I read this book in English translation by Penguin Random House that will be released on Aug 20, 2024 through NetGalley.
As I type this review, I justI read this book in English translation by Penguin Random House that will be released on Aug 20, 2024 through NetGalley.
As I type this review, I just realized that Indonesian translation of this book released earlier than the one I read. Quite surprising! Especially the Indonesian translation titled as "Star Reader at Full Moon Coffee Shop" that describe the content of the book better. But I haven't read the Indonesian translation yet, so I can't compare both.
This book contains several story of several people that was connected in the past but indirectly connected in the present. Each of them have their own challenge in life and the Full Moon Coffee Shop emerges to help them overcome it.
This book is quite philosophical because trigger us to check our current condition, all the challenge we have, and how we should face it. The most important thing to do it is... by understanding and listening ourselves. When we know ourselves well—what we need, want, and like, we can face any challenges easier and better.
This book is suitable for ones who like/have interest to cat and astrology/horoscope. I'm not one who believe and take astrology seriously but this book gives me perspective about it.
I'm not one really into fantasy, it isn't my comfort books but this book still enjoyable to me because it wasn't really to far from reality. It isn't too hard to imagine.
I like how the writers connecting the dots of all character seamlessly. ...more
Buku terakhir dari seri Aunties tentang kunjungan ke Jakarta untuk Imlek yang pasti ada saja masalahnya.
Karena sudah baca dua buku sebelumnya, sebenaBuku terakhir dari seri Aunties tentang kunjungan ke Jakarta untuk Imlek yang pasti ada saja masalahnya.
Karena sudah baca dua buku sebelumnya, sebenarnya sudah tidak terlalu mengagetkan masalah seperti apa yang akan dihadirkan. Meski begitu, tetap ada bagian mengejutkan yang tidak tertebak. Misalnya, akhir resolusi konflik yang ternyata romantis juga.
Karena sudah tahu polanya, sekalipun aku membaca buku ini untuk hiburan, aku nggak sepenuhnya merasa segar tapi cukup terhibur dengan kelucuan para Aunties dan romansa yang ada di dalamnya. Dan rasanya, dari ketiga buku, buku ini yang paling banyak romansanya.
Akhir bukunya cukup sesuai dengan ekspektasi kita, happy ending dan rasanya mau tahu lanjutan cerita hidup tokoh utama. Sayang, penulis memutuskan untuk menjadikan buku ini buku terakhir seri Aunties padahal menyimak fase hidup barunya tokoh utama terasa menyenangkan karena aku yakin akan lovey-dovey.
Jadi, ya begitu. Aku cukup menikmatinya tapi bukan tipe yang akan sangat melekat dalam ingatan.
Oh! Hal lain yang aku suka dari buku ini adalah bagaimana penulis menggambarkan aspek kultural keluarga keturunan Tionghoa dan Jakarta sebagai kampung halaman. Untuk buku yang tidak hanya ditargetkan untuk pembaca Indonesia, aku senang karena deskripsi penulis bisa jadi promosi budaya Indonesia dan membuat pembaca tertarik lebih jauh soal Indonesia. ...more
Buku tipis tapi aku butuh waktu untuk mencerna apa yang diceritakan. Buku yang diperuntukan untuk anak-anak tapi orang dewasa juga bisa membaca bahkanBuku tipis tapi aku butuh waktu untuk mencerna apa yang diceritakan. Buku yang diperuntukan untuk anak-anak tapi orang dewasa juga bisa membaca bahkan menjadikannya panduan untuk mengintip bahkan merencanakan ulang tujuan hidupnya, seperti yang (akan) kulakukan.
Buku ini adalah cerita seorang anak yang dipertemukan dengan seorang perempuan yang memiliki kafe, di sana ia belajar untuk mulai merencanakan mimpinya dengan keyakinan.
Buku ini hangat dan menginspirasi, sangat optimis tapi cukup terlalu menyederhanakan kalau dilihat dari perspektif orang dewasa. Semua keberhasilan yang akhirnya dicapai tokoh utama terasa begitu mudah dan mulus. Bagus karena buku ini memang ditujukan untuk anak-anak agar memupuk optimisme bermimpi dengan berani dan besar. Namun, untuk orang dewasa sepertiku, rasanya tidak realitis. Dan seperti kata penulis, aku termasuk orang dewasa yang tidak sepenuhnya cocok untuk buku ini tapi aku tetap menikmati bahkan terinspirasi untuk melakukan PR yang disematkan di setiap babnya.
PR tersebut bisa membantu pembaca, entah dewasa atau anak-anak untuk merenungkan apa yang benar-benar ini dilakukan dalam hidup dan bahkan membuat rencana secara terperinci. PR yang sedernaha tapi cukup powerful jika dilakukan dengan sepenuh hati.
Aku juga suka dengan pesan-pesan filosofis lewat berbagai analogi yang dipakai oleh Gadis Kaya Impian, si pemilik Bumi Bermimpi. Analoginya terasa cocok dan mudah dimengerti.
Ya, seperti judulnya, buku ini bisa dikatakan Buku Yang Memasak Impian. Namun, sebagai Muslim, aku rasa perlu berhati-hati dengan konsep kekuatan impian ini karena dari cerita penulis yang bisa kita tangkap adalah apapun keberhasilan yang dicapai tokoh utama dan gadis pemilik kafe, semuanya berkat mimpi dan kerja keras untuk menggapainya. Semua berkat kekuatan keyakinan dan pikiran atau Law of Attraction. Tapi sebagai Muslim, kita harus senantiasa mengatakan semuanya pada Sang Pencipta. Semua terjadi atas kehendak-Nya. Bukan karena kita kuat dan hebat tapi karena memang itu yang sudah ditentukan dan itu yang terbaik menurut-Nya.
Intinya, aku hanya mengingatkan untuk tetap rendah diri atas setiap pencapaian yang kita dapatkan dalam hidup. Itu semua bukan hanya karena kita tapi ada Yang Maha Besar yang menentukan. Tanpa ketentuan-Nya, kita tidak mungkin untuk melakukannya. ...more
The Java Enigma adalah buku fiksi Asia Tenggara pertama yang kubaca di tahun 2024. Buku ini kubaca karena judulnya yang muat kata "Java" atau Jawa, saThe Java Enigma adalah buku fiksi Asia Tenggara pertama yang kubaca di tahun 2024. Buku ini kubaca karena judulnya yang muat kata "Java" atau Jawa, sangat Indonesia, tapi ditulis oleh orang Singapura. Tentu aku penasaran apa yang akan dibahas oleh penulis di dalam buku ini.
Kedua, blurb-nya menyebutkan soal Borobudur. Soal Irin Omar, seorang pustakawati yang sedang mengerjakan proyek restorasi Borobudur bersama tim UNESCO yang kemudian mendapatkan sebuah teka-teki yang harus dipecahkan dari mendiang ayahnya. Sebuah buku Asia Tenggara yang membawa Borobudur sebagai tema utama, rasanya sayang untuk dilewatkan. Dan benar saja demikian.
Buku ini sangat memanjakanku karena ditulis dengan menyuguhkan banyak informasi dan pengetahuan mengenai Borobudur maupun sejarah historis dan kulturan agama Budha di Asia Tenggara. Informasi dan pengetahuan yang rasanya tidak kutemui saat aku belajar mata pelajaran di sekolah. Ditambah, mengetahui hal ini lebih banyak membuatku merasa lebih dekat dan memiliki warisan kultural ini, bahkan di akhir buku aku merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia yang dulunya memiliki kerajaan Budha terbesar dan terluas sampai menciptakan Borobudur yang megah dan begitu dikagumi dunia.
Buku ini ditulis dengan riset yang sangat mendalam dan menjiwai karena memang penulisnya, Erni Salleh, adalah seorang pustakawati, sama seperti tokoh yang ia ciptakan, Irin Omar, dan memang memiliki ketertarikan yang mendalam soal sejarah dan budaya Asia Tenggara. Jadi, sebenarnya tidak mengherankan tapi tetap saja buku ini mengagumkan untukku.
Selain soal bertambahnya pengetahuan, sebenarnya buku ini tidak begitu bagus soal narasi. Di awal, buku ini terasa cukup membosankan. Aku bertahan karena, ya itu tadi, terhibur dengan berbagai informasi baru yang disuguhkan di dalam buku ini.
Meski buku ini banyak dikomentari kalau kurang baik dalam menghadirkan unsur misteri maupun thrillernya, untukku yang tidak begitu nyaman dengan genre tersebut, aku merasa buku ini sudah cukup baik. Ada beberapa momen yang tetap membuatku berharap-harap cemas sampai degdegan, takut-takut akan terjadi pengkhianatan lainnya.
Di samping unsur misteri dari teka-teki yang mencoba dipecahkan, aku juga waswas dengan pengharapan akan ada sedikit bumbu romansa antara Irin Omar dan Nagel. Sayangnya... itu hanya harapanku belaka 3
Dari buku ini, pembaca tidak hanya bisa belajar lebih banyak soal sejarah agama Budha di Asia Tenggara, terutama Borobudur, tapi juga soal sedikit sejarah penjajahan yang melibatkan Portugis. Dari pelajaran memecahkan teka-teki ini, kita juga bisa sedikit belajar mengenai peta dan membacanya maupun geografi Asia Tenggara. Kita juga bisa tahu kalau di dunia ini ada pihak-pihak tertentu yang memang sengaja mengangkat kapal-kapal tenggelam maupun berbagai hal yang ada di dalamnya.
Bisa disimpulkan, buku ini sangat informatif dan untukku yang mengutamakan penambahan pengetahuan dalam membaca berbagai buku, sekalipun fiksi, bagian ini sangat menyenangkan! Dan sungguh, aku akan merekomendasikan buku ini ke sebanyak mungkin orang karena... bagaimana bisa kita tidak bangga soal Borobudur yang ada di negara kita itu?!!!...more
Buku ini aku baca karena sampulnya yang menurutku cantik. Warnanya cukup menggugah: merah dan oranye, tipikal warna brand-brand makanan seperti brand Buku ini aku baca karena sampulnya yang menurutku cantik. Warnanya cukup menggugah: merah dan oranye, tipikal warna brand-brand makanan seperti brand yang ramai sedang diboikot karena relasinya dengan zionis. Ditambah dengan judulnya "Kopi, Puffs, & Dreams", penulisan kopi yang ditulis dengan kopi, bukan coffee dalam bahasa Inggris membuatku merasa buku ini secara kultural, mungkin, akan lebih dekat.
Buku ini bercerita tentang hidup Puthu, orang anak dari pengusaha roti di India, yang dikirim ke Malaysia untuk merantau karena kemampuan fisiknya lebih lemah dibanding saudara laki-lakinya yang lain sehingga dianggap tidak terlalu mampu untuk membantu ayahnya menjalankan bisnisnya.
Awal dikirim ke Singapura, sebenarnya ia akan dihubungkan dengan Mr. Oliver namun karena kesalahpahaman—lebih tepatnya sikap merendahkan, Triruvar, mandor perkebunan kopi yang dikelola Mr. Oliver, Puthu pun menjadi buruh kopi di awal-awal kedatangannya di Jacaranda. Namun, setelah sebuah percakapan, hidupnya menjadi berubah karena akhirnya ia bisa bekerja langsung untuk Mr. Oliver dan istrinya, di rumahnya, Jacaranda.
Buku ini cukup tebal sebenarnya tapi aku membacanya dalam waktu kurang dari 24 jam dan terasa begitu menyenangkan dan terhibur, walaupun terasa seperti menonton sinetron di 3/4 bagian bukunya sampai akhir.
Cerita hidup Puthu sejak masuk Jacaranda sebagai asisten Justine, istri Oliver, di perpustakaan sampai ia merantau ke Singapura untuk memulai bisnis restoran bersama koleganya, Krishnan terasa begitu mudah dan tanpa hambatan, terlalu tidak realistis untuk sebuah cerita imigran yang memulai hidup di tempat yang sangat asing dan butuh banyak adaptasi. Sekalipun, ini bisa saya jadi masuk akal karena karakter Puthu yang dibangun penulis adalah seorang yang cerdas dan jeli, bahkan mampu menemukan apa yang selama ini disembunyikan denan sangat baik oleh Oliver, yang tidak pernah disadari orang lain sebelumnya.
Kehidupan pernikahan Krishnan dan Puthu dengan masing-masing pasangan dan besannya pun terasa sangat dramatis, tipikal sinetron India yang pernah ditayangkan di Indonesia. Itu yang aku bayangkan. Bahkan, untuk konflik tersembunyi antara Khrisnan dan Puthu serta akhir hidup Puthu pun terasa sangat sinetron untukku.
Meski begitu, buku ini ditutup dengan cukup baik. Di akhir buku memang plot twist dikumpulkan untuk menjawab semua konflik yang terjadi sebelumnya. Pun, plot twist-nya sedikit tidak terduga walaupun ada yang bisa ditebak dengan mudah, hanya perlu menunggu sedikit saja.
Selain itu, dari buku ini kita pun bisa belajar untuk teliti dalam bekerja sama dengan orang lain, terutama terkait dengan masalah legal atau dokumentasi. Bagaimana Puhtu menghadapi berbagai sengketa bisnisnya adalah sebuah gambaran yang harus kita lakukan saat berbisnis atau bekerja sama dengan orang lain: selalu dokumentasikan tawar-menawar di atas kertas, teliti dengan isinya sebelum menyetujuinya, dan selalu merujuk pada dokumen yang disetujui dan dilegalkan oleh pengacara ketika ada sengketa. Itu yang akan menyelamatkan kita.
Jadi, "Kopi, Puffs, & Dreams" adalah buku yang ringan untuk dibaca dan cukup menghibur terlepas dari segala kekurangannya. Apakah aku akan merekomendasikan buku ini kepada orang lain? Entahlah, aku tidak terlalu yakin untuk hal ini. ...more
**spoiler alert** Aku baca buku ini karena memang sedang ingin membaca buku-buku fiksi dari penulis Asia Tenggara. Buku ini aku pilih untuk baca karen**spoiler alert** Aku baca buku ini karena memang sedang ingin membaca buku-buku fiksi dari penulis Asia Tenggara. Buku ini aku pilih untuk baca karena blurb-nya cukup menarik: tentang seorang aktor yang tidak bisa berakting. Hal ini membuat penasaran untuk tahu bagaimana ia bisa jadi aktor kalau tidak bisa berakting.
Setelah dibaca... buku ini cukup menyenangkan untuk dibaca. Menyenangkan saja. Menghibur tapi tidak benar ada hal atau perasaan lainnya yang melekat. Buku ini menyenangkan karena aku membayangkan visualisasi buku ini layaknya drama Korea yang sering kutonton. Selain itu, bagian saat Jon Keh berperan menjadi penjual durian memang paling lucu dan menghibur. Selain itu, entahlah.
Intinya dari semuanya, buku ini bukan tipe buku yang akan aku rekomendasikan untuk orang lain meskipun aku merasa terhibur, layaknya terhibur membaca cerita-cerita orang di linimasa media sosial saja. Tidak lebih. Aku juga tidak terlalu paham soal Clouds yang rusak—tiba-tiba menghilangkan video Jon Keh saat menyelamatkan Holliday di lokasi syuting atau hilangnya chat manajer Jon Keh sehingga ia tidak bisa membacanya, maupun adegan hujan Clouds yang membuat banjir segala data digital. Namun, setelah itu semua data digital hilang tanpa jejak. Banyak orang kehilangan data penting mereka, termasuk sutradara film yang sedang dibintangi Jon Keh dan Holliday. Bagian ini terasa begitu janggal dan tidak ada hubungannya dengan keseluruhan cerita. Kalaupun mau dianggap sebagai fantasi atau sains fiksi, aku rasa tidak tepat juga. Entahlah.
Rasanya ingin aku revisi judul buku ini jadi Anatomi Perasaan Seorang Ibu karena... isi buku ini adalah cerita personal seorang ibu bernama Sophia MegRasanya ingin aku revisi judul buku ini jadi Anatomi Perasaan Seorang Ibu karena... isi buku ini adalah cerita personal seorang ibu bernama Sophia Mega yang memilih menikah cepat setelah kuliah untuk membebaskan diri dari orang tuanya, lalu menunda kehamilan di tahun pertama pernikahan sampai akhirnya memutuskan untuk hamil dan punya anak, hanya satu, tak berniat menambah.
Buku ini terasa melelahkan untukku karena sekalipun penulis bilang berkat yoga, meditasi, dan konseling buku ini tidak hanya berisi kemarahan tapi aku tetap merasa buku ini penuh kemarahan dan kekecewaan. Sebenarnya, sesuai dengan tujuan penulisan buku menurut penulis: untuk membagikan cerita ibu yang tidak sempurna dan selalu baik-baik saja seperti di Instagram. Sayangnya, aku itu membuatku tidak nyaman dan tidak sesuai ekspektasiku sebab aku merasa mendapat tembakan emosi "negatif" dan buku ini yang dimasukkan dalam seri gender padahal isinya full autobiografi/memoir.
Ketidaknyamananku atas buku ini karena ceritanya yang terlalu personal dan detail sampai aku merasa hal-hal tersebut tidak seharusnya dipaparkan di dalam buku (atau media sosial seperti konten yang kerap kulihat di akun penulis), seperti soal rumah tangganya, hubungan dengan orang tua dan mertua, atau proses menyusui yang terlalu detail karena berkaitan dengan bagian tubuh penulis.
Ketidaknyamanan lainnya yang kurasakan dalam buku ini adalah label yang disematkan penulis pada dirinya sendiri melalui diksi "gila". Sejak bab pengantar, penulis sudah menggunakan kata tersebut dan aku merasa cukup berlebihan dan dramatis. Namun, di bab terakhir buku ini aku mendapat jawaban dan cukup mengerti mengapa penulis memilih kata tersebut sebab perilakunya yang cukup ekstrem karena kemampuannya mengontrol atau menyalurkan emosi kemarahannya yang belum optimal dan cukup membahayakan, baik dirinya maupun orang-orang di sekitarnya, termasuk anak dan suami.
Ketiga, aku sangat tidak nyaman dengan opini personal yang tidak dilandasi data kuat perihal pilihan memberi anak ASI atau susu formula. Aku paham maksud penulis untuk mempromosikan ASI sebagai sumber makanan terbaik untuk bayi. Sayangnya, argumennya terkesan abai terhadap para ibu yang harus terpaksa memberi anaknya susu formula karena satu dan lain hal, seperti: • kehamilan dalam rentang kurang dari dua tahun sehingga anak harus disapih sebelum waktunya, atau • ibu yang tidak memproduksi ASI sekalipun sudah berusaha keras untuk demikian. Contoh nyatanya, mamaku, seorang ibu empat anak yang hanya bisa memng-ASI-hi kedua anaknya tapi harus rela memberi susu formula dua anak terakhirnya karena ASI-nya tidak lagi keluar sekalipun sudah disusui maupun mengkonsumsi ASI booster seperti katuk.
Masih soal ASI vs susu formula, sungguh aku merasa argumen yang disajikan penulis terhadap kampanye negatif susu formula sangat tidak relevan hari ini. Aku secara personal tidak tahu penulis dapat informasi atau punya pengalaman seperti apa tapi sebagai ibu dengan bayi berusia dua tahun yang tinggal di Kota Bogor tidak pernah sekalipun aku dicekoki kampanye memaksa untuk memberikan susu formula kepada anakku di fasilitas kesehatan mana pun yang aku datangi maupun oleh tenaga kesehatan manapun yang aku temui.
Kalau pun penulis merasa kampanye ASI eksklusif sebagai makanan utama dan terbaik untuk bayi masih kurang, aku bingung sekali kurangnya di mana. Sebab tiap ke faskes baik swasta maupun pemerintah aku selalu melihat poster kampanye ASI eksklusif minimal enam bulan dan tak ada satu nakes pun yang mencibirku karena aku melakukan ASI ekslusif.
Yang aku tahu, kampanye ASI ekslusif adalah program nasional pemerintah yang wajib di kampanyekan di tiap satuan kesehatan. Sekelas posyandu pun ada kelas menyusuinya. Jadi, aku sangsi sekali dengan interaksi dan pengetahuan yang penulis miliki sampai menciptakan asumsi demikian.
Selanjutnya, aku cukup berempati dengan apa yang dialami penulis: apa yang membuatnya memiliki tantangan dalam mengatasi emosi dan menjaga kestabilan psikisnya. Aku cukup mengapresiasi usaha yang telah dilakukannya, terutama melalui berbagai sesi konseling. Aku pun pernah melakukan konseling (fasilitas kantor) selama hamil dan itu cukup membantu. Namun, sangat disayangkan ketika pilihan spiritualnya untuk menghadapi masalahnya malah jatuh ke membaca tarot. Padahal ada banyak opsi mudah dan murah yang bisa dilakukan seperti lebih mendekatkan diri dan mengenal agama yang diyakini. Aku berasumsi penulis cukup kritis untuk mengarah ke sana tapi sayangnya belum.
Hal ini juga yang membuatku cukup kecewa dengan referensi yang ia jadikan rujukan dan kutip dalam buku ini. Selain potongan sesi konselingnya, kebanyakan referensi yang penulis kutip adalah dari buku bacaan populer yang ia baca. Kukira dengan menjadikan pengalaman hidupnya sebuah buku, referensinya akan jauh lebih akademis ternyata tidak.
Oleh karena itu, aku merasa bahwa buku ini sepenuhnya tentang penulis: cerita hidupnya dan masalah yang ia hadapi. Aku merasa cerita yang sangat personal ini tak benar-benar harus diterbitkan menjadi sebuah buku, sebatas konten di media sosial atau website pribadi rasanya cukup.
Aku tak tahu berapa banyak perempuan atau ibu yang merasa terwakilkan dengan cerita penulis, yang jelas hanya sedikit sekali pengalaman serupa yang kumiliki ada di dalam buku ini.
Oh ya, karena sejak awal aku sudah menyebut kalau buku ini tetap penuh emosi yang menggebu (marah, kecewa, bahkan menghakimi orang lain) aku malah takut kalau orang-orang yang belum menikah dan belum hamil membaca buku ini malah menjadi takut, takut untuk menikah, hamil dan punya anak.
Itu yang pernah aku rasakan saat hamil dan bulan-bulan awal pasca melahirkan. Dulu, aku suka melihat konten media sosial penulis -- di kondisi hormonal dan gamang dengan fase kehidupan baru yang akan dijalani sebagai ibu, aku jadi terpengaruh dan mengamini cara melihat hidup seperti penulis, terutama terkait orang tua dan mertua, membuatku punya masalah kepercayaan dengan mereka. Akhirnya, aku jadi berburuk sangka dan takut sampai akhirnya ingin mengontrol semua hal sendiri yang berujung pada aku yang curiga dan lelah dengan ketakutan sendiri.
Jadi... ya, aku tidak yakin apakah buku ini harus dibaca oleh sebanyak mungkin orang terutama perempuan yang belum menikah dan belum hamil tapi ingin menikah dan ingin hamil. Tapi ya... ada beberapa bagian yang memang bisa dibaca oleh lelaki, para calon suami, agar paham pengalaman ketubuhan perempuan dan bisa membantu meringankan pengalaman tersebut....more
Bukunya tipis, desain layout-nya lumayan buang-buang kertas menurutku karena judul dibiarkan satu halaman sendiri, lalu dipisah dengan 1-2 halaman kosBukunya tipis, desain layout-nya lumayan buang-buang kertas menurutku karena judul dibiarkan satu halaman sendiri, lalu dipisah dengan 1-2 halaman kosong sebelum masuk ke cerita pendek. Tidak efisien dan ramah lingkungan ...more
Buku ini menggambarkan kisah hidup perempuan desa yang tak jauh dari Madiun di masa Orde Baru. Bagaimana ia menjalani hidupnya dari masih melarat sampBuku ini menggambarkan kisah hidup perempuan desa yang tak jauh dari Madiun di masa Orde Baru. Bagaimana ia menjalani hidupnya dari masih melarat sampai jadi juragan.
Di antara jalan hidupnya ini banyak aspek kehidupan yang disoroti oleh penulis, isu-isu yang cukup sensitif pada masa itu atau bahkan sekarang juga, seperti: • identitas politik yang dikaitkan dengan PKI: semua pembangkangan, apapun masalahnya dicap PKI. • otoriter negara dan tentara mengeksploitasi masyarakat demi kepentingannya: meminta uang keamanan, memaksa warga memberikan tanahnya untuk proyek pemerintah, belum lagi kasus petrus yang "menghilangkan" kriminal dengan cara bengis • agama kepercayaan: penyembah leluhur, Islam, ziarah ke Gunung Kawi, dll • gender, kelas, pekerja: Martini, anak perempuan yang mengangkat derajatnya dengan menjadi kuli lalu berdagang sampai bisa jadi rentenir, menikahi Teja yang seorang kuli namun tidak menafkahinya, melainkan hanya mendampinginya mencari uang • pelecehan & kekerasan seksual: anak perempuan yang diperkosa oleh pamannya sendiri, Rahayu yang di-grooming oleh Kiyai yang dipandangnya • perempuan & pernikahan: Martini rela saja suaminya main perempuan lain asal tidak menikah (ia tak mau membagi harta hasil kerja kerasnya pada gundik suaminya), Rahayu jadi istri kedua secara siri, Rahayu yang juga ditawarkan jadi istri keempat Kiyai Hasbi. • dan rasanya masih ada lagi tapi mungkin terlewat ...more
Tidak menyangka buku ini ternyata bahas kegalauan seorang mahasiswa Arsitektur yang ternyata ga suka perempuan. Selama ini dia bersembunyi karena takuTidak menyangka buku ini ternyata bahas kegalauan seorang mahasiswa Arsitektur yang ternyata ga suka perempuan. Selama ini dia bersembunyi karena takut dihakimi, dipersekusi dan mengecewakan orang terkasih. Sampai akhirnya dia bertemu mahasiswi FIB super freak bernama Andra. Hidup Shaienlendra berubah 180 derajat: jadi lebih cerita, banyak ngomong, dan banyak keanehannya.
Andra yang tiba-tiba hadir ke hidup Shaien ternyata jawaban atas masalah hidupnya selama ini, sesuai dengan ramalam ciam si-nya ketika ia melarikan diri ke Glodok karena mumet, pas banget di momen nggak masuk kelas yang akhirnya mempertemukan dan mendekatkannya ke Andra.
Untuk orang yang nggak pro LGBTQ, membaca buku sebenernya agak kurang nyaman karena harus membayangkan detail bagaimana sesama lelaki berhubungan romantis layaknya pasangan hetero. Selain, tentu aja, aku nggak nyaman dengan hobi aneh bin ekstremnya Andra yang suka makan-makanan mengerikan kayak kobra, kodok, dan lain-lain ...more
Loading...
