuan akal
untuk menghapus hadis. Padahal bagi Sunni orang yang mengingkari hadis
mutawatir tergolong orang fasik.
Mu’tazilah berbeda pendapat dengan kesepakatan ulama hadits, menurut
Nidzom mendustakan hadits Mutawatir diperbolehkan karena
kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam hal Hadits. Dan mereka
beranggapan, bahwa menggingkari hadits adalah sesuatu yang hal yang
lumrah dan tidak memiliki konsekuensi, meskipun itu merupakan Ijma’, dan
mungkin juga menurut mereka umat bersepakat dalam kesesatan.
Abu Hudzayl berpendapat, yang bisa dijadikan hujjah adalah yang
diriwayatkan oleh 20 orang perowi dan salah satunya termasuk ahli surga,
dan terdiri dari auliyaillah yang tidak pernah berbohong, tidak pernah
mempunyai dosa besar. Mu’tazilah tidak tertarik dengan hadits.
3. Menolak Hadits Ahad.
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan seorang, atau tiga orang atau
lebih yang tidak sampai pada derajat tawatur. Ulama mensyaratkan
diterimanya hadits ahad dengan keadilan dan kedhobitan rowi. Jumhur
ulama berpendapat apabila terpenuhi syarat diterimanya hadits ahad, maka
hadits ahad itu bisa dijadikan hujjah untuk kemudian diamalkan. Akan
tetapi Mu’tazilah telah mengingkari hadits Ahad, mereka menolak kalau
dalam hadits periwayatnya hanya satu rowi.
Meskipun demikan, kadang mereka juga menerima hadits Ahad, akan tetapi
dalam meriwayatkan, mereka tidak menggunakan redaksi yang pasti, akan
tetapi mereka menggunakan redaksi yang lemah. Menurut Jubai’ hadis Ahad
tidak bisa diterima kecuali diriwayatkan oleh empat rowi.
Menurut jumhur ulama hadits Ahad boleh dijadikan sandaran untuk
dipraktekan, dalilnya seperti bolehnya hadis mutawatir yang bisa dijadikan
sandaran. Hadits Ahad yang mengandung hukum syari’at secara keilmuan
tidak bisa diterima, akan tetapi yang tidak mengandung syariat bisa diterima
jika terpenuhi syaratnya.
4.Meragukan dan menolak hadits.
Dalam memahami Hadits Nabi, sebagaimana yang telah dibahas pada sikap
mereka terhadap sunnah. Dimana mereka sangat mengunggulkan “Ushul al
Khamsah” sebagai dasar dalam memahami al Qur’an dan Hadits Nabi, dimana
mereka menjadikan akalnya sebagai cara untuk menentang Allah dan
Rasulnya. Maka yang bertentangan dengan 5 prinsip Mu’tazilah maka bagi ayat
Qur’an di takwilkan, dan hadits yang bertentangan 5 prinsip Mu’tazilah
ditolaknya dan diingkarinya.
pandangan orang yang ragu akan kesahihan hadis dan terkadang
berpandangan ilmuan itu sendiri yang mengunggulkan akal dalam hadits
bukan sebaliknya. Menurut Mu’tazilah, jika khabar itu dari A’masy maka
mengingkarinya, jika khabar itu dari Rasulullah SAW maka ditolaknya, jika
khabar itu dari Allah maka mereka akan berkata, ini tidak sesuai dengan
pedoman kita, mereka akan menghukuminya pakai akal, dan
menjadikannya bersebangan dengan Rasulullah dan Allah, mereka
menuhankan akal. Puncak dari penolakan mereka terhadap hadits Nabi
adalah mereka tidak menerima hadits shohih. Seperti mereka mengingkari
adanya hadits tentang Syafa’at (pertolongan Nabi kepada para umatnya
kelak di hari Qiyamat).
Tentang hadits terbelahnya bulan, Mu’tazilah menuduhnya sebagai
kebohongan yang tidak bisa di pungkiri lagi, sebab menurutnya Allah tidak
membelah bulan sendirian, sebab terbelahnya bulan merupakan
kebesaranNYa. Kalau bulan itu memang terbelah, bagaimana kejadian itu
tidak diketahui oleh masyarakat umunya, berapa sejarahwan pada tahun
itu, kenapa orang tidak mencatatnya sebagai peristiwa yang bersejarah,
kenapa tak seorang penyair pun mendendangkannya. Padahal hadis
terbelahnya bulan termaktub dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan
Sunan al-Tirmizi. Mereka memandang kejadian itu melalui rasio,bukan mata
hati yang suci yang mempercayai akan kebesaran Allah SWT dan kebenaran
hadits Nabi.
5. Memalsukan Hadits.

Sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan kitab Shahih Muslim,


bahwasannya Amr bin Ubaid pernah memalsukan hadits. Yaitu Hadits yang
disandarkan kepada Hasan al Basri tentang orang yangmabuk sebab
minum anggur tidak dicambuk. Dan Abu Ayub pernah ditanya tentang Hadits
ini, kemudian beliau menjawab bahwasannya dia (Mu’tazilah telah
bohong), saya mendengar bahwasannya Hasan al Basri berkata bahwa orang
yang mabuk karena minun anggur maka ia akan dicambuk.
Dari sini maka bisa kita mengetahui sikap mereka terkait dengat hadits.
Dimana mereka telah banyak mengkritik para sahabat, mengingkari
hadits mutawatir,menolak hadits ahad, serta mengingkari dan meragukan
banyak hadits, dan yang terakhir mereka akan memalsukan hadits
untuk memperkuat pendapatnya.Mu’tazilah menolak hadits dan
mengingkarinya, mereka mengingkari keontetikan sahihnya hadist, sebab
mereka menggunakan akalnya sebagai kacamata untuk membaca suatu
hadits. Pertarungan baik wacana maupun aksi antara Sunni dan Mu’tazilah
sejak dulu hingga kini tetap menjadi obyek studi yang menarik. Menarik
karena keduanya memiliki cara pandang yang sangat bertolak belakang
dalam menyikapi teks suci Islam, terutama hadis sehingga menghasilkan
perbedaan interpretasi. Bila kelompok pertama menerapkan standar ekstra
ketat dalam menerima sebuah hadis yang mengharuskan akal tunduk
padanya, maka kelompok kedua cenderung mengutamakan superioritas
akal atas sebuah hadis yang mengharuskan hadis bersimpuh di
hadapannya. Berkenaan dengan itu, Ibrahim al-Nadzam berkata, “Tajamnya
analisa akal dapat menghapus hadis-hadis Nabi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaum Mu’tazilah yang selalu menggunakanakalnyadalam segala


halmenjadikannya al-Quran maupun hadist tunduk padanya. Dalam
bidang hadits, mereka tidak mempercayai sahabat, mereka mengigkari
hadits mutawatir, mereka mengingkari hadits ahad, bahkan terkadang
memalsukan hadits demi memperkuat pendapatnya.Mu’tazilah
menetapkan syarat supaya Hadits Ahad dapat diterima, diantaranya
Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
adil lainnya, teks hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
hadits tersebut telah diamalkan oleh sebagian sahabat.Gambaran
penyimpangan Mu’tazilah terhadap hadits diantaranya: mengenal Allah
SWT dengan bukti yang nyata, mengingkari adanya melihat Allah SWT
pada hari kiamat, mengingkari adanya syafa’at Rasulullah SAW,
mengingkari adanya mu’jizat Rasulullah SAW, pendapatnya mengenai
hukuman bagi peminum khamr dan anggur,danmengingkari adanya adzab
kubur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muim, Taib Thahir, Ilmu Kalam, 1996, Raja Grafindo, Jakarta
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid,2000, Jakarta
Hanafi, Ahmad, Theologi Islam, 1977, Bulan Bintang, Jakarta
Hanafi, Ahmad., 1974. Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang
Nasution, Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai Asfeknya,1974, Bulan Bintang,
Jakarta,
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986,
UIIP, Jakarta
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, 1999, Jakarta
Peursen, C.A. Van., 1985, Orientasi di dalam Filsafat, Jakarta, Terj. Dik Hartoko,
Gramedia.
Qadi, Ahmad ‘Arafat,al., 1993, Filsafat al-Tarbiyah’ind al-Mu’tazilah wa al-
Ash’ariyah, Desertasi Doktor. Cairo University.
Titus, harold H.dkk, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat. Jkarta. Alih bahasa Rasjidi
Wahid, Abdurrahman., 1986, Teologi pembangunan, Membangun Teologi: dalam
Pelita Hati. Jakarta. Pustaka Kartini.
Zahrah, Imam Muhammad Abu., 1996, aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
Jakarta
Subhi, Ahmad Mahmud. fi ‘Ilmi Kalam Dirosah Falsafiyyah fi Ushuluddin, Bairut :
Dar nahdhoh lil ‘Arobiyyah, 1985.
Jarullah, Zuhdi al Mu’tazilah, Bairut : Muassasah al ‘Arobiyyah liddirosat wa
nasyr, 1990.Shodiq,
Liwa, hasan. Juzuur al Fitnah fi al Firoq al Islamiyah mundzu ‘Ahdi al Rosul
hatta Ightiyal Sadat, Kairo : Maktabah Madbouli, 2004.
Tim, mahasiswa jurusan TH-Khusus angkatan 07 UIN sunan kalijaga, Yang
Menggugat dan Yang Membela, Yogyakarta, Interpena, 2011.Husain, Abu
Lubabah.
REVISI MAKALAH
Dalam makalah ini yang membahas tentang Aliran Mu’tazilah
dan sikapnya terhadap Sunnah, komentar pemakalah terhadap
makalah ini, sebagaimana yang diketahui Aliran Mu’tazilah golongan
yang mengasingkan diri atau dapat dikatakan golongan yang
diasingkan. Golongan Mu’tazilah yaitu pendirinya yang Bernama
Washil bin Atho, Dimana ia diasingkan atau dikeluarkan dari pengikut
gurunya yaitu Imam hasan Basri yaitu disebabkan perselisihan
pendapat antara guru dan murid tersebut yang menjadi perselisihan
antara keduanya tentang orang islam yang mengerjakan dosa besar
termasuk kafir atau mu’min. Hasan Al-Basri berpendapat mu’min
yang melakukan dosa besar masih berstatus mu’min, sementara
Washil bin atho berpendapat bahwa orang yang semacam itu tidak
mu’min dan tidak kafir, letaknya berada di antara Tengah-tengah
kedudukan. Karna pendapatnyta itu, ia diasingkan hingga muncul
aliran mu’tazilah yang didirikan oleh Washil bin atho dan pengikutnya.
Golongan Mu’tazilah memiliki pendapat yaitu bahwa perilaku
manusia itu terlepas dari takdir Allah, artinya Allah memberikan
kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan dan bertindak
pendapat ini bermaksud untuk menjaga jangan sampainada orang
yang menyalahkan orang karena takdirkan dia jahat dan sengsara.
Kemudia golongan Mu’tazilah juga berpendapat bahwa Allah sama
sekali tidak mempunyai sifat seperti yang diajarkan oleh para ulama.
Allah tidak disifati oleh keadaan manusia, yang kodim dan kekal
hanyalah zat Allah. Nah oleh karena itu Al-Quran juga tidak kodim
melainkan Huduz dan keberadaanya sejak difirmankan Allah. Dengan
demikian Al-Quran itu makhluk.
Adapun pendapat mu’tazilah terhadap al-sunnah atau hadis,
golongan mu’tazilah memiliki pandangan yang berbeda. Ulama
mu’tazilah yang menerima hadis, namun dengan syarat harus sesuai
dengan akal dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka juga
beranggapan bahwa hadis hanya sebagai konfirmasi belaka dan untuk
Keputusan terakhir harus kembali pada akal. Mu’tazilah dalam
menyikapi hadis selalu menggunakan akalnya dalam segala hal dan
menjadikan Al-Qur’an maupun hadis sebagai dasar kerangka berpikir.
Namun, pandangan mu’tazilah ini terhadap hadis itu tidak diterima
oleh golongan ahlu sunnah wal jamaah dikarenakan golongan ini
menolak ajaran ini yang semata-mata berdasarkan akal dan
mempengaruhi oleh sifat, tetapi juga tidak semata-mata membuang
akal dan memahami ayat Al-Qur’an yang mengenai i’tiqad. Pada
kesimpulannya golongan mu’tazilah menyimpankan akal lebih tinggi
dari pada dalil dalam memahami ayat Al-Qur’an yang mengenai
i’tiqad.
Jadi dapat dipahammi bahwa aliran mu’tazilah termasuk
golongan yang menolak sebagian dari sunnah dan hadis karena
mereka menganggap bahwa Al-Qur’an sudah cukup sebagai pedoman
utama dan menolak sebagian riwayat hadis Nabi. Mereka juga diaggap
sebagai golongan yang menolak hadis-hadis yang tidak mutawatir,
serta memasukkan kehujjahan dan otoritas hadis. Dan beberapa
sumber yang menyebutkan bahwa mu’tazilah menolak hadis ahad dan
memandangnya sebagai sumber hukum yang lemah.

Anda mungkin juga menyukai