Kel 12 - 2a - Makalah Askep Inkontinensia Alvi
Kel 12 - 2a - Makalah Askep Inkontinensia Alvi
Kel 12 - 2a - Makalah Askep Inkontinensia Alvi
Dosen Pembimbing :
Disusun oleh :
ULFATUN KHASANAH_P1337420423002
2024/2025
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan hidayah-NYA, sehingga makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Inkontinensia Alvi” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan, untuk itu pada kesempatan
ini penulis mengucapka terima kasih kepada:
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
dijadikan.Dalam penyusuan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
2.2.Patofisiologi ................................................................................................................... 4
2.3.Etiologi........................................................................................................................... 7
2.11. Penatalaksanaan......................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia alvi atau inkontinensia tinja adalah suatu kondisi ketika tubuh
seseorang tidak dapat mengendalikan buang air besar. Kondisi ini menyebabkan tinja
keluar secara tiba-tiba, tanpa disadari oleh pengidapnya. Inkontinensia tinja
dipengaruhi oleh usus bagian akhir, anus (dubur), dan sistem saraf yang tidak
berfungsi secara normal.
Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan
melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan
merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk menjaga
homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis, dan fisiologis
menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagai segi.
Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar
tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori
tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki
Kebutuhan Dasar Manusia Maslow (Wolf, Lu Verne,dkk , 1984).
Penelitian menunjukkan bahwa kelainan ini dapat timbul pada 2-7% populasi pada
umumnya, meskipun insidensi yang pasti jauh lebih tinggi. Inkontinensia alvi dapat
terjadi pada segala usia, umumnya lebih banyak timbul pada wanita daripada pria, dan
lebih sering menyerang usia tua, umumnya usia lebih dari 65 tahun dibanding dewasa
muda. Namun kejadian ini bukan merupakan proses normal dari proses penuaan
(aging).
Pasien yang mengalami penyakit ini sering sulit diterima di masyarakat, karena itu
mereka yang mengalami ini sering merasa rendah diri dan malu untuk bergaul. In-
kontinensia alvi dapat menurunkan rasa percaya diri, menyebabkan rasa takut, dan
menimbulkan isolasi social.
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Inkontinensia Alvi
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air
besar, terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di
medula dan sumsum tulang belakang. Bila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter
anal bagian dalam akan mengendur dan usus besar akan menguncup. Refleks
defekasi dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi
oleh sistem saraf parasimpatis mengendur dan menguncup saat defekasi. Feses terdiri
atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang
seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar
usus, pigmen empedu dan cairan tubuh. Secara umum terdapat dua macam refleks
dalam membantu proses defekasi yaitu rileks defekasi intrinsik yang dimulai dengan
adanya zat sisa makanan (rektum) dalam rektum sehungga terjadi distensi. Kemudian
flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik dan akhirnya feses sampai dianus.
Inkotinensia fekal adalah Perubahan kebiasaan defekasi dari pola normal dengan
karakteristik pengeluaran feses secara involunter. (Wilkinson, Judith M dan Ahern,
Nancy R). Inkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat
diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas
dan diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat).
Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia
mayor. Inkontinensia mayor adalah keadaan tidak dapat mengontrol membentuk
konsistensi tinja yang normal. Sedangkan inkontinensia minor adalah soilling sebagian
atau keadaan dimana sewaktu-waktu dapat mengeluarkan tinja secara normal dan tepat
atau dapat diartikan sebagai bentuk tinja yang encer/cair.
Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius
pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan
pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan
bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami
inkontinensia alvi. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi
penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan
penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian
inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan
angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik
untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah
yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
2.2. Patofisiologi
Anus adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat
membentuk sudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah
sekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil,
sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar derajat. Secara
anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri
otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani interna,
memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler
rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi
dari otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan
heterogen.
Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat membantu
penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama
24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna
pada saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti
pada batuk. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas, karena otot ini
akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani interna
dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah dengan
tekanan tinggi, sepanjang 4 cm.
Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada
posterior dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan
penting untuk mengontrol feces yang padat. Kontraksi yang terus menerus dari sfingter
ani interna, berperan penting untuk mengontrol feces yang cair. Bantalan anus yang
dapat memberikan sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah
yang mengalir pada arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus.
Kerjasama antara sfingter anal yang komplek dengan fungsi rektal yang normal
dibutuhkan untuk mempertahankan kontinen yang wajar. Dinding rektum mengembung
untuk menampung feces selama feces masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan
tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi
untuk menampung feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang
tepat. Suatu kenyataan kontinensia tergantung atas koordinasi dari aktifitas saluran
gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat.
Kebanyakan waktu kontinensia dipertahankan oleh keadaan dibawah sadar (sub
consious), tetapi kontrol volunter juga mempunyai peranan penting dalam penundaan
pengeluran feces selama keadaan tak menyenangkan.
Gambar tersebut menjelaskan anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan
mekanisme fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi.
Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier
tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan
mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions) memperkuat
penutupan dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang
membentuk katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan
meningkatkan kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.
Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani
ujung saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks" yang intak memungkinkan
individu untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum
tersebut, sedangkan bila "sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan
predisposisi untuk terjadinya inkontinensia.
Saraf rectum
Intensifkan peristaltic
Inkontinensia alvi
Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas
dari dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses.
Umumnya,orang dewasa tidak mengalami kecelakaan buang air besar ini kecuali
mungkin sesekali ketika terserang diare parah. Tapi itu tidak berlaku bagi orang yang
mengalami inkontinensia tinja,kejadian BAB di celana itu berulang-ulang dan kronis.
Gejala yang dirasakan pengidapnya tergantung pada jenis inkontinensia tinja, yaitu:
Beberapa gejala lain yang juga dapat dirasakan pengidap, antara lain:
Tanda Klinis :
Kemungkinan Penyebab :
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan
terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses
yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989).
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, antara lain meraba
adanya skibala pada colok dubur.
Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut usia adalah obat-
obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar
(Brocklehurst dkk, 1987; Robert-Thomson).
Inkontinensia fekal ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan
otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti
dikutip oleh Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang
berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini
menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai
menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia fekal pada
peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan
inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya
(Brocklehurst dkk, 1987).
Tanda Klinis :
Kemungkinan Penyebab :
Tanda Klinis :
a. Adanya penggunaan laksansia setiap hari sebagai enema atau
supositoria secara berlebihan.
b. Adanya dugaan pengeluaran feses pada waktu yang sama setiap hari.
Kemungkinan Penyebab :
a. Persepsi salah akibat depresi.
b. Keyakinan budaya.
Tanda Klinis :
Kemungkinan Penyebab :
1. Usia
2. Diet
Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi proses
defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses
percepatan dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat memengaruhinya.
3. Asupan Cairan
4. Aktivitas
5. Pengobatan
Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup
sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet.
7. Penyakit
8. Nyeri
1. Fluoroscopy hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan
lunak dan otot pelvis.
2. Ultrasound, yakni anal endosonography Merupakan metode pemeriksaan terhadap
morfologi dari internal anal sphicter (IAS), extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis
dan septum rektovaginal.
3. MRI, yakni endoanal MRI Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal
endosonography namun memiliki kelebihan dalam mendeteksi dan
mengklasifikasikan fistula anal.
4. Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan sfingter
anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI terkadang
juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
5. Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter anal
6. Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh rektum,
sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu
mengosongkannya.
7. Progtosigmoidoscopy : Melihat kedalam rektum atau kolon untuk menemukan
tandatanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal
seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.
1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian
atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.
2.11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Penderita dengan Inkontinensia Fekal Tujuan terapi untuk
penderita-penderita dengan inkontinensia fekal adalah untuk mengembalikan
kontinensia dan untuk memperbaiki kualitas hidup.
1. Upaya-Upaya Suportif
Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif,
membiasakan buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki higiene kulit,
dan melakukan perubahan gaya hidup dapat bermanfaat dalam
penatalaksanaan inkontinensia fekal.
Pada manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat dengan
inkontinensia fekal, ketersediaan tenaga yang berpengalaman pada terapi
inkontinensia fekal, pengenalan yang tepat waktu untuk defekasi, dan
pembersihan segera kulit perianal merupakan hal yang penting. Upaya-upaya
kebersihan seperti mengganti baju bagian bawah, membersihkan kulit perianal
segera setelah episode inkontinensia, penggunaan kertas tisu basah (tisu bayi),
dan bukannya tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya zinc
oxide dan calamine lotion (Calmoseptine, Calmoseptine Inc: Huntington
Beach, CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit.
Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya
mengurangi asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein
meningkatkan respons gastro-kolonik dan meningkatkan motilitas kolon, dan
menginduksi sekresi cairan pada usus halus. Karenanya, mengurangi konsumsi
kafein, terutama setelah makan dapat membantu mengurangi urgensi
postprandial dan diare.
2. Terapi Spesifik
Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai
berikut:
a. Terapi farmakologis
b. Terapi biofeedback
c. Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers),
d. Bedah
a. Terapi Farmakologis:
Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan
perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa
obat, masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda, telah
diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen antidiare
misalnya loperamide hydrochloride (Imodium Janssen
Pharmaceuticals: Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate
(Lomotil, Searle, Chicago, IL) tetap menjadi obat pilihan yang utama.
Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4
mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia,
memperbaiki urgensi feces dan meningkatkan waktu transit feces di
kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani istirahat dan
mengurangi berat feces.
b. Terapi Biofeedback.
Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif.
Terapi ini memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal,
mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameterparameter
obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada penderita-penderita
dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu.
Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal
adalah:
1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;
2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal,
dan sfingter ani selama berkontraksi secara volunter dan setelah
persepsi rektum;
3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal.
c. Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik
Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau
stimulasi listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan studi-
studi klinis terkontrol. Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah
dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan
pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah
diambil. Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak
mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini.
Alat ini berguna bagi penderita-penderita dengan gangguan
sensasi anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan
mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi. Pada
beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus yang
terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat.
Stimulasi Listrik
Arus listrik dialirkan pada anal kanal untuk stimulasi kontraksi
otot. Pada satu studi, terapi diberikan setiap hari selama 10 hari.
Terdapat sejumlah peningkatan pada 10 dari 15 penderita dan ini
berhubungan dengan peningkatan tekanan kontraksi volunter. Pada
studi lainnya, sesi terapi selama 30-menit diberikan dua kali sehari
selama 12 minggu, tetapi perbaikan hanya diamati pada 2 dari 10
penderita dan tidak ada perubahan pada tekanan sfingter.
Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang
dilakukan pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis,
dilaporkan bahwa tidak terdapat cukup data untuk menarik kesimpulan
yang bermakna terkait efikasi terapi ini.
d. Tindakan Bedah
Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita
tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau
terapi biofeedback. Pada sebagian besar penderita dengan
inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter
secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul
otot sfingter yang robek ditautkan.
Repair sfingter secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh
Parks dilakukan dengan membuat incisi melengkung di anterior anal
kanal dengan mobilisasi sfingter ani eksterna, membebaskannya dari
jaringan parut, preservasi jaringan parut untuk menautkan jahitan, dan
overlapping repair menggunakan dua baris jahitan.
Jika defek sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi
terpisah dari sfingter ani interna juga dilakukan. Dilaporkan terjadi
perbaikan gejala pada 70 80% penderita, meskipun satu studi
melaporkan tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderita-
penderita dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi
utuh, repair postanal telah dicoba. Keberhasilan jangka panjang dari
pendekatan ini memiliki rentang antara 20% dan 58%.
Tata Laksana
Inkontinensia Alvi
BAB III
3.1 Kasus
Pak Karto berusia 70 tahun di bawa ke klink dokter keluarga oleh anak perempuan nya
karena BAB tidak terkendali sejak satu bulan dan BAB di tempat sejak satu minggu terakhir.
Klien sering tidak bisa tidur sehingga sering minum obat tidur. Saat perawat melakukan
pengkajian, klien mengatakan bahwa ia sangat sulit berkonsentrasi. Dalam melakukan
aktifitas sehari-hari klien perlu di bantu oleh orang lain. Klien sering merasa malu terhadap
kondisinya. Dan klien juga pernah menderita stroke. Saat perawat melakukan pengkajian
didapatkan data bahwa kulit sekitar perinanal terlihat tampak kemerahan, feses yang keluar
sedikit-sedikit tapi sering dan berbau. Selain itu, klien tampak lesu, postur tubuh klien
menunduk dan kontak mata klien kurang baik. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior
dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+), Hasil rectal toucer dan USG didapatkan
prostat tidak membesar, Indeks barthel didapat nilai 50, serta klien juga melakukan
pemeriksaan psikiatri.
PENGKAJIAN DATA KEPERAWATAN
Ruang : Melati 1
a. Identitas Pasien
Nama : Tuan Karto
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 70 tahun
Agama : Budha
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak ada
Alamat : Jl. Sukasaya no.45 rt/rw: 01/02, Jakarta selatan.
c. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama.
BAB tidak terkendali sejak satu bulan dan buang air besar di tempat sejak
satu minggu, sulit tidur, kesulitan melakukan aktifitas, merasa malu terhadap
kondisinya.
b. Riwayat penyakit sekarang.
BAB tidak terkendali, sulit tidur, gangguan mobilisasi, harga diri rendah.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Klien mengatakan pernah mengalami Stroke
d. Riwayat penyakit keluarga.
Tidak ada riwayat penyakit didalam keluarga
d. Pemeriksaan Fisik
1. Penapilan Umum
Kesadaran : Compos Mentris
2. Tanda- tanda vital
Tekanan Darah : 120/85 mmHg
Nadi : 110x/menit
Suhu : 37,50C
Pernafasan : 20x/menit
3. Pemeriksaan Antropometri
BB : 65kg
TB : 171cm
4. Pemeriksaan Fisik head to toe
a. Kulit Kepala
Kulit kepala : Normal, tidak ada benjolan/luka
Wajah : Berbentuk simetris, tidak ada luka.
Mata : Simetris, fungsi penglihatan baik.
Hidung : Bentuk simetris, tidak ada kelainan pada hidung.
Telinga : Bentuk simetris, tidak menggunakan alat bantu.
Mulut : Mukosa bibir tampak kering
b. Leher
Tidak terdapat pembesaran tiroid
e. Ekstermitas
Ektermitas atas : Tangan dapat digerakkan dengan normal
Ektermitas bawah : Kaki dapat digerakkan dengan normal, tidak terjadi
lumpuh
f. Integumen
Tugor kulit baik.
g. Genetalia
Lecet pada daerah anus/rektum.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya
menurun (3+/3+)
2. Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat tidak membesar.
3. Indeks barthel didapat nilai 50
4. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri.
f. Pola Kebiasaan Sehari-hari
Minum
- Jenis minum
Air Mineral Air Mineral
- Frekuensi
5-6 gelas/hari 6-7gelas/hari
2. Pola Eliminasi
BAB
- Konsistensi Cair Cair
- Warna Kuning Kecoklatan Kuning
- Frekuensi 6-7x/hari 4-5x/hari
BAK
- Konsistensi
Cair Cair
- Warna
Kuning Jernih Kuning
- Frekuensi
4-5x/hari 5-6x/hari
3. Pola Aktivitas Aktivitas klien setiap harinya Klien hanya berbaring ditempat
perlu di bantu oleh orang lain tidur, istirahat, makan, minum
dan tidak banyak beraktivitas.
4. Pola Istirahat Tidur
- Malam 3-4 jam 6-7 jam
- Siang Klien tidak pernah tidur siang Klien tidak pernah tidur siang
g. Data Fokus
( INTERVENSI KEPERAWATAN )
Edukasi Edukasi
9. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia,
9. Untuk m
penyebab inkontinensia fekal.
klien te
inkonti
Kolaborasi Kolaboras
10. Kolaborasi pemberian obat diare (mis:
10. Untuk m
loperamide, atropine)
dengan
(Sumber : SIKI I.04162 Hal : 315)
22- 24 Resiko Harga Setelah dilakukan tindakan Promosi Harga Diri
Agustus Diri Rendaah keperawatan selama 3 x 24 Observasi Observasi
2020 Kronis jam di harapkan klien dapat 1. Identifikasi budaya, agama, ras, jenis
1. Menget
berhubungan meningkatkan perasaan kelamin, dan usia terhadap harga diri
agama,
dengan positif terhadap dirinya
dalam h
Perasaan sendiri dengan kriteria hasil : 2. Monitor tingkat harga diri, sesuai
2. Untuk m
kurang a. Postur tubuh klien kebutuhan
diri klie
didukung oleh menampakkan wajah
orang lain. b. Konsentrasi klien baik Teraupetik
Teraupetik
c. Pola tidur klien normal 3. Diskusikan pernyataan tentang harga 3. Klien m
d. Kontak mata klien baik diri 4. Melatih
e. Gairah aktivitas klien 4. Diskusikan kepercayaan terhadap
membaik penilaian diri 5. Mengur
5. Diskusikan persepsi negative diri mening
( Sumber : SLKI L.09069 6. Diskusikan penetapan tujuan realistis 6. Mening
Hal : 30 ) untuk mencapai harga diri yang lebih yang tin
tinggi.
7. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas 7. Agar kl
yang meningkatkan harga diri. mening
Edukasi
Edukasi
8. Jelaskan kepada keluarga pentingnya 8. Mening
dukungan dalam perkembangan dengan
konsep positif diri pasien 9. Klien le
9. Anjurkan mempertahankan kontak berkom
mata saat berkomunikasi dengan
10. Agar kl
orang lain.
mening
10. Latih meningkatkan kepercayaan pada
kemampuan dalam menangani situasi.
( Sumber : SIKI I.09308 Hal : 364 )
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
Dalam sistem penulisan makalah ini, kami sebagai penulis mengakui bahwa makalah
yang kami kerjakan masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penulis
membutuhkan bimbingan, saran dan kritik dari pembimbing dan pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA