Proposal Penelitian Kualitatif
Proposal Penelitian Kualitatif
Proposal Penelitian Kualitatif
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA PURWOKERTO 2008
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama dilaksanakannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebagai konsekuensi dari dilaksanakannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah kabupaten/kota memiliki berbagai kewenangan untuk menyelenggarakan urusan publik. Untuk menyelenggarakan urusan publik tersebut daerah diberikan kewenangan membentuk perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kewenangannya. Dengan demikian diharapkan pelayanan publik dapat diselenggarakan lebih baik karena instansi penyelenggara pelayanan publik menjadi lebih dekat dengan pihak yang dilayaninya yaitu masyarakat. Kenyataannya, otonomi daerah yang telah berlangsung selama ini, belum mampu mewujudkan tujuan ini. Banyak keluhan disampaikan oleh masyarakat berkaitan dengan kualitas pelayanan publik yang mereka terima. Hasil kajian yang dilakukan Governance and Decentralization Survey (2002), menemukan paling tidak ada tiga masalah penting yang perlu disikapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik pasca diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Ketiga masalah tersebut antara lain ; (1) besarnya diskriminasi pelayanan, (2) tidak adanya kepastian pelayanan, dan (3) rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih sering merasa dipersulit ketika berhubungan dengan birokrasi pelayanan, kecuali jika mereka bersedia membayar dana lebih (Israwan, 2006 : 2).
Pada tataran teoritis, untuk memperbaiki peran pemerintah dalam pelayanan publik Osborne dan Gaebler menawarkan konsep mewirausahakan birokrasi dengan sepuluh karakteristik birokrasi yang berjiwa wirausaha, antara lain ; (1) pemerintahan katalis, (2) pemerintahan milik masyarakat, (3) pemerintahan yang kompetitif, (4) pemerintahan yang digerakkan oleh misi, (5) pemerintahan yang berorientasi hasil, (6) pemerintahan yang berorientasi pelanggan, (7)
pemerintahan wirausaha, (8) pemerintahan antisipatif, (9) pemerintahan desentralisasi, dan (10) pemerintahan berorientasi pasar. Pada tataran praktis pun pemerintah terus melakukan upaya perbaikan pelayanan, baik melalui Undang-Undang tentang desentralisasi pemerintahan, seperti UU No. 8 Tahun 2005 yang menggantikan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maupun melalui berbagai kebijakan dibidang pelayanan publik. Salah satunya adalah PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Salah satu sumberdaya yang belum dipersiapkan yang akan mengakibatkan menarik tidaknya daerah sebagai tujuan investasi adalah sistem pelayanan perizinan. Birokrasi perizinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi kendala bagi perkembangan usaha di daerah. Masyarakat dan kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan oleh pemerintah yang tidak memiliki kejelasan prosedur, berbelit-belit, tidak transparan, waktu pemrosesan izin yang tidak pasti, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan terutama berkaitan dengan biaya-biaya yang tidak resmi. Masyarakat harus datang dari satu kantor ke kantor lain, dan dari meja ke meja yang lain ketika ingin mendapatkan suatu izin. Hal ini selanjutnya membuat masyarakat seringkali merasa
dipermainkan oleh aparat pemerintah tanpa bisa melakukan complain atau pengaduan sehingga berakibat pada munculnya citra buruk bagi kinerja pemerintahan dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (www.jabar.go.id.htm). Pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri selanjutnya
menindaklanjuti paket kebijakan tersebut dengan meluncurkan kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut pada intinya meminta pemerintah daerah melakukan kegiatan antara lain (1) penyederhanaan sistem dan prosedur perizinan usaha, (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu pintu di daerah, (3) pemangkasan waktu dan biaya perizinan, (4) perbaikan sistem pelayanan, (5) perbaikan sistem informasi, (6) dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses penyelenggaraan perizinan. Ide dasar dari kebijakan ini adalah strategi yang dipandang efektif untuk meningkatkan pelayanan perizinan adalah dengan mengintegrasikan seluruh proses perizinan ke dalam suatu sistem penyelenggaraan perizinan terpadu satu pintu. Pelayanan tersebut umumnya menganut kaidah-kaidah kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, keadilan dan ketepatan waktu. Diharapkan, penyelenggaraan perizinan satu pintu dapat memberikan pelayanan dengan prosedur sederhana dan tidak rumit sehingga memberikan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengurus izin usaha. Kabupaten Cirebon sebagai salah satu daerah otonom yang akan dijadikan objek dalam penelitian ini, termasuk daerah yang belum mempersiapkan
sumberdaya yang akan mengakibatkan menarik tidaknya Kabupaten Cirebon untuk tujuan investasi. Pelayanan perizinan investasi khususnya bidang usaha perdagangan dan industri yang dijalankan di Kabupaten Cirebon belum dilaksanakan secara terpadu. Hal ini menyebabkan pelayanan perizinan berjalan secara birokratis, terdiri dari berbagai level, instansi dan waktu penyelesaian yang lama. Jenis izin yang harus dimiliki oleh seorang pengusaha terkait dengan usaha perdagangan dan industri yang dijalankannya antara lain ; (1) izin usaha
industri/tanda daftar industri (IUI/TDI), (2) izin gangguan (HO), (3) izin tempat usaha (ITU), (4) izin gudang, (5) surat izin usaha perdagangan (SIUP), dan (6) tanda daftar perusahaan (TDP). Belum terpadunya sistem perizinan usaha dan industri di Kabupaten Cirebon berpengaruh terhadap jumlah izin yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Selama tahun 2005 dan 2006 jumlah izin yang diterbitkan terkait dengan usaha perdagangan dan industri di Kabupaten Cirebon antara lain sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Rekapitulasi Penerbitan Izin Bidang Usaha Perdagangan dan Industri Tahun 2005 2006 di Kabupaten Cirebon No Jenis Izin Tahun 2005 2006 1 Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri 45 120 2 Izin Gangguan 319 247 3 Izin Tempat Usaha 517 385 4 Izin Gudang 7 20 5 Surat Izin Usaha Perdagangan 773 854 6 Tanda Daftar Perusahaan 717 580 Sumber : Disperindag Kab. Cirebon, 2006
Adapun pendapatan asli daerah (PAD) selama tahun 2005 dan 2006 yang diperoleh dari penerbitan izin di bidang usaha perdagangan dan industri ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2. Rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Penerbitan Izin Bidang Usaha Perdagangan dan Industri Tahun 2005 di Kabupaten Cirebon No Jenis Pungutan/Retribusi Target Realisasi (%) 1 Retribusi Izin Usaha Industri/Tanda 7.000.000 7.092.500 101,32 Daftar Industri 2 Retribusi Izin Gangguan dan 224.100.000 230.792.37 102,99 Tempat Usaha 0 3 Retribusi Tanda Daftar Gudang 1.500.000 1.700.000 113,33 4 Retribusi Surat Izin Usaha 38.500.000 42.325.000 109,94 Perdagangan 5 Retribusi Tanda Daftar Perusahaan 42.000.000 49.700.000 118,33 Sumber : Disperindag Kab. Cirebon, 2006 Tabel 3. Rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Penerbitan Izin Bidang Usaha Perdagangan dan Industri Tahun 2006 di Kabupaten Cirebon No Jenis Pungutan/Retribusi Target Realisasi (%) 1 Retribusi Izin Usaha Industri/Tanda 10.200.000 10.200.000 100 Daftar Industri Retribusi Izin Gangguan dan Tempat Usaha 3 Retribusi Tanda Daftar Gudang 4 Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan 5 Retribusi Tanda Daftar Perusahaan Sumber : Disperindag Kab. Cirebon, 2006 2 269.000.00 0 2.340.000 46.800.000 42.000.000 279.000.00 0 2.400.000 47.600.000 49.700.000 104,07 102,6 101,71 118,33
Selain itu, pelayanan perizinan usaha yang belum terpadu ini pun berpengaruh pula terhadap perkembangan jumlah industri dan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh industri tersebut. Jumlah industri serta jumlah tenaga kerja yang diserap selama tahun 2004 - 2005 ini selengkapnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang Tahun 2004 - 2005 di Kab. Cirebon Perusahaan Tenaga Kerja (orang) (unit) 200 2005 2004 2005 4 Industri Besar 13 10 3.604 2.829 Industri Sedang 348 345 10.440 12.438 Jumlah 361 355 14.044 15.267 Sumber : BPS Kabupaten Cirebon, 2005 Realisasi perkembangan jumlah perusahaan dan industri yang kecil di Kabupaten Cirebon ini berpengaruh pula terhadap laju pertumbuhan ekonomi masyarakatnya. Laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor yang sudah dicapai selama tahun 2001 sampai dengan 2005 dapat dilihat dalam tabel 5. Tabel 5. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kab. Cirebon Berdasarkan Sektor Tahun 20012005 (%) Sektor 2001 2002 2003 Pertanian 3,49 -2,57 -0,18 Pertambangan 4,60 12,56 9,29 Industri 7,78 7,22 3,85 Listrik, Gas, Air Bersih 9,98 9,67 7,73 Bangunan 3,60 7,79 3,99 Perdagangan 4,88 4,89 4,74 Pengangkutan 6,33 7,56 5,26 Keuangan 3,04 4,25 2,74 Jasa 5,08 4,14 5,25 Total 4,89 3,31 3,25 Sumber : Badan Pusat Statistik Cirebon, 2005 2004 3,46 -0,18 5,22 5,39 4,89 5,46 4,44 3,28 3,07 4,09 2005 5,55 3,26 3,60 8,10 3,43 3,81 4,79 5,43 4,31 4,47 Klasifikasi Industri
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri dan perdagangan dari tahun 2001 sampai dengan 2005 terus menurun. Penurunan ini disebabkan karena realisasi perkembangan investasi khususnya untuk sektor industri dan perdagangan di Kabupaten Cirebon masih sangat kecil. Sehingga untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi khususnya bidang usaha perdagangan dan industri di Kabupaten Cirebon, Pemerintah Daerah
harus mampu meningkatkan kualitas pelayanannya sehingga mampu menarik investasi yang sebesar-besarnya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu Bagaimanakah Kualitas Pelayanan Perizinan Bidang Usaha Perdagangan dan Industri di Kabupaten Cirebon ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas pelayanan yang diberikan oleh Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Cirebon sebagai instansi yang berwenang memberikan pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri di Kabupaten Cirebon.
D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada ilmu administrasi negara khususnya mengenai manajemen pelayanan publik. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Cirebon agar meningkatkan kualitas pelayanannya khususnya pelayanan dibidang perizinan bidang usaha perdagangan dan industri sehingga mampu meningkatkan perkembangan dunia usaha di Kabupaten Cirebon.
A. Landasan Teori Teori merupakan unsur yang paling penting peranannya dalam suatu penelitian karena dengan teori pneliti mencoba memahami, mengkaji serta menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatian, (Singarimbun 1995:37). Teori merupakan sarana untuk memecahkan masalah dengan jalan menghubungkan secara positif antara gejala-gejala yang diteliti. Menurut Kerlinger (dalam Singarimbun dan Effendi, 1989 : 37) teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dari definisi tersebut, maka teori mengandung dua hal: Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya. Sedangkan fungsi teori menurut Snelbecker ada empat yaitu: 1. 2. 3. 4. Mensistematikan penemuan-penemuan penelitian Menjadi pendorong untuk menyusun hipotesis yang
membimbing peneliti untuk mencari jawaban Membuat ramalan atas dasar penemuan Teori menyajikan penjelasan (dalam Moleong, 1990 : 35)
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menyusun kerangka teori ini adalah memberikan teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan berpikir untuk menjelaskan fenomena sosial yang akan diteliti. Sehingga dengan demikian, dalam suatu penelitian kita mendasarkan diri pada teori-teori yang telah ada untuk menjelaskan dan memberi gambaran yang sistematis mengenai fenomena yang diamati.
B. Kualitas Pelayanan Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari (Sampara, 2006 : 6) : 1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. 2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang ada prinsip efisiensi dan efektivitas. 4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. 5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain. 6. Keseimbangan pelayanan publik. Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga yang lebih strategis. Definisi konvensional dari kualitas biasannya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti : 1. kinerja (performance) 2. keandalan (reliability) hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima
3. mudah dalam penggunaan (ease of use) 4. estetik (esthetics), dan sebagainya. Menurut Tjiptono (1999 : 30) pada dasarnya definisi kualitas pelayanan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Kualitas pelayanan merupakan tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang dirasakan (perceived service). Implikasi dari adanya dua faktor tersebut, maka baik buruknya kualitas pelayanan bergantung pada kemampuan penyedia pelayanan dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten. Untuk mengetahui bentuk pelayanan atau tinggi rendahnya mutu pelayanan kepada masyarakat atau pelanggan dapat ditinjau dari dua kondisi dasar yaitu : 1. Kultur organisasi berkaitan dengan prosedur yang dianut organisasi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Apabila prosedur yang ditetapkan begitu mudah, maka masyarakat atau pelanggan akan beranggapan bahwa pelayanannya berkualitas tetapi jika prosedur yang ditetapkan rumit maka masyarakat atau pelanggan akan beranggapan bahwa pelayanannya kurang berkualitas. 2. Perilaku organisasi berkaitan dengan para pegawai sebagai pendukung dimana dalam kondisi ini harus memperhatikan jarak sosial antara pelanggan dengan petugas pelayanan dan ada kesempatan untuk menyatakan perasaan tidak puas pelanggan atas pelayanan yang diberikan.
Berdasarkan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Publik, ada beberapa faktor yang dapat membedakan antara pelayanan yang berkualitas dan tidak berkualitas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Table 6. Perbandingan antara Pelayanan yang Berkualitas dan Tidak Berkualitas. No Faktor Pembeda 1 2 Transparansi Akuntabilitas Pelayanan yang berkualitas Bersifat terbuka, mudah diakses semua pihak Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan undangundang Sesuai dengan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan, berpegang pada prinsip efisiensi dan efektif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik Pelayanan yang tidak berkualitas Bersifat tertutup, lama dan sulit diakses oleh umum Banyak terjadi penyimpangan terhadap aturan atau undangundang Tidak efisien dan efektif, melebihi kapasitas kemampuan antara pemberi dan penerima pelayanan Monopoli pemerintah dan tidak adanya campur tangan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan public Adanya budaya patronklien dan sarat dengan budaya KKN Beban yang ditanggung oleh pemohon lebih besar, dimana banyak waktu dan biaya yang dikeluarkan.
Kondisional
Partisipatif
5 6
Kesamaan hak
Tidak diskriminatif dan membeda-bedakan satu sama lainnya Keseimbangan Antara pemberi dan hak dan penerima pelayanan kewajiban publik harus memenuhi hak dan kewajibannya.
Menurut Dwiyanto (2002 : 141-121) kriteria mengenai kualitas pelayanan publik yang lebih baik dan meningkat dapat diukur dari : 1. Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik 2. Responsivitas pelayanan 3. Orientasi pada pelayanan 4. Efisiensi pelayanan
1. Akuntabilitas Penyelenggaraan Pelayanan Publik Akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang bertugas melayani rakyat harus bertanggungjawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Dengan bahasa yang sederhana, Starling (1998 :164) mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik. A good synonym for the term accountability is answerability. An organization must be answerable to someone or something outside it self. When things go wrong, someone must be held responsible. Unfortunately, a frequently heard charge is that government is faceless and that, consequently, affixing blame is difficult. (Persamaan kata yang tepat untuk akuntabilitas adalah kemampuan untuk menjawab. Suatu organisasi harus mapu menjawab pertanyaan dari seseorang atau pun yang lainnya di luar organisasinya. Ketika terjadi suatu kesalahan, maka birokrasi seharusnya jangan menunda-nunda resfonsifitasnya. Sayangnya frekuensi untuk mendengar dari pemerintah itu sangat jarang sekali, akibatnya untuk mengurangi kesalahan sangat sulit). Adapun batasan mengenai akuntabilitas yang dikemukakan oleh Lenvine (dalam Soemardi, 2002:10) berpendapat bahwa : "Akuntabilitas publik menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, maka akuntabilitas adalah kepatuhan organisasi publik kepada rakyat serta aspirasi yang dikehendaki oleh rakyat maupun norma-norma dan nilai-nilai yang ada dan berkembang di masyarakat". Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka, akuntabilitas dapat diartikan sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan publik dengan nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang ada di masyarakat.
2. Responsivitas Pelayanan Publik Responsivitas menurut Dilulio (dalam Dwiyanto, 2002 : 60) adalah kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Secara singkat dikatakan bahwa responsivitas mengukur daya tanggap birokrasi terhadap harapan keinginan dan aspirasi serta tuntutan pengguna jasa. Pendapat yang sama diungkapkan juga oleh Marius Bo (2003 : 502) bahwa responsivitas mengandung makna sebagai kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat sesuai dengan aspirasi serta tuntutan masyarakat. Responsivitas menurut Dwiyanto (dalam Soemardi, 2002 : 10) merupakan Kemampuan dari organisasi publik untuk mendengarkan dan merespon kebutuhan masyarakat atau pengguna jasa, yang kemudian dituangkan dalam program kegiatan pelayanan publik. Responsivitas merupakan salah satu cara mengukur kualitas pelayanan karena secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Osbrone dan Plastrik (dalam Dwiyanto, 2002 : 66) mengemukakan bahwa organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya kualitas pelayanannya akan rendah. Hal ini berarti responsivitas yang dimiliki aparat pelayanan sangat lemah dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa responsivitas adalah situasi dan kondisi. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian pelayanan yang dilakukan dengan situasi dan kondisi, dapat tidaknya pelayanan diterima secara cepat dan baik oleh masyarakat sebagai pengguna jasa, serta fleksibilitas petugas dan prosedur pelayanan.
Berdasarkan berbagai pendapat diatas, maka responsivitas diartikan sebagai kemampuan daya tanggap aparat terhadap harapan, kebutuhan, aspirasi serta tuntutan pengguna jasa. 3. Orientasi pada Pelayanan Menurut ensiklopedi umum, orientasi adalah pengetahuan tentang hubungan diri sendiri dengan lingkungannya. Orang dikatakan dapat
mengorientasikan diri dengan baik, apabila ia menilai dengan tepat hubungannya dengan orang-orang disekelilingnya. Pelayanan menurut Purwadarminta (1976 : 646) sebagai suatu perlakuan, perbuatan, cara, hal, dan seterusnya untuk melayani. Sedangkan melayani ini sendiri diartikan menolong, menyediakan apa yang diperlukan orang. Menurut Moenir (2002 : 41) bahwa pelayanan yang diharapkan publik adalah pelayanan yang memberikan kemudahan dalam pengurusan kepentingan, pelayanan yang wajar, perlakuan yang sama tanpa pilih kasih dan perlakuan yang jujur dan terus terang. Pelayanan publik pada dasarnya melibatkan dua pihak yang saling berhubungan. Organisasi penyedia jasa publik di satu pihak dan masyarakat sebagai pengguna jasa sangat ditentukan oleh hubungan kedua pihak ini. Namun demikian determinan utama bagi kualitas pelayanan publik adalah bagaimana organisasi pelayanan tersebut menciptakan delivery mechanism yang tepat sehingga dapat mencapai kelompok sasaran. Kualitas pelayanan dapat dihasilkan semaksimal mungkin apabila seluruh waktu dan konsentrasi aparat tercurah untuk melayani pengguna jasa. tetapi kondisi seperti ini sangat sulit tercipta dalam birokrasi. Hal ini disebabkan karena
adanya ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang dalam memberikan tugas pada aparat bawahannya sehingga membuat pelayanan menjadi terganggu (Dwiyanto, 2002 : 67). 4. Efisiensi Pelayanan Menurut Dwiyanto (2005:150) efisiensi dapat didefinisikan sebagai Perbandingan yang terbaik antara input dan output. Ini berarti, apabila suatu output dapat dicapai dengan input yang minimal maka tingkat efisiensi semakin baik. Input dalam pelayanan publik dapat berupa uang, tenaga, waktu, dan materi lain yang digunakan untuk menghasilkan atau mencapai suatu output. Artinya, harga pelayanan publik harus dapat terjangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat. Disamping itu, masyarakat dapat memperoleh pelayanan publik dalam waktu yang relatif singkat dan tidak banyak membutuhkan tenaga. Suatu kenyataan bahwa organisasi akan dihadapkan pada keterbatasan sumber ini. Dengan keterbatasan sumber tersebut merupakan dorongan utama untuk aparat agar dapat memberikan pelayanan dengan lebih efisien. Ada beberapa persyaratan agar suatu pelayanan bisa efisien sebagaimana diungkapkan oleh Sarwoto (1988:122) yaitu : 1. Berdaya hasil (effective) bahwa pelayanan baik corak ataupun kegunaannya harus benar-benar sesuai kebutuhan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 2. Dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (validity service) bahwa pelayanan telah diolah atau disusun atas dasar fakta, data, angka ataupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 3. Sehat (sound service) bahwa pelayanan disampaikan melalui hierarki dan tatahubungan yang telah dihubungkan dalam suasana komunikasi yang baik. 4. Memuaskan (satisfactory service), bahwa pelayanan tersebut diberikan dengan cepat, tepat waktu, rapi serta tanpa pelayanan teknis.
Berasarkan uraian diatas, maka untuk mengukur efisiensi pelayanan dari organisasi publik diukur melalui sisi input dan output pelayanan. Sisi input digunakan untuk melihat kemudahan akses pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa, sedangkan dari sisi output pelayanan melihat produk pelayanannya. C. Pelayanan Perizinan Bidang Usaha Perdagangan dan Industri Secara konseptual, izin adalah dispensasi dari suatu larangan. Ini berarti peraturan perundang-undangan melarang suatu tindakan tertentu atau tindakantindakan tertentu yang saling berhubungan. Larangan tersebut tidak dimaksudkan berlaku mutlak, namun untuk dapat bertindak dan mengendalikan masyarakat, pemerintah menempuh cara memberikan izin. Dengan demikian, izin beranjak dari ketentuan yang membolehkan seseorang untuk melakukan tindakan setelah memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditetapkan (Suhirman, 2002:78). Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah dan era perdagangan bebas, peranan administrasi pemerintah dan perizinan menjadi sangat penting. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kinerja administrasi pemerintahan dan perizinan, karena masyarakat akan menilai baik buruknya otonomi daerah berdasarkan baik atau buruknya administrasi pemerintahan dan perizinan. Keputusan Menpan Nomor 81 Tahun 1993 mendefinisikan pelayanan umum sebagai Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Kantor Menpan, 1993 : 4). Mengikuti definisi tersebut, pelayanan perizinan investasi bidang usaha perdagangan dan industri dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bentuk produk pelayanannya adalah izin atau warkat yang berhubungan dengan permasalahan investasi dibidang usaha perdagangan dan industri. Untuk menciptakan sistem pelayanan administrasi pemerintahan dan perizinan yang baik, maka pemerintah daerah harus memperhatikan beberapa asas pelayanan antara lain (ibid: 19) : 1) Empati dengan customers artinya pegawai yang melayani urusan
perizinan instansi penyelenggara perizinan harus dapat berempati dengan masyarakat pengguna jasa pelayanan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengharuskan semua pegawai melakukan (a) mengidentifikasi momen kritis pelayanan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya, (b) merumuskan lingkaran pelayanan bagi setiap urusan perizinan tertentu. 2) Pembatasan prosedur (one stop shop) artinya prosedur harus dirancang sependek mungkin, dengan demikian konsep one stop shop benar-benar dapat diterapkan. 3) Kejelasan tatacara pelayanan artinya tatacara pelayanan harus didesain sesederhana mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan. 4) Minimalisasi persyaratan pelayanan artinya persyaratan dalam mengurus pelayanan harus dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar diperlukan.
5)
Kejelasan
kewenangan
artinya
kewenangan
pegawai
yang
melayani masyarakat pengguna jasa pelayanan harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan tugas dan distribusi kewenangan. Dengan demikian tidak terjadi duplikasi tugas atau kekosongan tugas. 6) 7) 8) Transparansi biaya artinya biaya pelayanan harus ditetapkan Kepastian jadwal dan durasi pelayanan sehingga masyarakat seminimal dan setransparan mungkin. memiliki gambaran yang jelas dan tidak resah. Minimalisasi formulir, artinya formulir-formulir harus dirancang secara efisien, sehingga akan dihasilkan formulir komposit (satu formulir yang dapat dipakai untuk berbagai keperluan). 9) Maksimalisasi masa berlakunya izin untuk menghindari terlalu seringnya masyarakat mengurus izin, maka masa berlaku izin harus ditetapkan selama mungkin. 10) Kejelasan hak dan kewajiban providers dan customers, artinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik bagi providers maupun bagi customers harus dirumuskan secara jelas, dan dilengkapi dengan sangsi serta ketentuan ganti rugi. 11) Efektifitas penanganan keluhan, artinya pelayanan yang baik sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya keluhan. Akan tetapi jika muncul keluhan, maka harus dirancang suatu mekanisme yang dapat memastikan bahwa keluhan tersebut akan ditangani secara efektif.
D. Kerangka Berpikir Tujuan utama dilaksanakannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebagai konsekuensi dari dilaksanakannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah kabupaten/kota memiliki berbagai kewenangan untuk menyelenggarakan urusan publik. Kenyataannya, otonomi daerah yang telah berlangsung selama ini, belum mampu mewujudkan tujuan ini. Banyak keluhan disampaikan oleh masyarakat berkaitan dengan kualitas pelayanan publik yang mereka terima. Salah satunya adalah pelayanan perizinan usaha. Penerapan otonomi daerah sekarang ini, memberikan prospek yang bagus untuk aktivitas usaha khususnya bidang perdagangan dan industri di daerah, dimana keduanya memainkan peranan yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun prospek yang bagus ini tidak didukung dengan kesiapan semua sumberdaya yang akan mengakibatkan menarik tidaknya daerah sebagai tujuan investasi. Salah satu sumberdaya yang belum dipersiapkan oleh daerah adalah sistem pelayanan perizinan. Birokrasi perizinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi kendala bagi perkembangan usaha di daerah. Masyarakat dan kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan oleh pemerintah yang tidak memiliki kejelasan prosedur, berbelit-belit, tidak transparan, waktu pemrosesan izin yang tidak pasti, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan terutama berkaitan dengan biaya-biaya yang tidak resmi, maka pemerintah daerah harus memperbaiki kualitas pelayanan perizinan usaha tersebut. Dalam hal ini, penulis mencoba meneliti kualitas
pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara pelayanan perizinan dilihat dari aspek akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik, responsivitas pelayanan publik, orintasi pada pelayanan, dan efisiensi pelayanan.
Kualitas PelayananPerizinan Bidang Usaha Perdagangan dan Industri dilihat dari aspek : 1. Akuntabilitas, 2. Responsivitas, 3. Orientasi Pada Pelayanan, 4. Efisiensi Pelayanan
A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Cirebon, dinas ini merupakan lembaga atau instansi yang satusatunya memberikan pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri di Kabupaten Cirebon, mengingat belum dilaksanakannya pelayanan perizinan secara terpadu. B. Sasaran Penelitian Sasaran dalam penelitian ini adalah Pegawai Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal dan masyarakat pengguna jasa pelayanan di Kabupaten Cirebon. Masyarakat pengguna jasa dijadikan sasaran untuk memperkuat data dari pegawai agar data lebih objektif. C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang atau perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000:3). Metode penelitian kualitatif deskriptif menggambarkan variabel, gejala, keadaan atau fenomena tertentu secara apa adanya. Metode ini digunakan untuk menemukan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap obyek penelitian pada suatu saat tertentu dan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu variabel atau tema, gejala atau keadaan yang ada, yaitu
keadaan gejala (fenomena) secara apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Tangkilisan, 2005:163). D. Fokus Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada kualitas pelayanan perizinan bidang
usaha perdagangan dan industri di Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Cirebon. Sedangkan aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : a. Akuntabilitas Pelayanan Publik Akuntabilitas dapat diartikan sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan publik dengan nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang ada di masyarakat. Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilihat melalui sub aspek sebagai berikut : 1) Acuan pelayanan yang digunakan petugas dalam proses
pelayanan publik. 2) 3) Kejelasan Informasi Pelayanan Publik. Prinsip Keadilan dalam Pelayanan Publik
b. Responsivitas Pelayanan Publik Responsivitas diartikan sebagai kemampuan daya tanggap aparat terhadap harapan, kebutuhan, aspirasi serta tuntutan pengguna jasa. Sub aspek yang akan dikaji dari responsivitas adalah : 1) 2) Manajemen penyampaian keluhan yang dijalankan Dinas Tindakan petugas pelayanan terhadap keluhan pengguna jasa.
c. Orientasi pada Pelayanan Orientasi pada pelayanan menunjukkan pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sub aspek yang akan dikaji adalah : 1) 2) 3) Pemanfaatan waktu kerja petugas pelayanan. Kompetensi petugas pelayanan. Penempatan pengguna jasa oleh petugas dalam pelayanan.
d. Efisiensi Pelayanan Efisiensi pelayanan dari organisasi publik diukur melalui sisi input dan output pelayanan. Sisi input digunakan untuk melihat kemudahan akses pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa, sedangkan dari sisi output pelayanan melihat produk pelayanannya. Sub aspek yang dikaji adalah : 1) 2) Jaminan kepastian waktu pelayanan . Jaminan kepastian biaya pelayanan.
Tabel 7. Matriks Fokus yang akan Diteliti Fokus Aspek 1. Akuntabilitas 1) Acuan pelayanan yang digunakan petugas dalam proses pelayanan publik. 2) Kejelasan informasi pelayanan publik. 3) Prinsip keadilan dalam pelayanan publik 2.Responsivitas 1) Manajemen penyampaian keluhan yang dijalankan Dinas. 2) Tindakan petugas pelayanan terhadap keluhan pengguna jasa. 1) Pemanfaatan waktu kerja petugas pelayanan. 2) Kompetensi petugas pelayanan. Penempatan pengguna jasa oleh petugas dalam pelayanan.
3.Orientasi Pelayanan
pada
4.Efisiensi Pelayanan
1) 2)
E. Teknik Pemilihan Informan Karena dalam penelitian ini sasarannya pegawai dan pengguna jasa, maka teknik pemilihan informan yang digunakan antara satu dengan yang lainnya berbeda. Untuk pengguna jasa menggunakan accidental sampling. Teknik pemilihan informannya berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti. Sedangkan untuk pegawai digunakan teknik purposive sampling yaitu peneliti akan memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Informan yang dipilih dapat menunjuk informan lain yang dianggap lebih tahu, maka pemilihan informan akan berkembang sesuai dengan kebutuhan atau relevansi data (Sugiyono, 1994 : 61). F. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara mendalam (indepth interview), dilakukan terhadap
narasumber (key informan) yang mengetahui secara jelas tentang suatu persoalan atau fenomena yang sedang diamati (Tangkilisan, 2005:165). 2. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat dari dokumen yang berkaitan dengan penelitian yang ada di lokasi penelitian. 3. Pengamatan langsung secara informal yaitu melakukan kunjungan dengan mengamati situasi berbagai hal yang bertujuan untuk mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari interelasi elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial yang serba kompleks, dalam pola-pola kultural
tertentu (Kartono, 1996:157). Peneliti tidak memerankan suatu objek penelitian, melainkan hanya mengamati saja. G. Sumber Data 1. Sumber Data
a. Informan Informan dari pengguna jasa menggunakan accidental sampling. Teknik penentuan informannya berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti. Sedangkan informan awal dari pegawai dipilh secara purposive atas dasar permasalahan, judul, maupun fokus penelitian. b. Dokumen Yaitu catatan-catatan yang berasal dari arsip, buku pedoman pelaksanaan, laporan pelaksanaan, buku maupun arsip yang memuat pendapat maupun teori yang mendukung masalah penelitian. 2. Jenis Data
a. Data Primer Data yang diperoleh langsung dari observasi dan wawancara terhadap informan dan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. b. Data Sekunder Data yang diperoleh dari catatan-catatan atau literatur-literatur, dokumen-dokumen yang ada pada lokasi penelitian serta data-data lain yang mendukung penelitian. H. Metode Analisis
Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Miles dan Huberman (1992:23) menjelaskan model analisis ini terdiri dari tiga komponen analisis yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion/varifiying) yang dilakukan dalam bentuk interaktif dengan pengumpulan data sebagai suatu siklus. Secara sederhana proses analisis ini dapat dijelaskan melalui gambar sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan Gambar 2. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman (1992:23) Keterangan: a. Pengumpulan data, adalah menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber antara lain wawancara, pengamatan yang ditulis dalam catatan laporan, dokumentasi pribadi, dokumen resmi, gambar, foto (Moleong, 1990:190 b. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. c. Penyajian data, sebagai kumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan meliputi berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan.
d. Penarikan kesimpulan/verifikasi tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang digunakan, serta kecakapan peneliti. Kesimpulan dapat dirumuskan sejak awal dan selama penelitian berlangsung. e. Tanda panah merupakan pola proses hubungan diantara komponenkomponen pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan yang akan menjadi model analisis interaktif. I. Validitas Data Validitas data dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan triangulasi data, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk kepentingan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2001:178). Triangulasi data dapat dilakukan dengan cara: (1) membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil pengamatan; (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentsi. Maka selain triangulasi data, peneliti juga menggunakan methodological triangulation.
DAFTAR PUSTAKA
______________. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta : Erlangga. Ratminto, Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sutopo, HB. 1995. Metode Penelitian Kualitatif, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Usman, Husaini & Akbar, P. Setiady. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : Bumi Aksara. Peraturan Perundang-Undangan: Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Publik. Sumber Lain: http://www.bappeda-cirebon.go.id akses 25 Desember 2007. http://www.gerbangjabar.co.id akses tanggal 7 Januari 2008. http://www.cirebonkab.go.id akses 25 Desember 2007.
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PEGAWAI 1. Mohon dijelaskan apa yang menjadi acuan
dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri di Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Cirebon ini ? 2. tersebut ? 3. Dalam pelaksanaannya apakah dinas bertindak Apakah Dinas sudah konsisten terhadap acuan
secara kaku mengikuti aturan tersebut, atau disesuaikan dengan kondisi dilapangan ? 4. Apakah informasi mengenai prosedur dan
persyaratan dalam proses pengurusan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri ini sudah cukup baik ? 5. Apakah ada pembedaan dalam melayani
masyarakat pengguna jasa ? Apakah besar kecilnya perusahaan atau usaha yang dijalankan berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan ? 6. Bagaimanakan manajemen keluhan yang
disediakan Dinas dalam melayani keluhan dari masyarakat pengguna jasa ? 7. Bagaimana respon atau tindakan aparat dari
dinas dalam mengatasi keluhan dari pengguna jasa tersebut ? mohon dijelaskan
8.
diambil oleh dinas dalam memberikan kepuasan kepada pengguna jasa ? 9. Apakah dalam pemberian pelayanan perizinan,
dinas selalu memprioritaskan kepentingan pengguna jasa ? 10. Bagaimanakah kompetensi yang dimiliki oleh
petugas pelayanan dalam melayani masyarakat pengguna jasa, apakah sudah cukup baik atau tidak ? 11. Tindakan apa yang diambil Dinas untuk
meningkatkan kompetensi petugas pelayanan ? 12. Bagaimanakah penempatan pengguna jasa oleh
petugas pelayanan, apakah masih dianggap sebagai objek atau subjek pelayanan ? 13. Apakah sudah ada aturan yang jelas mengenai
waktu dan biaya pelayanan ?mohon dijelaskan berapa lama waktu dan besar biaya yang diperlukan dalam pengurusan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri ini? 14. Masih mungkinkah adanya biaya tambahan
dalam pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri ini ? 15. Bagaimanakah respon atau tanggapan
masyarakat terhadap biaya tambahan tersebut ? 16. Bagaimanakah tingkat kepuasan masyarakat
pengguna jasa terhadap pelayanan yang diberikan oleh Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal ini ?
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PENGGUNA JASA 1. Mohon dijelaskan penyelenggaraan pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industrii di dinas ini apakah berdasarkan peraturan atau kepentingan pengguna jasa ? 2. Apakah informasi prosedur dan persyaratan pelayanan sudah cukup jelas dan mudah dipahami ? 3. Seperti apakah prosedur pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri ini ? 4. Ketika pengguna jasa tidak membawa secara lengkap persyaratan yang diperlukan, apakah pelayanan perizinan tetap diproses ? 5. Dari siapakah biasanya pengguna jasa memperoleh informasi mengenai pengurusan perizinan ini, apakah dari pegawai dinas atau dari teman ? 6. Apakah sudah terjalin komunikasi yang baik antara pegawai dengan para pengguna jasa ? 7. Dalam memberikan pelayanan apakah sering terjadi diskriminasi atau pembedaan atau apakah pegawai bersikap adil dalam melayani ? 8. Apakah dalam pengurusan perizinan ini pengguna jasa sering mengeluh dengan pelayanan yang diterima ? dalam hal apa mohon dijelaskan ? 9. Bagaimana respon pegawai terhadap keluhan dari pengguna jasa ? 10. Menurut pengguna jasa, apakah pegawai memahami keinginan dari pengguna jasa ? 11. Apakah pegawai mengetahui tugas dan wewenangnya ? 12. Berapa lama waktu yang diperlukan dalam pengurusan perizinan ini, apakah dalam hitungan jam atau hari ?
13. Adakah kepastian mengenai kapan pelayanan akan selesai dari pegawai ? 14. Mohon jelaskan mengenai biaya yang dikeluarkan dalam pengurusan perizinan ini ? apakah cukup terjangkau atau tidak ? 15. Apakah ada biaya tambahan yang dikeluarkan dalam pengurusan izin ini ? atau apakah pengguna jasa memberikan uang ekstra agar pelayanan bisa berjalan cepat ? 16. Apakah pelayanan yang diberikan fleksibel atau tidak ? 17. Apakah dalam memberikan pelayanan pegawai bertindak cepat atau tidak ? 18. Apakah pelayanan yang diberikan cukup rapi dan tanpa kesalahan teknis atau tidak mohon dijelaskan ? 19. Menurut anda, apakah pelayanan pengurusan perizinan ini sudah cukup memuaskan atau tidak ?
PEDOMAN OBSERVASI Observasi langsung dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Melakukan kunjungan langsung ke Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Cirebon. 2. Melakukan pengamatan langsung di Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal dalam proses pelayanan peizinan investasi.
FORM DOKUMENTASI Guna memperoleh data yang valid, maka peneliti akan melakukan dokumentasi terkait dengan sistem pelayanan perizinan bidang usaha perdagangan dan industri di Dinas Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Cirebon, antara lain sebagai berikut: 1. Mengamati Visi dan Misi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon. 2. Mengamati prosedur pelayanan perizinan bidang usaha