Sejarah Sutan Sahrir
Sejarah Sutan Sahrir
Sejarah Sutan Sahrir
Sutan Syahrir dikenal sebagai seorang pemikir dan juga perintis Republik Indonesia.
Ia juga memiliki julukan “Si Kancil” dan “The Smiling Diplomat”. Beliau dikenal
sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia ketika Indonesia baru saja merdeka.
Berkat jasa – jasanya, pemerintah Indonesia memberikan gelar kehormatan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia.
Sutan Syahrir lahir di kota Padang Panjang, Sumatera Barat tanggal 5 Maret 1909.
Ia memiliki saudara perempuan bernama Rohana Kudus. Ayahnya bernama
Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan
Palindih dan ibunya bernama Puti Rabiah yang berasal dari Kota Gadang, Agam,
Sumatera Barat.
Orang tua dari Sutan Syahrir merupakan orang terpandang di Sumatera. Ayahnya
menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan menjabat sebagai kepala jaksa
atau landraad pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Karena lahir dari keluarga
dengan ekonomi berkecukupan, Sutan Syahrir pada zaman kolonial Belanda bias
mendapatkan pendidikan dari mulai ELS (Europeesche Lagere School) atau
setingkat sekolah dasar.
Sebagai seorang pelajar ketika itu, Syahrir sering dikejar – kejar polisi Belanda di
Bandung karena sering membaca berita mengenai pemberontakan PKI yang terjadi
pada tahun 1926 yang pada saat itu terlarang untuk dibaca oleh para pelajar. Sutan
Syahrir juga merupakan redaksi dari Himpunan Pemuda Nasional yang kerap
berurusan dengan kepolisian Bandung karena kerap mengkritik pemerintahan
kolonial saat itu.
Di Belanda, Syahrir berkenalan dengan Salomon Tas yang merupakan Ketua Klub
Mahasiswa Sosial Demokrat, dan seorang wanita bernama Maria Duchateau yang
kelak menjadi istrinya yang dinikahi pada tahun 1932. Selama di Belanda, Syahrir
bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin oleh Mohammad
Hatta.
Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir melakukan pergerakan bawah tanah untuk
membangun jaringan persiapan perebutan kemerdekaan tanpa kerjasama dengan
Jepang seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Syahrir percaya bahwa pendudukan
Jepang sudah tidak lama dan Jepang tak mungkin menang melawan Sekutu
sehingga Indonesia harus cepat merebut kemerdekaan dari tangan Jepang.
Hal tersebut mengundang kekecewaan bagi para pemuda Indonesia terlebih ketika
mereka tau bahwa Jepang telah menyerah dan kalah dari Sekutu. Alasan inilah yang
kemudian membuat para pemuda menculik Soekarno dan Hatta pada tanggal 16
Agustus 1945 dan membawanya ke Rengasdengklok dengan tujuan menjauhkan
keduanya dari pengaruh Jepang serta mendesak agar segera memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia.
Menjadi Perdana Menteri Pertama Republik
Indonesia
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, Sutan Syahrir ditunjuk oleh
Soekarno menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia dan menjadi
perdana Menteri termuda di dunia dengan usia 36 tahun. Selain itu, ia juga
merangkap menjadi Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia yang baru saja merdeka. Tulisannya yang terkenal adalah Perjuangan
Kita.
Pasca kemerdekaan, Syahrir yang menjabat sebagai Perdana Menteri yang pernah
diculik oleh kaum Persatuan Perjuangan pada tanggal 26 Juni 1946 yang kecewa
atas diplomasi yang dilakukan oleh Sutan Syahrir dengan Kabinet Syahrir II kepada
pemerintah Belanda yang ingin merebut kembali Indonesia. Dalam diplomasinya,
Syahrir hanya menuntut pengakuan atas wilayah Jawa dan Madura sebagai wilayah
Indonesia, namun kaum Persatuan Perjuangan menginginkan kemerdekaan
sepenuhnya yang mencakup seluruh wilayah Nusantara yang dicetuskan oleh Tan
Malaka.
Pada tanggal 2 Juli 1946, Mayor Jenderal Soedarsono kemudian menyerbu penjara
tersebut dan berhasil membebaskan pimpinan aksi penculikan Sutan Syahrir.
Hingga Presiden Soekarno kemudian memerintahkan Soeharto yang kala itu
bertugas di Surakarta ditugaskan untuk menangkap Mayor Jenderal Soedarsono
yang akhirnya berhasil ditangkap oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa
tersebut kemudian dianggap sebagai kudeta pertama bagi Republik Indonesia yang
mengalami kegagalan. Selanjutnya, pada tanggal 2 Oktober 1946, Syahrir kembali
menjadi Perdana Menteri dan kemudian melanjutkan Perundingan Linggarjati pada
tanggal 15 November 1946.
Meskipun pada tahun 1947 Syahrir tidak menjadi perdana Menteri, namun ia tetap
aktif memperjuangkan kedaulatan di forum Internasional. Hal tersebut dibuktikan
dengan ditunjuknya Syahrir sebagai wakil Indonesia di PBB bersama Haji Agus
Salim. Ketika Indonesia digempur agresi militer Belanda pada tahun 1947, Syahrir
berpidato mengenai kedaulatan Indonesia dan perjuangan bangsa merebut
kemerdekaan di tanah mereka sendiri. Argumen yang dikeluarkan Syahrir tentang
kedaulatan dan perjuangan bangsa Indonesia mampu mematahkan argument Eelco
van Kleffens dari Belanda. Diplomasi Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir yang
membuat PBB ikut campur dalam permasalahan Indonesia-Belanda yang berakhir
pada desakan Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia.
Saat itu, Jepang melakukan berbagai upaya untuk membatasi penyebaran berita terkait
kekalahannya. Oleh karena itu, mereka pun berupaya untuk melakukan pelarangan siaran
radio. Namun, siapa yang menyangka kalau Sjahrir mengetahui kabar itu setelah
mendengarkan siaran radio luar negeri secara sembunyi-sembunyi.
Setelah mendengar berita mengejutkan itu, Sjahrir sempat memberitahukannya kepada Bung
Hatta. Namun, Bung Hatta ternyata menganggap kalau kabar tersebut hoax. Hatta pun
memilih untuk menunggu kepastian berita kekalahan Jepang dari Sekutu tersebut.
Permintaan tersebut mendapat penolakan dari Soekarno dan Hatta. Keduanya lebih memilih
untuk melaksanakan proklamasi lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang dibentuk dengan bantuan Jepang.
Sjahrir dan para golongan muda kemudian memilih pendekatan secara ekstrem. Mereka
menculik Soekarno dan Hatta, lalu mengasingkan keduanya ke Rengasdengklok. Selama
proses pengasingan, para pemuda mendesak keduanya untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, paling lambat pada 17 Agustus 1945.
Karena desakan secara terus-menerus dari Sjahrir serta para golongan muda, Soekarno
memilih untuk menyetujui permintaan tersebut. Keduanya pun dipulangkan ke Jakarta dan
akhirnya melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada pukul 10.00 WIB tanggal
17 Agustus 1945.
Keberadaan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia merupakan perwakilan dari Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Pada zaman tersebut, PSI mempunyai reputasi sebagai tempat
berkumpulnya orang-orang terpelajar.
Hanya saja, peran Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri berlangsung sangat singkat. Dia
menempati jabatan ini hanya selama 3 tahun, dari 1945 sampai 1947. Dalam jangka 3 tahun,
Sjahrir telah melakukan perombakan sistem kabinet sebanyak 3 kali, mulai dari Sjahrir I,
Sjahrir II, hingga Sjahrir III.
2. Menjadi Korban Penculikan
Pada masa pemerintahan Sjahrir, terdapat gejolak politik yang luar biasa. Apalagi, saat itu
Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan. Kabinet
Sjahrir II memperjuangkan pengakuan kedaulatan atas wilayah Jawa dan Madura. Sementara
itu, kelompok oposisi Persatuan Perjuangan menginginkan kedaulatan secara penuh.
Pada 26 Juni 1946, kelompok Persatuan Perjuangan melakukan aksi penculikan terhadap
Sjahrir. Penculikan ini dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedarsono. Dalam peristiwa tersebut,
kelompok oposisi juga menculik 14 pimpinan sipil lain.
Proses penculikan ini berlangsung sampai tanggal 1 Juli 1946. Peristiwa ini pun membuat
Presiden Soekarno marah besar. Akhirnya, pemerintah pun melaksanakan penangkapan
terhadap otak penculikan. Mayjen Soedarsono pun berhasil ditangkap pada 3 Juli 1946.