Skripsi Muliadi
Skripsi Muliadi
Skripsi Muliadi
PENDAHULUAN
kerja yang disediakan oleh pemerintah disatu sisi, serta kuatnya desakan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan hidup disisi yang lain tentu saja memaksa sebagian
masyarakat untuk mencari alternatif pekerjaan lain sebagai solusinya. Dalam hal
ini sektor informal merupakan alternatif terbaik untuk mereka jalani, dan salah
satu sektor informal yang banyak digeluti oleh sebagian masyarakat saat ini
adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal ini ditandai dengan semakin
survai yang dilakukan oleh koran suara demokrasi Indonesia bahwa populasi PKL
juga terjadi hal yang sama, yakni semakin meningkatnya populasi PKL.
berdasarkan jenis dagangan dan persebarannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Jumlah Anggota PKL, Tahun 2010.
Jenis
No Jumlah %
Mata Dagangan
1 Makanan dan minuman 211 47,50
2 Pakaian 129 27,29
3 Kaset 23 4,46
4 Bensin 24 2,14
5 Tambal ban 18 87
6 Lain-lain 109 11,72
7 Asongan 57 11,01
Jumlah 571 100
Sumber: Disperindag Kabupaten Kepahiang Tahun 2010
Data di atas menunjukkan bahwa jumlah PKL cukup besar. Hal ini berkaitan
erat dengan jumlah pencari kerja yang terdafatar pada tahun 2010 sejumlah
satu sisi dan masih terbatasnya lapangan kerja yang tersedia menimbulkan potensi
dalam hal mengurangi angka pengangguran, dan selain itu PKL juga merupakan
investasi yang ke semua sektor tersebut adalah kantong perekonomian negara. Ini
artinya sektor PKL juga merupakan aset negara yang ikut memberikan kontribusi
sekitarnya yang banyak ditempati oleh industri, produksi, dan investasi, maka
meningkatnya jumlah PKL didaerah ini sangat membantu lancarnya siklus roda
perekonomian daerah.
2
Di sisi yang lain meningkatnya jumlah PKL tersebut menimbulkan
masalah tersendiri. Karena sebagai sektor informal, PKL memiliki sifat dan
pelanggaran baik ditinjau dari segi ketertiban dan keamanan maupun ditinjau dari
segi kebersihan dan keindahan kota, bahkan sangat potensial bagi terjadinya
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa sektor PKL merupakan bagian dari
basis kegiatan ekonomi rakyat. Hal tersebut bila ditinjau dari segi ilmu
Penertiban Pedagang Kaki Lima. Secara garis besar perda tersebut memuat 2 hal
pokok tentang penataan dan penertiban PKL. Untuk kelancaran penanganan kedua
hal pokok di atas, maka pemerintah daearah Kabupaten Kepahiang telah membagi
dan menunjuk satuan organisasi perangkat daerah sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing.
DISPERINDAG.
3
Semenjak diberlakukannya kebijakan tersebut, terdapat berbagai
pelanggaran yang dilakukan oleh PKL. Berdasarkan data yang ada bahwa sampai
dengan tahun 2010 terdapat 226 anggota PKL yang melakukan pelanggaran, dan
yang diatur dalam perda masih sangat rendah. Mengapa hal itu bisa terjadi?, dan
inilah yang menarik perhatian saya untuk melakukan penelitian atas hal tersebut.
Alasan lain adalah karena perda tersebut tersebut merupakan kebijakan publik,
maka proses implementasinya sangat penting untuk dikaji, kegiatan dalam rangka
memahami apa yang sebenarnya terjadi setelah suatu program dirumuskan, yaitu
pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih
4
penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa
impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
juga menarik saya untuk melakukan pengkajian lebih lanjut tentang bagaimana
5
oleh komunikator kebijakan dengan menitikberatkan pada bagaimana intensitas
proses sosialisasi, daya serap informasi bagi penerima, sumber daya yang
(pegawai), sarana dan prasarana, sikap pelaksana yang meliputi pandangan atau
interpretasinya terhadap isi Perda serta juknis dan struktur birokrasi yang meliputi
lembaga pelaksana.
tahun 2007 tentang Penataan dan Penertiban Pedagang kaki lima di Daerah
penyimpangan?
peraturan Daerah tentang Penataan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima Daerah
Kabupaten Kepahiang.
6
1.4.2. Tujuan Penelitian
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sekelompok orang serta dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu itulah yang
kebijakan publik. Namun demikian, tidak semua keputusan yang berakibat pada
publik tersebut secara otomatis merupakan kebijakan publik, karena ada beberapa
keputusan yang dapat dikategorilkan sebagai bukan kebijakan publik. Jadi, kata
publik dibelakang kata kebijakan tersebut memiliki dua fungsi yakni, di samping
mempertegas atau pembeda apakah kebijakan itu dibuat oleh seseorang orang atau
sekelompok seorang.
kebijakan publik secara luas dapat dikatakan sebagai hubungan suatu unit
to do. Sementara Jenkins (dalam abdul wahab, 2001;4) memberikan batasan yang
selection or goals and the means of achieving them within a specified situation
where these decision should inprinciple, be within the power of these actors to
8
achieve”. Batasan ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Anderson
concern.
kebijakan publik yaitu yang pertama, ada beberapa ahli memandang bahwa
kebijakan publik identik dengan tindakan pemerintah. Para ahli ini selalu
publik, dan yang kedua golongan ahli yang lain sangat berkosentrasi pada
yaitu ada yang memandang kebijakan publik itu sebagai keputusan pemerintah
yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu yang memiliki akibat pada
publik, dan yang lain ada yang melihat kebijakan publik mempunyai akibat-akibat
tersebut merupakan rangkaian hirarchis yang holistic. Artinya, antara tahap yang
satu dengan tahap yang lain saling bergantung atau saling mempengaruhi, dan
keseluruhan tahap itulah yang disebut sebagai “Proses kebijakan Publik” seperti
9
Gambar 1. Proses Kebijakan Publik
Adopsi kebijakan
Rekomendasi
Penilaian kebijakan
Penilaian
tahap yang paling penting selanjutnya adalah implementasi, dan pada tahap inilah
sebuah kebijakan tersebut akan diuji apakah memberikan dampak atau tidak. Hal
maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun
demikian ada beberapa ahli yang melihat bahwa evaluasi bukan sebagai tahap
akhir dari proses kebijakan publik. Karena pada dasarnya, kebijakan publik
10
kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankn
meraih dampak yang diinginkan (Winarno, 2002 : 165). Secara umum evaluasi
evaluasi kebijakan dapat dibedakan dalam dua tugas yang berbeda yakni, pertama
oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Dan kedua adalah
kegiatan atau upaya melihat dan mengkaji proses kebijakan yang menyangkut
penelitian ini yang hanya ingin mengevaluasi implementasi, maka yang akan
11
2.3. Implementasi Kebijakan Publik
hukum dimana berbagai faktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja
yang diinginkan. Van Meer dan Van Horn (dalam Winarno, 2002;102) membatasi
kebijakan-kebijakan sebelumnya.
diperkenalkan oleh Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur
diimplementai secara baik dan efektif, tetapi gagal diperoleh dampak substansial
karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau tiada lainnya. Oleh karena itu,
ini merupakan yang paling penting dari keseluruhan proses kebijakan karena pada
tataran inilah kebijakan akan diuji, apakah sebuah kebijakan yang dibuat
menimbulkan manfaat bagi masyarakat sasaran atau tidak. Hal tersebut sesuai
12
pendapat William Dunn (200,22-25) yang mengatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan satu sarana untuk menguji apakah kebijakan itu bermanfaat
politik dalam prosedur rutin, melalui saluran birokrasi akan tetapi lebih dari itu
sampai dicapainya hasil kebijakan publik termasuk melalui suatu proses atau
siklus kebijakan.
tujuan yang telah ditetapkan dengan tindakan-tindakan tersebut. Dalam hal ini
diri kelompok sasaran tetapi juga menyangkut berbagai kepentingan baik politik,
ekonomi, dan sosial, yang kesemuanya itu dapat mempengaruhi perilaku dari
13
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa
implementasi sebagai sebuah proses tentu tidak terlepas dari pengaruh faktor-
faktor. Sehingga, kebijakan yang telah disusun dengan sempurna sekalipun belum
yang berbeda. Namun demikian ada beberapa faktor yang mempunyai kesamaan.
George Edward III, Grindle, serta Van Meter dan Van Horn sama-sama melihat
Sedangkan George Edward III degan Van Meter dan Van Horn sama-sama
1. Komunikasi
pemahaman yang baik dan benar terhadap sebuah kebijakan adalah hal yang
pertama dan penting untuk dimiliki oleh para implementor. Karena hanya dengan
demikianlah maka implementor mengerti apa yang harus dikerjakan. Dan langkah
kepada masyarakat sasaran. Sehingga pengetahuan dan pemahaman yang baik dan
benar tentang kebijakan tidak hanya menjadi milik pembuat dan pelaksana
14
kebijakan, tetapi juga harus dimiliki oleh penerima atau sasaran kebijakan. Dalam
hal ini ada hirachis antara pembuat, pelaksana, dan penerima atau sasaran
suatu media tertentu, kemudian pesan tersebut diterima dan dipahami oleh
penerima pesan. Pada tingkat selanjutnya, terjadi proses umpan balik penerima
2. Sumberdaya
implementasi kebijakan. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Van Meter dan
dimaksud, mencakup dana atau perangsang lain (icentif) yang mendorong dan
15
ditransmisikan secara akurat, jelas, dan konsisten, namun jika implementor
itu tersmasuk staf yang cukup, serta keahlian-keahlian yang sesuai dengan
Staf atau personil merupakan sumberdaya yang paling penting dalam implementsi
kebijakan. Tetapi jumlah staf tidak selalu mempunyai efek positif bagi
implementasi kebijakan. Artinya, jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis
3. Sikap Pelaksana
melakukannya. Tetapi, jika sikap pelaksana tidak sesuai dengan apa yang telah
diputuskan, maka proses implementasi kebijakan menjadi lebih rumit dan dapat
dengan hal tersebut, kepatuhan (compliance) menjadi hal yang sangat penting bagi
16
keberhasilan implementasi kebijakan. Kepatuhan yang dimaksud disini, bukan
saja bagaimana lembaga atau aparat yang ada dibawah patuh kepada lembaga atau
aparat yang ada diatasnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Repley, tetapi
juga yang lebih penting disini adalah bagaimana patuhnya para implementor
4. Struktur Birokrasi
dalam mengimplementasikan kebijakan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Siagian (1985 ; 229), bahwa organisasai adalah merupakan unsur pelaksana,
antara peranan dan tugas yang harus dilaksanakan agar mendukung terhadap
mengawasi kegiatan.”
Pendapat di atas juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh Max
Weber dalam Albrow, (1996 ; 33-34) yaitu organisasai itu adalah alat untuk
mengatasi kesulitan dan tuntutan tugas pemerintah modern. Dan tipe ideal
17
1. Para anggota staf secara pribadi berbas, hanya menjalankan tugas-tugas
inpersonal jabatan mereka.
2. Ada hirarkhi jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
suatu diploma (Ijazah) yang diperoleh melalaui ujian.
6. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada juga hak-hak pensiun. Gaji
berjenjang menurut kedudukan dalam hierarkhi. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan tertentu ia juga dapat
diberhentikan.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya.
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan
senioritsa maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan
(superior)
9. Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-
sumber yang tersedia di pos tersebut.
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.”
Kaitannya dengan uraian di atas bila kita melirik kinerja birokrasi di
Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya kinerja birokrasi ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yang oleh Agus Dwiyanto dkk. (2002) menyatakan bahwa
hal itu sangat di pengaruhi oleh budaya paternalisme yang masih cukup kuat,
dimana para aparat (pejabat) lebih cenderung berorientasi pada kekuasaan dari
pelayanan dan tidak dilihat sebagai subyek yang memiliki hak untuk
pada pimpinan, sehingga para pejabat yang berada di bawah kurang berani
18
ciri modern birokrasi dan sikap serta perilaku tradisional yang bersumber terutama
sekali pada budaya jawa yang bersifat patrimonial. Ungkapan ini sekaligus
masalah yang rumit sebagaimana dikatakan oleh Edwars III bahwa setiap
kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah tidak selamanya berjalan dengan baik.
Situasi seperti ini akan mendorong timbulnya masalah yang rumit dalam
bahwa ada enam tipe kebijakan yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
masalah yaitu :
tetapi tetap harus dilewati. Karena sebuah kebijakan tidak akan membawa dampak
apa-apa kalau tidak diimplementasikan. Dan tidaklah sebuah kebijakan itu bisa
berjalan dengan sendirinya kecuali dijalankan oleh para aparat pelaksana. Para
aparat pelaksana hanya akan bisa bekerja secara lebih efektif apabila dilakukan
19
implementasi kebijakan. Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat Repley dan
Franklin (1982;30) yang mengtatakan bahwa .... Bureucracies are dominant in the
other stages ini the policy proces. Bahkan Jones (1996 ; 304) mengatakan lebih
spesifik lagi yaitu “Kebijakan umum jarang berjalan swalaksana (Self eksecuting),
PKL (Peraturan Daerah kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007) yang juga
evaluasi yang kesemuanya itu terurai dalam 3 aspek yaitu (1) tingkat kepatuhan
aparat pelaksana, (2). Out put kebijakan (Perda Nomor 4 tahun 2007), (3). Input
sikap, dan struktur birokrasi. Kerangka pikir ini secara sederhana dapat saya
20
Gambar 2. Diagram Kerangka Berpikir
KRISIS MULTIDIMENSI
KEMISKINAN TINGGI
PENGANGGURAN TINGGI
ALTERNATIF
SEKTOR INFORMAL
PKL
PROGRAM
PENATAAN/PENERTIBAN PKL
(Perda No. 4 Tahun 2007)
BAB III
METODE PENELITIAN
21
3.1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Bagdan dan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif ini
fenomena sosial dan dalam kerangka induktif. Artinya, melihat masalah yang
diteliti tersebut dari hal yang bersifat khusus pada lokasi tertentu sampai pada
ini saya juga menggunakan metode sintesis terfokus (focused sinthesis) yakni
dengan mengkaji dan mengaitkan 3 hal pokok, yaitu sumber pustaka yang
relevan, pengalaman empiris dan hasil diskusi dengan nara sumber (Danim, 2000;
76). Pola kerja ini selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut:
TELAAH
Gambar 3. Pola kerja sintesis terfokus (Denim, 2000:176)
PUSTAKA
DISKUSI
REKOMENDASI
DENGAN
UNTUK
SUBYEK
PEMECAHAN
YANG
MASALAH
KOMPETEN
PENGALAMAN 22
EMPIRIS
PENELITI
Model sintesis terfokus ini apabila diterapkan pada kajian implementasi
serta diskusi-diskusi intensif dengan para subyek yang kompeten (para stekhoder)
sebagai nara sumber. Karena data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka, maka laporan penelitian akan berisi kutipan-
bersifat deskriptif. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Servila dkk
dideskripsikan adalah :
23
2. Faktor-faktor penyebab timbulnya penyimpangan dalam proses
meliputi :
isi Perda serta juknis Perda nomor 4 tahun 2007, akan kecenderungan
pelaksana.
24
- Media komunikasi
- Intensitas komunikasi
Proses Komunikasi - Efektifitas komunikasi
- Faktor penghambat komunikasi
- Frekuensi komunikasi
Menyerap informasi
- Kemampuan penerima pesan yang
disampaikan
- Keserasian pemahaman antara para aparat
pelaksana terhadap ketretapan (Perda Nomor 4
2 Komunikasi tahun 2007)
- Kemampuan dalam mengkomuni-kasikan
kebijakan
Keberhasilan komunikasi
Konsistensi
- Tidak terjadinya kesalahpahaman terhadap
pesan yang diterima
- Kesesuaian informasi dan tujuan
kebijakan/prosedur kebijakan.
Kejelasan
- Dipahaminya isi kebijakan secara benar
- Kejelasan petunjuk pelaksana
- Jumlah personil/pegawai atau aparat pelaksana cukup
Aparatur pelaksana memadai
- Mutu aparatur atau pegawai yang berkualitas
- Informasi tentang proses pelaksanaan program
Informasi - Informasi tentang kepatuhan aparat pelaksana
3 Sumber-sumber program dan masyarakat penerima program
- Wewenang lembaga SatPol PP dan disperindakop
Wewenang untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
yang muncul di lapangan
- Anggaran dana yang memadai
Fasilitas
- Sarana dan prasarana yang mendukung
- Tanggungjawab aparat pelaksana
Tanggungjawab - Komitmen aparat pelaksana terhadap tugas dan
tanggungjawabnya
4 Sikap aparat pelaksana
- Proses penerapan ilmu pengetahuan yang dialami
Presepsi melalui panca indera yaitu, penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman.
Struktur organisasi - Pesanan dan tugas berjalan secara sinergis sehingga
dapat mendukung terhadap kelancaran proses
pelaksanaan kebijakan (Perda Nomor 4 tahun 2007).
5 Struktur birokrasi
Proses organisasi - Sistematika terhadap kegiatan dalam
mengkoordinasikan, mempengaruhi, dan mengawasi
kegiatan
sember data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,
sedang selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen. Kata-kata dan tindakan
dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video, pengambilan foto,
25
Pendapat di atas kaitanya dengan penelitian ini maka sumber data yang
1. Data Primer, data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan imforman
2. Data sekunder, yaitu data yang didapat dari dokumentasi, buku-buku atau
penelitian.
Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong; 2002; 165) bahwa paradigma
alamiah, penelitian mulai dengan asumsi konteks itu krisis sehingga masing-
masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri. Kecuali itu, dalam
penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor kontekstual. Jadi,
merinci kekhususan yang ada kedalam rumusan konteks yang unik. Oleh sebab
itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan
(Moleong, 2002;165). Dalam hal ini peneliti cenderung memilih informan yang
dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan
menentukan informan adalah para pejabat atau aparat dan juga masyarakat yang
dianggap tahu tentang berbagai hal yang berkaitan proses implementasi Perda
26
Nomor 4 Tahun 2007 di Daerah Kabupaten Kepahiang. Informan tersebut dapat
pengamatan langsung.
27
Teknik pengamatan juga memungkinkan
cara untuk mengecek kepercayaan data ketika ada keraguan pada data
3.5.2. Wawancara
diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; Ketiga, menferifikasi,
pengecekan anggota.
Dokumentasi ialah setiap bahan tertulis ataupun film (Guba dan Lincoln)
berkaitan dengan keadaan historis dan filosofis dari program replikasi, landasan
28
laporan serta hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan program yang
Analisis data dapat dilakukan baik pada waktu dilapangan maupun setelah
menyimpulkan data.
antara satu dengan yang lain dengan memberikan taksiran yang dapat diterima
dan disajikan secara naratif. Reduksi dan penyajian data adalah dua komponen
29
Aktivitas ketiga komponen tersebut berinteraksi sampai diperoleh
PENGUMPULAN
DATA PENYAJIAN
DATA
REDUKSI
DATA KESIMPULAN -
KESIMPULAN
PENARIKAN /
VERIFIKASI
Gambar 4. Bagan Model Analisis Interaktif
( Miles dan Huberman 1992)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
30
Berdasarkan UU RI Nomor 39 Tahun 2003 tentang
berbatasan dengan:
Lebong;
b. Luas Wilayah
31
Seberang Musi 7.665 ha atau 11,52% - clan Kecamatan
Luas
Kecamatan
Ha Persentase
(1) (2) (3)
Kepahiang 7.192 10,82
Bermani Ilir 16.391 24,65
Tebat Karai 7.688 11,56
Ujan Mas 9.308 13,99
Muara Kemurnu 9.507 14,29
Seberang Musi 7.665 11,53
Kabawetan 6.331 9,52
Merigi 2.418 3,64
Jurnlah 66.500 100,00
Sumber : Bappeda Kabupaten Kepahiang diolah oleh BPS Kabupaten
Kepahiang Tahun 2011
c. Kependudukan
pada tahun 2010 (angka sementara) tercatat 125.011 jiwa, meningkat dari
32
jumlah penduduk tahun sebelumnya, dengan seks rasio 105 artinya dalam 100
yang terpadat dengan kepadatan sebesar 562 penduduk per km2. Sedangkan
Kabupaten Kepahiang, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 3.422 pencari kerja
yang mendaftar dengan berbagai tingkat pendidikan dimana pencari kerja laki-
laki sebesar 1.579 orang dan perempuan sebesar 1.843 orang, lebih banyak
daripada pencari kerja laki-laki. Pencari kerja terbanyak adalah berasal dari
d. Pendidikan
33
Pada tahun 2009, di Kabupaten Kepahiang terdapat 179 sekolah dari
TK hingga SLTA/SMK. Dan ada 1.867 guru dengan rincian 97 guru TK;
1.027 guru SD; 435 guru SLTP dan 308 guru SLTA/SMK.
e. Perdagangan
Selama tahun 2010 ada 123 SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan)
pedagang kecil, 7 buah untuk pedagang menengah dan hanya satu untuk
pedagang besar. Jumlah dan jenis pasar yang ada di Kabupaten Kepahiang
34
Dengan bergulirnya konsep otonomi daerah UU Nomor 32 tahun 2004
lima (PKL) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Atas dasar itu dan
mengeluarkan Perda Nomor 4 tahun 2007 tentang PKL. Perda ini dimaksudkan
ketertiban serta memberikan kepastian usaha bagi PKL. Kecuali itu, sebagaimana
yang diuraikan dalam lembaran penjelasan umum dari Perda ini, bahwa Perda ini
bertujuan untuk menciptakan kondisi yang bersih, indah, aman dan tertib dalam
lingkungan kegiatan PKL. Selain itu juga bertujuan untuk memberdayakan usaha
PKL melalui kegiatan pembinaan teknis, pendidikan, dan pelatihan teknis yang
Perda Nomor 4 tahun 2007 secara efektif berlaku sejak tanggal 1 Juli
tahun 2007. Dan dengan diberlakukannya Perda tersebut maka diharapkan tingkat
pelanggaran yang dilakukan oleh PKL dapat ditekan. Namun ternyata hal itu tidak
terjadi. Bahkan berbagai bentuk pelanggaran PKL masih cukup tinggi seperti
35
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, ditemukan beberapa
nyata di lapangan, untuk lebih jelasnya hal tersebut akan diuraikan satu per satu
pasal-pasal yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif seperti berikut
ini:
a) Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa lokasi, waktu, ukuran dan bentuk sarana
dagang PKL ditentukan oleh Bupati setelah mendapat persetujuan dari
Pimpinan DPRD. Di dalam Juklak nomor 5 tahun 2007 pasal 2 ayat 2 ini
dijelaskan bahwa ukuran sarana dagang bagi para PKL telah ditentukan
secara tegas yakni, bagi PKL yang jenis usaha makanan tempatnya dengan
panjang 2 meter dan lebar 1,5 meter. Pasal 2 ayat 2 sesuai juklak
sebagaimana diuraikan di atas sebenarnya menginginkan adanya
keseragaman ukuran sarana dagang yang harus dimiliki oleh para PKL
sesuai jenis usahanya. Tetapi yang terjadi di lapangan tidak seperti itu.
Dari hasil pengamatan di lapangan tidak kurang dari 260 orang PKL dalam
menempati tempat yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 2 Perda
Nomor 4 tahun 2007.
b) Pasal 3 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa setiap PKL yang akan
melakukan kegiatan usaha perdagangan, yang menempati tanah milik
pemerinah daerah wajib memiliki izin penggunaan lokasi dan kartu
identitas dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Namun berdasarkan
dokumen dan hasil pengamatan di lapangan ternyata lebih dari 300 orang
PKL yang beroperasi dan baru 20 orang yang mempunyai izin lokasi.
c) Pasal 7 poin a menegaskan bahwa setiap PKL wajib menjaga kebersihan,
keindahan, ketertiban, dan keamanan lingkungan sekitarnya. Ketentuan ini
lebih jelas diuraikan dalam juklak nomor 5 tahun 2007 bahwa untuk
keperluan kebersihan, maka setiap PKL harus menyediakan tempat
sampah di dekat lingkungan usahanya. Tapi di lapangan atau dalam
implementasinya ternyata 100% atau sekitar 400 orang dari keseluruhan
36
anggota PKL dalam Kabupaten Kepahiang tidak memiliki tempat sampah
sebagaimana yang diwajibkan oleh pasal 7 poin a tersebut.
d) Pasal 9 poin d, setiap PKL dilarang untuk meninggalkan sarana dagang di
lokasi tempat usahanya setelah selesai melakukan kegiatan usahanya. Tapi
nampaknya di lapangan keadaan itu masih terus terjadi, bahkan tidak
kurang dari 280 sarana dagang PKL masih tertinggal ditempatnya masing-
masing.
Uraian di atas memperlihatkan terjadinya ketidaksesuaian antara program
bahwa beberapa bentuk pelanggaran yang ada sengaja dibiarkan oleh aparat. Hal
ini sesuai juga dengan apa yang dikatakan oleh informan bahwa tingkat kepatuhan
sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III bersama Van Horn dan Van Meter
bahwa dalam implementasi Perda Nomor 4 tahun 2007 ini memang banyak faktor
yang menjadi kendala, yakni, jumlah personil yang kurang memadai, anggaran
yang terbatas, dan prilaku PKL sendiri yang susah diatur. Dikatakannya bahwa
“di satu sisi kami ingin menegakkan perda ini secara tegas, tetapi di sisi
yang lain kami juga menjaga agar tidak adanya reaksi dari masyarakat
utamanya PKL, seperti menjaga jangan sampai adanya kegiatan unjuk
rasa, dan demonstrasi yang pada akhirnya berakibat kondisi daerah
menjadi tidak kondusif.”
37
Jadi menurut informan bahwa dalam menindak berbagai pelanggaran yang
dilakukan oleh para PKL kami lebih mengedepankan sikap persuasif, sehingga
pemantauan dan evaluasi yang semua tahapan ini akan diuraikan sebagai berikut:
38
3. Pengorganisasian mulai dari lembaga yang berwewenang sampai pada
kelompok sasaran/ PKL. Proses ini diukur dari pembentukan tim koordinasi
lembaga yang melakukan penataan dan penertiban PKL. Kaitannya dengan
Perda Nomor 4 tahun 2007 ini memang telah terbentuk tim melalui SK Bupati
Kepahiang No. 510/1574/ 2007 yang dibagi dalam 2 tim yaitu tim penertiban
yang diketuai oleh Satpol PP Kabupaten Kepahiang, dan tim penataan yang
diketuai oleh Disperindakop Kabupaten Kepahiang. Dari hasil wawancara
dengan beberapa informan menunjukkan bahwa tim ini kurang berjalan, dan
seolah-olah tanggung jawab pengaturan PKL itu hanya merupakan tanggung
jawab SatPol PP dan Disperindakop yang dalam hal ini diserahkan pada
Subdin bina dagang saja. Padahal kalau melihat susunan tim seperti dalam SK
Bupati Nomor 510/1574/2007 tersebut bahwa semua dinas dan instansi terkait
juga harus memiliki tanggung jawab dalam hal mengatur PKL, tetapi hal
tersebut tidak terjadi. Ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan beberapa
aparat pada instansi yang masuk tim penataan dan penertiban PKL, dimana
hampir 80% mereka menjawab bahwa soal PKL itu bukan urusannya, tapi
urusan Disperindakop dan SatPol PP. Selain itu, tim penataan juga seharusnya
mendorong terbentuknya paguyuban PKL tingkat kabupaten, sehingga
pengorganisasian PKL lebih mudah.
4. Pelaksanaan kegiatan adalah tahap pelaksanaan seluruh kegiatan yang
telah disepakati dalam musyawarah. Proses ini diukur dari pelaksanaan rencana
kegiatan yang telah disepakati dalam musyawarah.
5. Pendanaan yang diukur dari perencanaan, pengajuan dan pengalokasian
dana yang digunakan dalam melakukan penataan dan penertiban PKL. Khusus
masalah ini menurut beberapa sumber (informan) bahwa memang ketersediaan
dana yang kurang memadai, sehingga apa yang ditentukan oleh Perda Nomor 4
tahun 2007 tersebut tidak dapat dijalankan dengan maksimal.
39
Proses pengambilan informasi atau pengumpulan data dilaksanakan sesuai
dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya serta dengan melalui
a.Observasi (pengamatan).
Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan secara sengaja dan sambil
b. Wawancara.
Dalam hal ini peneliti berupaya mengumpulkan data dan informasi dengan
menggali lebih lanjut informasi atau data yang diperlukan, maka peneliti
memberikan kesempatan kepada informan atau informan untuk bercerita dan juga
mereka tahu persoalan atau data yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti
melakukan dengan cara mendatangi kantor atau tempat bekerjanya para informan
bersangkutan.
40
Data yang diperoleh melalui wawancara adalah mengenai hal-hal yang
terjadi pada waktu implementasi kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda
c.Dokumentasi
arsip atau dokumen yang terkumpul secara jelas dapat dilihat sebagaimana
terlampir.
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif Patton (dalam Moleong,
2000;178). Kaitan dengan ini peneliti tidak menggunakan semua jenis teknik
triangulasi karena hal ini akan sangat menyulitkan bagi peneliti untuk dapat
pemeriksaan melalui sumber lain. Jadi cara yang ditempuh oleh peneliti dan
41
sebab terjadinya penyimpangan implementasi kebijakan penataan dan
penertiban PKL (Perda Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007)
2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berlainan setelah peneliti melakukan hal ini peneliti melihat dengan jelas
dan nyata bahwa ada persamaan antara hasil wawancara dengan dokumen,
yakni memang terjadi penyimpangan dalam implementasi kebijakan
penataan dalam penertiban PKL (Perda nomor 4 tahun 2007 di Daerah
Kabupaten Kepahiang).
Uraian di atas secara jelas dapat digambarkan sebagaimana dalam tabel
dibawah ini :
42
3 Menurut Kabid Usaha Setelah peneliti Dokumen pada
Dagang Disperindakop mengamati di lapangan kantor
Kabupaten Kepahiang ternyata memang Disperindakop yg
bahwa terdapat berbagai pelanggaran bernomor
penyimpangan dalam pener- itu sengaja dibiarkan, 511.3/638 Tgl. 16
tiban PKL yang berlokasi di karena menurut para Juni 2004 juga
Pasar Kepahiang, yaitu PKL yg memiliki pernah melakukan
sengaja dibiarkan para PKL bangunan tersebut koordinasi kepada
memakai badan jalan dan bahwa mereka tidak SatPol PP yg dalam
juga membiarkan bebe-rapa pernah ditertibkan. hal ini bidang Pol
PKL tidak membongkar PP agar dapat
pera-latan dagangannya mener-tibkan para
setelah selesai mela-kukan PKL yg melanggar
kegiatan, selain itu juga tersebut tapi sampai
aparat penertiban mem- saat se-karang ini
biarkan beberapa anggota hal itu tidak
PKL dilakukannya
Reduksi dan penyajian data yang telah peneliti peroleh setelah di cek
derajat atau tingkat validitasnya dan ternyata hasilnya valid, dilakukan untuk lebih
43
menyederhanakan data yang diperoleh maka reduksi data dilakukan terhadap hasil
penyajian data akan dilakukan dalam bentuk matrik data. Sajian data merupakan
kebijakan publik. Maka dalam hal ini peneliti mengadakan penelitian mengenai
buruecrats dalam hal ini lembaga atau Badan pemerintah yg diberi wewenang
ketua tim koordinasi penataan pedagang kaki lima dalam merealisasikan atau
tersebut melalui juklak dan juknis sesuai tahapan atau mekanisme yang ada.
44
Dalam hal menafsirkan implementasi kebijakan sebagai serangkaian sikap
atau tindakan yang diambil melalui kebijakan yang telah ditetapkan yaitu
kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda Nomor 4 Thn. 2007) yang
Dalam hal ini yang banyak diuraikan nantinya adalah keadaan PKL yang
beroperasi dalam sesuai dengan fokus yang telah ditentukan sebelumnya, dan
sesuai hasil wawancara dengan beberapa informan, baik dari PKL itu sendiri,
maupun dari aparat pelaksana, serta hasil pengamatan peneliti sendiri dimana
2007. Hal tersebut juga didukung dengan informasi dari arsip pada bidang dan
mengenai proses penataan dan penertiban PKL sebagaimana pada tabel berikut
ini:
45
Matrik 3. Daftar Pelaksanaan Penataan dan Penertiban PKL
No. Lembaga Pelaksana Bentuk Kegiatan Keterangan
1 2 3 4
1 Disperindakop Pemberdayaan PKL dengan Bantuan ini dibe-rikan kepada
(Kasubdin Sarana memberikan bantuan 25 PKL yang belum men-dapatkan
Dagang, Bpk Sg. buah kereta dorong kepada izin lokasi. Padahal semestinya
25 orang PKL harus diperuntukkan pada
anggota PKL yang telah
memiliki izin lokasi.
2 SatPol PP bidang Pol Melakukan pener-tiban Melakukan pene-rtiban yang
PP (Subbidang Tran- kepada seba-gian anggota tidak adil (maksudnya tidak
tib) Bpk. Nky. PKL sedangkan sebagian merata) hanya dilakukan pada
yang lainnya dibiar-kan be-berapa PKL saja, sedangkan
seperti pelang-garan yang yang lainnya dibiarkan terus
masih terjadi di depan ruko melakukan pelanggaran.
Pasar Kepahiang.
3 Anggota PKL Anggota PKL kurang Walaupun mereka sudah ditegur
memiliki kesadaran, dengan oleh aparat dan diberikan
masih terus melakukan petunjuk sesuai juklak dan
pelang-garan atau me- juknis yang ada namun mereka
lakukan kegiatan yang tidak tidak patuh bahkan tidak peduli
sesuai dengan Perda Nomor dengan ketentuan yang ada.
4 Thn. 2007
bahwa pada kenyataannya implementasi Perda Nomor 4 Th. 2007 tersebut tidak
berjalan dengan sukses, sukses yang dimaksud bisa diartikan dengan tidak adanya
antara apa yang ditetapkan dalam Perda dengan apa yang teradi di lapangan.
pada tanggal 22 April 2012 bahwa pelaksanaan penataan dan penertiban PKL di
seluruh lokasi PKL dalam selalu saja ada kelemahan, baik ditinjau dari
46
persoalan atau pelanggaran dalam lingkungan PKL itu sendiri, seperti dalam tabel
berikut :
rendah dalam proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda
Nomor 4 Thn. 2007). Ketidakpatuhan aparat pelaksana dalam hal ini adalah
47
ketentuan Perda Nomor 4 Thn. 2007 disebabkan oleh banyak faktor sebagaimana
yang diuraikan dalam tabel di atas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Repley
program penataan dan penertiban PKL yang cukup rendah. Ha ini juga sinergis
dengan apa yang dikatakan oleh Anderson (dalam Islamy, 2000 : 110 – 111)
suatu kebijakan publik yaitu : (1). Kebijakan bertentangan dengan sistem nilai
Bila aparat pelaksana tidak patuh terhadap ketentuan atau kebijakan yang
sedang dilaksankan tersebut maka output kebijakan yang dicapai atau hasil yang
akan dicapai pasti tidak sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya, karena ketika
pada kebijaksanaan aparat pelaksana dan bukan didasarkan pada ketentuan yang
ada dalam Perda, maka dalam proses implementasinya pasti menyimpang dan
biasanya sering timbul persoalan pada pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dari
hasil pengamatan di lapangan dan telaah dokumen yang ada pada masing-masing
48
Penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan penertiban PKL, yakni
aparat seolah pilih kasih dalam menertibkan berbagai pelanggaran yang ada. Dan
pedagang kaki lima). Dari dokumen yang ada hanya memuat beberapa anggota
yang tidak sesuai dengan ketentuan Perda Nomor 4 Thn. 2007 tetapi mereka tidak
pelaksanaan Perda Nomor 4 Thn. 2007 dan tentang ketentuan lokasi untuk
kegiatan PKL, maka sebenarnya setiap anggota PKL yang melakukan kegiatan
yang tidak sesuai Perda maka mereka seharusnya ditertibkan yang tentu saja telah
melewati tahapan-tahapan yang ada. Tapi hal itu belum seluruhnya dilakukan.
Dan untuk lebih jelasnya hal tersebut maka akan dijelaskan kembali pasal-pasal
49
Semua pasal-pasal yang diuraikan di atas tidak atau belum dapat
dilaksanakan secara maksimal. Semestinya bagi para PKL yang melanggar pasal-
Perda Nomor 4 Thn. 2007 serta telah menimbulkan terjadinya berbagai persoalan.
Untuk input kebijakan yang berupa ketegasan hanya bisa terjadi ketika kasus yang
terjadi di beberapa lokasi, seperti di Pasar Kepahiang, sedangkan yang lain itu
50
4.3.3. Faktor atau aspek-aspek yang mempengaruhi implementasi
kebijakan Perda Nomor 4 Tahun 2007.
Bila melihat kenyataan sebagaimana diuraikan pada pembahasan poin
kegagalan. Tetapi menunjuk pada pendapat Edwards maka kesimpulan itu tidak
semuanya benar, karena Edwards mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang
disposisi sikap aparatur, dan struktur birokrasi. Bila merujuk dari pendapat
Edwards ini maka dalam melihat berhasil atau gagalnya proses implementasi
dimaksud.
dan penertiban PKL (Perda nomor 4 tahun 2007 ternyata ditemukan bahwa isi
Artinya perda tersebut kurang sesuai dengan aspirasi kelompok sasaran, kurang
sesuai dengan kondisi khusus mengenai lokasi yang ditetapkan. Dari sinilah
secara nyata terjadi ketidakpatuhan selektif terhadap isi perda itu sendiri, yang
dalam hal ini termasuk penyimpangan mekanisme dan penegasan yang pilih kasih
oleh aparat pada para anggota PKL yang melakukan pelanggaran sebagaimana
51
yang telah diduga pada fokus penelitian. Dan untuk lebih jelasnya faktor-faktor
4.3.3.1. Komunikasi
4.3.3.1.1. Proses Komunikasi
Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, komunikasi merupakan
faktor yang sangat penting bagi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.
penerima kebijakan (kelompok sasaran). Intinya dari proses komunikasi ini adalah
proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau
mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara langsung atau tidak langsung
melalui media.
pendapat di atas dapat diartikan bahwa komunikasi tersebut lebih dilihat sebagai
proses penyampaian isi perda dari pembuat perda ke pelaksana perda dan
media yang dipilih, dengan maksud untuk merubah nilai pandang, sikap,
pendapat, dan perilaku bagi penerima pesan, baik itu pelaksana, maupun
merupakan faktor yang paling urgen dan sangat berpengaruh bagi keberhasilan
52
penerima pesan dapat mengadopsi kebijakan yang dimaksud. Namun kaitannya
dengan proses komunikasi isi Perda nomor 4 tahun 2007 ternyata harapan itu
hampir tidak tercapai, karena menunrut hasil pengamatan dan hasil wawancara,
pelaksana terlebih lagi para anggota PKL tidak terjadi. Peneliti menemukan
proses komunikasi atau sosialisasi perda yang tidak berjalan dengan efektif. Selain
itu para PKL menuntut agar pelaksanaan penataan dan penertiban harus sesusai
dengan pandangan atau kehendak mereka, dan hal inilah yang menyebabkan
informasi kepada baik aparat pelaksana maupun kepada kelompok sasaran (PKL)
Kabupaten Kepahiang. Dan idealnya setiap unit dari lembaga yang ditunjuk
Disperindakop, serta Pol. PP yang dalam hal ini Subdin Trantib dengan Gakda
(SatPol PP) harus dapat menyampaikan sejelas-jelasnya, baik antar bidang, atau
antara dinas-dinas yang termasuk dalam timnya masing-masing, serta juga kepada
masyarakat sasaran (PKL) tentang berbagai hal yang termuat dalam perda nomor
4 tahun 2007, tetapi pada kenayataannya hal itu kurang maksimal dilakukan. Ini
tahu tentang isi perda nomor 4 tahun 2007 tersebut, bahkan dari 70 % tersebut
53
45% diantaranya menyatakan bahwa mengenai perda nomor 4 tahun 2007 tersebut
bukan urusannya atau bukan wewenangnya tetapi itu adalah urusan SatPol PP
dengan Disperindakop.
Dalam hal ini peneliti dapat menyampaikan bahwa dari hasil wawancara dengan
tersebut ternyata tidak terjadi pada masyarakat sasaran (PKL). Dalam hal ini
bukan berarti bahwa proses komunikasi itu seratus persen tidak berjalan, tetapi
sebenarnya proses tersebut telah berjalan atau telah diupayakan oleh komunikator,
tetapi tidak intensif dan kurang efektif. Selain itu komunikan (masyarakat sasaran)
serta antar bidang-bidang dan bahkan antara lembaga yang diberi wewenang
54
INFORMAN INPUT KEBIJAKAN
1 2
Nomor 1 s/d 6 1. Sebenarnya para PKL selain kurang mengerti juga mereka
mempunyai pandangan, sikap dan perilaku yang tidak sesuai
dengan ketentuan perda nomor 4 tahun 2007, sehingga
seringkali menyebabkan terjadinya tuntutan untuk mengingkari
peraturan. Hal inilah yang memaksa pemerintah atau aparat
pelaksana untuk menuruti atau menyesuaikan dengan kemauan
mereka.
2. Para PKL itu kebanyakan adalah pendatang yang masing-
masing memiliki adat dan kebiasaan hidup yang berbeda
sehingga proses komunikasi perda nomor 4 tahun 2007 tersebut
agak sedikit mengalami kesulitan.
3. Disaat sosialisasi program penataan dan penertiban berlangsung
banyak yang kurang merespon, karena metode sosialisasi yang
kurang tepat.
4. Mereka mengijinkan beberapa pasal dalam perda itu dirubah
dengan alasan kurang aspiratif dan tidak akomodatif.
5. Yang sering menimbulkan persoalan karena interprestasi yang
berbeda.
kurang, sehingga tidak mampu mengubah persepsi kelompok sasaran (para PKL).
Hal ini persis seperti yang disampaikan oleh informan 3 (tiga) dalam wawancara
berikut :
dana yang terbatas sebagaimana diungkapkan oleh informan 3 (tiga) di atas, juga
karena jumlah personil atau staf yang menguasai peraturan daerah yang dimaksud
sangat terbatas, bahkan menurut informan 3 (tiga) bahwa aparat yang aktif
Persoalan yang sama juga diungkapkan oleh informan 4 (empat ) bahwa kami
55
juga di lingkungan SatPol. PP menghadapi masalah keterbatasan personil untuk
yaitu “Dalam hal ini kami mengakui bahwa ada beberapa lokasi PKL di Wilayah
Kabupaten Kepahiang ini tidak dapat setiap saat kami kontrol, karena disamping
tahun 2007 kurang maksimal dan kurang intensif, sehingga tranmisi pengetahuan
tentang Perda tersebut kepada masyarakat sasaran (PKL) juga tidak terjadi,
akibatnya masyarakat sasaran (PKL) banyak yang tidak mengetahui apa yang
Kemudian isi Perda nomor 4 tahun 2007 juga kurang aspiratif, akomodatif, dan
ketidak patuhan, baik aparat pelaksana, maupun dari masyarakat sasaran (PKL)
itu terjadi.
56
bahwa disaat aparat melakukan sosialisasi Perda nomor 4 tahun 2007 tidak jarang
sosial, antara anggota PKL yang disebabkan oleh kebijaksanaan aparat pelaksana
yang kurang adil, karena ditemukan dilapangan bahwa ada beberapa anggota PKL
yang melakukan pelanggaran yang sama tetapi hanya sebagiannya saja yang
ditindak. Dari sini muncul pemahaman yang keliru pada sebagian anggota PKL,
bahwa antara sebagain anggota PKL dengan para aparat telah terjadi hubungan
friksionis (hubungan yang tidak sehat) akibatnya para anggota PKL banyak yang
beranggapan bahwa biar kita melanggar Perda yang penting kita berhubungan
57
Berdasarkan display (tampilan) data di atas, maka nampak terjadinya
persyaratannya adalah implementor harus tahu apa yang harus dilakukannya. Dan
untuk bisa mendapatkan pengetahuan itu, maka peraturan atau kebijakan itu harus
kebijakan tidak teraplikasi dengan baik, maka kebijakan tersebut tidak dapat
dipahami oleh implementor dan jika implementor tidak memahami aturan yang
Kaitannya dengan hal tersebut di atas, persoalan yang paling penting bagi
sedang kejelasan yang dimaksud adalah kepastian makna atau arti dari isi
kebijakan, sehingga tidak menimbulkan persepsi atau tafsiran yang berbeda oleh
kesiapan mental aparat pelaksana untuk menegakan aturan atau kebijakan yang
ada sesuai dengan apa adanya yang diatur oleh aturan dan tidak berubah-ubah,
sehingga apa yang ditetapkan oleh aturan itulah yang dilaksanakan oleh aparat.
sebenarnya proses transmisi itu telah dilakukan oleh aparat pelaksana, tetapi
58
kurang maksimal, sehingga akibat yang diharapkan yaitu adanya perubahan pola
pikir, pandangan dari para PKL justru tidak terjadi, sehingga berbagai
pelanggaran yang dilakukan oleh para PKL masih terus terjadi. Jelas di sini terjadi
ketidakpatuhan dan terjadi ketidaksesuaian antara apa yang ditetapkan oleh Perda
ketidakpatuhan aparat pelaksana yang merupakan akibat dari tidak jelasnya isi
penafsiran isi Perda nomor 4 tahun 2007 antara aparat pelaksanan itu sendiri dan
bahkan antara aparat dengan para PKL mengenai teknis penataan dan penertiban
PKL di lapangan.
berkaitan erat dengan kegiatan PKL, sehingga kepastian hukum yang diharapkan
dari adanya Perda nomor 4 tahun 2007 tersebut justru tidak terjamin, karena ada
sebagian isi Perda nomor 4 tahun 2007 tersebut bertentangan dengan aturan dan
Perda kadang-kadang kurang tepat dan kurang tegas, dan selebihnya hal tersebut
dipengaruhi oleh kejelasan isi Perda nomor 4 tahun 2007 itu sendiri yang
59
mengandung kerancuan. Kerancuan ini menjadi sebab munculnya sikap
inkosistensi dari aparat pelaksana dalam menegakkan Perda nomor 4 tahun 2007.
hal ini juga diungkapkan oleh informan 6 s.d 10 bahwa sangat sulit mau
menegakkan secara tegas Perda nomor 4 tahun 2007 karena peraturan yang lain,
bahkan juga bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi. Untuk itu
kami mengatur para pedagang kaki lima tersebut lebih banyak disesuaikan dengan
pelaksanan terhadap isi Perda nomor 4 tahun 2007 yang sekaligus menunjukkan
adalah juga faktor yang sangat penting dan memberikan pengaruh bagi
adalah staf (pegawai), informasi dan kewenangan. Jumlah staf yang memadai,
informasi yang cukup, dan kewenangan yang tegas dan jelas adalah faktor yang
sangat urgen dalam implementasi sebuah kebijakan. Hal ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh Edward III yaitu bahwa sumber-sumber yang merupakan faktor
dan fasilitas. Dari ketiga sumber daya yang penting itu maka yang paling penting
60
Kaitannya dengan proses implementasi kebijakan penataan dan penertiban
beberapa kelemahan yaitu ketersediaan staf atau pegawai sangat terbatas baik
ini persoalannya bukan hanya pada masalah kualitas, tetapi juga masalah
bahwa hanya sedikit aparat atau staf yang mengetahui tentang Perda nomor 4
tahun 2007. Informan 3 (tiga) juga mengatakan bahwa kuranganya intensitas dan
frekuensi kebijakan penataan dan penertiban PKL (Perda nomor 4 tahun 2007)
karena staf yang terbatas sedangkan wilayah yang harus dijangkau cukup luas.
Hal ini juga peneliti temui pada kesempatan mewawancarai sumber (informan)
dan kualitas staf. Staf yang dimaksud peneliti adalah staf disperindakop khusus
61
pada bidang Bina Dagang sebagai tim penataan dan bidang UKM, serta staf
Disamping jumlah staf juga kualitas atau kemampuan staf sangat terbatas
untuk memahami isi Perda Kepahiang nomor 4 tahun 2007. Ini dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan para staf itu sendiri yang kebanyakan hanya tematan SD, SMP
dan SMA dan hanya beberapa orang saja yang tamatan sarjana seperti yang dapat
kebijakan, karena kurang atau lebih serta tidak jelasnya batas-batas kewenangan
yang harus dilakukan oleh aparat, maka akan berdampak pada efektifitas
tim penata dan penertiban sudah jelas sebagaimana tertera pada juklak yaitu surat
pada tatanan operasionalnya khususnya pada tim penertiban yaitu bidang Pol. PP
ini langsung diserahkan pada subdin trantib. Namun walaupun demikian tetapi
sarana dan prasarana utamanya mengenai dana. Dalam hal ini baik tim penataan
62
maupun tim penertiban sama mengeluhkan hal yang sama dan selengkapnya
adalah sikap aparat pelaksana, mungkin sebuah kebijakan itu telah disusun dengan
sangat baik oleh pembuatnya, tetapi apabila sikap pelaksanaanya tidak sesuai
dengan isi kebijakan, maka sangat sulit implementasinya untuk mencapai hasil
yang baik. Sikap pelaksana yang lebih ditekankan disini adalah kemampuan dan
dilakansaakannya, dan ini adalah bagian yang sulit dalam proses sebuah
kebijakan.
Interpretasi merupakan salah satu kegiatan dari proses presepsi, yang oleh
Luthans (dalam Toha, 2001 : 124) mengatakan bahwa “Proses Presepsi meliputi
suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran”.
Sedangkan menurut Krech (dalam Toha, 2001 : 124) bahwa “Presepsi adalah
proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar yang unik tentang
63
Dari kedua pendapat di atas sama-sama memandang bahwa kegiatan
interpretasi dan presepsi merupakan hal yang sangat sulit, karena didalamnya
tingkahlaku atau presepsi aparat pelaksana berbeda dengan isi Perda atau
kebijakan maka proses implementasi Perda Kepahiang nomor 4 tahun 2007 yang
sifatnya desentralistik tersebut maka akan terbuka peluang bagi aparat pelaksana
untuk melakukan interpretasi terhadap isi Perda nomor 4 tahun 2007 dimaksud,
dan ini menjadi semakin sulitnya implementasi yang sesuai dengan ketetapan
yang ada. Keadaan ini ditemukan di hampir semua lokasi PKL dalam , dan hampir
40 % para PKL beroperasi di luar lokasi yang ditetapkan. Pelanggaran ini sengaja
dibeberapa lokasi seperti di pasar Kepahiang dan alun-alun. Disini para PKL
dengan azas yang penting aman, tertib bersih (tanpa masalah). Kondisi ini tetap
berlangsung, karena presepsi yang telah terbentuk oleh faktor lingkungan yaitu
kondisi lokasi-lokasi lain yang telah lama dibiarkan penyimpangannya. Hal ini
diungkapkan oleh informan 3 dan hampir sama dengan yang diungkapkan oleh
64
Dari jawaban informan pada wawancara yang ditampilkan dalam matrik
terdahulu bahwa aparat sebenarnya memahami isi Perda nomor 4 tahun 2007 serta
tugas-tugasnya, namun pelaksanaan tugasnya masih bisa dikatakan minim. Hal ini
dapat dilihat dari masih banyaknya pelanggaran PKL yang masih terus
berlangsung tanpa ditindak dengan tegas oleh tim aparat penertiban. Demikian
juga bagi tim aparat penataan tidak mempunyai tanggungjawab untuk secara tegas
implementasi, dan tentu saja dalam hal ini aparat pelaksana akan melaksanakan
65
kebijakan itu sesuai apa adanya yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.
Teapi apabila presepsi yang dipakai oleh aparat pelaksana berbeda dengan isi
tersebut akan terus terjadi, dan ini berarti penyimpangan implementasi akan
oleh Jones (1994 : 167) bahwa aspek struktur merupakan aspek yang penting
dalam proses implementasi kebijakan. Hal ini juga dikemukakan oleh Ripley dan
importances at other stages in the pokey process. Bahkan Jones (1996 : 304)
PKL (Perda nomor 4 tahun 2007) persoalan struktur birokrasi memang sedikit
mengatakan bahwa persoalan yang juga sering muncul dalam proses implementasi
66
Perda nomor 4 tahun 2007 adalah rantai koordinasi yang kurang jelas antara
bidang dan sub-bidang dalam satu tim, maupun antara kedua tim itu sendiri yaitu
antara tim penertiban dan tim penataan yang kurang jelas dan tegas batasannya.
Selain itu juga terlalu berbelit-belitnya proses yang harus ditempuh oleh para PKL
dalam mendapatkan kartu identitas dan ijin lokasi, sehingga membutuhkan waktu
yang lama, padahal waktu menurut mereka (PKL) adalah penting, akibatnya
kebanyakan dari mereka merasa malas untuk mengurusnya. Semua uraian ini
implementasi Perda nomor 4 tahun 2007, yang disebabkan oleh sistem koordinasi
serta pengawasan yang lemah, baik antara aparat pelaksana itu sendiri maupun
antara pelaksana dengan masyarakat sasaran (PKL). Hal tersebut didukung oleh
67
temuan di lapangan yaitu beberapa pelanggaran PKL tidak ditindak, bahkan justru
dan peranannya dalam proses implementrasi sebuah kebijakan. Untuk itu, maka
satu faktor dengan faktor yang lain. Sebab antara faktor-faktor yang ada tersebut
PKL (Perda No. 4 tahun 2007) di wilayah Kabupaten Kepahiang khususnya dalam
sebagaimana telah diuraikan pada beberapa matrik di atas, terlihat dengan jelas
68
Gambar 6. Skematis yang menggambarkan hubungan antara faktor secara
langsung dan tidak langsung
Komunikasi
Sumber- Implementasi
sumber Peraturan Daerah
Kabupaten
Kepahiang
Disposisi Nomor 4 tahun 2007
Struktur
Birokrasi
tahun 2007. Amanat kebijakan penataan dan penertiban PKL (perda nomor 4
tahun 2007) yang tidak ditransimikan secara tepat sebagaimana telah terjadi di
beberapa lokasi PKL, disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif karena
sumber daya manusia (aparat) yang secara kuantitas sangat terbatas, dan juga dari
segi kualitas kurang memiliki kemampuan untuk memahami isi peraturan daerah
Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007. Selain itu intensitas dan frekuensi
sosialisasi yang minim dan isi Perda nomor 4 tahun 2007 itu sendiri yang kurang
adaptif, sehingga para implementor dalam hal ini Disperindakop dan SatPol PP
69
mempresepsikan isi peratuan daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007
tersebut (disposisi).
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan beberapa imforman
kami bijaksanai. Keadaan ini juga didukung oleh hasil temuan di lapangan (Survai
“Pelanggaran ini kata aparat tidak apa-apa yang penting aman dan tertib (tidak ada
masalah)”.
peraturan daerah Kabupaten Kepahiang nomor 4 tahun 2007 adalah staf, informasi
dan wewenang serta anggaran. Semua itu baik secara langsung maupun tidak
usaha dagang dan SatPol PP khusus bidang Pol. PP yang terbatas, sehingga
dan penetiban, sedang kualitas disini adalah kemampuan aparat tersebut untuk
memahami isi Perda nomor 4 tahun 2007 masih kurang, sebagaimana telah
diuraikan pada lembaran terdahulu bahwa yang mampu memahami secara tepat isi
70
Kecuali hal-hal di atas, sumber-sumber yang dimaksud disini adalah juga
aparat pelaksana maupun para PKL kurang tepat mempresepsikan isi Perda nomor
4 tahun 2007. dan kurangnya frekensi sosialisasi ini menurut beberapa informan
Selain itu juga, struktur birokrasi yang berbelit-belit dan kurang jelasnya
batasan wewenang antara tim penataan dan tim penertiban membuat kedua tim ini
kesulitan untuk memahami secara tepat tugasnya yang harus dilaksanakan dalam
menata dan menertibkan PKL yang ditambah dengan kurangnya intensitas dan
kurang berhasil.
71
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
5.1. Kesimpulan
72
anggota PKL yang menempati tempat yang tidak sesuai dengan
yang di sebabkan oleh anggaran yang terbatas dan jumlah staf yang
komunikasi.
73
- Implementor terlalu bebas mempresepsikan isi Perda nomor 4 tahun
2007 yang disebabkanh oleh isi perda dan isi juklak/juknis perda itu
melanggar dengan asas yang penting aman, tertib dan tidak ada
masalah.
mendapatkan kartu identitas dan ijin lokasi sehingga para PKL kuang
sebuah kebijakan.
5.2. Saran
74
5.2.1. Juknis (juklaknya) harus lebih jelas, lebih tegas, sehingga tidak
sehingga membutuhkan dana atau biaya yang besar, tetapi dapat pula
5.2.3. Aparat pelaksana perlu lebih tegas dalam menegakkan Perda nomor 4
5.2.5. Persyaratan serta tahapan yang harus dipenuhi oleh para PKL untuk
memperoleh kartu identitas dan ijin lokasi kalau boleh agar lebih
sederhanakan lagi (dipermudah), seperti urus kartu identitas dan ijin lokasi
75
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. Tanpa tahun. Birokrasi. Terjemahan oleh M. Rusli Karim dan
Totok Daryanto. 1989. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta
Budiman, Arief, 2002. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia, Jakarta.
Dwianto, Agus (dkk). 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijaksanaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
76
Dunn, William N, 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan oleh
Samodra Wibawa, Diah Asitadani, Agus Heruanto Hadana dan Erwan
Agus Purwanto, 200. gajah Mada.
Effendi, Noer Tadjuddin, 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Gilbert, Alan dan Josef Gulgar,Tanpa tahun, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga. Terjemahan oleh Ashori, Juanda dan Amirudin, 1996. PT. Tiara
Wacana Yogyakarta.
Osborne, David and Peter Plastik. 1997. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi
Menuju Pemerintah Wirausaha, Terjemahan oleh Abdul Rosyid dan
Ramelan. 2000, Lembaga Manajemen PPM dan PT. Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta.
Winarno, Budi. 2000. Teori dan Proses Kebijakan Publik. MED Press.
Yogyakarta.
77
Siregar, Amir Efendi (ed), 1999. Arus Pemikiran Ekonomi Politik Esai-Esai
Terpilih PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Salim, Agus (ed), 2001, Teori dan Peradigma Penelitian Sosial (dari Dezin Guba
dan Penerapannya), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Koran Suara Demokrasi Indonesia, Edisi 21 Maret 2007. CV. Progres, Jakarta.
78