Skripsi Muliadi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Semakin meningkatnya jumlah pengangguran dan terbatasnya lapangan

kerja yang disediakan oleh pemerintah disatu sisi, serta kuatnya desakan ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan hidup disisi yang lain tentu saja memaksa sebagian

masyarakat untuk mencari alternatif pekerjaan lain sebagai solusinya. Dalam hal

ini sektor informal merupakan alternatif terbaik untuk mereka jalani, dan salah

satu sektor informal yang banyak digeluti oleh sebagian masyarakat saat ini

adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal ini ditandai dengan semakin

meningkatnya jumlah PKL di berbagai kota diseluruh kota di Indonesia. Hasil

survai yang dilakukan oleh koran suara demokrasi Indonesia bahwa populasi PKL

se-JABOTABEK dan Bandung meningkat sampai 9,8 % setiap tahunnya pada

tiga tahun belakangan ini, (SDI Jakarta, 2010)

Seperti halnya kota dan kabupaten lain, di daerah Kabupaten Kepahiang

juga terjadi hal yang sama, yakni semakin meningkatnya populasi PKL.

Pertumbuhan PKL di Kabupaten Kepahiang sampai dengan tahun 2010

berdasarkan jenis dagangan dan persebarannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Jumlah Anggota PKL, Tahun 2010.
Jenis
No Jumlah %
Mata Dagangan
1 Makanan dan minuman 211 47,50
2 Pakaian 129 27,29
3 Kaset 23 4,46
4 Bensin 24 2,14
5 Tambal ban 18 87
6 Lain-lain 109 11,72
7 Asongan 57 11,01
Jumlah 571 100
Sumber: Disperindag Kabupaten Kepahiang Tahun 2010

Data di atas menunjukkan bahwa jumlah PKL cukup besar. Hal ini berkaitan

erat dengan jumlah pencari kerja yang terdafatar pada tahun 2010 sejumlah

25,186 orang (BPS Kabupaten Kepahiang). Dengan banyaknya pencari kerja di

satu sisi dan masih terbatasnya lapangan kerja yang tersedia menimbulkan potensi

munculnya anggota PKL baru.

Di satu sisi meningkatnya jumlah PKL cukup membantu pemerintah

dalam hal mengurangi angka pengangguran, dan selain itu PKL juga merupakan

tulang punggungnya sektor-sektor lain seperti sektor industri, produksi dan

investasi yang ke semua sektor tersebut adalah kantong perekonomian negara. Ini

artinya sektor PKL juga merupakan aset negara yang ikut memberikan kontribusi

bagi lancarnya siklus roda perekonomian nasional khususnya di bidang

pemasaran. Dan kaitannya dengan potensi daerah Kabupaten Kepahiang dan

sekitarnya yang banyak ditempati oleh industri, produksi, dan investasi, maka

meningkatnya jumlah PKL didaerah ini sangat membantu lancarnya siklus roda

perekonomian daerah.

2
Di sisi yang lain meningkatnya jumlah PKL tersebut menimbulkan

masalah tersendiri. Karena sebagai sektor informal, PKL memiliki sifat dan

karakter yang cenderung berada di tempat-tempat strategis dan pusat-pusat

keramaian kota, maka keberadaannya sangat rentan dengan terjadinya berbagai

pelanggaran baik ditinjau dari segi ketertiban dan keamanan maupun ditinjau dari

segi kebersihan dan keindahan kota, bahkan sangat potensial bagi terjadinya

kemacetan lalu lintas, serta merusak peruntukan kawasan perkotaan.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa sektor PKL merupakan bagian dari

basis kegiatan ekonomi rakyat. Hal tersebut bila ditinjau dari segi ilmu

administrasi publik maka didalamnya terdapat kewajiban pemerintah untuk

mengatur dan melindungi keberadaan PKL. Atas dasar pertimbangan itulah

sehingga dalam rangka mengantisipasi menjamurnya populasi PKL di daerah

Kabupaten Kepahiang maka pemerintah daerah Kabupaten Kepahiang telah

mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2007 tentang Penataan dan

Penertiban Pedagang Kaki Lima. Secara garis besar perda tersebut memuat 2 hal

pokok tentang penataan dan penertiban PKL. Untuk kelancaran penanganan kedua

hal pokok di atas, maka pemerintah daearah Kabupaten Kepahiang telah membagi

dan menunjuk satuan organisasi perangkat daerah sesuai dengan tugas pokok dan

fungsi masing-masing.

Dalam hal ini tugas penertiban diserahkan kepada KansatPOLPP sebagai

ketua penanggung jawab, sedangkan tugas penataan diserahkan kepada

DISPERINDAG.

3
Semenjak diberlakukannya kebijakan tersebut, terdapat berbagai

pelanggaran yang dilakukan oleh PKL. Berdasarkan data yang ada bahwa sampai

dengan tahun 2010 terdapat 226 anggota PKL yang melakukan pelanggaran, dan

keadaan tersebut selengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Data Tentang Jenis dan Jumlah Pelanggaran PKL.


PASAL JUMLAH
NO JENIS PELANGGARAN YANG PELANGGAR
DILANGGAR DITINDAK
1 Tidak menjaga kebersihan, keindahan,
Pasal 2 2 orang
dan ketertiban lingkungan
2 Mendirikan tempat usaha semi
Pasal 9 18 orang
permanen/permanen
3 Meninggalkan sarana dagang dilokasi
usahanya setelah selesai kegiatan Pasal 9 90 orang
usahanya
4 Melakukan usaha yang tidak sesusi
Pasal 9 17 orang
dengan lokasi yang diijinkan pemerintah
5 Tidak memiliki izin penggunaan lokasi
Pasal 3 65 orang
dan kartu identitas
6 Pelanggaran lain Pasal 3,7,9 29 orang
JUMLAH 226 orang
Sumber Data ; Pol. PP, Kab. Kepahiang 2010
Dari data diatas nampak bahwa tingkat pelanggaran PKL masih cukup

tinggi. Ini berarti tingkat kesadaran PKL terhadap kewajibannya sebagaimana

yang diatur dalam perda masih sangat rendah. Mengapa hal itu bisa terjadi?, dan

inilah yang menarik perhatian saya untuk melakukan penelitian atas hal tersebut.

Alasan lain adalah karena perda tersebut tersebut merupakan kebijakan publik,

maka proses implementasinya sangat penting untuk dikaji, kegiatan dalam rangka

memahami apa yang sebenarnya terjadi setelah suatu program dirumuskan, yaitu

aktivitas-aktivitas setelah kebijakan publik disahkan. Ini sama seperti yang

diungkapkan oleh Udoji (1981) dalam Wahab (2002;59) mengatakan bahwa

pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih

4
penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa

impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak

diimplementasikan. Oleh karenanya, studi implementasi kebijakan yang

menyeluruh adalah kebutuhan mutlak bagi lembaga pemerintah/swasta yang ingin

mensukseskan keberhasilan program-programnya. Kebijakan baru, ataupun

penyempurnaan program sebelumnya yang dihasilkan melalui serangkaian studi

implementasi ini diharapkan paling tidak dapat menghindari terjadinya

pengulangan kesalahan pada masa lalu.

Kecuali itu masih adanya ketidaksesuaian antara juklak/juknis Perda dengan

implementasi di lapangan seperti, adanya kebijaksanaan aparat pelaksana

membiarkan bahkan mengijinkan sebagian anggota PKL untuk beroperasi di luar

lokasi yang ditetapkan, membiarkan sebagian PKL pada lokasi-lokasi tertentu

untuk membangun tempat-tempat permanen dan semi permanen.

Kecenderungan aparat untuk merespon berbagai pelanggaran PKL di atas

juga menarik saya untuk melakukan pengkajian lebih lanjut tentang bagaimana

implementasi Peratuan Daerah penertiban dan penataan Pedagang kakilima dan

mengapa kecenderungan itu bisa terjadi dalam proses implementasi kebijakan.

1.2. Fokus Masalah

Fokus masalah yang diangkat di dalam ususlan penelitian tersebut adalah

menyangkut implementasi Kebiajakan Penataan dan Penetiban Pedagang

Kakilima di Kabupaten Kepahiang. Dengan rencana kajian yang meliputi aspek

compliance (kepatuhan) implementor, faktor-faktor penyebab timbulnya

penyimpangan dalam proses implementasi, proses komunikasi yang dilakukan

5
oleh komunikator kebijakan dengan menitikberatkan pada bagaimana intensitas

proses sosialisasi, daya serap informasi bagi penerima, sumber daya yang

mendukung implementasi yang meliputi persediaan dana (anggaran), staf

(pegawai), sarana dan prasarana, sikap pelaksana yang meliputi pandangan atau

interpretasinya terhadap isi Perda serta juknis dan struktur birokrasi yang meliputi

sistem pengorganisasian, pengkoordinasian dan sistem pengawasan yang ada pada

lembaga pelaksana.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dengan menggunakan pendekatan

kualitatif penelitian ini selanjutnya ingin mengevaluasi tentang :

1. Bagaimana implementasi peraturan Daerah Kabupaten Kepahiang Nomor 4

tahun 2007 tentang Penataan dan Penertiban Pedagang kaki lima di Daerah

Kabupaten Kepahiang khususnya dalam .

2. Mengapa dalam proses implementasi Kebijakan tentang Penataan dan

Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Kepahiang mengalami

penyimpangan?

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.4.1. Maksud Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisisi penyimpangan-

penyimpangan dan faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan implementasi

peraturan Daerah tentang Penataan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima Daerah

Kabupaten Kepahiang.

6
1.4.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

a. Mendeskripsikan implementasi kebijakan penataan dan penertiban

pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten Kepahiang.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor atau aspek-aspek penghambat dan

pendukung implementasi kebijakan penataan dan penertiban pedagang

kaki lima (PKL).

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kebijakan Publik

Suatu rangkaian program kegiatan yang diseleksi dan diputuskan oleh

sekelompok orang serta dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu itulah yang

disebut dengan kebijakan (Policy). Karena kebijakan yang dilaksanakan tersebut

berpengaruh atau mempuyai akibat pada publik sehingga disebut sebagai

kebijakan publik. Namun demikian, tidak semua keputusan yang berakibat pada

publik tersebut secara otomatis merupakan kebijakan publik, karena ada beberapa

keputusan yang dapat dikategorilkan sebagai bukan kebijakan publik. Jadi, kata

publik dibelakang kata kebijakan tersebut memiliki dua fungsi yakni, di samping

memperjelas tentang obyek atau sasaran daripada kebijaka, juga sekaligus

mempertegas atau pembeda apakah kebijakan itu dibuat oleh seseorang orang atau

sekelompok seorang.

Robert Eyestone (dalam Winarno, 2002; 15) mengartikan bahwa

kebijakan publik secara luas dapat dikatakan sebagai hubungan suatu unit

pemerintah dengan lingkungannya. Sedangkan Thomas R Dye (1975;i)

mengemukakan bahwa : Public Policy is whatever goverment chlose to do or not

to do. Sementara Jenkins (dalam abdul wahab, 2001;4) memberikan batasan yang

lebih kompleks mengenai kebijakan publik dengan mengatakan “a set of

interrelate decision taken by a political ector or group of actors concerning the

selection or goals and the means of achieving them within a specified situation

where these decision should inprinciple, be within the power of these actors to

8
achieve”. Batasan ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Anderson

(dalam Islamy, 2000;7) bahwa : A porposive course of action followed by analisis

actor or set of actor or set of actor n dealing woth a problem or matter of

concern.

Dari beberapa pendapat di atas nampaknya ada dua pandangan tentang

kebijakan publik yaitu yang pertama, ada beberapa ahli memandang bahwa

kebijakan publik identik dengan tindakan pemerintah. Para ahli ini selalu

menganggp bahwa semua tindakan pemrintah dapat dikatakan sebagai kebijakan

publik, dan yang kedua golongan ahli yang lain sangat berkosentrasi pada

pelaksana kebijakan. Golongan ahli inipun terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok

yaitu ada yang memandang kebijakan publik itu sebagai keputusan pemerintah

yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu yang memiliki akibat pada

publik, dan yang lain ada yang melihat kebijakan publik mempunyai akibat-akibat

yang dapat dirumuskan sebelumnya.

Setiap kebijakan publik mencakup beberapa tahap. Dan tahap-tahap

tersebut merupakan rangkaian hirarchis yang holistic. Artinya, antara tahap yang

satu dengan tahap yang lain saling bergantung atau saling mempengaruhi, dan

keseluruhan tahap itulah yang disebut sebagai “Proses kebijakan Publik” seperti

yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

9
Gambar 1. Proses Kebijakan Publik

Perumusan Penyusunan agenda


Masalah

Peramalan Formulasi kebijakan

Adopsi kebijakan
Rekomendasi

Pemantauan Implementasi kebijakan

Penilaian kebijakan
Penilaian

Sumber : William N Duun, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik,


Yogyakarta Gadjah Mada University Press – p.22-25

Gambar diatas menjelaskan bahwa setelah kebijakan itu dibuat maka

tahap yang paling penting selanjutnya adalah implementasi, dan pada tahap inilah

sebuah kebijakan tersebut akan diuji apakah memberikan dampak atau tidak. Hal

ini selengkapnya akan diuraikan pada point implementasi berikut nanti.

2.2. Evaluasi Kebijakan

Jika kebijakan dipandang sebagai suatu pola kegiatan yang berurutan,

maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun

demikian ada beberapa ahli yang melihat bahwa evaluasi bukan sebagai tahap

akhir dari proses kebijakan publik. Karena pada dasarnya, kebijakan publik

dijalankan dengan masksud-maksud tertentu untuk meraih tujuan-tujuan tertentu

yang berangkat dari masalah-masalah yang dirumuskan sebelumnya. Dengan

demikian evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu

10
kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankn

meraih dampak yang diinginkan (Winarno, 2002 : 165). Secara umum evaluasi

kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau

penilaian kebijakan yang menyangkus substansi, implementasi, dan dampak.

Lester dan Stewart dalam Winarno (2002 : 166) mengatakan bahwa

evaluasi kebijakan dapat dibedakan dalam dua tugas yang berbeda yakni, pertama

adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan

oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Dan kedua adalah

untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan

standar atau kriteria yang tidak ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka penelitian ini berupaya

mencermati pelaksanaan kebijakan penataan dan penertiban PKL (perda nomor 4

tahun 2007) didaerah Kabupaten Kepahiang.

Kedua pendapat diatas walaupun secara redaksional agak sedikit berbeda

tetapi mereka sama-sama memandang bahwa evaluasi kebijakan adalah rangkaian

kegiatan atau upaya melihat dan mengkaji proses kebijakan yang menyangkut

formulasi (subtansi), implementasi, dan dampak dari kebijakan. Kaitannya dengan

penelitian ini yang hanya ingin mengevaluasi implementasi, maka yang akan

dilihat adalah selain tentang bagaimana proses implementasi kebijakan itu

berjalan, juga akan melakukan identifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan

implementasi itu sendiri.

11
2.3. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijaksaan pada umumnya merupakan alat administrasi

hukum dimana berbagai faktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja

bersama-sama untuk menjalankan kebijaksanaan guna meraih dampak atau tujuan

yang diinginkan. Van Meer dan Van Horn (dalam Winarno, 2002;102) membatasi

implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan berindividu-

individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan

untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan

kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Menurut Winarno (2002;103) model proses implementasi yang

diperkenalkan oleh Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur

dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk

mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program. Beberapa

pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah

yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin

diimplementai secara baik dan efektif, tetapi gagal diperoleh dampak substansial

karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau tiada lainnya. Oleh karena itu,

pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan

sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif.

Implementasi adalah satu tahap dalam proses kebijakan publik. Tahap

ini merupakan yang paling penting dari keseluruhan proses kebijakan karena pada

tataran inilah kebijakan akan diuji, apakah sebuah kebijakan yang dibuat

menimbulkan manfaat bagi masyarakat sasaran atau tidak. Hal tersebut sesuai

12
pendapat William Dunn (200,22-25) yang mengatakan bahwa implementasi

kebijakan merupakan satu sarana untuk menguji apakah kebijakan itu bermanfaat

atau hanya selogan belaka. Implementasi kebijakan publik sesungguhnya

bukanlah sekedar berkaitan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan

politik dalam prosedur rutin, melalui saluran birokrasi akan tetapi lebih dari itu

implementasi kebijakan mempunyai makna yang luas, implementai kebijakan

publik bisa dipandang sebagai pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan

sampai dicapainya hasil kebijakan publik termasuk melalui suatu proses atau

siklus kebijakan.

Padangan yang serupa juga disampaikan oleh Pressman dan Wldavsky

dalam Jones, (1984 : 165) dengan mengatakan bahwa “Implementation may be

viewed as process of interaction between the setting of goasl andaction geared to

achieving them” (implementasi dipandang sebagai suatu proses interaksi antara

tujuan yang telah ditetapkan dengan tindakan-tindakan tersebut. Dalam hal ini

proses implementasi merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan titik

awal dengan titik akhir). Selanjutnya Pressman dalam Wildavsky menjelaskan

bahwa dalam proses implementasi kebijakan sesungguhnya tidak hanya

menyangkut prilaku-prilaku badan-badan administrasi yang bertanggungjawab

untuk melaksanakan program pencapaian tujuan dan menimbulkan ketaatan pada

diri kelompok sasaran tetapi juga menyangkut berbagai kepentingan baik politik,

ekonomi, dan sosial, yang kesemuanya itu dapat mempengaruhi perilaku dari

semua pihak, serta akhirnya mempengaruhi dampak baik yang diharapkan

maupun yang tidak diharapkan dari kebijakan yang diimplementasikan.

13
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa

implementasi merupakan tahap penentu bagi pencapaian tujuan kebijakan. Tetapi

implementasi sebagai sebuah proses tentu tidak terlepas dari pengaruh faktor-

faktor. Sehingga, kebijakan yang telah disusun dengan sempurna sekalipun belum

merupakan jaminan bagi keberhasilan implementasi.

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan,

didalamnya terdapat variasi faktor-faktor yang memiliki pengertian dan definisi

yang berbeda. Namun demikian ada beberapa faktor yang mempunyai kesamaan.

George Edward III, Grindle, serta Van Meter dan Van Horn sama-sama melihat

bahwa sumberdaya berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.

Sedangkan George Edward III degan Van Meter dan Van Horn sama-sama

menganggap bahwa sikap pelaksana dan komunikasi merupakan faktor yang

berpengaruh pada proses dan keberhasilan implementasi kebijakan. Faktor-faktor

tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

1. Komunikasi

Edward III memposisikan faktor komunikasi sebagai persyaratan

pertama dalam proses implementasi kebijakan. Ini artinya, pengetahuan dan

pemahaman yang baik dan benar terhadap sebuah kebijakan adalah hal yang

pertama dan penting untuk dimiliki oleh para implementor. Karena hanya dengan

demikianlah maka implementor mengerti apa yang harus dikerjakan. Dan langkah

selanjutnya adalah upaya mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tersebut

kepada masyarakat sasaran. Sehingga pengetahuan dan pemahaman yang baik dan

benar tentang kebijakan tidak hanya menjadi milik pembuat dan pelaksana

14
kebijakan, tetapi juga harus dimiliki oleh penerima atau sasaran kebijakan. Dalam

hal ini ada hirachis antara pembuat, pelaksana, dan penerima atau sasaran

kebijakan. Untuk keperluan itu, maka komunikasi sangat penting. `Ucyhana

(1995;5) mengatakan bahwa “komunikasi secara pragmatis pengertian komunikasi

adalah proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain untuk

memberitahu atau mengubah sikap,pendapat atau perilaku, baik secara langsung

atau tidak langsung melalui media. SedangkanTjokromidjojo (1974;227)

mennyatakan bahwa pada hakekatnya, komunikasi merupakan proses interaksi

antara komponen, dimulai dari komunikator yang menyampaikan pesan melalui

suatu media tertentu, kemudian pesan tersebut diterima dan dipahami oleh

penerima pesan. Pada tingkat selanjutnya, terjadi proses umpan balik penerima

pesan kepada komunikator. Kaitannya dengan kebijakan publik, maka komunikasi

merupakan proses penyampaian pesan dari perumus kebijakan kepada pelaksana

kebijakan, yang selanjutnya pesan tersebut akan disosialisasikan oleh pelaksana

kepada masyarakat sasaran kebijakan.

2. Sumberdaya

Sumberdaya adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam

implementasi kebijakan. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Van Meter dan

Van Horn dalam Winarno (2002;111) bahwa sumberdaya patut mendapatkan

perhatian, karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumberdaya

dimaksud, mencakup dana atau perangsang lain (icentif) yang mendorong dan

memperlancar implementasi kebijakan. Kaitannya dengan itu, Edward III dalam

Winarno (2002;132) mengatakan bahwa perintah implementasi mungkin

15
ditransmisikan secara akurat, jelas, dan konsisten, namun jika implementor

kekurangan sumber daya yang perlu untuk menjalankan kebijakan, maka

implementasipun cenderung tidak efektif.

Lebih lanjut Edward III menjelaskan bahwa sumberdaya yang penting

itu tersmasuk staf yang cukup, serta keahlian-keahlian yang sesuai dengan

tugasnya, informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk

menerjemahkan usul-usul diatas kertas, guna melaksanakan pelayanan publik.

Staf atau personil merupakan sumberdaya yang paling penting dalam implementsi

kebijakan. Tetapi jumlah staf tidak selalu mempunyai efek positif bagi

implementasi kebijakan. Artinya, jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis

mendorong keberhasilan implementasi kebiajakan, kecuali jumlah personil

tersebut diimbangi dengan keterampilan dan keahlian yang dimilkinya.

3. Sikap Pelaksana

Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam proses implementasi

kebijakan adalah sikap para pelaksana/implementor. Implementasi kebijakan

dapat dijalankan dengan sempurna, apabila para implementor mengetahui dan

memahami apa yang harus dilakukannya, mereka punya kemampuan untuk

melakukannya. Tetapi, jika sikap pelaksana tidak sesuai dengan apa yang telah

diputuskan, maka proses implementasi kebijakan menjadi lebih rumit dan dapat

menimbulkan masalah. Edward III dalam Tangkilisan (2007;90) mengatakan

bahwa, ketika pelaksana menetapkan diskresi, sikapnya terhadap kebijakan

mungkin dapat merintangi implementasi kebijakan yang efektif. Kaitannya

dengan hal tersebut, kepatuhan (compliance) menjadi hal yang sangat penting bagi

16
keberhasilan implementasi kebijakan. Kepatuhan yang dimaksud disini, bukan

saja bagaimana lembaga atau aparat yang ada dibawah patuh kepada lembaga atau

aparat yang ada diatasnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Repley, tetapi

juga yang lebih penting disini adalah bagaimana patuhnya para implementor

terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kebijakan itu sendiri.

4. Struktur Birokrasi

Struktur Birokrasi memiliki peranan penting dalam proses implementasi

kebijakan, bahkan pengaruhnya lebih dominan dari pada faktor-faktor lain.

Karena struktur birokrasi akan mempengaruhi sistem kerja para implementor

dalam mengimplementasikan kebijakan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan

oleh Siagian (1985 ; 229), bahwa organisasai adalah merupakan unsur pelaksana,

yang didalamnya ada 2 aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan yaitu

“Struktur dan proses organisasai. Aspek struktur menunjukkan hubungan formal

antara peranan dan tugas yang harus dilaksanakan agar mendukung terhadap

kelancaran implementasi program atau kebijakan. Struktur organisasai ini harus

dibuat sedemikian rupa sehingga permasalahan pelembagaan berbagai kegiatan

tertampung dengan baik. Selanjutnya mengenai proses organisasai, hal ini

menunjukkan mekanisme kerja dalam mengkoordinasikan, mempengaruhi dan

mengawasi kegiatan.”

Pendapat di atas juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh Max

Weber dalam Albrow, (1996 ; 33-34) yaitu organisasai itu adalah alat untuk

mengatasi kesulitan dan tuntutan tugas pemerintah modern. Dan tipe ideal

birokrasi menurut Weber adalah :

17
1. Para anggota staf secara pribadi berbas, hanya menjalankan tugas-tugas
inpersonal jabatan mereka.
2. Ada hirarkhi jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
suatu diploma (Ijazah) yang diperoleh melalaui ujian.
6. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada juga hak-hak pensiun. Gaji
berjenjang menurut kedudukan dalam hierarkhi. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan tertentu ia juga dapat
diberhentikan.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya.
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan
senioritsa maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan
(superior)
9. Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-
sumber yang tersedia di pos tersebut.
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.”
Kaitannya dengan uraian di atas bila kita melirik kinerja birokrasi di

Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya kinerja birokrasi ini dapat disebabkan

oleh beberapa faktor yang oleh Agus Dwiyanto dkk. (2002) menyatakan bahwa

hal itu sangat di pengaruhi oleh budaya paternalisme yang masih cukup kuat,

dimana para aparat (pejabat) lebih cenderung berorientasi pada kekuasaan dari

pada pelayanan, dan mereka selalu menempatkan dirinya sebagai penguasa.

Akibatnya masyarakat atau pengguna jasa kerap diperlakukan sebagai obyek

pelayanan dan tidak dilihat sebagai subyek yang memiliki hak untuk

menyampaikan kebutuhan atau aspirasinya. Selain itu rendahnya kinerja birokrasi

juga dipengaruhi oleh sistem pembagian kekuasaan yang cenderung memusat

pada pimpinan, sehingga para pejabat yang berada di bawah kurang berani

mengembangkan kreativitas dan inovasi. Hal-hal seperti itulah yang

dimasksudkan oleh Emerson (dalam Tjokrowinoto, 2001 ; 161) mensifatkan

birokrasi Indonesia sebagai neo-patrimonialism, yaitu adanya simbiose antara ciri-

18
ciri modern birokrasi dan sikap serta perilaku tradisional yang bersumber terutama

sekali pada budaya jawa yang bersifat patrimonial. Ungkapan ini sekaligus

menjelaskan bahwa implementasi kebijakan memang sebuah proses yang

kompleks, dan kompleksitasnya implementasi ini tidak jarang menimbulkan

masalah yang rumit sebagaimana dikatakan oleh Edwars III bahwa setiap

kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah tidak selamanya berjalan dengan baik.

Hal ini dikarenakan implementasi kebijakan merupakan proses yang kompleks.

Situasi seperti ini akan mendorong timbulnya masalah yang rumit dalam

implementasi kebijakan. Edward III (1980 ; 150 – 153) sendiri menjelaskan

bahwa ada enam tipe kebijakan yang mempunyai potensi untuk menimbulkan

masalah yaitu :

1. New Policies, are specially difficult to implement successfully.


2. Desentraliized polices, polices that vequire highly desentralized
implementation efforts often face imlementation problems.
3. controversial policies, also apt to face implementation problems are
parpicularity controversial policies.
4. Compleks policies, share many of properties of controversial policies.
5. crisis policies
6. Judical policies, judicial dicision seem particulaly prone to slipage in
imlementation.”

Namun demikian, sesulit apapun proses implementasi kebijakan tersebut

tetapi tetap harus dilewati. Karena sebuah kebijakan tidak akan membawa dampak

apa-apa kalau tidak diimplementasikan. Dan tidaklah sebuah kebijakan itu bisa

berjalan dengan sendirinya kecuali dijalankan oleh para aparat pelaksana. Para

aparat pelaksana hanya akan bisa bekerja secara lebih efektif apabila dilakukan

secara terstruktur dan terorganisir. Penjelasan tersebut memberikan kesimpulan

sementara bahwa struktur organisasai sangat berpengaruh pada keberhasilan

19
implementasi kebijakan. Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat Repley dan

Franklin (1982;30) yang mengtatakan bahwa .... Bureucracies are dominant in the

imlementation of programs and plicies and have varying degress of impartance at

other stages ini the policy proces. Bahkan Jones (1996 ; 304) mengatakan lebih

spesifik lagi yaitu “Kebijakan umum jarang berjalan swalaksana (Self eksecuting),

sedangkan organisasai di perlukan agar pekerjaan dapat dilaksnakan. Organisasai

dalam pemerintah identik dengan istilah birokrasi...”. Semua teori yang

dikemukakan di atas bila dihubungkan dengan program penataan dan penertiban

PKL (Peraturan Daerah kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007) yang juga

termasuk kebijakan publik maka struktur birokrasi untuk mewujudkan

keberhasilan implementasi Perda yang dimaksud sangat dominan.

2.4. Kerangka Pikir dalam Penelitian

Pada dasarnya, evaluasi implementasi adalah usaha atau upaya melihat

proses implementasi kebijakan, yang meliputi sosialisasi, perencanaan kegiatan,

pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, pendanaan, serta pemantauan dan

evaluasi yang kesemuanya itu terurai dalam 3 aspek yaitu (1) tingkat kepatuhan

aparat pelaksana, (2). Out put kebijakan (Perda Nomor 4 tahun 2007), (3). Input

Kebijakan (Perda Nomor 4 tahun 2007).

Selain itu, evaluasi implementasi juga berupaya mengidentifikasi faktor-

faktor pendukung dan penghambat proses implementasi kebijakan. Dalam

penelitian ini, faktor-faktor yang dimaksud adalah, komunikasi, sumberdaya,dan

sikap, dan struktur birokrasi. Kerangka pikir ini secara sederhana dapat saya

gambarkan sebagaimana dalam diagram berikut;

20
Gambar 2. Diagram Kerangka Berpikir

KRISIS MULTIDIMENSI

KEMISKINAN TINGGI
PENGANGGURAN TINGGI

ALTERNATIF
SEKTOR INFORMAL
PKL

PROGRAM
PENATAAN/PENERTIBAN PKL
(Perda No. 4 Tahun 2007)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FAKTOR (ASPEK-ASPEK


1. Tingkat kepatuhan aparat YANG MEMPENGARUHI
pelaksana IMPLEMENTASI)
2. Out put kebijakan 1. Komunikasi
3. Kejelasan dan ketegasan 2. Sumber Daya
aparat 3. Sikap aparat pelaksana
4. Struktur birokrasi

BAB III
METODE PENELITIAN

21
3.1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Bagdan dan

Taylor dalam Moleong (2002; 3) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif ini

digunakan karena beberapa pertimbangan, yakni pertama, menyesuaikan metode

kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua,

metode ini menyajikan langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan

informan. Sehingga peneliti dapat dengan mudah mendapat gambaran tentang

fenomena-fenomena sosial secara keseluruhan yang berawal dari sub-sub

fenomena sosial dan dalam kerangka induktif. Artinya, melihat masalah yang

diteliti tersebut dari hal yang bersifat khusus pada lokasi tertentu sampai pada

persoalan yang bersifat umum.

Melengkapi penggunaan metode kualitatif diatas, maka dalam penelitian

ini saya juga menggunakan metode sintesis terfokus (focused sinthesis) yakni

dengan mengkaji dan mengaitkan 3 hal pokok, yaitu sumber pustaka yang

relevan, pengalaman empiris dan hasil diskusi dengan nara sumber (Danim, 2000;

76). Pola kerja ini selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut:

TELAAH
Gambar 3. Pola kerja sintesis terfokus (Denim, 2000:176)
PUSTAKA
DISKUSI
REKOMENDASI
DENGAN
UNTUK
SUBYEK
PEMECAHAN
YANG
MASALAH
KOMPETEN

PENGALAMAN 22
EMPIRIS

PENELITI
Model sintesis terfokus ini apabila diterapkan pada kajian implementasi

kebijakan maka tetap mendasarkan pada studi dokumentasi, data lapangan/empiris

serta diskusi-diskusi intensif dengan para subyek yang kompeten (para stekhoder)

sebagai nara sumber. Karena data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata,

gambar dan bukan angka-angka, maka laporan penelitian akan berisi kutipan-

kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut sehingga

bersifat deskriptif. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Servila dkk

(1993; 71) bahwa metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi

tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung).

3.2. Fokus Penelitian


Menurut Maleong (2001 : 62) bahwa dalam melaksanakan sebuah

penelitian diperlukan suatu fokus penelitian dengan tujuan untuk :

1. Membatasi bidang inklusi adalah membatasi studi pada upaya menemukan

teori dari dasar.

2. Memenuhi kriteria inklusi atau memasukan serta mengeluarkan suatu

informasi yang baru diperoleh di lapangan.

Penelitian difokuskan pada implementasi Peraturan Daerah Kepahiang

nomor 4 tahun 2007 di Daerah Kabupaten. Adapun kajian yang akan

dideskripsikan adalah :

1. Keberhasilan implementasi yang ditinjau dari sudut compliance

(kepatuhan) implementor terhadap ketetapan yang tertulis di dalam

Peraturan Daerah Kepahiang nomor 4 tahun 2007.

23
2. Faktor-faktor penyebab timbulnya penyimpangan dalam proses

implementasi peraturan Daerah Kepahiang nomor 4 tahun 2007 yang

meliputi :

a. Proses komunikasi yang dilakukan oleh komunikator kebijakan dengan

menitikberatkan pada bagaimana intensitas proses sosialisasi, daya

serap informasi bagi penerima.

b. Sumber daya yang mendukung implementasi yang meliputi persediaan

dana (anggaran), staf (pegawai), sarana dan prasarana.

c. Sikap pelaksana yang eliputi pandangan atau interpretasinya terhadap

isi Perda serta juknis Perda nomor 4 tahun 2007, akan kecenderungan

atau disposisi, dan

d. Struktur Birokrasi yang meliputi sistem pengorganisasian,

pengkoordinasian dan sistem pengawasan yang ada pada lembaga

pelaksana.

Fokus tersebut di atas dapat dijabarkan sebagai berikut

Matrik 1. Operasionalisasi Fokus dan Aspek


No Fokus Aspek Operasional
1 2 3 4
Tingkat kepatuhan aparat - Ketaatan aparat pelaksana terhadap ketentuan yang
pelaksana terhadap terdapat dalam Perda Kepahiang nomor 4 Tahun
peraturan 2007.
Daerah Kabupaten - Penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pelaksana
Kepahiang Nomor 4 tahun Perda Kepahiang Nomor 4 tahun 2007
2007 - Ketaatan para pedagang kaki lima terhadap perda
Nomor 4 tahun 2007.
Out put kebijakan - Penyimpangan yang dilakukan aparat pelaksana
Efektifitas implementasi terhadap juknis Perda Nomor 4 tahun 2007
1
kebijakan (Perda No. 4 - Adanya persoalan dalam kegiatan penataan dan
tahun 2007) penertiban PKL
- Ketidak sesuaian antara Perda Nomor 4 tahun 2007
dengan kondisi lokasi PKL

Input kebijakan - Ketegasan Pemda khususnya aparat pelaksana untuk


memberikan teguran dan tindakan terhadap para
anggota PKL yang melakukan pelanggaran di
lapangan

24
- Media komunikasi
- Intensitas komunikasi
Proses Komunikasi - Efektifitas komunikasi
- Faktor penghambat komunikasi
- Frekuensi komunikasi
 Menyerap informasi
- Kemampuan penerima pesan yang
disampaikan
- Keserasian pemahaman antara para aparat
pelaksana terhadap ketretapan (Perda Nomor 4
2 Komunikasi tahun 2007)
- Kemampuan dalam mengkomuni-kasikan
kebijakan
Keberhasilan komunikasi
 Konsistensi
- Tidak terjadinya kesalahpahaman terhadap
pesan yang diterima
- Kesesuaian informasi dan tujuan
kebijakan/prosedur kebijakan.
 Kejelasan
- Dipahaminya isi kebijakan secara benar
- Kejelasan petunjuk pelaksana
- Jumlah personil/pegawai atau aparat pelaksana cukup
Aparatur pelaksana memadai
- Mutu aparatur atau pegawai yang berkualitas
- Informasi tentang proses pelaksanaan program
Informasi - Informasi tentang kepatuhan aparat pelaksana
3 Sumber-sumber program dan masyarakat penerima program
- Wewenang lembaga SatPol PP dan disperindakop
Wewenang untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
yang muncul di lapangan
- Anggaran dana yang memadai
Fasilitas
- Sarana dan prasarana yang mendukung
- Tanggungjawab aparat pelaksana
Tanggungjawab - Komitmen aparat pelaksana terhadap tugas dan
tanggungjawabnya
4 Sikap aparat pelaksana
- Proses penerapan ilmu pengetahuan yang dialami
Presepsi melalui panca indera yaitu, penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman.
Struktur organisasi - Pesanan dan tugas berjalan secara sinergis sehingga
dapat mendukung terhadap kelancaran proses
pelaksanaan kebijakan (Perda Nomor 4 tahun 2007).
5 Struktur birokrasi
Proses organisasi - Sistematika terhadap kegiatan dalam
mengkoordinasikan, mempengaruhi, dan mengawasi
kegiatan

3.3. Sumber Data

Lofland dan Lofland dalam Moleong (2002; 12) mengatakan bahwa

sember data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,

sedang selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen. Kata-kata dan tindakan

orang-orang yang diawali atau diwawancarai merupakan sumber data utama

dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video, pengambilan foto,

atau film (Meleon; 2002; 112).

25
Pendapat di atas kaitanya dengan penelitian ini maka sumber data yang

digunakan adalah sebagai berikut :

1. Data Primer, data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan imforman

dan hasil obsevasi.

2. Data sekunder, yaitu data yang didapat dari dokumentasi, buku-buku atau

literatur dan arsip-arsip lain yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian.

3.4. Teknik Pemilihan Informan

Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong; 2002; 165) bahwa paradigma

alamiah, penelitian mulai dengan asumsi konteks itu krisis sehingga masing-

masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri. Kecuali itu, dalam

penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor kontekstual. Jadi,

maksud pemilihan informan adalah untuk menjaring informasi sebanyak

mungkin. Jadi, tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-

perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi, melainkan untuk

merinci kekhususan yang ada kedalam rumusan konteks yang unik. Oleh sebab

itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan

(Moleong, 2002;165). Dalam hal ini peneliti cenderung memilih informan yang

dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan

mengetahui masalahnya secara mendalam (Purpossive). (Sutopo, 1988;22)

Berdasarkan pendapat di atas maka dalam penelitian ini peneliti

menentukan informan adalah para pejabat atau aparat dan juga masyarakat yang

dianggap tahu tentang berbagai hal yang berkaitan proses implementasi Perda

26
Nomor 4 Tahun 2007 di Daerah Kabupaten Kepahiang. Informan tersebut dapat

juga disebut sebagai sasaran penelitian.

Sasaran penelitian ini adalah anggota/kelompok PKL, SatPol PP,

DISPERINDAKOP, dan instansi-instansi lain yang terkait dengan aktivitas PKL

di Kabupaten Kepahiang yaitu sebagai berikut :

Satuan Pol. PP Kabupaten Kepahiang yang terdiri dari :


1. (Kabid. Pol. PP)
2. (Kasubdin Penegakan Perda. Pol. PP)
3. (Kasubdin Ketentraman dan Penertiban Pol. PP)
Disperindakop Kabupaten Kepahiang yang terdiri dari :
1. Kabid Usaha Dagang
2. Kasi Sarana Dagang
Beberapa orang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Kepahiang

3.5. Teknik Pengumpulan Data

3.5.1. Observasi (Pengamatan), yaitu merupakan cara pengumpulan data melalui

pengamatan secara langsung terhadap segala sesuatu yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian. Hadi, (1986;136) mengartikan

pengamatan sebagai pengamalan dan pencatatan dengan sistematis

fenomena yang diselidiki. Sedangkan Guba dan Lincoln dalam Moleong

(2002; 125) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif pengamatan

dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya diantaranya yaitu :

 Teknik pengamatan didasarkan atas

pengamatan langsung.

27
 Teknik pengamatan juga memungkinkan

melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan

kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.

 Pengamatan juga merupakan salah satu

cara untuk mengecek kepercayaan data ketika ada keraguan pada data

yang diperoleh bisa sewaktu wawancara, atau karena kurang dapat

mengingat sesuatu peristiwa.

3.5.2. Wawancara

Mengadakan wawancara menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong

(2002;135) bermaksud antara lain; Pertama, mengkonstruksikan mengenai orang,

kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-

lain kebulatan merekonstruksi. Kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang

dialami masa lalu; Kedua, Memproyeksi kebulatan-kebulatan sebagai yang telah

diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; Ketiga, menferifikasi,

mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai

pengecekan anggota.

3.5.3. Analisa Dokumentasi

Dokumentasi ialah setiap bahan tertulis ataupun film (Guba dan Lincoln)

dalam Moleong (2002;161). Dokumen dapat dimanfaatkan untuk menguji,

manafsirkan, bahkan untuk meramalkan.

Analisa dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data-data tertulis yang

berkaitan dengan keadaan historis dan filosofis dari program replikasi, landasan

hukum, pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan program replikasi dan

28
laporan serta hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan program yang

dikeluarkan oleh lembaga pemerintah.

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis data dapat dilakukan baik pada waktu dilapangan maupun setelah

data dikumpulkan. Data yang telah berhasil diperoleh, dikumpulkan dan

kemudian disusun/diolah secara sistematis. Pengolahan dimulai dari menuliskan

hasil wawancara, observasi, audit, mengklarifikasi, mereduksi, menyajikan,

menyimpulkan data.

Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

model analisis interaktif sebagaimana yang dikembangkan oleh Miles dan

Huberman (1992; 19-20). Penggunaan model ini dilaksanakan dengan tujuan

untuk memahami fenomena yang diamati serta menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan diatas. Dalam analisis dengan menggunakan model interaktif,

maka dilakukan analisis terhadap makna setiap data/informasi, hubungannya

antara satu dengan yang lain dengan memberikan taksiran yang dapat diterima

akal sehat(comon sense) dalam konteks masalahnya secara keseluruhan. Untuk

hal tersebut, data/informasi yang telah dikumpulkan dipilah-pilah dan kemudian

dikelompok-kelompokan temuan penelitian yang relevan dengan bahan penulisan,

dan disajikan secara naratif. Reduksi dan penyajian data adalah dua komponen

analisis yang dilakukan secara bersama-sama dengan proses pengumpulan data.

Proses selanjutnya adalah penarikan kesimpulan, yakni dilakukan setelah

pengumpulan data, disajikan, didiskripsikan dan kemudian diberi pemaknaan

dengan interpretasi logis.

29
Aktivitas ketiga komponen tersebut berinteraksi sampai diperoleh

kesimpulan yang benar. Apabila kesimpulan kurang memadai maka dapat

dilakukan pengujian ulang dengan mengkonfirmasi, mengecek atau mencari data

baru di lapangan dan menginterpretasikan dengan fokus yang terarah. Dengan

demikian aktivitas analisis dengan pengumpulan data merupakan siklus penelitian

sampai selesai, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

PENGUMPULAN
DATA PENYAJIAN
DATA

REDUKSI
DATA KESIMPULAN -
KESIMPULAN
PENARIKAN /
VERIFIKASI
Gambar 4. Bagan Model Analisis Interaktif
( Miles dan Huberman 1992)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian


a. Letak Geografi

30
Berdasarkan UU RI Nomor 39 Tahun 2003 tentang

Pembentukan Kabupaten Kepahiang, bahwa Kabupaten Kepahiang

berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Curup, Kecamatan

Sindang Kelingi, dan Kecamatan Padang Ulak Tanding

Kabupaten Rejang Lebong;

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Taba

Penanjung Kabupaten Bengkulu Tengah;

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Empat Lawang

Propinsi Sumatera Sela tan;

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pagar Jati Kabupaten

Bengkulu Tengah, dan Kecamatan Bermani Ulu Kabupaten Rejang

Lebong;

b. Luas Wilayah

Kabupaten Kepahiang mempunyai luas 66.500 Ha dan

terdiri dari 8 Kecamatart. Kecamatan yang paling luas adalah

Kecamatan. Bermani Hilir 16.391 ha atau 24,65 % dart total

keseluruhan Kabupaten Kepahiang, sedangkan yang paling kecil

adalah Kecamatan yaitu 2.418 ha atau 3,64 % dari total luas

Kabupaten Kepahiang. Kecamatan Kepahiang memiliki luas

7.192 ha atau 10,82%, Kecamatan Tebat Karai 7.688 ha atau

11,56%, Kecamatan Ujan Mas 9.308 ha atau 13,99%,

Kecamatan Muara Kemumu 9.507 ha atau 14,29%, Kecamatan

31
Seberang Musi 7.665 ha atau 11,52% - clan Kecamatan

Kabawetan 6.331 ha atau 9,52%. Sedangkan ibukota

Kabupaten Kepahiang terletak di Kecamatan Kepahiang.

Rincian luas Kabupaten Kepahiang per kecamatan

adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan


Di Kabupaten Kepahiang Tahun 2011

Luas
Kecamatan
Ha Persentase
(1) (2) (3)
Kepahiang 7.192 10,82
Bermani Ilir 16.391 24,65
Tebat Karai 7.688 11,56
Ujan Mas 9.308 13,99
Muara Kemurnu 9.507 14,29
Seberang Musi 7.665 11,53
Kabawetan 6.331 9,52
Merigi 2.418 3,64
Jurnlah 66.500 100,00
Sumber : Bappeda Kabupaten Kepahiang diolah oleh BPS Kabupaten
Kepahiang Tahun 2011

c. Kependudukan

Penduduk Kabupaten Kepahiang berdasarkan hasil Sensus Penduduk

pada tahun 2010 (angka sementara) tercatat 125.011 jiwa, meningkat dari

32
jumlah penduduk tahun sebelumnya, dengan seks rasio 105 artinya dalam 100

orang perempuan terdapat 105 orang laki - laki.

Gambar 5. Penduduk Kabupaten Kepahiang berdasarkan hasil


Sensus Penduduk pada tahun 2010

Sumber : BPS Kepahiang Tahun 2009

Bila dirinci per kecamatan, Kecamatan Kepahiang merupakan daerah

yang terpadat dengan kepadatan sebesar 562 penduduk per km2. Sedangkan

Kecamatan Bermani Ilir adalah daerah yang paling jarang penduduknya

dengan tingkat kepadatan 82 penduduk per km2.

Berdasarkan catatan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kabupaten Kepahiang, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 3.422 pencari kerja

yang mendaftar dengan berbagai tingkat pendidikan dimana pencari kerja laki-

laki sebesar 1.579 orang dan perempuan sebesar 1.843 orang, lebih banyak

daripada pencari kerja laki-laki. Pencari kerja terbanyak adalah berasal dari

tingkatan SLTA Kejuruan/MAN 1.220 orang, sarjana 1.168 orang

dan akademi/sarjana muda 997 orang.

d. Pendidikan

33
Pada tahun 2009, di Kabupaten Kepahiang terdapat 179 sekolah dari

TK hingga SLTA/SMK. Dan ada 1.867 guru dengan rincian 97 guru TK;

1.027 guru SD; 435 guru SLTP dan 308 guru SLTA/SMK.

Gambar 6. Jumlah Tenaga Pengajar (Guru) pada Jenjang Pendidikan

Sumber : Profil Pemkab Kepahiang Tahun 2009

e. Perdagangan

Selama tahun 2010 ada 123 SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan)

yang dikeluarkan oleh Dinas Koperasi, UKM, Perdagangan dan Perindustrian

Kabupaten Kepahiang. Dari yang dikeluarkan, 115 buah dikeluarkan untuk

pedagang kecil, 7 buah untuk pedagang menengah dan hanya satu untuk

pedagang besar. Jumlah dan jenis pasar yang ada di Kabupaten Kepahiang

merupakan pasar tradisional dimana biasanya disebut Pekan dan biasanya

keberadaanya aktif pada hari–hari tertentu.

4.2. Deskripsi Obyek Penelitian

34
Dengan bergulirnya konsep otonomi daerah UU Nomor 32 tahun 2004

maka kewenangan mengatur sektor informal di daerah khususnya pedagang kaki

lima (PKL) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Atas dasar itu dan

sekaligus untuk mengantisipasi semakin meningkatnya jumlah PKL di wilayah

Kabupaten Kepahiang, maka pemerintah daerah Kabupaten Kepahiang telah

mengeluarkan Perda Nomor 4 tahun 2007 tentang PKL. Perda ini dimaksudkan

sebagai landasan hukum untuk membina, mengarahkan, dan menertibkan PKL,

sehingga keberadaannya tidak mengganggu kebersihan, keindahan, keamanan dan

ketertiban serta memberikan kepastian usaha bagi PKL. Kecuali itu, sebagaimana

yang diuraikan dalam lembaran penjelasan umum dari Perda ini, bahwa Perda ini

dibuat dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan,

pengendalian, dan pengawasan terhadap kegiatan PKL yang dilaksanakan oleh

masyarakat, (Lembaran penjelasan umum Perda Nomor 4 tahun 2007; 10).

Penjelasan di atas secara implisit mengandung makna bahwa Perda ini

bertujuan untuk menciptakan kondisi yang bersih, indah, aman dan tertib dalam

lingkungan kegiatan PKL. Selain itu juga bertujuan untuk memberdayakan usaha

PKL melalui kegiatan pembinaan teknis, pendidikan, dan pelatihan teknis yang

seluruhnya itu berorientasi pada pengembangan usaha PKL.

Perda Nomor 4 tahun 2007 secara efektif berlaku sejak tanggal 1 Juli

tahun 2007. Dan dengan diberlakukannya Perda tersebut maka diharapkan tingkat

pelanggaran yang dilakukan oleh PKL dapat ditekan. Namun ternyata hal itu tidak

terjadi. Bahkan berbagai bentuk pelanggaran PKL masih cukup tinggi seperti

yang dapat dilihat dalam tabel 3 pada lembar depan.

35
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, ditemukan beberapa

ketidaksesuaian antara program (Perda Nomor 4 tahun 2007) dengan keadaan

nyata di lapangan, untuk lebih jelasnya hal tersebut akan diuraikan satu per satu

pasal-pasal yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif seperti berikut

ini:

a) Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa lokasi, waktu, ukuran dan bentuk sarana
dagang PKL ditentukan oleh Bupati setelah mendapat persetujuan dari
Pimpinan DPRD. Di dalam Juklak nomor 5 tahun 2007 pasal 2 ayat 2 ini
dijelaskan bahwa ukuran sarana dagang bagi para PKL telah ditentukan
secara tegas yakni, bagi PKL yang jenis usaha makanan tempatnya dengan
panjang 2 meter dan lebar 1,5 meter. Pasal 2 ayat 2 sesuai juklak
sebagaimana diuraikan di atas sebenarnya menginginkan adanya
keseragaman ukuran sarana dagang yang harus dimiliki oleh para PKL
sesuai jenis usahanya. Tetapi yang terjadi di lapangan tidak seperti itu.
Dari hasil pengamatan di lapangan tidak kurang dari 260 orang PKL dalam
menempati tempat yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 2 Perda
Nomor 4 tahun 2007.
b) Pasal 3 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa setiap PKL yang akan
melakukan kegiatan usaha perdagangan, yang menempati tanah milik
pemerinah daerah wajib memiliki izin penggunaan lokasi dan kartu
identitas dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Namun berdasarkan
dokumen dan hasil pengamatan di lapangan ternyata lebih dari 300 orang
PKL yang beroperasi dan baru 20 orang yang mempunyai izin lokasi.
c) Pasal 7 poin a menegaskan bahwa setiap PKL wajib menjaga kebersihan,
keindahan, ketertiban, dan keamanan lingkungan sekitarnya. Ketentuan ini
lebih jelas diuraikan dalam juklak nomor 5 tahun 2007 bahwa untuk
keperluan kebersihan, maka setiap PKL harus menyediakan tempat
sampah di dekat lingkungan usahanya. Tapi di lapangan atau dalam
implementasinya ternyata 100% atau sekitar 400 orang dari keseluruhan

36
anggota PKL dalam Kabupaten Kepahiang tidak memiliki tempat sampah
sebagaimana yang diwajibkan oleh pasal 7 poin a tersebut.
d) Pasal 9 poin d, setiap PKL dilarang untuk meninggalkan sarana dagang di
lokasi tempat usahanya setelah selesai melakukan kegiatan usahanya. Tapi
nampaknya di lapangan keadaan itu masih terus terjadi, bahkan tidak
kurang dari 280 sarana dagang PKL masih tertinggal ditempatnya masing-
masing.
Uraian di atas memperlihatkan terjadinya ketidaksesuaian antara program

dengan implementasi di lapangan. Berdasarkan observasi di lapangan menemukan

bahwa beberapa bentuk pelanggaran yang ada sengaja dibiarkan oleh aparat. Hal

ini sesuai juga dengan apa yang dikatakan oleh informan bahwa tingkat kepatuhan

baik implementor, maupun kelompok sasaran (PKL) belum sebagaimana yang

diharapkan. Ini sangat mempengaruhi kinerja implementasi sebuah kebijakan

sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III bersama Van Horn dan Van Meter

bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

kebijakan yakni; komunikasi, sumber-sumber daya kecederungan atau tingkah

laku-tingkah laku/ watak-watak, dan struktur birokrasi.

Kaitannya dengan hal di atas (Kepala SatPol. PP Kepahiang) mengatakan

bahwa dalam implementasi Perda Nomor 4 tahun 2007 ini memang banyak faktor

yang menjadi kendala, yakni, jumlah personil yang kurang memadai, anggaran

yang terbatas, dan prilaku PKL sendiri yang susah diatur. Dikatakannya bahwa

“di satu sisi kami ingin menegakkan perda ini secara tegas, tetapi di sisi
yang lain kami juga menjaga agar tidak adanya reaksi dari masyarakat
utamanya PKL, seperti menjaga jangan sampai adanya kegiatan unjuk
rasa, dan demonstrasi yang pada akhirnya berakibat kondisi daerah
menjadi tidak kondusif.”

37
Jadi menurut informan bahwa dalam menindak berbagai pelanggaran yang

dilakukan oleh para PKL kami lebih mengedepankan sikap persuasif, sehingga

keseimbangan antara kepentingan pemerintah daerah dengan kepentingan PKL di

daerah bisa sama-sama berjalan.

Selain itu berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan juga

menunjukkan bahwa tahap-tahap proses implementasi nampaknya belum

terimplementasi secara maksimal. Tahapan yang dimaksud adalah; komunikasi

(sosialisasi), perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan,

pemantauan dan evaluasi yang semua tahapan ini akan diuraikan sebagai berikut:

1. Sosialisasi program, yaitu upaya memperkenalkan atau menyebarluaskan


informasi mengenai kebijakan. Ini diukur dari dimengertinya/ dipahaminya
secara utuh tentang konsep-konsep prinsip prosedur dalam pelaksanaan
program. Kaitannya dengan Perda Nomor 4 tahun 2007, berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Af (Ketua Paguyuban PKL di Pasar Kepahiang)
bahwa
“Tidak pernah diberitahu secara baik kepada kami mengenai apa-apa yang
diatur dalam Perda Nomor 4 tahun 2007 tersebut, sehingga banyak yang
kami tidak tahu tentang hal-hal yang diatur dalam Perda Nomor 4 tahun
2007”.
2. Perencanaan kegiatan adalah proses pengambilan keputusan oleh para
PKL melalui forum musyawarah terhadap usulan-usulan kegiatan penataan dan
penertiban. Ini diukur dari tingkat partisipasi anggota PKL dan efektifitas
musyawarah yang dilakukan oleh PKL. Keadaan seperti ini belum telrihat,
bahkan menurut beberapa anggota PKL bahwa mereka kurang dilibatkan
dalam berbagai kegiatan penataan dan penertiban PKL, dan kalaupun itu
pernah dilakukan namun hasilnya tidak efektif, karena pertemuan yang
dilakukan menurut mereka tidak membahas hal-hal yang substansial tentang
PKL.

38
3. Pengorganisasian mulai dari lembaga yang berwewenang sampai pada
kelompok sasaran/ PKL. Proses ini diukur dari pembentukan tim koordinasi
lembaga yang melakukan penataan dan penertiban PKL. Kaitannya dengan
Perda Nomor 4 tahun 2007 ini memang telah terbentuk tim melalui SK Bupati
Kepahiang No. 510/1574/ 2007 yang dibagi dalam 2 tim yaitu tim penertiban
yang diketuai oleh Satpol PP Kabupaten Kepahiang, dan tim penataan yang
diketuai oleh Disperindakop Kabupaten Kepahiang. Dari hasil wawancara
dengan beberapa informan menunjukkan bahwa tim ini kurang berjalan, dan
seolah-olah tanggung jawab pengaturan PKL itu hanya merupakan tanggung
jawab SatPol PP dan Disperindakop yang dalam hal ini diserahkan pada
Subdin bina dagang saja. Padahal kalau melihat susunan tim seperti dalam SK
Bupati Nomor 510/1574/2007 tersebut bahwa semua dinas dan instansi terkait
juga harus memiliki tanggung jawab dalam hal mengatur PKL, tetapi hal
tersebut tidak terjadi. Ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan beberapa
aparat pada instansi yang masuk tim penataan dan penertiban PKL, dimana
hampir 80% mereka menjawab bahwa soal PKL itu bukan urusannya, tapi
urusan Disperindakop dan SatPol PP. Selain itu, tim penataan juga seharusnya
mendorong terbentuknya paguyuban PKL tingkat kabupaten, sehingga
pengorganisasian PKL lebih mudah.
4. Pelaksanaan kegiatan adalah tahap pelaksanaan seluruh kegiatan yang
telah disepakati dalam musyawarah. Proses ini diukur dari pelaksanaan rencana
kegiatan yang telah disepakati dalam musyawarah.
5. Pendanaan yang diukur dari perencanaan, pengajuan dan pengalokasian
dana yang digunakan dalam melakukan penataan dan penertiban PKL. Khusus
masalah ini menurut beberapa sumber (informan) bahwa memang ketersediaan
dana yang kurang memadai, sehingga apa yang ditentukan oleh Perda Nomor 4
tahun 2007 tersebut tidak dapat dijalankan dengan maksimal.

4.3. Pembahasan Hasil Penelitian


4.3.1. Uraian Umum Tentang Metode dan Proses Pengumpulan Data Serta
Validitas Data

39
Proses pengambilan informasi atau pengumpulan data dilaksanakan sesuai

dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya serta dengan melalui

alat atau instrumen penelitian yang digunakan maka peneliti dalam

mengumpulkan data atau informasi menggunakan langkah-langkah pengumpulan

data melalui kegiatan sebagai berikut :

a.Observasi (pengamatan).

Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan secara sengaja dan sambil

melakukan pencatatan terhadap fokus dari penelitian yang benar-benar terjadi

dalam proses pelaksanaan Perda nomor 4 tahun 2007

b. Wawancara.

Dalam hal ini peneliti berupaya mengumpulkan data dan informasi dengan

mengajukan sejumlah pertanyaan untuk dijawab dan dilakukan secara mendalam

artinya walaupun sudah mempunyai pedoman wawancara namun dalam rangka

menggali lebih lanjut informasi atau data yang diperlukan, maka peneliti

memberikan kesempatan kepada informan atau informan untuk bercerita dan juga

peneliti menulis poin-poin atau item-item sesuai dengan fokus penelitian.

Proses wawancara dilakukan terhadap 10 (sepuluh) orang informan yang

telah dipilih secara purposive atau dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa

mereka tahu persoalan atau data yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti

melakukan dengan cara mendatangi kantor atau tempat bekerjanya para informan

masing-masing, bahkan apabila diperlukan untuk mengetahui lebih jauh mengenai

informasi atau data maka peneliti maendatangi kembali informan yang

bersangkutan.

40
Data yang diperoleh melalui wawancara adalah mengenai hal-hal yang

terjadi pada waktu implementasi kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda

nomor 4 tahun 2007).

c.Dokumentasi

Kegiatan ini dilakukan dengan mempelajari dokumen atau arsip yang

terkait dengan proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban PKL di

Kabupaten Kepahiang yang mulai dilakukan sosialisasi, pengorganisasian,

penganggaran, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program mengenai

arsip atau dokumen yang terkumpul secara jelas dapat dilihat sebagaimana

terlampir.

Validitas data yang dilakukan dalam penelitian ini peneliti menggunakan

teknik triangulasi yaitu menggunakan sumber yang berarti membandingkan dan

mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif Patton (dalam Moleong,

2000;178). Kaitan dengan ini peneliti tidak menggunakan semua jenis teknik

triangulasi karena hal ini akan sangat menyulitkan bagi peneliti untuk dapat

melakukan semua teknik tersebut, kecuali itu Moleong (2000;178) juga

mengatakan bahwa teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah

pemeriksaan melalui sumber lain. Jadi cara yang ditempuh oleh peneliti dan

menguji validitas data adalah sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil


wawancara. Dengan cara ini peneliti melihat dengan jelas dan nyata bahwa
ada kesesuaian antara hasil pengamatan dengan hasil wawancara seperti
menyangkut tingkat kepatuhan yang rendah, adanya persoalan dan sebab-

41
sebab terjadinya penyimpangan implementasi kebijakan penataan dan
penertiban PKL (Perda Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007)
2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berlainan setelah peneliti melakukan hal ini peneliti melihat dengan jelas
dan nyata bahwa ada persamaan antara hasil wawancara dengan dokumen,
yakni memang terjadi penyimpangan dalam implementasi kebijakan
penataan dalam penertiban PKL (Perda nomor 4 tahun 2007 di Daerah
Kabupaten Kepahiang).
Uraian di atas secara jelas dapat digambarkan sebagaimana dalam tabel

dibawah ini :

Matrik 2. Validitas Data


N HASIL HASIL
PKL HASIL WAWANCARA
o. PENGAMATAN DOKUMEN
1 2 3 4 5
1 PKL yang Menurut Kabid Usaha Setelah peneliti Dari dokumen juga
berlokasi di Dagang Disperindakop Kab. mengamati di lapangan terlihat bahwa PKL
di Pasar Kepahiang bahwa ternyata memang hal yang berlokasi di
Kepahiang ketidaksadaran PKL dalam itu benar, dimana Pasar Kepahiang
untuk mematuhi ketentuan lokasi tersebut paling tersebut paling
peraturan Daerah nomor 4 banyak pelanggaran banyak terjadi
tahun 2007 tentang PKL yang terjadi pelanggaran.
sangat rendah
2 Penertiban Menurut Kabid Trantib Pol Setelah peneliti melihat Dari dokumen yg
PKL yang PP Kabupaten Kepahiang, langsung di lapangan ada ternyata
melakukan Bp. Nk bahwa memang da- seperti di depan Jalan memang juga
pelanggaran lam melakukan penertiban Pasar Kepahiang demikian dimana
terhadap terhadap PKL yg melanggar. memang jumlah PKL jumlah PKL yg ada
Perda nomor kami agak sedikit sangat banyak di Pasar Kepahiang
4 tahun menyimpang dari Perda banyak semen-ara hanya 400 orang
2007. nomor 4 tahun 2007 yakni lokasi sangat terbatas. sementara lokasi yg
dengan membiarkan bebe- tersedia sebenar-
rapa PKL yg beroperasi nya hampir dapat
diluar lokasi yg ditentukan menam-pung lebih
oleh Perda karena jumlah kurang 250 orang
PKL yg ada melebihi saja.
kapasitas lokasi yg
ditentukan

42
3 Menurut Kabid Usaha Setelah peneliti Dokumen pada
Dagang Disperindakop mengamati di lapangan kantor
Kabupaten Kepahiang ternyata memang Disperindakop yg
bahwa terdapat berbagai pelanggaran bernomor
penyimpangan dalam pener- itu sengaja dibiarkan, 511.3/638 Tgl. 16
tiban PKL yang berlokasi di karena menurut para Juni 2004 juga
Pasar Kepahiang, yaitu PKL yg memiliki pernah melakukan
sengaja dibiarkan para PKL bangunan tersebut koordinasi kepada
memakai badan jalan dan bahwa mereka tidak SatPol PP yg dalam
juga membiarkan bebe-rapa pernah ditertibkan. hal ini bidang Pol
PKL tidak membongkar PP agar dapat
pera-latan dagangannya mener-tibkan para
setelah selesai mela-kukan PKL yg melanggar
kegiatan, selain itu juga tersebut tapi sampai
aparat penertiban mem- saat se-karang ini
biarkan beberapa anggota hal itu tidak
PKL dilakukannya

4 PKL di Menurut Bpk. Sg, Kasi Stelah peneliti Dokumen nomor


Alun-alun Sarana Dagang Disperi- mengamati langsung di 511.3/638 Tgl. 16
Pasar ndakop Kab Kepahiang lokasi yg dimaksud Juni 2009 tentang
Kepahiang bahwa ada gejolak dan ternyata memang ada laporan
persoalan keberatan oleh keberatan oleh PKL di Disperindakop
anggota PKL atas adanya sebelah selatan atas kepada Bapak
kegiatan penertiban di lokasi adanya penertiban oleh Bupati Kepahiang
Alun-alun, yakni di sebelah aparat terhadap mengenai hal
selatan. anggota PKL yg tersebut juga
meiliki tempat yg tidak memuat hal
sesuai dengan keberatan PKL
ketentuan Perda. tersebut.
5 Menurut Ka. Bidang Bina Setelah meng-amati di Terdapat isi surat
Marga Kab. Kepahiang, lokasi ternyata koordinasi dari
Bpk.HB, bahwa pelanggaran memang pelanggaran Disperin-dakop
yg terjadi di lokasi PKL itu sudah lama ber- agar PKL di lokasi
Pasar Kepahiang seolah-olah langsung, tapi tidak terse-but ditertibkan
sengaja dibiar-kan oleh ditertibkan bahkan
aparat, karena pelanggaran menurut beberapa PKL
itu sudah berlangsung lama disitu bahwa aparat
dan tidak mungkin tidak tidak keberatan untuk
diketahui. Ini sebuah membangun tempat
penyimpangan karena di semi permanen yg
lokasi yg lain ditertibkan penting aman-aman
sedangkan di situ tidak. saja.

Setelah diuji validitasnya dengan triangulasi lagi maka dapat disimpulkan

data yang diperoleh tersebut cukup valid.

Reduksi dan penyajian data yang telah peneliti peroleh setelah di cek

derajat atau tingkat validitasnya dan ternyata hasilnya valid, dilakukan untuk lebih

43
menyederhanakan data yang diperoleh maka reduksi data dilakukan terhadap hasil

wawancara sesuai dengan fokus penelitian. Reduksi itu sendiri memiliki

pengertian sebagai proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dari abstraksi

data yang ada dalam fieldnote (catatan lapangan).

Setelah itu untuk memudahkan peneliti mengambil kesimpulan maka

penyajian data akan dilakukan dalam bentuk matrik data. Sajian data merupakan

suatu rangkaian argumentasi informasi yang memungkinkan kesimpulan

penelitian dapat dilakukan penyajian data dari hasil penelitian tersebut

disampaikan dalam pembahasan hasil penelitian.

4.3.2. Efektifitas Implementasi Peraturan Daerah Kepahiang Nomor 4


Tahun. 2007
4.3.2.1. Kepatuhan Aparatur Terhadap Perda
Nomor 4 Tahun.2007
Bertolak dari sudut pandang Compliance dalam mengkaji implementasi

kebijakan publik. Maka dalam hal ini peneliti mengadakan penelitian mengenai

implementasi kebijakan penataan dan penertiban pedagang kaki lima (Perda

Nomor 4 Thn. 2007) di Kabupaten Kepahiang khususnya dalam dengan

memfokus pada aspek keberhasilan implementasi. Aspek keberhasilan

implementasi kebijakan publik dengan indikasinya yaitu kepatuhan street level

buruecrats dalam hal ini lembaga atau Badan pemerintah yg diberi wewenang

yaitu SatPol PP sebagai ketua koordinasi penertiban dan Disperindakop sebagai

ketua tim koordinasi penataan pedagang kaki lima dalam merealisasikan atau

menjabarkan serta menerjemahkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepahiang

tersebut melalui juklak dan juknis sesuai tahapan atau mekanisme yang ada.

44
Dalam hal menafsirkan implementasi kebijakan sebagai serangkaian sikap

atau tindakan yang diambil melalui kebijakan yang telah ditetapkan yaitu

kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda Nomor 4 Thn. 2007) yang

dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mengkaji

implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Kepahiang Nomor 4 Thn. 2007 ini,

peneliti akan mendeskripsikan tahapan implementasinya serta menampilkan

berbagai kejadian yang sebenarnya dengan faktor-faktor penyebabnya.

Dalam hal ini yang banyak diuraikan nantinya adalah keadaan PKL yang

beroperasi dalam sesuai dengan fokus yang telah ditentukan sebelumnya, dan

sesuai hasil wawancara dengan beberapa informan, baik dari PKL itu sendiri,

maupun dari aparat pelaksana, serta hasil pengamatan peneliti sendiri dimana

terdapat beberapa penyimpangan dalam proses implementasi Perda Nomor 4 Th.

2007. Hal tersebut juga didukung dengan informasi dari arsip pada bidang dan

subbidang lembaga pemerintah yaitu oleh SatPol PP yang menginformasikan

mengenai proses penataan dan penertiban PKL sebagaimana pada tabel berikut

ini:

45
Matrik 3. Daftar Pelaksanaan Penataan dan Penertiban PKL
No. Lembaga Pelaksana Bentuk Kegiatan Keterangan
1 2 3 4
1 Disperindakop Pemberdayaan PKL dengan Bantuan ini dibe-rikan kepada
(Kasubdin Sarana memberikan bantuan 25 PKL yang belum men-dapatkan
Dagang, Bpk Sg. buah kereta dorong kepada izin lokasi. Padahal semestinya
25 orang PKL harus diperuntukkan pada
anggota PKL yang telah
memiliki izin lokasi.
2 SatPol PP bidang Pol Melakukan pener-tiban Melakukan pene-rtiban yang
PP (Subbidang Tran- kepada seba-gian anggota tidak adil (maksudnya tidak
tib) Bpk. Nky. PKL sedangkan sebagian merata) hanya dilakukan pada
yang lainnya dibiar-kan be-berapa PKL saja, sedangkan
seperti pelang-garan yang yang lainnya dibiarkan terus
masih terjadi di depan ruko melakukan pelanggaran.
Pasar Kepahiang.
3 Anggota PKL Anggota PKL kurang Walaupun mereka sudah ditegur
memiliki kesadaran, dengan oleh aparat dan diberikan
masih terus melakukan petunjuk sesuai juklak dan
pelang-garan atau me- juknis yang ada namun mereka
lakukan kegiatan yang tidak tidak patuh bahkan tidak peduli
sesuai dengan Perda Nomor dengan ketentuan yang ada.
4 Thn. 2007

Semua pelaksanaan yang diuraikan dalam tabel diatas menunjukkan

bahwa pada kenyataannya implementasi Perda Nomor 4 Th. 2007 tersebut tidak

berjalan dengan sukses, sukses yang dimaksud bisa diartikan dengan tidak adanya

persoalan atau konflik, serta tertibnya pelaksanaan dengan indikasi kesesuaian

antara apa yang ditetapkan dalam Perda dengan apa yang teradi di lapangan.

Namun memang diakui bahwa dalam melaksanakan sebuah program atau

kebijakan tentu saja pasti ada kekurangan. Sebagaimana diungkapkan oleh

informan yakni Kasubdin sarana dagang Disperindakop “Sg” dalam wawancara

pada tanggal 22 April 2012 bahwa pelaksanaan penataan dan penertiban PKL di

seluruh lokasi PKL dalam selalu saja ada kelemahan, baik ditinjau dari

kecocokan antara program dengan pelaksanaan di lapangan, maupun timbulnya

46
persoalan atau pelanggaran dalam lingkungan PKL itu sendiri, seperti dalam tabel

berikut :

Matrik 4. Apek Kepatuhan Aparat Pelaksana

Informan Kepatuhan Aparat Pelaksana


Nomor 3 s/d 9 1. Tidak semua ketentuan yang ada dalam Perda Nomor 4
Thn. 2007 dilaksanakan semua, tetapi tetap harus
memperhatikan kondisi di lapangan dan aspirasi
kelompok sasaran juga harus diperhatikan.
2. Memang kami melaksanakan penataan dan penertiban,
PKL banyak yang menyimpang dari Perda. Kami lebih
membijakasanai beberapa bentuk pelanggaran PKL,
karena kondisi di lapangan tidak sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Perda. Seperti jumlah dan
luas lokasi yang ditetapkan tidak mampu menampung
jumlah PKL yang ada.
3. Kami melakukan penertiban PKL lebih cenderung
memakai pendekatan manusiawi dari pada terlalu tegas
nanti dapat menimbulkan kondisi daerah yang
inkondusif. Jadi sejauh keamanan dan ketertiban dapat
dijaga ya kami biarkan saja walau sedikit menyimpang
dari Perda.
4. Kami memiliki keterbatasan anggaran dan personil
sehingga banyak hal-hal yang diatur dalam Perda
Nomor 4 Thn. 2007 tersebut sengaja tidak kami
laksankan.
5. Kalau kami melaksanakan penertiban sesuai Perda
Nomor 4 Thn. 2007 maka ketika masyarakat
mempunyai kebutuhan tidak terpenuhi jika harus
menunggu dulu kartu identitas dan surat izin lokasi
baru bisa melaksanakan usaha. Jadi kami
membijaksanai pelanggaran tersebut.

4.3.2.2. Aspek Output Kebijaksanaan Penataan dan


Penertiban PKL (Perda Nomor 4 Thn. 2007).
Tabel di atas memperlihatkan tingkat kepatuhan aparat pelaksana yang

rendah dalam proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda

Nomor 4 Thn. 2007). Ketidakpatuhan aparat pelaksana dalam hal ini adalah

khususnya SatPol PP dan Disperindakop Bidang Usaha Dagang terhadap

47
ketentuan Perda Nomor 4 Thn. 2007 disebabkan oleh banyak faktor sebagaimana

yang diuraikan dalam tabel di atas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Repley

dalam perspektif compliance mengenai indikasi kegagalan implementasi

mempunyai ukuran menyangkut aspek kepatuhan (compliance) yang artinya,

kepatuhan dilihat dari street level buruecrats kepada atasan masing-masing.

Sehingga apabila dikaitkan antara kenyataan tersebut dengan pendapat Ripley

jelas terjadi kegagalan dengan fakta tingkat kepatuhan dalam pelaksanaan

program penataan dan penertiban PKL yang cukup rendah. Ha ini juga sinergis

dengan apa yang dikatakan oleh Anderson (dalam Islamy, 2000 : 110 – 111)

bahwa beberapa faktor penyebab ketidakpatuhan masyarakat dalam melaksanakan

suatu kebijakan publik yaitu : (1). Kebijakan bertentangan dengan sistem nilai

yang berlaku dalam masyarakat; (2). Adanya konsep ketidakpatuhan selektif

terhadap hukum; (3). Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan; (4).

Adanya ketidakpastian hukum.

Bila aparat pelaksana tidak patuh terhadap ketentuan atau kebijakan yang

sedang dilaksankan tersebut maka output kebijakan yang dicapai atau hasil yang

akan dicapai pasti tidak sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya, karena ketika

dalam melaksanakan penataan dan penertiban PKL tersebut selalu didasarkan

pada kebijaksanaan aparat pelaksana dan bukan didasarkan pada ketentuan yang

ada dalam Perda, maka dalam proses implementasinya pasti menyimpang dan

biasanya sering timbul persoalan pada pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dari

hasil pengamatan di lapangan dan telaah dokumen yang ada pada masing-masing

lembaga pelaksana sebagai berikut:

48
Penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan penertiban PKL, yakni

aparat seolah pilih kasih dalam menertibkan berbagai pelanggaran yang ada. Dan

juga ternyata hasil dari pengamatan di lapangan peneliti menemukan indikasi

adanya hubungan friksional (hubungan pribadi antara aparat dengan beberapa

pedagang kaki lima). Dari dokumen yang ada hanya memuat beberapa anggota

PKL saja yang ditertibkan, bahkan sudah disidangkan di pengadilan. Padahal di

lapangan menunjukkan bahwa hampir 75% anggota PKL melaksanakan kegiatan

yang tidak sesuai dengan ketentuan Perda Nomor 4 Thn. 2007 tetapi mereka tidak

ditertibkan. Padahal kalau menelaah dokumentasi yakni Surat Keputusan Bupati

Kepahiang Nomor 5 Thn. 2007 Tanggal 5 Agustus 207 tentang petunjuk

pelaksanaan Perda Nomor 4 Thn. 2007 dan tentang ketentuan lokasi untuk

kegiatan PKL, maka sebenarnya setiap anggota PKL yang melakukan kegiatan

yang tidak sesuai Perda maka mereka seharusnya ditertibkan yang tentu saja telah

melewati tahapan-tahapan yang ada. Tapi hal itu belum seluruhnya dilakukan.

Dan untuk lebih jelasnya hal tersebut maka akan dijelaskan kembali pasal-pasal

yang tidak diimplementasikan secara efektif sebagai berikut :

1. Pasal 2 ayat yang mengatur tentang waktu, ukuran dan


bentuk sarana dagang PKL.
2. Pasal 3 ayat 1 mengatur tentang kewajiban memiliki
izin penggunaan lokasi.
3. Pasal 7 poin a, mengatur kewajiban PKL menjaga
kebersihan dengan membawa persediaan tempat sampah.
4. Pasal 9 poin a mengatur tentang larangan bagi PKL
untuk mendirikan bangunan permanen dan semi permanen.
5. Pasal 9 poin d mengatur tentang larangan bagi PKL
untuk meninggalkan sarana dagang selesai melaksanakan dagang.

49
Semua pasal-pasal yang diuraikan di atas tidak atau belum dapat

dilaksanakan secara maksimal. Semestinya bagi para PKL yang melanggar pasal-

pasal tersebut langsung ditertibkan, tetapi di lapangan ternyata belum

sebagaimana yang diharapkan, walaupun diakui terdapat sekitar 25% para

pelanggar telah ditindak secara tegas.

4.3.2.3. Kejelasan dan Ketegasan sangsi Pelanggaran


PKL
Kejelasan Perda dan ketegasan aparat pelaksana adalah merupakan aspek

yang paling penting bagi keberhasilan pelaksanaan program penataan dan

penertiban PKL ternyata menurut hasil wawamcara tidak meiliki ketegasan

sehingga memberikan peluang bagi para anggota PKL untuk melakukan

pelanggaran sebagaimana telah dibahas di atas telah banyak menyimpang dari

Perda Nomor 4 Thn. 2007 serta telah menimbulkan terjadinya berbagai persoalan.

Untuk input kebijakan yang berupa ketegasan hanya bisa terjadi ketika kasus yang

terjadi di beberapa lokasi, seperti di Pasar Kepahiang, sedangkan yang lain itu

dibiarkan seperti pelanggaran yang masih terjadi di seputar komplek terminal

masih terus dibiarkan.

Matrik 5. Kejelasan dan Ketegasan Aparat Pelaksana


INFORMAN INPUT KEBIJAKAN
Disperindakop 1. memang pernah diadakan pembinaan tetapi tidak terlalu
dan SatPol PP intensif dan sifatnya hanya pemberitahuan.
Kab. Kepahiang 2. Untuk kasus-kasus atau pelanggaran-pelanggaran sebagian
anggota PKL saja aparat bertindak tegas tetapi pelanggaran PKL
sebagian yang lainnya tidak.
3. Walau penyimpangan itu terjadi tidak apa-apa yang penting
aman-aman saja dan tidak bergejolak dan sejauh hal tersebut
masih dapat diselesaikan sendiri maka lebih baik penyelesaiannya
di tingkat bawah.
4. Jika ada protes dari kelompok sasaran atau para anggota PKL
tentang proses penataan dan penertiban yang sesuai juklak yang
ada maka hal itu oleh aparat diselesaikan melalui musyawarah.

50
4.3.3. Faktor atau aspek-aspek yang mempengaruhi implementasi
kebijakan Perda Nomor 4 Tahun 2007.
Bila melihat kenyataan sebagaimana diuraikan pada pembahasan poin

efektifitas implementasi perda Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 tadi

maka dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan perda tersebut terjadi

penyimpangan atau juga dapat dikatakan implementasi tersebut mengalami

kegagalan. Tetapi menunjuk pada pendapat Edwards maka kesimpulan itu tidak

semuanya benar, karena Edwards mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu komunikasi, sumber-sumber,

disposisi sikap aparatur, dan struktur birokrasi. Bila merujuk dari pendapat

Edwards ini maka dalam melihat berhasil atau gagalnya proses implementasi

sebuah kebijakan peneliti perlu menyampaikan informasi tentang sejauhmana

faktor-faktor tersebut teraplikasikan dalam proses implementasi perda yang

dimaksud.

Setelah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan program atau kebijakan penataan

dan penertiban PKL (Perda nomor 4 tahun 2007 ternyata ditemukan bahwa isi

perda tersebut kurang aspiratif, kurang akomodatif, dan kurang kondisional.

Artinya perda tersebut kurang sesuai dengan aspirasi kelompok sasaran, kurang

sesuai dengan kondisi khusus mengenai lokasi yang ditetapkan. Dari sinilah

secara nyata terjadi ketidakpatuhan selektif terhadap isi perda itu sendiri, yang

dalam hal ini termasuk penyimpangan mekanisme dan penegasan yang pilih kasih

oleh aparat pada para anggota PKL yang melakukan pelanggaran sebagaimana

51
yang telah diduga pada fokus penelitian. Dan untuk lebih jelasnya faktor-faktor

yang ditemukan di lapangan dapat diuraikan satu persatu dibawah ini.

4.3.3.1. Komunikasi
4.3.3.1.1. Proses Komunikasi
Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, komunikasi merupakan

faktor yang sangat penting bagi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.

Karena komunikasi merupakan proses pemindahan pengetahuan dari pembuat

kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan seterusnya juga sampai kepada

penerima kebijakan (kelompok sasaran). Intinya dari proses komunikasi ini adalah

usaha merubah nilai pandang masyarakat terlebih lagi kelompok sasaran.

Urgensinya proses komunikasi ini juga diungkapkan oleh Uchjana (1995 :

5) dengan menyebutkan bahwa “secara pragmatis pengertian komunikasi adalah

proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau

mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara langsung atau tidak langsung

melalui media.

Kaitannya dengan perda nomor 4 tahun 2007 Kabupaten Kepahiang maka

pendapat di atas dapat diartikan bahwa komunikasi tersebut lebih dilihat sebagai

proses penyampaian isi perda dari pembuat perda ke pelaksana perda dan

seterusnya sampai kepada masyarakat atau kelompok sasaran (PKL) melalui

media yang dipilih, dengan maksud untuk merubah nilai pandang, sikap,

pendapat, dan perilaku bagi penerima pesan, baik itu pelaksana, maupun

masyarakat sasaran. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa komunikasi

merupakan faktor yang paling urgen dan sangat berpengaruh bagi keberhasilan

implementasi sebuah kebijakan. Karena dari komunikasi itu diharapkan agar

52
penerima pesan dapat mengadopsi kebijakan yang dimaksud. Namun kaitannya

dengan proses komunikasi isi Perda nomor 4 tahun 2007 ternyata harapan itu

hampir tidak tercapai, karena menunrut hasil pengamatan dan hasil wawancara,

peneliti melihat bahwa perubahan pandangan, sikap, pendapat dan perilaku

pelaksana terlebih lagi para anggota PKL tidak terjadi. Peneliti menemukan

bahwa tidak adanya perubahan sebagaimana yang diharapkan tersebut karena

proses komunikasi atau sosialisasi perda yang tidak berjalan dengan efektif. Selain

itu para PKL menuntut agar pelaksanaan penataan dan penertiban harus sesusai

dengan pandangan atau kehendak mereka, dan hal inilah yang menyebabkan

terjadinya ketidak patuhan aparat pelaksana.

Seperti diuraikan diatas bahwa faktor komunikasi merupakan sarana yang

paling berperan dan sangat efektif untuk menjelaskan atau menyampaikan

informasi kepada baik aparat pelaksana maupun kepada kelompok sasaran (PKL)

mengenai ketentuan-ketentuan yang tercantum pada perda nomor 4 tahun 2007

Kabupaten Kepahiang. Dan idealnya setiap unit dari lembaga yang ditunjuk

sebagai pelaksana seperti, bidang sarana dagang, dan bidang UKM

Disperindakop, serta Pol. PP yang dalam hal ini Subdin Trantib dengan Gakda

(SatPol PP) harus dapat menyampaikan sejelas-jelasnya, baik antar bidang, atau

antara dinas-dinas yang termasuk dalam timnya masing-masing, serta juga kepada

masyarakat sasaran (PKL) tentang berbagai hal yang termuat dalam perda nomor

4 tahun 2007, tetapi pada kenayataannya hal itu kurang maksimal dilakukan. Ini

terbukti dimana hampir 70 % informan yang peneliti wawancarai mereka tidak

tahu tentang isi perda nomor 4 tahun 2007 tersebut, bahkan dari 70 % tersebut

53
45% diantaranya menyatakan bahwa mengenai perda nomor 4 tahun 2007 tersebut

bukan urusannya atau bukan wewenangnya tetapi itu adalah urusan SatPol PP

dengan Disperindakop.

Proses komunikasi merupakan salah satu dimensi dari konsep komunikasi.

Dalam hal ini peneliti dapat menyampaikan bahwa dari hasil wawancara dengan

informan 3 (tiga) tanggal 25 April 2012 bahwa

“kami yang ditunjuk sebagai lembaga penataan telah berkali-kali


menginformasikan kepada para PKL agar jangan sampai melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan ketentuan perda nomor 4 tahun 2007,
namun mereka tidak mau tahu mengenai hal tersebut. Dan juga kami telah
mengkoordinasikan bahwa kami telah meminta kepada lembaga yang
diberi wewenang sebagai penertiban untuk menertibkan para PKL yang
melanggar perda, tetapi terkadang tidak direspon dengan serius”

Ketidak patuhan tersebut menjadi penyebab atau setidaknya merupakan

potensi terjadinya kegagalan komunikasi/sosialisasi, karena perubahan sikap,

persepsi, dan perilaku sebagaimana yang diharapkan dari proses komunikasi

tersebut ternyata tidak terjadi pada masyarakat sasaran (PKL). Dalam hal ini

bukan berarti bahwa proses komunikasi itu seratus persen tidak berjalan, tetapi

sebenarnya proses tersebut telah berjalan atau telah diupayakan oleh komunikator,

tetapi tidak intensif dan kurang efektif. Selain itu komunikan (masyarakat sasaran)

serta antar bidang-bidang dan bahkan antara lembaga yang diberi wewenang

sebagai implementor juga bisa menerima atau merespon dengan baik,

sebagaimana dapat dilihat dalam hasil wawancara berikut,

Matrik 6. Aspek Proses Komunikasi

54
INFORMAN INPUT KEBIJAKAN
1 2
Nomor 1 s/d 6 1. Sebenarnya para PKL selain kurang mengerti juga mereka
mempunyai pandangan, sikap dan perilaku yang tidak sesuai
dengan ketentuan perda nomor 4 tahun 2007, sehingga
seringkali menyebabkan terjadinya tuntutan untuk mengingkari
peraturan. Hal inilah yang memaksa pemerintah atau aparat
pelaksana untuk menuruti atau menyesuaikan dengan kemauan
mereka.
2. Para PKL itu kebanyakan adalah pendatang yang masing-
masing memiliki adat dan kebiasaan hidup yang berbeda
sehingga proses komunikasi perda nomor 4 tahun 2007 tersebut
agak sedikit mengalami kesulitan.
3. Disaat sosialisasi program penataan dan penertiban berlangsung
banyak yang kurang merespon, karena metode sosialisasi yang
kurang tepat.
4. Mereka mengijinkan beberapa pasal dalam perda itu dirubah
dengan alasan kurang aspiratif dan tidak akomodatif.
5. Yang sering menimbulkan persoalan karena interprestasi yang
berbeda.

Karena frekuensi dan intensitas pelaksanaan sosialisasi yang relatif

kurang, sehingga tidak mampu mengubah persepsi kelompok sasaran (para PKL).

Hal ini persis seperti yang disampaikan oleh informan 3 (tiga) dalam wawancara

berikut :

“Kami sebenarnya telah melakukan sosialisasi dengan teknik mengunjungi


mereka di lokasi usahanya. Kami juga mengakui bahwa teknik yang kami
lakukan itu memang kurang efektif, tetapi kami mau mengadakan acara
khusus untuk sosialisasi perda nomor 4 tahun 2007 tersebut, namun kami
terbatas dana, sehingga sosialisasi itu terpaksa sambilan saja”.

Kurangnya sosialisasi perda nomor 4 tahun 2007 tersebut selain karena

dana yang terbatas sebagaimana diungkapkan oleh informan 3 (tiga) di atas, juga

karena jumlah personil atau staf yang menguasai peraturan daerah yang dimaksud

sangat terbatas, bahkan menurut informan 3 (tiga) bahwa aparat yang aktif

melakukan sosialisasi khusus di lingkungan Disperindakop hanya 2 orang saja.

Persoalan yang sama juga diungkapkan oleh informan 4 (empat ) bahwa kami

55
juga di lingkungan SatPol. PP menghadapi masalah keterbatasan personil untuk

melakukan penertiban di lapangan, seperti yang diungkapkan oleh informan 3

yaitu “Dalam hal ini kami mengakui bahwa ada beberapa lokasi PKL di Wilayah

Kabupaten Kepahiang ini tidak dapat setiap saat kami kontrol, karena disamping

jumlah staf yang terbats, juga ketersediaan dana sangat terbatas”.

4.3.3.1.2. Faktor Keberhasilan Komunikasi

Frekuensi, metode, serta kontinuitas proses sosialisasi perda Nomor 4

tahun 2007 kurang maksimal dan kurang intensif, sehingga tranmisi pengetahuan

tentang Perda tersebut kepada masyarakat sasaran (PKL) juga tidak terjadi,

akibatnya masyarakat sasaran (PKL) banyak yang tidak mengetahui apa yang

menjadi hak dan kewajibannya di saat mereka melakukan aktivitas dagang.

Kemudian isi Perda nomor 4 tahun 2007 juga kurang aspiratif, akomodatif, dan

kurang kondisional, sehingga untuk melaksanakan Perda tersebut secara

keseluruhan cukup sulit. Karena itu, aparat pelaksana sering menyelesaikan

persoalan PKL di lapangan cenderung menyimpang, yakni lebih mengedepankan

pendekatan manusiawi daripada penegakan Perda secara tegas. Dari sinilah

ketidak patuhan, baik aparat pelaksana, maupun dari masyarakat sasaran (PKL)

itu terjadi.

Kecuali itu, seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa para anggota

PKL dalam adalah kebanyakan pendatang yang konsekuensi logisnya di dalam

diri mereka melekat nilai-nilai, budaya, dan adatnya masing-masing, sehingga

proses komunikasi Perda agak sedikit kesulitan. Bahkan dilapangan ditemukan

56
bahwa disaat aparat melakukan sosialisasi Perda nomor 4 tahun 2007 tidak jarang

muncul miskomunikasi antara aparat dengan para PKL.

Yang terakhir yang ditemukan di lapangan bahwa terjadi kecemburuan

sosial, antara anggota PKL yang disebabkan oleh kebijaksanaan aparat pelaksana

yang kurang adil, karena ditemukan dilapangan bahwa ada beberapa anggota PKL

yang melakukan pelanggaran yang sama tetapi hanya sebagiannya saja yang

ditindak. Dari sini muncul pemahaman yang keliru pada sebagian anggota PKL,

bahwa antara sebagain anggota PKL dengan para aparat telah terjadi hubungan

friksionis (hubungan yang tidak sehat) akibatnya para anggota PKL banyak yang

beranggapan bahwa biar kita melanggar Perda yang penting kita berhubungan

baik dengan aparat.

Matrik 7. Aspek Keberhasilan Komunikasi

INFORMAN Keberhasilan Komunikasi


1 2
Nomor 1 s/d 10 1. Keterbatasan lokasi yang disediakan oleh
pemerintah sementara disisi lain jumlah PKL demikian banyak sehingga
pembinaan sebagai anggota PKL untuk berjualan di luar lokasi yang
ditetapkan oleh Perda nomor 4 tahun 2007 terpaksa dilakukan.
2. Perda nomor 4 tahun 2007 itu sendiri kurang
aspiratif kurang kondisional, sehingga aparat pelaksanapun kewalahan
untuk menegakkan Perda tersebut secara utuh, dan musyawarah dalam
menyelesaikan masalah di lapangan lebih dikedepankan oleh aparat
pelaksana.
3. Pemikiran para PKL yang tetap pada
pendiriannya untuk tidak mau mempraktikkan aturan kalau aturan tersebut
tidak memihak pada kepentingan mereka.
4. Isi Perda nomor 4 tahun 2007 masih ada yang
rancu, artinya masih ada yang tidak memiliki batas-batas waktu yang jelas
sehingga perbedaan presepsi dan pandangan terhadap hal-hal tertentu
seringkali muncul ketika Perda tersebut diaplikasikan.
5. Kurangnya pengetahuan aparat pelaksana
terhadap sebagian isi Perda nomor 4 tahun 2007 menyebabkan tidak sesuai
antara Perda dengan yang dilaksanakan di lapangan.
6. Komunikasi tidak terlepas dari kualitas SDM
(aparat pelaksana) dalam peraturan. Karena bagaimanapun bagusnya
aturan dibuat, tapi kalau aparat pelaksana tidak memahami secara jelas
maka implementasinyapun tipis kemungkinan untuk berhasil.

57
Berdasarkan display (tampilan) data di atas, maka nampak terjadinya

hambatan komunikasi Perda karena sebagaimana yang dikatakan oleh Edwards

bahwa untuk dapat mengimplementasikan kebijakan dengan efektif maka

persyaratannya adalah implementor harus tahu apa yang harus dilakukannya. Dan

untuk bisa mendapatkan pengetahuan itu, maka peraturan atau kebijakan itu harus

dikomunikasikan dengan baik. Komunikasi merupakan faktor yang sangat penting

bagi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Jika proses komunikasi

kebijakan tidak teraplikasi dengan baik, maka kebijakan tersebut tidak dapat

dipahami oleh implementor dan jika implementor tidak memahami aturan yang

ingin dilaksanakan maka cenderung yang terlaksana dilapangan berbeda dengan

apa yang ada dalam aturan.

Kaitannya dengan hal tersebut di atas, persoalan yang paling penting bagi

keberhasilan proses komunikasi adalah transmisi, kejelasan dan konsistensi.

Dalam hal ini transmisi maksudnya proses pemindahan atau penyampaian

informasi atau pengetahuan tentang aturan (kebijakan) yang akan dilaksanakan,

sedang kejelasan yang dimaksud adalah kepastian makna atau arti dari isi

kebijakan, sehingga tidak menimbulkan persepsi atau tafsiran yang berbeda oleh

aparat pelaksana ataupun oleh masyarakat sasaran, dan konsistensi adalah

kesiapan mental aparat pelaksana untuk menegakan aturan atau kebijakan yang

ada sesuai dengan apa adanya yang diatur oleh aturan dan tidak berubah-ubah,

sehingga apa yang ditetapkan oleh aturan itulah yang dilaksanakan oleh aparat.

Dalam hubungannya dengan proses implementasi Perda nomor 4 tahun 2007

sebenarnya proses transmisi itu telah dilakukan oleh aparat pelaksana, tetapi

58
kurang maksimal, sehingga akibat yang diharapkan yaitu adanya perubahan pola

pikir, pandangan dari para PKL justru tidak terjadi, sehingga berbagai

pelanggaran yang dilakukan oleh para PKL masih terus terjadi. Jelas di sini terjadi

ketidakpatuhan dan terjadi ketidaksesuaian antara apa yang ditetapkan oleh Perda

dengan apa yang dilaksanakan oleh aparat pelaksana sebagai wujud

ketidakpatuhan aparat pelaksana yang merupakan akibat dari tidak jelasnya isi

Perda nomor 4 tahun 2007.

Menurut informan 3 yaitu kasi sasaran dagang Disperindakop Kepahiang

bahwa media komunikasi yang dipakai untuk kegiatan sosialisasi Peraturan

Daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 ini sebenarnya cukup

memadai, namun intensif dan frekuensinya relatif sedikit. Ini menyebabkan

terhambatnya transmisi informasi atau pengetahuan tentang Perda yang dimaksud

kepada masyarakat. Gagalnya transmisi ini juga berakibat terjadinya perbedaan

penafsiran isi Perda nomor 4 tahun 2007 antara aparat pelaksanan itu sendiri dan

bahkan antara aparat dengan para PKL mengenai teknis penataan dan penertiban

PKL di lapangan.

Masih banyaknya aturan atau undang-undang yang mengatur hal-hal yang

berkaitan erat dengan kegiatan PKL, sehingga kepastian hukum yang diharapkan

dari adanya Perda nomor 4 tahun 2007 tersebut justru tidak terjamin, karena ada

sebagian isi Perda nomor 4 tahun 2007 tersebut bertentangan dengan aturan dan

undang-undang lain. Akibatnya, presepsi aparat pelaksana terhadap sebagaian isi

Perda kadang-kadang kurang tepat dan kurang tegas, dan selebihnya hal tersebut

dipengaruhi oleh kejelasan isi Perda nomor 4 tahun 2007 itu sendiri yang

59
mengandung kerancuan. Kerancuan ini menjadi sebab munculnya sikap

inkosistensi dari aparat pelaksana dalam menegakkan Perda nomor 4 tahun 2007.

hal ini juga diungkapkan oleh informan 6 s.d 10 bahwa sangat sulit mau

menegakkan secara tegas Perda nomor 4 tahun 2007 karena peraturan yang lain,

bahkan juga bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi. Untuk itu

kami mengatur para pedagang kaki lima tersebut lebih banyak disesuaikan dengan

kondisi di lapangan. Jadi yang penting keamanan, keindahan, kebersihan dan

ketertiban umum tidak terganggu. Dari sini terjadi ketidakpatuhan aparat

pelaksanan terhadap isi Perda nomor 4 tahun 2007 yang sekaligus menunjukkan

bahwa komunikasi Perda tersebut dengan aparat pelaksana kurang terjadi.

4.3.3.2. Sumber Daya (Sumber-Sumber)

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa sumber daya atau sumber-sumber

adalah juga faktor yang sangat penting dan memberikan pengaruh bagi

keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Sumber daya yang dimaksud disini

adalah staf (pegawai), informasi dan kewenangan. Jumlah staf yang memadai,

informasi yang cukup, dan kewenangan yang tegas dan jelas adalah faktor yang

sangat urgen dalam implementasi sebuah kebijakan. Hal ini sesuai dengan yang

dijelaskan oleh Edward III yaitu bahwa sumber-sumber yang merupakan faktor

penting dalam melaksanakan kebijakan publik adalah staf yang memadai,

informasi mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan publik dan informasi

mengenai data tentang ketaatan aparat terhadap peraturan pemerintah, wewenang

dan fasilitas. Dari ketiga sumber daya yang penting itu maka yang paling penting

diantaranya adalah staf (SDM).

60
Kaitannya dengan proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban

PKL (Perda nomor 4 tahun 2007) di daerah Kabupaten Kepahiang ditemui

beberapa kelemahan yaitu ketersediaan staf atau pegawai sangat terbatas baik

dalam melaksanakan penataan maupun untuk melakukan penertiban. Dalam hal

ini persoalannya bukan hanya pada masalah kualitas, tetapi juga masalah

kuantitas, karena berdasarkan hasil pengamatan peneliti di lapangan ditemukan

bahwa hanya sedikit aparat atau staf yang mengetahui tentang Perda nomor 4

tahun 2007. Informan 3 (tiga) juga mengatakan bahwa kuranganya intensitas dan

frekuensi kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda nomor 4 tahun 2007)

karena staf yang terbatas sedangkan wilayah yang harus dijangkau cukup luas.

Hal ini juga peneliti temui pada kesempatan mewawancarai sumber (informan)

lainnya seperti dalam matrik berikut.

Matrik 8. Aspek Personil (Staf)


Informan Aspek Personil (staf)
SatPol PP 1. Dari segi kuantitas staf (anggota) kami ini tidak cukup, karena yang
kami laksanakan bukan hanya Perda. Nomor 4 tahun 2007, tetapi banyak
aturan-aturan lain. Selain itu jumlah staf yang benar-benar menguasai
Perda nomor 4 Tahun 2007 tersebut cuman 3 orang saja.
2. Jumlah tersebut tidak cukup untuk melakukan sosialisasi secara
intensif karena wilayah yang harus dijangkau itu luas.
3. Kalau ada masalah, kami bijaksanai walaupun itu sebenarnya
pelanggaran, yang penting tidak menimbulkan gejolak.
4. Tingkat pendidikan staf yang ada agak minim sehingga
kemampuannnya untuk memahami isi Perda nomor 4 tahun 2007 sangat
terbatas, dan akibatnya dalam melaksanakanyapun pasti kurang
maksimal.
5. Jumlah kami memang terbatas, tetapi kami tetap kerja keras.
6. Kami sebenarnya tahu bahwa mereka (PKL) itu telah melanggar
Perda nomor 4 tahun 2007, tetapi kami juga mengerti bahwa pelanggaran
yang terjadi karena terpaksa, jadi kami melihat kondisi lapangan kerja.
Dalam matrik di atas nampak bahwa yang perlu ditekankan adalah jumlah

dan kualitas staf. Staf yang dimaksud peneliti adalah staf disperindakop khusus

61
pada bidang Bina Dagang sebagai tim penataan dan bidang UKM, serta staf

SatPol PP khusus di bidang Pol PP sebagai tim penertiban.

Disamping jumlah staf juga kualitas atau kemampuan staf sangat terbatas

untuk memahami isi Perda Kepahiang nomor 4 tahun 2007. Ini dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan para staf itu sendiri yang kebanyakan hanya tematan SD, SMP

dan SMA dan hanya beberapa orang saja yang tamatan sarjana seperti yang dapat

dilihat pada uraian sebelumnya dalam bab ini.

Terlepas dari kauntitas dan kualitas staf tersebut, masalah kewenangan

aparat juga merupakan hal yang berpengaruh bagi keberhasilan implementasi

kebijakan, karena kurang atau lebih serta tidak jelasnya batas-batas kewenangan

yang harus dilakukan oleh aparat, maka akan berdampak pada efektifitas

implementasi, bahkan akan mudah menimbulkan miskomunikasi dan

miskoordinasi antara petugas yang terkait. Kaitannya dengan proses implementasi

peraturan Daerah Kepahiang nomor 4 tahun 2007 pembagian kewenangan antara

tim penata dan penertiban sudah jelas sebagaimana tertera pada juklak yaitu surat

keputusan Bupati Kepahiang nomor 510/1574/2007 terlampir, namun demikian

pada tatanan operasionalnya khususnya pada tim penertiban yaitu bidang Pol. PP

ditemukan ada sedikit kejanggalan dalam hal pembagian wewenang. Seyogyanya

penegakan Perda-perda itu sebenarnya merupakan kewenangan subdin gakda tapi

ini langsung diserahkan pada subdin trantib. Namun walaupun demikian tetapi

tidak terlalu mempengaruhi proses pelaksanaan tugas penertiban.

Selain itu peneliti juga menemukan masalah mendasar yaitu masalah

sarana dan prasarana utamanya mengenai dana. Dalam hal ini baik tim penataan

62
maupun tim penertiban sama mengeluhkan hal yang sama dan selengkapnya

masalah tersebut dapat dilihat hasil wawancara dalam matrik berikut :

Matrik 9. Aspek Fasilitas


Informan Aspek Fasilitas
Satpol PP 1. Dana yang tersedia kurang sekali,
bahkan kami sedikit mencuri anggaran yang lain untuk
kepentingan penataan dan penertiban PKL itupun tidak cukup.
2. Kami kan banyak pegawai PPTT
(honor) jadi setiap ada kegiata diluar jam kerja kami harus
memberikan upah pada mereka, jadi dana itu betul-betul sulit
bagi kita.

4.3.3.3. Sikap Pelaksana (disposisi sikap aparatur)


Faktor yang paling menentukan dalam proses implementasi kebijakan

adalah sikap aparat pelaksana, mungkin sebuah kebijakan itu telah disusun dengan

sangat baik oleh pembuatnya, tetapi apabila sikap pelaksanaanya tidak sesuai

dengan isi kebijakan, maka sangat sulit implementasinya untuk mencapai hasil

yang baik. Sikap pelaksana yang lebih ditekankan disini adalah kemampuan dan

keleluasaan untuk melakukan interpretasi terhadap isi kebijakan yang akan

dilakansaakannya, dan ini adalah bagian yang sulit dalam proses sebuah

kebijakan.

Interpretasi merupakan salah satu kegiatan dari proses presepsi, yang oleh

Luthans (dalam Toha, 2001 : 124) mengatakan bahwa “Proses Presepsi meliputi

suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran”.

Sedangkan menurut Krech (dalam Toha, 2001 : 124) bahwa “Presepsi adalah

proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar yang unik tentang

kenyataan yang barangkali berbeda dengan kenyataannya”.

63
Dari kedua pendapat di atas sama-sama memandang bahwa kegiatan

interpretasi dan presepsi merupakan hal yang sangat sulit, karena didalamnya

mengandung kecenderungan-kecenderungan dari aparat pelaksana. Apabila

tingkahlaku atau presepsi aparat pelaksana berbeda dengan isi Perda atau

kebijakan maka proses implementasi Perda Kepahiang nomor 4 tahun 2007 yang

sifatnya desentralistik tersebut maka akan terbuka peluang bagi aparat pelaksana

untuk melakukan interpretasi terhadap isi Perda nomor 4 tahun 2007 dimaksud,

dan ini menjadi semakin sulitnya implementasi yang sesuai dengan ketetapan

yang ada. Keadaan ini ditemukan di hampir semua lokasi PKL dalam , dan hampir

40 % para PKL beroperasi di luar lokasi yang ditetapkan. Pelanggaran ini sengaja

dibiarkan karena lokasi yang disediakan pemerintah tidak mencukupi, dan

menurut aparat, yang penting aman dan tertib.

Kecenderungan/disposisi sikap aparat dalam mengatur PKL telah terjadi

dibeberapa lokasi seperti di pasar Kepahiang dan alun-alun. Disini para PKL

dibiarkan untuk melakukan pelanggaran terhadap Perda nomor 4 tahun 2007

dengan azas yang penting aman, tertib bersih (tanpa masalah). Kondisi ini tetap

berlangsung, karena presepsi yang telah terbentuk oleh faktor lingkungan yaitu

kondisi lokasi-lokasi lain yang telah lama dibiarkan penyimpangannya. Hal ini

diungkapkan oleh informan 3 dan hampir sama dengan yang diungkapkan oleh

informan lain seperti berikut

“Para PKL di wilayah Pasar Kepahiang ini menganggap bahwa aparat


kurang begitu tegas dan terkadang pandang bulu dalam menindak
pelanggaran yang ada. Di tempat-tempat tertentu kegiatan penertiban
dijalankan dengan tegas, sedangkan pada tempat yang lainnya tidak”.
(wawancara bulan April 2012)

64
Dari jawaban informan pada wawancara yang ditampilkan dalam matrik

terdahulu bahwa aparat sebenarnya memahami isi Perda nomor 4 tahun 2007 serta

tugas-tugasnya, namun pelaksanaan tugasnya masih bisa dikatakan minim. Hal ini

dapat dilihat dari masih banyaknya pelanggaran PKL yang masih terus

berlangsung tanpa ditindak dengan tegas oleh tim aparat penertiban. Demikian

juga bagi tim aparat penataan tidak mempunyai tanggungjawab untuk secara tegas

menindak para PKL yang melakukan pelanggaran, walaupun menemukan

pelaggaran itu, seperti yang diungkapkan oleh informan 2 bahwa

“kami setiap turun di lapangan selalu menemukan berbagai bentuk


pelanggaran PKL, tapi kami tidak memiliki wewenang dan tanggungjawab
untuk menindak secara tegas, dan kami sering membuat surat
pemberitahuan pada tim penertiban tentang pelanggaran yang kami
temukan itu, namun kelihatannya kurang direspon oleh aparat penertiban”.

Selengkapnya hal ini dapat dilihat pada matrik berikut :

Matrik 10. Aspek Tanggungjawab


Informan Aspek Fasilitas
1 2
SatPol PP dan 1. Sebagain besar para aparat itu memahami tugas dan
Disperindag wewenang masing-masing baik sebagai aparat penertiban,
maupun sebagai aparat penataan.
2. tapi dalam melaksanakan tugas dan wewenang itu masih
minim, sehingga dilapangan para PKL dengan leluasa
menafsirkan aturan tersebut yang penting aman, tertib dan
bersih.
3. Itu terjadi juga karena ketidaktegasan aparat dalam
menindak berbagai pelanggaran yang ada, malah banyak
pelanggaran yang dibijaksanai bahkan disini ada sedikit kesan
bahwa antara PKL dan aparat terjadi hubungan friksional
(KKN)

Bila para implementor mempunyai rasa tanggungjawab untuk

melaksanakan suatu kebijakan, maka itu berarti ada dukungan terhadap

implementasi, dan tentu saja dalam hal ini aparat pelaksana akan melaksanakan

65
kebijakan itu sesuai apa adanya yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.

Teapi apabila presepsi yang dipakai oleh aparat pelaksana berbeda dengan isi

kebijakan yang semestinya maka pembiaraan terhadap berbagai pelanggaran PKL

tersebut akan terus terjadi, dan ini berarti penyimpangan implementasi akan

semakin sulit untuk dihindari, yang akibatnya keberhasilan implementasi juga

semakin sulit untuk diciptakan.

4.3.3.4. Struktur Birokrasi

Aspek lain yang juga penting dan berpengaruh terhadap keberhasilan

implementasi suatu kebijakan adalah struktur birokrasi sebagaimana diingatkan

oleh Jones (1994 : 167) bahwa aspek struktur merupakan aspek yang penting

dalam proses implementasi kebijakan. Hal ini juga dikemukakan oleh Ripley dan

Franklin (1982 :30) bahwa , ...... Bureaucracies are deminant in the

implementation of program and policies and ghave varying degrees of

importances at other stages in the pokey process. Bahkan Jones (1996 : 304)

kembali menyampaikan secara lebih spesifik bahwa “Kabijakan umum jarang

berjalan swalaksana (Self-executing). Sedangkan organisasi diperlukan agar

pekerjaan dapat dilaksanakan. Organisasai dalam pemerintah identik dengan

birokrasi ...” Maka peranan dari birokrasi untuk mewujudkan keberhasilan

implementasi kebijakan adalah dominan.

Khusus pada proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban

PKL (Perda nomor 4 tahun 2007) persoalan struktur birokrasi memang sedikit

menjadi kendala. Menurut hasil wawancara dengan beberapa informan yang

mengatakan bahwa persoalan yang juga sering muncul dalam proses implementasi

66
Perda nomor 4 tahun 2007 adalah rantai koordinasi yang kurang jelas antara

bidang dan sub-bidang dalam satu tim, maupun antara kedua tim itu sendiri yaitu

antara tim penertiban dan tim penataan yang kurang jelas dan tegas batasannya.

Selain itu juga terlalu berbelit-belitnya proses yang harus ditempuh oleh para PKL

dalam mendapatkan kartu identitas dan ijin lokasi, sehingga membutuhkan waktu

yang lama, padahal waktu menurut mereka (PKL) adalah penting, akibatnya

kebanyakan dari mereka merasa malas untuk mengurusnya. Semua uraian ini

secara sederhana akan dijaslakan dengan matrik berikut :

Matrik 11. Aspek Struktur Birokrasi


Informan Aspek Fasilitas
1 2
Nomor 1 s/d 6 1. Memang struktur birokrasi
terkadang menjadi penghambat proses implementasi Perda
nomor 4 tahun 2007 ini, karena antara kedua tim ada
ketidaksesuaian, sehingga agak sedikit menghambat kinerja
kami (pelaksana).
2. Bukan kami sama sekali tidak
mengerti isi Perda nomor 4 tahun 2007, tetapi untuk
mengaplikasikan di lapangan itulah kadang-kadang ada
persoalan yang terjadi . contoh, keinginan antara PKL di
lapangan berbeda-beda akibatnya persoaln sering timbul.
3. Mencermati aturannya tersebut
memang sudah dibuatkan sistem pengorganisasaian dan sistem
pengkoordinasiannya, tapi kurang jelas batasanya.
4. Disamping itu sistem pengawasnnya juga lemah, sehingga
peluang para pelaksana dan para PKL untuk mempresepsikan
Perda secara bebas itu terbuka.
5. Persyaratran untuk mendapatkan ijin lokasi dan kartu
identitas agak susah.

Matrik di atas menjelaskan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam

implementasi Perda nomor 4 tahun 2007, yang disebabkan oleh sistem koordinasi

serta pengawasan yang lemah, baik antara aparat pelaksana itu sendiri maupun

antara pelaksana dengan masyarakat sasaran (PKL). Hal tersebut didukung oleh

67
temuan di lapangan yaitu beberapa pelanggaran PKL tidak ditindak, bahkan justru

sengaja dibiarkan dengan prinsip “yang penting aman dan tertib”.

4.4. Hubungan Antara Faktor serta Pengaruhnya Terhadap Keberhasilan


Implementasi Kebijakan Penataan dan penertiban PKL (perda No. 4
Tahun 2007)
Mengacu pada pendapat Edward III seperti yang telah diuraikan

sebelumnya yaitu yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor-faktor

dan peranannya dalam proses implementrasi sebuah kebijakan. Untuk itu, maka

pembahasannya tidak bisa dilakukan secara parsial (terpisah-pisah) tetapi harus

dilakukan secara simultan (menyeluruh), yaitu dengan menghubungkan antara

satu faktor dengan faktor yang lain. Sebab antara faktor-faktor yang ada tersebut

saling bergantung atau saling mempengaruhi baiksecara langsung maupun tidak

langsung. Kondisi tersebut secara otomatis memberikan pengaruh terhadap

keberhasilan pelaksanaan implementasi sebuah program atau kebijakan.

Kaitannya dengan proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban

PKL (Perda No. 4 tahun 2007) di wilayah Kabupaten Kepahiang khususnya dalam

sebagaimana telah diuraikan pada beberapa matrik di atas, terlihat dengan jelas

bahwa kurang maksimalnya atau terhambatnya pelaksanaan salah satu faktor

sangat mempengaruhi pelaksanaan faktor-faktor lain, yang secara keseluruhan

kondisi tersebut setelah dianalisa dengan menggunakan metode pendekatan

complyance (kepatuhan) ternyata menjadi penyebab kurang berhasilnya

pelaksanaan implementasi kebijakan penataan dan penertiban PKL(Perda No 4

tahun 2007) di wilayah Kabupaten Kepahiang khususnya dalam . Keadaan ini

secara sederhana dapat digambarkan seperti pada skematis di bawah ini :

68
Gambar 6. Skematis yang menggambarkan hubungan antara faktor secara
langsung dan tidak langsung

Komunikasi

Sumber- Implementasi
sumber Peraturan Daerah
Kabupaten
Kepahiang
Disposisi Nomor 4 tahun 2007

Struktur
Birokrasi

Skematis di atas menjelaskan keterkaitan antara faktor dan pengaruhnya

terhadap proses implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4

tahun 2007. Amanat kebijakan penataan dan penertiban PKL (perda nomor 4

tahun 2007) yang tidak ditransimikan secara tepat sebagaimana telah terjadi di

beberapa lokasi PKL, disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif karena

sumber daya manusia (aparat) yang secara kuantitas sangat terbatas, dan juga dari

segi kualitas kurang memiliki kemampuan untuk memahami isi peraturan daerah

Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007. Selain itu intensitas dan frekuensi

sosialisasi yang minim dan isi Perda nomor 4 tahun 2007 itu sendiri yang kurang

adaptif, sehingga para implementor dalam hal ini Disperindakop dan SatPol PP

dan masyarakt sasaran (PKL) mempunyai keleluasan menanggapi atau

69
mempresepsikan isi peratuan daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007

tersebut (disposisi).

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan beberapa imforman

yang mengatakan bahwa beberapa pelanggarn PKL di beberapa lokasi sengaja

kami bijaksanai. Keadaan ini juga didukung oleh hasil temuan di lapangan (Survai

Lapangan) di mana menurut beberapa PKL yang melakukan pelanggaran bahwa

“Pelanggaran ini kata aparat tidak apa-apa yang penting aman dan tertib (tidak ada

masalah)”.

Sumber-sumber yang dimaksud disini dalam kaitannya dengan implementasi

peraturan daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 adalah staf, informasi

dan wewenang serta anggaran. Semua itu baik secara langsung maupun tidak

langsung berpengaruh terhadap implementasi.

Kuantitas staf disni adalah jumlah perangkat Disperindakop khusus bidang

usaha dagang dan SatPol PP khusus bidang Pol. PP yang terbatas, sehingga

menghadapi kesulitan untuk menjangkau semua lokasi untuk melakukan penataan

dan penetiban, sedang kualitas disini adalah kemampuan aparat tersebut untuk

memahami isi Perda nomor 4 tahun 2007 masih kurang, sebagaimana telah

diuraikan pada lembaran terdahulu bahwa yang mampu memahami secara tepat isi

Perda nomor 4 tahun 2007 tersebut hanya beberapa orang saja.

Sedang kebanyakan diantara mereka mempunyai tingkat kemampuan yang

terbatas, sehingga ditemukan ketidaksesuaian antara yang diamanatkan oleh

aturan dengan apa yang mereka laksanakan di lapangan.

70
Kecuali hal-hal di atas, sumber-sumber yang dimaksud disini adalah juga

kesediaan anggaran yang terbatas, sehingga mempengaruhi frekuensi pelaksanaan

tugas aparat, baik untuk melakukan penataan maupun untuk melakukan

penertiban PKL. Kurangnya informasi yang disebabkan oleh frekuensi sosialisasi

peraturan daerah kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 menyebabkan baik

aparat pelaksana maupun para PKL kurang tepat mempresepsikan isi Perda nomor

4 tahun 2007. dan kurangnya frekensi sosialisasi ini menurut beberapa informan

adalah juga karena kurangnya waktu yang tersedia untuk itu.

Selain itu juga, struktur birokrasi yang berbelit-belit dan kurang jelasnya

batasan wewenang antara tim penataan dan tim penertiban membuat kedua tim ini

kesulitan untuk memahami secara tepat tugasnya yang harus dilaksanakan dalam

menata dan menertibkan PKL yang ditambah dengan kurangnya intensitas dan

frekuensi sosialisasi yang menyebabkan komunikasi kurang berhasil.

Disebabkan oleh semua faktor itulah menjadikan ketidak patuhan aparat

atau implementor dalam mengimplementasikan isi peraturan daerah kabupaten

Kepahiang nomor 4 tahun 2007, sehingga dapat dikatakan bahwa implementasi

kurang berhasil.

71
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

5.1. Kesimpulan

Dari uraian hasil observasi, wawancara dan dokumentasi serta hasil

pembahasan penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa implementasi peraturan

Daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 tentang Penataan dan

Penertiban PKL kurang berhasil dengan beberapa fakta sebagai berikut :

5.1.1 Kurang patuhnya para implementor dalam melaksanakan peraturan

Daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 dengan bukti yaitu :

 Sengaja membijaksanai para PKL melakukan pelanggaran tanpa

ditindak dengan tegas.

 Dari 25 dinas yang diberi wewenang sebagai tim pelaksana penataan

dan penertiban PKL sebagaimana tertuang dalam surat keputusan

Bupati Kepahiang 510/1574/2007 tersebut kurang peduli (keculai

Bakesbantiblinmas dan Disperindakop).

 Adanya persoalan yang muncul dilapangan yaitu keberatan yang

dilakukan oleh PKL yang bertempat disebelah barat mesjid Baitussalam

alun-alun Pasar Kepahiang atas adanya penertiban oleh aparat terhadap

72
anggota PKL yang menempati tempat yang tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007.

5.1.2 Kurang berhasilnya implementasi peraturan Daerah Kepahiang nomor

4 tahun 2007 ini juga disebabkan oleh faktor sebagai berikut :

 Intensitas dan frekuensi proses komunikasi sangat minim

yang di sebabkan oleh anggaran yang terbatas dan jumlah staf yang

tidak memadai, seperti personil kasi usaha dagang pada Disperindakop

dan personil Pol PP khusus Subdin Trantib dan Gakda.

 Masih banyaknya aturan atau UU yang lebih tinggi yang

juga mengatur PKL,sehingga sering membuat aparat pelaksana bingung

untuk mengambil keputusan dalam menindak para PKL.

 Sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas seperti :

- Jumlah dan kemmpuan aparat pelaksana kurang memadai

- Terbatasnya informasi tentang bagaimana pelaksanaan Perda nomor

4 tahun 2007 yang disebabkan oleh frekuensi dan intensitas proses

komunikasi.

- Kurang jelasnya batasan wewenang antara tim penataan dan

penertiban yang disebabkan oleh juknis yang kurang rinci (tegas).

- Kesediaan anggaran untuk melaksanakan kegiatan penataan dan

penertiban PKL sangat terbatas.

 Disposisi aparat pelaksana yang antara lain

73
- Implementor terlalu bebas mempresepsikan isi Perda nomor 4 tahun

2007 yang disebabkanh oleh isi perda dan isi juklak/juknis perda itu

sendiri yang kurang jelas dan kurang tegas.

- Memberikan kebijakansanaan secara lisan kepada para PKL yang

melanggar dengan asas yang penting aman, tertib dan tidak ada

masalah.

 Struktur birokrasi yaitu terlalu berbelitnya tahapan serta

persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh para PKL untuk

mendapatkan kartu identitas dan ijin lokasi sehingga para PKL kuang

patuh (malas) untuk mengurusnya.

 Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

teori Edward III yang menyatakan bahwa faktor-faktor keberhasilan

implementasi kebijakan publik adalah komunikasi, sumber daya,

struktur birokrasi dan disposisi (sikap pelaksana) ternyata tidak cocok,

karena masih ada faktor-faktor lain yang juga memberikan pengaruh

pada keberhasilan implementasi kebijakan publik seperti kejelasan

sebuah kebijakan (Perda) yang diimplementasikan. Selain itu karakter

kelompok sasaran juga berpengaruh pada keberhasilan implementasi

sebuah kebijakan.

5.2. Saran

Berdasarkan fakta-fakta seperti tertuang dalam kesimpulan di atas maka

ada beberapa saran yang perlu disampaikan yaitu :

74
5.2.1. Juknis (juklaknya) harus lebih jelas, lebih tegas, sehingga tidak

menimbulkan interpestasi atau presepsi yang berbeda antara tim penataan

dan penertiban, atau bila perlu juknis lebih baik ditiadakan.

5.2.2. Sosialisasai perlu dimaksimalkan intensitas dan frekuensinya,sehingga

komunikasi Perda baik dengan pelaksana maupun dengan kelompok

sasaran (PKL) berjalan dengan lancar. Jadi untuk efektifnya sosialisasi

tidak harus dilakukan di dalam gedung dengan fasilitas yang lengkap

sehingga membutuhkan dana atau biaya yang besar, tetapi dapat pula

dilakukan dengan membuat pamflet atau leter-leter kecil ditempat-tempat

strategis sehingga mudah dibaca dan diketahui oleh masyarakat umum.

5.2.3. Aparat pelaksana perlu lebih tegas dalam menegakkan Perda nomor 4

tahun 2007 dengan tanpa pandang bulu, sehingga tidak menimbulkan

persepsi yang negatif dari sebagain PKL yang lain.

5.2.4. Anggaran untuk melaksanakan kegiatan penataan dan penertiban PKL

perlu disesuaikan lagi dengan kebutuhan yang ada.

5.2.5. Persyaratan serta tahapan yang harus dipenuhi oleh para PKL untuk

memperoleh kartu identitas dan ijin lokasi kalau boleh agar lebih

sederhanakan lagi (dipermudah), seperti urus kartu identitas dan ijin lokasi

kalau bisa persyaratannya sama. Sehingga tidak lagi terlalu merepotkan

para anggota PKL.

75
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Saeful (ed). 2001. Birokrasi Dalam Polemik. Pustaka. Jakarta

Arndt, HW. (ed). Tanpa tahun. Pembangunan dan Pemerataan.


Tanpa tahun. Terjemahan oleh Konta Damanik. 1983. LP3ES Jakarta.

Albrow, Martin. Tanpa tahun. Birokrasi. Terjemahan oleh M. Rusli Karim dan
Totok Daryanto. 1989. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1973. Pengantar Metode Penelitian


Kualitatif; Satuan Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial.
Terjemahan oleh Arif Furchan. 1992. Usaha Nasional, Surabaya.

Budiman, Arief, 2002. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia, Jakarta.

Conyers, Diana. 1984. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga-Suatu Pengantar,


Terjemahan oleh Susetiawati dan Affan Gafar. 1994. Gajah Mada
University, Yogyakarta.

Danim. Sudarwan. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Bumi Aksara,


Jakarta.

Dwianto, Agus (dkk). 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijaksanaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

76
Dunn, William N, 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan oleh
Samodra Wibawa, Diah Asitadani, Agus Heruanto Hadana dan Erwan
Agus Purwanto, 200. gajah Mada.

Edwards III, George C. 1980. Implementasi Publich Policy. Conggressional


Quarterly Press. Washington. DC.

Effendi, Noer Tadjuddin, 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Gilbert, Alan dan Josef Gulgar,Tanpa tahun, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga. Terjemahan oleh Ashori, Juanda dan Amirudin, 1996. PT. Tiara
Wacana Yogyakarta.

Irawan dan M. Suparmoko. 1999, Ekonomika Pembangunan, BPPE, Yogyakarta.

Karim, Abdul Gaffar. 2007. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di


Indonesia. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP. UGM, Yogyakarta.
Korten, D.C. dan Jahrir (Penyuting), 1984, Pembangunan Berdimensi
Kerakyatan. Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi. 1988. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.

Milles, Mathew. B. Dan A. Michael Huberman. Tanpa tahun, Analisis data


Kualitatif-Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Terjemahan oleh
Tjejep Rohendi Rohidin dan Mulyanto, 1992 UI-PRESS, Jakarta.

Moleong, Lexy J. 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif PT. Remaja Rosda


Karya, Bandung.

Osborne, David and Peter Plastik. 1997. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi
Menuju Pemerintah Wirausaha, Terjemahan oleh Abdul Rosyid dan
Ramelan. 2000, Lembaga Manajemen PPM dan PT. Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta.

Wahab, Abdul Solichin, 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi


Keimplementasi Kebijaksanaan Negara. PT. Bumi Aksara, jakarta.

Winarno, Budi. 2000. Teori dan Proses Kebijakan Publik. MED Press.
Yogyakarta.

Setyoko, Paulus Israwan. 2000. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program


IDT (kajian Tentang Prilaku Birokrasi, Partisipasi Masyarakat
Kelembagaan dan komunikasi pembangunan dalam pelaksanaan Impress
No. 5 Tahun 1993 di Propinsi Jawa Tengah. Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung (tidak dipublikasikan).

77
Siregar, Amir Efendi (ed), 1999. Arus Pemikiran Ekonomi Politik Esai-Esai
Terpilih PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Salim, Agus (ed), 2001, Teori dan Peradigma Penelitian Sosial (dari Dezin Guba
dan Penerapannya), Tiara Wacana, Yogyakarta.

Selvilla, C.G, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian, Penerbit Indonesia,


Jakarta.
Sumber Lainnya

Kepahiang dalam Angka, 2001/2002/2007, BPS Kepahiang, 2007.

Koran Suara Demokrasi Indonesia, Edisi 21 Maret 2007. CV. Progres, Jakarta.

78

Anda mungkin juga menyukai