Info Kayu Laban
Info Kayu Laban
Info Kayu Laban
on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood
Wahyu Dwianto dan Sri Nugroho Marsoem
Abstract This review deals with several topics concerning natural factors affecting physical and mechanical properties of wood, i.e. (1) wood species; (2) age and location of growing; (3) position of wood sample in the stem; (4) diameter; (5) humidity, moisture content, and temperature; (5) weathering and fungi; (6) forest fired; that have been done by researchers who are members of Indonesian Wood Research Society. The purposes of this review are (1) to evaluate the research results that have been done, (2) to promote the applicable and feasible utilization of research results to the users, (3) to provide information concerning previous researches that might be useful for further researches. More than 60 wood species have been reported in this review. Besides the major and minor commercial wood species; lesser known species, i.e. Balsa (Ochroma spp.), Randu (Ceiba pentandra Gaertn.), Merkubung (Macaranga sp.), Cengkeh (Eugenia aromatica L.), Afrika (Maesopsis eminii), Kisereh (Cinnamomum porrectum (Roxb) Kosterm), Kibawang (Melia excelsa Jack.), Pulai Konggo (Alstonia kongoensis Engl.), Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griserb.), Salamander (Grevillea robusta A.Cunn.), Kilemo (Litsea cubeba Pers.), Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.), Sukun (Arthocarpus altilis), Arang (Diospyros borneensis), Berumbung (Adina minutifolia), Tisuk/Waru (Hibiscus macrophyllus), Urograndis (Eucalyptus urograndis), Kelapa (Cocos nucifera L.), Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq.), Laban (Vitex Pubescens Vahl.), Rambai (Baccaurea motleyana Muell.), Ki Sampang (Evodia latifolia DC.), Nangka (Artocarpus integra Merr.), Kalapi (Kalappia celebica), Gofasa (Vitex coffasus), Ketileng (Vitex glabrata), Cemara (Gymnostoma sp.), and Lamtoro (Leucaena glauca (Willd) Benth). have also been observed. The researches were generally done in relation to the utilization prospect of lesser known species, crops estate species, fast growing species, timber estate species, rural forest species, commercial species, for contruction/structural materials, handycraft, musical instruments, or out-door exposures. Wood properties were interaction between specific gravity or density, moisture content, shrinkage and mechanical properties of wood. However, the values of those physical and mechanical properties in the papers could not directly compared to each other, because there were various testing standard and strength classification used. And unfortunately, researches on acoustic, thermal, electrical, creep, relaxation, and fatigue behaviour of Indonesian wood species were very rare or almost none. Key words: lesser known species, physical and mechanical properties, testing standard and strength classification. Pendahuluan Makalah ini menguraikan hasil-hasil penelitian sifat fisik dan mekanik jenis-jenis kayu Indonesia yang telah dilakukan oleh para peneliti anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki). Seluruh makalah yang akan dibahas telah dipresentasikan di Seminar Nasional Mapeki ke I s/d VIII (1998 ~ 2005). Tujuan tinjauan makalah ini adalah untuk (1) mengevaluasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan; (2) mempromosikan hasil penelitian yang bersifat aplikatif sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pihak pengguna; (3) agar penelitian yang telah dilakukan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya. Lebih kurang 60 makalah yang berhubungan dengan penelitian sifat fisik dan mekanik kayu telah diterbitkan di Prosiding Seminar Nasional Mapeki. Tinjauan hasil-hasil penelitian pada makalah ini didasarkan pada faktor-faktor alam yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanik kayu. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi (1) jenis kayu; (2) umur dan tempat tumbuh; (3) letak dalam batang; (4) diameter; (5) kelembaban, kadar air dan suhu; (6) cuaca dan jamur; serta (7) kebakaran hutan. Jenis Kayu Penelitian sifat fisik dan mekanik yang telah dilakukan sehubungan dengan prospek pemanfaatan jenis-jenis kayu kurang dikenal (lesser known species), kayu dari tanaman perkebunan (crops estate species), kayu cepat tumbuh (fast-growing species), kayu Hutan Tanaman Industri/HTI (timber estate species), kayu dari areal agro-forestry, kayu andalan/unggulan setempat (JAS), kayu dari hutan rakyat (rural forest species), kayu perdagangan (commercial species), kayu langka/
85
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
terancam punah, dan kayu alternatif untuk bahan bangunan konstruksi/struktural, kayu perkakas/ pertukangan, mebel, kerajinan/ ukiran, alat musik, atau penggunaan di luar ruangan. Jenis Kayu Kurang Dikenal Menurut Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang terdiri dari kayu komersial, non komersial, tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya (Anonim 1986). Jenis kayu non komersial maupun tak dikenal biasanya memiliki berat jenis (BJ) rendah, tidak kuat dan tidak awet, sehingga membatasi penggunaannya. Sebagai contoh kayu Balsa dengan BJ 0.15 ~ 0.28 termasuk kelas kuat dan kelas awet V (Anonim 1979). Prayitno (1998) melaporkan struktur anatomi, sifat-sifat fisik, mekanik, penyebaran dan kegunaan kayu Balsa (Ochroma spp.), Randu (Ceiba pentandra Gaertn.), Kemiri (Aleurites moluccana Willd.), dan Merkubung (Macaranga sp.). Sifat fisik dan mekanik yang diteliti meliputi BJ, kadar air (KA), kembang-susut, warna kayu teras, tekstur, arah serat, kekerasan, keteguhan lentur (MOE), keteguhan patah (MOR), keteguhan tekan sejajar dan tegak lurus serat, serta tarik tegak lurus serat. Widiati (2002) meneliti kayu Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.) dan melaporkan bahwa kayu ini mempunyai rasio penyusutan arah tangensial dan radial (T/R rasio) sebesar 1.47, sedangkan berdasarkan BJnya maka termasuk kelas kuat III. Sifat mekanik kayu ini termasuk kelas kuat II untuk keteguhan tekan sejajar serat; kelas kuat IV untuk nilai MOE; dan kelas kuat II untuk nilai MORnya. Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka kayu ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kayu lapis, mebel dan konstruksi ringan. Jenis Kayu dari Tanaman Perkebunan Salah satu upaya untuk mengatasi menurunnya bahan baku kayu adalah dengan memanfaatkan jenis kayu yang berasal dari tanaman perkebunan. Beberapa jenis kayu perkebunan yang telah dimanfaatkan adalah kayu Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), kayu Kelapa (Cocos nucifera L.) dan kayu Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Rachman dan Malik (1999) meneliti BJ, kekerasan dan sifat permesinan kayu Cengkeh (Eugenia aromatica L.) berumur 20 tahun (diameter 10 ~ 30 cm) yang berasal dari kebun rakyat dan petak percobaan Institut Pertanian Bogor di Sukamantri. BJ rata-rata kayu Cengkeh adalah 0.79 (0.74 ~ 0.84), sedangkan kekerasan rata-rata adalah 575.25 (473.75 ~ 698.70) kg/cm2. Berdasarkan hasil tersebut maka kayu Cengkeh termasuk kelas kuat II; sekelas dengan kayu Jati yang memiliki BJ 0.70, bahkan lebih keras dari kayu Jati yang memiliki kekerasan 440 kg/cm2.
Jenis Kayu Cepat Tumbuh, Kayu HTI dan Kayu dari Areal Agro-forestry Dimasa depan, kayu-kayu cepat tumbuh akan menggantikan kayu-kayu dari hutan alam; oleh karena itu sangat diperlukan data-data karakterisasinya. Firmanti et al. (2000) meneliti sifat kekuatan kayu Akasia (Acacia mangium Willd.), kayu Afrika (Maesopsis eminii), Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) dan Gmelina (Gmelina arborea) contoh uji skala penuh (6 cm x 12 cm x 300 cm). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BJ kayu-kayu tersebut berkisar antara 0.35 ~ 0.70; MOR antara 15 ~ 90 MPa; dan MOE antara 3.5 ~ 21 GPa. Dengan rentang sifat kekuatan yang tinggi, maka jenisjenis kayu cepat tumbuh tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan struktural. Sutapa mengadakan penelitian-penelitian mengenai kualitas batang dan sifat fisik kayu Mindi (Melia azedarach L.) dari areal agro-forestry tradisional di Cankringan, Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan terhadap pohon Mindi dengan umur rata-rata 18 tahun dan diameter rata-rata 34.4 cm. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jumlah rata-rata mata kayu pada batang bagian bawah sampai ketinggian 3 m sebanyak 0.36/m, sedangkan pada batang bagian tengah dari ketinggian 3 ~ 6 m sebanyak 0.96/m. Ukuran diameter mata kayu tersebut antara 18 ~ 40 mm. Perbedaan KA antara kayu gubal dan kayu teras dari pohon yang baru ditebang sebesar 15.8%. Perbedaan KA yang relatif kecil ini memperkecil kemungkinan terjadinya retak akibat pengeringan (Sutapa 2002). Rata-rata BJ kayu ini adalah 0.53 dengan perbedaan nyata antara bagian dalam (0.52) dan bagian luar batang (0.55). Besarnya penyusutan tangensial (T) = 7.5%, dan penyusutan radial (R) = 4.5%, sehingga didapatkan T/R rasio sebesar 1.7 (Sutapa 2004). Kholik dan Prabawa (2004) meneliti mengenai sifat dan kualitas kayu Sukun (Arthocarpus altilis) berumur 21 tahun di lahan agro-forestry Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pengujian sifat fisik dan mekaniknya dilakukan berdasarkan standar DIN (Deutsche Institut Fuer Normung) pada bagian pangkal, tengah, ujung batang, serta bagian cabang. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan kering tanur = 0.31 gr/cm3; T/R rasio batang = 1.82; T/R rasio cabang = 1.97; MOE = 50.05 ton/cm2; MOR = 318.28 kg/cm2; keteguhan tekan sejajar serat = 95.86 kg/cm2; keteguhan geser = 6.27 kg/cm2; kekerasan samping = 91.09 kg/cm2; kekerasan ujung = 205.98 kg/cm2; dan keteguhan pukul = 18.95 x 10-3 J/mm2. Berdasarkan klasifikasi berat kayu (Soenardi 2001), dengan kerapatan kering udara 0.31 gr/cm3 maka kayu Sukun termasuk jenis kayu ringan (< 0.36 gr/cm3). Stabilitas dimensi kayu ini tergolong rendah. Martawijaya (1990) menyebutkan bahwa dengan rasio penyusutan yang besar akan cenderung lebih mudah pecah atau berubah bentuk yang mengakibatkan cacat. Menurut
86
klasifikasi kelas kekuatan kayu yang didasarkan atas hubungan nilai kerapatan kering udara, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat (Anonim 1976), maka kayu Sukun termasuk kelas kuat IV; sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan bangunan konstruksi. Jenis Kayu Andalan Setempat Dalam upaya memberdayakan jenis-jenis kayu di daerah Jawa Barat sebagai Jenis kayu Andalan Setempat (JAS), Abdurachman dan Hadjib (2001) melakukan penelitian mengenai sifat fisik dan mekanik kayu Kisereh (Cinnamomum porrectum (Roxb) Kosterm.) BJ = 0.627; Surian atau Suren (Toona sureni Merr.) BJ = 0.465; Kibawang (Melia excelsa Jack.) BJ = 0.492; Pulai Konggo (Alstonia kongoensis Engl.) BJ = 0.412; Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) BJ = 0.734; Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griserb.) BJ = 0.486; Kapur (Dyobalanops aromatica Burck.) BJ = 0.788; Salamander (Grevillea robusta A.Cunn.) BJ = 0.614; Mahoni (Swietenia macrophylla King.) BJ = 0.577; dan Kilemo (Litsea cubeba Pers.) BJ = 0.460. Sifat fisik dan mekanik yang diuji meliputi KA, penyusutan, keteguhan pada batas proporsi, MOE, MOR, keteguhan tekan dan geser sejajar dan tegak lurus serat, keteguhan pukul, kekerasan, serta keteguhan tarik tegak lurus serat, berdasarkan standar ASTM (American Society for Testing Materials) D 14394. Dari jenis-jenis kayu yang diteliti, Kisereh, Kibawang, Pulai Konggo, Kapur, Salamander, dan Kilemo mempunyai kestabilan dimensi rendah (T/R rasio > 2), sedangkan kayu lainnya mempunyai kestabilan dimensi tinggi. Sebagai bahan baku konstruksi, selain dilihat berdasarkan kelas kuatnya, perlu juga dipertimbangkan rasio kekuatan terhadap berat kayunya (strength to weight ratio), karena semakin tinggi rasio tersebut maka semakin sesuai untuk bahan baku konstruksi. Berdasarkan nilai BJ, MOR, dan keteguhan tekan sejajar seratnya maka kayu Kisereh, Tusam, Salamander, dan Kapur termasuk dalam kelas kuat II, sedangkan lainnya kelas kuat III. Jenis-jenis kayu dengan kelas kuat II dan mempunyai rasio kekuatan terhadap berat yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan untuk bahan baku konstruksi. Jenis Kayu Perdagangan Kholik dan Gunawan (2004) melaporkan sifat dan kegunaan 6 jenis kayu Kalimantan Timur. Jenis-jenis kayu yang digunakan adalah kayu Sungkai (Peronema canescens Jack.), Pulai (Alstonia scholaris R. Br.), Terap (Artocarpus elasticus), kayu Arang (Diospyros borneensis), Balau (Dipterocarpus verrucosus) dan Bintangur (Calophylum depresinervosum). Contoh kayu diambil dari pohon dengan diameter minimal 20 cm (dbh), tinggi bebas cabang minimal 5 m dan bebas cacat. Pengujian sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan standar DIN 52182, 52184, 52185 dan 52186. Berdasarkan klasifikasi berat kayu (Soenardi 2001),
kayu Pulai termasuk jenis kayu ringan (kerapatan kering udara < 0.36 gr/cm3); kayu Sungkai, Terap, Arang dan Bintangur termasuk jenis kayu sedang (kerapatan kering udara antara 0.36 ~ 0.56 gr/cm3); kayu Balau termasuk jenis kayu berat (kerapatan kering udara > 0.56 gr/cm3). Dibandingkan dengan jenis-jenis kayu yang diteliti lainnya, kayu Balau memiliki kestabilan dimensi paling tinggi (T/R rasio = 1.19). Berdasarkan hasil pengujian sifat mekaniknya (MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat) dan klasifikasi menurut Anonim (1979) maka kayu Balau termasuk kelas kuat II, dapat digunakan sebagai bahan konstruksi dan pertukangan; kayu Terap, Arang dan Bintangur, termasuk kelas kuat III, masih dapat digunakan sebagai bahan konstruksi dan pertukangan namun terbatas pada beban yang lebih ringan; kayu Sungkai dan Pulai termasuk kelas kuat IV, dapat digunakan sebagai komponen mebel. Hadjib dan Sarwono (2004) meneliti mengenai sifat akustik kayu. Salah satu jenis kayu yang digunakan untuk alat musik kolintang adalah Berumbung (Adina minutifolia). Kayu ini berasal dari hutan alam dan jumlahnya semakin berkurang, sehingga perlu ditemukan jenis kayu lain yang memiliki sifat akustik yang sama dengan kayu tersebut. Sebagai bahan baku untuk alat musik, sifat akustik yang dibutuhkan adalah damping factor (tan ), specific dynamic Youngs modulus (E/), kerapatan (), kestabilan dimensi dan sifat mekanik yang tinggi. Selain Berumbung, jenis kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Merawan (Hopea mengarawan Mig.) dan Tisuk/Waru (Hibiscus macrophyllus). E/ dan tan dideteksi dengan metode free-free flexual vibration. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kayu Berumbung mempunyai nilai tinggi (0.85), E/ sedang (19.81 GPa) dan tan rendah (0.00684). Nilai dan tan kayu Merawan dan Tisuk lebih rendah dari kayu Berumbung, sehingga tidak dapat menggantikan kayu Berumbung sebagai bahan baku alat musik kolintang. Kayu Merawan dapat digunakan sebagai soundboards gitar dan piano karena mempunyai nilai sedang (0.57), E/ tinggi (29.43 GPa) dan tan sangat rendah (0.00413). Sedangkan kayu Tisuk mempunyai nilai rendah (0.39) dan tan rendah (0.00666) dapat digunakan sebagai plat gitar bagian atas. Fernandes et al. (2004) melaporkan perambatan panas 4 jenis kayu perdagangan Indonesia. Nilai konduktivitas termal kayu merupakan faktor penting pada proses perekatan yang menggunakan kempa panas. Konduktivitas termal adalah bilangan yang disetarakan dengan besarnya panas yang mengalir pada suatu balok dengan panjang 1 m dan selisih suhu 1C (Siau 1995). Jenis kayu yang digunakan adalah kayu (Tectona grandis L.f.), Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), Meranti (Shorea spp.), dan Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap jenis kayu memiliki nilai
87
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
konduktivitas termal yang berbeda nyata pada taraf uji 1%. Jenis Kayu Langka dan Terancam Punah Pohon Gadog/Gintung (Bischofia javanica Blume) atau dengan nama perdagangan Bishop wood merupakan salah satu jenis pohon di Jawa Barat yang mulai langka. Sehingga diperlukan suatu kajian penelitian mengenai penyebaran serta pengujian sifatsifat kayunya. Suwandhi et al. (2004) mengadakan penelitian mengenai morfologis dan silvikultur, data dan pola penyebaran, tingkat kerapatan, tingkat asosiasinya dengan jenis-jenis pohon lain dan habitat pohon ini di hutan alam Gunung Tampomas dan Gunung Kareumbi Masigit, serta hutan rakyat di beberapa wilayah Kab. Sumedang. Contoh uji kayu untuk karakterisasi diperoleh dari Kec. Sukasari, berumur 30 tahun dengan diameter 33 cm dan tinggi 20 m. Nilai kerapatan kering udaranya berkisar antara 0.41 ~ 1.13 gr/cm3 dengan rata-rata 0.56 gr/cm3. Pada tahun 2004, kayu Ramin (Gonystylus bancanus Kurz.) telah disetujui untuk masuk dalam Konvensi Perdagangan Internasional Species Flora dan Fauna (CITES) appendix II yang mengatur dan mengawasi perdagangan jenis-jenis kayu yang akan terancam punah. Kayu Ramin mempunyai BJ 0.63 (0.48 ~ 0.84), berwarna putih kekuning-kuningan atau kuning gading dengan arah serat lurus, tekstur halus dan merata, serta permukaan kayu mengkilat dan licin. Untuk memenuhi kebutuhan beberapa industri kayu yang selama ini menggunakan bahan baku kayu Ramin, maka perlu dicari jenis kayu alternatif sebagai pengganti
Ramin dari jenis-jenis kayu yang kurang dikenal. Rulliaty (2005) melakukan pengamatan beberapa jenis kayu pengganti Ramin. Pengamatan dilakukan terhadap jenisjenis kayu koleksi yang terdapat di Laboratorium Anatomi Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor yang memiliki kesamaan, terutama dalam hal warna, BJ, arah serat dan tekstur kayu. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 25 jenis kayu yang memiliki kesamaan dengan kayu Ramin. Jenis Kayu Alternatif Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. et V.) merupakan pohon penghasil resin damar. Sarwono (2004) melakukan penelitian mengenai kayu ini dengan tujuan untuk menganalisis alternatif pemanfaatan paska produksi getahnya dengan mengamati sifat fisik dan mekanik kayu hasil tebangan. Pengujian sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan standar ASTM D 143-94. Hasil pengujian sifat fisik dan mekaniknya dapat dilihat pada Tabel 1. Umur dan Tempat Tumbuh Penelitian-penelitian mengenai faktor umur dan tempat tumbuh terhadap sifat fisik dan mekanik telah dilakukan terhadap jenis-jenis kayu kurang dikenal, yaitu Urograndis (Eucalyptus urograndis); kayu cepat tumbuh dan kayu HTI, yaitu Mindi (Melia azedarach L.), Akasia (Acacia mangium Willd.) dan Gmelina (Gmelina arborea); serta kayu perdagangan, yaitu Jati (Tectona grandis L.f).
Table 1. Physical and mechanical properties of Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. et V.) wood. Physical and Mechanical Properties Density (gr/cm3) Air-dry moisture content (%) Shrinkage (%) Stress at proportional limit (kg/cm2) Stress at rupture limit (kg/cm2) MOE (kg/cm2) Impact bending (kgm/dm3) Compression parallel to grain (kg/cm2) Compression perpendicular to grain (kg/cm2) Edge hardness (kg) Surface hardness (kg) Shear strength (kg/cm2) Tears strength (kg/cm2) Tensile strength perpendicular to grain (kg/cm2) Source: Sarwono (2004). Average 0.78 9.23 367.07 520.38 96010 16.71 336.34 63.60 521.66 320 106.91 53.30 34.49 96.94 46.68 38.23 17.75 Radial 4.074 Tangential 8.149
88
Jenis Kayu Kurang Dikenal Penelitian sifat fisik dan mekanik jenis kayu Urograndis (Eucalyptus urograndis) dilakukan terhadap tanaman berumur 2 dan 3 tahun (Hadjib 2000). Hasil pengujiannya dirangkum pada Tabel 2. Dari hasil pengamatan, belum terdapat perbedaan yang nyata pada BJ berdasarkan jarak empulur ke arah kulit dan dari pangkal ke ujung batang bebas cabang. Menurut klasifikasi kekuatan kayu Indonesia, kayu tersebut tergolong kelas kuat III sehingga dapat digunakan untuk bahan baku mebel atau konstruksi ringan. Wulandari et al. (2002) meneliti variabilitas sifat fisik dan mekanik kayu Urograndis dari beberapa klon. Kayu Urograndis merupakan hasil persilangan antara E. urophylla S.T. Blake dan E. grandis W. Hill ex Maiden. Kayu yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 4 klon, yaitu klon 1837; 382.01 No.15; 1841 No.1; dan 1841 No.20 berasal dari Kalimantan Timur dan berusia 3 tahun 6 bulan. Pengujian sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan ASTM D143-94 contoh uji bebas cacat. Berdasarkan klasifikasi Den Berger (1923), kayu Urograndis dari 4 klon tersebut termasuk kelas kuat IIIIV. Klon 1837 memiliki nilai keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan geser sejajar serat (R dan T), kekerasan sisi, nilai MOE dan MOR yang lebih tinggi dibandingkan dengan klon lainnya; sehingga dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan sebagai salah satu tanaman pada HTI. Jenis Kayu Cepat Tumbuh dan Kayu HTI Kayu Mindi (Melia azedarach L.) merupakan jenis kayu cepat tumbuh dengan riap sekitar 20 m3/ha/tahun dan mulai dikembangkan sebagai salah satu jenis kayu HTI. Penelitian yang dilakukan oleh Kasmudjo dan Sunarto (1999) bertujuan membandingkan sifat-sifat kayu Mindi pada umur 12 dan 18 tahun. Pengujian sifat
fisik dan mekaniknya dilakukan berdasarkan standar ASTM D 143-94. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 3. BJ dan sifat mekanik yang diuji meningkat dengan bertambahnya umur pohon, sedangkan KA dan penyusutan tidak berbeda nyata. Dengan T/R rasio yang sedang, kayu ini cenderung mudah retak dan pecah pada proses pengeringan awal. Dari sifat mekanik yang menengah, kayu ini kurang memadai untuk penggunaan yang memerlukan prioritas kekuatan. Gunawan et al. (2001a) telah melakukan penelitian mengenai variasi sifat kayu HTI berdasarkan umur dan lokasi tanaman terhadap kayu Akasia (Acacia mangium Willd.) dan Gmelina (Gmelina arborea) dengan umur 2, 3, 4, 5, dan 6 tahun yang tumbuh di areal HPHTI PT Sumalindo Lestari Jaya di Sebulu dan Menamang. Pengujian sifat fisik dan mekaniknya menggunakan standar DIN, meliputi kerapatan, penyusutan, MOE, MOR, keteguhan geser, keteguhan tekan sejajar serat dan kekerasan. Dari uji statistik menunjukkan bahwa sifat kayu Akasia yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 5% terhadap umur tanaman adalah penyusutan T, MOR dan kekerasan bidang R; sedangkan terhadap lokasi tempat tumbuh adalah penyusutan T, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat. Penyusutan T dan MOR kayu Akasia yang ditanam di Sebulu lebih rendah dibandingkan dengan di Menamang. Untuk kayu Gmelina, hampir seluruh sifat kayu yang diamati berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 5% terhadap umur tanaman dan lokasi tempat tumbuh, kecuali penyusutan T dan MOE. Kerapatan, MOR dan keteguhan geser arah radial kayu Gmelina yang tumbuh di Sebulu lebih tinggi dibandingkan dengan di Menamang pada umur 2 tahun, sedangkan pada umur 6 tahun kerapatan, MOR dan keteguhan tekan sejajar seratnya menjadi lebih rendah, tetapi keteguhan geser dan kekerasannya lebih tinggi.
Table 2. Physical and mechanical properties of 2 and 3 years-old Urograndis (Eucalyptus urograndis) wood. Physical and Mechanical Properties Specific gravity MOR in wet (kg/cm2) MOR in dry (kg/cm2) Source: Hadjib (2000) 2 years-old 0.451 ~ 0.612 454.10 ~ 713.50 548.16 ~ 953.28 3 years-old 0.521 ~ 0.700 502.54 ~ 872.78 702.15 ~ 1074.07
Table 3. Physical and mechanical properties of 12 and 18 years-old Mindi (Melia azedarach L.) wood. Physical and Mechanical Properties Specific gravity Air-dry moisture content (%) T/R ratio Compression parallel to grain (kg/cm2) Compression perpendicular to grain (kg/cm2) Hardness (kg/cm2) Source: Kasmudjo and Sunarto (1999) 12 years-old 0.47 13.8 1.59 312.3 76.5 337.2 18 years-old 0.55 12.8 1.58 326.8 88.0 369.1
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
89
Jenis Kayu Perdagangan Daur kayu Jati (Tectona grandis L.f) yang ditanam Perum Perhutani berdasarkan kriteria silvikultur dan sifat kayu (fisik, mekanik, kimia, pengerjaan) yang bertujuan menghasilkan kayu perkakas, ditetapkan antara 60 ~ 80 tahun. Namun berdasarkan pertimbangan finansial, daur yang sesuai berkisar antara 40 ~ 60 tahun. Penerapan daur yang lebih pendek perlu melihat pengaruhnya terhadap sifat-sifat kayu. Menurut Bhat (1991) kerapatan dan kekuatan kayu Jati yang berumur lebih muda tidak selalu lebih rendah dari yang berumur lebih tua. Sulistyo dan Marsoem (1999) meneliti mengenai pengaruh umur terhadap sifat fisik dan mekanik kayu Jati. Bahan penelitian ini berasal dari hutan tanaman bonita IV di KPH Madiun, BKPH Dungus, Perum perhutani Unit II Jawa Timur; dengan kelas umur (KU) VIII (tahun tanam 1917), KU VI (tahun tanam 1942) dan KU IV (tahun tanam 1958). Pengambilan contoh uji kayu dilakukan secara aksial (vertikal), yaitu pangkal, tengah dan ujung batang; dan secara radial (horizontal), yaitu dekat hati/empulur, tengah dan dekat kulit; berdasarkan standar BS (British Standard) 373 (1957). Hasil pengukuran pada arah vertikal menunjukkan bahwa KA rata-rata bagian pangkal lebih tinggi; sedangkan pada arah horizontal tidak ada kecenderungan tertentu untuk ketiga KU tersebut. KA rata-rata keseluruhan menunjukkan bahwa semakin tinggi KU maka KA-nya semakin rendah (KU IV = 94.79%; KU VI = 82.45%; KU VIII = 44.90%). Kemungkinan faktor-faktor yang mempengaruhi variasi perbedaan KA adalah: (1) KU VIII telah mengalami teresan selama 2 tahun; (2) kandungan ekstraktif kayu Jati KU VI lebih tinggi daripada KU IV (Ismariana 1993); (3) kandungan ekstraktif pada kayu teras lebih tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1980); (4) BJ kayu cenderung semakin besar ke arah kulit dan menyebabkan kandungan kadar airnya semakin rendah (Wangaard 1950; Koch 1972). Pada penelitian ini tidak terlihat perbedaan BJ yang disebabkan oleh KU. BJ KU IV = 0.675; KU VI = 0.556; dan KU VIII = 0.604. Tetapi nilai MOE dan MOR menurun dengan semakin tingginya KU. Meningkatnya BJ ke arah pangkal-kulit menyebabkan meningkatnya nilai MOR pada arah yang sama. Tetapi penyusutan arah R dan T semakin rendah ke arah kulit dan semakin tingginya KU. Pandit (2000) melakukan pengamatan sifat makroskopis kayu Jati dengan tujuan untuk mengetahui rasio kayu teras dan gubal, rasio kayu juvenil dan kayu dewasa, serta mutu tekstur kayu Jati dari berbagai kelas umur. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa
persentase kayu teras dari KU I ke KU V rata-rata meningkat secara nyata. Persentase kayu juvenil dari sekitar 88.05% pada KU I turun menjadi sekitar 22.24% pada KU IV. Mutu tekstur pada KU yang rendah lebih kasar dibandingkan dengan KU yang lebih tinggi. Letak dalam Batang Penelitian-penelitian mengenai pengaruh letak dalam batang terhadap sifat fisik dan mekanik telah dilakukan terhadap jenis-jenis kayu kurang dikenal, yaitu kayu Laban (Vitex Pubescens Vahl.) dan kayu Rambai (Baccaurea motleyana Muell); kayu dari tanaman perkebunan, yaitu kayu Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq) dan kayu Kelapa (Cocos nucifera L.); kayu cepat tumbuh dan kayu HTI, yaitu kayu Gmelina (Gmelina arborea); serta kayu andalan setempat, yaitu kayu Surian (Toona sureni Merr.). Jenis Kayu Kurang Dikenal Widiati dan Susanto (2005) melaporkan sifat fisik dan mekanik kayu Laban (Vitex Pubescens Vahl.) berdasarkan letak ketinggian dalam batang. Sifat fisik dan mekanik yang diteliti adalah KA, kerapatan, perubahan dimensi, keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan pukul, MOE, MOR, keteguhan geser sejajar serat dan kekerasan dengan menggunakan standar DIN. Hasil pengujian sifat-sifat fisik dan mekanik kayu ini dapat dilihat pada Tabel 4. Dari hasil pengujian tersebut kayu Laban termasuk kelas kuat I dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi. Penelitian mengenai sifat fisik dan mekanik kayu Rambai (Baccaurea motleyana Muell) berdasarkan letak ketinggian dalam batang dilakukan oleh Torambung dan Dayadi (2005). Contoh uji diambil dari pohon berdiameter antara 38 ~ 44 cm dan tinggi bebas cabang antara 3.2 ~ 4.0 m. Sifat fisik dan mekanik yang diteliti adalah KA (DIN 52183-77), kerapatan (DIN 52182-76), perubahan dimensi, keteguhan tekan sejajar serat (DIN 52185-76), keteguhan pukul (DIN 52189-48), keteguhan lentur statis (MOE dan MOR, DIN 52186-78), keteguhan geser sejajar serat (DIN 52187-79) dan kekerasan. Hasil pengujian sifat fisik dan mekaniknya dapat dilihat pada Tabel 5. Secara keseluruhan, sifat fisik dan mekanik kayu tersebut menurun dari bagian pangkal menuju ujung batang. Berdasarkan nilai-nilai sifat mekaniknya, kayu Rambai termasuk ke dalam kelas kuat II-III.
90
Table 4. Physical and mechanical properties of Laban (Vitex Pubescens Vahl.) wood based on the bottom and upper parts of stem. Physical and Mechanical Properties Green moisture content (%) Air-dry moisture content (%) Air-dry density (gr/cm3) Oven-dry density (gr/cm3) Compression parallel to grain (N/mm2) Impact bending (N/mm2) MOE (N/mm2) MOR (N/mm2) Radial shear strength (N/mm2) Tangential shear strength (N/mm2) Swelling (%) Shrinkage (%) Hardness (N) Source: Widiati and Susanto (2005) Bottom 89.72 12.89 0.939 0.893 85.17 0.095 15529.02 124.79 15.30 15.66 Radial 5.68 5.37 7990.74 Upper 82.23 12.55 0.898 0.850 80.70 0.087 14074.16 115.96 14.19 14.51 Tangential 9.41 8.59 9033.33 Average 86.03 12.70 0.916 0.872 82.99 0.091 14803.18 120.39 14.70 15.03 Longitudinal 0.20 0.20 10079.63
Table 5. Physical and mechanical properties of Rambai (Baccaurea motleyana Muell) wood based on the bottom, middle and upper parts of stem. Physical and Mechanical Properties Air-dry moisture content (%) Oven-dry density (gr/cm3) Compression parallel to grain (N/mm2) Impact bending (J/mm2) MOE (N/mm2) MOR (N/mm2) Shear strength parallel to grain (N/mm2) Source: Torambung dan Dayadi (2005) Bottom 12.83 0.601 53.79 0.0790 10071.96 89.00 12.45 Middle 12.45 0.592 51.89 0.0707 9337.61 85.19 11.70 Upper 12.43 0.587 49.38 0.0681 9141.30 81.28 11.29 Average 12.57 0.593 51.69 0.0726 9516.96 85.16 11.81
Widiastuti (1999) melaporkan hasil pengujian sifat fisik dan mekanik kayu Kelapa (Cocos nucifera L.) dengan membandingkan bagian pangkal, tengah dan ujung batang. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata dari BJ, KA, keteguhan tekan dan MOR; sedangkan keteguhan geser tidak ada
perbedaan nyata. Hasil keteguhan tekan dan MOR tersebut dikelompokkan kelas kekuatannya berdasarkan Persyaratan Umum Bahan Bangunan Indonesia (1982) dan SII 0458-81 (Tabel 7). Berdasarkan kriteria tersebut maka kayu Kelapa bagian ujung termasuk kelas kuat V, bagian tengah kelas kuat II-III, dan bagian pangkal kelas kuat II.
Table 6. Physical and mechanical properties of Kelapa (Cocos nucifera L.) wood based on the bottom, middle and upper parts of stem. Part of Stem Specific gravity Moisture content (%) 81.77 68.01 46.36 Shear strength (kg/cm2) 41.10 45.91 89.64 Compression strength (kg/cm2) 188.81 315.00 453.97 MOR (kg/cm2) 233.38 749.16 838.80
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
91
Table 7. Persyaratan Umum Bahan Bangunan Indonesia and SII 0458-81 standard. Class I II III IV V Compression strength (kg/cm2) 650 425 ~ 650 300 ~ 425 215 ~ 300 < 215 MOR (kg/cm2) 1100 725 ~ 1100 500 ~ 725 360 ~ 500 < 360
Penelitian mengenai sifat fisik dan mekanik kayu Kelapa Hibrida untuk mengetahui BJ, KA, stabilitas dimensi, keteguhan lentur dan kekerasan pada berbagai ketinggian dan kedalaman batang dilakukan oleh Coto dan Rahayu (2005). Hasil penelitian menunjukkan BJ bervariasi dari 0.72 pada bagian tepi bawah sampai 0.20 pada bagian pusat atas batang. KA keseimbangan bervariasi antara 13.1% pada bagian BJ tinggi dan 21.2% pada bagian BJ rendah. Laju stabilitas dimensi terbesar terjadi pada bagian BJ tinggi, yaitu 0.79% dan terkecil terjadi pada bagian BJ rendah, yaitu 0.19%. Sifat mekanik sangat tergantung pada BJ yang sangat bervariasi terutama dari bagian luar ke dalam batang. Jenis Kayu Cepat Tumbuh dan Kayu HTI Gmelina (Gmelina arborea) merupakan salah satu jenis kayu yang mulai banyak ditanam dalam rangka pembangunan HTI. Menurut Mandang dan Pandit (1997), BJ kayu Gmelina berkisar antara 0.42 ~ 0.61; termasuk kelas kuat II-IV dan kelas awet IV-V. Riap kayu Gmelina bervariasi dari 8.4 m3/ha/tahun pada tanah tandus dan iklim kering, sampai 45 m3/ha/tahun pada tanah yang subur (Alrasjid dan Widiarti 1992). Kasim et al. (2003) melaporkan penelitian mengenai kayu Gmelina yang berasal dari daerah sekitar kampus Jatinangor, Sumedang dengan diameter 30 cm. Pengujian sifat fisik dan mekanik pada berbagai variasi ketinggian dan bagian kayu dilakukan berdasarkan standar BS 373 (1957). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BJ pada bagian pangkal batang adalah sekitar 0.50 ~ 0.53, sedangkan pada bagian ujung batang adalah sekitar 0.38 ~ 0.43. BJ semakin menurun ke arah kulit, baik pada bagian pangkal maupun ujung batang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masih adanya kayu juvenil. Kayu juvenil mempunyai ciri-ciri BJ dan kekuatan yang rendah karena memiliki dinding sel yang tipis; lingkaran tumbuh yang lebih besar dan sel-sel kayu akhir yang sedikit (Haygreen dan Bowyer 1996). Tidak ada perbedaan nyata antara penyusutan pada bagian pangkal maupun ujung batang, tetapi penyusutan semakin besar ke arah empulur. KA kayu segar pada bagian ujung batang lebih tinggi (158.24 ~ 174.72%) daripada bagian pangkal batang (140.16 ~ 151.83%), namun KA kering udaranya relatif seragam (13.43 ~ 13.68%). Tingginya KA berhubungan dengan proporsi kayu gubal dan juvenil. Sel-sel kayu gubal mempunyai fungsi fisiologis, yaitu
menyalurkan air dan unsur hara dari akar ke daun untuk proses fotosintesis, sehingga banyak mengandung air. Nilai MOR pada bagian pangkal batang lebih tinggi (716.43 ~ 726.10 kg/cm2) daripada bagian ujung batang (655.17 ~ 714.13 kg/cm2). Demikian pula dengan kekerasan kayunya. Jenis Kayu Andalan Setempat Yunianti dan Bakri (2004) melakukan penelitian kualitas kayu Surian (Toona sureni Merr.) sebagai kayu unggulan di Lahan Uji Coba KPHP Kab. Tana Toraja. Pembuatan contoh uji dilakukan berdasarkan standar ISO 3130-1975. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa KA kering udara meningkat (18.22 ~ 21.24%); kerapatan kering udara menurun (0.49 ~ 0.43 g/cm3), penyusutan T (7.66 ~ 6.06%) dan R (3.80 ~ 2.47%) menurun dari pangkal ke ujung batang. Sedangkan nilai MOR (509.05 ~ 507.78 kg/cm2) dan keteguhan tekan sejajar serat (253.77 ~ 252.52 kg/cm2) tidak berbeda nyata. Berdasarkan SNI 01-6244 (Badan Standar Nasional 2000) mengenai Kayu Gergajian untuk Komponen Mebel, kayu Surian ini tidak memenuhi syarat untuk mebel karena KA kering udara maksimum yang dipersyaratkan adalah 14%. Dengan kerapatan kering udara rata-rata 0.47 g/cm3, maka kayu ini tergolong jenis kayu sedang (Soenardi 2001). T/R rasio sebesar 2.24 menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kestabilan dimensi yang rendah. Berdasarkan SNI 013527 (Badan Standar Nasional 1994) mengenai Mutu Kayu Bangunan, maka kayu ini tergolong kelas kuat III dan IV. Dari hasil pengujian-pengujian tersebut, kayu Surian dapat dimanfaatkan untuk bahan konstruksi ringan. Diameter Penelitian-penelitian mengenai pengaruh diameter terhadap sifat fisik dan mekanik telah dilakukan terhadap jenis kayu Hopea (Hopea cernua) dan Basswood (Ochroma bicolor Rowlee). Dalam penggunaan kayu sebagai bahan bangunan, kayu teras lebih disukai daripada kayu gubal karena mengandung ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, sehingga lebih awet (Haygreen dan Bowyer 1996). Keberadaan cadangan makanan di dalam sel kayu gubal dapat mempengaruhi peningkatan kerusakan akibat serangan serangga dan jamur (Panshin dan de
92
Zeeuw 1980). Gunawan et al. (2001b) melakukan penelitian perkembangan kayu teras pada jenis kayu Hopea. Bahan penelitian yang digunakan berasal dari areal HPH PT. Inhutani I Unit Berau, Kalimantan Timur; dengan kelas diameter 10, 20, 30, 40 dan 50 cm (dbh). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa persentase kayu teras meningkat dengan bertambahnya kelas diameter, yaitu dari 30% pada diameter 10 cm menjadi 80% pada diameter 50 cm. Pada penelitian ini dikemukakan bahwa model regresi hubungan antara diameter (X) dengan prosentase kayu teras (Y) adalah Y = 45.38 + 30.44 ln(X). Berdasarkan persamaan ini diperkirakan pembentukan kayu teras pada jenis kayu Hopea cernua terjadi setelah diameter pohon sekitar 4.4 cm. Peningkatan kayu teras untuk penambahan diameter setiap 1 cm adalah 1.58% Sebagai pembanding, pembentukan kayu teras pada jenis kayu Rasamala (Altingia excelsa Noronhoa) terjadi setelah diameter pohon sekitar 15 cm (Sukartana 1989); Shorea ovalis setelah 7.4 cm, Shorea parvifolia setelah 8.3 cm, dan Koompassia malaccensis setelah 6.4 cm (Rahmanto 1997). Wahyudi (2005) melaporkan pengaruh diameter batang terhadap kualitas kayu Basswood berumur 8 tahun yang ditanam di kawasan Darmaga, Bogor. Diameter yang diamati adalah 28 cm, 38 cm, dan 51 cm (dbh). Kerapatan, keteguhan lentur statis (MOE dan MOR) secara vertikal dan horizontal diuji berdasarkan standar BS 373 (1957). Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kerapatan dan MOR dipengaruhi oleh diameter batang, tetapi nilai MOE tidak. Nilai kerapatan dan keteguhan lentur statis bervariasi secara vertikal maupun horizontal, tetapi variasi vertikal lebih kecil dari variasi horizontal. Nilai-nilai tersebut menurun dari pangkal ke ujung batang dan dari kayu teras ke kayu gubal. Kelembaban, Kadar Air dan Suhu Perubahan kelembaban nisbi akan menyebabkan perubahan KA kayu yang bersifat higroskopis. Perubahan KA kayu akan mengakibatkan perubahan dimensi kayu. Coto (2005) melakukan penelitian mengenai kepekaan kayu terhadap perubahan kelembaban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju perubahan KA jenis kayu Kamper (Dyobalanops aromatica Gaertn.), Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer.), Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), Jati (Tectona grandis L.f.), Mangium (Acacia mangium Willd.), Gmelina (Gmelina moluccana (Blume) Backer) dan Lamtoro (Leucaena glauca (Willd) Benth) pada arah R, T dan L, serta 3 variasi ketebalan (1 cm, 2 cm dan 3 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju perubahan KA dipengaruhi oleh jenis, arah serat dan ketebalan kayu. Laju perubahan KA tercepat terjadi
pada contoh uji kayu Kamper arah T ketebalan 1 cm dan terlambat pada kayu Keruing arah R ketebalan 3 cm. Basri et al. (2000) melaporkan ketergantungan Kadar Air Keseimbangan (KAK) terhadap jenis kayu dan suhu lingkungan. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu Kalapi (Kalappia celebica), Gofasa (Vitex coffasus) dan Ketileng (Vitex glabrata). Kayu tersebut dikeringkan hingga 9%, kemudian dikondisikan pada 4 lingkungan dengan suhu dan kelembaban berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proses adsorpsi terjadi pada suhu kamar atau lebih rendah, sebaliknya proses desorpsi terjadi di atas suhu kamar. Perbedaan besarnya KAK pada setiap jenis kayu terutama terjadi pada proses adsorpsi. Selanjutnya Sadiyo dan Daniyati (2005) mengajukan model regresi linier sederhana hubungan antara susut dengan berat kayu 10 jenis kayu Indonesia: Jenis-jenis kayu yang digunakan antara lain adalah kayu Afrika (Maesopsis eminii), Kapur (Dyobalanops aromatica Gaertn.), Jati plus (Tectona grandis L.f.), Meranti Merah (Shorea spp.), Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), dan Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.). Pengukuran berat dan susut dilakukan dari kondisi basah/segar, titik jenuh serat (TJS), kering udara (KU), sampai kering tanur (KT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa KA rata-rata 10 jenis kayu tersebut menurun dari kondisi basah (58.67%) ke kondisi TJS (25.72%) dan menurun lagi pada kondisi KU (18.35%). Kayu yang berkerapatan rendah memiliki KA basah yang lebih tinggi karena memiliki ukuran rongga sel yang lebar sehingga lebih banyak menampung air. Sedangkan KA pada TJS dan KU relatif seragam. Penurunan KA kayu di bawah TJS menyebabkan penurunan berat dan susut. Berat kayu dipengaruhi oleh KA dalam rongga sel, sedangkan kembang susut kayu lebih dipengaruhi oleh perubahan KA pada dinding sel. Susut dan penurunan berat kayu mempunyai hubungan linear sehingga dapat dinyatakan dengan model matematika. Tetapi model matematika untuk ke 10 jenis kayu yang diteliti berbeda-beda akibat adanya karakteristik pada masing-masing jenis, sehingga tidak dapat dibuat satu model. Penggunaan model matematika ini hanya berlaku untuk setiap jenis kayu menurut ukuran contoh uji tertentu. Cuaca dan Jamur Cuaca Proses pelapukan oleh cuaca (weathering) akan menyebabkan kerusakan pada permukaan kayu. Faktor terpenting dari proses pelapukan adalah radiasi sinar matahari walaupun kemampuan penetrasinya pada kayu sangat terbatas. Penetrasinya sinar ultraviolet (UV) yang paling merusak tidak lebih dari 75 m, sedangkan penetrasi sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia
93
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
dengan panjang gelombang 400 ~ 700 nm hanya sampai 200 m (Feist dan Hon 1984). Sudiyani et al. (1998) melaporkan perubahan dimensi dan penampilan 3 jenis kayu tropis setelah pelapukan oleh cuaca. Jenis kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Ki Sampang (Evodia latifolia DC.), Puspa (Schima noronhae Reinw.) dan kayu Nangka (Artocarpus integra Merr.) berumur lebih dari 20 tahun. Contoh uji diletakkan dengan kemiringan 5 menghadap sinar matahari dengan posisi 654 lintang selatan dan 10642 bujur timur di Pusat Penelitian Fisika, Serpong. Periode pengamatan dilakukan dari 2 sampai 24 minggu. Hasil pengukuran setelah 24 minggu penjemuran menunjukkan bahwa kayu Ki Sampang mengalami kehilangan berat 5.81%, sedangkan kayu Puspa dan Nangka hanya 2.30%. Kayu Ki Sampang mengalami penurunan KA dari 9.03% menjadi 8.60%, sedangkan kayu Puspa dan Nangka terjadi peningkatan sekitar 0.5 ~ 2.0%. Pada minggu ke 24 penyusutan yang terjadi masing-masing untuk kayu Ki Sampang, Puspa dan Nangka adalah 5.76%, 3.50%, dan 3.52%. Perubahan warna mulai terlihat setelah minggu ke 2 penjemuran. Selain perubahan warna, permukaan kayu menjadi kasar dan muncul guratan-guratan kecil yang semakin memanjang dan mengakibatkan retak. Hal ini lebih cepat terjadi pada kayu Ki Sampang, yaitu setelah 8 minggu penjemuran. Selain itu kedua sisi permukaan kayunya telah ditumbuhi jamur. Informasi hasil penelitian tentang penggunaan kayu untuk luar ruangan di Indonesia masih terbatas dan jenis yang populer di masyarakat untuk fungsi luar ruangan (pagar, pintu, mebel taman) adalah kayu Jati. Malik (2004) menguraikan hasil penelitian sifat pengembangan (swelling), pengujian siklus keringbasah (wetting and drying cyclic test) dan kondisi 3 jenis kayu Pasang setelah mengalami pencuacaan (weathering). Jenis-jenis kayu yang digunakan adalah kayu Pasang-1 (Quercus sp.), Pasang-2 (Lithocarpus sp.) dan Cemara (Gymnostoma sp.) dari Sumatera Utara. Pembuatan contoh uji mengacu pada penelitian sebelumnya (Malik dan Balfas 2002). Pengukuran sifat pengembangan dilakukan pada menit ke 5, 10, 15, 30, 1 jam, 4 jam, 8 jam, dan 24 jam menggunakan alat Swellow-meter. Pengujian siklus kering dan basah dilakukan 4 siklus pada kondisi ruangan/suhu kamar, oven, pembasahan dengan perendaman, dan freezing masing-masing 24 jam. Sedangkan pencuacaan dilakukan selama 2 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan kering udara (gr/cm3) kayu Pasang-1 adalah 0.92 (T) ~ 0.98 (R), kayu Pasang-2 adalah 0.69 (T) ~ 0.64 (R), dan kayu Cemara adalah 0.81 (T) ~ 0.77 (R). Tingkat absorpsi (%) kayu Pasang-1 adalah 37.41 (T) ~ 31.44 (R), kayu Pasang-2 adalah 55.65 (T) ~ 55.55 (R), dan kayu Cemara adalah 35.54 (T) ~ 45.60 (R). Kerapatan berpengaruh terhadap besarnya absorpsi air dan stabilitas kayu. Semakin tinggi kerapatan kayu
maka tingkat absorpsinya semakin rendah, karena kayu dengan kerapatan tinggi cenderung memiliki tempat penampung air lebih sedikit daripada kayu berkerapatan lebih rendah (Panshin dan de Zeeuw 1980). Laju pengembangan kedua jenis kayu Pasang tersebut lebih lambat dibandingkan dengan kayu Cemara; hal ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran diameter pembuluh kayu Cemara yang lebih besar, serta banyaknya tylosis pada kayu Pasang. Adanya tylosis dapat mengganggu sifat absorpsi kayu terhadap cairan karena komponen tylosis menempati gugus ikatan cairan pada kayu (Gallagher 1989). Karena respon pengembangan yang lebih lambat maka kayu Pasang akan mengalami perubahan dimensi secara perlahan dibandingkan kayu Cemara. Menurut Rowell (1983) kayu yang memiliki sifat pengembangan awal yang cepat akan menimbulkan kerusakan fisik pada permukaan kayu, seperti retak atau pecah. Hasil pengujian siklus kering-basah menunjukkan bahwa tingkat absorpsi air dan perubahan bentuk/cacat mengalami peningkatan; hal ini akibat adanya pelarutan komponen ekstraktif polar dalam proses perendaman sehingga memberikan tempat ikatan yang lebih besar pada siklus berikutnya. Kayu Pasang sedikit mengalami cacat retak dan pecah, tetapi mengalami perubahan bentuk (mencawan) dibanding kayu Cemara. Hasil pengamatan pencuacaan menunjukkan bahwa kayu Cemara mengalami retak dan pecah, Kayu Pasang-2 mengalami retak, sedangkan kayu Pasang-1 tidak mengalami retak atau pecah. Seluruh kayu mengalami perubahan warna, tetapi secara makroskopis belum dijumpai adanya serangan jamur maupun serangga. Disimpulkan bahwa kedua jenis kayu Pasang memiliki ketahanan terhadap pencuacaan yang lebih baik dari kayu Cemara, tetapi ketiga jenis kayu tersebut relatif mudah mengalami kerusakan fisik dan perubahan bentuk bila digunakan untuk luar ruangan. Untuk mengatasi hal itu sortimen kayu dapat dibuat lebih tipis dan direkatkan sehingga menghasilkan sortimen yang lebih tebal. Jamur Budi et al. (1998) melaporkan pengaruh serangan jamur Upas (Curticium salmonicolor Berk. & Br.) terhadap sifat anatomi, fisik dan mekanik batang Acacia mangium Wild. Jamur ini menyerang batang bagian atas tanaman Akasia dari berbagai umur di berbagai tempat di Indonesia, melalui luka pada kulit atau kulit kayu yang tipis. Akibatnya kulit kayu menjadi pecah-pecah dan terkelupas; matinya jaringan kulit bagian dalam; gangguan terhadap kambium dalam menghasilkan phloem; bahkan dapat terbentuk kallus atau kanker. Setelah menginfeksi, jamur ini lebih dominan menyerang kayu teras karena terdapat rongga-rongga sel yang berisi udara (O2), dibandingkan dengan kayu gubal yang rongga-rongga selnya terisi air. Selain Akasia, hifa jamur
94
ini juga menyerang tanaman Karet (Hevea brasilliensis Muel. Arg.), Cokelat (Theobroma cacao) dan Eucalyptus spp. Contoh uji yang digunakan didapat dari tanaman Akasia di hutan tanaman Bukit Suharto Samarinda berumur 10 tahun dengan diameter 15 cm. Pengujian sifat fisik dan mekaniknya meliputi KA, kerapatan, MOE, MOR, keteguhan pukul, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan geser berdasarkan standar DIN. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jamur ini mengakibatkan perubahan warna, tekstur, dan penurunan kekerasan pada kayu. Warna bagian kayu yang terserang menjadi coklat kehitaman. Perubahan warna ini disebabkan oleh zat ekstraktif dari sel-sel parenkimatis di sekitar luka dan masuk ke dalam bagian kayu melalui noktah. Sedangkan tekstur menjadi kasar akibat penebalan dinding sel dan penyempitan diameter lumen. Prosentase kerusakan pada bidang radial (horizontal) lebih besar daripada bidang transversal (vertikal) dan bagian kayu yang terserang menjadi melunak. Seluruh sifat mekanik yang diuji menunjukkan penurunan drastis. MOE turun dari 6977.75 N/mm2 menjadi 5894.92 N/mm2; MOR dari 52.67 N/mm2 menjadi 43.42 N/mm2; keteguhan pukul dari 0.059 N/mm2 menjadi 0.030 N/mm2; keteguhan tekan sejajar serat dari 28.08 N/mm2 menjadi 23.32 N/mm2; dan keteguhan geser dari 8.14 N/mm2 menjadi N/mm2. Selanjutnya penelitian mengenai pengaruh serangan jamur Biru terhadap perubahan sifat fisik dan kekuatan kayu dilaporkan oleh Sarwono et al. (2005). Jamur ini merupakan salah satu jamur yang menyebabkan pewarnaan dan hanya menyerang kayu yang masih basah. Pada umumnya kayu gubal lebih banyak terserang dibandingkan kayu teras. Boyce (1965) berpendapat bahwa jamur ini hanya mengisi ronggal sel, tetapi menurut Baldwin dan Streisel (1985) jamur ini berperan menghancurkan lignin. Jenis kayu yang diamati pada penelitian ini adalah Perupuk (Lophopethalum sp.), Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), Agathis (Agathis borneensis) dan Ramin (Gonystylus bancanus Kurz.) yang diperoleh dari industri pengolahan kayu di PT Inhutani I Jawa Timur yang telah terserang jamur Biru dengan berbagai tingkat intensitas serangan. Sifat yang diuji meliputi KA, BJ, keteguhan lentur statis, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan geser dengan menggunakan standar BS 373 (1957). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jamur Biru yang menyerang ke 4 jenis kayu tersebut adalah dari jenis Ceratocystis dan Penicillium, dengan serangan antara 0% ~ 100%. Intensitas serangan pada KA kayu antara 11% ~ 20% mengakibatkan luas pewarnaan noda pada kayu Ramin mencapai 100%, Karet 90%, Agathis 80% dan Perupuk 20%. Pada intensitas serangan 75%, MOR kayu Ramin dan Karet cenderung mengalami kenaikan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari aktivitas enzim jamur Biru yang mempengaruhi pemadatan polimer pada dinding sel
kayu. Keadaan tersebut ditunjukkan pada bekas patahan saat pengujian lentur yang rapuh (brittle). Tetapi secara umum serangan jamur ini menyebabkan penurunan kualitas kayu dan setelah serangan jamur ini, kayu akan mudah diserang jamur pelapuk yang akan merusak komponen dinding selnya sehingga akan menurunkan sifat fisik dan mekaniknya. Kebakaran Hutan Liansyah (2000) melakukan penelitian mengenai sifat fisik dan mekanik kayu pasca kebakaran jenis Meranti Merah (Shorea smithiana Sym.), Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) dan Bangkirai (Shorea laevis Ridl.). Pengujian sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan standar DIN. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kebakaran hutan berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan KA basah; BJ; pengembangan/ penyusutan R. T dan L; keteguhan geser; keteguhan patah sejajar serat; keteguhan lentur pada batas proporsi dan maksimum; kekerasan radial dan transversal; dan keteguhan pukul pada ketiga jenis kayu tersebut. Hasil pengujiannya dipengaruhi juga oleh pengambilan contoh uji berdasarkan letak vertikal dan horizontal batang. Selanjutnya Torambung (2001) melaporkan sifat fisik mekanik kayu pasca kebakaran dari jenis Jabon (Anthocepalus chinensis Lamk.), Medang (Litsea spp) dan Simpur (Dillenia grandifolia Wall.): Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sifat fisik dan mekanik (1) kayu terbakar yang masih hidup, (2) kayu terbakar yang telah mati dan (3) kayu yang tidak terbakar (kayu normal). Pengujian sifat fisik dan mekaniknya menggunakan standar DIN, meliputi KA, kerapatan, kembang susut, MOE, MOR, keteguhan geser, keteguhan tekan, keteguhan pukul dan kekerasan. Dari ke 3 jenis kayu yang dibandingkan tersebut, KA kering udara antara kayu terbakar yang telah mati dan kayu normal masih berkisar antara 11 ~ 12%. Sedangkan kerapatan kering udara kayu Jabon (0.56 g/cm3), Medang (0.63 g/cm3) dan Simpur (0.80 g/cm3) mengalami penurunan antara 6 ~ 9%. Hasil pengukuran kembang susut R, T dan L menunjukkan bahwa kayu terbakar yang masih hidup maupun kayu terbakar yang telah mati mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kayu normalnya. Sifat mekanik kayu terbakar yang masih hidup dan yang telah mati mengalami penurunan MOE sebesar 12 ~ 25%, MOR 20 ~ 25%, keteguhan geser 6 ~ 20%, keteguhan tekan 3 ~ 15%, keteguhan pukul 20 ~ 45%, dan kekerasan 10 ~ 20% dibandingkan dengan kayu normal untuk ke 3 jenis kayu tersebut. Suhu pada saat kebakaran hutan kemungkinan mengubah struktur sel dan komponen kimia dari kayu yang terbakar, sehingga menyebabkan menurunnya sifat fisik dan mekanik kayu. Tetapi kisaran nilai sifat fisik dan mekanik pasca kebakaran tersebut masih di dalam
95
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
kisaran kelas kuat kayu normalnya, yaitu kelas kuat III untuk kayu Jabon dan Medang, serta kelas kuat II untuk kayu Simpur (Anonim 1979), sehingga masih layak digunakan sebagai bahan baku kayu konstruksi. Pembahasan Tidak diketahui secara pasti jumlah dan potensi keanekaragaman jenis-jenis kayu di Indonesia saat ini mengingat semakin maraknya penebangan liar. Menurut Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang terdiri dari kayu komersial, non komersial, tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya (Anonim 1986). Menurut klasifikasi Prosea, di Indonesia terdapat 51 genera yang tergolong major-commercial timbers, 64 genera minorcommercial timbers dan 309 genera lesser-known timbers (Soerianegara dan Lemmens 1994; Lemmens et al. 1995; Sosef et al. 1998). Atlas Kayu Indonesia telah merangkum sebanyak 92 jenis kayu dari berbagai hasil penelitian, meliputi sifat fisik dan mekaniknya (Martawijaya et al. 1986; Martawijaya et al. 1989; Abdurrohim et al. 2004). Belum ada kata baku mengenai sifat fisik, sifat fisika atau sifat fisis; demikian pula dengan sifat mekanik, sifat mekanika atau sifat mekanis. Namun pada tinjauan makalah ini digunakan istilah sifat fisik dan mekanik untuk mewakili kata-kata tersebut dengan pengertian yang sama. Pada tinjauan capaian hasil-hasil penelitian sifat fisik dan mekanik ini telah diteliti lebih dari 60 jenis kayu. Dari jumlah tersebut tercatat 28 jenis telah dilaporkan di Atlas Kayu Indonesia. Jenis-jenis tersebut adalah Kemiri (Aleurites moluccana (L.) Willd.), Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.), Gmelina (Gmelina moluccana (Blume) Backer), Surian atau Suren (Toona sureni Merr.), Kapur/Kamper (Dyobalanops aromatica Gaertn.), Mahoni (Swietenia macrophylla King.), Mindi (Melia azedarach L.), Sungkai (Peronema canescens Jack.), Pulai (Alstonia scholaris R. Br.), Terap (Artocarpus gomezianus Wall. ex Trecul), Balau (Shorea spp.), Bintangur (Calophylum spp.), Merawan (Hopea mengarawan Mig.), Jati (Tectona grandis L.f.), Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), Meranti Merah (Shorea spp.), Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer.), Gadog (Bischofia javanica Blume), Ramin (Gonystylus bancanus Kurz.), Puspa (Schima noronhae Bloemb.), kayu Pasang-1 (Quercus spp.), kayu Pasang-2 (Lithocarpus spp.), Perupuk (Lophopethalum spp.), Agathis (Agathis borneensis Warb.), Bangkirai (Shorea laevis Ridl.), Jabon (Anthocepalus chinensis (Lamk.) A. Rich. ex Walp.), Medang (Litsea spp.) dan Simpur (Dillenia grandifolia Wall. ex Hk.f.). Dalam pemilihan jenis kayu untuk penelitian sebaiknya dilakukan studi pustaka terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding.
Sedangkan jenis-jenis kayu yang belum ada di Atlas Kayu Indonesia adalah kayu Balsa (Ochroma spp.), Randu (Ceiba pentandra Gaertn.), Merkubung (Makaranga sp.), kayu Cengkeh (Eugenia aromatica L.), Akasia (Acacia mangium Willd.), kayu Afrika (Maesopsis eminii), Hopea (Hopea cernua), Kisereh (Cinnamomum porrectum (Roxb) Kosterm), Kibawang (Melia excelsa Jack.), Pulai Konggo (Alstonia kongoensis Engl.), Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griserb.), Salamander (Grevillea robusta A.Cunn.), Kilemo (Litsea cubeba Pers.), Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.), Sukun (Arthocarpus altilis), kayu Arang (Diospyros borneensis), Berumbung (Adina minutifolia), Tisuk/Waru (Hibiscus macrophyllus), Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. et Vr.), Urograndis (Eucalyptus urograndis), kayu Kelapa (Cocos nucifera L.), kayu Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq.), Laban (Vitex Pubescens Vahl.), Basswood (Ochroma bicolor Rowlee), Rambai (Baccaurea motleyana Muell.), Ki Sampang (Evodia latifolia DC.), kayu Nangka (Artocarpus integra Merr.), Kalapi (Kalappia celebica), Gofasa (Vitex coffasus), Ketileng (Vitex glabrata), Cemara (Gymnostoma sp.), kayu Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) dan Lamtoro (Leucaena glauca (Willd) Benth). Dengan ditelitinya jenis-jenis ini maka diharapkan akan menambah pustaka diversifikasi pemanfaatan kayu. Informasi yang perlu disertakan pada setiap penelitian mengenai sifat fisik dan mekanik kayu adalah faktor (1) umur/dimeter pohon, (2) tempat tumbuh, (3) jumlah dan cara pengambilan contoh uji, (4) standar pengujian yang digunakan, dan (5) acuan yang digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kuat kayu. Pengambilan contoh uji dari pohon yang berumur muda kemungkinan masih terdapat kayu juvenil. Sedangkan tempat tumbuh berhubungan dengan riap tumbuh yang akan mempengaruhi kecepatan pembentukan struktur kayu. Umur/diameter dan letak dalam batang berhubungan dengan persentase kayu teras dan kayu gubal dimana keduanya memiliki sifat fisik dan mekanik yang berbeda. Kayu Kelapa (Cocos nucifera L.) dan Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq) memiliki sifat fisik dan mekanik yang sangat berbeda berdasarkan letak pada batang karena memiliki struktur batang yang berbeda dengan struktur kayu pada umumnya. Standar pengujian pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sangat beragam, demikian pula dengan acuan yang digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kuat kayu. Selain itu standar pengujian dan acuan klasifikasi kelas kuat tersebut banyak yang tidak mencantumkannya di daftar pustaka, sehingga nilai-nilai sifat fisik dan mekanik yang telah diteliti tidak dapat serta-merta dibandingkan satu dengan lainnya. Tiga parameter sifat fisik yang banyak diteliti adalah Bj atau kerapatan, KA dan penyusutan; selain warna, arah serat dan tekstur kayu yang berhubungan dengan penampilan kayu. BJ atau kerapatan merupakan salah
96
satu sifat fisik kayu yang sangat penting, karena tinggirendahnya akan mempengaruhi sifat fisik lainnya dan sifat mekanik, serta pemanfaatan kayu yang bersangkutan. BJ atau kerapatan menunjukkan rasio antara volume dinding sel terhadap pori-pori setiap jenis kayu. Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan, BJ ditulis tanpa satuan unit sedangkan kerapatan ditulis dengan satuan gr/cm3. BJ diterjemahkan sebagai specific gravity dimana perhitungannya berdasarkan berat dan volume kering tanur, sedangkan kerapatan diterjemahkan sebagai density dimana berat dan volumenya dihitung pada kadar air tertentu. Klasifikasi berat kayu masih banyak mengacu pada tinggirendahnya kerapatan kayu (Soenardi 2001). Selain dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu kelembaban dan suhu; tinggi-rendahnya KA kayu juga dipengaruhi oleh BJ atau kerapatan, umur pohon dan letak dalam batang yang berhubungan dengan proporsi kayu gubal dan juvenil sebagai faktor internal. Sel-sel kayu gubal mempunyai fungsi fisiologis, yaitu menyalurkan air dan unsur hara dari akar ke daun untuk proses fotosintesis, sehingga banyak mengandung air. Penyusutan kayu disebabkan oleh perubahan KA di bawah titik jenuh serat (TJS). Jika kayu kehilangan air di bawah TJS atau air terikat di dalam dinding sel maka akan terjadi penyusutan, sedangkan jika air masuk ke dalam dinding sel maka akan terjadi pengembangan (Haygreen dan Bowyer 1996). Rasio penyusutan tangensial dan radial (T/R rasio) menunjukkan stabilitas dimensi kayu. Semakin rendah perubahan dimensi absolutnya dan T/R rasionya maka kayu tersebut semakin stabil (Panshin dan de Zeeuw 1980). Apabila nilai tersebut lebih dari 2 maka dikatakan sebagai kayu yang mempunyai kestabilan dimensi rendah (Abdurachman dan Hadjib 2001). Martawijaya (1990) menyebutkan bahwa dengan rasio penyusutan yang besar akan cenderung lebih mudah pecah atau berubah bentuk yang mengakibatkan cacat. Sifat mekanik sangat dipengaruhi oleh BJ atau kerapatan kayu, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi BJ atau kerapatan (jenis kayu, umur/diameter pohon, tempat tumbuh, letak dalam batang, kelembaban, kadar air dan suhu) akan berpengaruh pula terhadap sifat mekanik kayu. Dari beberapa hasil penelitian, nilai-nilai sifat mekanik kayu pada umumnya meningkat dengan bertambahnya umur pohon; serta menurun dari pangkal ke ujung batang (secara vertikal) dan dari kayu teras ke kayu gubal (secara horizontal). Namun pengaruh ini berlaku hanya jika contoh uji yang digunakan bebas cacat. Hasil pengujian sifat mekanik ini dapat menjadi bias dengan adanya faktor-faktor mata kayu yang tidak terlihat, orientasi lingkaran tumbuh, arah serat atau adanya kayu reaksi. Sebagai bahan baku konstruksi, selain dilihat berdasarkan kelas kuatnya, perlu juga dipertimbangkan rasio kekuatan terhadap berat kayunya (strength to
weight ratio), karena semakin tinggi rasio tersebut maka semakin sesuai untuk bahan baku konstruksi (Abdurachman dan Hadjib 2001). Selain tempat tumbuh, faktor eksternal yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanik kayu adalah kelembaban dan suhu udara lingkungan, pelapukan oleh cuaca, serangan jamur dan kebakaran hutan. Semakin tinggi BJ atau kerapatan maka tingkat absorpsi kayu semakin rendah, karena kayu dengan BJ atau kerapatan tinggi cenderung memiliki tempat penampung air lebih sedikit daripada kayu dengan BJ atau kerapatan lebih rendah (Panshin dan de Zeeuw 1980); oleh karena itu kayu dengan BJ atau kerapatan rendah memiliki KA basah yang lebih tinggi karena memiliki ukuran rongga sel yang lebar sehingga lebih banyak menampung air. Faktor terpenting dari proses pelapukan adalah radiasi sinar matahari. Proses pelapukan oleh cuaca akan menyebabkan perubahan warna; penyusutan; kehilangan berat; kerusakan pada permukaan kayu, ditunjukkan oleh munculnya guratan-guratan kecil yang semakin memanjang dan mengakibatkan retak/pecah; dan berpotensi tumbuhnya jamur (Sudiyani et al. 1998; Malik 2004). Serangan jamur termasuk faktor yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanik kayu. Serangan jamur Upas (Curticium salmonicolor Berk. & Br.) mengakibatkan perubahan warna, tekstur, dan penurunan kekerasan pada kayu dan sifat mekanik lainnya (Budi et al. 1998). Sedangkan jamur biru menyebabkan pewarnaan dan hanya menyerang kayu yang masih basah. Tetapi setelah serangan jamur biru, kayu akan mudah diserang jamur pelapuk yang akan merusak komponen dinding selnya sehingga akan menurunkan sifat fisik dan mekaniknya (Sarwono et al. 2005). Kebakaran hutan berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan sifat fisik dan mekanik kayu pada arah vertikal maupun horizontal batang (Liansyah 2000). Suhu pada saat kebakaran hutan kemungkinan mengubah struktur sel dan komponen kimia dari kayu yang terbakar, sehingga menyebabkan menurunnya sifat fisik dan mekanik kayu (Torambung 2001). Dari tinjauan ini hanya ada dua makalah yang meneliti sifat akustik (Hadjib dan Sarwono 2004) dan sifat termal kayu (Fernandes et al. 2004). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan peralatan atau kurangnya daya tarik terhadap tema penelitian ini. Selain sifat akustik dan sifat termal kayu, sifat fisik kayu yang belum banyak diteliti adalah sifat kelistrikan kayu (electrical properties). Sedangkan sifat-sifat mekanik yang belum banyak diteliti adalah perilaku creep, relaxation dan fatigue terhadap jenis-jenis kayu Indonesia.
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
97
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Euis Hermiati, UPT BPP Biomaterial LIPI atas koreksiannya terhadap abstrak dalam bahasa Inggris; dan kepada Nurwati Hajib, Puslitbang Teknologi Hasil Hutan atas saran-sarannya terhadap substansi makalah. Daftar Pustaka Abdurachman dan N. Hadjib. Sifat Fisis dan Mekanis Jenis Kayu Andalan Setempat Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional IV Mapeki. Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp II125-II135. Abdurrohim, S; Y.I. Mandang; U. Sutisna. 2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Alrasjid, H. dan A. Widiarti. 1992. Teknik Penanaman dan Pemungutan Gmelina arborea (Yamane). Informasi Teknis No. 36, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Anonim. 1979. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. PIKA. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Anonim. 1986. Jenis-jenis Pohon Disusun Berdasarkan Nama Daerah dan Nama Botaninya Di Seluruh Indonesia. Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Badan Standar Nasional. 1994. SNI No. 01-3527-1994. Mutu Kayu Bangunan. Jakarta. Badan Standar Nasional. 2000. SNI No. 01-6244-2000. Kayu Gergajian untuk Komponen Mebel. Jakarta. Baldwin, R.G. and R.C. Streisel. 1985. Detection of Fungal Degradation of Low Weight Loss by Differential Scanning Colorimetry. Wood and Fiber Science 17 (3). Journal of the Society of Wood Science and Technology. Wisconsin. USA. Basri, E.; E.M. Alamsyah; E. Rasyid; Jarkasih. Ketergantungan Kadar Air Keseimbangan terhadap Jenis Kayu dan Suhu Lingkungan. Kumpulan Abstrak Seminar Nasional III Mapeki. Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp. 77. Bhat, K.M. Managing Teak Plantations for Super Quality Timber. International Teak Symposium. Department of Forest, Kerala, India, 2-4 December 1991. pp 377. Boyce, J.S. 1961. Forest Pathology. Mc Graw Hill Book Company Inc. N. Y. 436-507. pp. British Standard Institute, 1957. British Standard 373. 1957. Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. London. Budi, A.S.; S. Hariyanto; M. Samani; D. Mardji.
Pengaruh Serangan Jamur Upas (Curticium salmonic) terhadap Sifat Anatomi, Fisik dan Mekanik Batang Acacia mangium Wild. Prosiding Seminar Nasional I Mapeki. Bogor, 24 September 1998. pp 39-47. Coto, Z. Kepekaan Kayu terhadap Perubahan Kelembaban. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A53. Coto, Z. dan I.S. Rahayu. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Kelapa Hibrida. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A88. Den Berger, L.G. 1923. De Grondslagen voor de Classificatie van Nederlansch Indische Timmerhout-soorten. Tectona Vol. XVI. Feist, W.C. and D.N.S. Hon. 1984. Chemistry of Weathering and Protection of Wood in Rowell, R. (ed): The Chemistry of Solid Wood. Amer. Chem. Soc. P 401-451. Fernandes, A.; V.E. Prasetyo; T.A. Prayitno. Perambatan Panas pada Empat Jenis Kayu Perdagangan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. Firmanti, A.; U. Dirgantara; N. Aini. Penurunan Nilai Karakteristik Kayu-kayu Cepat Tumbuh. Kumpulan Abstrak Seminar Nasional III Mapeki. Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp. 11. Gallagher, L. 1989. Moisture in Wood, Part 2, Principles of Moisture Movement. Asean Mobile Workshop on Wood Drying Asean Timber Technology Center, Malaysia. Gunawan, R.H.R.; I.F. Dodi; A. Iskandar. Variasi Sifat Kayu HTI karena Umur dan Lokasi Tanaman. Prosiding Seminar Nasional IV Mapeki. Samarinda, 6-9 Agustus 2001a. pp II41-II50. Gunawan, R.H.R.; I.F. Dodi; A. Iskandar. Perkembangan Kayu Teras pada Jenis Hopea cernua. Prosiding Seminar Nasional IV Mapeki. Samarinda, 6-9 Agustus 2001b. pp II51-II55. Hadjib, N. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Urograndis (Eucalyptus urograndis) serta Kemungkinan Pemanfaatannya. Kumpulan Abstrak Seminar Nasional III Mapeki. Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp. 12. Hadjib, N. dan E. Sarwono. The Acoustical Properties of Berumbung, Merawan and Tisuk Wood. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A118-A120. Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1996. Forest Products and Wood Science, An Introduction. Third Edition. Iowa University Press. Iowa, USA. Ismariana. E. 1993. Pengaruh Umur dan Arah Aksial terhadap Titik Jenuh Serat Kayu Jati (Tectona grandis L.f). Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Kasim, F.; G. Bachtiar; Z. Coto. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Gmelina (Gmelina arborea) pada Berbagai
98
Variasi Ketinggian dan Bagian Kayu. Prosiding Seminar Nasional VI Mapeki. Bukittinggi, 1-3 Agustus 2003. pp 98-110. Kasmudjo dan S. Sunarto. Sifat-sifat Kayu Mindi dan Peluang Penggunaannya. Prosiding Seminar Nasional II Mapeki. Yogyakarta, 2-3 September 1999. pp 8-18. Kholik, A. dan S.B. Prabawa. Sifat dan Kualitas Kayu Sukun (Arthocarpus altilis) Asal Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A1-A7. Kholik, A. dan R.H.R. Gunawan. Sifat dan Kegunaan Enam Jenis Kayu Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A25-A30. Koch, P. 1972. Utilization of Southern Pines Vol I: The Raw Material. U.S. Department of Agriculture. Forest Service. Liansyah, E. Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Pasca Kebakaran Jenis Meranti Merah (Shorea smithiana Sym), Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) dan Bangkirai (Shorea laevis Ridl). Kumpulan Abstrak Seminar Nasional III Mapeki. Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp. 27. Lemmens, R.M.H.J.; I. Soerianegara; W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2). Timber trees: Minor Commercial Timber. Prosea Publisher, Bogor Indonesia. Mandang, Y.I. dan I.K.N. Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea Bogor. Malik, J. dan J. Balfas. 2002. Modifikasi Kayu Mangium (Acacia mangium Willd.) dan Kemungkinannya untuk Penggunaan Eksterior Dibandingkan dengan Kayu Jati dan Bangkirai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor. Malik, J. Sifat Pengembangan dan Pencuacaan Tiga Jenis Kayu Pasang. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A70-A75. Martawijaya, A; I. Kartasujana; K. Kadir; S.A. Prawira. 1986. Indonesian Wood Atlas Volume I. Forest Products Research and Development Centre, Agency for Forestry Research and Development, Depertment of Forestry. Martawijaya, A; I. Kartasujana; Y.I. Mandang; S.A. Prawira; K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Martawijaya, A. 1990. Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Prosiding Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Pandit, I.K.N. Sifat Makroskopis Kayu Jati (Tectona grandis L.f) pada Berbagai Kelas Umur. Kumpulan
Abstrak Seminar Nasional III Mapeki. Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp. 16. Panshin, A.J. and C. de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. Volume I. Mc Graw-Hill Book Co. New York, USA. Prayitno, T.A. Penggunaan Kayu Tak Dikenal, Bermutu Rendah. Prosiding Seminar Nasional I Mapeki. Bogor, 24 September 1998. pp 57-73. Rachman, O. dan J. Malik. Prospek Pemanfaatan Kayu Cengkeh (Eugenia aromatica L.) sebagai Bahan Baku Mebel dan Barang Kerajinan. Prosiding Seminar Nasional II Mapeki. Yogyakarta, 2-3 September 1999. pp 118-131. Rahmanto, R.G.H. 1997. Studi tentang Perkembangan Kayu Teras untuk Jenis Dominan di Hutan Alam. Buletin Penelitian Kehutanan BPK Samarinda 10 (3). Rowell, R.M. 1983. Chemical Modification of Wood. Forest Product Abstract 6 (12): 363-382. Rulliaty, S. Beberapa Jenis Kayu Alternatif Pengganti Ramin. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A41-A45. Sadiyo, S dan E. Daniyati. Model Regresi Linier Sederhana Hubungan antara Susut dengan Berat Kayu Sepuluh Jenis Kayu Indonesia. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A46. Santoso, A. dan P. Sutigno. 1998. Sifat Papan Partikel dari Limbah Sawit. Laporan Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. Sarwono, E. Kayu Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. et V.) sebagai Bahan Baku Kayu Permebelan dan Aspek Kemasyarakatan di Sekitar Wilayah Hutannya. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp C28-C33. Sarwono, E.; D. Martono; N. Hadjib. Pengaruh Serangan Jamur Biru terhadap Perubahan Sifat Fisis dan Kekuatan Kayu. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A96A100. Siau. 1995. Wood Influence of Moisture on Physical Properties. Department of Wood Science and Forest Product, Virginia Polytechnique Institute, Keene, New York. Soenardi, P. 2001. Sifat-sifat Fisika Kayu. Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Soerianegara I. and R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia No. 5 (1). Timber Trees: Major Commercial Timber. Prosea Publisher, Bogor Indonesia. Sosef, M.S.M.; L.T. Hong; Prawirohatmodjo.1998. Plant Resources of South East Asia No. 5 (3). Timber Trees: Lesser Known Timber. Prosea Publisher, Bogor Indonesia. Sudiyani, Y.; W.S. Subowo; M. Gopar; R. Yusiasih; A.
99
Review of Researches on Natural Factors Affecting the Physical and Mechanical Properties of Indonesian Wood (Wahyu Dwianto and Sri Nugroho Marsoem)
Syampurwadi. Perubahan Dimensi dan Penampilan Tiga Jenis Kayu Tropis setelah Pelapukan oleh Cuaca. Prosiding Seminar Nasional I Mapeki. Bogor, 24 September 1998. pp 49-55. Sukartana, P. 1989. Pendugaan Ukuran Kayu Teras Pohon Rasamala. Duta Rimba XV: 103-104. Sulistyo, J. dan S.N. Marsoem. Pengaruh Umur terhadap Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Jati (Tectona grandis L.F). Prosiding Seminar Nasional II Mapeki. Yogyakarta, 2-3 September 1999. pp 4963. Supriadi, A.; O. Rachman; E. Sarwono. 1999. Karakteristik Dolok dan Sifat Penggergajian Kayu Sawit (Eleais guineensiis Jacq.). Buletin Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Supriadi, A. Potensi Kayu Sawit sebagai Sumber Kayu Alternatif. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp D114 - 118. Sutapa, J.P.G. Kualitas Batang Kayu Mindi (Melia azedarach L.) dari Areal Agro-forestry. Kumpulan Abstrak Seminar Nasional V Mapeki. Bogor, 30 Agustus 1 September 2002. pp. 48. Sutapa, J.P.G. Penelitian Beberapa Sifat Fisika Kayu Mindi (Melia azedarach L.) dari Areal Agro-forestry Tradisional. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A76. Suwandhi, I.; E. Rasyid; A. Darwis; Rosmiati. Penyebaran Pohon Gadog (Bischofia javanica Blume) di Jawa Barat dan Uji Karakteristik Kayunya (Seri Eksplorasi Pohon Khas dan Langka Jawa Barat). Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A210-214. Torambung, A.K. Sifat Fisika Mekanika Kayu Pasca Kebakaran dari Jenis Jabon (Anthocepalus chinensis Lamk.), Medang (Litsea spp.) dan Simpur (Dillenia grandifolia Wall.). Prosiding Seminar Wahyu Dwianto UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Research and Development Unit for Biomaterials Indonesian Institute of Sciences) Tel : 021-87914509 Fax : 021-87914510 E-mail : [email protected] Sri Nugroho Marsoem Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada (Faculty of Forestry, Gadjah Mada University) Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia Tel. : 274-901420 / 901428 Fax. : 274-566171 E-mail : [email protected]
Nasional IV Mapeki. Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp II15-II18. Torambung, A.K. dan I. Dayadi. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Rambai (Baccaurea motleyana Muell) Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A131-A138. Wahyudi, I. Effect of Stem Diameter Size on Qualities of Eight Year-Old Basswood Planted in Darmaga Area. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A115. Wangaard, F.F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Wiley and Sons. New York. Widiastuti, R. Prospek Pemanfaatan Kayu Kelapa sebagai Bahan Baku Industri Mebel. Prosiding Seminar Nasional II Mapeki. Yogyakarta, 2-3 September 1999. pp 103-115. Widiati, K.Y. Pemanfaatan Kayu Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.) Berdasarkan Sifat Fisika dan Mekanika serta Nilai Turunan Serat. Kumpulan Abstrak Seminar Nasional V Mapeki. Bogor, 30 Agustus 1 September 2002. pp. 6. Widiati, K.Y. dan A. Susanto. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Laban (Vitex Pubescens Vahl) Berdasarkan Letak Ketinggian dalam Batang. Prosiding Seminar Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp A83-A87. Wulandari, F.; N. Hajib; N. Nugroho. Variabilitas Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Urograndis (Eucalyptus urograndis) dari Beberapa Klon. Kumpulan Abstrak Seminar Nasional V Mapeki. Bogor, 30 Agustus 1 September 2002. pp. 5. Yunianti, A.D. dan Bakri. Kualitas Kayu Surian sebagai Kayu Unggulan di Lahan Uji Coba KPHP Kab. Tana Toraja. Prosiding Seminar Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp A31-A33.
100