Filsafat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Filsafat

Filsafat, mungkin banyak dari kita yang belum mengenal apa itu filsafat. Banyak dari
kita yang belum paham sepenuhnya tentang Ilmu Filsafat. Filsafat sendiri diserap dari kata
philosophia(Latin), philosophy(inggris), philosophic(Jerman,Belanda,Prancis), falsafah
(Arab). Semua istilah itu bersumber pada istilah bahasa Yunani philosophy. Istilah tersebut
dari philein yang berrarti “mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan,
sahabat”. Selanjutnya istilah sophos yang berarti “bijaksana”, sedangkan sophia yang berarti
“kebijaksanaan”.

“Filsafat” yang dijabarkan dari perkataan “philosophia” dari bahasa Yunani tersebut
yang berarti: “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom). Menurut tradisi, Pythagoras dan
Sokrateslah yang pertama-tama menyebut diri sebagai “philophos”, yaitu sebagai protes
terhadap kaum “Shopist”, kaum terpelajar pada waktu itu yang menamakan dirinya
“bijaksana”, padahal kebijaksanaan mereka itu hanya semu saja.

Pengertian sederhananya , filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat
artinya berfikir. Namun, tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir
secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa: setiap
manusia adalah filsuf. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berfikir. Akan tetapi,
secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berfikir adalah
filsuf.

Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-
sungguh dan mendalam.

Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal


itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia,
bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal
yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai
induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang
wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia
melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-
strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat
mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan
wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat
juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut
merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut
tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.

Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni
untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada
sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari
“Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu
atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem
epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk
mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain,
pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada
tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang
didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama
kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah
epistemologi bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang
“untuk apa”.

Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi yang hingga kini
masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki
sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam
dunia Filsafat.

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak
membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-
permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat
ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-
masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak
mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-
pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.

Dimensi Ontologis, Episttemologi, dan Aksiologi

1. Dimensi Ontologis

Kata dimensi digunakan untuk menunjukkan sudut pandang terhadap sesuatu, dari
sudut kepentingan apa kita mengkaji ilmu pengetahuan. Dimensi keilmuan diartikan sebagai
pilihan kita bagaimana memandang, melihat, atau mengkaji ilmu pengetahuan, misalnya
apakah kita akan melihat ilmu pengetahuan dari sudut (a) substansinya atau apanya, (b) cara
memperoleh, (c) kita akan melihat manfaat dan nilainya.

Istilah “ontologi” berasal ari kata Yunani “ontd” yang berarti sesuatu “yang sungguh-
sunguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan “logos” yang berarti “studi tentang”,
“studi yang membahas sesuatu” (Angeles, 1.981). Jadi ontologi adalah studi yang membahas
sesuatu yang ada. Secara sungguh-sungguh ontologi juga dapat diartikan sebagai metafisika
umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdala,
ontologi membahas asas-asas rasional dan kenyataan (Kattsoff, 1986).

Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi wujud
konkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Maksudnya adalah yang dapat dirasakan
indra maupun tak dapat dirasakan oleh panca indra manusia. Objek formal ontologi adalah
memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia, dan
Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat
yaitu manusia sendiri dan duniawinya.

Dengan demikian, ontologi berarti sebagai suatu usaha intelektual untuk


mendeskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan
yang benar tentang kenyataan; syudi tentang sifat pokoknyataan dalam aspeknya yang paling
umum sejauh hal itu dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan
(Mudhofir, 1998).

Fungsi (manfaat) dalam mempelajari ontologi yaitu :

1. Sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-
asumsi dan postulat-postulat ilmu, asumsi dasar keilmuan antara lain: Pertama,
dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
2. Dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindera.

3. Fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu dengan yang lainnya
secara kausal(sebab-akibat).

Dalam hal ini ontologi dapat membantu memetakan batas-batas kajian ilmu. Dengan
demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia dari tahun ke tahun atau dari abad
ke abad.

2. Dimensi Epistemologi

Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah


epistemologi berasal dari kata bahasa Yunani “episteme” yang artinya pengetahuan, dan
“logos” yang artinya teori. Jadi, epistemologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat
yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Secara sederhana
disebutkan saja sebagai bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan
ilmu bagi kemaslahatan manusia.

Dalam kepustakaan Indonesia dan wacana yang ada di masyarakat istilah pengetahuan
sering dikacaukan dengan istilah ilmu (science). Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi
yang tepat kedua istilah itu. Selain itu karena orang menafsirkan kedua istilah itu bersifat
umum yang digunakan oleh anggota masyarakat tanpa dikaitkan dengan pengertian dasar
kedua istilah tersebut. Orang menyebut ilmu alih-alih pengetahuan atau sebaliknya. Misalnya
Ilmu sosial, padahal ilmu-ilmu sosial. Ilmu kepolisian padahal ilmu-ilmu kepolisian.

Epistemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu “ilmu
pengetahuan” untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan menentukan keabsahan disiplin ilmu
tertentu. Dengan demikian epistemologi juga memberi kerangka acuan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan.

Aspek epistemologi yang penting di dalan pengembangan pengetahuan adalah


metodologi keilmuan. Pengetahuan pada umumnya dam ilmu pada khususnya merupakan
produk dari sebuah proses. Proses mempunyai tempat yang penting karena akan menentukan
kualitas dari produk, selain mempengaruhi pula apakah jalan kepada output akan lebih mudah
atau lebih susah. Metodologi merupakan kualitas produk. Bahkanmetodologi menjadi
jaminan legitimasi suatu produk. Oleh karena itu metodologi juga menjadi alat atau wahana
pertanggungjawaban dan penilaian kualitas dari produk. Maka dewasa ini metodologi
menjadi penting sekali. (Metodologi : cara yang digunakan untuk memperoleh kenbenaran
menggunakan penelusuran dengan cara tertentu),

Pengetahuan yang menggunakan ide (idealisme) mengandung implikasi pendekatan


yang rasionalistis. Rasionalisme, menganut pendekatan rasional. Sifat idealisme lebih
menekannkan pada proses berpikir deduktif yang terimplikasi dalam premis-premis, yaitu
premis mayor, premis minor dan kesimpulan. Realisme menganut pendekatan empirik.
Pengetahuan yang berdasarkan empiris memandang pengetahuan itu adalah kenyataan dan
menganut pendekatan berpikir induktif, sehingga untuk mencapai kebenaran, pengetahuan
didasarkan realitas konkret yang parsial.

Landasan epistemologi ilmu menyangkut cara berpikir keilmuan berkenaan dengan


kriteria tertentu agar sampai pada kebenaran ilmiah. Dengan kata lain, yang dibicarakan
dalam epistemologi ilmu adalah suatu proses berpikir ilmiah. Sesuai dengan
perkembangannya, ilmu berkembang melalui taraf berpikir sebagai berikut :

a) Ilmu Rasional;

b) Ilmu Rasional Empirik;

c) Ilmu Rasional Empirik eksperimental.

Dalam rangka ilmu-ilmu modern, cara berpikir ilmiah berkenaan dengan kriteria ilmu
rasional empirik atau ilmu rasional empirik eksperimental.

3. Dimensi Aksiologi

Secara etimologis aksiologis berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos
berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai,
sehingga disebut filsafat nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filsafati akan
lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai (Lihat Sri Soeprapto: 1). Dalam defiisi
yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan membahas nilai-nilai yang memberi
batas-batas bagi pengembangan ilmu.

a. Problematik dalam Aksiologi

Dalam filsafat ilmu terjadi banyak kesibukan dalam menghadapi pertanyaan apakah
ilmu bersifat bebas nilai atau tidak. Suatu tanggapan disebut pertimbangan nilai (value
judgement) jika di dalamnya orang mengatakan bahwa suatu hal baik atau tidak, positif atau
negatif, atau apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan dibanding dengan hal yang lain. Ini
berarti hal tersebut terikat oleh asas moral keilmuan.

Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan objek penelaahan ilmiah, maka
penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada dasarnya ilmu
harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu
dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan kelestarian/keseimbangan alam. Salah
satu alasan untuk tidak mencampuri masalah kehidupan adalah kekhawatiran bahwa hal ini
akan mengganggu keseimbangan kehidupan.

Kadangkala kita mendengar orang mengajukan alasan mengapa ilmu tidak bebas
nilai, tidak objektif, yaitu karena seorang ilmuanmengadakan penyaringan di antara segenap
hal yang dapat diselidiki, dan tidak memperhatikan hal lainnya, sekurang-kurangnya tidak
secara tugas memperhatikannya. Berdasarkan atas alasan tersebut kadang-kadang ditarik
simpulan yang berlebihan. Dengan perkataan lain pertanyaan mengenai syarat-syarat
terjadinya pengetahuan tidaklah sama dengan pertanyaan mengenai ukuran untuk
menetapkan apakah pengetahuan itu otentik atau tidak. Hal yang demikian tidak selamanya
diperhatikan secara benar dalam pembicaraan mengenai keadaan bebas nilai yang dipunyai
oleh ilmu.

b. Fungsi Aksiologi

Aksiologi merupakan ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi


perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) tetap berjalan pada jalurnya. Aksiologi memiliki fungsi antara lain:

1) Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan


kebenaran yang hakiki.

2) Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak
mencampuri permasalahan kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat
dogmatik(sikap seseorang yang cenderung tertutup), arogansi kekuasaan dan
politik.
3) Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf
hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan,
kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.

c. Aksiologi dan Nilai

Diskursus yang terjadi di antara para filsuf yaitu apakah ilmu pengetahuan itu bersifat bebas
atau terikat. Aliran logis postivistik menganggap bah ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai.
Mengaitkan antara ilmu dengan nilai akan mengurangi kadar objektivitas ilmiah dari ilmu. Persoalan
nilai dapat dianggap merupakan sesuatu yang sifatnya subjektif-emosional. Hal-hal yang sifatnya
subjektif harus disingkirkan agar validitas kebenaran yang objektif dapat dipertanggung jaawabkan.
Sesuatu dikatakan benar apabila dapat diukur, ditakar dan ditimbang.

Pendapat aliran dualisme mengatakan bahwa sebelum mengambil keputusan, apakah ilmu itu
bebas nilai atau terikat nilai, lebih dahulu ilmu harus didudukkan kembali pada kedudukan ilmu itu
sendiri. Ilmu menurut aliran dualisme daoat dibagi menjadi dua kelompok ilmu yaitu, apakah
termasuk ilmu eksak atau masuk ilmu kerohanian. Ilmu eksak terkait dengan nilai pasti yang telah
memiliki hukum ilmu sendiri tanpa harus dikaitkan dengan pertimbangan diluar disiplin ilmunya.
Contoh ilmu eksak adalah matematika, 2+2 = 4, jelas memiliki jawaban pasti, tidak perlu menimbang-
nimbang dengan nilai diluar ilmu matematika itu sendiri, misalnya: nilai etis, esteris atau religius.

Jaman sekarang masuk pada era kontemporer, yaitu dalam nilai ilmu eksak maupun ilmu-ilmu
sosial apalagi kerohanian tidak mungkin bebas nilai. Yang terjadi di era kontemporer menunjukkan
adanya spesialisasi-spesialisasi yang sempit. Filsafat sebagai awal dan dasar dari segala ilmu mulai
t=ditinggalkan satu per satu oleh anak-anaknya. A. Comte memisahkan diri dari bidang filsafat
kemudian membuat ilmu baru yaitu sosiologi. Hal ini diikuti oleh bidang-bidang ilmu lainnya, dan
yang terakhir memisahkan diri dengan filsafat adalah psikologi.

Demikianlah pembahasan singkat tentang pengetian luar filsafat dan penjelsan umumnya.
Serta dimensi tentang 3 problem filosophis yang terdapat pada filsafat. Semoga bermanfaat dan
menambah wawasan kita.
Daftar Pustaka :

1. Ihsan Fuad, H.A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.

2. http://materifilsafat.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai