Eka Safitri Perubahan

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 45

Bagaimananapun sering dikatakan bahwa masalah pokok dari kelompok

miskin, bukanlah partisipasi yang tanpa isi, tetapi masalah pemilikan sesuatu yang
tidak mereka miliki. Buruh tani tak bertanah atau petani gurem yang tidak
memiliki modal untuk berproduksi, dengan peningkatan pasrtisipasi, harus
memiliki sesuatu sehingga muncul peluang bagi mereka untuk bekerja sama
dalam berbagai kegiatan produktif misalnya dalam industri kecil dan kerajinan
atau kegiatan – kegiatan produktif lainnya.

Salah satu hambatan pokok yang harus disadari adalah bahwa proses
pembangunan ekonomi, yang mengandung pada dirinya peningkatan
komersialisasi, selalu menciptakan bibit – bibit anti partisipasi. Dapatkah kita
mengatur atau menciptakan kelembagaan – kelembagaan baru dipedesaan yang
memungkinkan situasi yang kompromistik dari kedua kekuatan tersebut?

2. Partisipasi dan Demokrasi di Pedesaan


Satu aspek lain yang amat penting yang sering dibicarakan berkaitan
dengan masalah partisipasi adalah demokrasi yang menunjuk pada partisipasi
rakyat dalam putusan – putusan politik, dan yang berhubungan dengan itu,
partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin – pemimpinnya. Bahwa hal ini amat
erat kaitannya dengan perubahan diatas kiranya cukup jelas, pengikutsertaan wong
cilik dalam putusan – putusan politik yang menyangkut nasib dan kehidupan
mereka berarti menemukan cara – cara yang tepat untuk memberikan “kekuasaan”
kepada mereka. Dan “kekuasaan” tidak akan dapat diperoleh tanpa “pemilikan”
sesuatu faktor produksi.
Dalam buku kecil Demokrasi di Pedesaan jawa (1983) Priyono &
Yumiko memberikan data – data dari lapangan mengenai masalah partisipasi
rakyat pedesaan dalam demokrasi ini. Dan dalam membicarakan masalah ini
mereka selalu menunujuk kembali pada kenyataan adanya hubungan bapak – anak
(patron – client), yaitu suatu hhubungan saling menguntungkan antara rakyat desa
dan para pemimpin desa.
Proses perkembangan kehidupan demokrasi dipedesaan kita ternyata
merupakan ceritera yang cukup menarik apabila dilihat dengan perspektif sejarah,
yaitu sejak zaman sebelum kemerdekaan, dan kemudian dengan perubahan –
perubahan besar pada tahun 1965 – 1966. Pada tahun 1968, setelah pengalaman
pahit peristiwa G 30 S/PKI, pemerintah secara tegas mengambil inisiatif untuk
membebaskan rakyat desa dari
46
kegiatan – kegiatan politik yang dianggap lebih banyak menghambat daripada
membantu memecahkan masalah peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan
pengaturan baru ini kepemimpinan desa lebih diarahkan pada penyelesaian tugas
(task oriented), misalnya dengan pembentukan Pamong tani Desa (PTD) yang
disubordinasi dengan instansi – instansi Departement Pertanian dan badan – badan
pemerintah pusat.
Salah satu hasil dari pengaturan baru ini adalah bahwa peluang untuk
“berpolitik” yang sering menjurus ke arah sikap “asal tidak setuju” dengan pihak
lain benar – benar hilang. Tetapi pada saat yang sama segera berkembang sikap
negatif “masa bodoh” dimana rakyat tidak mendapatkan kesempatan berbeda
pendapat dengan Lurah atau Pamong Desa. Memang harus diakui bahwa sejak
waktu itu, Lurah desa lebih –lebih bila ia seorang anggota ABRI yang
‘’ditugaskan” atau sedang “dikaryakan” adalah merupakan alat atau aparat
pemerintah pusat. Tugas pokok Lurah lebih ditekan kan pada pejabat pelaksana
kebijaksanaan pemerintah pusat dan bukan kepala daerah atau bapak rakyat.
Dalam pekerjaan sehari – hari ia lebih sering berhubungan dengan pejabat
atasannya daripada dengan rakyatnya. Bahkan mungkin saja karena begitu banyak
nya tamu pejabat yang datang kedesa dan bertemu rakyat dalam rapat – rapat
desa, Lurah hanya bertemu dengan rakyat pada saat – saat ada pejabat datang
kedesa. Dalam pertemuan – pertemuan demikian tentu saja perjumpaan rakyat
dengan Lurahnya bersifat formal, sehingga tidak terlalu akrab.
Kadang – kadang kita memang bisa berargumentasi bahwa demokrasi desa
dalam pembangunan harus berbeda dengan demokrasi “liberal’’ ala orde lama
sebelum 1965, dimana partai – partai politik aktif sampai ke pelosok – pelosok
desa. Memang dengan adanya banyak partai politik pada waktu itu, suasana saling
adu kekuatan untuk mengegolkan aspirasi kelompok amat menonjol. Suasana “
gontok – gontokan” antar partai memang sering terlihat jelas. Namun yang
efeknya positif adalah berjalannya kontrol atau pengawasan rakyat (melalui
partai) atas pekerjaan dan pelaksanaan tugas pemimpin. Apabila seorang Lurah
dicurigai menyalahgunakan wewenangnya atau lebih tegas diduga melakukan
korupsi, maka dengan segera dapat diadakan rapat DPR kelurahan atau Badan
Musyawarah Desa untuk membahasnya. Hal demikian tidak dapat terjadi pada
waktu sekarang. Kekuatan (patron) Lurah desa tidak lagi terletak pada rakyat desa
setempat tetapi pada pejabat atasannya yaitu bupati.
47
Kini bagaimana kita dapat mengambil jalan tengah? Apabila kini kita
yakin bahwa partisipasi rakyat desa mutlak diperlukan untuk lebih meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pemerintahan desa, sehingga lebih menjamin pemerataan
hasil – hasil pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial, maka rupanya ada
keperluan untuk menata kembali organisasi dan lembaga – lembaga desa. Ini
berarti kita perlu mengembangkan lembaga – lembaga pedesaan (lama atau baru)
yang bersifat kerakyatan (demokratis). Tetapi yang tujuan pokoknya menekankan
pada pengembangan kehidupan sosial – ekonomi anggotanya.
Syarat apa yang harus dipenuhi untuk membentuk organisasi yang
demikian? Bagaimana dengan KUD yang rupanya menemui kesulitan – kesulitan
besar dalam pengembangan? Dari berbagai uraian diatas kiranya cukup jelas
bahwa salah satu sebab pokok kegagalan KUD adalah sifat ketergantungannya
pada pihak – pihak diluar desa. Meskipun pengurus KUD terdiri atas tokoh –
tokoh setempat, namun bila kepengurusan ditetapkan dari atas satu pihak luar,
dapat dipastikan loyalitasnya juga ke atas dan keluar, bukan pada warga desa
anggota KUD. Tidak adanya loyaliatas pada anggota atau warganya inilah yang
membuka jalan ke arah penyimpangan – penyimpangan tugas dan penyelewengan
– penyelewengan karena perbuatan – perbuatan demikian tidak dapat dilihat oleh
pejabat atasannya dengan mudah. Para pengurus KUD yang demikian pasti
bersemboyan asal bapak senang. Berhubung dengan itu kiranya tidak ada jalan
lain untuk memperbaiki citra KUD selain secara radikal merombak sifat
kepengurusannya. Pengurus harus dipilih oleh anggota – anggotanya dan hanya
pengurus yang benar –benar mendapat dukungan dari anggota – anggota saja yang
kemudian di “restui” oleh Puskud dan selanjutnya memperoleh berbagai fasilitas
dan bantuan dana – dana lain dari atas. Dalam pekerjaan sehari – hari pengurus
KUD harus di awasi oleh sejumlah komisaris yang secara efektif “tut wuri
handayani” yaitu mengawasi dari luar tetapi sekaligus memberi petunjuk –
petunjuk yang bermanfaat bagi perbaikan pelaksanaa tugas.
Sementara itu dari segi teori, ada macam – macam organisasi petani atau
organisasi penduduk desa yang bisa bebeda –beda dalam hal kemampuannya
untuk meningkatkan produksi atau produktivitas, solidaritas, dan dalam menjamin
tercapainya tujuan – tujuan pemerataan.
H.S Wanasinghe memberi contoh berikut dari kasus – kasus organusasi
petani di Asia.
48
Tabel 2
Hubungan Organisasi Petani dengan
Tujuan Pembangunan Pedesaan

Macam-macam tujuan Pelita III


sasaran program produktivitas Solidaritas Pemerataan/
keadilan
1. program-program Besar Kecil Kecil
pemerintah dalam
pembangunan prasarana
2. program-program
pemerintah dalam Sedang Besar Sedang
kesejahteraan sosial
3. tindakan bersama untuk
meningkatkan kepastian
Besar Kecil Besar
pemilikan tanah, besar
sewa, dan sebagainya Sedang Kecil Besar
4. pembaharuan Agraria
(Landreform) Sedang Sedang Besar
5. produksinya kolektif
6. pengaturan-pengaturan Besar Sedang Kecil
kegiatan produksi
7. pelaksanaan Besar sedang Sedang
jasa/pelayanan bidang
ekonomi

Dari contoh – contoh hubungan berbagai program dan pencapain tujuan


pembangunan pedesaan ini, kita dapat menilai apakah setiap program yang kita
lakukan cukup mampu atau tidak mencapai tujuannya. Apabila pembangunan
nasional kita mengenal Trilogi yaitu pemerataan, pertumbuhan dan stbilitas, maka
kita dapat menetapkan prioritas tiap – tiap program yang kita rumuskan. Kalau
dewasa ini kita ingin menekankan pada program –program pemerataan (untuk
melaksanakan & jalur pemerataan), maka tentulah kita harus memprioritaskan
program – program yang hubungannya besar dengan pencapaian tujuan
pemerataan dan perwujudan keadilan sosial. Misalnya, kembali dengan contoh
KUD,
49
Apabila kegiatan KUD lebih ditekankan pada pelayanan jasa – jasa ekonomi:
jaminan harga dasar gabah, penyaluran sarana produksi atau penjualan bahan –
bahan pokok, maka jelas kadar pemerataannya akan sedang atau kecil. Tetapi
seandainya KUD sudah benar – benar menjadi organisasi petani yang memperoleh
dukungan kuat dari anggota – anggotanya, dan mampu misalnya
mengikutsertakan petani – petani gurem atau bahkan buruh tani dalam kegiatan –
kegiatan produksi kolektif, maka tentu saja kadar pemerataannya menjadi besar.
Peluang untuk melakukan kegiatan yang amat ideal ini sebenarnya cukup terbuka
dalam organisasi petani TRI yang mendapat “restu” pemerintah pada tahun 1978
melalui Inpres 2/1978. Namun peluang yang baik tersebut ternyata disia – siakan
oleh para pengurus atau pengelola KUD yang rupanya lebih berorientasi ke atas
dan lebih mementingkan perolehan sisa hasil usaha (SHS). KUD yang
mengatasnamakan petani anggota telah menjelma menjadi badan pemerintah yang
melaksanakan berbagai kebijaksanaan pemerintah tanpa merasa perlu ‘merebut”
hati petani TRI dan petani penduduk pedesaan pada umumnya. Demikianlah kita
lihat akibat yang dapat kita duga sebelumnya. Loyalitas KUD dan pengurus nya
tidak pada petani tetapi pada pihak – pihak luar desa dan pejabat – pejabat
pemerintah (atasan) yang mampu memberi “proyek” kepada KUD.
Barangkali pada tahap awal akan lebih aman dan lebih mudah untuk
menekankan pada upaya peningkatan solidaritas antar warga desa, sebagai modal
untuk kemudian meningkat pada upaya pemerataan. Dengan solidaritas
dimaksudkan upaya menciptakan iklim atau susasana tenggang rasa yang
semakin mendalam antar warga desa. Memang langkah awal peningkatan
solidaritas harus datang dari pihak – pihak yang sudah berkecukupan untuk
membantu meningkatkan harga diri pihak – pihak yang masih serba kekurangan.
Wong cilik dipedesaan memang ditandai oleh keadaan serba kekurangan. Tetapi
yang lebih penting lagi dari semuanya adalah kekurangan harga diri yang pada
gilirannya menyebabkan mereka tidak berani berterus terang melahirkan
keinginan dan aspirasinya. Wong cilik selalu bersikap nrimo dan terserah dan
tidak berani menyatakan pendapat dan meminta lebih – lebih menuntut sesuatu,
padahal harus diakui, siapa yang tidak meminta, tidak mendapat.
50
Dalam hubungan ini kita dapat belajar banyak dari sejarah petani dan
sejarah agraria kita sendiri, dimana selalu ada gerakan – gerakan protes dari petani
dan kelompok – kelompok petani, yang apabila dirasakan ada ketidakberesan atau
kebijaksanaan pemerintah atau perkebunan – perkebunan besar dan kecil swasta
yang dianggap merugikan, mereka menyampaikan keluhan atau protes. Alasan –
alasan mereka memprotes biasanya merupakan kombinasi dari aneka rupa sebab
meliputi faktor – faktor ekonomi, sosial, politik dan agama. Tetapi dari faktor –
faktor tersebut nampaknya faktor ekonomi selalu cukup penting, yaitu yang ada
kaitannya dengan pajak yang semakin berat, kenaikan sewa tanah dan sebagainya.
Dari berbagai pengalaman sejarah tersebut kita perlu mencatat bahwa
bagaimanapun, demokrasi dipedesaan harus dipertahankan dan dikembangkan
kalau kita tidak ingin melihat menumpuknya keresahan dan ketegangan sosial
yang bisa berakibat dengan protes atau pemberontakan. Pengembangan demokrasi
desa berarti penyaluran aspirasi penduduk desa yang berarti juga pengembangan
partisipasi warga desa inilah yang dikatakan oleh DR. Moh Hatta.

Di desa – desa, sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai
bagian adat istiadat yang hakiki; dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal
yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak bedasarkan persetujuan
bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi.

Meskipun pemilikan tanah komunal hampir hilang, kecuali dibeberapa


daerah, namun; semnagat kolektif”atau solidaritas dan kesetiakawanan di
pedesaaan kiranya belum dan tidak akan mudah hilang.
Semangat solidaritas sosial yang tinggi ini perlu kita pelihara agar dalam
mengalami proses modernisasi dan komersialisasi masyarakat desa masih
mempunyai daya than kolektif. Modernisasi dan komersialisasi selalu cenderung
menimbulkan dua akibat negatif yaitu: (1) semakin berkurangnya keperluan akan
keputusan – keputusan kolektif dan (2) kecenderungan bertambah besarnya
pikiran dan perilaku yang bersifat anti- partisipasi.
51
Bahwa berbagai masyarakat mempunyai cara – caranya sendiri untuk
menghadapi perkembang yang demikian, kiranya cukup jelas. Misalnya
masyarakat minang di Sumatera Barat mampu mempertahankan sistem adat yang
menjamin pemerataan dan keadilan sosial, yang berarti tidak akan ada
ketimpangan – ketimpangan sosial yang amat menyolok. Tetapi kuncinya sekali
lagi nampak pada sistem kelembagaan adat yang mampu menjamin tanah bagi
semua anggota masyarakat.

The Minangkabau matrilateral land use system assures almost everyone of access
to land and makes unlikely any large concebtraation of land ownership.
52
BAB IV
PEMBANGUNAN DESA TERPADU
Kesadaran akan kompleksnya masalah – masalah yang dihadapi dalam
pembangunan desa telah memberikan dorongan kerja keras kepada para peneliti
dan para pemikir. Karena pembangunan desa menyangkut banyak aspek (teknik,
sosial budaya, ekonomi dan nilai –nilai), maka berkembanglah pemikiran untuk
menelaah masalah pembangunan desa ini secara terpadu (integrated). Pendekatan
secara terpadu inilah yang kemudian menjadi terkenal dengan nama IRD,
integrated Rural Development.
Beberapa kasus IRD dapat disebutkan yang terkenal diantaranya adalah
pola Comilla di Bangladesh, pola Camunne di RRC, pola Semaul Undong di
korea. Di Indonesia pola Bimas dianggap sangat berhasil, khususnya untuk
mendobrak kemacetan produksi beras secara terpadu melalui Panca Usaha.
1. Pola Comilla
Pola pembangunan desa terpadu model Comilla di Bangladesh (waktu itu masih
pakistan timur) dimulai pada tahun 1960, secara resmi disponsori oleh
Departement pertanian melalui Direktur Akademi pembangunan Pedesaan.
Anggaran penyelenggaraan proyek adalah RS 4,9 juta selama 5 tahun dengan Rs 1
juta sebagai hibah untuk keperluan organisasi, pendidikan, dan latihan. Dan
selebihnya yaitu Rs 3,9 juta merupakan pinjaman yang harus kembali dalam
waktu 20 tahun dimulai tahun ke 4. Pinjaman ini berasal dari Yayasan Ford.
53
Salah satu program pertama yang dikembangkan adalah program pengembangan
koperasi primer yang kemudian diperluas dengan program administrasi pedesaan,
irigasi, listrik pedesaan, pendidikan, pendidikan wanita dan keluarga berencana.
“Eksperimen” ini telah mampu merangsang banyak kegiatan diwilayah –wilayah
lain sehingga semangat nya meluas dengan cepat. Prinsip pokok dari program
adalah:
1) Memberikan kepada petani sarana produksi yang baru, pengetahuan baru, dan
keterampilan baru.
2) Melatih petani menggunakan faktor – faktor (produksi) yang baru itu
3) Menjamin keuntungan tertentu bagi pemakaian faktor – faktor tersebut

Ketiga prinsip yang menjadi pedoman kerja tersebut ternyata menunjukkan


betapa besarnya ketergantungan program – programnya pada pemerintah dan
lembaga – lembaga penelitian. Lembaga – lembaga penelitian harus siap terus –
menerus menghasilkan dan menyebarluaskan hasil – hasil penelitian dan
percobaan – percobaannya. Dan pemerintah pada saat yang sama, harus terus
menerus menjamin harga dasar padi dan memepertahankan tingkat harga sarana
produksi tertentu, agar petani tetap memperoleh marjin keuntungan minimal yang
di harapkan.

Selain itu masalah berat yang masih dihadapi adalah sebagaimana ditentukan
ditempat – tempat lain, kesukaran mengikutsertakan buruh tani (penduduk tak
bertanah) dalam program. Mereka itulah sebenarnya yang paling memerlukan
pelayanan – pelayanan yang diusahakan oleh program. Namun karena mereka itu
tidak memiliki tanah atau aset apapun, pengorganisasian ekonominya selalu
mengalami kesukaran.

2. Pola pembangunan pedesaan RRC


Pembangunan pedesaan di RRC banyak menarik perhatian pengamat dari
luar terutama karena keberhasilannya melaksanakan program – program yang
menjurus kepemerataan dan yang erat kaitannya dengan itu, partisipasi. Salah satu
ciri yang menonjol dari pola dan metode pembangunan pedesaan adalah
desentralisasi, yaitu dalam Comunne – comunne, brigade – brigade pembangunan
dan tim produksi. Dengan pembentukan tim – tim produksi maka dapat
dipertahankan unit –unit ekonomi dan sosial yang tidak terlalu besar yang masing
– masing anggotanya saling mengenal. Kontrol sosial yang ketat membawa akibat
positif dalam disiplin dan semangat serta motivasi kerja, setiap anggota
54
Termotivasi untuk bekerja keras karena harus mengumpulkan sejumlah (minimal)
prestasi kerja (work points) dalam waktu tertentu.
Tim – tim kerja dapat disamakan dengan organisasi koperasi yang sangat
kuat dengan ikatan antara warganya diperkuat oleh unsur – unsur sosial, budaya,
politik, dan ekonomi. Salah satu kunci kemajuan dan ketangguhan tim – tim
produksi adalah kebebasan yang besar dari setiap tim untuk membuat putusan –
putusan produksi dan investasi, sehingga setiap tim memiliki sikap dan semangat
berdiri sendiri dan swasembada.
Yang amat menarik dari sistem tim – tim produksi RRC ini adalah
kemampuannya untuk mengarahkan segala program kerjanya pada pemberian
pekerjaan bagi setiap warganya yang berarti sekaligus melaksanakan pemerataan
(equality)menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dengan sikap dan
pedoman program kerja yang demikian, negara besar yang masih cukup miskin
dengan penduduknya lebih dari 1 milyar orang ini mampu memberikan pekerjaan
bagi setiap orang yang mau bekerja, sehingga kadang – kadang justru ada kesan
“kekurangan tenaga kerja”.

Far from fearing the advent of mechanization because of the unemployment in


may cause, the thrust of the policy is to introduce mechanization as quickly as
possible so that “ scarce” labor can be used in non- agricultural activities.

3. Metode bimas
Metode bimas (bimbingan massal) tidak saja menjadi terkenal di indonesia,.
Tetapi juga dinegara – negara tetangga dan lain – lain sebagai pendekatan terpadu
dalam upaya peningkatan produksi beras. Kini metode bimas telah diterapkan pula
pada berbagai komoditi lain misalnya palawija, ayam dan ternak potong, industri
kecil dan lain – lain. Namun pelaksanaan yang paling lengkap dan jauh adalah
pada tanaman padi.

Metode bimas sebenarnya hampir sama denga pola Comilla di Bangladesh


yaitu terutama melalui penyediaan sarana produksi padi yang lengkap dan
penyuluhan – penyuluhan, sehingga keseluruhannya mencakup apa yang dikenal
dengan Panca Usaha yaitu penyediaan bibit unggul, pemupukan, pengairan,
pemberantasan hama, dan metode bercocok
55
Tanam yang lebih baik. Keterpaduan dalam penyediaan dan pengaturan kelima
sarana tersebut itulah yang merupakan kunci keberhasilan bimas sudah terbukti
berulang kali bahwa kekurangan dalam satu atau lebih sarana produksi akan
mengulangi efesiensi dan efektivitas sarana produksi yang lain.

Selanjutnya dalam pelaksanaan bimas, keberhasilannya dalam produksi


harus di ikuti pengaturan pemasaran, termasuk didalamnya pengolahan dan
kebijaksanaan harga. Masalah kebijaksanaan harga dan organisasi pemasaran ini
sudah banyak dibahas oleh ahli – ahli ekonomi pertanian. Namun yang perlu
ditekan kan adalah bahwa sistem bimas memungkinkan dikoordinasikannya
banyak instansi – instansi teknis, ekonomi, sosial, dan politik, untuk mendukung
program – programnya dan menjamin keberhasilan program – programnya.

4. Pembangunan Desa dan Pembangunan Pertanian


Salah satu “keterpaduan” yang mutlak perlu diusahakan adalah keterpaduan anatra
pembangunan desa dengan pembangunan pertanian. Inilah yang dicapai oleh
bimas. Bimas memang sejak semula menekankan pada upaya meningkatkan
produksi beras, karena masalah nasional nomor satu pada akhir tahun enam
puluhan memang pada upaya pencukupan pangan penduduk.

Kedudukan beras dalam ekonomi nasional adalah begitu penting, dan lebih
– lebih lagi bagi penduduk pedesaan, sehingga maju mundurnya kemakmuran dan
kesejahteraan penduduk pedesaan sangat erat kaitannya dengan naik turunya
produksi padi. Bahkan antara lain karena pertimbangan inilah dalam anggaran
pembangunan dimulai 1 April setiap tahun bersesuaian denga panen raya beras
terutama di Jawa.

Willian collier dan kawan – kawan secara langsung mengaitkan analisa


pembangunan pedesaan dengan cenderung (trend) produksi beras misalnya
mereka membaginya sebagai berikut:

1950 – 1965: tidak ada pmbangunan pedesaan, produksi padi rata – rata naik 3%
per tahun hanya sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk.
56
1966 – 1968: produksi padi rata – rata 4,4% pertahun. Keadaan ekonomi lebih
stabil, tetapi pembangunan pedesaan belum menunjukkan kemajuan nyata.
1969 – 1973: repelita 1. Produksi padi mulai meningkat lebih cepat lagi, 4,7%
pertahun. Pembangunan pedesaan mulai menonjolkan hasil – hasil meskipun
nampak lebih banyak dinikmati oleh sepertiga bagian petani pemilik tanah teratas.
1974 – 1978: hama wereng yang menyerang tanaman padi secara luas
menyebabkan kemunduran kemakmuran pedesaan dan kemunduran dalam usaha
– usaha pembangunan pedesaan. Produksi beras naik rata – rata 3,5% per tahun.
1979 – 1981: kemajuan yang amat menonjol dalam pembagunan pedesaan sebagai
akibat langsung dari peningkatan produksi beras yaitu rata- rata 10,2% per tahun.

Apabila analisa lebih ditekankan pada keadaan di Jawa dimana 65% dari
seluruh penduduk berada, dan lebih kurang 63% produksi padi. Keseluruhan
dihasilkan maka angka pertumbuhannya sedikit berbeda yaitu sebagai berikut:

Tabel 3
Tingkat Pertumbuhan Produksi Padi Di Jawa dan Indonesia untuk
Beberapa Periode (Dalam Persen)

Periode Tingkat pertumbuhan Produksi Padi


Jawa Indonesia
1950-1965 2,3 3,0
1966-1968 3,5 4,4
1969-1973 4,2 4,7
1974-1978 3,2 3,5
1979-1981 12,6 10,2

57
Apabila yang disimpulkan oleh Collier dan kawan – kawan memang benar
yaitu eratnya kaitan “pembangunan desa” dan produksi beras maka implikasinya
adalah sebagai berikut: meskipun dana – dana pembangunan pedesaan yang
dialirkan ke daerah pedesaan cukup besar selama pemerintahan Orde Baru (sejak
1966 khususnya sejak Pelita 1 1969), namun karena dominan nya ekonomi padi,
tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan masih lebih tergantung pada naik
turunnya produksi padi daripada program – program pembangunan pedesaan
pemerintah. Kenyataan ini pun sebenarnya sudah sering diakui pemerintah. Sektor
ekonomi padi memang selalu mempunyai pengaruh besar terhadap perekonomian
nasional.
5. Tri Matra : pembanguna pertanian terpadu
Departemen pertanian telah memulai pemikiran yang serius dalam
melaksanakan pendekatan terpadu dalam pembangunan pertanian yaitu dengan
melalui konsep Tri matra. Melalui konsep Tri Matra inilah pembangunan
pertanian hendak dianalisa dan selanjutnya diprogeramkan pengembanganya, tri
matra tersebut adalah:
1) Komoditi Terpadu
2) Usaha tani Terpadu
3) Wilayah Terpadu
Pendekatan komoditi terpadu dikembangkan untuk menjawab kritik – kritik
bahwa sejak pelita 1, orientasi pembangunan pertanian kita terlalu berat
ditekankan pada beras dengan korban komoditi palawija dan tanaman tanaman
penting lainnya. Hasilnya memang berupa kemajuan – kemajuan amat
mengesankan dalam tingkat produksi dan hasil per hektar padi, namun kemajuan
amat lambat pada tanaman – tanaman lain seperti jagung, kedelai, hortikultura
dan juga tebu dan komoditi – komoditi pekebunan lainnya. Maka dengan
pendekatan komoditi terpadu akan diusahakan agar komoditi – komoditi dapat
dikelompokkan dan selanjutnya ditanganinsecara sungguh-sungguh dalam
produksi dan pemasarannya, termasuk didalamnya pembibitan, pengolahan dan
penyuluhan- penyuluhan untuk lebih meningkatkan pengusahaannya.
Dalam usaha tani terpadu, kita ingin membina pembangunan pertanian pada
tingkat usaha tani yang dalam kenyataannya mengusahakan berbagai jenis
komoditi termasuk pengusahaan peternakan yang tidak tergantung pada luas milik
tanah tertentu, dan juga perikanan atau
58
Pengusahaan pekarangan. Perkembangan usaha tani secara terpadu berarti bahwa
usahatani perorangan hendaknya dapat dikembangkan menjadi usaha viabel yang
mampu menghidupi keluarga tani yang bersangkutan. Untuk mencapai hal ini
biasanya keluarga tani memang sudah terbiasa memanfaatkan tiap jengkal tanah
yang dmiliki atau yang dikuasainya, atau memanfaatkan tenaga kerja keluarga
semaksimal mungkin. Tugas pembinaan para penyuluh pertanian adalah,
disamping yang menyangkut peningkatan – peningkatan teknik budidaya, juga
pengembangan motivasi usaha baik secara perorangan maupun terutama melalui
kelompok – kelompok tani. Pengembangan kelompok – kelompok tani ini sangat
penting bagi usahatani “gurem” yang secara sendiri – sendiri barangkali memang
sulit berkembang secara efesien tetapi secara bersama – sama dalam kelompok
yang lebih besar dapat memanfaatkan ekonomi skala besar (economi of scale).
Hal ini misalnya sudah terlihat pada insus yang menghasilkan hasil per hektar
yang tinggi sebagai akibat praktek kerjasama fisik, organisasi dan manajemen.

Dalam pendekatan wilayah terpadu, masalah pembangunan pertanian


dilihat sebagai masalah pengembangan suatu area (wilayah) tertentu yang
memiliki potensi fisik tertentu yang mungkin beraneka ragam, baik dalam bidang
pertanian sendiri maupun yang mungkin menyangkut bidang – bidang lain diluar
pertanian. Salah satu contoh yang baik dalam hal ini adalah pengembangan
wilayah pertanian pengunungan yang hasil – hasil pertaniannya berupa sayur –
sayuran dan bunga, berkaitan amat erat dengan sektor pariwisata, sektor
pariwisata disini jelas merupakan sektor yang berkembang dengan baik akan
dapat mendorong pertumbuhan pertanian setempat. Dalam kasus yang demikian
pengembangan sektor pariwisata melalui pembangunan prasarana jalan,
perhotelan dan lain – lain nya. Secara tidak langsung mendorong pengembangan
tanam – tanaman sayur –sayuran dan bunga – bungaan. Bahkan lebih jauh lagi
berkembangnya sektor pariwisata dapat juga mendorong perkembangan kerajinan
dan industri rumah tangga yang pemasarannya menjadi lebih baik dan meluas.

Dengan demikian pembangunan pertanian terpadu sebagaimana tercakup


dalam konsep Tri matra merupakan konsep pendekatan “kompherensif” bagi
pengembangan potensi – potensi pertanian. kiranya jelas bahwa tanpa
memperkecil anti komoditi dan usaha taninya, peranan pengembangan wilayah
(area, region) adalah paling menonjol, karena dalam wilayah – wilayah tertentulah
komoditi dan usaha tani berada, dan setiap wilayah memang sudah ada dalam
pembinaan dinas (inspektorat) pertanian tertentu baik pada tingkat propinsi
maupun pada tingkat pemerintahan dibawahnya.

59
6. UDKP: Sistem pembangunan wilayah terpadu
Sistem UDKP lahir pada tahun 1981 sebagai realisasi keinginan untuk
mempercepat proses dan laju pembangunan pedesaan dengan berbagai usaha yang
lebih terpadu pada tingkat yang cukup dekat dengan masyarakat desa. Unit daerah
yang dipiih adalah tingkat kecamatan dengan alasan pokok adanya pegawai –
pegawai yang langsung yang dikaji oleh pemerintah, sehingga
pertangggungjawaban rutin dapat selalu diharapkan, tetapi pada saat yang sama
unit itu sendiri cukup dekat dengan desa dan masyarakatnya.

Ada dua konsep dasar untuk mendelegasikan sistem koordinasi


pembangunan desa ini yaitu: dekonsentrasi dan desentralisasi. Dekonsentrasi
adalah suatu proses dimana pemerintah pusat memberikan wewenang pada
pemerintah daerah tau unit- unit administrasi kecil lainnya untuk melaksanakan
proyek-proyek pembangunan dan memonitor pelaksanaan proyek tersebut serta
melaporkannya ke pusat.

Dalam hal ini desentralisasi pemerintahan pusat melimpahkan seluruh atau


sebagian besar wewenang nya kepada pemerintah daerah. Ini berarti desentralisasi
lebih luas dari dekonsentrasi, karena dalam dekonsentrasi hanya pelaksanaan yang
dilimpahkan, padahal dalam desentralisasi terjadi pelimpahan wewenang
penyelenggaraan penyelenggaraan pemerintah di daerah.

Demikianlah dalam teori sistem UDKP mengandung keinginan


pendelegasian manajemen pembangunan desa pada tingkat kecamatan, untuk
mempercepat pemerataan program-program pembangunan desa mempercepat
peningkatan ketrampilan aparat pemerintah daerah dan sekaligus “ mendekatkan”
program-program pembangunan pada kelompok-kelompok sasaran, yaitu
kelompok miskin dipedesaan.
Dalam sistem UDKP ini Camat ditetapkan sebagai penaggungjawab tunggal
pembangunan bagi wilayah kecamatan masing – masing, camat diberi wewenang
mengkoordinasikan segala kegiatan pembangunan dari berbagai dinas – dinas
sektoral. Kecamatan yang telah ditunjuk sebagai “kecamatan UDKP” diharapkan
mampu menyusun sendiri rencana program-program pembangunan desa, yang
idsusun dan diolah dari LKMD dan KKLKMD, pada tingkat desa (kelurahan) dan
pedukuhan. Perencanaan yang berhasil pada tingkat UDKP ini berarti
60
Harus bersifat komphrensif dan serasi dengan program – program pembangunan
yang ada dalam wilayah yang lebih luas pada tingkat kabupaten dan provinsi.
Keserasian pembangunan ini antara lain diartikan sebagai keserasian
pembangunan dalam pengertian peningkatan taraf kesejahteraan desadan wilayah
yang lebih luas. Untuk mencapai tujuan pembangunan yang serasi ini, rencana –
rencana pembangunan harus bersifat komprehensif dan menyeluruh yang dapat
mencakup semua aspek kehidupan manusia dipedesaan.
Akhirnya konsep UDKP menyangkut pengertian keterpaduan. Terpadu
berarti adanya kaitan antara berbagai program – program sektoral, yang mencakup
pembangunan fisik, ekonomi, sosial, kultural dan spiritual. Pembangunan yang
terpadu harus mampu menciptakan iklim pembangunan yang serasi, seimbang dan
selaras, yang berarti membawa seluruh usaha dan gerak pembangunan pada
pembangunan manusia seutuhnya yaitu mencakup pembangunan materil dan
spiritual.
7. Beberapa masalah dalam sistem UDKP
Meskipun secara teoritis sistem UDKP cukup mampu mengkoordinasikan
berbgai macam kegiatan desa, namun dalam kenyataan masih banyak dijumpai
masalah-masalah yang tidak ringan. Dibeberapa kecamatan yang telah diteliti
banyak ditemukan masalah-masalah riil yang tidak memungkinkan koordinasi
dapat berjalan efektif.
Oleh karena dana – dana pembangunan sebagian besar datang darti pusat,
dan melalui program-program sektoral, maka ada kecenderungan setiap dinas
sektoral untuk hanya bertanggung jawab ke atas. Lebih – lebih apabila hal ini
diperkuat oleh semangat bersaing dan keinginan untuk menonjol sendiri – sendiri,
maka upaya koordinasi dari camat biasanya tidak disambut gembira atau bahkan
dicurigai. Untuk menghindari hal lain, nampaknya tidak ada alternatif yang
mudah. Seorang camat perlu cukup bijaksana untuk disamping tekad bulat untuk
melaksanakan koordinasi juga tetap memberikan kesempatan kepada setiap kepala
sektoral memperoleh “kredit” atas penampilan dan hasil – hasil yang telah
dicapai. Sementara itu tidak dapat diungkiri bahwa setipa proyek pembangunan
yang datang dari pusat selalu berarti tambahan pendapatan bagi setiap
pelaksanaan proyek, Sehingga uluran tangan dengan dalih koordinasi akan
diusahakan sekecil mungkin untuk “menghemat biaya” ini lah salah satu sumber
penting ungkapan “semua setuju dan senang mengkoordinasi, tetapi tidak senang
dikoordinasi” kemampuan seseorang
61
Camat untuk mengkoordinasikan dinas – dinas diwilayahnya memang banyak
tergantung pada kemahiran dan wibawa camat sendiri. Seorang camat yang
berwibawa nampaknya kan secara otomatis mampu melaksanakan koordinasi.
Bahkan dalam beberapa kasus kepala – kepala dinas sektoral didalam wilayahnya
dapat dinilai konduitenya oleh seorang camat yang cukup dihormati dan diakui
oleh atasan.
Masalah lain yang erat kaitannya adalah mengenai wewenang kecamatan
atau seorang camat dalam pembangunan. Sistem UDKP yang efisien dan efektif
hanya terwujud apabila kecamatan memang mempunyai wewenang yang cukup
memadai, baik dalam merencanakan maupun dalam melaksnakan proyek.
Meskipun pada dasarnya dana-dana setempat selalu terbatas, namun penegasan
pemberian wewenang kepada kecamatan barangkali akan membantu
meningkatkan efesiensi dan efektifitas UDKP. Pada mulanya memang orang
meragukankemampuan kecamatan untuk mengurus atau mengelola wilayahnya
apabila pembiayaan dan keahlian sebagian besar datang dari instansi yang lebih
tinggi.
Efektifitas kerja UDKP sebenarnya amat tergantung pada efektifitas kerja
LKMD. Karena proyek UDKP pada akhirnya berada di desa maka LKMD
memainkan peranan penting sekali untuk membantu merumuskan usaha
pembangunan yang paling diperlukan oleh masyarakat desa. “dalam sistem UDKP
, LKMD memang merupakan tumpuan harapan demi berhasilnya pembangunan
desa khususnya dalam pengetrapan bottom- up planning. Akhirnya kepemimpinan
pada tingkat kelurahan sangat dirasakan kelambanan nya apabila lurah desa sangat
tua dan tingkat pendidikannya kurang memadai. Meskipun tetap diakui adanya
lurah- lurah tua yang tetap lincah dan cukup berhasil, namun ini lebih merupakan
perkecualian. Pada umumnya suasana pembangunan desa sekarang amat
memerlukan lurah-lurah yang muda, berpendidikan dan cukup dinamis. Umur rata
– rata camat yang muda (30 – 40) tahun, seharusnya memang diikuti oleh
peremajaan lurah-lurah desa sehingga derap langkah lurah dan camat dapat lebih
serasi.
62
8. Kasus pembangunan wilayah terpadu : proyek bangun desa yogyakarta
Sejak 1974 pemerintah indonesia memperkenal program pengembangan
wilayah, program – program ini dikelola oleh Direktorat Jenderal pembangunan
daerah Departement dalam negeri dan dikenal dengan nama provinsi Development
Projects (PDP). Ia dijadikan proyek - proyek percobaan untuk memberikan
landasan bagi perumusan kebijaksanaan pembangunan pedesaan berskala nasional
yang mengutamakan desentralisasi didalam perencanaan dan didalam
pelaksanaan berbagai macam program dan proyek –proyek pembangunan. Sejauh
ini ada 3 proyek percobaan yaitu di propinsi daerah istemewa aceh, jawa tengah
dan yogyakarta, karena untuk propinsi daerah istimewa yogyakarta dikhususkan
pada dua daerah kabupaten termiskin yaitu gunung kidul dan Kulon Progo, maka
ia rancang untuk membuat satu “model” pengembangan wilayah pedesaan yang
termasuk wilayah rawan atau kritis.

Proyek lima tahun ini direncankan mengahbiskan anggaran 19 juta dolar


Amrerika (U$ 19 juta) dengan dua sasaran yaitu: (1) yaitu untuk meningkatakan
pendapatan dan memperbaiki kondisis kehidupan lapisan penduduk paling miskin
di kabupaten gunung kidul dan Kulon Progo, (2) meningkatkan p[embinaan
kelembagaan ( institution Buildings) yaitu berupa peningkatan kemampuan dan
kemahiran aparat birokrasi dan peningkatan partisipasi masyarakat.
Dari kedua sasaran pokok tersebut jelaslah bahwa proyek bangun desa
Yogyakarta ini dilaksanakan untuk merealisasikan program-program pemerataan
anatar wilayah dan anatr kelompok sasaran. Sebagai program pemerataan proyek
yang ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
masyarakat dua wilayah kritis, sehingga celah keterbelakangan antara kedua
wilayah ini dengan kabupaten Sleman dan Bantul dapat didekatkan. Sementara itu
apabila kelompok termiskin pada kedua wilayah kritis ini benar – benar dapat
ditingkatkan kesejahteraannya secara signifikan, maka ketimpangan pendapatan
antar kelompok-kelompok sosial akan berkurang. Dengan tercapainya kedua
sasaran pokok ini maka akan terciptalah suasana tentram atau adil maksmur lahir
dan bathin.
63
Dilihat sebagai suatu strategi pembangunan, proyek bangun desa
Yogyakarta (PBDY) memiliki ciri – ciri menonjol sebagai startegi pembangunan
pedesaan yang terpadu (integrated rural development). Ia menekan program pada
pembangunan pertanian dalam arti luas (dengan alokasi anggaran 45% dari
seluruh anggaran proyek) termasuk komponen – komponen pendukungnya (agri
support activities), strategi yang demikian sejalan dengan prinsip pembangunan
desa terpadu yang dikemukakan oleh Raanan Weitz yaitu : (1) bahwa
pembangunan pertanian merupakan kunci bagi pembangunan pedesaan, (2) bahwa
pembangunan pertanian yang berhasil menuntut dukungan pembangunan berbagai
kegiatan – kegiatan pendukung pertanian, (3) bahwa faktor – faktor sosial (politik)
tertentu sangat kritikal peranan nya bagi keberhasilan pembangunan pertanian dan
pedesaan.
Tetapi selain kegiatan – kegiatan yang langsung dan tidak langsung
mendukung pembangunan pertanian, sasaran kedua yang berupa peningkatan
kemahiran aparat birokrasi dan partisipasi masyarakat memegang peranan amat
penting khususnya dalam menjaga kelestarian program –programnya. inilah yang
antara lain dicakup dalam program pengembangna partisipasi masyarakat yang
berisi 3 sub proyek: (1) partisipasi dalam kasus – kasus kepemimpinan dan kader-
kader pembangunan (2) partisipasi dalam kredit – kredit pedukuhan dan (3)
partisipasi dalam pertemuan rembug dukuh dan rembug desa.
Demikian lah kita lihat bahwa proyek bangun desa yogyakarta yang
merupakan proyk pembangunan desa terpadu mencoba melaksanakan secara
konsepsional pada wilayah yang benar – benar kritis. Hasil-hasilnya meskipun
belum final nampaknya cukup membesarkan hati para pengelolanya.
Masalah – masalah yang muncul sebagaimana dikemukan oleh DR
Nasikun adalah sebagai berikut:
1) Keberhasilan proyek nampaknya disebabkan oleh dukungan dana dan daya
yang sangat besar jauh lebih besar dari dana-dana rutin dan pembangunan
yang biasanya tersedia. Memang melalui paket-paket subsidi yang
merupakan peganti resiko petani untuk menerapkan teknologi baru, proyek
bangun desa Yogyakarta telah berhasil memecahkan lingkaran setan ekonomi
subsisten petani. Lingkaran

64
Setan Ekonomi subsisten biasanya dianggap telah memerangkap petani dalam
budaya “konservatif” yang kurang berani menanggung resiko. Contoh
keberhasilan proyek bangun desa Yogyakarta adalah dalam memperkenalkan
pola tanam yang disempurnakan dan penanaman rumput hijauan pakan ternak
disepanjang talut (galengan) dan tepian teras. Dalam program demikian petani
bersedia melaksanakan tanpa argumentasi karena resiko dibayar oleh proyek
dengan mengganti “opportunity cost” atau penerimaan yang seharusnya mereka
terima apabila lahan dipergunakan untuk maksud lain. Apabila untuk
menyukseskan suatu proyek harus dikeluarkan sejumlah dana “substitusi risiko”
yang demikian, maka replikasi keberhasilan proyek dalam skala yang lebih besar
berarti membutuhkan dana yang amat besar yang tentunya akan merupakan satu
masalah tersendiri.

2) Masalah kedua adalah masalah yang menyangkut penciptaan peluang kerja


dipedesaan yaitu upaya untuk meningkatkan pendapatan keluarga khususnya
di industri kecil atau pekerjaan – pekerjaan non pertanian lainnya. Dari
penelitian ternyata bahwa betapapun proyek pembagunan desa Yogyakarta
berusaha pada tingkat proyek, keberhasilan program penciptaan peluang
bekerja dan berusaha amat tergantung pada kebijaksanaan makro yang benar
diluar jangkauan pengelola proyek . meskipun seandainya proyek bangun
desa Yogyakarta mampu membantu bahan-bahan baku bagi insudtri kecil dan
kerajinan, namun pemasaran hasil-hasilnya biasanya sangat terhamabat oleh
persaingan yang keras dari barang impor atau indutri besar yang
memproduksi barang yang sama. Kebijaksanaan pembinaan industri kecil
dengan lembaga bapak angkat dan sejenisnya, mungkin memang akan sedikit
membantu. tetapi itu saja belum cukup. Kebijaksanaan tersebut harus diatur
dalam kerangka kebijaksanaan yang lebih menyeluruh dan konsisten.
3) Maslah ketiga adalah masalah yang berhubungan dengan pengembangan
partisipasi masyarakat. Dengan adanya kemajuan – kemajuan pedesaan
sehingga masyarakat desa semakin terpadu pada masyarakat “modren” dan
“komersial” perkotaan, orang mulai mempertanyakan kesanggupan (dan
keperluan) partisipasi masyarakat yang berupa semangat tolong – menolong
dan kegotong royongan asli. Pertanyaan demikian cukup relevan dalam
hubungan dengan masalah pengelolaan dan pemeliharaan bangunan-
bangunan fisik dalam jangka panjang. Misalnya banya penduduk desa mulai
65
Mempertanyakan siapa yang seharusnya berkewajiban memlihara jalan – jalan
desa yang merupakan bangunan milik masyarakat luas, yang semakin banyak
dimanfaat kan oleh penduduk luar desa, misalnya truk – truk bermuatan berat dari
kota atau desa tetangga? Didalam jangka panjang masalah demikian akan semakin
kompleks, karena manfaat dan beban semakin sulit diatur dan dibagi – bagi. Rasa
keadilan masyarakat mengalami perubahan sebagai akibat perkembangan ruang
lingkup dan ruang cakup masyarakat. Karena perkembangan masyarakat desa
maka terjadilah pergeseran- pergeseran kepentingan anggota masyarakat desa
yang selanjutnya menimbulkan perubahan- perubahan dalam konsep dan rasa
keadilan.
Akhirnya, keberhasilan proyek bangun desa Yogyakarta yang
pengelolaannya sebagian besar ditangani oleh Bappeda tingkat 1, yang kadang –
kadang “melewati” garis lurus birokrasi, menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimana sifat pengendalian dan manajemennya dalam jangka panjang, apabila
proyek bangun desa yogyakarta sebagai proyek telah berakhir. Hal ini perlu
diantisipasi karena salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah pelembagaan
birokrasi pembangunan yang berkesinambungan.
9. Kesimpulan
Pembangunan desa terpadu adalah suatu strategi untuk membulatkan tekad
dan memadukan segala upaya sumber daya bagi peningkatan taraf kehidupan
masyarakat desa. Tekanan dari program-program adalah menghapuskan
kemiskinan.
Karena kelompok sasaran pembangun desa terpadu (PDT) adalah bagian
penduduk yang paling miskin yang biasanya tidak mampu berbicara dan oleh
sebab itu juga jarang dapat didengar keinginan-keinginanya dan dipahami
aspirasinya, maka syarat mutlak keberhasilan adalah dengan perencanaan dari
bawah dan desentralisasi penyelenggarakan program –programnya. Tata
manjemen yang didesentralisasikan harus diperlengkapi dengan hal – hal berikut:
1) Pengetahuan dan kemampuan profesional untuk melaksanakan pembangunan desa
Terpadu;

66
2) Otorita untuk melaksanakan rencana – rencana yang diusulkan
3) Otonomi yang cukup untuk memanfaatkan sumber – sumber keuangan yang
dialokasinya bagi setiap daerah;
4) Ada partisipasi yang efektif dari kelompok penduduk yang hendak dibantu oleh
PDT
Pembangunan Desa terpadu mempunyai ciri sebagai satu proses
perencanaan untuk memecahkan masalah tertentu yaitu menghapuskan
kemiskinan dan kekritisan suatu masyarakat dalam wilayah tertentu dengan secara
komphrensif memadukan semua sektor – sektor ekonomi dan sosial dalam
program – programnya. Ini berarti ia merupakan program kerja nyata (action
oriented) dengan mengkoordinasikan kebijaksanaannya, program investasi dan
perencanaan sumber daya manusia, pada semua tingkat pemerintahan dan sektor –
sektor secara komprhensif.
67
BAB V
STRATEGI PEMBANGUNAN PEDESAAN
1. Pendahuluan
Sampailah kita pada bab terakhir buku ini yang kita fokuskan pada thema
pokok kita yaitu strategi pembangunan pedesaan.
Ada pemikir yang berkeberatan terhadap istilah strategi pembangunan
pedesaan, lebih – lebih apabila ia bedakan secara tegas dengan strategi (nasional)
pembangunan perkotaan (national urban development strategy). Alasan pokok
keberatan dalam hal ini adalah implikasi bahwa strategi pembangunan pedesaan
dan strategi pembangunan perkotaan harus lah berbeda atau tidak paralel, padahal
dalam kenyataan memang tidak mungkin pembangunan nasional berjalan sukses
apabila ada pertentangan (konflik) antara pembangunan sektor desa dan
perkotaan. Pembangunan ekonomi dna sosial akan berjalan lancar apabila ada
kesesuaian dan keserasian anatar keduanya. Bahkan hubungan perkotaan –
pedesaan (rural Urban Relations) merupakan satu topik yang cukup berkembang
dan menarik yang sudah mulai banyak diteliti pakar – pakar peneliti.

Kini, apakah yang dimaksud dengan strategi pembangunan pedesaan?


Apakah strategi? Dari arti katanya sendiri strategi adalah cara optimum untuk
mencapai hasil leebih baik. “skillfull mangement in getting the better of an
adversory or attaining an end” (manajemen yang penuh ketramipan untuk berhasil
lebih baik daripada saingan atau dalam mencapai tujuan) karena semata – mata
merupakan satu cara (manajement) maka jelaslah bahwa startegi tidak perlu
merupakan sesuatu yang terlalu kaku dan tidak bisa berubah ubah. Strategi justru
harus lah cukup luwes dan selalu disesuaikan dengan perkembangan situasi dan
kondisi yang berubah.

Tetapi apabila strategi perlu berubah – ubah sesuai dengan perkembangan


situasi dan kondisi, apakah manfaatnya cukup besar untuk memikirkan dan
merumuskannya? Apakah tidak cukup dirumuskan pola pemikiran
Hal 68
Bangunan pedesaan yang cukup mantap sebagai pedoman dasar sebagaimana
dalam Repelita kita baik di pusat maupun di daerah-daerah. 2) kita memang
mengenal Pola Dasar Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan
Jangka Panjang. Di mana peranan Strategi Pembangunan?

Apabila kita bicara mengenai strategi maka biasanya orang sekaligus


menggunakan istilah Orientasi, yang berarti bahwa strategi selalu diarahkan pada
pencapaian kelompok sasaran tertentu. Misalnya dalam strategi pemberantasan
kemiskinan berarti ada penentuan kelompok sasaran tertentu yaitu anggota
kelompok msyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Dalam
strategi seperti ini berbagai cara harus ditempuh untuk memastikan agar
pembangunan mampu meningkatkan pendaatan mereka yang masih dibawah
garis kemiskinan, sehingga pada akhir periode pembangunan tertentu mereka
sudah hidup diatas garis kemiskinan.

2. Pembangunan Manusia

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) kita menegasakan bahwa tujuan


pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia, yaitu pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dengan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia. Pengertian pembangunan manusia dan masyarakat yang utuh dan
menyeluruh ini dijabarkan lebih lanjut dalam 3 rumusan yaitu:

(1) Ada keselarasan, keselarasan dan keseimbangan antara pembangunan lahirlah dan
batiniah
(2) Pembangunan merata diseluruh tanah air
(3) Pembangunan untuk semua golongan, seluruh anggota masyarakat dan seluruh
rakyat

Selain ketentuan yang tercantum dalam GBHN tersebut kita mengenal pula
kebijaksanaan “delapan jalur pemerataan” yang secara cukup lengkap
mencantumkan 8 jalur kebijaksanaan “strategis” untuk lebih memeratakan
kesempatan berperan serta dalam pembangunan

Hal 69
nasional dari seluruh anggota masyarakat, dan sekaligus berarti pula memeratakan
pembagian hasil-hasil pembangunan nasional. Adapun 8 jalur pemerataan yang
diamksud adalah sebagai berikut:

(1) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan,


sandang dan perumahan
(2) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan
(3) Pemerataan pembagian pendapatan
(4) Pemerataan kesempatan kerja
(5) Pemerataan kesempatan berusaha
(6) Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita
(7) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air
(8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan
Meskipun 8 jalur pemerataan ini dapat dikatakan cukup lengkap, namun
belum sepenuhnya mencakup unsur-unsur pembangunan manusia seutuhnya yang
tentunya harus mengandung pula unsur-unsur rasa aman, kebebasan, dan
kebahagiaan bagi seluruh anggota masyarakat. Memang kesempatan memperoleh
keadilan apabila benar-benar terpenuhi, dapat berarti pula tercapainya rasa aman,
bebas, dan bahagia bagi setiap anggota masyarakat.
Demikianlah unsur-unsur pembangunan nasional yang berorientasi pada
manusia secara cukup mendasar dapat dibedakan dari pembangunan yang
berorientasi pada produksi . perbedaan dari kedua orientasi pembangunan ini
dirumuskan secara sangat baik oleh David Korten sebagai berikut.
One of the more critical distincion production-centered development is that the
former routinelly suborninated the needs of people to the needs of the production
system, the letter seeks consistently to subordinate the needs of the production
system to the needs of people.
Dari kedua “model” pembangunan tersebut kita dapat melihat bahwa secara
‘strategis” ada perbedaan antara pendekatan yang pertama( produksi) dan kedua
(manusia). Pendekatan pertama lebih memberatkan pada pembangunan sistem
produksi dan upaya peningkatan efisiensi produksi

Hal 70
Dan manusia lebih dilihat sebagai bagian (komponen) dari sistem produksi.
Modal adalah sumberdaya utama dari sistem ekonomi dan sistem produksi.

Sebaliknya dalam pendekatan kedua yang berorientasi pada manusia,


sumberdaya utama sistem produksi adalah pikiran, inisiatif, dan kreatifitas
manusia itu sendiri, sehingga strategi dasarnya adalah penggunaan sumberdaya
manusia secara optimal. Dalam kebijaksanaan umum pembangunan ada peranan
perencanaan nasional, tetapi lebih berciri perencanaan partisipatif. Dalam
perencanaan partisipatif yang direncanakan bukanlah pemenuhan kebutuhan
manusianya, tetapi lebih ditekankan pada pengembangan sistem organisasi
mandiri yang diarahkan pada penciptaan kondisi kehidupan sosial ekonomi
dimana orang lebih mudah memenuhi kebutuhan mereka sendiri dengan cara-cara
yang sedapat mungkin mereka kembangkan sendiri.

3. Elemen-elemen Pembangunan Manusia

Meskipun dalam pembangunan pedesaan yang berorientasi pada


pembangunan manusia, unsur-unsur nonekonomi lebih ditonjolakn , hal itu tidak
berarti bahwa unsur-unsur ekonomi dan pembangunan fisik sama sekali
dikebelakangkan. Mutu kehidupan manusia dipengaruhi oleh ingkungan fisik dan
iklim/suasana kehidupan nonfisik. Unsur-unsur kehidupan yang aman, bebas, dan
bahagia pada dasarnya mencakup baik komponen fisik maupun nonfisik sebagai
berikut:

(1) Kualitas kehidupan fisik, ini berarti bahwa pembangunan manusia dapat dikatakan
berhasil apabila ada peningkatan mutu kehidupan fisik setiap anggota masyarakat
yang antara lain mencakup mutu lingkungan fisik, pola konsumsi fisik, dan rasa
aman dari gangguan –gangguan fisik.
(2) Mata pencaharian. Pembangunan harus mampu meningkatkan secara terus
menerus jumlah peduduk yang semakin mudah memperoleh nafkah. Ini berarti
bahwa pengangguran yang meningkat adalah merupakan angka minus yang
menurunkan mutu kehidupan fisik manusia.
(3) Individualitas dan kebebasan memilih . pembangunan manusia yang berhasil
berarti meningkatnya bagian penduduk yang semakin mampu menentukan
nasibnya sendiri dan menentukan hari depan anak-anaknya khususnya yang
menyangkut kemungkinan kesukaran dalam mencari nafkah.

Hal 71
(4) Pengembangan diri. Pembangunan yang berhasil harus mampu meningkatkan
jumlah penduduk (absolut dan relatif) yang kesadaran lingkuangannya semakin
besar, dan yang mampu berupaya sendiri untuk meningkatkan keterampilannya.
Berkembangnya solidaritas sosial anggota-anggota masyarakat juga merupakan
satu ukuran keberhasilan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan
manusia.
(5) Pemekaran kehidupan sosial politik. Pembangunan nasional yang berhasil harus
pula berarti ada pertambahan jumlah penduduk yang semakin mampu ikut serta
secara aktif dalam putusan-putusan (politik) yang menyangkut nasib mereka.
Demikian lima unsur pembangunan manusia kait-mengkait satu sama lain,
dan secara keseluruhan sesungguhnya sudah tercakup dalam GBHN, yaitu yang
disebut sebagai kemajuan lahiriah dan batiniah. Karena adanya sebagai unsur
pembangunan manusia tersebut, Maka pembangunan pedesaan memang
menyangkut banyak faktor yaitu kebijaksanaan dan program-program pemerintah,
struktur ekonomi dan sosial, keadaan sumberdaya regional dan iklim kehidupan
sosial politik pada tingkat desa. Langkah-langkah kebijakanaan operasional akan
menyangkut tugas berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah yang secara
sendiri-sendiri atau bersama bersama mempengaruhi komponen kehidupan
manusia. Misalnya dalam meningkatkan mutu kehidupan fisik, disamping
keperluan akan kebijaksanaan ekonomi yang tepat untuk pemenuhan bahan-bahan
kebutuhan pokok, juga diperlukan kebijaksanaan konkrit unruk mengatasi
masalah pengangguran baik yang terbuka maupun yang dikenal sebagai
pengangguran tersembunyi.

4. pengenalan Kelompok Sasaran Pembangunan

Apabila tujuan pembangunan pedesaaan ditekankan pada pembangunan


manusia dengan kelima unsur sebagaimana disebutkan diatas, maka satu langkah
yang harus dilakukan adalah pengenalan kelompok penduduk yang masih hidup
serba kekurangan yang sering pula disebut sebagai kelompok yang hidup dibawah
garis kemiskinan. Penduduk pedesaan yang hidup dibawah garis kemiskinan ini,
yang jumlahnya masih cukup besar( lebih dari 25 juta orang pada tahun 1980),
hanya berpendapatan rata-rata 4.000,00/kapita/bulan atau Rp.133,00 perhari.
Dengan tingkat pendapatan seperti ini mereka tidak bisa memperoleh makanan
cukup sehat dan bergizi, atau bahakan cukup untuk

Hal 72
pekerjaan fisisk agak berat, lebih-lebih untuk memenuhi kebutuhan lain-lain
seperti kesehatan, pendidikan dan keperluan - keperluan sosial.

Jumlah penduduk”miskin sekali”ini tersebar didaerah daerah pedesaan di


seluruh Indonesia dengan jumlah dan presentase terbesar di Jawa yaitu 20,4 juta
orang (30,4% dari seluruh penduduk pedesaan) diikuti oleh Sumatra 766.000
orang (4,8%), sulawesi 1,2 juta orang (16,4) dan Bali serta Nusa Tenggara, 2,3
juta orang (30%).

Yang cukup menarik dan perlu mendapat perhatian serius dalam


kebijaksanaan pembangunan adalah bahwa nampaknya semakin tinggi angka
presentase penduduk dibawah garis kemiskinan, semakin tinggi pula angka-angka
Rasio Gini dari distribusi pendapatan, yang berarti bahwa bila jumlah penduduk
miskin dan miskin sekali relatif besar, maka ada kecendrungan distribusi
pendaptannya kurang merata. Angka-angka rasio Gini distribusi pendapatan
adalah berturut-turut 0,2508 di sumatera 0,3081, di jawa, 0,3038 di Sulawesi, dan
0,3223 di Nusa Tenggara ( 0,2589 di Bali).

Adalah amat menggembirakan bahwa apabila tetap awal pembangunan


pertanian( melalui revolusi hijau) celah (gap) antara kelompok kaya dan
kelompok miskin cenderung membesar (angka rasio Gini meningkat) namun pada
tahap berikutnya celah kemiskinan ini cenderung menciut (angka rasio Gini
mengecil). Hal ini kiranya diakibatkan oleh semakin meratanya fasilitas perairan.
Nampaknya fasilitas pengairan yang memungkinkan digunakannya bibit-bibit
unggul padi yang responsif terhadap pupuk amat besar peranannya dalam
meningkatkan pendapatan penduduk desa-desa miskin. Pada satu studi di Jawa
Timur dilaporkan bahwa rasio pendapatan desa kaya dan miskin adalah 2.5:1 pada
tahun 1971 (sebelum revolusi hijau) meningkat 4,5:1 sewaktu hasil-hasil revolusi
hijau mulai tampak (1976) tetapi selanjutnya cenderung menurun lagi yaitu
menjadi 3,4:1 sewaktu revolusi hijau mulai merata ke semua wilayah(1981)

5. Kebijaksanaan bagi Buruh Tani, Petani Gurem dan Nelayan

Dengan menggunakan ukuran apapun, strategi pembangunan pedesaaan


yang tepat untuk mencapai tujuan pemerataan dan perwujudan

Hal 73
keadilan sosial harus diarahkan pada 3 kelompok sasaran utama yang paling
miskin di pedesaaan yaitu buruh tani, petani gurem, dan nelayan.

Karena pertumbuhan penduduk yang masih cepat di pedesaan, padahal


tanah-tanah atau lahan-lahan pertanian tetap atau bahkan relatif menciut
(khususnya di Jawa) maka akibat langsungnya adalah membengkaknya jumlah
buruh tani, petani perlahan sempit ( petani gurem) dan nelayan. Dari ketiga
kelompok termsikin ini kehidupan nelayan adalah yang paling berat. Mereka itu
sebagian merupakan kelompok yang “terusir” dari daerah-daerah pertanian karena
semakin menciutnya lahan yang digarap

Keprihatinan yang menyangkut buruh tani dan petani gurem, pernah


diungkapkan oleh Presiden Soeharto dalam pidato lkenegaraan (16 Agustus 1982)
di mana disebutkan antara lain:

(1) Selama 7 tahun (1973-1980) jumlah petani meningkat 2,8% pertahun yaitu dari 14
juta menjadi 17 juta orang
(2) Petani kecil atau petani gurem yang menggarap tanah kurang dari 0,5 ha
jumlahnya meningkat dari 6,6 juta menjadi 11 juta orang.
(3) Petani tak bertanah yang miskin sekali selama periode yang sama meningkat
jumlahnya dari 490.000 menjadi 2 juta orang

Masalah petani gurem dan petani tak bertanah ini ternyata merupakan
masalah “umum” bagi banyak negara berkembang berpenduduk padat seperti
India, Bangladesh, Sri Langka, Malaysia, Filiphina, Cina dan lain-lain. Meskipun
mungkin perbedaannya tidak signifikan, tetapi keadaan kehidupan petani perlahan
sempit(petani gurem) tidak selalu lebih baik dari pada keadaan buruh tani yang
setiap hari mengharapkan menjual tenaga untuk bekerja ditanah orag lain. Hal ini
ditemukan di Jawa, seperti juga di Uttar Pradesh dan nampaknya disebabkan
mobilitas buruh tani uang lebih tinggi daripada petani gurem. Karena tidak ada
ikatan dengan tanah, maka buruh tani lebih leluasa mencari pekerjaan dimana saja
termasuk berdagang kecil-kecilan, menjual bakso, atau menjadi tukang becak,
tanpa keharusan kembali kedesa diwaktu musim menggarap lahan atau musim
panen. Perbandingan antara

Hal 74
jumlah buruh tani dan petani gurem adalah kira-kira 28% untuk buruh tani dan
selebihnya (72%) adalah petani gurem. Apabila kita kelompokkan buruh tani
sebagai tenaga kerja penerima upah dan petani gurem sebagai pengusaha
pertanian maka perbandingan pendapatannya dapat dilihat dalam tabel berikut

Tabel 4

Pendapatan petani Gurem dan Buruh Tani di Jawa/Bali, 1975

Pengusaha Pertanian Buruh Tani


Pendapata Jumlah Pendapatan Jumlah
n (000) Rp/th (000)
Rp/th
Pengusaha 71.277 6.530 70.802 1.396
Pertanian 70.864 4.166 74.886 352
0-0,50 79.895 5.103 80.435 207
Luas garapan 75.652 253 78.332 4.173
(ha)
(0,51-1,00)
Buruh Tani
jumlah 70.895 16.053 76.490 6.128

Dari tabel diatas kita lihat bahwa perbedaan pendapatan antara petani
“besar” yang mengusahakan tanah > 1 ha dengan petani kecil (0-1,00 ha) dan
petani gurem (0-0,5 ha ) nampaknya tidak begitu signifikan.dan pendapatan buruh
tani (Rp. 78.332,00), bahkan hanya sedikit dibawah pendapatan petani
“besar”(79.895,00). Meskipun kita masih dapat mempertanyakan ketelitian data-
data “pendapatan” ini, namun kesimpulan umum yang didapat kita ambil adlah
bahwa secara keseluruhan pendapatan ini kira-kira hanya setengah rata-rata
pendaptan penduduk kota. Apabila pada tahun 1975 garis kemiskinan ditaksir
sekitar Rp.42.000,00/bl, maka berarti kira-kira 33% dari penduduk pedesaan
tersebut masih di bawah garis kemiskinan suatu fenomena yang amsih diperkuat
lagi oleh data-data 1980 sebagaimana disebutkan diatas.

Hal 75
6. Kebijaksanaan Transmigrasi

Salah satu maslah yang menyebabkan kegawatan masalah kemiskinan di


Jawa adalah penduduk yang padat. Karena diluar jawa penduduk masih relatif
jarang maka pemerintah memberikan prioritas besar pada program pemerataan
penduduk ini yang terkenal dengan nama program transmigrasi mulai 1983
bahkan dibentuk departemen transmigrasi yang dipisahkan dari departemen
tenaga kerja.

Tekad pemerintah, untuk menggalakkan program transmigrasi telah dapat


dilihat hasilnya dari angka – angka jumlah transmigran selama pelita I, II, III.
Dibandingkan periode 1950 – 1972 dimana hanya dipindahkan 4.500 k. K. Per
tahun, maka dalam pelita I jumlahnya dapat ditingkatkan menjadi 2 kali lipat
menjadi 9.200 k . k per tahun yang selanjutnya meningkat menjadi 2 kali lipat lagi
di pelita II, dan akhirnya 4 kali lipat selama pelita III. Angka – angka lengkapnya
adalah sebagai berikut:

Tabel 5

Jumlah Transmigran 1950-1982

Pelita II Pelita II Pelita III


1950-72 1969-74 1974-79 Target s/d akhir
1979/80 1982
Orang 417.500 181.700 376.900 2.100.000 1.169.000
Pertahun 18.900 36.300 75.380 420.000 292.000
Kepala 100.000 46.100 87.800 500.000 286.000
keluarga 4.500 9.200 17.560 100.000 57.200
pertahun

Angka – angka jumlah transmigrasi yang semakin meningkat ini masih


diperkuat lagi oleh angka –angka migrasi spontan yang jumlahnya juga semakin
besar. Jumlah migrasi ini selama periode 1975 – 80 meningkat menjadi 44.000 per
tahun hampir dua klai lipat dari angka rata – rata selama 1950- 1972 (27.000). bila
dihitung secara neto maka perpindahan

Hal 76
penduduk dari Jawa keluar jawa meningkat dari hanya 46.000 orang selama 1950
– 1972 menjadi 120.000 orang periode 1975 – 1980.

Angka –angka perpindahan penduduk yang relatif besar ini, meskipun


belum dapat mengatasinya masalah kepadatan penduduk jawa secara keseluruhan,
namun toh telah mempunyai pengaruh positif dalam upaya mngatasi kemiskinan
di Jawa khususnya bagi buruh tani dan petani gurem. Sebagian besar peserta
transmigrasi adalah buruh tani dan petani gurem ini sehingga memang betapapun
kecilnya mereka telah dapat menikmati kenaikan pendapatan.

Adalah amat membesarkan hati melihat angka – angka hasil sensus


pertanian 1983, bila kita bandingkan dengan sensus penduduk 1980. Mungkin
sebagai akibat langsung dari keberhasilan program transmigrasi maka rumah
tangga tani dijawa yang menguasai tanah kurang dari 0,5 ha telah menurun dari
7,5 juta menjadi 6,8 juta (turun 10%), sedangkan diluar jawa menurun lebih tajam
(46%). Alhasil untuk indonesia secara keseluruhan rumah tangga tani “gurem” ini
telah berkurang dari 11, juta menjadi 8,7 juta dari petani kecil yang menguasai
tanah lebih dari 0,5 ha telah meningkat dari 6,4 juta menjadi 10 juta (naik 55 %
selama 3 tahun).

Apabila kita menyadari adanya pengaruh positif dari meningkatnya luas


pemilikan tanah bagi petani gurem, padahal “land refom” yang berupa redistribisi
nampaknya sukar dilakukan dijawa, maka program transmigrasi barangkali dapat
dianggap sebagai satu bentuk land reform. Memang bila tanah untuk dibagikan
sudah tidak lagi tersedia d jawa, maka tidaklah salah satu menyediakan tanah –
tanah pertanian diluar jawa bagi para buruh tani tak bertanah dan petani gurem
dari jawa.

Namun secara keseluruhan, selama periode 2 sensus pertanian 1973 – 1983,


apabila diluar jawa rata rata penguasaan tanah meningkat dari 1,52 ha menjadi
1,69 ha per rumah tangga, dan untuk indonesia meningkat 0,99 ha menjadi 1,08
ha, maka untuk jawa masih mengalami penurunan dari 0,64 ha menjadi 0,63 ha.
Namun penurunan luas rata –rata penguasaan tanah ini pasti akan lebih besar
seandainya tidak ada program transmigrasi sama sekali. Bila kita lihat cenderung
(trend) selama periode sensus petanian angka – angka adalah sebagai berikut:

Hal 77
Tabel 6

Rumah tangga Pertanian 1963, 1973, 1983

1963 1973 1983

Jawa
Banyaknya R.T.(000) 7.952 8.644 10.128
Rata-rata per R.T.(ha) 0,67 0,64 0,63
Luar Jawa
Banyaknya R.T.(000) 4.191 5.709 7.501
Rata-rata per R.T.(ha) 1,72 1,52 1,69
Indonesia
Banyaknya R.T.(000) 12.143 14,374 17.629
Rata-rata per R.T.(ha) 1,05 0,99 1,08

Tabel 6

Dari tabel tersebut terlihat bahwa dijawa selama periode 1963 – 1973 luas
penguasaan tanah menurun cepat, dan cenderung ini ternyata dapat jauh
diperlambat dalam periode 1973 – 1983. Bagi luar jawa rata –rata penguasaan
tanah menurun tajam antara 1963 – 1973, tetapi kemudian meningkat kembali
pada periode 1973 – 1983. Gambaran yang sama berlaku untuk indonesia bahkan
dengan anka rata – rata 1983 yang lebih tinggi daripada angka rata – rata 1973
(1,08 ha dibanding 1,05 ha)

Demikianlah nampaknya memang program transmigrasi, lebih – lebih yang


sejak 1978 digabungkan dengan pembukaan tanah – tanah perkebunan dalam
sistem PIR, telah membantu memperluas rata – rata tanah garapan petani diluar
jawa untuk tanaman pangan maupun tanamna keras.

Perkembangan pengusahaan PIR perkebunan dalam masa 10 tahun


mencakup luas areal 140.000 ha dengan peserta lebih kurang 11.000 kepala
keluarga. Rencana program keseluruhan adalah 617.000 ha dari peserta 361.000
kepala keluarga. Program PIR ini dalam banyak hal berbeda dengan program
kolonisasi jaman belanda. Pada zaman belanda program kolonisasi selalu
“bersaingan” dengan program penempatan buruh – buruh perkebunan, karena
pengiriman buruh perkebunan keluar jawa sama sekali tidak membutuhkan
anggaran belanja pemerintahan sedangkan

Hal 78
kolonisasi selalu merupakan pos pengeluaran yang besar, maka pemerintah
cenderung memilih memberikan fasilitas – fasilitas tertentu bagi pogram
pengiriman buruh perkebunan. Sayang bahwa pengiriman buruh perkebunan ini
sangat tergatung pada maju mundurnya perusahaan perkebunan. Pada waktu harga
komoditi perkebunan turun dipasar dunia banyak perkebunan menciutkan
produksi dan usahanya dan memberhentikan banyak buruh serta mengirimkan
kembali kejawa. Selama periode 1910 – 1929 perkebunan – perkebunan pada
umumnya mengalami kemajuan, sehingga Hindia Belanda ditandai kemakmuran
dan bruh-buruh dari Jawa banyak dikirim ke Sumatera Timur. Lebih – lebih
dengan terjadinya perang dunia I dimana perkebunan mendapatkan kesukaran
memperoleh buruh cina dan malaya, maka semakin banyak buruh didatangkan
dari jawa.

Pada tahun 1929 – 1930,pada saat terjadi depresi ekonomi dunia maka
banyak perkebunan diluar jawa(dan di Jawa) ditutup, sehingga banyak nya buruh
pulang ke jawa. Pada saat-saat ini lah kembali pmerintah hindia belanda
menggalakkan program kolonialisasi, yang demikian program kolonialisasi secara
garis besar dapat dibagi 3:

a. 1905 -1911 : sistem kolonialisasi Cuma Cuma dimana hanya dapat


dipindahkan rata rata 860 jiwa per tahun
b. 1912 – 1922 : sistem kolonialisasi dengan memberikan pinjaman pada
mereka yang pindah dimana dapat dipindahkan 1531 jiwa per tahun
c. 1932 – 1941 : sistem bawon, dimana dapat dipindahkan rata rata 18.067
jiwa per tahun

Ketiga sistem kolonialisasi ini boleh dikatakan tidak berhasil, baru mulai
1941 menjelang berakhirnya pemerintahan penjajahan belanda, pogram
kolonialisasi menunjukkan kemajuan besar, terutama sebagai akibat perecanaan
dan survey yang sungguh – sungguh. pada tahun 1941 selama 1 tahun jumlah
penduduk jawa yang dipindahkan keluar jawa 3 kali jumlah penduduk gedung
tataan sesudah 20 tahun

Hal 79
Didirikan. Setiap langkah telah direncanakan dengan baik untuk menghindari
pemborosan uang dan waktu.
Dengan belajar dari pengalaman program kolonialisasi pada zaman
belanda, dan program transmigrasi selama 1950 – 2972, maka nampaknya
pemerintah dewasa telah menemukan bentuk yang tepat dalam peningkatan
program transmigrasi dengan pembentukan PIR-Bun. Dalam PIR, petani jawa
“dimukimkan’ disekitar kebuninti dari PNP/PTP. Peserta PIR mula-mula menjadi
buruh/karyawan dengan menerima upah tetap , tetapi setelah ia siap dan dianggap
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai petani pekebun, maka mereka lalu
diberi hak milik tanah bagi rumah, pekarangan dan kebunnya dengan pinjaman
jangka panjang ditanggung melalui oleh PNP/PTP. Petani pekebun plasma ini
selanjutnya menjadi pekebun-pekebun “bebas” yang sekaligus menjadi anggota
PIR yang saling membutuhkan. Plasma memerlukan ini untuk membeli sarana –
sarana produksi termasuk bibit-bibit unggul. Sedangkan sebaliknya PTP juga
membutuhkan bahan baku dari plasma untuk fasilitas pabrik yang sudah
beroperasi. Peserta plasama ini sebagian besar berasal dari transmigran baik lokal
yaitu yang sudah disekitar kebun ini PNP/PTP Maupun yang datang langsung dari
jawa.
Yang lebih maju dalam sistem PIR dibandingkan program transmigrasi
biasa adalah kemungkinan pekebun plasma menanam, baik tanaman pangan
ataupun tanaman keras. Dengan menjamin pemasaran hasil – hasil lainya pada
fertilitas pabrik kebun inti PNP/PTP, maka nampak nya ada jaminan pendapatan
yang memadai bagi peserta PIR. Dengan cara demikian diharapkan buruh tani
yang bertransmigras dijamin meningkatkan pendapatan atau kemakmurannya.
Inilah satu-satunya perangsang bagi para calon transmigran.

7. Kesimpulan

Demikian apabila kita berbicara mengenai strategi pembangunan


pedesaan, baik di jawa maupun diluar jawa kita harus pertama – tama mampu
menetapkan tujuan dan kemudian menerapkan strategi yang tepat untuk mncapai
tujuan tersebut. Utnuk mencapai tujuan akhir pembangunan manusia indonesia
seutuhnya dan sluruh masyarakat indonesia, kita harus mampu mengenali
kelompok sasaran yang masih

Hal 80
hidup dibawah garis kemiskinan, yaitu buruh tani, petani gurem dan nelayan.

Strategi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka itu sudah barang tentu


bisa bermacam – macam yaitu antara lain meningkatkan produktivitas mereka
baik dalam pekerjaan- pekerjaan pertanian, maupun terutama diluar petanian.

Akhirnya program pemindahan mereka kleuar jawa, yatitu melalui


program transmigarasi umum maupun khusus (bagi proyek – proyek PIR)
sungguh – sungguh akan sangat membantu meringankan pemecahan masalah
penduduk di Jawa. Hasil hasil dari program ini telah mulai terlibat dalam bentuk
berkurangnya penguasaan tanah dibawah 0,5 ha, dijawa maupun diluar jawa.
Penyediaan tanah pertanian/perkebunan diluar jawa, yang telah dipersiapkan
dengan baik, adalah merupakan kunci krasan tidaknya para transmigrasi dari jawa.

Hal 81
BAB VI

PENUTUP

Dalam bab pendahuluan kita telah mengutip kesimpulan seminar P3PK,


(LSPK, PPSPK) yang diselenggarakan bersama SEADAG tahun 1975, bahwa
untuk menyusun kebijaksanaan dan strategi pembangunan pedesaan yang
memberi kemungkinan berhasil diperlukan 4 gagasan yaitu: (1) strategi harus
koheren;(2) sifat program harus luwes;(3) harus ada kebijaksanaan politik yang
tegas;(4) harus ada kebijaksanaan mengikutertakan rakyat.

Berhubung dengan 4 gagasan esensisal ini maka P3PK-UGM dalam


kegiatan penelitiannya selalu mencari bahan bahan dan data penguat untuk
merumuskan startegi dan kebijaksanaan pembangunan desa yang terpadu itulah
sebabnya setiap tahun dilaksanakan penelitian-penelitian IRD dengan kasus
kabuapten yang berbeda dengan tujuan memperoleh data data yang dapat
diperbandingkan. Ini sejalan dengan upaya terus menerus dari pemerintahan
dalam hal ini departemen dalam negeri melalui pengembangan sistem UDKP dan
LKMD.

Sementara itu dalam penjabaran lebih lanjut dari kesimpulan seminar


bandung ditekankan perlunya pembangunan atau perwujudan keadilan, yang
menunjukkan pada strategi pembangunan partisipasi, itulah isi dan tujuan
penelitian IRD terutama dikabupaten Boyolali yang mencakup partisipasi
masyarakat desa dalam proyek-proyek inpres, program bantuan pembangunan
desa (Bangdesh) dan lembaga sosial desa.

Ciri – ciri pembangunan pedesaan yang terpadu dan partisipatif inilah


yang kiranya perlu terus digali dan dikembangkan, terpadu dalam kaitan dengan
mutlak pelunya koordinasi anatra instansi – instansi yang menangani program
pembangunan desa (dan pedesaan), dan partisipasi dalam memberikan jaminan
terjangkaunya kelompok – kelompok sasaran oleh program – program
pembangunan desa yang dikembangkan.

Hal 82
Buku kecil ini yang semula bertujuan amat sederhana untuk memberikan
sekedar ikhtisar atau rangkuman penelitian – penelitian P3PK tentang IRD, telah
berkembang menjadi semacam upaya pengarahan bagi penelitian – penelitian
P3PK dimasa mendatang. Arah dari penelitian – penelitian P3PK dimasa datang
adalah analisa masalah peluang kerja (dan peluang berusaha) dipedesaan, masalah
partisipasi atau peran serta mayarakat, termasuk pengembangan kelembagaan
sosial untuk lebih memungkinkan komunikasi guna penyusunan perencanaan –
perencanaan yang lebih baik, dan maslaah pembangun desa terpadu. Untuk lebih
memantapkan pemikiran – pemikiran yang berkembang P3PK amat percaya
manfaat studi sejarah agraria yang mampu mempertajam pemahaman masalah –
masalah masa kini berdasarkan pengalaman masa lampau.

Hal 83
Hal 84
BAGIAN II
KOMUNIKASI DAN KADERISASI DALAM
PEMBANGUNAN PEDESAAN

Intisari Laporan Penelitian P3PK (LSPK) UGM

1974 – 1981

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo

HAL 85
Hal 86
BAB VII

PENDAHULUAN

I. Dalam menghadapi perubahan masyarakat yang eksistensif diperlukan


upaya kultural. Defenisi baru dari cara menyusun kehidupan, hubungan
manusiawi yang tepat dan makna- makna hidup yang pokok hendaknya diberi
ruang lingkup bergerak bagi nilai – nilai dan norma – norma baru untuk
memperoleh keseimbangan baru dalam mengatur hidup, baik secara
perseorangan maupun kelompok, besar kemungkinan didalam keadaan itu
diketemukan bentuk – bentuk kebudayaan baru, yang memberi makna bagi
kehidupan masyarakat.

Sintese kultural itu hendaknya sesuai dengan kesempatan – kesempatan


serta interaksi yang ada. Dalam artian ini nilai – nilai dapat berfungsi sebagai
jembatan, membantu masyarakat melangsungkan eksistensinya. Dengan
melengkapinya dengan ketentuan- ketentuan(defenisi) serta cara-cara
(proedur), baru nilai – nilai itu merupakan kekuatan yang mampu mengarahkan
ketaatan serta memolakan struktur serta manusia yang baru. Nilai-nilai itu
dapat memantapkan stbilitas sosial dengan sanksi pokok yang ada padanya.

II. Dalam hubungan diatas seni budaya dapat didefenisikan sebagai kesatuan
campuran atau peleburan dari fase alam yang teratur, terbentuk dan terwujud
berulang kali dengan fasenya yang belum lengkap. Berlangsung terus dan
karena baru belum menentu. Seni budaya berfungsi untuk mencipta dan
meneruskan makna dari kehidupan masyarakat dalam bentuk – bentuk
imajinatif. Seni budaya juga meneruskan adanya kebiasaan
mendramastisasikan maknanya, shingga mengajar kita bertindak. Semua seni
budaya adalah medium dari transmisi itu. Maka kultur dan kontinuitas kultur
itu, dalan perjalaannnya dari suatu fase ke fase lain dalam perkembangannya
sangat ditentukan oleh seni budaya.

Maka semua monumen dari masa lampau adalah monument estetis seni
suara, seni tari, seni bangunan, seni sastra dipakai untuk mengkomunikasikan
upacara – upacara, yang menyusun ikatan - ikatan

Hal 87
Sosial manusia. Dalam upacara itu dipersatukan pengalaman – pengalaman
praktis, sosial dan pendidikan sebagai kesatuan harmonis dari bentuk estetis,
upacara itu memasukkan nilai – nilai sosial dalam pengalaman.
Seniman menciptakan bentuk yang kemungkinan partisipasi dalam
kehidupan masyarakat. Partisipasi memerlukan komunikasi dan komunikasi itu
memerlukan bentuk ekspresi. Melalui bentuk bentuk itu seniman memlihara
kehidupan perasaan dari maknaserta tujuan yang melampaui adat kebiasaan.
Diungkapkan kemungkinan – kemungkinan dalam tindakan manusia serta
pengalaman – pengalaman yang baru tumbuh dan mulai tumbuh.
Karena seni budaya menggambarkan kemungkinan –kemungkinan dalam
tindakan, memberikan makna nya serta membayangkan hasilnyanya, maka
dalam masa transisi, seperti digambarkan diatas, studi atau pengetahuan seni
budaya mempunyai arti penting, karena seni budaya mengkomunikasikan nilai
– nilai yang mendasari tindakan manusia dengan menyertai gambaran akan
hasil atau akibatnya. Rasa kepuasan dan tekanan jutru nilai – nilai yang dapat
mengorganisasikan tindakan-tindakan manusia dengan memberi tujuan itu ,
sangat dibutuhkan dalam amsa transisi.

III. Perlu diberi tekanan disini hubungan anatara seni budaya dan kehidupan
kolektif sebab dalam hubungan ini berinteraksi dapat berhasil baik yaitu antara
kreativitas pribadi seseorang dan kesadaran akan potensi kreativitas untukn
berkomunikasi dan meranakan makna.

Ekspresi kreatif dapat dipandang sebagai aktivitas kolektif dan


perseoranagan yang mempengaruhi pengalaman manusia serta memberi
kemungkinan kepada kita untuk mendefenisian diri kita atau identitas kita.

Dalam pelajaran seni budaya tidak dapat dilupakan fungsi komunikatif


serta makna yang dikandung. Makna itu tidak hanya terdapat pada asal, tetapi
juga dalam tujuannya yang hendak dicapai dengan perkataan lain kecuali ciri –
ciri arkeologis perlu pula diuraikan ciri-ciri efektifnya yang dimuat dalam
simbolismenya.

Hal 88
IV. Disini dapat dibenarkan peranan yang diberikan kepada karya seni budaya
sebagai usaha mengatasi kesulitan, seperti pemisahan rakyat atas dan
kelompok – kelompok, ketidakmampuan memahami perubahan keadaan serta
makna dari berbagai lembaga-lembaga masyarakat baru. Komunikasi secara
total terhambat dan senimanlah yang mampu mewujudkannya.

Seni budaya dapat menjalankan komuniaksi efektif, antara lain dengan


melalui suatu bagian saja dapat menunjukkan keseluruhannya karena karya
seni budaya merupakan sistem yang koheran. Komunikasi itu dapat
menghubungkan satu sama lainnya, meskipun terpisah oleh ruang dan waktu.
Pada saat suatu masyarakat mulai kehilangan tradisinya serta tidak mampu
menghadapi perubahan-perubahan secra efektif. Mulai terasa untuk menggali
kembali nilai – nilai masal lampau dan memperoleh inspirasi dengan jalan
menciptaka keadaan masa lampau.

V. Dalam hubungan ini perlu ditekannkan, bahwa karya – karya seni budaya
mempunyai dua aspek, ialah (1) spiritualitas( kejiwaan yang kreatif), (2)
kehidupan sosial. pengalaman artistik yang unik tidak berarti suatu kehidupan
seni budaya yang mempunyai esistensi yang otonom kenyataannya ialah bahwa
seni budaya berakar kuat dalam kerangka kehidupan kolektif.
Karya karya seni budaya dari suatu masa tertentu berfungsi sebagai
penyaring dari pengalaman kolektif, karena merupakan wadah bagi berbagai
permasalahan- permasalahan jaman itu dalam suatu sistem yang koheren dan
gaya tertentu. Meskipun karya artis merupakan kristalisasi jamannya, akan
tetapi artis dapat melampaui struktur vsosial dan lingkungan, sehinhga
mempunyai sifat universal. Pada artis ada kesadaran akan dunia dan umat
manusia. dia mengintepretasikan dan merekonstruksikan sebagai kesatuan
tema – tema pada masa lampau.

VI. Berdasrkan metode analisa struktural ini suatu sejarah budaya tdak perlu
semata – mata berupa penjumlahan urutan kronologis berdasrkan kategori luar,
tetapi dapat mengungkapkan evolusi struktur- struktur artistik.

Sejarah kesenian yang memandang seni budaya simbol kosmis, dapat


menarik kesimpulan dari bentuk karya seni budaya, kategori fundamental dan
eksistensi manusia, tentang ada (being), pengetahuan, kepercayaan dan nilai
nilai. Keuntungan metode ini ialah

Hal 89
bahwa dapat diungkapkan makna dan struktur nilai melalui bentuk materil yang
mungkin tidak pernah dapat dirumuskan secara jelas oleh kebudayaan yang
menghasilkan. Dengan pendekatan ini sejarah kesenian dapat menejelaskan
kenyataan, bahwa pada satu pihak karya seni budaya ditentukan oleh peranan
sosialnya sebagai alat komunikasi dan pada pihak lain karya seni budaya sendiri
mengubah lingkungan sosial yang telah membangkitkannya. Hal ini akan
mempertajam metode kritik seni budaya dan mempertinggi kesadaran akan
kerangka sosial dari karya seni budaya itu.

Hal 90

You might also like