Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Oleh : kelompok 2
1 Muhmidayeli, M. Ag, Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru : LSFK2P, 2005. hlm. 139
merupakan salah satu pengetahuan. Tidak semua pengetahuan
diwahyukan, tetapi ada pula yang harus didedukasi oleh akal melalui
eksprimen.
Rasionalisme menekankan bahwa kesempurnaan manusia
tergantung pada kualitas rasionya, sedangkan kualitas rasio manusia
tegantung kepada penyediaan kondisi yang memunkinkan
berkembangnya rasio kearah yang memadai untuk mencerna berbagai
permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan.2
Pribadi-pribadi yang rasio adalah pribadi-pribadi yang
mempunyai suatu keyakinan atas dasar kesimpulan yang berlandaskan
pada analisis mendalam terhadap bebagai bukti yang dapat di percaya,
sehingga terdapat hubungan yang rasional antara ide dengan kenyataan
empiric. Untuk keperluan ini, ditemukan tata logic yang baik karena
sangat berguna bagi pengembangan rasionalitas tersebut.
Mengingat pengembangan rasionalitas manusia sangat tergantung
kepada pendayagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat
tergantung kepada proses psikologik yang lebih mendalam sebagai
proses mental, maka yang lebih ditekankan oleh aliran rasionalisme ini
dalam pengembangan sumber daya manusia tidak lain adalah dengan
menggunakan pendekatan mental discipline, yaitu suatu pendekatan
yang berupaya melatih pola dan sistematika berfikir seseorang atau
sekelompok orang melalui tata logik yang tersistematisasi sedemikian
rupa, sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data atau fakta yang
ada untuk menuju pengambilan atau kesimpulan yang baik pula. Proses
semacam ini memerlukan penguta-penguatan melalui pendekatan
individualistis yang mengacu pada intelektualisti. Dan untuk keperluan
ini memerlukan adanya upaya penyadaran akan watak hakiki manusia
yang rasional.3
4 Metafisik atau metafisika adalah yaitu filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika, tentang
hakikat yang ada yang bersifat transenden, di luar atau di atas kemampuan pengalaman manusia.
Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta : Gema Insani, 2004. hal. 109
upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayaan
fungsi akal. Jadi, realitas yang ada adalah dalam wujud natural,
sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu dapat digerakkan dari
alam.
Dalam memandang kehidupan, realisme berpendapat bahwa
kehidupan fisik, mental, moral, dan spiritual biasanya ditandai atau
terlihat dalam alam natural. Dengan demikian terlihat realisme
sesungguhnya lebih cendrung untuk mengatakan sesuatu itu sebagai
sesuatu itu sendiri dari pada sesuatu itu sebagai apa mestinya. Oleh
karena itu, dalam mengembangkan sumber daya manusia aliran ini
berangkat dari cara manusia memperoleh pengetahuan.
Menurut aliran realisme, sesuatu dikatakan benar jika memang riil
dan secara substantive ada. Suatu teori dikatakan benar apabila adanya
kesesuaian dengan harapan dapat diamati dan semuanya perfeck. Aliran
ini menyakini bahwa adanya hubungan interaksi antara pikiran manusia
dan alam semesta tidak akan mempengaruhi sifat dasar dunia. Objek-
objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri, bukan hasil
persepsi dan bukan pula hasil olahan akal manusia. Dunia tetap ada
sebelum pikiran menyadari dan ia tetap akan ada setelah pikiran tidak
menyadarinya. Jadi menurut realisme ada atau tidak adanya akal pikiran
manusia, alam tetap riil dan nyata dalam hukum-hukumnya.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika
eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis
tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia
koheren dengan pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berubungan
dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran yang lama itu
memang benar, yaitu desebabkan pengetahuan lama koresponden
dengan apa yang terjadi dengan kasus itu.
Dengan demikian, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
yang koresponden dengan dunia sebagaimana apa adanya. Dalam
perjalanan waktu, ras manusia telah dikonfirmasi secara berulang-
ulang, menanamkan pengetahuan tertentu kepada anak yang sedang
tumbuh merupakan tugas yang paling penting.
3. Teori pragmatisme-eksprimentalisme
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme.
Pragam berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action.
Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang
lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir.
Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu
mengikuti tindakan.
Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan
benar apabila teori itu bekerja. Ini berararti pragmatisme dapat
digolongkan ke dalam pembahasan tentang makna kebenaran atau
theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James
yang berjudul The Meaning of Thurth. Menurut James kebenaran
adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah
sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak. Dengan demikian kebenaran
adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijelaskan melalui
sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori maka
kebenaran teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri
kebenaran dari teori itu.
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh
Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam
berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin
dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata,
bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.5
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran
aliran Pragmatis antara lain:
a. Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena
proses belajar.
b. Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan
5 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2009, hlm. 99.
c. Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
4. Teori eksistensialisme
Dari sudut estimologi eksistensialisme berasal dari kata eks yang
berarti di luar dan sistensi yang berati berdri sendiri atau menempatkan,
jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai, berdiri sendiri
sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme
merupakan suatu aliran dalam filsafat yang menekankan pada manusia,
dimana manusia dipandang sebagai suatu dunia dengan kesadaran. Jadi
pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu selalu melihat manusia
berada, ekssistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat
dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka
dan belum selesai dan berdasarkan pengalaman yang konkret. Jadi
dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai
suatu yang tinggi, dan keberadannya itu selalu ditentukan oleh dirinya,
karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan
dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Ilmu-ilmu yang
berkaitan eksistensialisme yaitu sosiologi dan antropologi.
Eksistensialisme bisa dialamatkan sebagai saanlah satu reaksi dari
sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir
punah akibat perang dunia kedua.6 Dengan demikian Eksistensialisme
pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran
abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala
bentuk kemutlakan rasional.7
8 Mardiah Baginda, Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Diklat Menurut Pandangan
Al-Qur’an, Jurnal Ilmiah, (t.th), hlm. 4.
9 M. Suyanto, Muhammad Business Strategy & Ethics: Etika dan Strategi Bisnis Nabi
Muhammad SAW, Yogyakarta, Andi Offset, 2008, hlm. 223
Dalam upaya membangun sumber daya manusia yang Qur’ani
dan unggul, diperlukan adanya aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Said Agil Husin al-Munawar
bahwa secara normatif, proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam
pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus
dibina dan dikembangkan oleh pendidikan yaitu:10
a. Dimensi Spiritual, yakni iman, takwa, dan akhlak yang mulia.
Dimensi ini ditekankan kepada akhlak. Terbinanya akhlak yang
baik dapat menjadikan terbentuknya individu dan masyarakat
dalam kumpulan suatu masyarakat yang beradab.
b. Dimensi Budaya, yakni kepribadian yang mantap dan mandiri,
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini
menitikberatkan pembentukan kepribadian muslim sebagai
individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan
faktor dasar dan faktor ajar (lingkungan) dengan berpedoman pada
nilai-nilai ke-Islaman.
c. Dimensi Kecerdasan, merupakan dimensi yang dapat membawa
kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, dll. Dimensi
kecerdasan dalam pandangan psikologi merupakan suatu proses
yang mencakup tiga proses yaitu analisis, kreativitas, dan praktis.
Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman
nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan. Dari uraian di atas, hemat
penulis, kunci dari segala upaya membangun SDM yang unggul
serta Qur’ani yaitu pendidikan.
Pendidikan merupakan wadah untuk mendidik, membina,
membimbing, melatih, mengembangkan, mengolah, mengelola serta
mendayagunakan SDM. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan
akhlak, pendidikan intelektual, dan pendidikan budaya, yang dilandasi
10 Said Agil al-Munwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalm Sistem Pendidikan Islam, Ciputat,
Ciputat Press, 2005, hlm. 8.
oleh sumber ajaran Islam. Secara rinci, upaya yang dapat dilakukan
yaitu :
a. Menanamkan akhlakul mahmudah melalui teladan dan pembiasaan;
b. Mengembangkan pola pikir dengan mempertimbangkan kebaikan
atau keburukan tentang suatu hal tertentu;
c. Membangun dan mengembangkan mental SDM yang mandiri, dan
berjiwa kompetitif;
d. Saling tolong menolong dalam kebaikan;
e. Menghayati nilai-nilai moral yang berlaku;
f. Menerapkan proses humanisasi:
g. Menanamkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, informasi,
teknologi;
h. Mengaplikasikan nilai-nilai Islam ke dalam proses pendidikan;
i. Mengaplikasikan metode tilawah, taklim, tazkiyyah, dan hikmah
seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
C. Kesimpulan
Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa masing-masing aliran
tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang bentuk-bentuk
pengembangan sumber daya manusia.
Yang mana rasionalisme mengatakan bahwa segala sesuatu
pengetahuan itu berasal dari rasio manusia, yaitu atas dasar kinerja otak
setiap individu. Begitu pula kaitannya dengan pengembangan sumber daya
manusia, yang semuanya akan terbentuk karena adanya rasio yang
senantiasa berfikir, dan membentuk sesuai dengan pola pikirnya.
Begitu sebaliknya dengan teori realisme, ia mengatakan bahwa
semua itu terjadi sesuai dengan keadaanya nyata alam ini, sehingga tanpa
memerlukan rasio untuk memikirkannya. Segala sesuatu yang ada di
hadapan kita adalah suatu yang riil dan terpisah dari pikiran manusia,
namun ia dapat memunculkan pikiran dengan melalui upaya selektif
terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayaan fungsi akal.
Akan tetapi pada dasarnya dapat dikatakan bahwa diantara aliran-
aliran yang ada terutama dua aliran di atas, itu semua tidak akan terlepas
antara satu sama lainnya. Karena dalam menggunakan aliran realisme pasti
tidak akan terlepas dari pada yang namanya rasio (rasionalisme), dan
begitu pula dengan sebaliknya.
Ide pokok pemikiran teori pragmatisme antara lain:
1. Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena
proses belajar.
2. Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan
3. Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.