1 PB

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.

2 (2022)

Dikotomi Eksistensi Telemedicine Bagi Masyarakat Terpencil :


Perspektif Teori Kemanfaatan

Handina Sulastrina Bakhtiar1


1Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Surel : [email protected]

Abstrak

Kebutuhan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat menjadi alasan untuk
memaksimalkan layanan kesehatan. Dengan adanya perkembangan teknologi juga telah
memberikan pengaruh besar pada bidang kesehatan. Layanan telemedicine menjadi kebutuhan
bagi pemerataan dan upaya memaksimalkan layanan kesehatan bagi masyarakat terpencil
namun terkendala akibat belum adanya pengaturan secara jelas terkait layanan telemidicine.
Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji terkait konsep pelayanan telemedicine sebagai pelayanan
dasar kesehatan bagi masyarakat terpencil. Tulisan ini merupakan tulisan yang berbentuk
kajian normatif dengan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan. Hasil
kajian menyatakan bahwa telemedicine merupakan pemanfaatan teknologi dan informasi pada
pelaksanaan layanan kesehatan yang memberikan kemudahan dan kemanfaatn kepada
masyarakat khsusunya pada daerah terpencil sehingga masyarakat tetap mendapatkan hak
pelayanan dasar dibidang kesehatan. Pelaksanaan pelayanan telemedicine di Indonesia sendiri
memiliki konsep bahwa pelayanan tersebut hanya boleh dilakukan oleh antar fasilitas
pelayanan kesehatan dengan dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Padahal
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil sangat terbatas, sehingga
konseptualisasi pelayanan telemedicine dapat diperluas bukan saja pada antar fasilitas
pelayanan kesehatan. Namun juga, bisa dilakukan oleh antara dokter kepada pasien dengan
alasan kemanfaatan bagi masyarakat khususnya di daerah terpencil yang memiliki
keterbatasan fasilitas layanan kesehatan.

Kata kunci: Telemedicine; Pelayanan Kesehatan; Masyarakat Terpencil; Kemanfaatan;

PENDAHULUAN
Era globalisasi yang modern ini telah membawa perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memiliki
peran penting dalam pembangunan. Perkembangan teknologi informasi telah mengarah
pada fakta bahwa dunia telah berkembang dan perubahan sosial yang signifikan juga telah
terjadi dengan begitu cepat (Saputri, 2022). Penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi telah menjadi bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia,
karena teknologi informasi dan komunikasi berjalan seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Semua penemuan diciptakan untuk memberikan manfaat dan memberikan
banyak kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktivitas. Salah satu alasan
pesatnya perkembangan teknologi ini adalah adanya perkembangan jaringan, protokol,
perangkat lunak, dan spesifikasi (Hanifah, 2020).
Dalam arus perkembangan teknologi yang begitu pesat, seakan tidak ada lagi
batasan antara satu orang dengan orang lainnya untuk berkomunikasi atau
menyebarluaskan informasi melalui jejaring sosial internet (Yuliana & Bagiastra, 2021).
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mengglobal, telah
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang kesehatan.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang kesehatan akan

115
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

membawa berbagai manfaat bagi pelayanan kesehatan. Dengan dukungan teknologi


informasi dan komunikasi, manfaat yang diperoleh adalah informasi kesehatan yang
akurat dan komprehensif kepada pasien, sehingga pelayanan kesehatan tersebut dapat
memberikan pelayanan yang terbaik (Hanifah, 2020). Kebutuhan pelayanan kesehatan
secara efisien dan efektif yang dimaksud yakni secara sederhana, cepat, akurat, bermutu
tinggi tetapi terjangkau, merupakan sebuah tuntutan masyarakat saat ini. Untuk
menciptakan layanan tersebut diperlukan suatu sistem layanan berbasis pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini menantang dunia kesehatan di Indonesia
untuk terus mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan terbaik melalui pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (Hanifah, 2020).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di Asia Tenggara yang berusaha
mengikuti perkembangan teknologi dan komunikasi dalam bentuk layanan kesehatan
sesuai era revolusi industry 4.0 (Kuntardjo, 2020) atau Cyber Physical System, artinya
industri kita saat ini tidak sedang berbicara tentang digitalisasi lagi melainkan smartisasi
(Wicaksono & Setianto, 2022). Revolusi Industry 4.0 dengan ciri khasnya yang
menggunakan teknologi berbasis internet dan digital database telah memasuki sektor
kesehatan. Pembaharuan serta berbagai jenis inovasi dalam pelayanan kesehatan
menawarkan sebuah kemudahan dan efisiensi bagi pasien dalam memilih pelayanan
kesehatan yang mereka kehendaki (Machrus & Budiarsih, 2022). Oleh sebab itu,
terjadilah suatu transformasi digital yang melahirkan fasilitas pelayanan kesehatan
berbasis internet atau lebih dikenal dengan telemedicine, yang dapat di akses seluruh
lapisan masyarakat demi kemudahan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan
(Mangesti, 2019).
Secara umum, telemedicine dapat dikatakan sebagai pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi bersama dengan pengetahuan medis untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada semua orang, baik yang ada di perkotaan maupun
masyarakat yang tinggal di pedesaan, mulai dari konsultasi, diagnosa sampai tindakan
medis tanpa terbatas ruang dan waktu yang dilaksanakan dari jarak jauh (terpisah) atau
tidak bertatap muka (Septian, 2022). Fasilitas komunikasi yang dapat digunakan antara
lain, message, telepon, video call, website, ataupun alat komunikasi canggih lainnya.
Komunikasi ini dapat terjadi antara dokter dengan pasien, maupun antar tenaga kesehatan
misalnya dalam konsultasi berjenjang dari dokter umum ke dokter spesialis (Saputri,
2022).
Tujuan dari telemedicine sendiri adalah mengupayakan terwujudnya pelayanan
kesehatan serta meningkatkan kualitas pelayanan itu sendiri secara merata di seluruh
penjuru tanah air, terutama untuk daerah terpelosok (terpencil) serta menghemat biaya
dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu, telemedicine juga bertujuan agar
dapat meminimalisir rujukan ke dokter atau ke pelayanan kesehatan di kota-kota besar
(Ramanda et al., 2021).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 (selanjutnya disebut
Permenkes Pelayanan Kesehatan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan)
Pasal 1 angka 1, yang menjelaskan bahwa, telemedicine diartikan sebagai “pemberian
pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis,
pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan
berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan
individu dan masyarakat”.
Teknologi telemedicine merupakan suatu kegiatan multidisiplin ilmu yang akan
menjadi sebuah terobosan baru dan tantangan besar yaitu konektivitas dan aksesibilitas
yang akan memengaruhi penyediaan layanan kesehatan pada abad ini, yang kemudian

116
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

mendorong munculnya berbagai platform kesehatan online yang menyediakan jasa di


bidang kesehatan (Saputro et al., 2021). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin,
mengatakan bahwa saat ini Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan 17
platform telemedicine yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu Aido
Health, Alodokter, GetWell, Good Doctor, Halodoc, Homecare24, KlikDokter,
KlinikGo, Lekasehat, LinkSehat, Mdoc, Milvik Dokter, ProSehat, SehatQ, Trustmedis,
Vascular Indonesia, dan YesDok (Irfan, 2022).
Kemudahan yang ditawarkan dan diberikan oleh pelayanan kesehatan
telemedicine tentunya membawa tantangan baru sekaligus permasalahan didunia
kesehatan (Sulaiman et al., 2022). Dalam proses konsultasi kesehatan yang menggunakan
telemedicine tentunya dokter dan pasien saling berinteraksi secara online untuk dapat
memastikan kondisi dari pasien sesuai dengan gejala yang dikeluhkan, tentu saja
telemedicine yang digunakan secara online ini dilakukan melalui pemeriksaan tidak
langsung sehingga sangat dimungkinkan terjadi kesalahan diagnosis dan hal ini sudah
pasti menyebabkan kerugian besar bagi pasien. Hal ini dapat berdampak pada hubungan
antara dokter dan pasien, keselamatan pasien dalam pengobatan serta diagnosa yang
diberikan oleh dokter kepada pasien (Jannati, 2022). Permasalahan lainnya menyangkut
perlindungan dari pihak pasien yang rentan menjadi pihak yang dirugikan akibat
lemahnya pengaturan mengenai layanan kesehatan berbasis telemedicine (Machrus &
Budiarsih, 2022). Selain manfaat dari penggunaan telemedicine dimana mempermudah
atas akses pelayanan kesehatan bagi daerah terpencil yang memiliki keterbatasan
kerersediaan tenaga kesehatan, juga perlu juga dipahami bahwa penggunaan telemedicine
berpotensi menimbulkan berbagai problema hukum seperti, pemberian lisensi, akreditasi,
privasi dan kerahasiaan catatan medis elektornik pasien, tanggung gugat bila terjadi
malpraktik, pedoman klinis, dan asuransi (Kementerian PPN/Bappenas, 2019). Oleh
karena belum adanya aturan khusus yang menjadi payung perlindungan hukum baik bagi
pihak dokter maupun pasien dalam menjalankan praktik telemedicine, tentu saja dapat
dikatakan bahwa masih sangat rentan terjadi sebuah kesalahan, kekeliruan, bahkan
pelanggaran dalam penyelenggaraannya (Machrus & Budiarsih, 2022).
Realitas empiris dan implikasi hukum dari permasalahan telemedicine di
Indonesia, memerlukan regulasi hukum nasional. Membiarkan perubahan dan
perkembangan tanpa adanya penyesuaian dengan aturan hukumnya, itu sama saja dengan
membiarkan perubahan dan perkembangan berlangsung dalam keadaan ketidakpastian
dan ketidakteraturan. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia memiliki atau
memberlakukan regulasi khusus tentang telemedicine guna memberikan kepastian hukum
kepada para praktisi kesehatan serta pasien yang menggunakan layanan kesehatan
telemedicine.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, yang menjadi pokok pembahasan
adalah bagaimana arti penting telemedicine dalam memenuhi pelayanan dasar atas
kesehatan dan bagaimana dikotomi yang terjadi terhadap eksistensi telemedicine bagi
masyarakat terpencil?

METODE

Penulisan dalam artikel ini menggunakan metode normative dengan pendekatan


konseptual dan perundang-undangan. Penulisan ini menggunakan data sekunder berupa
bahan hukum seperti hasil penelitian dan artikel ilmiah lainnya kemudian dilakukan
analisis kualitatif untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang menjadi bahasan
penting dalam artikel ini.

117
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Arti Penting Telemedicine dalam Memenuhi Pelayanan Dasar Atas Kesehatan


Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana seperti yang dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang tertuang dalam pasal 28H, namun sangat
disayangkan dalam hal memberikan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, bukanlah
sesuatu yang mudah. Hingga saat ini, rasio dokter di Indonesia masih satu berbanding
5.000 penduduk. Pelayanan kesehatan konvensional secara face to face antara pasien
dengan dokter juga seringkali sulit untuk diwujudkan didaerah terpencil, dikarenakan
kendala geografis yang membuat sulit untuk dijangkau. Sehingga untuk menempatkan
dokter maupun dokter spesialis di seluruh pulau jelas memiliki kendalanya masing-
masing (Sulaiman et al., 2022). Kebanyakan dokter spesialis lebih memilih untuk
ditempatkan di pusat perkotaan besar, khususnya di ibu kota provinsi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa masyarakat yang berada di kabupaten, kecamatan, atau desa apalagi di
daerah perbatasan mau tidak mau harus merasa cukup puas dengan pelayanan yang bukan
spesialis atau bahkan hanya mantri (paramedis) ataupun perawat. Adanya ketimpangan
dalam layanan kesehatan, ketidakmerataan dalam persebaran dokter di Indonesia,
khususnya dokter spesialis, menjadi kendala yang sulit diatasi. Untuk menanggapi krisis
kesehatan di daerah perdesaan dan perbatasan di Indonesia tersebut, maka diperlukan
suatu cara yang dapat mengatasi masalah tersebut secara efektif dan efisien. Strategi yang
ditempuh merupakan model pemberian layanan kesehatan yang tidak biasa yakni antara
dokter dan pasien tidak bertemu secara langsung melainkan dihubungkan dengan
teknologi informasi dan komunikasi yang disebut dengan Telemedicine.
Telemedicine merupakan bukti dari kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi yang memiliki manfaat di bidang kesehatan (Ramadhany, 2021). Keberadaan
telemedicine menjamin akses terhadap layanan kesehatan yang lebih baik dan
mengurangi waktu serta biaya yang dikeluarkan oleh pasien untuk transportasi atau
perjalanan menuju ke kota hanya untuk bisa berkonsultasi dengan dokter spesialis terkait
masalah kesehatan tanpa harus bertatap muka dengan mudah, cepat dan aman.
Telemedicine juga dapat meminimalisir angka rujukan yang tidak perlu, hal ini akan
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setempat. Selain itu, juga
dapat meningkatkan koordinasi antara fasilitas kesehatan, lembaga kesehatan dan tenaga
medis yang terkait. Sehingga dapat dikatakan bahwa telemedicine sangat fleksibel untuk
digunakan bagi masyarakat luas (Marsis, 2018).
Telemedicine sangat bermanfaat bagi masyarakat daerah yang tinggal jauh dari
pusat kota atau berada di desa pelosok (terpencil). Masyarakat Indonesia tidak hanya
tinggal di kota-kota besar, namun ada juga yang tinggal di kecamatan hingga perdesaan
yang belum memiliki rumah sakit atau bahkan Puskesmas. Hal ini menjadi masalah yang
besar di bidang kesehatan di Indonesia, dimana masyarakatnya tidak memiliki tempat
untuk bertanya atau memeriksakan gejala-gejala penyakit dan bagi yang menjalankan
pemeriksaan secara rutin. Meskipun di beberapa desa sudah memiliki puskesmas, tenaga
medis yang tersedia dirasakan masih kurang dan tidak sebanyak yang ada di rumah sakit
(Purbaningsih & Hariyanti, 2020). Dimana jumlah dokter didaerah-daerah tersebut relatif
lebih sedikit apalagi dokter spesialis. Kementerian Kesehatan juga menegaskan bahwa
salah satu permasalahan terkait pelayanan kesehatan di Indonesia adalah minimnya
jumlah dokter dan persebaran tenaga medis yang tidak merata. Padahal kesehatan
masyarakat merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat di Indonesia yang
menentukan bagaimana standar kualitas hidup masyarakat terkait dengan kesehatan
setiap individunya. Kualitas kesehatan masyarakat di Indonesia tidak hanya ditentukan

118
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

oleh kondisi kesehatan masyarakatnya saja, tetapi juga ditentukan oleh jumlah fasilitas
kesehatan yang tersedia, pelayanan kesehatan yang tersedia serta sistem pelayanan
kesehatan itu sendiri (Jannati, 2022). Bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin
(mustahil) dimasa yang akan datang, para lansia tidak perlu lagi datang ke rumah sakit
untuk berobat, justru karena adanya pelayanan kesehatan berbasis online yang dapat
menjangkau sampai ke daerah terpencil dan pulau-pulau terluar, bahkan dimungkinkan
penggunaan robot untuk menanggapi keluhan dan perasaan pasien, hingga psikoterapi
secara virtual reality (Mangesti, 2019). Oleh karena itu, inovasi telemedicine sangat
membantu masyarakat yang ingin berkonsultasi mengenai masalah kondisi kesehatannya
tanpa terhalang oleh jarak dan waktu.

B. Dikotomi Yang Terjadi Terhadap Eksistensi Telemedicine Bagi Masyarakat


Terpencil
Pelayanan kesehatan berbasis online dapat ditemukan dalam bentuk platform
ataupun aplikasi (Ayu, 2022). Keberadaan platform kesehatan online seperti
telemedicine, tidak lepas dari upaya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat (Yuliana & Bagiastra, 2021). Secara teoritis menurut Levey mengatakan
bahwa pelayanan kesehatan merupakan upaya untuk memelihara kesehatan,
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan individu, keluarga maupun
masyarakat dalam arti luas dimana dalam penyelenggaraannya dapat dilakukan sendirian
atau bersama-sama melalui suatu organisasi (Fachrezi & Wibowo, 2020).
Teknologi telemedicine semakin berkembang seiring kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi serta ilmu kedokteran yang memiliki irama (ritme) yang
begitu cepat. Perkembangan yang sangat cepat menyulitkan kita memberikan pengaruh
langsung dalam penyesuaian terhadap perkembangan tersebut. Telemedicine sudah
menjadi solusi yang banyak digunakan di segala bidang dengan berbagai jenis dan
inovasinya (Marsis, 2018). Namun, pada kenyataannya masih terdapat beberapa kendala
lainnya saat menggunakan layanan telemedicine. Proses komunikasi yang berjalan hanya
mengandalkan teknologi berupa smartphone dan koneksi jaringan internet, terkadang
menimbulkan hambatan bagi pengguna telemedicine, karena tentunya terdapat
perbedaan pada setiap perangkat, terutama bagi pengguna yang berada di daerah
terpencil sehingga sulit mendapatkan sinyal dan sering ditemukan keluhan seperti merasa
tidak puas, tidak memahami penggunaan teknologi, hingga susahnya koneksi jaringan
internet (Hanifah, 2020).
Tantangan konektivitas seperti ketersediaan jaringan telekomunikasi menjadi
suatu tantangan yang besar dalam perkembangan teknologi telemedicine, karena jaringan
telekomunikasi inilah yang menjadi alat pendukung utamanya. Selain itu, terdapat juga
tantangan aksesibilitas yang dimana harus memberikan kemudahan dalam menggunakan
telemedicine. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya dukungan dan inovasi dari
semua pihak agar dapat terus mengembangkan teknologi telemedicine di Indonesia
(Saputro et al., 2021).
Teknologi telemedicine secara teoritis memiliki manfaat dalam hal pemerataan
pelayanan kesehatan di seluruh wilayah di Indonesia. Tapi sebelum itu, diperlukan
infrastruktur yang baik untuk mendistribusikan layanan kesehatan secara merata dengan
konsep telemedicine. Adapun aspek yang perlu diperhatikan yakni: pertama, konektivitas
jaringan telekomunikasi yang baik dan merata. Kedua, ketersediaan perangkat/alat yang
dapat digunakan untuk mengakses telemedicine secara merata di seluruh Indonesia.
Apabila salah satu/kedua aspek tersebut belum terpenuhi, hal itu akan menjadi sebuah
hambatan dalam pengembangan telemedicine (Saputro et al., 2021).

119
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

Saat ini, penyebaran penggunaan layanan telemedicine di Indonesia belum merata


atau masih dalam proses. Ketersediaan jaringan dan perangkat telekomunikasi untuk
mengakses memiliki perbedaan antara yang ada di daerah perkotaan dengan daerah
pelosok sehingga lebih mudah bagi perkotaan dalam menggunakan telemedicine.
Beberapa wilayah perkotaan di Indonesia sudah dapat menggunakan telemedicine untuk
berinteraksi langsung antara dokter dengan pasien melalui berbagai aplikasi yang
tersedia di komputer maupun smartphone. Situasi ini dimungkinkan karena ketersediaan
jaringan dan perangkat telekomunikasi untuk mengakses telemedicine. Selain itu, hampir
seluruh rumah sakit Indonesia yang ada di kota-kota sudah memiliki jaringan dan
perangkat untuk mengakses telemedicine (Saputro et al., 2021).
Sedangkan jikalau melihat secara faktual di daerah-daerah khususnya yang ada di
pelosok pemanfaatan metode mobile telemedicine justru mengalami kesulitan
dikarenakan keterbatasan sarana penunjang. Untuk itu, perlu disediakan suatu alat mobile
telemedicine yang dapat digunakan oleh tenaga medis untuk berkomunikasi dengan
masyarakat yang tinggal di wilayah pelosok sehingga masyarakat yang ada di daerah
pelosok juga dapat memperoleh layanan kesehatan yang lebih baik atau serupa dengan
masyarakat di daerah perkotaan. Selain jaringan dan perangkat telekomunikasi untuk
mengakses, perlu juga dilakukan edukasi dan pemberian informasi secara massive
kepada seluruh masyarakat tentang teknologi telemedicine, agar telemedicine dapat
diterima dan digunakan secara benar di seluruh wilayah masyarakat Indonesia (Saputro
et al., 2021).
Ketika pengguna tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit pengalaman dalam
menggunakan sistem, pengguna biasanya akan lebih memperhatikan kemudahan
penggunaan sistem daripada kegunaannya, tetapi setelah terbiasa dengan sistem yang
ada, kegunaan sistem menjadi perhatian utama untuk tetap atau tidak untuk terus
menggunakan sistem. Pengguna adalah kunci sukses atau gagalnya sistem yang
diterapkan. Karena sebaik apapun sistem atau program yang dijalankan tidak akan
berjalan dengan baik tanpa dukungan pengguna. Jika suatu sistem dianggap terlalu sulit
untuk dijalankan atau menghambat pekerjaan mereka maka sistem tersebut tidak akan
digunakan dan pada akhirnya akan sia-sia dan tidak berguna (Dewi & Sunariani, 2022).
Meskipun penggunaan telemedicine dapat memberikan manfaat terutama bagi
ketersediaan pelayanan kesehatan saat ini, namun ada beberapa masalah hukum yang
berpotensi muncul. Permasalahan pertama adalah mengenai pembatasan praktik
kedokteran melalui telemedicine yang belum memiliki landasan hukum yang jelas.
Peraturan tentang telemedicine di Indonesia yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas
Pelayanan Kesehatan belum mengatur praktik telemedicine dalam bentuk telekonsultasi
klinis antara pemberi pelayanan kesehatan dengan pengguna layanan kesehatan (dalam
hal ini pasien) sehingga dapat menjadi celah hukum (Ramadhany, 2021). Permasalahan
berikutnya adalah risiko kebocoran data dan privasi baik data pasien maupun data
penyedia layanan kesehatan. Memang dalam praktik telemedicine dimana data yang
dihasilkan bersifat rahasia dan mengandung unsur rekam medis, maka sangat penting
untuk diperhatikan terkait kebocoran data, disamping regulasi yang mengatur mengenai
praktik kedokteran melalui telemedicine itu sendiri. Permasalahan lainnya adalah terkait
kompetensi, akreditasi, privasi dan kerahasiaan rekam medis elektronik pasien, tanggung
gugat bila terjadi malpraktik, pedoman klinis, dan hal terkait pembiayaan/jaminan
kesehatan. Berbagai hal tersebut belum sepenuhnya diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia (Ramadhany, 2021).
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Permenkes Pelayanan Kesehatan Telemedicine Antar
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, terdapat perbedaan konsep pelayanan kesehatan yang

120
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

diatur dalam Permenkes ini dengan pelayanan kesehatan berbasis online yang saat ini
sedang dikembangkan. Permenkes ini mengatur telemedicine antar fasilitas pelayanan
kesehatan, namun pada kenyataannya pelayanan kesehatan berbasis online saat ini
dilakukan langsung oleh pasien dengan dokter yang telah memiliki izin praktik dan
teregistrasi menggunakan platform pelayanan kesehatan online (Yoga, 2018). Permenkes
ini tidak mengatur tentang pelayanan kesehatan yang dilakukan secara langsung oleh
masyarakat dan dokter dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan berbasis online serta
tidak mengatur mengenai ketentuan perizinan pelayanan kesehatan berbasis online yang
sedang berkembang dan banyak digunakan oleh masyarakat luas (Ayu, 2022).
Keberadaan pelayanan kesehatan berbasis online ini memberikan dampak positif
di bidang kesehatan. Disatu sisi memudahkan pemberian pelayanan kesehatan kepada
masyarakat tidak dibatasi oleh jarak dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di
Indonesia, namun perkembangan inovasi di bidang kesehatan tidak diimbangi dengan
perkembangan hukum dalam bidang kesehatan. Daeng M. Faqih Ketua Umum Pengurus
Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada
regulasi yang secara khusus mengatur bagaimana hubungan antara penyedia layanan
dengan pengguna (pasien) yang berkonsultasi secara online (Hadyan, 2019). Demikian
pula dengan pengaturan mengenai perizinan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
berbasis online sampai saat ini masih belum jelas. Bahkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang notabene
mengubah aturan terkait perizinan pelayanan kesehatan berbasis online masih belum
diatur secara jelas. Kedudukan hukum pelayanan kesehatan berbasis online dalam
hukum kesehatan nasional saat ini masih belum jelas dan belum diatur secara
komprehensif, bahkan di dalam UU Kesehatan saat ini tidak ditemukan pengaturan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan berbasis online (Ayu, 2022).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang kesehatan di
Indonesia saat ini belum berjalan sesuai dengan regulasi yang ada. Dengan semakin
banyaknya tuntutan malpraktik, regulasi yang belum jelas akan membahayakan posisi
dokter dalam telemedicine. Regulasi yang mengatur mengenai tanggung jawab dokter
pada praktik telemedicine diperlukan meskipun layanan kesehatan dilakukan secara
online. Selain itu, dalam praktiknya sebaiknya dokter hanya melakukan layanan
preventif dan promotif tanpa kuratif sebelum mendapat dukungan dari teknologi
kesehatan yang dapat menggantikan atau setidaknya mendekati pemeriksaan fisik atau
penunjang jarak jauh (Septian, 2022). Meskipun pada kenyataan di lapangan layanan
kuratif banyak dilakukan yaitu dengan peresepan online (online prescribing). Dalam hal
ini, dokter melakukan pemeriksaan kepada pasien hanya dengan anamnesis (tanya
jawab) tanpa melakukan pemeriksaan fisik kemudian memberikan resep secara online
sesuai dengan keluhan pasien. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat hingga saat
ini belum berkembang teknologi kesehatan yang mendukung pemeriksaan fisik dan
penunjang jarak jauh di Indonesia. Sehingga perbedaan diagnosis ataupun kesalahan
diagnosis dapat terjadi (Budiyanti, Rani Tiyas, 2021).
Saat ini Indonesia masih belum memiliki peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara eksplisit mengenai layanan telemedicine. Pengaturan mengenai layanan
telemedicine sejauh ini hanya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20
Tahun 2019, dimana sejatinya didalam peraturan menteri tersebut hanya hanya
memberikan gambaran secara umum tentang telemedicine dan juga dapat dikatakan tidak
mengikuti perkembangan layanan telemedicine yang kian waktu makin berkembang
dengan pesat, padahal sangat banyak kemungkinan untuk terjadi kesalahan dan kelalaian
yang dapat terjadi dalam praktik penyelenggaraan telemedicine. Berbagai kemudahan
yang diberikan oleh layanan telemedicine bagi masyarakat sejatinya masih dapat

121
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

dikatakan tidak sepenuhnya memberi kemudahan dalam berbagai hal, salah satunya
adalah dalam poin pemahaman mengenai perlindungan hukum (Machrus & Budiarsih,
2022).
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai beberapa bentuk langkah demi
mendapatkan perlindungan hukum bagi pasien bilamana mengalami kerugian yang
disebabkan karena kesalahan dokter. Namun langkah-langkah tersebut sejatinya lebih
tepat dilaksanakan bilamana berkaitan dengan pelayanan kedokteran konvensional,
mengingat aspek-aspek layanan telemedicine memiliki banyak perbedaan dengan
layanan kedokteran konvensional (Machrus & Budiarsih, 2022). Maka dalam hal ini
pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara eksplisit dan
mendetail mengenai pelaksanaan telemedicine secara menyeluruh sangat diperlukan,
sehingga tidak terjadi suatu kekosongan norma yang dapat membingungkan masyarakat
(Machrus & Budiarsih, 2022). Walaupun dalam pelayanan kesehatan berbasis online ini
memiliki kontrak terapeutik yang memunculkan hak dan kewajiban masing-masing
pihak, tapi adakalanya pula muncul pertanyaan, siapakah yang akan bertanggung jawab
jika terjadi kesalahan yang merugikan pasien seperti kesalahan diagnosis ataupun
kesalahan terapi. Apakah hal tersebut akan ditanggung oleh penyedia layanan konsultasi
kesehatan online ataukah ditanggung secara mandiri oleh dokter pelaksana? (Sulaiman
et al., 2022).
Namun sebaiknya perlu diprioritaskan agar pihak yang dirugikan dalam hal ini
pasien, memiliki kepentingan yang harus lebih dahulu diutamakan, maka untuk
membantu kelancaran proses peradilan, hukum yang berlaku adalah hukum dimana
pasien bertempat tinggal. Atau jika tidak ditentukan, maka dapat diselesaikan berdasar
pada asas hukum internasional. Pembagian beban tanggung jawab bilamana terbukti
dokter melakukan malpraktik adalah dapat dilihat dari dua hal, pertama berdasarkan
seberapa besar letak kesalahan yang dibuat oleh dokter. Dalam pengertian ini, jika
kesalahan pada dokter ahli yang memberikan nasehat maka dokter yang melaksanakan
nasehat dapat mungkin dikurangi beban untuk menanggung kesalahan tersebut. Kedua,
berdasarkan pada pihak mana yang menerima kontribusi yang paling besar atas
penerimaan pembayaran jasa. Dokter yang menerima pembayaran jasa yang lebih besar
sebagai konsekuensinya juga harus bersedia untuk mau memikul tanggung jawab yang
lebih besar termasuk tanggung jawab hukum jika terjadi kesalahan malpraktik (Afandi
et al., 2021).
Dari perspektif substansi hukum, Mangesti mengatakan bahwa diperlukannya
suatu regulasi baru setara dengan Undang-Undang (lex specialis) yang isinya mengatur
secara khusus tentang telemedicine (Mangesti, 2019). Becker et al, juga menguraikan
bahwa diperlukannya organisasi profesi agar dapat meningkatkan sumber daya yang
tersedia untuk mendukung pengembangan telemedicine termasuk adanya kebijakan serta
edukasi panduan untuk telemedicine yang mudah diakses agar menjadi bagian dari
kurikulum pendidikan kedokteran maupun keperawatan, baik di tingkat sarjana hingga
pascasarjana serta tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan dan memperbaharui
informasi tentang perkembangan peraturan dalam telemedicine (Ramadhany, 2021).
Belajar dari pengalaman beberapa negara, diketahui bahwa Malaysia telah
membuat Undang-Undang tentang Telemedicine dengan nama Telemedicine Act 1997.
India juga telah memiliki Undang-Undang tentang Telemedicine dengan nama
Telemedicine Act 2003. Sementara itu di Negara Bagian California Amerika Serikat
berdasarkan persetujuan Gubernur California Brown pada tanggal 7 Oktober 2011, Senat
telah mengesahkan Telehealth Advancement Act of 2011 untuk menggantikan
Telemedicine Development Act of 1996 (Alfiko, 2022).

122
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

Melihat laju perkembangan telemedicine di berbagai negara, Indonesia sendiri


memiliki potensi yang cerah dalam menerapkan telemedicine. Semakin luas dan
meratanya cakupan layanan internet yang dapat dijangkau oleh semua orang diberbagai
penjuru pulau, disertai dengan harga teknologi informasi yang trendnya semakin
terjangkau menjadi sebuah harapan dalam pengembangan teknologi telemedicine ini.
Tentu diperlukan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan anggaran serta pembuatan
payung hukum yang jelas, karena ini merupakan sesuatu yang bukan lagi perlu, tapi
sudah mendesak (Marsis, 2018).
Pada dasarnya telemedicine bukanlah sebuah alat, melainkan sebuah proses yang
meliputi berbagai hal. Sehingga ketika ingin menerapkan telemedicine di Indonesia,
maka banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Keberadaan dari teknologi
telemedicine saja, belum tentu menjamin “proses” ini bisa berjalan dengan baik.
Teknologinya ada, tapi sumber daya manusia belum siap hanya akan menjadikan
telemedicine menjadi barang bisu. Teknologinya tersedia, manusianya siap, tapi kalau
instansi dan organisasinya tidak siap, telemedicine juga tetap tidak bisa berkembang. Dan
yang terakhir, apabila semua yang di atas sudah siap, tapi tidak ada payung hukum yang
jelas dan tidak menjadikan hal ini sebagai sebuah agenda politik bagi pemerintah,
telemedicine tetap tidak bisa berkembang. Meski telah menjanjikan suatu perubahan
yang besar dalam pelayanan kesehatan, tapi perlu diketahui bahwa pengembangan
telemedicine tidak semudah membalikkan telapak tangan (Marsis, 2018).
Perlu di ingat bahwa, saat ini kita tidak sedang apriori terhadap perkembangan
zaman dan teknologi. Platfrom atau aplikasi pelayanan kesehatan berbasis online
merupakan sebuah bentuk dari telemedicine, yang keberadaannya harus kita dukung.
Akan tetapi, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, telemedicine merupakan sebuah
proses, bukan perangkat teknologi. Jadi, jangan lupakan bagian-bagian lain dari
telemedicine, yaitu sumber daya manusia yang kompeten, aspek etik medikolegal, dan
kebijakan politik pemerintah. Realita yang ada saat ini, aspek teknologi dari telemedicine
justru malah jalan sendiri tanpa disertai perangkat-perangkat yang lain. Itulah mengapa
saat ini aplikasi online seolah menjadi makhluk yang pincang karena belum didukung
oleh kebijakan pemerintah, dan menjadi makhluk yang buta karena tidak dibekali etik
dan medikolegal yang sebagaimana mestinya. Ditegaskan sekali lagi, bahwa ini bukan
sebuah apriori, ataupun ketakutan dari dokter konvensional yang akan bangkrut. Tapi,
kesehatan bukanlah sebuah mainan yang bisa seenaknya diklik-klik geser di sebuah
monitor smartphone kita, tetapi justru dengan maraknya pelayanan kesehatan berbasis
aplikasi online ini menjadi alarm bagi kita semua, baik praktisi kesehatan maupun
pemerintah untuk dapat sesegera mungkin untuk berbenah (Marsis, 2018).
Namun, disamping adanya berbagai macam konsekuensi dan kekosongan
kepastian hukum tersebut, perlu untuk kita pertimbangkan kembali secara holistik bahwa
tujuan diciptakannya hukum itu sendiri tidak hanya untuk kepastian, namun juga dalam
mewujudkan keadilan dan kemanfaatan. Hal ini pun sesuai dengan apa yang menjadi
gagasan Satjipto Rahardjo mengenai hukum progresif dimana hukum diciptakan untuk
manusia, bukan sebaliknya, manusia diciptakan untuk hukum (Ramadhany, 2021), serta
gagasan dari Jeremy Bentham mengenai konsep kemanfaatan yang mengatakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang memberikan lebih banyak kemanfaatan (Mochtar
& Hiariej, 2021).

123
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

KESIMPULAN

Telemedicine merupakan pemanfaatan teknologi dan informasi pada pelaksanaan layanan


kesehatan yang memberikan kemudahan dan kemanfaatan kepada masyarakat khususnya
pada daerah terpencil sehingga masyarakat tetap mendapatkan hak pelayanan dasar
dibidang kesehatan. Pelaksanaan pelayanan telemedicine di Indonesia sendiri memiliki
konsep yang telah diatur seacara hukum bahwa pelayanan tersebut hanya boleh dilakukan
oleh antar fasilitas pelayanan kesehatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan
ini belum mengatur secara konkret untuk memberikan landasan legalitas atas pelayanan
yang diberikan dari dokter ke pasien atau masyarakat secara langsung, padahal
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil sangat terbatas. Untuk itu,
konseptualisasi pelayanan telemedicine dapat diperluas bukan saja pada antar fasilitas
pelayanan kesehatan. Namun juga, bisa dilakukan oleh antara dokter kepada pasien
dengan alasan kemanfaatan bagi masyarakat khususnya di daerah terpencil yang memiliki
keterbatasan fasilitas layanan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, H. A., Suharto, G., Utomo, U., & Machroes, B. H. (2021). Peran Telemedicine
Di Masa Pandemi Covid 19. Journal of Indonesian Forensic and Legal Medicine,
3(1).
Alfiko, A. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Layanan Jasa Konsultasi
Dokter Di Aplikasi Halodoc Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi
Kasus Di Aplikasi Halodoc). Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung.
Ayu, E. P. (2022). Pengaturan Perizinan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Berbasis
Online Di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Budiyanti, Rani Tiyas, P. M. H. (2021). Perlindungan Hukum Pasien Dalam Layanan
Konsultasi Kesehatan Online. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 01(01).
Dewi, M. S., & Sunariani, N. N. (2022). Adopsi Telemedicine Di Era New Normal. E-
Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana, 11(02).
Fachrezi, F. B., & Wibowo, P. (2020). Upaya Pemenuhan Hak Pelayanan Kesehatan
Kepada Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan. Widya Yuridika, 3(2).
Hadyan, R. (2019). Layanan Kesehatan Online Makin Marak, Regulasi Belum Memadai.
Diakses Melalui https://lifestyle.bisnis.com/read/20191210/106/1179891/layanan-
kesehatan-online-makin-marak-regulasi-belum-memadai. (diakses pada 24 November
2022, Pukul 08.30 WIB).
Hanifah, M. (2020). Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Pada Aplikasi
Halodoc Sebagai Telemedicine Check Covid-19 Dalam Upaya Preventif Penyebaran
Virus Corona Di Sleman Yogyakarta. Naskah Publikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi
Dan Multimedia Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Irfan, F. (2022). Kemenkes Sediakan Layanan Telemedisine Dan Obat Gratis. Diakses
melalui https://pmi.or.id/02/02/2022/artikel/kemenkes-sediakan-layanan-
telemedisine-dan-obat-gratis/#:~:text=Saat ini Kemenkes telah
bekerja,Trustmedis%2C Vascular Indonesia%2C YesDok. (diakses pada 23
November 2022, Pukul 19.30 WIB)
Jannati, A. S. R. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Pasien Dalam Pelayanan
Telemedicine Di Indonesia. Jurnal Juristic, 03(02).
Kementerian PPN/Bappenas. (2019). Kajian Sektor Kesehatan Penguatan Sistem
Pelayanan Kesehatan.
Kuntardjo, C. (2020). Dimensi Etik dan Hukum Telemedisin di Indonesia : Cukupkah

124
Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3 No.2 (2022)

Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 Sebagai Bingkai Praktik Telemedisin di


Indonesia. Soepra, 6(1).
Machrus, B. R. I. Al, & Budiarsih. (2022). Perlindungan Hukum Pasien Telemedicine
Atas Kesalahan Dokter. Sosialita, 1(1).
Mangesti, Y. A. (2019). Konstruksi Hukum Transformasi Digital Telemedicine di Bidang
Industri Kesehatan Berbasis Nilai Pancasila. Prosiding Seminar Nasional Hukum
Transendental 2019 Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Marsis, I. O. (2018). TELEMEDISIN: Rekomendasi Ikatan Doter Indonesia untuk Masa
Depan Digitalisasi Kesehatan di Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia.
Mochtar, Z. A., & Hiariej, E. O. (2021). Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah,
Teori, Asas dan Filsafat Hukum.
Purbaningsih, E., & Hariyanti, T. S. (2020). Pemanfaatan Sistem Telehealth Berbasis
Web Pada Ibu Hamil : Kajian Literatur. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesia,
10(04).
Ramadhany, C. (2021). Tinjauan Yuridis Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine
Dalam Kondisi Pandemi Covid-19. Dinamika Hukum, 12(1).
Ramanda, A. T. H., Hernoko, A. Y., & Chomariyah. (2021). Tanggung Jawab Hukum
Dokter Terhadap Konsultasi Via Online Apabila Pasien Mengalami Kerugian.
Yustisia Merdeka : Jurnal Ilmiah Hukum, 7(1).
Saputri, B. (2022). Tinjauan Hukum Terhadap Platform Halodoc Atas Diagnosis Virtual
Terhadap Pasien.
Saputro, A. R., Gusnadi, A. M., Zanah, Z., & Simatupang, J. W. (2021). Tantangan
Konektivitas dan Aksesibilitas Dalam Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Berbasis Telemedicine di Indonesia: Sebuah Tinjauan. Journal of Industrial
Engineering Scientific Journal on Research and Application of Industrial System,
6(1).
Septian, E. D. (2022). Kewajiban BPJS Kesehatan dalam Pemberian Pelayanan
Telekonsultasi Klinis yang Dilakukan Antara Dokter dan Pasien BPJS. Verdict:
Journal of Law Science, 1(1).
Sulaiman, E., Handayani, T., & Mulyana, A. (2022). Juridical Study of Telemedicine
Consulting Services in Indonesia. Soepra, 7(2).
Wicaksono, A. S., & Setianto, B. (2022). Layanan Telemedicine Rumah Sakit Islam
Surabaya sebagai Upaya dalam Menurunkan Kasus Covid 19. To Maega : Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 5(2).
Yoga, I. G. P. (2018). Pertanggungjawaban Hukum Konsultasi Pelayanan Kesehatan
Berbasis Online. Kerta Dyatmika, 15(2).
Yuliana, N. L. D., & Bagiastra, I. N. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Yang
Menderita Kerugian Akibat Salah Mendiagnosis Dalam Layanan Kesehatan Online.
Jurnal Kertha Wicara, 10(8).

125

Anda mungkin juga menyukai