Kaidah Ushul Fiqih
Kaidah Ushul Fiqih
Kaidah Ushul Fiqih
KAIDAH-KAIDAH
PELAJARAN 4
USHUL FIQIH
Menjelaskan macam-macam kaidah Ushul Fiqih dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
TANBIH
) َفِإْن َلْم َتْفَع ُلوا َفْأَذُنوا ِبَح ْر ٍب ِم َن ِهَّللا َو َر ُس وِلِه َو ِإْن ُتْبُتْم َفَلُك ْم ُرُءوُس َأْم َو اِلُك ْم اَل َتْظ ِلُم وَن َو اَل278( َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو َذ ُروا َم ا َبِقَي ِم َن الِّر َبا ِإْن ُكْنُتْم ُم ْؤ ِمِنيَن
ُتْظ َلُم ون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S al Baqoroh /2:278-279)
IFTITAH
Seorang mujtahid harus memahami nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbagai bentuk ungkapan
hukum di dalamnya harus dikuasainya. Untuk itu ia dituntut untuk menguasai gramatika bahasa
Arab dan semestinya memahami maqasid syariahnya (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian dia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak terdapat
dalam nash adalah perintah dan larangan ( َ ) ْاَالْم ُر َو الَّن ِه يtetapi dalam konteks kalimat tertentu
bentuk itu tidak selalu berarti berlaku hukum halal dan haram. Maka disinilah pentingnya kita
memahami materi amar dan Nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum / ‘am, tidak
terikat / mutlaq, dan global / muradif. Tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas
maknanya, tegas, dan terbatas. Kata-kata itu dalam ilmu ushul fiqih disebut khash, muqayyad,
dan musytarak. Kita perlu mempelajari lebih cermat agar dapat menentukan dengan tepat kata-
kata tersebut. Begitu juga kita sering menemui ungkapan-ungkapan yang dapat kita pahami
secara tersurat dan tersirat. Yang tersirat inilah yang membutuhkan kecerdasan emosional untuk
memahami secara benar. Dalam ilmu ushul fiqih inilah yang disebut mantuq dan mafhum.
Di akhir materi, kita akan belajar tentang nasikh dan mansukh. Untuk lebih memahami semuanya,
simaklah dengan sekasama materi berikut ini.
“Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih
rendah.”
Contoh :
َو َأِقيُم وا الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َكاَة َو اْر َكُعوا َم َع الَّراِكِع يَن
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS
Al-Baqarah/2 : 43)
Contoh :
َو ْلَتُكْن ِم ْنُك ْم ُأَّم ٌة َيْدُع وَن ِإَلى اْلَخْيِر َو َيْأُم ُروَن ِباْلَم ْعُروِف َو َيْنَهْو َن َع ِن اْلُم ْنَك ِر َو ُأوَلِئَك ُهُم اْلُم ْفِلُحوَن
“Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar.…” (QS : Ali Imron /3: 104)
Contoh :
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َع َلْيُك ْم َأْنُفَس ُك ْم اَل َيُضُّر ُك ْم َم ْن َض َّل ِإَذ ا اْهَتَدْيُتْم
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu Telah mendapat petunjuk… (Q.S. Maidah /5:105)
Contoh :
“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah.” (QS Al-Baqarah/2 : 83)
Contoh :
Contoh :
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah/2 : 183)
Kecuali jika ada qarinah yang dapat mengalihkan lafadz Amar itu dari arti wajib kepada arti yang
lain, maka hendaklah dialihkan kepada arti lain sesuai yang dikehendaki oleh qarinah tersebut,
antara lain sebagai berikut :
Contoh :
َو اَّلِذ يَن َيْبَتُغ وَن اْلِكَتاَب ِمَّم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم َفَكاِتُبوُهْم ِإْن َعِلْم ُتْم ِفيِهْم َخ ْيًر ا
“Maka hendaklah kamu buat perjanjian mukatabah dengan mereka bila kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka.” (QS an-Nur/24 : 33)
Contoh :
…َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا َتَداَيْنُتْم ِبَدْيٍن ِإَلى َأَجٍل ُمَس ًّمى َفاْكُتُبوُه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang sampai masa yang ditetapkan,
hendaklah kamu menulisnya.” (QS-Al-Baqarah/2 : 282)
Contoh :
َر َّبَنا آِتَنا ِفي الُّد ْنَيا َحَس َنًة َوِفي اآْل ِخَرِة َح َس َنًة َوِقَنا َع َذ اَب الَّناِر
“Wahai Tuhan kami, Berilah kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat.” (QS Al-Baqarah/2 :
201)
Contoh :
Contoh :
Contoh :
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Qur’an itu.” (QS Al-Baqarah/2 : 23)
Contoh :
“Masuklah ke dalamnya (syurga) dengan sejahtera dan aman” (QS AL-Hijr /15: 46)
h) Tafwidl ( ) التفويضartinya menyerah
Contoh :
Contoh :
“Katakanlah (kepada mereka)! Matilah kamu karena kemarahanmu itu” (QS Ali Imran/3 : 119)
Contoh :
َم ْن َشاَء َفْلَيْبَخ ْل َو َم ْن َشاَء َفلَيِج ْد َكَفاِنى َنَذ اُك ْم َع ْن َجِم ْيِع الِخ َطاِب
“Barang siapa kikir, kikirlah, siapa mau bermurah hati, perbuatlah. Pemberian Tuhan mencukupi
kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada raja)
Contoh :
“Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu sama
saja bagimu.” (QS Thaha/20 : 16)
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”
Misalnya :
!¬ qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur
#(
“Dan sempurnakanlah ibadah Haji dan Umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)
Perintah haji dan Umrah tidak wajib dikerjakan berulang kali, tetapi cukup sekali saja, karena
suruhan itu hanya menuntut kita untuk melaksanakannya.
“Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi
masih ada kesanggupan selama hidup.”
Misalnya :
“Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir” (QS Al-Isra’ /17: 78)
3) Kaidah Ketiga
Misalnya, perintah mendirikan shalat berarti perintah untuk berwudhu, karena wudhu merupakan
salah satu syarat sahnya shalat.
4) Kaidah Keempat
Misalnya :
&yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D
÷rr& 4n?tã 9xÿy
×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé
`
“Barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah
mengqadha puasa itu pada hari yang lain.” (QS Al-Baqarah/2 : 184)
Puasa Ramadhan yang ditinggalkan itu boleh ditunda mengerjakannya, asal tidak melalaikan
pekerjaan itu dan sebelum masuk Ramadhan berikutnya.
5) Kaidah Kelima
Misalnya :
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR Muslim)
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS Al-Maidah/5 : 2)
Berdasarkan dua uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya
mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah ibadah haji.
2. NAHI ( ) الَّن ِه ي
a. Pengertian Nahi (larangan)
Istilah :
1) Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiyah” / lam nahi = janganlah
“Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil.” (QS Al-Baqarah/2 : 188)
Misalnya :
َذ ْر، َد ْع، َنَهى، ُاْتُر ْك، ِاْح َذ ْر، َح َّر َم
ôMtBÌhãm
öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur
“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu.” (Qs An-Nisa’ /4: 23)
Ðan dilarang dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS An-Nahl/16 :90)
1) Kaidah Pertama
Misalnya :
wur (#qç/tø)s?
#oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y
“Dan janganlah kau mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan
sejelek-jeleknya jalan.” (QS Al-Isra’/4 : 32)
Kecuali ada petunjuk lain yang memalingkan dari arti haram ke arti lain,misalnya:
a) Karahah الكراهة
Misalnya :
“Janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan unta.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)
Larangan dalam hadits ini tidak menunjukkan haram, tetapi hanya makruh saja, karena
tempatnya kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’ sebab terganggu oleh
unta.
b) Do’aالدعاء
Misalnya :
“Ya Tuhan Kami, Janganlah Engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah Engkau
beri petunjuk kepada kami.” QS Ali Imran /3: 8)
Misalnya :
@pkr’¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n$
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan memberatkan kamu.” (Qs Al-Maidah/5 : 101)
Larangan di atas hanya merupakan pelajaran, agar jangan menanyakan sesuatu yang akan
memberatkan diri kita sendiri.
Misalnya :
w ¨b£ßJs? y7øt^øtã 4n<Î) $tB $uZ÷èGtB ÿ¾ÏmÎ/ $[_ºurør& óOßg÷YÏiB
“Dan janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah
kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir)” (QS Al-Hijr/15 :
88)
Misalnya :
“Dan janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari kiamat)” (QS At-Tahrim /66: 7)
Misalnya :
Misalnya :
( w ÷btøtrB cÎ)
©!$# $oYyètB
“Janganlah engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah SWTbersama kita.” (QS At-Taubah/9 :
40)
2) Kaidah Kedua
اَالْص ُل ِفى الَنْهِي الُم ْط َلْق َيْقَتِض ى الِتْك َر اَر ى ِفى َجِم ْيِع اَالْز ِم َنِة
“Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”
Apabila larangan itu tidak dikaitkan dengan batasan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti
disuruh untuk meninggalkan selamanya, tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu, maka
larangan itu berlaku bila ada sebab saja.
Misalnya :
w (#qç/tø)s?
no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß
“Janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (QS an-Nisa’ /4: 43)
3) Kaidah Ketiga
“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
Misalnya :
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan berlagak sombong.” (QS Luqman/31 : 18)
Larangan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan
dengan sikap sopan.
4) Kaidah Keempat
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun
mu’amalah).”
Misalnya :
Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas. Jual beli binatang yang masih dalam
kandungan. Hal ini tidak sah dan dilarang oleh syara’.
1. ‘AM DAN KHAS ( )الَع اُم َو الَخ اًص
Al ‘Am ( ) الَع اُمsecara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul
Fiqih :
Contoh :
“Dialah yang menjadikan segala apa yang ada di bumi untuk kamu” (QS Al-Baqarah/2 : 29)
“Dan Allah SWTmenghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah/2 : 275)
Lafadz al bai’a (jual beli) dan ar riba (riba) keduanya disebut lafadz ‘am, karena isim mufrad yang
dita’rifkan dengan “al jinsiyyah”.
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS
Ibrahim/14 : 34)
tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0
#\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r&
Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt $!
Contoh :
%àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “
Lafadz aulad adalah lafadz jama’ yang diidhafahkan dengan lafadz kum sehingga menjadi ma’rifat.
Oleh karena itu lafadz tersebut dikategorikan lafadz ‘am.
Misalnya :
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS
Al-Baqarah/2 : 234)
6) Isim-isim syarat, seperti man (barang siapa), maa ( apa saja), ayyumaa (yang mana saja).
“Jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu, seorangpun tidak dapat membela
orang lain, walau sedikitpun.” (QS Al-Baqarah/2 : 48)
Kalimat “nafsun” = seorangpun, yang jatuh sesudah nafi’ (laa = tidak) yakni tidak tertentu, dan
ditunjukkan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
8) Isim Istifham, ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana) dan mata (kapan).
Misalnya :
a). =منsiapa
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah SWTdengan piutang yang baik?” (QS Al-Baqarah/2 :
245)
b). = َماapa
“Siapakah diantara kamu yang bisa membawa kursi tahta kerajaan (Bulqis) di hadapanku sebelum
mereka datang menyerahkan diri kepadaku?” (QS An-Naml/16 : 38)
َم َتى َنْص ُر ِهللا َاَال ِاَّن َنْص َر ِهللا َقِر ْيٌب
“Kapan datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah SWTitu sangat
dekat.” (QS Al-Baqarah/2 : 215)
c. Kaidah ‘Am
Artinya : “Keumuman ‘am itu bersifat menyeluruh sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat
mengganti / mewakili.”
Ulama ushul fiqih membedakan antara lafadz ‘am dan lafadz mutlaq. Lafadz ‘am dapat mencakup
semua satuan sekaligus, sedangkan mutlaq hanya dapat diterapkan kepada salah satu dari
beberapa, yaitu sesuatu yang menonjol diantara satuan itu.
Dari segi bahasa khash berarti tertentu atau khusus. Sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
الَخ ُّص ُهَو الَلْفُظ الِذ ى َيُدُّل َع َلى َم ْع ًنا َو اِح ًدا
Makna satu tertentu itu bisa menunjukkan perorangan, seperti Ibrahim, atau menunjukkan satu
jenis, seperti Laki-laki atau menunjukkan bilangan, seperti dua belas, lima belas, sebuah
masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dll.
b. Pembagian takhsis
Dalil yang mengecualikan dalil ‘am (takhsisi) ada dua macam : 1) Takhsis muttasil
(bersambung), 2) takhsis munfasil (terputus /terpisah)
adalah dalil pengecualian yang tidak berdiri sendiri, antara mukhasshish dan yang di takhsis
disebut secara beriringan dalam satu nash/teks. Yang dapat dibedakan menjadi :
(1) Takhsis dengan istisna االستثناءatau kecuali seperti firman Allah SWT :
ÎóÇyèø9$#ur
ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å”s9 Aô£äz
ÇËÈ
Artinya :
“ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itujika para suami menghendaki
perdamaian“
Kalimat jika mereka (para suami) menghendaki ishlah adalah syarat. Jadi, apabila rujuk itu tanpa
maksud ingin hidup dengan damai dalam rumah tangga tidak diperbolehkan.
(3) Takhshis ghayah atau ‘hingga batas’, baik waktu maupun tempat, ghayah itu ada dua
macam, yaitu hatta (sehingga) dan ilaa (sampai).
wur £`èdqç/tø)s?
4Ó®Lym tbößgôÜt
Artinya : “ Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci “. (QS Al-Baqarah
/2:222)
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku “(QS. Al-Maidah/5 :6)
adalah mukhashis dan yang di takhsis terpisah, tidak dalam satu kalimat.
a. Al hiss (indera)
)٢٣( ِإِّني َو َج ْدُت اْمَر َأًة َتْمِلُك ُهْم َو ُأوِتَيْت ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َو َلَها َعْر ٌش َع ِظ يٌم
23. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. An naml: 23
Indera manusia tidak mungkin diberi yang namanya segala sesuatu, pastilah segala sesuatu ini
sesuatu yang terbatas.
b. akal
)١٠٢( …ُهَو َخاِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء َفاْع ُبُدوُه َو ُهَو َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َوِكيٌل
…dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu.
Al an’am: 102
Secara akal segala sesuatu di sini kecuali dzat Allah sendiri
c. Nash
1. Ayat Al-Qur’an ditakhsis dengan ayat Al-Qur’an seperti firman Allah SWT :
%àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “
(QS. Al-Baqarah/2 ; 228)
Ayat ini memberikan pengertian umum, meliputi wanita-wanita yang dicerai kemudian
dikecualikan (ditakhsis) bagi wanita-wanita yang sedang hamil dengan firman Allah SWT :
Artinya :
“ Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya “. (QS Ath-Thalaq/65:4)
Ayat ‘am diatas disamping ditakhis dengan surah Ath-Thalaq :4, juga ditakhsis dengan surah Al-
Baqarah : 234 tentang wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya dan ditakhsis dengan surah Al-
Ahzab :49 tentang wanita yang dicerai suaminya yang belum mengadakan hubungan kelamin.
“ Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-
laki denga dua bagian anak perempuan ” (QS. An-Nisa’ /4: 11)
Ayat diatas memberi pengertian umm, baik anak msuslim maupun yang bukan muslim. Ayat ini
kemudian ditkhsis dengan hadits Nabi SAW :
) (َاْلُم َخَّصُص ) َال َيِر ُث اْلُم ْس ِلُم ْالَكاِفَر َو َال اْلَكاِفَر اْلُم ْس ِلُم (رواه البخري ومسلم
Artinya :
“Orang Islam tidak menerima waris dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima waris dengan
orang Islam “ (HR. Bukhari Muslim)
Laki-laki yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dan tidak bisa mendatangkan empat orang
saksi maka deralah mereka 80 kali ( annur: 4)
Ijma mentakhsis budak laki – laki penuduh di dera 40 kali separo laki-laki merdeka
Pezina wanita dan pezina laki-laki, deralah setiap salah satu dari keduanya 100 kali. Annur: 2
Qiyas mentakhsih bahwa budak laki-;ali atau budak perempuan deranya 50 kali.
) (العل) َالَيْقَبُل َهللا َص َالَة َاَحِد ُك ْم ِاَذ ا َاْح َد َث َح تَّي َيَتَو َّضاَء (رواه البخاري ومسلم
Artinya :
“ Allah tidak menerima shalat seseorang diantara kamu yang berhadas, sehingga dia berwudhu “ (
HR. Bukhori dan Muslim )
Artinya :
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak menemukan air maka tayamumlah dengan tanah
yang suci “ ( QS. An-Nisa’/4 : 43)
“ pertanian yang diairi hujan zakatnya sepersepuluh” ditkahsish dengan hadits “ yang kurang dari
5 wasaq tidak terkena zakat”
ãÌóstGsù
7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt
“Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.”
(QS Al-Mujadalah/58 : 3)
Lafadz budak dalam ayat tersebut adalah lafadz mutlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat
tertentu. Sehingga lafadz raqabatin itu mencakup keseluruhan budak, baik yang mukmin maupun
yang kafir.
Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang
terikat oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Contoh Muqayyad
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan
seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-
Nisa/4 : 92)
Pada ayat ini teradapat lafadz muqayyad yaitu : ُمْؤ ِم َن ُه َر َق َبٍةsehingga kalau seseorang membunuh
orang mukmin karena tersalah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin sebagai
kifaratnya. Kalau budaknya bukan orang mukmin maka kifarat itu tidak sah.
2. Hukum Lafadz Mutlaq
dan Muqayyad
Apabila dalam nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di
tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad, maka menurut Ulama’’ ada empat alternatif
pemecahannya :
ْل ْط
1) الُم َلُق ُيْح َمُل َع لَى ا ُم َقَّيِد ِاذا اَّتَفَق ا ِفي الَّسَبِب َو ْالُح ُك ِم
Artinya :
“Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Jika antara mutlaq dan muqayyad
sama dalam materi dan hukunya, maka hukum mutlaq disandarkan kepada muqayyad “
Berarti kalau keduanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukum, maka harus berpegang
pada muqayyad.
Contoh :
#$:ôMtBÌhãm
ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah, dan daging babi.” (QS. Al-Maidah /5: 3)
Lafadz (darah) disebut dengan lafadz (mutlaq), sementara pada ayat yang lain disebutkan dengan
lafadz muqayyad yaitu : (darah yang mengalir) sebagaimana firman Allah SWTsebagai berikut.
“Katakanlah, tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkannya bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau
darah yang mengalir atau daging babi.” (Qs Al-An’am/6 : 145)
Dengan melihat ketentuan di atas, maka yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad, karena
mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama darah dan juga hukumnya sama yaitu
haram. Sehingga yang dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145 karena lafadznya
yang muqayyad (darah yang mengalir). Dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145
karena lafadznya muqayyad (darah yang mengalir)
2) الُم ْط َلُق ُيْح َمُل َع لَى اْلُم َقَّيدِاِن اْح َتَلَف ا ِفي الَّسَبِب
Artinya :
Apabila terdapat nash yang demikian, yang mutlaq tidak boleh diikutkan pada yang muqayyad,
sementera Ulama’’ Syafi’iyah berpendapat sebaliknya yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad.
Contoh :
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàã
`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrßqãèt $yJÏ9 (#qä9$s% ãÌóstGsù
7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br&
$¢!$yJtFt 4
“Orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka wajib atas mereka memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu
bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 : 3)
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan
budak yang mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa’/4 :
92)
Masalah yang ada dalam dua ayat ini berbeda yaitu tentang dzihar dan pembunuhan tersalah.
Kifarat terhadap keduanya sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena itu, yang
dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik terhadap dzihar
maupun pembunuhan tersalah.
ْل ْط
3) الُم َلُق ُيْح َمُل َع لَى ا ُم َقَّي دِاَذ اْح َتَلَف ا ِفي َْالُح ُك ِم
Artinya :
“ Mutlaq itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya “
Sama sebabnya tetapi hukumnya berbeda, Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah berpegang pada yang
muqayyad, sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanabillah berpegang pada masing-masing yaitu
yang mutlaq tetap mutlaq dan muqayyad tetap muqayyad.
Contoh :
È,Ïù#tyJø9$#
)qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î#(
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah /5: 6)
Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah berpegang pada muqayyad, baik wudhu maupun
tayamum harus sampai siku. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk wudhu sampai
siku (muqayyad) dan untuk tayamum sampai pergelangan tangan (mutlaq).
4) الُم ْط َلُق ُيْح َمُل َع لَى اْلُم َقَّيد ِاِذ اْخ َتَلَف ا ِفي الَّسَبِب
Artinya :
Jika sebab dan hukumnya berbeda, maka mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa mutlaq tidak
boleh diikutkan dengan muqayyad. Artinya yang mutlaq tetap dan yang muqayyad sesuai dengan
muqayyadnya.
Contoh :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah kedua tangannya.” (QS Al-
Maidah/5 : 38)
È,Ïù#tyJø9$#
)qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î#(
“Maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
Karena sebab dan hukumnya berbeda, maka hendaklah dijalankan sesuai dengan hukum masing-
masing.
3. Kaidah yang
berhubungan dengan Mutlaq
dan Muqayyad
الُم ْطَلُق َيْبَقى َع َلى ِاْطَالِقِه َم ا َلْم َيُقْم َد ِلْيٌل َع َلى َتْقِيْيِدِه
Artinya : “Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang
membatasinya.”
الُم َقَّيُد َباٍق َع َلى َتْقِيْيِدِه َم ا َلْم َيُقْم َد ِلْيٌل َع َلى ِاْطَالِقِه
Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
1. Pengertian Mantuq
dan Mafhum
Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan
oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat.
Apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan bunyi dari dalil (ucapan dalil) maka yang
demikian itu dinamakan mantuq.
Contoh :
“Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Maidah/5 : 275)
Hukum jual beli itu halal dan riba itu haram. Langsung ditunjukkan secara jelas oleh lafadz ayat
tersebut.
Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak
ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz
tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil
berdasarkan pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum.
Contoh
“Janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan “cih”.” (QS Al-Isra’/17 :
23)
Secara mantuq ayat ini mengharamkan mengucapkan kata “cih” kepada kedua orang tua. Namun
bagaimana kalau memukul orang tua ? kita dapat memahami dari ayat tersebut, bahwa
mengucapkan kata “cih” saja yang begitu ringan diharamkan apalagi kalau sampai memukulnya,
tentu lebih berat. Tetapi hukum haram memukul orangtua tidak ditunjukkan oleh lafadz ayat,
melainkan ditunjukkan oleh pemahaman terhadap ayat tersebut.
2. Macam-Macam
Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1) Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkan hukum dari makna yang sejalan atau sepadan dengan
makna yang tersurat (mantuq) berarti sesuatu yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan
yang diucapkan.
Misalnya, khamr itu diharamkan karena memabukkan. Maka semua zat yang memabukkan itu
hukumnuya haram, mengucapkan kata “Cih” kepada kedua orangtua adalah haram, menurut
mafhumnya memukul kedua orangtua juga haram, karena keduanya mempunyai illat yang sama,
yaitu sama-sama memabukkan.
a) Fahwal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab
mengucapkan kata “cih” saja (lebih ringan dari memukul) juga diharamkan, apalagi memukul
kedua orangtua.
b) Lahnal khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya dengan
yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu hukumnya haram, sebab memakannya
juga dihukumi haram. Keduanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama merusak harta
anak yatim .
2) Mafhum Mukhalafah, yaitu menetapkan hukum kebaikan dari hukum mantuqnya yang tidak
diucapkan itu bertentangan/kebalikan dengan apa yang diucapkan baik dalam menetapkan hukum
maupun meniadakannya. Mafhum mukhalafah terdiri dari enam, macam :
c) Mafhum sifat, yaitu menetapkan hukum tentang sesuatu berlawanan dengan sifat yang
ditetapkan.
Misalnya :
ãÌóstGsù
7pt7s%u 7poYÏB÷sB
Membayar kifarat pembunuhan tersalah dengan memerdekakan budak yang mukmin, maka kalau
dengan hamba sahaya yang tidak mukmin (kafir) hukumnya tidak sah.
d) Mafhum syarat, yaitu menetapkan hukum atas suatu perkara dikaitkan dengan syarat.
Misalnya, suami boleh memakai sebagian dari mas kawin istrinya dengan penyerahan senang hati,
mafhumnya adalah apabila istri tidak menyerahkan dengan senang hati, hukumnya haram.
e) Mafhum ‘adad (bilangan), yaitu menetapkan hukum suatu perkara dikaitkan dengan
bilangan tertentu. Misalnya, orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina tidak dapat
menghadirkan empat saksi, maka terkena hukuman berupa didera delapan puluh kali. Mafhumnya
adalah apabila dapat menghadirkan empat orang saksi, maka tidak dihukum dera.
f) Mafhum Ghayah (batas), yaitu menetapkan suatu hukum dengan batasan tertentu dan
berlaku sebaliknya bila batasan tersebut dilampaui. Misalnya, makan dan minum pada bulan
Ramadhan dibatasi sampai terbitnya fajar. Mafhumnya adalah kalau melebihi waktu fajar maka
makan dan minum itu dilarang.
h) Mafhum Laqab, yaitu menetapkan hukum dikaitkan dengan isim alam, nama jenis dan
sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku sebaliknya. Misalnya, menukar emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, yang serupa (sifatnya) dan sama (jumlahnya) suka sama suka, dengan berat
jumlah sama maka bukan riba
Apabila penukaran barang yang sejenis itu tidak berarti diperbolehkan sama jumlahnya, maka
hukumnya riba, mafhumnya adalah selain yang enam jenis tersebut di atas hukumnya bukan riba.
3. Berhujjah dengan
Mafhum
Menjadikan mafhum sebagai dasar hukum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut :
k) Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan golongan Zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum
mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah/alasan.
Artinya : “Mafhum muwafaqah (makna tersirat yang sesuai) dapat dijadikan hukum.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa hasil dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan
hukum syariat dapat dijadikan pegangan hukum. Contohnya, keharaman berkata “ah” kepada
kedua orang tua. Maka menghardik, menghina, bahkan memukulnya juga diharamkan.
Contoh :
- Mujmal yang maksudnya harus ditentukan salah satu maknanyaterlebih dahulu. Yakni kata
quru’ karena memiliki dua arti yakni suci dan haid. Untuk menentukan maknanya memerlukan
ayat atau hadits yang menjelaskan arti ini.
]228 من اآلية:{َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِسِهَّن َثالَثَة ُقُروٍء } [البقرة
Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan maksudnya sejak semula atau setelah ada
penjelasan.
Contoh :
.ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ou|³tã
×’s#ÏB%x
“Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari
yang sempurna.” (QS Al-Baqarah : 196)
Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh),”ardlun”
(bumi), “samaun” (langit) adalah sangat jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.
2. Macam-Macam Bayan
“Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari
yang sempurna.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)
Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh) adalah sangat
jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.
Ayat ini sebagai bahan (penjelas) dari rangakaian kalimat sebelumnya tentang pengganti
denda/dam bagi orang yang melaksanakan haji tamattu’.
4) Bayan dengan perbuatan, misalnya penjelasan Nabi SAW dalam masalah shalat.
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat.” (HR Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan Rasulullah SAW.dengan perbuatan shalat dan sambil menyuruh orang
lain untuk menirukannya. Oleh karena itu, penjelasan semacam ini disebut “Bayan dengan
perbuatan”.
5) Bayan dengan isyarat, misalnya hadits Nabi, “ Aku dan orang yang menanggung anak yatim
seperti ini”. Rasulullah menunjukkan ibu jari dan jari tengah untuk menunjukka kedekatannya
para penyantun anak yatim.
6) Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan, seperti ketika Rasulullah SAW. menerangkan
tentang kewajiban haji di muka umum, kemudia ada salah seorang yang bertanya, apakah
kewajiban haji itu tiap-tiap tahun? Kemudian beliau diam tidak memberikan jawaban. Maka
diamnya Rasulullah SAW itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu tidak setiap tahun.
7) Bayan dengan meninggalkan perbuatan, seperti hadits riwayat Ibnu Hibban yang
artinya : “Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW adalah tidak berwudhu karena makan apa
yang dipanaskan oleh api.”
Hadits ini sebagai penjelaskan bahwa Nabi SAW tidak berwudhu setiap kali selesai makan daging
yang dimasak.
Contoh, perintah salat, puasa, zakat, dan haji. Semua dijelaskan secara bertahap dan mendetail.
Ia tidak langsung serta merta dijelaskan, tetapi penjelasannya diakhirkan. Dalam hal ini, yang
lebih dipentingkan adalah kejelasan dari suatu hukum, bukan kesegeraannya.
Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadznya banyak, sedang
artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
5. Pengertian Musytarak
musytarak ialah satu lafadz yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz
mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
12) َي ٌد :tangan secara keseluruhan, telapak tangan, lengan tangan
a.
ِاْيَقاُع ُك ٍّل ِم َن الُمَر اِد َفْيِن َم َك اَن االخِر َيُجْو ُز ِاَذ ا َلْم َيُقْم َع َلْيِه َطاِلٌع َشْر ِع ٌّي
Artinya: Mendudukkan dua muradit pada tempat yang lain (mempertukarkannya) itu
diperbolehkan jika tidak ada ketetapan syara’.
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun
kaidah ini tidak berlaku bagi Al-Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir
salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam syafi’I membolehkan dengan
lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti
dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi
(menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya
kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
b.
ِاْس ِتْع َم اُل الُم ْش َتَرِك ِفى َم ْعَنْيِه َاْو َم َع اِنِه َيُجْو ُز
Artinya : Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa
maknanya itu diperbolehkan.
Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafal musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna
musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan
kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al-Hajj [22] : 2,
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan),
‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang
yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.”
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa
pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan
Firman Allah SWT.
óOs9r& ts?
cr& ©!$# ßàfó¡o ¼çms9 `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# `tBur Îû ÇÚöF{$# ߧôJ¤±9$#ur ãyJs)ø9$#ur
( ãPqàfZ9$#ur ãA$t7Ågø:$#ur ãyf¤±9$#ur
>!#ur¤$!$#ur
×ÏV
2ur z`ÏiB Ĩ$¨Z9$#
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan
sebagian besar manusia?” (QS Al-Haj : 18)
Lafadz َي ْس ُجُدitu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di
bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon
dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti
meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak
mengakhiri firman-Nya dengan
َك ِثْي ٌر ِمَن الَن اِس. oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah
SWT: اْو َلَم ْس ُتُم الِّن َس اءdengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh
secara bersama-sama.
Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas,
lafadznya yang dengan sendirinya menunjuk makna/arti yang lebih kuat dengan kemungkinan
mengandung makna lain.
Contoh Zahir:
“Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah /2: 275)
Ayat tersebut secara zahir menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba tanpa memerlukan
keterangan atau penjelasan lain.
Kata “wudlu” di sini bermakna dhohir yakni wudlu sperti hendak sholat. Bukan wudlu secara
bahasa yaitu bersih.
Sedangkan takwil secara bahasa berarti berbelok atau berpaling apabila kembali. Menurut istilah
adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti,
sehingga menjadi lebih jelas.
Contoh Takwil : seperti lafadz ( َي ٌدtangan), lafadz ini bisa diartikan kepada tangan atau makna yang
lain yaitu kekuasaan.
و اسأل القرية
Ditakwil menjaadi “bertanyalah pada penduduk desa itu” karena tidak mungkin bertanya
pada desa itu sendiri.
Agar lafadz tersebut menjadi jelas, maka masih diperlukan keterangan lain, sehingga tidak
menyimpang dari makna zahirnya.
Para Ulama’ sepakat bahwa masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil.
Sedangkan masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.
16) Golongan salaf seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah
dapat ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat ini Allah
SWT memang bertangan tetapi tangan Allah SWT itu berbeda dengan tangan makhluk-Nya,
karena hakekatnya yang paling tahu adalah Allah.
17) Golongan Khalaf berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan pentakwilannya dilakukan oleh
manusia sendiri, seperti mengartikan “tangan Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah”, “mata
Allah” ditakwilkan dengan “pengawasan Allah”, dan “Allah SWT bersemayam di Arsy” ditakwilkan
dengan “Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan sebagainya.
9. Syarat-syarat Takwil
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus tetapi bertahap untuk
memudahkan umat Islam menyesuaikan diri dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT.
sehingga kadang ada hukum yang dulu sudah ditetapkan dianggap tidak berlaku lagi karena ada
hukum baru yang datang kemudian. Hukum terdahulu yang dianggap tidak berlaku lagi disebut
mansukh = yang dihapus, dan hukum yang datang kemudian disebut nasikh = yang menghapus.
Nasikh menurut bahasa dari kata َن َس َحberarti menghapus, memindahkan atau membatalkan,
sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah
الَّنْس ُخ ُهَو ُر ْفُع ُح ْك ٍم َشْر ِع ِي َع ِن الَم َك َّلِف ِبُح ْك ٍم َشْر ِع ٍّى ِم ْثِلِه ُم َتَأِّخ ِر
Artinya : “menghapus hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang
kemudian.”
“Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah ke kuburan karena hal itu
dapat mengingatkan kamu tentang akherat.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Menurut hadits di atas semula ziarah kubur itu hukumnya haram. Kemudian, hukum haram itu
sudah dihapus. Yang menghapuskan haramnya ziarah kubur adalah hadits Nabi SAW sendiri
dengan sabdanya.
“Ayat mana saja yang kami hapuskan atau kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan
yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah SWTMaha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS Al-Baqarah : 106)
“ Allah SWTmenghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)
dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahrfudz).” (QS Ar-Ra’ad/13 : 39)
c) Nasikh harus terpisah / muntashil dari Mansukh, dan datangnya terkemudian dari
mansukhnya.
d) Mansukh tidak terikat oleh waktu
e) Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Misalnya, Al-Qur’an dengan
al-Qur’an yang sama-sama qath’i.
pkr’¯»t ÓÉ<¨Z9$#
ÇÚÌhym
úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã
tbrçÉ9»|¹
$
(#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB
4 bÎ)ur `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB
(#þqç7Î=øót $Zÿø9r& z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rãxÿx.
óOßg¯Rr’Î/
×Pöqs% w
cqßgs)øÿt
Artinya : “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Artinya : “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami
memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan
(yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
Artinya : “Bahwasannya Nabi SAW menghadap (Baitul Maqdis) dalam shalat enambelas bulan.”
Artinya : “Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah, ayat 144)
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hikmah adanya naskh adalah sebagai berikut:
21) Hukum Allah diturunkan untuk mewujudkan kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup
manusia selalu berubah disebabkan perubahan hidup, waktu, dan tempat. Maka naskh sebagai
salah satu jalan memperjelas hukum hasilnya sejalan dengan kepentingan hidup manusia di mana
saja manusia hidup.
22) Pembentukan hukum memerlukan adanya tahapan sehingga manusia tidak merasa kaget dan
tidak merasa berat. Misalnya, proses keharaman khamar.
“Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih
rendah.”
1. Fi’il Amar
2. Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : ولتكن
1. Kaidah pertama
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”
“Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi
masih ada kesanggupan selama hidup.”
1. Kaidah Ketiga
1. Kaidah Keempat
1. Kaidah Kelima
“Larangan ialah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya
kepada yang lebih rendah tingkatannya.”
1. Bentuk-Bentuk Nahi
1. Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiah” / lam nahi = janganlah
2. Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan /
suatu larangan.
1. Kaidah Pertama
1. Kaidah Kedua
اَالْص ُل ِفى الَنْهِي الُم ْط َلْق َيْقَتِض ى الِتْك َر اَر ى ِفى َجِم ْيِع اَالْز ِم َنِة
“Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”
1. Kaidah Ketiga
“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
1. Kaidah Keempat
الَنْهُي َيُدُّل َع َلى َفَس اِد الُم ْنِهِّى َع ْنُه
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun
mu’amalah).”
1. 7. Al ‘Am ( ) الَع اُمsecara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah
Ushul Fiqih :
2. Kaidah ‘Am
Artinya : “Keumuman ‘am itu bersifat menyeluruh sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat
mengganti / mewakili.”
الَخ ُّص ُهَو الَلْفُظ الِذ ى َيُدُّل َع َلى َم ْع ًنا َو اِح ًدا
1. Mutlaq menurut bahasa berarti lepas tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu
yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya.
2. Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat
oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
3. Nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain
disebutkan dengan bentuk muqayyad,
الُم ْطَلُق َيْبَقى َع َلى ِاْطَالِقِه َم ا َلْم َيُقْم َد ِلْيٌل َع َلى َتْقِيْيِدِه
Artinya : “Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang
membatasinya.”
الُم َقَّيُد َباٍق َع َلى َتْقِيْيِدِه َم ا َلْم َيُقْم َد ِلْيٌل َع َلى ِاْطَالِقِه
Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
1. Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan oleh
bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat.
2. Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak
ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut.
Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan
pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum. .
3. Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1) Fahwal Khitab.
2) Lahnal khitab.
1) Mafhum sifat,
2) Mafhum syarat,
6) Mafhum Laqab
1. Mujmal ialah lafadz yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada
keterangan lain yang menjelaskan.
2. Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan maksudnya, tanpa memerlukan keterangan lain untuk
menjelaskannya.
3. Macam-Macam Bayan
2. Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya
menunjukkan kepada suatu arti tanpa memerlukan
3. Takwil menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan
berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
1. Nasikh menurut bahasa dari kata َن َس َخberarti menghapus, memindahkan atau membatalkan, sedangkan
menurut istilah ushul fiqih ialah
الَّنْسُح ُهَو ُر ِفَع ُح ْك ٌم َشْر ِع ٌّي َع ِن الَم َك َّلِف ِبُح ْك ٍم َشْر ِع ٍّى ِم ْثِلِه ُم َتَأِخ ِر
Artinya : “menghapus hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang
kemudian.” .
1. Macam-macam Nasakh
KAMUS ISTILAH
1. Dalalah : petunjuk
2. Kaidah : rumusan yang menjadi dasar hukum, aturan yang sudah pasti
5. Sigat : ucapan
Berilah tanda silang pada jawaban yang benar (X) diantara huruf a, b, c, d atau e!
4. bersifat umum
5. a dan b benar
6. Bila ada lafadz mujmal sedang tidak ada keterangan dari syara’ maka hukumnya …
1. tawakkuf
3. ditarjih
4. dipakai semuanya
5. semuanya benar
1. mujmal
2. bayyan
3. ijmal
4. mutlak
5. muqayyad
1. sinonim
2. antinim
3. majaz
4. metafora
5. denotatif
1. muradif
2. musytarak
3. mujmal
4. mubayyan
5. mutlaq
1. istinbat hukum
4. kehujjahannya
5. b dan c benar
6. Bila ada lafadz musytarak tanpa adanya penjelasan mana yang dikehendaki oleh syara’ maka
…
1. ditarjih
2. dinasakh
3. ditinggalkan (Tawaquf)
4. digunakan semuanya
5. dita’wil
6. Lafadz َيْس ُجُد (bersujud) adalah musytarak karena memiliki dua pengertian yaitu
3. lafadz yang tertuju pada dua makna tetapi lebih berat menuju kepada salah satunya
yang lebih jelas
1. TUGAS Individu
2 Nahi
3 ‘Am
4 Khash
5 Mutlaq
6 Muqayyad
7 Muradif
8 Musytarak
9 Zahir
10 Ta’wil
1. TUGAS Kelompok