Kel 12 - 2a - Makalah Askep Inkontinensia Alvi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI

Dosen Pembimbing :

Bapak Suhardono, S.Kep., Ns., Mkes

Disusun oleh :

ULFATUN KHASANAH_P1337420423002

AVENDA AYU ROFITA_P1337420423020

AULIA DWI ARDITA_P1337420423115

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN BLORA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2024/2025
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan hidayah-NYA, sehingga makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Inkontinensia Alvi” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan, untuk itu pada kesempatan
ini penulis mengucapka terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa.


2. Suhardono, Skep., Ns., MKes selaku dosen pembimbing dan pengajar mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 di Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Semarang Kampus IV Blora
3. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Keperawatan Poltekkes Jakarta 3 yang
selalu memberikan bantuan dan dukungan.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
dijadikan.Dalam penyusuan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca.

Blora, 1 Agustus 2024

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I :PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1. Latar belakang ............................................................................................................... 1

1.2. Rumusan masalah .......................................................................................................... 2

1.3. Tujuan makalah.............................................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

2.1.Pengertian Inkontinensia Alvi ........................................................................................ 3

2.2.Patofisiologi ................................................................................................................... 4

2.3.Etiologi........................................................................................................................... 7

2.4.Proses Inkontinensia Alvi ............................................................................................... 8

2.5.Gelaja Inkontinensia Alvi ............................................................................................... 9

2.6. Klasifikasi Inkontinensia Alvi ...................................................................................... 10

2.7. Faktor Resiko Inkontinensia Alvi ................................................................................. 14

2.8. Faktor yang Mempengaruhi Proses Defekasi ................................................................ 15

2.9. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................... 16

2.10. Manifestasi Klinis ...................................................................................................... 17

2.11. Penatalaksanaan......................................................................................................... 17

BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI... ............................. 22

BAB IV : PENUTUP ........................................................................................................ 31

4.1. Kesimpulan ................................................................................................................. 42

4.2. Saran ........................................................................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 43

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia alvi atau inkontinensia tinja adalah suatu kondisi ketika tubuh
seseorang tidak dapat mengendalikan buang air besar. Kondisi ini menyebabkan tinja
keluar secara tiba-tiba, tanpa disadari oleh pengidapnya. Inkontinensia tinja
dipengaruhi oleh usus bagian akhir, anus (dubur), dan sistem saraf yang tidak
berfungsi secara normal.
Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan
melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan
merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk menjaga
homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis, dan fisiologis
menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagai segi.
Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar
tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori
tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki
Kebutuhan Dasar Manusia Maslow (Wolf, Lu Verne,dkk , 1984).
Penelitian menunjukkan bahwa kelainan ini dapat timbul pada 2-7% populasi pada
umumnya, meskipun insidensi yang pasti jauh lebih tinggi. Inkontinensia alvi dapat
terjadi pada segala usia, umumnya lebih banyak timbul pada wanita daripada pria, dan
lebih sering menyerang usia tua, umumnya usia lebih dari 65 tahun dibanding dewasa
muda. Namun kejadian ini bukan merupakan proses normal dari proses penuaan
(aging).

Pasien yang mengalami penyakit ini sering sulit diterima di masyarakat, karena itu
mereka yang mengalami ini sering merasa rendah diri dan malu untuk bergaul. In-
kontinensia alvi dapat menurunkan rasa percaya diri, menyebabkan rasa takut, dan
menimbulkan isolasi social.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalahnya adalah:
1. Apa pengertian Inkontinensia Alvi?
2. Apa Patofisiologi Inkontinensia Alvi?
3. Apa Etiologi Inkontinensia Alvi?
4. Bagaimana Proses Inkontinensia Alvi?
5. Bagaimana Gelaja Inkontinensia Alvi?
6. Apa Klasifikasi Inkontinensia Alvi?
7. Apa Faktor Resiko Inkontinensia Alvi?
8. Apa Faktor Yang Mempengaruhi Proses Defekasi?
9. Apa Pemeriksaan Penunjang?
10. Apa Manifestasi Klinisnya?
11. Apa Penatalaksanaan Pada Kasus Inkontinensia Alvi?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Pengertian Inkontinensia Alvi;
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang Patofisiologi Inkontinensia Alvi;
3. Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi Inkontinensia Alvi;
4. Mahasiswa dapat mengetahui Proses Inkontinensia Alvi;
5. Mahasiswa dapat mengetahui Gejala Inkontinensia Alvi;
6. Mahasiswa dapat mengetahui Klasifikasi Inkontinensia Alvi;
7. Mahasiswa dapat mengetahui Faktor Resiko Inkontinensia Alvi;
8. Mahasiswa dapat mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Proses Defekasi;
9. Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan Penunjang;
10. Mahasiswa dapat mengetahui Manifestasi Klinisnya;
11. Mahasiswa dapat mengetahui Penatalaksanaan Pada Kasus Inkontinensia Alvi.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Inkontinensia Alvi

Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air
besar, terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di
medula dan sumsum tulang belakang. Bila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter
anal bagian dalam akan mengendur dan usus besar akan menguncup. Refleks
defekasi dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi
oleh sistem saraf parasimpatis mengendur dan menguncup saat defekasi. Feses terdiri
atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang
seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar
usus, pigmen empedu dan cairan tubuh. Secara umum terdapat dua macam refleks
dalam membantu proses defekasi yaitu rileks defekasi intrinsik yang dimulai dengan
adanya zat sisa makanan (rektum) dalam rektum sehungga terjadi distensi. Kemudian
flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik dan akhirnya feses sampai dianus.

Inkotinensia fekal adalah Perubahan kebiasaan defekasi dari pola normal dengan
karakteristik pengeluaran feses secara involunter. (Wilkinson, Judith M dan Ahern,
Nancy R). Inkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat
diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas
dan diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat).
Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia
mayor. Inkontinensia mayor adalah keadaan tidak dapat mengontrol membentuk
konsistensi tinja yang normal. Sedangkan inkontinensia minor adalah soilling sebagian
atau keadaan dimana sewaktu-waktu dapat mengeluarkan tinja secara normal dan tepat
atau dapat diartikan sebagai bentuk tinja yang encer/cair.

Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius
pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan
pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan
bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami
inkontinensia alvi. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi
penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan
penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian
inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan
angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik
untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah
yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

2.2. Patofisiologi

Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul


membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler
terdiri dari lapisan otot longitudinal kontinyu yang menyatu dengan otot sirkuler yang
mendasarinya. Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik
sebagai reservoir bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces.

Anus adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat
membentuk sudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah
sekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil,
sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar derajat. Secara
anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri
otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani interna,
memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler
rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi
dari otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan
heterogen.

Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat membantu
penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama
24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna
pada saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti
pada batuk. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas, karena otot ini
akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani interna
dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah dengan
tekanan tinggi, sepanjang 4 cm.
Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada
posterior dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan
penting untuk mengontrol feces yang padat. Kontraksi yang terus menerus dari sfingter
ani interna, berperan penting untuk mengontrol feces yang cair. Bantalan anus yang
dapat memberikan sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah
yang mengalir pada arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus.
Kerjasama antara sfingter anal yang komplek dengan fungsi rektal yang normal
dibutuhkan untuk mempertahankan kontinen yang wajar. Dinding rektum mengembung
untuk menampung feces selama feces masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan
tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi
untuk menampung feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang
tepat. Suatu kenyataan kontinensia tergantung atas koordinasi dari aktifitas saluran
gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat.
Kebanyakan waktu kontinensia dipertahankan oleh keadaan dibawah sadar (sub
consious), tetapi kontrol volunter juga mempunyai peranan penting dalam penundaan
pengeluran feces selama keadaan tak menyenangkan.

Gambar tersebut menjelaskan anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan
mekanisme fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi.
Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier
tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan
mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions) memperkuat
penutupan dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang
membentuk katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan
meningkatkan kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.

Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan otonom parasimpatis


maupun oleh sistem saraf enterik. Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari
saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa
ani, dan dinding anorektal. Ini adalah saraf campuran yang berfungsi sebagai saraf
sensorik dan motorik. Perjalanan saraf tersebut yang melalui dasar panggul
membuatnya rentan untuk mengalami cidera regangan, terutama pada saat melahirkan.
Tampaknya isi rektum secara periodik dirasakan oleh proses "ano rectal sampling "
Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi transien dari sfingter ani interna yang
memungkinkan pergerakan feces atau flatus dari rektum ke dalam anal kanal bagian
atas di mana feces kemudian kontak dengan banyak end organ sensorik khusus seperti
Krause end-bulbs, Golgi Mazzoni bodies dan genital corpuscles, serta the relatively
sparse Meissner s corpuscles dan Pacinian corpuscles.

Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani
ujung saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks" yang intak memungkinkan
individu untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum
tersebut, sedangkan bila "sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan
predisposisi untuk terjadinya inkontinensia.

Sebaliknya, epitelium rektum tidak menunjukkan ujung saraf yang terorganisir.


Serabut saraf dengan selubung mielin dan yang tidak berselubung mielin berada
berdekatan dengan mukosa rektum, submukosa dan pleksus myenterikus. Saraf- saraf
tersebut berperan dalam sensasi distensi dan regangan dan memediasi respon untuk
relaksasi serta kontraksi visero-viseral dan ano-rektal. Sensasi dari distensi rektum
berjalan sepanjang sistem parasimpatis menuju S2, S3, dan S4. Dengan demikian, saraf
sakralis sangat besar peranannya dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom
anorektum, serta dalam mempertahankan kontinensia.
2.3. Etiologi

Penyebab utama inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan


pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Konstipasi
atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering timbul pada pasien geriatri dan
bila menjadi kronik akan menyebabkan timbulnya inkontinensia fekal. Skibala akan
mengiritasi rektum dan menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan membanjiri
tinja yang mengeras dan mempercepat terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit untuk
didefinisikan dan secara teknik biasanya diindentikkan dengan buang air besar
sebanyak tiga kali dalam seminggu.

Penyebab inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst


dkk, 1987; Kane dkk, 1989) :

1. Inkontinensia fekal akibat konstipasi.


2. Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar.
3. Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik).
4. Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks anal

Beberapa penyebab inkontinensia alvi umumnya, antara lain:

 Diare, yang mengakibatkan tinja lebih berair, sehingga memperburuk


inkontinensia tinja.
 Kerusakan saraf pengendali sfingter anus, yang dapat diakibatkan oleh persalinan,
peregangan berlebihan saat buang air, atau cedera saraf tulang belakang.
 Kerusakan sfingter anus, yaitu cincin otot yang terletak di ujung lubang anus,
yang dapat diakibatkan oleh episiotomi atau prosedur pembedahan vagina yang
dilakukan setelah persalinan normal.
 Keterbatasan ruang pada rektum untuk menampung kotoran, akibat adanya
jaringan parut pada dinding rektum, sehingga fleksibilitas rektum berkurang.
 Kondisi medis yang menyebabkan kerusakan fungsi saraf, seperti diabetes,
multiple sclerosis, stroke, demensia, atau penyakit Alzheimer, sehingga
menyebabkan inkontinensia tinja.
 Konstipasi kronis, yang mengakibatkan kotoran mengeras, sehingga sulit bergerak
melewati rektum serta menyebabkan kerusakan saraf dan otot.
 Penggunaan obat pencahar dalam jangka panjang.
 Rectal prolapse, yaitu kondisi ketika rektum turun hingga ke anus.
 Rectocele, yaitu kondisi ketika rektum menonjol ke luar hingga area vagina
wanita.
 Tindakan pembedahan, seperti prosedur bedah pada hemoroid atau kondisi lain
yang berkaitan dengan anus atau rektum, berisiko mengakibatkan kerusakan saraf.

2.4. Proses Inkontinensia Alvi

Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Dibawa ke spinal cord

Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi

Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup.


Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas
yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter
gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.
Keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan
pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan
pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan
absorsi besi, kalsium dan vitamin B12. Absorsi nutrien di usus halus juga berkurang
dengan bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kantung empedu
dan pankreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan
toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos
pada sfingter mengakibatkan inkontinensia feses.

2.5. Gejala Inkontinensia Alvi

Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas
dari dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses.
Umumnya,orang dewasa tidak mengalami kecelakaan buang air besar ini kecuali
mungkin sesekali ketika terserang diare parah. Tapi itu tidak berlaku bagi orang yang
mengalami inkontinensia tinja,kejadian BAB di celana itu berulang-ulang dan kronis.

Bagi beberapa orang termasuk anak-anak inkontinensia tinja adalah masalah


yang relative kecil,terbatas pada sesekali mengotori pakaian mereka.bagi yang
lain,kondisi bisa menghancurkan lengkap karena kurangnya control usus. Secara
klinis, inkontinensia alvi dapat tampak sebagai feses yang cair atau belum berbentuk
dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau
tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang
berbeda-beda, antara lain inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar),
simtomatik (berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses
defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus.

Gejala yang dirasakan pengidapnya tergantung pada jenis inkontinensia tinja, yaitu:

 Inkontinensia mendesak (urge incontinence), yang ditandai dengan dorongan


tiba-tiba untuk buang air besar dan sulit untuk dikendalikan.
 Inkontinensia tinja pasif, yang ditandai dengan kotoran keluar tanpa disadari
atau tanpa dorongan untuk buang air, serta dapat keluar ketika pengidap buang
angin.

Beberapa gejala lain yang juga dapat dirasakan pengidap, antara lain:

 Anus terasa gatal atau mengalami iritasi.


 Diare.
 Inkontinensia urine.
 Konstipasi.
 Nyeri atau kram perut.
 Perut kembung.

2.6. Klasifikasi Inkontinensia Alvi

1. Inkontinensia Alvi akibat konstipasi

Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi


mengalami statis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau
keras, atau keluarnya tinja terlalu kering dan keras.

Tanda Klinis :

a. Adanya feses yang keras


b. Defekasi kurang dari 3x seminggu
c. Menurunnya bising usus
d. Adanya keluhan pada rektum
e. Nyeri saat mengejan dan defekasi
f. Adanya perasaan masih ada sisa feses.

Kemungkinan Penyebab :

a. Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera


serebrosspinalis,CVA, dll.
b. Pola defekasi tidak teratur.
c. Nyeri saat defekasi karena hemoroid.
d. Menurunnya peristaltik karena stres psikologis.
e. Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantiv, atau anastesi.
f. Proses penuaan (usia lanjut).

Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis


dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu. Tetapi
banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan
feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar (Kane dkk, 1989).
Konstipasi sering sekali dijumpai pada lanjut usia dan merupakan penyebab yang
paling utama pada inkontinensia fekal pada lanjut usia (Brocklehurst dkk, 1987).
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari
masa feses yang keras (skibala). Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan
menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya
sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan
antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar
(Broklehurst dkk, 1987).

Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan
terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses
yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989).
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, antara lain meraba
adanya skibala pada colok dubur.

2. Inkontinensia fekal simtomatik

Inkontinensia fekal simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari


macam-macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini
mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya
usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair,
dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses
yang cair (Brocklehurst dkk, 1987).

Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia fekal simtomatik


ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis
ulceratif, karsinoma kolon/rektum. Penyebab lain dari inkontinensia fekal
simtomatik misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan
endokrin seperti tiroksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari
operasi hemoroid yang kurang berhasil dan prolapsus rekti.

Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut usia adalah obat-
obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar
(Brocklehurst dkk, 1987; Robert-Thomson).

3. Inkontinensia fekal neurogenik

Inkontinensia fekal neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi menghambat


dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rektum. Proses normal dari
defekasi melalui refleks gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di
lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah
rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya
kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa
normal, karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri (Brocklehurst
dkk, 1987). Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda
dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya.
Pada lanjut usia dan terutama pada penderita dengan penyakit serebrovaskuler,
kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.

Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan


infark serebri multipel, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan
satu-dua potong feses yang sudah berbentuk ditempat tidur, dan biasanya setelah
minum panas atau makan.

4. Inkontinensia fekal akibat hilangnya refleks anal

Inkontinensia fekal ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan
otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti
dikutip oleh Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang
berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini
menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai
menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia fekal pada
peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan
inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya
(Brocklehurst dkk, 1987).

5. Inkontinensia fekal akibat konstipasi kolonik

Konstipasi kolonin merupakan keadaan individu yang mengalamai atau


beresiko mengalami perlambatan pasase residu makanan yang mengakibatkan feses
kering dan keras.

Tanda Klinis :

a. Adanya penurunan frekuensi eliminasi.


b. Feses kering dan keras.
c. Mengejan saat defekasi.
d. Nyeri defekasi.
e. Adanya distensi pada abdomen.
f. Adanya tekanan pada rektum.
g. Nyeri abdomen

Kemungkinan Penyebab :

a. Deek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera


serebrusspinalis, CVA dll.
b. Pola defkasi yang tidak teratur.
c. Efek samping penggunaan obat antasida, anastesi, laksantif dll.
d. Menurunnya peristaltik

6. Inkontinensia fekal akibat konstipasi dirasakan

Konstipasi dirasakan merupakan keadaan individu dalam menentukan sendiri


penggunaan laksantif, enema, supositoria untuk memastikan defkasi setiap harinya.

 Tanda Klinis :
a. Adanya penggunaan laksansia setiap hari sebagai enema atau
supositoria secara berlebihan.
b. Adanya dugaan pengeluaran feses pada waktu yang sama setiap hari.
 Kemungkinan Penyebab :
a. Persepsi salah akibat depresi.
b. Keyakinan budaya.

7. Inkontinensia fekal akibat diare

Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau berisiko sering


mengalami penegluaran feses dalam bentuk cair,. Diare sering disertai dengan
kejang usus, mungkin disertai oleh rasa mual dan muntah.

Tanda Klinis :

a. Adanya pengeluaran feses cair.


b. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
c. Nyeri/kram abdomen.
d. Bising usus meningkat.

Kemungkinan Penyebab :

a. Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi.


b. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
c. Efek tindakan pembedahan usus.
d. Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik dll.
e. Stres psikologis.
f. Inkontinensia fekal akibat kembung

Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena pengumpulan


gas secara berlebihan dalam lambung atau usus.

8. Inkontinensia alvi akibat hemorroid

Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus


sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena
konstipasi, peregangan saat defekasi dll.

10. Fecal Impaction

Fecal impaction merupakan masa feses di lipatan rektum yang diakibatkan


oleh retensi dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan. Penyebab konstipasi
adalah asupan kurang, aktivitas kurang, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot.

2.7. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inlontinensia fekal antara lain:

a. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, kontrol diet


b. Pemasukan cairan. Normalnya : ml/hari
c. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus
meningkat.
d. Faktor psikologik
e. Kebiasaan
f. Posisi
g. Nyeri
h. Kehamilan : menekan rectum
i. Operasi & anestesi
j. Obat-obatan
k. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
l. Kondisi patologis
m. Iritan

2.8. Faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi

1. Usia

Setiap tahun perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi


yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam
buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki kemampuan mengontrol
secara penuh, dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami
penurunan.

2. Diet

Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi proses
defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses
percepatan dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat memengaruhinya.

3. Asupan Cairan

Pemasukan cairan yang kurangdalam tubuh membuat defekasi menjadi keras


oleh karena proses absorpsi kurang sehingga dapat memengaruhi kesulitan proses
defekasi.

4. Aktivitas

Aktivitas dapat memengaruhi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen,


pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi.

5. Pengobatan

Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan laksansia


atau antasida yang terlalu sering.
6. Gaya Hidup

Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup
sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet.

7. Penyakit

Biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung sistem pencernaan,


seperti gastrointeritis atau penyakit infeksi lainnya.

8. Nyeri

Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi,


seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid dan episiotomi.

9. Kerusakan Sensoris dan Motoris

Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses


defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam
berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang
atauu kerusakan saraf lainnya.

2.9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan peninjang untuk menegakkan diagnosis inkontinensia fekal antara lain:

1. Fluoroscopy hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan
lunak dan otot pelvis.
2. Ultrasound, yakni anal endosonography Merupakan metode pemeriksaan terhadap
morfologi dari internal anal sphicter (IAS), extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis
dan septum rektovaginal.
3. MRI, yakni endoanal MRI Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal
endosonography namun memiliki kelebihan dalam mendeteksi dan
mengklasifikasikan fistula anal.
4. Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan sfingter
anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI terkadang
juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
5. Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter anal
6. Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh rektum,
sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu
mengosongkannya.
7. Progtosigmoidoscopy : Melihat kedalam rektum atau kolon untuk menemukan
tandatanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal
seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.

2.10. Menifestasi Klinis

Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):

1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian
atau ditempat tidur.

Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.

2.11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Penderita dengan Inkontinensia Fekal Tujuan terapi untuk
penderita-penderita dengan inkontinensia fekal adalah untuk mengembalikan
kontinensia dan untuk memperbaiki kualitas hidup.
1. Upaya-Upaya Suportif
Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif,
membiasakan buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki higiene kulit,
dan melakukan perubahan gaya hidup dapat bermanfaat dalam
penatalaksanaan inkontinensia fekal.
Pada manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat dengan
inkontinensia fekal, ketersediaan tenaga yang berpengalaman pada terapi
inkontinensia fekal, pengenalan yang tepat waktu untuk defekasi, dan
pembersihan segera kulit perianal merupakan hal yang penting. Upaya-upaya
kebersihan seperti mengganti baju bagian bawah, membersihkan kulit perianal
segera setelah episode inkontinensia, penggunaan kertas tisu basah (tisu bayi),
dan bukannya tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya zinc
oxide dan calamine lotion (Calmoseptine, Calmoseptine Inc: Huntington
Beach, CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit.
Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya
mengurangi asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein
meningkatkan respons gastro-kolonik dan meningkatkan motilitas kolon, dan
menginduksi sekresi cairan pada usus halus. Karenanya, mengurangi konsumsi
kafein, terutama setelah makan dapat membantu mengurangi urgensi
postprandial dan diare.
2. Terapi Spesifik
Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai
berikut:
a. Terapi farmakologis
b. Terapi biofeedback
c. Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers),
d. Bedah

a. Terapi Farmakologis:
Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan
perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa
obat, masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda, telah
diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen antidiare
misalnya loperamide hydrochloride (Imodium Janssen
Pharmaceuticals: Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate
(Lomotil, Searle, Chicago, IL) tetap menjadi obat pilihan yang utama.
Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4
mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia,
memperbaiki urgensi feces dan meningkatkan waktu transit feces di
kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani istirahat dan
mengurangi berat feces.
b. Terapi Biofeedback.
Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif.
Terapi ini memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal,
mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameterparameter
obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada penderita-penderita
dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu.
Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal
adalah:
1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;
2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal,
dan sfingter ani selama berkontraksi secara volunter dan setelah
persepsi rektum;
3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal.
c. Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik
Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau
stimulasi listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan studi-
studi klinis terkontrol. Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah
dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan
pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah
diambil. Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak
mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini.
Alat ini berguna bagi penderita-penderita dengan gangguan
sensasi anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan
mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi. Pada
beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus yang
terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat.

Stimulasi Listrik
Arus listrik dialirkan pada anal kanal untuk stimulasi kontraksi
otot. Pada satu studi, terapi diberikan setiap hari selama 10 hari.
Terdapat sejumlah peningkatan pada 10 dari 15 penderita dan ini
berhubungan dengan peningkatan tekanan kontraksi volunter. Pada
studi lainnya, sesi terapi selama 30-menit diberikan dua kali sehari
selama 12 minggu, tetapi perbaikan hanya diamati pada 2 dari 10
penderita dan tidak ada perubahan pada tekanan sfingter.
Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang
dilakukan pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis,
dilaporkan bahwa tidak terdapat cukup data untuk menarik kesimpulan
yang bermakna terkait efikasi terapi ini.
d. Tindakan Bedah
Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita
tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau
terapi biofeedback. Pada sebagian besar penderita dengan
inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter
secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul
otot sfingter yang robek ditautkan.
Repair sfingter secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh
Parks dilakukan dengan membuat incisi melengkung di anterior anal
kanal dengan mobilisasi sfingter ani eksterna, membebaskannya dari
jaringan parut, preservasi jaringan parut untuk menautkan jahitan, dan
overlapping repair menggunakan dua baris jahitan.
Jika defek sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi
terpisah dari sfingter ani interna juga dilakukan. Dilaporkan terjadi
perbaikan gejala pada 70 80% penderita, meskipun satu studi
melaporkan tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderita-
penderita dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi
utuh, repair postanal telah dicoba. Keberhasilan jangka panjang dari
pendekatan ini memiliki rentang antara 20% dan 58%.

Tata Laksana

Inkontinensia Alvi
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI

3.1 Kasus

Pak Karto berusia 70 tahun di bawa ke klink dokter keluarga oleh anak perempuan nya
karena BAB tidak terkendali sejak satu bulan dan BAB di tempat sejak satu minggu terakhir.
Klien sering tidak bisa tidur sehingga sering minum obat tidur. Saat perawat melakukan
pengkajian, klien mengatakan bahwa ia sangat sulit berkonsentrasi. Dalam melakukan
aktifitas sehari-hari klien perlu di bantu oleh orang lain. Klien sering merasa malu terhadap
kondisinya. Dan klien juga pernah menderita stroke. Saat perawat melakukan pengkajian
didapatkan data bahwa kulit sekitar perinanal terlihat tampak kemerahan, feses yang keluar
sedikit-sedikit tapi sering dan berbau. Selain itu, klien tampak lesu, postur tubuh klien
menunduk dan kontak mata klien kurang baik. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior
dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+), Hasil rectal toucer dan USG didapatkan
prostat tidak membesar, Indeks barthel didapat nilai 50, serta klien juga melakukan
pemeriksaan psikiatri.
PENGKAJIAN DATA KEPERAWATAN

Ruang : Melati 1

Tanggal/ jam MRS : 22 Agustus 2020 pukul 08.00 WIB

Tanggal Pengkajian : 22 Agustus 2020 pukul 09.00 WIB

Dx Medis : Inkonntinensia Alvi

a. Identitas Pasien
Nama : Tuan Karto
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 70 tahun
Agama : Budha
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak ada
Alamat : Jl. Sukasaya no.45 rt/rw: 01/02, Jakarta selatan.

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. Meimei
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 45 tahun
Agama : Budha
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pengusaha
Alamat : Jl. Sukasaya no.45 rt/rw: 01/02, Jakarta selatan.

c. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama.
BAB tidak terkendali sejak satu bulan dan buang air besar di tempat sejak
satu minggu, sulit tidur, kesulitan melakukan aktifitas, merasa malu terhadap
kondisinya.
b. Riwayat penyakit sekarang.
BAB tidak terkendali, sulit tidur, gangguan mobilisasi, harga diri rendah.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Klien mengatakan pernah mengalami Stroke
d. Riwayat penyakit keluarga.
Tidak ada riwayat penyakit didalam keluarga

d. Pemeriksaan Fisik
1. Penapilan Umum
Kesadaran : Compos Mentris
2. Tanda- tanda vital
Tekanan Darah : 120/85 mmHg
Nadi : 110x/menit
Suhu : 37,50C
Pernafasan : 20x/menit
3. Pemeriksaan Antropometri
 BB : 65kg
 TB : 171cm
4. Pemeriksaan Fisik head to toe
a. Kulit Kepala
 Kulit kepala : Normal, tidak ada benjolan/luka
 Wajah : Berbentuk simetris, tidak ada luka.
 Mata : Simetris, fungsi penglihatan baik.
 Hidung : Bentuk simetris, tidak ada kelainan pada hidung.
 Telinga : Bentuk simetris, tidak menggunakan alat bantu.
 Mulut : Mukosa bibir tampak kering

b. Leher
Tidak terdapat pembesaran tiroid

c. Dada dan Thorax


 Inspeksi : Bentuk simetris.
 Palpasi : Tidak ada benjolan.
 Perkusi : Suara jantung normal
 Auskultasi : Bunyi jantung normal.
d. Abdomen
 Inspeksi : Simetris, datar.
 Auskultasi : Bising usus ++ (hiperaktif)
 Palpasi : Terasa tidak nyaman.
 Perkusi : Timpani

e. Ekstermitas
 Ektermitas atas : Tangan dapat digerakkan dengan normal
 Ektermitas bawah : Kaki dapat digerakkan dengan normal, tidak terjadi
lumpuh

f. Integumen
Tugor kulit baik.

g. Genetalia
Lecet pada daerah anus/rektum.

e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya
menurun (3+/3+)
2. Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat tidak membesar.
3. Indeks barthel didapat nilai 50
4. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri.
f. Pola Kebiasaan Sehari-hari

No. Pola Kebiasaan Dirumah Dirumah sakit


1. Pola Nutrisi
Makan
- Jenis makanan Makanan tanpa pantangan Makanan Tinggi Kalori, Protein
(Memakan semua jenis makanan) dan serat.
- Frekuensi 3x/hari 3x/hari

Minum
- Jenis minum
Air Mineral Air Mineral
- Frekuensi
5-6 gelas/hari 6-7gelas/hari
2. Pola Eliminasi
BAB
- Konsistensi Cair Cair
- Warna Kuning Kecoklatan Kuning
- Frekuensi 6-7x/hari 4-5x/hari

BAK
- Konsistensi
Cair Cair
- Warna
Kuning Jernih Kuning
- Frekuensi
4-5x/hari 5-6x/hari
3. Pola Aktivitas Aktivitas klien setiap harinya Klien hanya berbaring ditempat
perlu di bantu oleh orang lain tidur, istirahat, makan, minum
dan tidak banyak beraktivitas.
4. Pola Istirahat Tidur
- Malam 3-4 jam 6-7 jam
- Siang Klien tidak pernah tidur siang Klien tidak pernah tidur siang

5. Pola Personal Hygiene


- Mandi 2x/hari pagi dan sore Tidak mandi hanya dilap
menggunakan tisu basah
6. Pola Kebiasaan yang Klien tidak bisa tidur sehingga Klien diberikan obat-obatan yang
mempengaruhi sering mengosumsi obat tidur. membuat feses lebih padat
Kesehatan sehingga klien mudah mengontrol
BABnya.

g. Data Fokus

Data Subjektif Data Objektif

1. Klien mengatakan BAB dan BAK tidak 1. Kesadaran : Compos mentis


terkendali sejak satu bulan. (21 Juli 2020) TD : 120/85 mmHg
2. Klien mengatakan sering BAB di tempat sejak S : 37,5°C
satu minggu ini. (14 Agustus 2020) N : 110 x/mnt
3. Klien mengatakan sulit tidur sehingga sering P : 20x/menit.
minum obat tidur. 2. Kulit sekitar perianal tampak kemerahan
4. Klien mengatakan bahwa ia sulit 3. Feses tampak keluar sedikit - sedikit dan
berkonsentrasi apabila sedang berinteraksi sering
dengan orang lain 4. Feses berbau
5. Klien merasa tidak mampu melakukan apapun 5. Klien tampak lesu dan tidak bergairah
dan membutuhkan bantuan orang lain dalam 6. Postur tubuh klien tampak menunduk
aktivitasnya sehari-hari. 7. Kontak mata klien tampak kurang baik
6. Klien mengatakan pernah menderita stroke 8. Pemeriksaan neurologi ekstremitas
superior dan inferior sinistra kekuatannya
menurun (3+/3+)
9. Hasil rectal toucer dan USG didapatkan
prostat tidak membesar.
10. Indeks barthel didapat nilai 50
11. Penderita juga dilakukan pemeriksaan
psikiatri.
ANALISIS DATA

Data Masalah Etiologi


DS : Inkontinensia Fekal Kehilangan Fungsi
 Klien mengatakan BAB dan BAK tidak
Pengendalian
terkendali sejak satu bulan.
Sfingter Rektum
 Klien mengatakan sering BAB di tempat sejak
satu minggu ini.
DO : ( Sumber : Buku
 Kulit sekitar perianal tampak kemerahan SDKI D.0041 Hal :
 Feses tampak keluar sedikit - sedikit dan sering 98)
 Feses berbau
 Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior
dan inferior sinistra kekuatannya menurun
(3+/3+)
 Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat
tidak membesar.
 Indeks barthel didapat nilai 50.
DS : Resiko Harga Diri Perasaan kurang
 Klien mengatakan sulit tidur sehingga sering
Rendaah Kronis didukung oleh orang
minum obat tidur.
lain
 Klien mengatakan bahwa ia sulit berkonsentrasi
apabila sedang berinteraksi dengan orang lain (Sumber : Buku
 Klien merasa tidak mampu melakukan apapun SDKI D.0086 Hal :
dan membutuhkan bantuan orang lain dalam 192)
aktivitasnya sehari-hari.
 Klien mengatakan pernah menderita stroke
DO :
 Klien melakukan pemeriksaan psikiatri.
 Klien tampak lesu dan tidak bergairah
 Postur tubuh klien tampak menunduk
 Kontak mata klien tampak kurang baik
DIAGNOSA KEPERAWATAN

No. Diagnosa Keperawatan


1. Inkontinensia Fekal berhubungan dengan Kehilangan Fungsi Pengendalian Sfingter
Rektum. ( Sumber : Buku SDKI D.0041 Hal : 98 )
2. Resiko Harga Diri Rendaah Kronis berhubungan dengan Perasaan kurang didukung
oleh orang lain. (Sumber : Buku SDKI D.0086 Hal : 192)
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

( INTERVENSI KEPERAWATAN )

Tanggal Diagnosa Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
22- 24 Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Perawatan Inkontinensia Fekal
Agustus Fekal keperawatan selama 3 x 24 Obsevasi Observasi
2020 berhubungan jam di harapkan pengeluaran 1. Identifikasi penyebab inkontinensia
1. Untuk m
dengan feses yang tidak disadari pada fekal baik fisik maupun psikologis
inkonti
Kehilangan klien dapat teratasi dengan 2. Identifikasi perubahan frekuensi
2. Untuk m
Fungsi kriteria hasil : defekasi dan konsistensi feses
frekuen
Pengendalian a. Pengeluaran feses dapat 3. Monitor kondisi kulit perianal
3. Menget
Sfingter dikontrol 4. Monitor keadekuatan evakuasi feses
4. Menget
b. Frekuensi defekasi 5. Monitor efek samping pemberian obat
5. Untuk m
membaik
pember
c. Kondisi kulit perianal
baik Teraupetik
Terapeutik
(Sumber: SLKI L.04035 6. Bersihkan daerah perianal dengan 6. Untuk m
Hal: 52) sabun dan air tetap da
7. Jaga kebersihan tempat tidur dan 7. Untuk m
pakaian kebutuh
8. Berikan celana pelindung/ pembalut/ 8. Agar te
popok, sesuai kebutuhan klien sa

Edukasi Edukasi
9. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia,
9. Untuk m
penyebab inkontinensia fekal.
klien te
inkonti

Kolaborasi Kolaboras
10. Kolaborasi pemberian obat diare (mis:
10. Untuk m
loperamide, atropine)
dengan
(Sumber : SIKI I.04162 Hal : 315)
22- 24 Resiko Harga Setelah dilakukan tindakan Promosi Harga Diri
Agustus Diri Rendaah keperawatan selama 3 x 24 Observasi Observasi
2020 Kronis jam di harapkan klien dapat 1. Identifikasi budaya, agama, ras, jenis
1. Menget
berhubungan meningkatkan perasaan kelamin, dan usia terhadap harga diri
agama,
dengan positif terhadap dirinya
dalam h
Perasaan sendiri dengan kriteria hasil : 2. Monitor tingkat harga diri, sesuai
2. Untuk m
kurang a. Postur tubuh klien kebutuhan
diri klie
didukung oleh menampakkan wajah
orang lain. b. Konsentrasi klien baik Teraupetik
Teraupetik
c. Pola tidur klien normal 3. Diskusikan pernyataan tentang harga 3. Klien m
d. Kontak mata klien baik diri 4. Melatih
e. Gairah aktivitas klien 4. Diskusikan kepercayaan terhadap
membaik penilaian diri 5. Mengur
5. Diskusikan persepsi negative diri mening
( Sumber : SLKI L.09069 6. Diskusikan penetapan tujuan realistis 6. Mening
Hal : 30 ) untuk mencapai harga diri yang lebih yang tin
tinggi.
7. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas 7. Agar kl
yang meningkatkan harga diri. mening

Edukasi
Edukasi
8. Jelaskan kepada keluarga pentingnya 8. Mening
dukungan dalam perkembangan dengan
konsep positif diri pasien 9. Klien le
9. Anjurkan mempertahankan kontak berkom
mata saat berkomunikasi dengan
10. Agar kl
orang lain.
mening
10. Latih meningkatkan kepercayaan pada
kemampuan dalam menangani situasi.
( Sumber : SIKI I.09308 Hal : 364 )
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Inkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan


mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat
diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas dan
diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat). Klasifikasi
lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia mayor.
Penyebab utama inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar
yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan kolorektum
seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Keluhan utama biasanya
berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster
juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung.
Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas dari dubur
atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses. Banyak faktor
yang mempengaruhi inkontinensia alvi ini yang mengakibatkan penyakit ini dengan
berbagai komplikasinya seperti umur, pola aktifitas, pola makanan, obat-obatan dll.
Dengan berbagai aspek yang telah di jelaskan dapat dituang dalam asuhan keperawatan
inkontinensia alvi.

4.2. Saran

Dalam sistem penulisan makalah ini, kami sebagai penulis mengakui bahwa makalah
yang kami kerjakan masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penulis
membutuhkan bimbingan, saran dan kritik dari pembimbing dan pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Halodoc.com. Inkontinensia Alvi https://www.halodoc.com/kesehatan/inkontinensia-alvi.


Diakses pada Agustus 2024

Klikdokter.com. Penyakit Inkontinensia Alvi


https://m.klikdokter.com/penyakit/inkontinensia-alvi Diakses pada Agustus
2024

Scribd.com. Inkontinensia Alvi https://id.scribd.com/presentation/377756132/7383-


Inkontinensia-alvi-PPT-DEDEN-1-pptx Diakses pada Agustus 2024

Mariatul280794. 2016. Asuhan Keperawatan Inkontinensia Alvi


http://mariatul280794.com/2016/03/makalah-asuhan-keperawatan-dengan.html
Diakses pada Agustus 2024

Scribd.com. Askep Inkontinensia Alvi pada Lansia


https://id.scribd.com/document/194346412/Askep-Lansia-Dengan-
Inkontinensia-Alvi Diakses pada Agustus 2024

Inkontinensia Alvi https://www.academia.edu/33218214/Inkontinensia_Alvi Diakses pada


Agustus 2024

Anda mungkin juga menyukai