Makalah Apresiasi Budaya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KEARIFAN LOKAL DARI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Budaya

Dosen Pengampu Dr. Dra. Wening Sahayu, M.Pd.

Disusun oleh :

Frida Rahma A. (20203241013)

Suhaila Aimana (20203241017)

Karina Dini A. (20203241018)

Nadhira Widyanto (20203241019)

M. Rayhan Akmal (20203244004)

KELAS B

PENDIDIKAN BAHASA JERMAN

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah yang berjudul “Kearifan Lokal dari Berbagai
Daerah di Indonesia” untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Apresiasi Budaya tepat waktu.

Penulisan makalah ini didasarkan pada keragaman kearifan lokal yang ada di tiap daerah
dari setiap penulis. Kami berharap makalah ini dapat membantu melengkapi nilai tugas dan
sebagai penambah pengetahuan kearifan lokal yang ada di Indonesia.

Penulis menyadari makalah ini masih membutuhkan penyempurnaan di beberapa bagian.


Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf. Akhir kata, semoga makalah
“Kearifan Lokal dari Berbagai Daerah di Indonesia” ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan
sebaik-baiknya.

27 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB 1 : PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH...................................................................1
1.3 TUJUAN............................................................................................2
BAB 2 : PEMBAHASAN......................................................................................3
2.1 DEFINISI KEARIFAN LOKAL.......................................................3
2.2 MACAM-MACAM KEARIFAN LOKAL........................................3
BAB 3 : PENUTUP...............................................................................................13
3.1 KESIMPULAN..................................................................................13
3.2 SARAN..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak zaman purba, manusia telah memiliki kebudayaan. Interaksinya dengan
alam sekitar dan sesamanya, mampu membentuk sebuah kehidupan yang unik dan khas.
Keberagaman budaya di satu sisi memang membuka pintu bagi terjadinya disintegrasi
sosial, namun di sisi lain merupakan peluang bagi pembelajaran demokrasi dan hidup
dalam kebersamaan. Bahwa kita sejak lahir memang telah berbeda namun tidak ada
gunanya memperbesar perbedaan itu.
Pada dasarnya setiap daerah mempunyai kebudayaan masing-masing di mana
setiap kebudayaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hari Poerwanto
mengatakan bahwa culture (bahasa Inggris) dan colere (bahasa Latin) jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia adalah kebudayaan. Namun, secara lengkap kebudayaan
memiliki definisi yang lebih dalam. E.B. Tylor (1881) melalui Hari Poerwanto
mengatakan bahwa melihat suatu kebudayaan adalah melihat perubahan budaya
berdasarkan atas teori evolusi. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan
berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui
proses belajar dari waktu ke waktu. Budaya lokal dapat berupa hasil seni, tradisi, pola
pikir, atau hukum adat. Indonesia terdiri atas 33 provinsi, karena itu memiliki banyak
kekayaan budaya. Kekayaan budaya tersebut dapat menjadi aset negara yang bermanfaat
untuk memperkenalkan Indonesia ke dunia luar. Dengan ini kami mengumpulkan
berbagai data kearifan lokal yang terdapat di Indonesia untuk dapat mengetahui berbagai
macam kearifan lokal yang terdapat di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa saja kearifan lokal yang terdapat di Indonesia?
1.2.2. Apa tujuan dari dari kearifan lokal yang terdapat di Indonesia?

1
1.2.3. Bagaimana wujud dari beberapa kearifan lokal yang ada di Indonesia?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk dapat mengetahui berbagai macam kearifan lokal yang terdapat di
Indonesia.
1.3.2. Untuk mengetahui tujuan dan wujud dari kearifan lokal yang ada di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Definisi Kearifan Lokal


Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang
berasal dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri (Wibowo, 2015:17).
Identitas dan kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup
masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah salah
satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan
asing yang tidak baik.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing
sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan
setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious (Fajarini,
2014:123). Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga
kebudayaannya.

1.2. Macam-Macam Kearifan Lokal


1.2.1. Mubeng Benteng
Mubeng Beteng merupakan tradisi ritual berjalan kaki mengitari Beteng
Keraton Yogya sambil membisu atau tanpa bicara sama sekali yang diikuti oleh
abdi dalem Keraton serta warga sekitar yang dilaksanakan setahun sekali pada
tanggal 1 Suro sesuai penggalan kalendar Jawa. Budaya mengitari beteng ini
dipelopori oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam pertama. Sultan Agung juga
yang mencetuskan adannya penanggalan Jawa.
Dulunya ritual ini dilakukan oleh prajurit keraton dalam rangka
mengamankan lingkungan keraton karena saat itu belum ada benteng yang
mengitarinya. Para prajurit berjaga sembari memohon doa kedamaian dan

3
keselematan untuk pemimpin. Sebagai tradisi, Mubeng Beteng tidak mengalami
perubahan sedikitpun sejak pertama kali dilakukan. Semuanya masih sama, di
mana ritual tersebut memutar mulai dari sisi kiri atau barat Kraton yang sudah
sesuai dengann arah falsafah Jawa. Ritual ini diiringi dengan temang
dhandanggula.
Menjelang pemberangkatan rombongan Mubeng Beteng, akan dilakukan
penyerahan dwaja (bendera) yang terdiri dari bendera Merah Putih, bendera Gula
Klapa (bendera Kasultanan), dan klebet Budi Wadu Praja (DI Yogyakarta).
Disertakan juga lima bendera yang merepresentasikan kabupaten dan kotamadya,
yakni klebet Bangun Tolak (Yogyakarta), Mega Ngampak (Sleman), Podang
Ngisep Sari (Gunung Kidul), Pandan Binetot (Bantul), dan Pareanom (Kulon
Progo). Tepat pukul 24.00 WIB rombongan akan diberangkatkan dengan dilepas
oleh perwakilan dari Putri dan Mantu Dalem Sultan dan ditandai dengan bunyi
lonceng Kamandhungan Lor sebanyak 12 kali.
Tujuan dilakukannya tradisi ini untuk ngiwake atau membuang hal-hal
buruk. Selama berjalan mengitari beteng, para warga harus dalam posisi Tapa
Bisu, tidak boleh berbicara ataupun melakukan hal-hal yang berbau negatif. Fokus
dari tradisi adalah membuat permohonan yang baik-baik kepada Sang Mahakuasa.
Karena tradisi ini masih dianggap begitu sakral dan menarik, kini ribuan warga
rela ikut berjalan kaki mengitari beteng.

1.2.2. Grebeg Suro Mojopahit


Sebagai salah satu daerah pusat Kerajaan Majapahut pada masanya,
Mojokerto juga melaksakan tradisi tahunan yang dilaksanakan setiap tanggal 1
Suro kalender Saka yaitu Grebek Suro Majapahit. Hal tersebut dimaksudkan
sebagai permohonan keselamatan dan kesejahteraan (ruwat agug) bagi bumi
nusantara dan menghormati para leluhur.
Acara dari grebeg suro yang berada di mojokerto ini biasanya diawali
dengan pembacaan Macapat oleh pegiat-pegiat seni yang datang dari berbagai
daerah di mojokerto, Dalam pembacaan macapat ini terdapat kalimat yang disebut
gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu,

4
dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Rangkaian
pembacaan macapat ini biasanya diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit
semalam suntuk.
Lalu esok harinya sebelum menuju acara puncak biasanya para sesepuh
akan melaksanakan ritual ke tempat-tempat peninggalan dari kerajaan majapahit,
mulai dari taman makam pahlawan, Siti Inggil, petilasan Prabu Jayanegara (Situs
Jago), makam Tri Buana Tungga Dewi, petilasan Hayam Wuruk, makam Putri
Cempo (Damarwulan), Sumber Towo (Kubir Siji), makam Putri Kencono Wungu,
hingga Sumur Pendapa Agung. Acara tersebut biasanya ditujukan untuk
melakukan pisowanan atau sowan (menemui) para leluhur kerajaan majapahit
yang berada di daerah Trowulan Mojokerto dan meminta doa agar bumi
Majapahit ini damai.
Lanjut ke acara selanjutnya adalah pagelaran seni yang menampilkan
kesenian Bantengan dan Reog Ponorogo, acara ini akan dilaksanakan di Pendopo
Agung trowulan dan banyak sekali warga sekitar bahkan warga luar daerah
datang untuk mengikuti rangkaian-rangkaian kegiatan grebeg suro yang di adakan
di Mojokerto, acara ini juga secara tidak langsung menjadi pertunjukan kesenian
yang menhibur para warga yang sudah datang dari sejak dibuka acara tersebut.
Tidak hanya bantengan dan Reog Ponorogo saja yang ditampilkan, melainkan
kesenian kesenian jawa lainnya juga ikut serta dalam pagelaran ini, acarani ini
juga ditujukan agar masyarakat umum bisa mewarisi tradisi para leluhur
majapahit terdahulu.
Dan sampailah pada acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang
berdatangan dari berbagai daerah yakni Kirab Sesaji Kuro, acara ini merupakan
acara puncak yang dimana semua masyarakat dan para sesepuh akan melakukan
kirab masala yang dilakukan pada puncak acara grebeg suro, candi Bajang Ratu
merupakan awal dari perjalanan kirab pada puncak acara tersebut, banyak mitos
yang meyakini bahwa candi Bajang Ratu adalah gerbang atau pintu masuk dari
kerajaan majapahit sendiri sehingga masyarakat mulau melakukan kirab dari
candi Bajang Ratu dan berakhir di pendopo agung, dalam pelaksanaan acara kirab

5
masal ini masyarakat biasanya berdandan dengan dandanan ala zaman kerajaan
majapahit.
Warga setempat juga tidak lupa membawa sesaji yang berupa hasil bumi
atau hasil pertanian mereka, ritula seperti ini ditujukan sebagai bentuk rasa syukur
atas nikmat yang telah diberikan oleh tuhan yang maha esa. Tidak berakhir
sampai di situ, setelah melakukan kirab masal atau arak arakan masyarakat akan
mendapatkan nasi bungkus yang sudah diberikan oleh pihak panitia.

1.2.3. Panen Raya Tembakau Srintil


Temanggung terkenal dengan hasil alamnya yaitu tembakau, Tembakau
khas Temanggung termasuk dalam tembakau kualitas tinggi di Indonesia,
biasanya tembakau dari Tembakau dimanfaatkan untuk keperluan rokok
(rajangan) dan untuk dikunyah. Meskipun sebagian besar wilayah Temanggung
menghasilkan tembakau, namun wilayah penghasil tembakau paling banyak
berada di bagian lereng Sindoro-Sumbing dan sebagian besar wilayah tengah dan
selatan Temanggung.
Dalam prosesnya, terdapat hal yang menarik dalam panen tembakau. Ini
dinamakan panen raya tembakau srintil. Tembakau srintil tidak setenar tembakau
virginia atau jenis lainnya yang ditanam oleh petani di berbagai wilayah di
Indonesia, namun tembakau srintil mempunyai harga yang cukup fantastis. Harga
perkilonya bisa mencapai satu juta. Kenapa dinamakan srintil? Kata khas jawa ini
sebenarnya mengacu dari bentuknya yang kecil-kecil dan tak beraturan, nama lain
tembakau srintil adalah "tembakau lauk" karena hanya dipakai sebagai campuran
pada racikan kretek. Tembakau srintil juga dianggap sebagai berkah bagi petani
yang menghasilkan jenis ini. Tembakau srintil hanya bisa ditemukan di wilayah
Temanggung. Oleh karenanya diadakanlah suatu panen raya tembakau srintil.
Warga Temanggung dalam panen raya tembakau, masih memegang adat
istiadat. Filosofi angka 11 menjadi pegangan petani dalam memetik daun
tembakau. Sementara uborampe (perlengkapan) panen raya atau yang oleh
masyarakat setempat disebut Rondon Soto teridiri atas bubur merah, jenang,
ketan, ingkung, salak, jeruk, pisang sampai mentimun ditata di pematang sawah

6
untuk dinikmati bersama usai doa dipanjatkan. Setiap petani yang datang
membawa satu ikat daun tembakau hasil petikan dari sawah masing-masing.
Rondon Soto itu simbol pengharapan keberkahan. Ada berbagai makanan yang
menjadi simbolisasi sampai pemilihan hari, yakni Senin Pon, yang dalam kalender
Jawa memiliki hitungan sebanyak 11. Angka sebelas, dalam bahasa Jawa artinya
sewelas. Maknanya, semoga mendapat kawelasan, belas asih dari Tuhan bahwa
panen ini membawa berkah. Panen raya ini biasanya juga dimeriahkan oleh
kesenian Jaran Kepang atau Kuda lumping oleh pemuda setempat yang akan
menambah kemeriahan acara.

1.2.4. Kalosara
Dalam masyarakat Tolaki, Kalo Sara diyakini sebagai peninggalan
seorang raja yang bernama Wekoila. Ia diyakini sebagai keturunan Dewa dari
langit yang mempersatukan dan memerintah di Konawe. Kalo Sara kemudian
dihormati sebagai simbol Kerajaan Konawe secara turun-temurun dan dijadikan
sebagai simbol penerapan hukum adat.
Makna Kalosara secara harfiah yakni, “kalo” adalah sebuah benda yang
berbentuk lingkaran. Kalosara terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) kalo, berupa
lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai pengalas, dan (3)
siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem yang berbentuk persegi empat.
Hal ini dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai suatu benda yang
digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, apa pun itu, dengan
hukum adat yang berlaku. Masyarakat juga memercayai bahwa jika benda ini
hanya berdiri sendiri, misalnya tanpa ada kain dan anyaman daun palem, maka itu
tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali jika ketiganya menyatu dalam suatu
tatanan, seperti dalam adat masyarakat Tolaki Sulawesi Tenggara.
Dalam masyarakat Tolaki, kalosara dipercayai sebagai suatu benda yang
sakral dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Jika terjadi suatu
permasalahan, seperti kasus bullying, maka bisa diselesaikan dengan jalan
kalosara, dengan ketentuan adat yang berlaku.

7
Caranya, pihak-pihak yang bersangkutan (yang melakukan kasus bullying)
serta keluarganya akan dikumpulkan dan akan dipandu oleh orang yang di
percaya, biasanya ketua suku adat, yang mengerti tentang adat kalosara tersebut.
Semua pihak akan duduk melingkar sesuai bentuk kalosara, saling
berdialog, dan mengambil jalan perdamaian. Jika ada pihak yang tidak setuju
dengan jalan perdamaian tersebut, maka akan diberlakukan hukum adat yang
berlaku di tempat tersebut. Jika kedua belah pihak yang bersangkutan dalam
kasus tersebut adalah masyarakat suku Tolaki, maka hukum adat yang akan
dijatuhkan padanya adalah dikeluarkan dari suku Tolaki.
Bagi masyarakat Tolaki, kalosara bisa di artikan sebagai kata-kata seperti
“Jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia dan aku serta kita sekalian adalah satu
kesatuan, satu di dalam tiga dan tiga di dalam satu.” Dengan kata lain, jika kita
menganiaya dia (saudara sebangsa atau sesuku kita), maka sama saja kita
menganiaya diri sendiri, dan kita semua. Dan kalosara dalam keadaan demikian,
maka damailah keduanya (pihak yang terlibat).
Kalosara dalam masyarakat Tolaki memiliki cakupan yang sangat luas.
Seperti dikutip media.neliti.com, masyarakat Tolaki bisa membaginya dalam lima
cabang. (1) Sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan, (2) Sara mbedulu,
yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya, (3)
Sara mbe’ ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas keagamaan, (4) Sara
mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan
keterampilan dan keahlian, dan (5) Sara monda’u, mombopaho, mombakani,
melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun,
beternak, berburu, dan menangkap ikan.
Jadi bisa dikatakan, kalosara ini sangat dijunjung tinggi dan merupakan
adat yang paling pokok dalam masyarakat Tolaki, yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, keagamaan. Jadi kalau di masyarakat Tolaki
kita mengenal namanya kalosara, maka di Indonesia pada umumnya kita
mengenal dan disatukan oleh Pancasila.
Kalosara digunakan sebagai simbol rumah adat Tolaki. Bagian inti dari
Rumah Laika yang disebut siwolembatohu menggunakan kaidah Kalo Sara

8
sebagai pembentuknya. Bagian loteng digunakan sebagai tempat pingitan gadis
remaja dan tempat menyimpan barang-barang berharga. Ini sesuai dengan
susunan Kalo Sara dengan rotan yang ditempatkan paling atas. Kain putih
berbentuk segi empat dilambangkan dengan bagian tengah rumah yang menjadi
tempat berkumpulnya anggota keluarga. Sedangkan wadah berbentuk segi empat
dilambangkan dengan kolong rumah yang menjadi tepat beternak kerbau. Ini
menandakan bahwa pantang melakukakan kegiatan yang tidak benar atau buruk.
Selain itu, Kalo Sara juga digunakan sebagai alat komunikasi. Kalo Sara
digunakan untuk memberitahukan masyarakat tentang peristiwa penting seperti
wafatnya seseorang, pernikahan, penyampaian berita kepada pemerintah, dan
sebagai undangan kepada tamu terhormat. Anggota masyarakat yang selalu
menggunakan Kalo Sara untuk berkomunikasi dianggap memiliki etika yang baik.
Sebaliknya, anggota masyarakat yang tidak menggunakan Kalo Sara untuk
berkomunikasi dianggap sombong.

1.2.5. Bantengan
Masing-masing daerah di Indonesia memiliki seni tersendiri yang menjadi
simbol perjuangannya. Salah satunya adalah seni gerak yang ada di daerah Kab.
Mojokerto. Seni ini menggabungkan antara seni silat dan seni musik gamelan
yang berpadu dengan kisah simbolik heroisme perjuangan masa kolonial yang
dibumbui dengan kondisi trance atau kesurupan seperti umumnya beberapa
kesenian sejenis yang ada ditanah Jawa. Karena secara simbolik memakai
gambaran hegemoni singa dan perlawan banteng kemudian kesenian ini lebih
dikenal dengan sebutan Kesenian Bantengan. Seni Bantengan diperkirakan ada
sejak zaman kolonial Belanda. Pada mulanya, Bantengan ada di setiap padepokan
pencak silat sebagai bentuk hiburan untuk menggugah semangat para pejuang.
Namun seiring berkembangnya zaman, Bantengan akhirnya mendapat tempat di
masyarakat sebagai sebuah kesenian yang wajib untuk dilestarikan.
Bantengan memiliki beberapa unsur pendukung dalam pementasannya. (1)
Tanduk banteng, (2) Kepala banteng yang terbuat dari kayu (waru, dadap, miri,
nangka, loh, kembang, dll), (3) Klontong yaitu alat bunyi di leher, (4) Keranjang

9
penjalin sebagai badan (pada daerah tertentu yang menggunakan), (5) Kain hitam
sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang, (6) Cemiti, yaitu alat
pemanggil arwah-arwah sebagai wujud permohonan izin menyelenggarakan
pementasan Bantengan dan sebagai alat pengendali gerakan pemain yang
mengalami trans, (7) Gongseng kaki, yaitu alat tambahan untuk menambah irama
dalam Bantengan, (8) Pendekar pengendali kepala Bantengan (menggunakan tali
tampar), (9) Iringan alat musik berupa jidor, gamelan, pengerawit, panjak, sinden,
dan narator, dan (10) Sesepuh, pamong, dan pendekar.
Dalam gerakan Seni Bantengan, para pemain tidak bisa sembarangan
dalam melaksanakannya. Beberapa gerakan tersebut terdapat aturan atau tata cara
tersendiri. Berikut ini adalah beberapa tatacaranya :
a. Cara Memegang Bantengan
Bantengan dimainkan oleh dua orang pemain, bagian depan memegang
kepala banteng sekaligus sebagai kaki depan sedang bagian belakang menjadi
kaki belakang. Keduanya masuk kedalam kain (biasanya berwarna hitam) sebagai
tubuh bantengan. Pemain bagian depan sangat cepat mengalam trans daripada
pemain bagian belakang. Pemain bagian belakang dituntut untuk lebih aktif
bergerak kekiri dan kekanan mengikuti pemain bagian depan sekaligus
memainkan ekor Bantengan.
b. Solah Banteng
Gerakan atau tarian dalam bantengan disebut Solah Banteng yang terdiri
dari gerakan atau langkah gerakan mengayun tanduk ke kiri dan kanan yang
disebut sabetan, dan gerakan srudukan tanduk. Langkah banteng terdiri dari gerak
jalan berputar yang disebut langkah kliter,dan gerakan langkah maju. Semua
gerakan ini biasanya dilakukan berulang-ulang selama permainan sampai bertemu
macanan dan bertang. Saat bertarung inilah Banteng baru menggunakan gerakan
srudukan tanduk untuk mengalahkan macanan. Solah Banteng banyak bersumber
dari gerakan pencak silat.
c. Solah Macan
Gerakan tarian macan atau yang biasa disebut solah macan biasanya lebih
mengutamakan kuda-kuda, gerak kepala, cakaran dan koprol yang bersumber dari

10
pencak silat, sehingga pemain macanan harus bergerak lebih aktif dan tidak boleh
melakukan gerakan berjalan seperti manusia.
d. Solah Tarung Banteng Macan
Solah tarung Banteng Macan merupakan adegan pertemuan antara
kebaikan dan keburukan, pada saat itu biasanya Kera yang merupakan simbol
sifat kikir akan ikut muncul mengambil dan memanfaatkan kesempatan. Banteng
(simbol kebaikan) selalu menang dalam pertarungan melawan macan (simbol
keangkaramurkaan).
Dalam gebyak Bantengan, adegan pertarungan banteng melawan macan
secara ringkas dapat digambarkan sebagai ketika banteng bertemu macan
keduanya langsung saling menyerang. Banteng mengejar macan dan langsung
menyerang dengan srudukan tanduknya, tetapi macan berhasil meloncat
menghindar dan menangkap tanduk banteng. Banteng terus menekan dengan
tenaganya yang besar hingga macan jatuh terlentang terkunci tanduk Banteng.
Banteng yang marah kemudian melemparkan Macan. Macan yang merasa kalah
menjauh ketakutan. Monyet (simbol sifat kikir) muncul di sela-sela kesempitan
selama pertarungan untuk mengambil kesempatan yang mengungtungkannya.
Pertunjukan Kesenian Bantengan ini selalu dibuka dengan atraksi-atraksi
pencak silat sebagai seni dasar terbentukya Kesenian Bantengan. Pencak
dilakukan dengan kembangan tunggal maupun berpasangan setelah itu aksi
Gunungan Duri Salak ditampilkan dengan mengedepankan sisi kedikdayaan,
pemain akan bermain dan bergulingan diatasa tumpukan batang pohon salak. Inti
dari pertunjukan ini dimulai saat aksi topengan ditampilkan, topengan lebih kental
unsur humorisnya karena bertujuan untuk menarik minat dari audienci. Setelah itu
disusul dengan dimainkannya atraksi Gumingan, sosok Gumingan lebih mengarah
ke sisi antagonis yang diwujudkan dengan perawakan seram. Gumingan menjadi
simbol atau perwujudan dari gangguan dan tantangan yang muncul alam
kehidupan. Klimaks dalam pertunjukan Kesenian Bantengan adalah pada saat
sosok Banteng muncul melawan Macan.
Kesenian Bantengan memiliki fungsi sebagai tontonan atau media hiburan
bagi kaum awam. Namun untuk para pelaku kesenian Bantengan, hal ini

11
berfungsi sebagai media ritual. Suatu kesenian tentunya memiliki makna dan nilai
moral yang dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan. Beberapa nilai moral yang
ada dalam kesenian Bantengan yakni :
1. Nilai kebersamaan atau gotong royong tampak pada waktu seluruh
pemain Bantengan saling bekerja sama dan gotong royong dalam mengadakan
arak-arakan Bantengan. keliling desa.
2. Nilai keindahan tampak pada sajian pagelaran yang mengggunakan
perlengkapan khas Jawa jadi terlihat indah, mulai dari gamelan, busana yang
dipakai dan topeng. Selain itu keindahan juga terlihat diwaktu para pemain
gamelan memainkan musik gamelan terdengar mengiringi gerakan para pemain
Bantengan.
3. Nilai kebenaran tampak pada saat pemain benar-benar membawakan
atau memainkan kesenian Bantengan. Tampak saat pertarungan Banteng melawan
macan dalam perkelahiannya bisa mengalahkan para pemain macanan yang
merupakan perwujudan Bangsa Kolonial yang menjajah para kaum pribumi, ini
berarti bahwa kebenaran atau kebaikan pasti akan mengalahkan kejahatan.
4. Nilai kebaikan bahwa Bantengan dibuat untuk mendidik kaum pribumi
untuk menjadi pejuang dan mengalahkan para penjajah yang datang. Kemudian
tampak pada saat pemain Bantengan yang berusaha mengalahkan pemain
Macanan yang nerupakan simbol dari penjajah.
5. Nilai tanggung jawab dari sifat seorang pendekar Bantengan sebagai
pengendali Bantengan yang berusaha menendalikan gerakan Bantengan agar tetap
terkontrol.
6. Nilai religius tampak dalam setiap do’a yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dalam hal apapun baik dalam latihan maupun pagelaran selalu
memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.
7. Nilai kepercayaan tampak pada masyarakat desa Claket khusunya
pemaian kesenian Bantengan bahwa mereka percaya terhadap hal-hal ghoib.
Mereka mempercayai adanya makhluk yang diciptakan Allah SWT selain
manusia, kemudian tampak pula dalam alur cerita yang mengingatkan bahwa

12
manusia harus percaya kepada Allah SWT dan segala yang diciptakan termasuk
setan dan jin.
Kesenian Bantengan memiliki peranan yang besar dalam perjalanannya
sebagai suatu kesenian yang saat ini merupakan salah satu kearifan lokal yang
selalu dijaga dan dilestarikan di Mojokerto.

BAB III

PENUTUP

1.3. Kesimpulan
Kearifan lokal atau local wisdom adalah suatu kebudayaan yang telah ada di
masyarakat tertentu yang menjadi identitas masyarakat tersebut. Tentunya, kearifan lokal
di setiap daerah di Indonesia bermacam-macam karena terdapat perbedaan suku, ras,
budaya, dan bahasa. Kearifan lokal dari Yogyakarta adalah Mubeng Benteng. Mubeng
Beteng merupakan tradisi ritual berjalan kaki mengitari Beteng Keraton Yogya sambil
membisu atau tanpa bicara sama sekali yang diikuti oleh abdi dalem Keraton serta warga
sekitar yang dilaksanakan setahun sekali pada tanggal 1 Suro sesuai penggalan kalendar
Jawa. Selanjutnya yaitu kearifan lokal dari Temanggung, Jawa Tengah yaitu Panen Raya
Tembakau Srintil. Tembakau Srintil adalah tembakau yang hanya ada di Temanggung
dan dijual dengan harga yang fantastis. Masyarakat Temanggung merayakan panen
tembakau srintil sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan YME. Kearifan dari Suku Tolaki
di Kendari, Sulawesi Tenggara adalah Kalosara. Kalosara adalah adalah sebuah benda
yang berbentuk lingkaran yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai suatu benda
yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, apa pun itu, dengan hukum
adat yang berlaku. Di Mojokerto, Jawa Timur ada dua kearifan lokal, Grebek Suro
Mojopahit dan Bantengan. Grebeg Suro Mojopahit adalah tradisi tahunan yang
dilaksanakan setiap tanggal 1 Suro kalender Saka yang dimaksudkan sebagai
permohonan keselamatan dan kesejahteraan (ruwat agug) bagi bumi nusantara dan
menghormati para leluhur. Sedangkan kesenian Bantengan adalah sebuah seni
pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur pencak silat, sendra tari, olah
kanuragan, musik, dan syair atau mantra yang sangat kental dengan nuansa magis.

13
1.4. Saran
Suatu kearifan lokal atau kesenian penting untuk dilestarikan sebagai khasanah budaya
bangsa yang nantinya akan menjadi warisan bagi anak cucu karena mereka berhak tahu
bahwa nenek moyangnya merupakan bangsa yang kreatif, berbudaya dan peduli akan
kelestarian budayanya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, I. 2020. Kalosara, Kearifan Lokal Orang Tolaki yang Perkokoh Persatuan. Diakses
dari www.alif.id pada tanggal 27 Desember 2020.

Desprianto, D., & Dharma, R. U. R. I. 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna
Simbolik dan Nilai Moral. Avatara, 1(1), 150-163.

Dyastriningrum. 2009. Antropologi Kelas XI SMA. Jakarta: Pusat Perbukuan.

Inilah Asal Usul Tapa Bisu Mubeng Beteng Kraton Jogja Tiap Malam 1 Suro. 2019. Diakses
dari www.jogya.com pada tanggal 25 Desember 2020.

Lestari, E. S. 2011. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Grebeg Suro Di Kabupaten Ponorogo
(Doctoral dissertation, Universitas Negeri Malang).

Pratama, Bagas. 2020. Tradisi Turun Temurun dari Leluhur, Grebeg Suro di Tanah Majapahit.
Diakses dari www.hipwee.com pada tanggal 26 Desember 2020.

Pribadi, Wicaksono. 2019. Mubeng Beteng Tragedi Peringati 1 Sura di Jogja. Diakses dari
www.tempo.co pada tanggal 25 Desember 2020.

Tradisi Grebeg Suro Mojopahit. 2020. Diakses dari www.disparpora.mojokertokab.go.id pada


tanggal 26 Desember 2020.

Winarso, Ambar A. 2018. Ganjar Belajar Filosofi Serba 11 di Panen Raya Tembakau Srintil.
Diakses dari www.akurat.co pada tanggal 27 Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai