Eka Safitri Perubahan
Eka Safitri Perubahan
Eka Safitri Perubahan
miskin, bukanlah partisipasi yang tanpa isi, tetapi masalah pemilikan sesuatu yang
tidak mereka miliki. Buruh tani tak bertanah atau petani gurem yang tidak
memiliki modal untuk berproduksi, dengan peningkatan pasrtisipasi, harus
memiliki sesuatu sehingga muncul peluang bagi mereka untuk bekerja sama
dalam berbagai kegiatan produktif misalnya dalam industri kecil dan kerajinan
atau kegiatan – kegiatan produktif lainnya.
Salah satu hambatan pokok yang harus disadari adalah bahwa proses
pembangunan ekonomi, yang mengandung pada dirinya peningkatan
komersialisasi, selalu menciptakan bibit – bibit anti partisipasi. Dapatkah kita
mengatur atau menciptakan kelembagaan – kelembagaan baru dipedesaan yang
memungkinkan situasi yang kompromistik dari kedua kekuatan tersebut?
Di desa – desa, sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai
bagian adat istiadat yang hakiki; dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal
yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak bedasarkan persetujuan
bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi.
The Minangkabau matrilateral land use system assures almost everyone of access
to land and makes unlikely any large concebtraation of land ownership.
52
BAB IV
PEMBANGUNAN DESA TERPADU
Kesadaran akan kompleksnya masalah – masalah yang dihadapi dalam
pembangunan desa telah memberikan dorongan kerja keras kepada para peneliti
dan para pemikir. Karena pembangunan desa menyangkut banyak aspek (teknik,
sosial budaya, ekonomi dan nilai –nilai), maka berkembanglah pemikiran untuk
menelaah masalah pembangunan desa ini secara terpadu (integrated). Pendekatan
secara terpadu inilah yang kemudian menjadi terkenal dengan nama IRD,
integrated Rural Development.
Beberapa kasus IRD dapat disebutkan yang terkenal diantaranya adalah
pola Comilla di Bangladesh, pola Camunne di RRC, pola Semaul Undong di
korea. Di Indonesia pola Bimas dianggap sangat berhasil, khususnya untuk
mendobrak kemacetan produksi beras secara terpadu melalui Panca Usaha.
1. Pola Comilla
Pola pembangunan desa terpadu model Comilla di Bangladesh (waktu itu masih
pakistan timur) dimulai pada tahun 1960, secara resmi disponsori oleh
Departement pertanian melalui Direktur Akademi pembangunan Pedesaan.
Anggaran penyelenggaraan proyek adalah RS 4,9 juta selama 5 tahun dengan Rs 1
juta sebagai hibah untuk keperluan organisasi, pendidikan, dan latihan. Dan
selebihnya yaitu Rs 3,9 juta merupakan pinjaman yang harus kembali dalam
waktu 20 tahun dimulai tahun ke 4. Pinjaman ini berasal dari Yayasan Ford.
53
Salah satu program pertama yang dikembangkan adalah program pengembangan
koperasi primer yang kemudian diperluas dengan program administrasi pedesaan,
irigasi, listrik pedesaan, pendidikan, pendidikan wanita dan keluarga berencana.
“Eksperimen” ini telah mampu merangsang banyak kegiatan diwilayah –wilayah
lain sehingga semangat nya meluas dengan cepat. Prinsip pokok dari program
adalah:
1) Memberikan kepada petani sarana produksi yang baru, pengetahuan baru, dan
keterampilan baru.
2) Melatih petani menggunakan faktor – faktor (produksi) yang baru itu
3) Menjamin keuntungan tertentu bagi pemakaian faktor – faktor tersebut
Selain itu masalah berat yang masih dihadapi adalah sebagaimana ditentukan
ditempat – tempat lain, kesukaran mengikutsertakan buruh tani (penduduk tak
bertanah) dalam program. Mereka itulah sebenarnya yang paling memerlukan
pelayanan – pelayanan yang diusahakan oleh program. Namun karena mereka itu
tidak memiliki tanah atau aset apapun, pengorganisasian ekonominya selalu
mengalami kesukaran.
3. Metode bimas
Metode bimas (bimbingan massal) tidak saja menjadi terkenal di indonesia,.
Tetapi juga dinegara – negara tetangga dan lain – lain sebagai pendekatan terpadu
dalam upaya peningkatan produksi beras. Kini metode bimas telah diterapkan pula
pada berbagai komoditi lain misalnya palawija, ayam dan ternak potong, industri
kecil dan lain – lain. Namun pelaksanaan yang paling lengkap dan jauh adalah
pada tanaman padi.
Kedudukan beras dalam ekonomi nasional adalah begitu penting, dan lebih
– lebih lagi bagi penduduk pedesaan, sehingga maju mundurnya kemakmuran dan
kesejahteraan penduduk pedesaan sangat erat kaitannya dengan naik turunya
produksi padi. Bahkan antara lain karena pertimbangan inilah dalam anggaran
pembangunan dimulai 1 April setiap tahun bersesuaian denga panen raya beras
terutama di Jawa.
1950 – 1965: tidak ada pmbangunan pedesaan, produksi padi rata – rata naik 3%
per tahun hanya sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk.
56
1966 – 1968: produksi padi rata – rata 4,4% pertahun. Keadaan ekonomi lebih
stabil, tetapi pembangunan pedesaan belum menunjukkan kemajuan nyata.
1969 – 1973: repelita 1. Produksi padi mulai meningkat lebih cepat lagi, 4,7%
pertahun. Pembangunan pedesaan mulai menonjolkan hasil – hasil meskipun
nampak lebih banyak dinikmati oleh sepertiga bagian petani pemilik tanah teratas.
1974 – 1978: hama wereng yang menyerang tanaman padi secara luas
menyebabkan kemunduran kemakmuran pedesaan dan kemunduran dalam usaha
– usaha pembangunan pedesaan. Produksi beras naik rata – rata 3,5% per tahun.
1979 – 1981: kemajuan yang amat menonjol dalam pembagunan pedesaan sebagai
akibat langsung dari peningkatan produksi beras yaitu rata- rata 10,2% per tahun.
Apabila analisa lebih ditekankan pada keadaan di Jawa dimana 65% dari
seluruh penduduk berada, dan lebih kurang 63% produksi padi. Keseluruhan
dihasilkan maka angka pertumbuhannya sedikit berbeda yaitu sebagai berikut:
Tabel 3
Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi Di Jawa dan Indonesia untuk
Beberapa Periode (Dalam Persen)
57
Apabila yang disimpulkan oleh Collier dan kawan – kawan memang benar
yaitu eratnya kaitan “pembangunan desa” dan produksi beras maka implikasinya
adalah sebagai berikut: meskipun dana – dana pembangunan pedesaan yang
dialirkan ke daerah pedesaan cukup besar selama pemerintahan Orde Baru (sejak
1966 khususnya sejak Pelita 1 1969), namun karena dominan nya ekonomi padi,
tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan masih lebih tergantung pada naik
turunnya produksi padi daripada program – program pembangunan pedesaan
pemerintah. Kenyataan ini pun sebenarnya sudah sering diakui pemerintah. Sektor
ekonomi padi memang selalu mempunyai pengaruh besar terhadap perekonomian
nasional.
5. Tri Matra : pembanguna pertanian terpadu
Departemen pertanian telah memulai pemikiran yang serius dalam
melaksanakan pendekatan terpadu dalam pembangunan pertanian yaitu dengan
melalui konsep Tri matra. Melalui konsep Tri Matra inilah pembangunan
pertanian hendak dianalisa dan selanjutnya diprogeramkan pengembanganya, tri
matra tersebut adalah:
1) Komoditi Terpadu
2) Usaha tani Terpadu
3) Wilayah Terpadu
Pendekatan komoditi terpadu dikembangkan untuk menjawab kritik – kritik
bahwa sejak pelita 1, orientasi pembangunan pertanian kita terlalu berat
ditekankan pada beras dengan korban komoditi palawija dan tanaman tanaman
penting lainnya. Hasilnya memang berupa kemajuan – kemajuan amat
mengesankan dalam tingkat produksi dan hasil per hektar padi, namun kemajuan
amat lambat pada tanaman – tanaman lain seperti jagung, kedelai, hortikultura
dan juga tebu dan komoditi – komoditi pekebunan lainnya. Maka dengan
pendekatan komoditi terpadu akan diusahakan agar komoditi – komoditi dapat
dikelompokkan dan selanjutnya ditanganinsecara sungguh-sungguh dalam
produksi dan pemasarannya, termasuk didalamnya pembibitan, pengolahan dan
penyuluhan- penyuluhan untuk lebih meningkatkan pengusahaannya.
Dalam usaha tani terpadu, kita ingin membina pembangunan pertanian pada
tingkat usaha tani yang dalam kenyataannya mengusahakan berbagai jenis
komoditi termasuk pengusahaan peternakan yang tidak tergantung pada luas milik
tanah tertentu, dan juga perikanan atau
58
Pengusahaan pekarangan. Perkembangan usaha tani secara terpadu berarti bahwa
usahatani perorangan hendaknya dapat dikembangkan menjadi usaha viabel yang
mampu menghidupi keluarga tani yang bersangkutan. Untuk mencapai hal ini
biasanya keluarga tani memang sudah terbiasa memanfaatkan tiap jengkal tanah
yang dmiliki atau yang dikuasainya, atau memanfaatkan tenaga kerja keluarga
semaksimal mungkin. Tugas pembinaan para penyuluh pertanian adalah,
disamping yang menyangkut peningkatan – peningkatan teknik budidaya, juga
pengembangan motivasi usaha baik secara perorangan maupun terutama melalui
kelompok – kelompok tani. Pengembangan kelompok – kelompok tani ini sangat
penting bagi usahatani “gurem” yang secara sendiri – sendiri barangkali memang
sulit berkembang secara efesien tetapi secara bersama – sama dalam kelompok
yang lebih besar dapat memanfaatkan ekonomi skala besar (economi of scale).
Hal ini misalnya sudah terlihat pada insus yang menghasilkan hasil per hektar
yang tinggi sebagai akibat praktek kerjasama fisik, organisasi dan manajemen.
59
6. UDKP: Sistem pembangunan wilayah terpadu
Sistem UDKP lahir pada tahun 1981 sebagai realisasi keinginan untuk
mempercepat proses dan laju pembangunan pedesaan dengan berbagai usaha yang
lebih terpadu pada tingkat yang cukup dekat dengan masyarakat desa. Unit daerah
yang dipiih adalah tingkat kecamatan dengan alasan pokok adanya pegawai –
pegawai yang langsung yang dikaji oleh pemerintah, sehingga
pertangggungjawaban rutin dapat selalu diharapkan, tetapi pada saat yang sama
unit itu sendiri cukup dekat dengan desa dan masyarakatnya.
64
Setan Ekonomi subsisten biasanya dianggap telah memerangkap petani dalam
budaya “konservatif” yang kurang berani menanggung resiko. Contoh
keberhasilan proyek bangun desa Yogyakarta adalah dalam memperkenalkan
pola tanam yang disempurnakan dan penanaman rumput hijauan pakan ternak
disepanjang talut (galengan) dan tepian teras. Dalam program demikian petani
bersedia melaksanakan tanpa argumentasi karena resiko dibayar oleh proyek
dengan mengganti “opportunity cost” atau penerimaan yang seharusnya mereka
terima apabila lahan dipergunakan untuk maksud lain. Apabila untuk
menyukseskan suatu proyek harus dikeluarkan sejumlah dana “substitusi risiko”
yang demikian, maka replikasi keberhasilan proyek dalam skala yang lebih besar
berarti membutuhkan dana yang amat besar yang tentunya akan merupakan satu
masalah tersendiri.
66
2) Otorita untuk melaksanakan rencana – rencana yang diusulkan
3) Otonomi yang cukup untuk memanfaatkan sumber – sumber keuangan yang
dialokasinya bagi setiap daerah;
4) Ada partisipasi yang efektif dari kelompok penduduk yang hendak dibantu oleh
PDT
Pembangunan Desa terpadu mempunyai ciri sebagai satu proses
perencanaan untuk memecahkan masalah tertentu yaitu menghapuskan
kemiskinan dan kekritisan suatu masyarakat dalam wilayah tertentu dengan secara
komphrensif memadukan semua sektor – sektor ekonomi dan sosial dalam
program – programnya. Ini berarti ia merupakan program kerja nyata (action
oriented) dengan mengkoordinasikan kebijaksanaannya, program investasi dan
perencanaan sumber daya manusia, pada semua tingkat pemerintahan dan sektor –
sektor secara komprhensif.
67
BAB V
STRATEGI PEMBANGUNAN PEDESAAN
1. Pendahuluan
Sampailah kita pada bab terakhir buku ini yang kita fokuskan pada thema
pokok kita yaitu strategi pembangunan pedesaan.
Ada pemikir yang berkeberatan terhadap istilah strategi pembangunan
pedesaan, lebih – lebih apabila ia bedakan secara tegas dengan strategi (nasional)
pembangunan perkotaan (national urban development strategy). Alasan pokok
keberatan dalam hal ini adalah implikasi bahwa strategi pembangunan pedesaan
dan strategi pembangunan perkotaan harus lah berbeda atau tidak paralel, padahal
dalam kenyataan memang tidak mungkin pembangunan nasional berjalan sukses
apabila ada pertentangan (konflik) antara pembangunan sektor desa dan
perkotaan. Pembangunan ekonomi dna sosial akan berjalan lancar apabila ada
kesesuaian dan keserasian anatar keduanya. Bahkan hubungan perkotaan –
pedesaan (rural Urban Relations) merupakan satu topik yang cukup berkembang
dan menarik yang sudah mulai banyak diteliti pakar – pakar peneliti.
2. Pembangunan Manusia
(1) Ada keselarasan, keselarasan dan keseimbangan antara pembangunan lahirlah dan
batiniah
(2) Pembangunan merata diseluruh tanah air
(3) Pembangunan untuk semua golongan, seluruh anggota masyarakat dan seluruh
rakyat
Selain ketentuan yang tercantum dalam GBHN tersebut kita mengenal pula
kebijaksanaan “delapan jalur pemerataan” yang secara cukup lengkap
mencantumkan 8 jalur kebijaksanaan “strategis” untuk lebih memeratakan
kesempatan berperan serta dalam pembangunan
Hal 69
nasional dari seluruh anggota masyarakat, dan sekaligus berarti pula memeratakan
pembagian hasil-hasil pembangunan nasional. Adapun 8 jalur pemerataan yang
diamksud adalah sebagai berikut:
Hal 70
Dan manusia lebih dilihat sebagai bagian (komponen) dari sistem produksi.
Modal adalah sumberdaya utama dari sistem ekonomi dan sistem produksi.
(1) Kualitas kehidupan fisik, ini berarti bahwa pembangunan manusia dapat dikatakan
berhasil apabila ada peningkatan mutu kehidupan fisik setiap anggota masyarakat
yang antara lain mencakup mutu lingkungan fisik, pola konsumsi fisik, dan rasa
aman dari gangguan –gangguan fisik.
(2) Mata pencaharian. Pembangunan harus mampu meningkatkan secara terus
menerus jumlah peduduk yang semakin mudah memperoleh nafkah. Ini berarti
bahwa pengangguran yang meningkat adalah merupakan angka minus yang
menurunkan mutu kehidupan fisik manusia.
(3) Individualitas dan kebebasan memilih . pembangunan manusia yang berhasil
berarti meningkatnya bagian penduduk yang semakin mampu menentukan
nasibnya sendiri dan menentukan hari depan anak-anaknya khususnya yang
menyangkut kemungkinan kesukaran dalam mencari nafkah.
Hal 71
(4) Pengembangan diri. Pembangunan yang berhasil harus mampu meningkatkan
jumlah penduduk (absolut dan relatif) yang kesadaran lingkuangannya semakin
besar, dan yang mampu berupaya sendiri untuk meningkatkan keterampilannya.
Berkembangnya solidaritas sosial anggota-anggota masyarakat juga merupakan
satu ukuran keberhasilan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan
manusia.
(5) Pemekaran kehidupan sosial politik. Pembangunan nasional yang berhasil harus
pula berarti ada pertambahan jumlah penduduk yang semakin mampu ikut serta
secara aktif dalam putusan-putusan (politik) yang menyangkut nasib mereka.
Demikian lima unsur pembangunan manusia kait-mengkait satu sama lain,
dan secara keseluruhan sesungguhnya sudah tercakup dalam GBHN, yaitu yang
disebut sebagai kemajuan lahiriah dan batiniah. Karena adanya sebagai unsur
pembangunan manusia tersebut, Maka pembangunan pedesaan memang
menyangkut banyak faktor yaitu kebijaksanaan dan program-program pemerintah,
struktur ekonomi dan sosial, keadaan sumberdaya regional dan iklim kehidupan
sosial politik pada tingkat desa. Langkah-langkah kebijakanaan operasional akan
menyangkut tugas berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah yang secara
sendiri-sendiri atau bersama bersama mempengaruhi komponen kehidupan
manusia. Misalnya dalam meningkatkan mutu kehidupan fisik, disamping
keperluan akan kebijaksanaan ekonomi yang tepat untuk pemenuhan bahan-bahan
kebutuhan pokok, juga diperlukan kebijaksanaan konkrit unruk mengatasi
masalah pengangguran baik yang terbuka maupun yang dikenal sebagai
pengangguran tersembunyi.
Hal 72
pekerjaan fisisk agak berat, lebih-lebih untuk memenuhi kebutuhan lain-lain
seperti kesehatan, pendidikan dan keperluan - keperluan sosial.
Hal 73
keadilan sosial harus diarahkan pada 3 kelompok sasaran utama yang paling
miskin di pedesaaan yaitu buruh tani, petani gurem, dan nelayan.
(1) Selama 7 tahun (1973-1980) jumlah petani meningkat 2,8% pertahun yaitu dari 14
juta menjadi 17 juta orang
(2) Petani kecil atau petani gurem yang menggarap tanah kurang dari 0,5 ha
jumlahnya meningkat dari 6,6 juta menjadi 11 juta orang.
(3) Petani tak bertanah yang miskin sekali selama periode yang sama meningkat
jumlahnya dari 490.000 menjadi 2 juta orang
Masalah petani gurem dan petani tak bertanah ini ternyata merupakan
masalah “umum” bagi banyak negara berkembang berpenduduk padat seperti
India, Bangladesh, Sri Langka, Malaysia, Filiphina, Cina dan lain-lain. Meskipun
mungkin perbedaannya tidak signifikan, tetapi keadaan kehidupan petani perlahan
sempit(petani gurem) tidak selalu lebih baik dari pada keadaan buruh tani yang
setiap hari mengharapkan menjual tenaga untuk bekerja ditanah orag lain. Hal ini
ditemukan di Jawa, seperti juga di Uttar Pradesh dan nampaknya disebabkan
mobilitas buruh tani uang lebih tinggi daripada petani gurem. Karena tidak ada
ikatan dengan tanah, maka buruh tani lebih leluasa mencari pekerjaan dimana saja
termasuk berdagang kecil-kecilan, menjual bakso, atau menjadi tukang becak,
tanpa keharusan kembali kedesa diwaktu musim menggarap lahan atau musim
panen. Perbandingan antara
Hal 74
jumlah buruh tani dan petani gurem adalah kira-kira 28% untuk buruh tani dan
selebihnya (72%) adalah petani gurem. Apabila kita kelompokkan buruh tani
sebagai tenaga kerja penerima upah dan petani gurem sebagai pengusaha
pertanian maka perbandingan pendapatannya dapat dilihat dalam tabel berikut
Tabel 4
Dari tabel diatas kita lihat bahwa perbedaan pendapatan antara petani
“besar” yang mengusahakan tanah > 1 ha dengan petani kecil (0-1,00 ha) dan
petani gurem (0-0,5 ha ) nampaknya tidak begitu signifikan.dan pendapatan buruh
tani (Rp. 78.332,00), bahkan hanya sedikit dibawah pendapatan petani
“besar”(79.895,00). Meskipun kita masih dapat mempertanyakan ketelitian data-
data “pendapatan” ini, namun kesimpulan umum yang didapat kita ambil adlah
bahwa secara keseluruhan pendapatan ini kira-kira hanya setengah rata-rata
pendaptan penduduk kota. Apabila pada tahun 1975 garis kemiskinan ditaksir
sekitar Rp.42.000,00/bl, maka berarti kira-kira 33% dari penduduk pedesaan
tersebut masih di bawah garis kemiskinan suatu fenomena yang amsih diperkuat
lagi oleh data-data 1980 sebagaimana disebutkan diatas.
Hal 75
6. Kebijaksanaan Transmigrasi
Tabel 5
Hal 76
penduduk dari Jawa keluar jawa meningkat dari hanya 46.000 orang selama 1950
– 1972 menjadi 120.000 orang periode 1975 – 1980.
Hal 77
Tabel 6
Jawa
Banyaknya R.T.(000) 7.952 8.644 10.128
Rata-rata per R.T.(ha) 0,67 0,64 0,63
Luar Jawa
Banyaknya R.T.(000) 4.191 5.709 7.501
Rata-rata per R.T.(ha) 1,72 1,52 1,69
Indonesia
Banyaknya R.T.(000) 12.143 14,374 17.629
Rata-rata per R.T.(ha) 1,05 0,99 1,08
Tabel 6
Dari tabel tersebut terlihat bahwa dijawa selama periode 1963 – 1973 luas
penguasaan tanah menurun cepat, dan cenderung ini ternyata dapat jauh
diperlambat dalam periode 1973 – 1983. Bagi luar jawa rata –rata penguasaan
tanah menurun tajam antara 1963 – 1973, tetapi kemudian meningkat kembali
pada periode 1973 – 1983. Gambaran yang sama berlaku untuk indonesia bahkan
dengan anka rata – rata 1983 yang lebih tinggi daripada angka rata – rata 1973
(1,08 ha dibanding 1,05 ha)
Hal 78
kolonisasi selalu merupakan pos pengeluaran yang besar, maka pemerintah
cenderung memilih memberikan fasilitas – fasilitas tertentu bagi pogram
pengiriman buruh perkebunan. Sayang bahwa pengiriman buruh perkebunan ini
sangat tergatung pada maju mundurnya perusahaan perkebunan. Pada waktu harga
komoditi perkebunan turun dipasar dunia banyak perkebunan menciutkan
produksi dan usahanya dan memberhentikan banyak buruh serta mengirimkan
kembali kejawa. Selama periode 1910 – 1929 perkebunan – perkebunan pada
umumnya mengalami kemajuan, sehingga Hindia Belanda ditandai kemakmuran
dan bruh-buruh dari Jawa banyak dikirim ke Sumatera Timur. Lebih – lebih
dengan terjadinya perang dunia I dimana perkebunan mendapatkan kesukaran
memperoleh buruh cina dan malaya, maka semakin banyak buruh didatangkan
dari jawa.
Pada tahun 1929 – 1930,pada saat terjadi depresi ekonomi dunia maka
banyak perkebunan diluar jawa(dan di Jawa) ditutup, sehingga banyak nya buruh
pulang ke jawa. Pada saat-saat ini lah kembali pmerintah hindia belanda
menggalakkan program kolonialisasi, yang demikian program kolonialisasi secara
garis besar dapat dibagi 3:
Ketiga sistem kolonialisasi ini boleh dikatakan tidak berhasil, baru mulai
1941 menjelang berakhirnya pemerintahan penjajahan belanda, pogram
kolonialisasi menunjukkan kemajuan besar, terutama sebagai akibat perecanaan
dan survey yang sungguh – sungguh. pada tahun 1941 selama 1 tahun jumlah
penduduk jawa yang dipindahkan keluar jawa 3 kali jumlah penduduk gedung
tataan sesudah 20 tahun
Hal 79
Didirikan. Setiap langkah telah direncanakan dengan baik untuk menghindari
pemborosan uang dan waktu.
Dengan belajar dari pengalaman program kolonialisasi pada zaman
belanda, dan program transmigrasi selama 1950 – 2972, maka nampaknya
pemerintah dewasa telah menemukan bentuk yang tepat dalam peningkatan
program transmigrasi dengan pembentukan PIR-Bun. Dalam PIR, petani jawa
“dimukimkan’ disekitar kebuninti dari PNP/PTP. Peserta PIR mula-mula menjadi
buruh/karyawan dengan menerima upah tetap , tetapi setelah ia siap dan dianggap
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai petani pekebun, maka mereka lalu
diberi hak milik tanah bagi rumah, pekarangan dan kebunnya dengan pinjaman
jangka panjang ditanggung melalui oleh PNP/PTP. Petani pekebun plasma ini
selanjutnya menjadi pekebun-pekebun “bebas” yang sekaligus menjadi anggota
PIR yang saling membutuhkan. Plasma memerlukan ini untuk membeli sarana –
sarana produksi termasuk bibit-bibit unggul. Sedangkan sebaliknya PTP juga
membutuhkan bahan baku dari plasma untuk fasilitas pabrik yang sudah
beroperasi. Peserta plasama ini sebagian besar berasal dari transmigran baik lokal
yaitu yang sudah disekitar kebun ini PNP/PTP Maupun yang datang langsung dari
jawa.
Yang lebih maju dalam sistem PIR dibandingkan program transmigrasi
biasa adalah kemungkinan pekebun plasma menanam, baik tanaman pangan
ataupun tanaman keras. Dengan menjamin pemasaran hasil – hasil lainya pada
fertilitas pabrik kebun inti PNP/PTP, maka nampak nya ada jaminan pendapatan
yang memadai bagi peserta PIR. Dengan cara demikian diharapkan buruh tani
yang bertransmigras dijamin meningkatkan pendapatan atau kemakmurannya.
Inilah satu-satunya perangsang bagi para calon transmigran.
7. Kesimpulan
Hal 80
hidup dibawah garis kemiskinan, yaitu buruh tani, petani gurem dan nelayan.
Hal 81
BAB VI
PENUTUP
Hal 82
Buku kecil ini yang semula bertujuan amat sederhana untuk memberikan
sekedar ikhtisar atau rangkuman penelitian – penelitian P3PK tentang IRD, telah
berkembang menjadi semacam upaya pengarahan bagi penelitian – penelitian
P3PK dimasa mendatang. Arah dari penelitian – penelitian P3PK dimasa datang
adalah analisa masalah peluang kerja (dan peluang berusaha) dipedesaan, masalah
partisipasi atau peran serta mayarakat, termasuk pengembangan kelembagaan
sosial untuk lebih memungkinkan komunikasi guna penyusunan perencanaan –
perencanaan yang lebih baik, dan maslaah pembangun desa terpadu. Untuk lebih
memantapkan pemikiran – pemikiran yang berkembang P3PK amat percaya
manfaat studi sejarah agraria yang mampu mempertajam pemahaman masalah –
masalah masa kini berdasarkan pengalaman masa lampau.
Hal 83
Hal 84
BAGIAN II
KOMUNIKASI DAN KADERISASI DALAM
PEMBANGUNAN PEDESAAN
1974 – 1981
HAL 85
Hal 86
BAB VII
PENDAHULUAN
II. Dalam hubungan diatas seni budaya dapat didefenisikan sebagai kesatuan
campuran atau peleburan dari fase alam yang teratur, terbentuk dan terwujud
berulang kali dengan fasenya yang belum lengkap. Berlangsung terus dan
karena baru belum menentu. Seni budaya berfungsi untuk mencipta dan
meneruskan makna dari kehidupan masyarakat dalam bentuk – bentuk
imajinatif. Seni budaya juga meneruskan adanya kebiasaan
mendramastisasikan maknanya, shingga mengajar kita bertindak. Semua seni
budaya adalah medium dari transmisi itu. Maka kultur dan kontinuitas kultur
itu, dalan perjalaannnya dari suatu fase ke fase lain dalam perkembangannya
sangat ditentukan oleh seni budaya.
Maka semua monumen dari masa lampau adalah monument estetis seni
suara, seni tari, seni bangunan, seni sastra dipakai untuk mengkomunikasikan
upacara – upacara, yang menyusun ikatan - ikatan
Hal 87
Sosial manusia. Dalam upacara itu dipersatukan pengalaman – pengalaman
praktis, sosial dan pendidikan sebagai kesatuan harmonis dari bentuk estetis,
upacara itu memasukkan nilai – nilai sosial dalam pengalaman.
Seniman menciptakan bentuk yang kemungkinan partisipasi dalam
kehidupan masyarakat. Partisipasi memerlukan komunikasi dan komunikasi itu
memerlukan bentuk ekspresi. Melalui bentuk bentuk itu seniman memlihara
kehidupan perasaan dari maknaserta tujuan yang melampaui adat kebiasaan.
Diungkapkan kemungkinan – kemungkinan dalam tindakan manusia serta
pengalaman – pengalaman yang baru tumbuh dan mulai tumbuh.
Karena seni budaya menggambarkan kemungkinan –kemungkinan dalam
tindakan, memberikan makna nya serta membayangkan hasilnyanya, maka
dalam masa transisi, seperti digambarkan diatas, studi atau pengetahuan seni
budaya mempunyai arti penting, karena seni budaya mengkomunikasikan nilai
– nilai yang mendasari tindakan manusia dengan menyertai gambaran akan
hasil atau akibatnya. Rasa kepuasan dan tekanan jutru nilai – nilai yang dapat
mengorganisasikan tindakan-tindakan manusia dengan memberi tujuan itu ,
sangat dibutuhkan dalam amsa transisi.
III. Perlu diberi tekanan disini hubungan anatara seni budaya dan kehidupan
kolektif sebab dalam hubungan ini berinteraksi dapat berhasil baik yaitu antara
kreativitas pribadi seseorang dan kesadaran akan potensi kreativitas untukn
berkomunikasi dan meranakan makna.
Hal 88
IV. Disini dapat dibenarkan peranan yang diberikan kepada karya seni budaya
sebagai usaha mengatasi kesulitan, seperti pemisahan rakyat atas dan
kelompok – kelompok, ketidakmampuan memahami perubahan keadaan serta
makna dari berbagai lembaga-lembaga masyarakat baru. Komunikasi secara
total terhambat dan senimanlah yang mampu mewujudkannya.
V. Dalam hubungan ini perlu ditekannkan, bahwa karya – karya seni budaya
mempunyai dua aspek, ialah (1) spiritualitas( kejiwaan yang kreatif), (2)
kehidupan sosial. pengalaman artistik yang unik tidak berarti suatu kehidupan
seni budaya yang mempunyai esistensi yang otonom kenyataannya ialah bahwa
seni budaya berakar kuat dalam kerangka kehidupan kolektif.
Karya karya seni budaya dari suatu masa tertentu berfungsi sebagai
penyaring dari pengalaman kolektif, karena merupakan wadah bagi berbagai
permasalahan- permasalahan jaman itu dalam suatu sistem yang koheren dan
gaya tertentu. Meskipun karya artis merupakan kristalisasi jamannya, akan
tetapi artis dapat melampaui struktur vsosial dan lingkungan, sehinhga
mempunyai sifat universal. Pada artis ada kesadaran akan dunia dan umat
manusia. dia mengintepretasikan dan merekonstruksikan sebagai kesatuan
tema – tema pada masa lampau.
VI. Berdasrkan metode analisa struktural ini suatu sejarah budaya tdak perlu
semata – mata berupa penjumlahan urutan kronologis berdasrkan kategori luar,
tetapi dapat mengungkapkan evolusi struktur- struktur artistik.
Hal 89
bahwa dapat diungkapkan makna dan struktur nilai melalui bentuk materil yang
mungkin tidak pernah dapat dirumuskan secara jelas oleh kebudayaan yang
menghasilkan. Dengan pendekatan ini sejarah kesenian dapat menejelaskan
kenyataan, bahwa pada satu pihak karya seni budaya ditentukan oleh peranan
sosialnya sebagai alat komunikasi dan pada pihak lain karya seni budaya sendiri
mengubah lingkungan sosial yang telah membangkitkannya. Hal ini akan
mempertajam metode kritik seni budaya dan mempertinggi kesadaran akan
kerangka sosial dari karya seni budaya itu.
Hal 90