Kondisi Terumbu Karang Di Sekitar Perairan Banyan Tree Bintan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

KONDISI TERUMBU KARANG DI SEKITAR PERAIRAN BANYAN TREE

BINTAN KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

The Condition of Coral Reefs in the Waters Around the Banyan Tree Bintan
Bintan Regency Riau Islands Province

Oleh
Satria Putra Anggara 1), Afrizal Tanjung 2), Elizal 2)
1) Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
2) Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
[email protected]

ABSTRACT

The aim of this research is to know the condition of coral reefs including the live coral
cover, the diversity index, the uniformity index, and the dominance index of the waters of
Banyan Tree Bintan. This research had been conducted in the waters around Banyan Tree
Bintan from September until November 2016. There are three stations with two depth; Angsana
House Reef, Rawa Island and Manjin Island. The data of coral reefs were collected by using
Underwater Photograph Transect (UPT) method. The result which was analyzed by using
CPCe application revealed that the condition of the coral reefs was ranged around 21,88 % to
32,87% which can be classified as poor to moderate category sequentialy. The low number of
coral covers was caused by rising sea temperature and coral bleaching. The highest coral cover
was located in the Angsana House Reef at a depth of 5 meters in otherwise the lowest one was
located in the Rawa island at 2 meters depth. The quality of water such as temperature, salinity,
pH, current velocity and the visibility of the research location was good for coral reefs recovery
and growth. The diversity index moderate, the uniformity index was low, and the dominance
index was ranged from low to moderate level.

Keywords: Terumbu Karang, Banyan Tree Bintan, Underwater photograph Transect


(UPT), Coral Bleaching.
ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang meliputi


tutupan karang hidup, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi bentuk
pertumbuhan karang di sekitar perairan Banyan Tree Bintan. Penelitian ini telah
dilaksanakan pada bulan September sampai November 2016. Stasiun penelitian dibagi
ke dalam 3 stasiun yang didasarkan pada karakteristik lingkungan dengan 2 kedalaman
berbeda yaitu kedalaman 2 dan 5 meter. Stasiun penelitian yaitu Angsana house reef,
Pulau Rawa dan Pulau Manjin. Pengambilan data terumbu karang menggunakan
metode underwater photograph transect (UPT). Data dianalisis menggunakan aplikasi
Coral Point Count with Excel extention (CPCe) Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tutupan terumbu karang pada lokasi penelitian berkisar antara 21.88% hingga 32.87%
dan tergolong kategori kondisi buruk hingga sedang. Tutupan terumbu karang yang
rendah disebabkan oleh naiknya suhu air laut dan menyebabkan terjadinya coral
bleaching. Tutupan karang yang tertinggi terletak pada Angsana house reef kedalaman
5 meter dan terendah terletak pada stasiun II kedalaman 2 meter. Kualitas air seperti
suhu, salinitas, pH, kecepatan arus dan kecerahan pada lokasi penelitian cukup baik
untuk pemulihan dan pertumbuhan karang. Indeks keanekaragaman sedang, indeks
keseragaman rendah dan indeks dominansi berkisar rendah sampai sedang.

Kata Kunci : Terumbu Karang, Banyan Tree Bintan, Underwater photograph


Transect (UPT), Coral Bleaching.

PENDAHULUAN

Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum
Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria. Terumbu merupakan hamparan tutupan
karang dan merupakan kumpulan dari berjutajuta hewan polip yang menghasilkan
bahan kapur (CaCO3). Sedangkan terumbu karang adalah kumpulan dari berjuta-juta
hewan polip yang menghasilkan zat kapur yang hidup di skeletonnya dan berkembang
membentuk hamparan koloni yang luas (Thamrin, 2006).
Terumbu karang didiami berbagai macam biota laut yang merupakan
sumber protein dari laut dan sumber bahan baku yang berguna dalam farmasi dan
kedokteran. Terumbu karang sebagai ekosistem yang memiliki keindahan yang
bernilai tinggi dan sangat potensial sebagai daya tarik pariwisata. Selain itu terumbu
karang juga dikenal sebagai benteng alami yang berfungsi melindungi pulau dan
pantai dari bahaya abrasi yang disebabkan oleh gempuran ombak. Dahuri (2000)
mengatakan di dalam ekosistem terumbu karang hidup lebih dari 300 jenis organisme
penyusun karang, dimana hidup sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis
moluska, crustacea, sponge, alga, lamun dan biota lainnya.
Luas terumbu karang di seluruh dunia diperkirakan seluas 617.000 km2,
diantaranya 14% berada di Indonesia (Ikawati et al., 2001) dan salah satu daerah yang
memiliki terumbu karang terletak di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Kabupaten Bintan Memiliki terumbu karang seluas 9.085, 33 Ha (BPS Kab. Bintan,
2015).
Daerah yang terdapat terumbu karang salah satunya berada di sekitar perairan
Banyan Tree Bintan. Banyan Tree Bintan terletak di Laguna Bintan Lagoi merupakan
salah satu resort yang berkomitmen untuk mendukung upaya konservasi
keanekaragaman hayati di kawasan Bintan dengan mendirikan Conservation Lab
Banyan Tree Bintan. Dalam pemantauan yang dilakukan oleh Conservation Lab
Banyan Tree Bintan dari tahun 2012 sampai tahun 2015 kondisi terumbu karang di
sekitar perairan Banyan Tree Bintan dalam kondisi baik walaupun dari setiap tahun
terjadi penurunan tutupan karang hidup. Amalia (2014) mengatakan terdapat 105
spesies karang yang dapat ditemui di sekitar perairan Banyan Tree dan Lagoi.
Penurunan tutupan karang ini diakibatkan oleh faktor manusia dan alam.
Aktivitas wisata bahari dapat memberikan dampak kerusakan secara langsung
maupun tidak langsung. Dampak langsung terjadi karena adanya kontak fisik dengan
terumbu karang saat kegiatan selam dan snorkeling. Sedangkan dampak tidak
langsung terjadi karena pembangunan fasilitas wisata seperti hotel, dermaga dan
fasilitas wisata lainnya yang secara tidak langsung mengubah bentuk penampakan
wilayah pesisir.
Faktor alam seperti Penomena angin utara yang selalu terjadi setiap tahun dan
kejadian pemutihan karang massal (coral bleaching) pada tahun 2016 juga terjadi di
Pulau Bintan termasuk disekitar perairan Banyan Tree Bintan dan penomena ini secara
nyata telah menyebabkan kondisi terumbu karang menurun. Mengingat betapa
pentingnya terumbu karang bagi keanekargaman hayati di kawasan Bintan dan
tingginya tekanan terhadap terumbu karang di sekitar perairan Banyan Tree Bintan
maka diperlukan penelitian dan pendataan terumbu karang untuk mengetahui kondisi
terumbu karang di sekitar perairan Banyan Tree Bintan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai
November 2016, bertempat di sekitar perairan Banyan Tree Bintan Kabupaten Bintan.
Alat yang dunakan terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Alat Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode survey dengan mengumpulkan dua


bentuk data yaitu data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan
langsung dilapangan dan data sekunder yang didapat dari studi literatur berupa buku,
jurnal, makalah, artikel dan dari pihak terkait.

Penentuan Stasiun Penelitian Stasiun pengamatan ditentukan dengan purposive


sampling. Ada 3 stasiun penelitian, stasiun I terletak di depan Angsana Hotel, stasiun
II terletak sebelah barat Banyan Tree Bintan di dekat Pulau rawa dimana lokasi ini
merupakan tempat lalu lintas kapal nelayan mencari ikan dan stasiun III terletak di
sebelah timur Banyan Tree Bintan di dekat Pulau Manjin. Pulau Manjin merupakan
lokasi yang dekat dengan perkampungan nelayan. Setiap stasiun akan ditempatkan dua
transek dengan kedalaman berbeda yaitu kedalaman 2 meter dan kedalaman 5 meter.

Pengambilan Data Terumbu Karang


Pengambilan data terumbu karang menggunakan metode underwater photograph
transect (UPT) (Giyanto et al., 2010). Transek dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar
dengan posisi pantai, dilakukan pemotretan pada setiap meter dimana untuk meter
bernomor ganjil
(1,3,5,..,dst) diambil pada sebelah kiri transek dan meter bernomor genap (2,4,6,...,dst)
diambil pada sebelah kanan transek. Luas bidang pemotretan yang diambil adalah 2552
cm2.

Pengukuran Kualitas Air kualitas air diukur secara langsung dilapangan (in situ)
pada waktu siang hari. Kualitas air yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, kecepatan
arus dan kecerahan perairan.
Analisis Data
Foto-foto hasil pemotretan bawah air di setiap garis transek dianalisis bentuk
pertumbuhannya mengacu kepada English et al (1997) menggunakan aplikasi Coral
Point Count with Excel extention (CPCe) 4.1 dengan menempatkan titik acak untuk
mendapatkan data-data yang kuantitatif seperti persentase tutupan karang, indeks
keanekaragaman dan jumlah bentuk pertumbuhan karang
(ni).
Jumlah titik acak yang digunakan adalah sebanyak 30 untuk setiap frame dan ini
sudah representatif untuk menduga persentase tutupan kategori dan substrat karang
(Giyanto et al., 2010).

Persentase Tutupan Karang


Gambar ilustrasi dari masingmasing bentuk pertumbuhan berdasarkan English
et al (1997). Setelah seluruh foto dianalisis diperoleh nilai persentase tutupan karang
dan selanjutnya ditampilkan hasil analisis foto dengan menggunakan program Microsof
Excel.
Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan
terumbu karang hidup mengacu pada Keputusan MENLH No. 4 tahun 2001 sebagai
berikut :
• Baik Sekali : 75% - 100%
• Baik : 50% - 74,9%
• Sedang : 25% - 49,9% Buruk : 0% - 24,9%

Indeks Keanekaragaman Bentuk Pertumbuhan Karang


Indeks keanekaragaman bentuk pertumbuhan karang dianalisis
menggunakan aplikasi CPCe 4.1 dengan menggunakan rumus ShannonWiener.

Ket : H’ Indeks keanekaragaman s =Jumlah kategori bentuk


pertumbuhan karang
pi =Perbandingan proporsi
bentuk pertumbuhan ke-I
(ni/N)
Nilai indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut :
• H’<1 : Keanekaragaman rendah
• H’1-3: Keanekaragamn sedang H’>3 : Keanekaragaman tinggi

Indeks Keseragaman Bentuk Pertumbuhan Karang


Nilai indeks keseragaman bentuk pertumbuhan karang dihitung dengan
menggunakan rumus Odum
(1993) yaitu :
Ket: E =Indeks keseragaman
H’ =Indeks keanekaragaman
H maks =Log2 s
S =Jumlah kategori bentuk pertumbuhan karang
Kriteria Indeks keseragaman sebagai berikut :
• E < 0,4 : Keseragaman populasi rendah
• E 0,4 – 0,6 : Keseragaman populasi sedang
• E > 0,6 : Keseragaman populasi tinggi

Indeks Dominansi Bentuk Pertumbuhan Karang


Suatu bentuk pertumbuhan karang yang mendominasi dapat ditentukan dengan
persamaan dari Odum (1993) dengan perhitungan sebagai berikut :

Ket : C =Indeks dominansi pi =Proporsi jumlah kategori bentuk perumbuhan karang


ke-i
s =Jumlah bentuk
pertumbuhan karang

kriteria indeks dominansi adalah sebagai berikut :


• C 0 - 0,5 : Dominansi rendah
• C 0,5 - 0,75 : Dominansi sedang
• C 0,75 – 1 : Dominansi tinggi

Hasil Keadaan Umum Lokasi Penelitian


Banyan Tree Bintan terletak di kawasan wisata Lagoi, Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau. Banyan Tree merupakan salah satu resort yang memiliki
laboratorium konservasi dengan berbagai program pelestarian sumberdaya alam
dengan konsep memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dengan memberdayakan
kemampuan manusia serta melindungi dan tanpa merusak segala isinya. Sehingga
sumberdaya alam dapat difungsikan secara berkelanjutan. Perairan Banyan Tree
merupakan bagian dari Laut Cina Selatan yang merupakan jalur pelayaran penting yang
menghubungkan Pulau Bintan dengan pulau-pulau lain di Provinsi Kepulauan Riau dan
negara tetangga.

Kualitas Air Stasiun Penelitian Parameter kualitas air diukur secara langsung di
lokasi penelitian (in situ) sebelum dilakukan pengambilan data kondisi terumbu karang.
Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Kualitas Air Stasiun Penelitian
Sumber : Data Primer (2016)
Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan.
Kondisi lingkungan pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali
berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia
(Oktarina et al., 2014). Suhu merupakan faktor pembatas yang memberikan pengaruh
besar terhadap kehidupan karang sehingga juga akan berdampak pada kehidupan
hewan lain yang ikut berasosiasi bersama ekosistem terumbu karang. Suhu pada stasiun
penelitian berkisar antara 30 – 31 oC.
Merujuk pada Kepmen LH No 51 tahun 2004, kondisi suhu terbaik adalah 28 –
30 oC. suhu pada stasiun penelitian lebih tinggi daripada baku mutu yang ditetapkan
oleh Kepmen LH, hal ini disebabkan oleh waktu pengukuran suhu yang dilakukan pada
waktu tengah hari yang cerah, sehingga suhu yang dihitung adalah suhu maksimal.
Coral Watch (2011) menyatakan bahwa suhu air berfluktuasi sesuai siklus matahari dan
pasang-surut. Pola suhu dalam perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara di sekelilingnya,
ketinggian geografis dan juga oleh faktor penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang
tumbuh di sekitarnya.
Suhu pada lokasi penelitian masih pada kondisi yang dapat ditolerir oleh
terumbu karang. Supriharyono (2007) menjelaskan bahwa dalam kehidupan terumbu
karang memiliki suhu kisaran untuk hidup antara 25–32 0C. Suhu yang melebihi batas
toleransi terumbu karang dapat menyebabkan pemutihan karang atau bleaching.
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran konsentrasi hidrogen dan ion
hidroksida dalam larutan. pH seluruh stasiun penelitian normal yaitu 8. Merujuk pada
Kepmen LH No 51 tahun 2004, pH terbaik air laut untuk biota laut termasuk terumbu
karang adalah antara 7–8,5. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi, karena
adanya sistem karbondioksida dalam air laut mempunyai kapasitas penyangga
(buffering capacity) yang kuat. Ini berarti bahwa pH air laut tidak mudah mengalami
perubahan (Mismail 2010).
Salinitas lokasi penelitian berkisar antara 31 – 32 ‰. Merujuk pada Kepmen
LH No 51 tahun 2004 baku mutu air untuk pertumbuhan karang adalah 33 – 34 ‰
namun salinitas pada ketiga stasiun penelitian tergolong salintas yang baik untuk
pertumbuhan terumbu karang.
Menurut Sadarun et al (2006), bahwa salinitas optimum bagi kehidupan karang
berkisar antara 30–35 ppt oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-
muara sungai besar, bercurah hujan tinggi dan perairan dengan kadar garam yang
tinggi. Coral Watch (2011), menambahkan bahwa salinitas dapat berubah akibat
bertambah dan berkurangnya
molekul-molekul air melalui proses penguapan dan air hujan. Salinitas meningkat bila
laju penguapan di suatu daerah lebih besar dari pada hujan. Sebaliknya pada daerah
dimana curah hujan lebih besar dari pada penguapan maka salinitas berkurang dan
kondisi ini tergantung dengan garis lintang dan musim.
Kecepatan arus disetiap stasiun berbeda, pada saat pengambilan data kecepatan
arus paling kuat berada pada stasiun Pulau Rawa dan arus paling lemah berada pada
stasiun Pulau Manjin. Perbedaan kondisi ini dikarenakan pada saat pengambilan data
di stasiun Pulau Rawa kecepatan angin sangat tinggi karena semakin cepat kecepatan
angin, semakin besar gaya gesekan yang bekerja pada permukaan laut dan semakin
besar arus permukaan. Nontji (1993) menyatakan bahwa keberadaan arus dan
gelombang di perairan sangat penting untuk kelangsungan hidup terumbu karang. Pada
stasiun Pulau Manjin angin untuk menggerakkan arus bisa dikatakan tidak ada. Selain
itu posisi stasiun Pulau Manjin yang di sekitarnya ada beberapa pulau kecil membuat
arus menjadi sangat lambat dan nelayan biasanya menyebut gelombang mati. Arus
diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, disamping itu juga
membersihkan diri dari endapanendapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut bebas
oleh karena itu pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan
ombak, seharusnya lebih baik dari pada perairan yang tenang dan
terlindung.
Kecerahan yang baik untuk pertumbuhan karang menurut Kepmen LH no 51
tahun 2004 besar dari 5 meter. Seluruh stasiun penelitian memiliki kecerahan yang baik,
dimana penetrasi cahaya vertikal pada kedalaman 5 meter sampai ke dasar atau 100%.
Hal ini menunjukkan kecerahan di stasiun penelitian baik untuk pertumbuhan karang,
karena cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi
pertumbuhan terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae
simbiotik dalam jaringan karang. Supriharyono (2007) menyatakan bahwa tanpa
cahaya cukup yang masuk dalam badan air laju fotosintesis akan berkurang. Selain itu
apabila laju proses fotosintesis berkurang, bersamaan dengan kemampuan karang untuk
menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu juga akan berkurang
(Nyabakken, 1992).

Kondisi Terumbu Karang


Kondisi terumbu karang di sekitar perairan Banyan Tree Bintan berkisar antara
buruk sampai sedang. Persentase tutupan karang hidup dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Perairan Banyan Tree
Sumber : Data primer (2016)
Persentase tutupan karang hidup yang terdapat pada kedalaman 2 meter berkisar
antara 21,88% - 27,62% dan pada kedalaman 5 meter berkisar antara 24,08%-32,87%.
Pada penelitian ini kondisi terumbu karang pada kedalaman 5 meter lebih baik dari
pada kondisi terumbu karang pada kedalaman 2 meter.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang
khas khususnya di daerah beriklim tropis. Terumbu karang di sekitar perairan Banyan
Tree telah dimonitoring oleh Conservation Lab sejak tahun 2012 sampai tahun 2015
dan kondisi tutupan terumbu karang dalam kondisi baik walaupun dari tahun ke
tahun mengalami penurunan. Tabel 4.Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Perairan
Banyan Tree dari Tahun 2012 – 2015
No Tahun Tutupan Kategori
karang
1 2012 71,3 % Baik
2 2013 66 % Baik
3 2014 57 % Baik
4 2015 55,6 % Baik
Sumber : Conservation Lab
Hasil penelitian yang didapatkan, kondisi terumbu karang di sekitar perairan
Banyan Tree mengalami penurunan tutupan yang drastis. Hal ini disebabkan pada tahun
2016 di sekitar perairan Banyan Tree mengalami kenaikan suhu yang menyebabkan
terjadinya coral bleaching.Conservation Lab mencatat kenaikan suhu di sekitar
perairan Banyan Tree di mulai dari bulan maret yaitu 32 – 33 oC dan kembali normal
pada akhir bulan agustus di suhu 31 oC. Puncak bleaching diperkirakan terjadi pada
bulan Juni dimana karang memutih di sekitar perairan Banyan Tree Bintan hampir
mencapai 90%.
Terumbu karang yang mengalami bleaching dapat pulih kembali, ketika kondisi
perairan mendukung untuk tempat hidup zooxanthellae. Penelitian Brown dan
Suharsono (1990) menunjukkan pulihnya struktur komunitas secara signifikan pada
lokasi yang sebelumnya mengalami pemutihan karang yang disertai kematian 80 - 90%.
Nybakken (1992) menambahkan bahwa hewan karang dapat pulih dari kejadian
pemutihan karang dengan merekrut kembali zooxanthellae dari lingkungan perairan
ketika kondisi membaik atau karang dapat mati jika tetap terekspos kondisi ekstrim
dalam jangka waktu yang cukup lama.
Terumbu karang di lokasi penelitian mulai pulih kembali, namun tidak sedikit
karang yang mati karena ketidakmampuan melakukan pemulihan. Stasiun Angsana
house reef yang memiliki tutupan terumbu karang paling baik saat pengambilan data,
kematian karang karena tidak mampu untuk pulih juga cukup tinggi tapi kondisi
tutupan karang hidup memiliki persentase yang lebih baik.
Stasiun Angsana house reef dari tahun 2012 sampai 2015 hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Conservation Lab merupakan daerah dengan tutupan karang terbaik
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pada penelitian ini stasiun Angsana house reef
juga merupakan stasiun dengan tutupan karang yang paling baik, dimana tutupan
tertinggi yang didapat pada peneltian berada pada stasiun ini. Dari segi letak stasiun,
stasiun ini berada di depan hotel Angsana dan merupakan daerah tempat tamu hotel
melakukan aktivitas dan olah raga air. Namun pengelolaan limbah yang baik sehingga
terumbu karang di stasiun Angsana house reef tidak mendapat gangguan yang berarti
dari keadaan lokasinya yang berada di depan Angsana hotel.
Keadaan berbeda terjadi pada stasiun Pulau Rawa dan Pulau Manjin. Tingkat
kematian karang lebih tinggi daripada tutupan karang hidup dan karang mati pada
seluruh stasiun telah ditumbuhi alga (DCA). Conservation Lab melakukan monitoring
kondisi terumbu karang di stasiun Pulau Rawa pada tahun 2015 dan tutupan karang
hidup tergolong baik yaitu 51%. Tutupan karang hidup di stasiun Pulau Rawa dari tahun
ke tahun mengalami penurunan yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun oleh
alam. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia terutama pembukaan lahan. Menurut
Ariani (2006) pengaruh kegiatan pembangunan pada ekosistem terumbu karang di
Bintan cukup besar. Dalam kurun waktu tahun 2000 – 2006, kegiatan pembangunan
yang pengaruhnya paling besar pada ekosistem terumbu karang adalah kegiatan
pembukaan lahan dibandingkan perusakan karang secara langsung seperti kegiatan
penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dan pencemaran.
Stasiun Pulau Manjin memiliki tutupan karang mati hampir sama atau bahkan
lebih dari tutupan karang hidup terutama pada kedalaman 5 meter terumbu karang mati
lebih besar dari pada tutupan terumbu karang hidup. Ruble atau patahan karang pada
stasiun Pulau Manjin lebih tinggi dari pada 2 stasiun lainnya. Kondisi diduga akibat
letaknya yang dekat dengan perkampungan nelayan sehingga aktivitas manusia cukup
tinggi di stasiun ini seperti menangkap ikan oleh nelayan dan pada saat surut terendah
di sekitar stasiun Pulau Manjin warga di Kampung Baru biasa melakukan bekarang,
yaitu suatu kegiatan warga untuk mencari kerang di sela-sela karang dan bebatuan yang
muncul pada saat surut.
Terumbu karang di Pulau Bintan khususnya di kawasan Lagoi menghadapi
masalah lain untuk pemulihan yaitu sedimentasi. Pada kawasan ini banyak pengelola
wisata dan pengusaha hotel melakukan pembukaan lahan baru untuk pembangunan
hotel dan tempat wisata lainnya yang kebanyakan berada pada daerah pantai yang akan
menyebabkan terjadinya sedimentasi. Coral Watch (2011) menyatakan bahwa adanya
sedimentasi yang tinggi di ekosistem terumbu karang dapat mempercepat pertumbuhan
alga. Apabila biota-biota pemakan alga jumlahnya sangat sedikit maka terumbu karang
akan didominasi oleh dead coral with algae (DCA). Pemulihan karang dapat terhambat
oleh lapisan alga yang dengan cepat mengambil alih kerangka karang yang mati dan
tidak membentuk substrat yang sesuai untuk pertumbuhan karang dan inilah yang
terjadi pada beberapa lokasi penelitian, dimana karang mati yang ditumbuhi oleh alga
lebih tinggi dari pada tutupan karang hidup.

Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi


(C)

Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi


(C) bentuk pertumbuhan karang digunakan untuk mengetahui gambaran kondisi
struktur komunitas karang pada setiap stasiun pengamatan dan dapat terlihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Indeks Keanekaragaman (H’),
Indeks Keseragaman (E) dan
Indeks Iominansi (C)

Sumber : Data Primer (2016)


Nilai indeks keanekaragaman di seluruh stasiun berkisar dari 1,02 – 1,64. Pada
Stasiun Angsana house reef terdapat nilai keanekaragaman terendah yaitu pada
kedalaman 5 meter namun masih dalam kategori sedang. Stasiun Angsana house reef
diperoleh nilai keanekaragaman antara 1,02 – 1,52. Stasiun Pulau Rawa terdapat nilai
keanekaragaman tertinggi yaitu pada kedalaman 5 meter dan diperoleh indeks
keanekaragaman 1,14 – 1,64 yang berada dalam kategori keanekaragaman yang
sedang, demikian pula pada di Stasiun Pulau Manjin diperoleh indeks keragaman
dengan nilai 1,15 – 1,46 dimana nilai ini termasuk kategori keragaman sedang (Tabel
5). Hasil penelitian menunjukkan indeks keanekaragaman diatas menunjukkan bahwa
bahwa jumlah individu masing-masing bentuk pertumbuhan karang dalam suatu
komunitas berada dalam kondisi relatif baik (Krebs, 1972).
Indeks keseragaman bentuk pertumbuhan karang di sekitar perairan Banyan
Tree Bintan berkisar antara 0,15 – 0,25 dan tergolong dalam kondisi rendah, hal ini
menandakan adanya kemungkinan bentuk pertumbuhan karang yang mendominasi di
stasiun penelitian. Hal yang sama dinyatakan oleh Krebs (1972) apabila indeks
keseragaman yang mendekati 0, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem terumbu
karang dalam kondisi adanya bentuk pertumbuhan karang yang mendominansi (Krebs,
1972).
Indeks dominansi dihitung untuk melihat tingkat dominansi suatu suatu bentuk
pertumbuhan. Indeks dominansi pada stasiun penelitian paling rendah berada pada
stasiun Angsana house reef kedalaman 2 meter dan stasiun Pulau Manjin kedalaman 2
meter. Stasiun Angsana house reef kedalaman 5 meter memiliki indeks dominansinya
sedang dan hal ini menunjukkan adanya suatu bentuk pertumbuhan karang yang
mendominasi namun pada tingkat sedang.

Kesimpulan
Kondisi terumbu karang di sekitar perairan Banyan Tree berkisar dari kondisi
buruk sampai kondisi sedang. Kondisi tutupan karang terendah berada pada stasiun
pulau rawa pada kedalaman 2 meter dan kondisi tutupan terumbu karang yang tinggi
berada pada stasiun penelitian Angsana house reef kedalaman 5 meter.
Indeks keanekaraman di sekitar perairan Banyan Tree pada seluruh stasiun
bernilai sedang dan berkisar antara H’=1,02 di stasiun Angsana house reef kedalaman
5 meter sampai
H’=1,64 di stasiun Pulau Rawa kedalaman 2 meter. Indeks keseragaman (E) seluruh
stasiun bernilai rendah berkisar antara 0,15 di stasiun Angsana house reef kedalaman
5 meter sampai 0,25 di stasiun Angsana house reef kedalaman 2 meter dan stasiun
Pulau Manjin kedalaman 2 meter. Indeks dominansi (C) bentuk pertumbuhan karang
di sekitar perairan Banyan Tree Bintan bernilai dari rendah 0,23 di stasiun Angsana
house reef kedalaman 2 meter dan stasiun Pulau Manjin kedalaman 2 meter sampai
sedang 0,54 di stasiun Angsana house reef kedalaman 5 meter.

Saran
Penulis menyarankan agar dilakukan pengamatan kondisi
terumbu karang di sekitar perairan Banyan Tree secara berkala dan berkelanjutan dan
tingkat identifikasi sampai pada tingkat spesies.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, H. 2014. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang, Kesesuaian Wisata dan Daya
Dukung Wisata Snorkeling dan Selam Perairan Lagoi Bintan Provinsi
Kepulauan Riau. Skripsi. FMIPA Universitas Padjadjaran: tidak
diterbitkan.
Ariani, A. A. A. 2006. Pengaruh Kegiatan Pembangunan Pada Ekosistem Terumbu
Karang,
Studi Kasus : Efek Sedimentasi di Wilayah Pesisir Timur Pulau Bintan.
Jakarta. Program Magister Studi Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan. Bintan Dalam Angka 2015.
Http://www.Bintankab.Bps.g
o.id. Diunduh Tanggal 20 April 2016.
Brown, B. E and Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El
Nino related seawater warming in the Thousand Island, Indonesia.
Coral Reefs. 8(4): 163-170.
Coralwatch. 2011. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Panduan
Pendidikan dan Pembangunan Kesadartahuan.
The University of Queensland. Australia, 272 hal.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan
Masyarakat. LISPI. Jakarta.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1997. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. Ed Ke-2.
Townsville: Aims. 390p.
Giyanto, B., H. Iskandar, D. Soedharma dan Suharsono. 2010.
Effisiensi dan Akurasi Pada Proses Analisis Foto Bawah Air Untuk Menilai
Kondisi Terumbu Karang. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia
36 (1): 111-130.
Ikawati, Y., P. S. Hanggarawati, H. Parlan, H. Handini dan B. Siswodihardjo.
2001. Terumbu Karang di
Indonesia. Jakarta:
Masyarakat Penulis Ilmu Hayati di Kawasan Pesisir
Pengetahuan. 200 Hlm. dan Laut Tropis. Pustaka Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Pelajar. Yogyakarta.
Nomor 4 Tahun 2001. Thamrin. 2006. Karang, Biologi Kriteria Baku
Kerusakan Reproduksi dan Ekologi. Terumbu Karang. 18 Hal. Minamandiri
Pres. Pekanbaru.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004. Baku
Mutu Air Laut. 10 Hal.
Krebs, C. J. 1972. Ecology, the
Experimental Analisys of
Distribution and Abudance.
Harper and Row Publ. New
York.
Mismail, B. 2010. Akuarium Terumbu Karang.
Cetakan Pertama. Malang:
Universitas
Brawijaya Press (UB Press).
Nontji. A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan.
Jakarta, 367 hal.
Nybakken. 1992. Biologi Laut. Suatu
Pendekatan Ekologi. Terjemahan M.
Ediman, Koeshlono, D.G. Bengen,
M.
Hutomo dan S. Sukardjo. PT.
Gramedia. Jakarta, 481 hal.
Odum, E. P. 1993. Fundamentals of Ecology. W.
B. Sanders
Company. Philadelphia.
Oktarina, A., E. Kamal dan Soeparno.
2014. Kajian Kondisi
Terumbu Karang dan Strategi
Pengelolaannya di Pulau
Panjang, Air Bangis,
Kabupaten Pasaman Barat. Program
Pascasarjana
Universitas Bung Hatta.
Sadarun, B., E. Nezon, S. Wardono, Y. A.
Afandy dan L. Nuriadi. 2006.
Petunjuk Pelaksanaan
Transplantasi Karang.
Departemen Ke-lautan dan
Perikanan. Jakarta 36 hal.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem
Sumberdaya

You might also like