Makalah Ushul Fiqh
Makalah Ushul Fiqh
Makalah Ushul Fiqh
Disusun oleh : Wiwin Unarsih (1112046100097) Rizal Ardiansyah (1112046100098) Henis Hairunisa (1112046100119) Suci Duwiliyani (1112046100139)
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat dan karunia, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammd SAW. Ucapan terima kasih juga tidak lupa kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini, walaupun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini dapat bermanfaat dikemudin hari.
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi dengan hukum wadi untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushu l fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing.
1.2
Tujuan
Salah satu tujuan kami dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai syarat untuk memenuhi tugas perkuliahan khususnya pada pembelajaran Usul Fiqh pada semester 2 ini. Namun selain itu tujuan di bentuknya makalah ini yaitu sebagai bahan pembelajaran kami agar dapat mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai Mahkum Fiih(Obyek Hukum) dan Mahkum Alaih (Subyek Hukum).
1.3
Batasan Masalah
Pada makalah yang kami buat, penyusun membataskan ruang lingkup masalah hanya membahas mengenai Pegertian beserta syarat dari Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih
1.4
Rumusan Masalah
1.4.1 apa yang dimaksud dengan Mahkum Fiih ? jelaskan syarat-syaratnya ! 1.4.2 apa yang dimaksud dengan Mahkum Alaih ? jelaskan syarat-syaratnya !
1.5
Metode Penulisan Metodologi yang di terapkan dalam menyusun makalah ini yaitu :
a.
Metode Internet (Internet Research) Merupakan suatu metode untuk mengumpulkan informasi dengan memanfaatkan teknologi jaringan internet.
b.
Metode Pustaka Merupakan suatu metode untuk mengumpulkan informasi dengan menggunakan studi pustaka atau dengan modul maupun buku pelajaran.
1.6
Sistematika Penulisan Makalah ini terbagi dalam 3 (tiga) bab, uraian singkat mengenai masing-masing bab adalah sebagai berikut :
Bab 1 Pendahuluan Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembuatan Makalah, tujuan yang diharapkan untuk mengatasi permasalahan, permasalahan yang dihadapi, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab 2 Pembahasan Masalah Berisikan uraian tentang analisa masalah yang berdasarkan pada teoriteori yang ada pada pembahasan Makalah ini.
Bab 3 Kesimpulan dan Saran Berisikan kesimpulan mengenai apa saja yang telah di hasilkan dan saran-saran mengenai sesuatu yang belum terdapat pada makalah ini.
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Mahkum Fiih (obyek hukum) Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek
hukum syara (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam SyafeI, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syari. 1 Ulama usul fiqh menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Mahkum fih ialah objek hukum syara atau perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya.2 Misalnya firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu:
)1: (
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Firman di atas berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji. Kemudian memenuhi janji ini dijadikan wajib oleh Allah SWT.
1 2
http://imronfauzi.wordpress.com/2008/12/29/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/ http://nurminan.blogspot.com/2012/11/makalah-mahkum-fih-mahkum-alaih.html
) (
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa,,, Pengharaman yang diambil dari firman tersebut berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa, maka ia dijadikan sebagai yang diharamkan.
) (
Artinya : ...Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya... Firman diatas berhubungan dengan salah satu perbuatan manusia, yaitu menafkahkan harta yang buruk-buruk, kemudian ia dijadikan makruh. Dari uraian-uraian diatas, jelaslah behwa semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara. Jadi perbuatan itulah yang dinamakan mahkum fih dalam hukum syara.
2.2
Syarat-syarat Mahkum Fiih Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, ia harus memenuhi tiga syarat :
1.
Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya.
2.
Harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukumhukumnya.
3.
Bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.3[2]
3[2] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 40-41.
Syarat lain dari mahkum fiih adalah : Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakannya karena Allah semata. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan: a) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak. b) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain. c) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
d)
2.3
PengertianMahkum Alaih Mahkum alaihi ( ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya
orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[13] Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: ) ( . Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali. Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
2.4
Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain. Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya. (Koto, 2006: 157-158)
2.5
Hal-hal yang menghalangi taklif (beban hukum) Keahlian (kecakapan) para mukallaf yang dibebani tugas hukum menjadi hilang, bila
timbul yang menghilangkan kecakapannya (menunaikan). Keahlian dibagi menjadi dua : a) Keahlian wajib, yakni : layak dan pantas menjalankan apa yang diwajibkan, baik atas yang menjalankan, maupun baginya. b) Keahlian menunaikan, yakni kelayakan dan kepantasan orang yang ditugaskan untuk menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang dipandang oleh syara. Pergantungan keahlian wajib pada manusia, ialah : kemanusiaanya, atau yang diberikan pernilaian sebagai seorang manusia, seperti badan-badan wakaf. Adapun keahlian menunaikan itu ialah tamyiz dan akal. Akal yang kurang seperti akal anak kecil yang mumayyiz, menetapkan keahlian yang kurang dan akal yang sempurna, memberi keahlian yang sempurna. 1) Gila Gila itu berlawanan dengan satu syarat yang penting dari ibadat, yakni niat. Orang yang gila tidak dapat melakukan niat, atau niat tidak dipandang sah. Dan gila itu ada yang
berkepanjangan dan ada yang tidak berkepanjangan. Ada yang datang, ada yang memang telah bersemi dalam diri orang gila itu. 2) Setengah gila Orang setengah gila dihukum sama dengan anak sudah mumayyiz. Yang dikatakan setengah gila ialah orang yang kadang-kadang terang fikirannya serupa dengan orang yang berakal dan terkadang-kadang terganggu akalnya. 3) Lupa Lupa tidak menghilangkan kewajiban dan mengerjakan tugas, karena orang lupa dipandan sempurna akalnya. Tidaklah terlepas dari hak-hak hamba, karena ia lupa. Adapun dari hak-hak Allah, maka apakah kita pandang berdosa karena keluan itu, dan apakah pekerjaan yang dilakukan dengan karena kelupaan itu menghasilkan hukum. 4) Tidur Tidur suatu keadaan yang menghalangi kita memahkan khitab. Maka tidur itu mewajibkan pentakhiran khitab menunaikan hukum sehingga terbangun. Hal ini memberi pengertian bahwa wajib tidak gugur, hanya menunaikannya yang ditakhirkan sehingga terjaga atau teringat. 5) Pingsan Pingsan menghalangi kita memahamkan khitab bahkan lebih kuat dari pada tidur. Karen itu orang yang pingsan disamakan dengan orang tidur, bahkan lebih. Lantaran itulah dihukum batal sembahyang orang yang pingsan disegenap keadaan, walau dalam sembahyang sekalipun. 6) Sakit Sakita tidak berlawanan dengan kesanggupannya mengerjakan ibadat, karena sakit itu tidak merusakan akal, dan tutur. Hanya melemahkan saja. Karena itu di suruhlah kepada orang yang sedang sakit mengerjakan kewajiban sebatas kemampuannya.
7)
Haid dan Nifas Tidak menggugurkan kesanggupan menanggung kewajiban dan menunaikannya. Hanya saja lantaran syara telah mensyaratkan suci untuk sah bersembahyang, tidaklah sah sembahyang yang dikerjakan selam dalam haid dan bernifas itu.
8)
Mati Mati menggugurkan kewajiban yang dibebankan kepada manusia. Dan terletaklah atas
pundaknya dosa akibat kecerobohan dan kesalahan selama hayatnya. Hukum-huku yang dibebankan atasnya untuk orang lain tetap berlaku tidak digugurkan. Umpamanya jika ia menyimpan amanah orang (yang masih dalam tangannya), atau rampasan, maka semuanya wajib dikembalikan kepada yang empunya, sesudah ia mati. Tentang hal hutang, maka tidak lagi dalam pertanggungannya; karena sesudah mati tak ada pertanggungan lagi. Namun jika ia tidak meningglkan harta, atau ada yang menanggung untuk membayarnya sebelum ia mati, wajiblah hutang itu ditunaikan dari hartanya atau oleh yang menanggung. 9) Mabuk Mabuk jika tidak dipandang maksiat, seperti mabuk karena terpaksa meminum minuaman yang memabukkan atau diminumnya untuk obat, maka diserupakan hukum orang mabuk itu dengan orang pingsan. Tapi jika mabuk karena maksiat, tidaklah digugurkan sesuatu kewajibannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghukum dan menakutkannya. 10) Dalam Perjalanan Yang dimaksud dengan perjalanan dalam pembahasan ini adalah keadaan tertentu dalam perjalanan yang menyulitkan seseorang untuk melakukan kewajiban agama. Kesulitan dalam perjalanan ini pada dasarnya tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum. meskipun demikian karena hukum syara menginginkan keringanan pada umatnya maka hukum syara memberikan kemudahan kepada seseorang dalam perjalanan itu.
11)
Jahil (ketidak tahuan tentang adanya hukum) Hukum Islam telah dijelaskan dalam sumber-sumbernya, baik dalam alquran, sunnah
maupun ijma ulama. Sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakannya dengan alasan tidak tahu. Tidak tahu seperti ini tidak dapat ditempatkan sebagai uzdur selama ia masih berada dalam lingkungan wilayah Islam. 12) Terpaksa Yang dimaksud dengan paksaan atau keadaan terpaksa ialah menghendaki seseorang melakukan pekerjaan yang yang bertentangan dengan keinginannya. Bila seseorang melakukan sesuatu diluar keinginannya untuk atau atas kehendak seseorang, berarti ia tidak rela berbuat demikian. Keadaan rela dan terpaksa itu merupakan dua hal yang berlawanan.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat kita kita simpulkan bahwa mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syarI, diantaranya perintah syari baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Sedangkan yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah. Pada dasarnya orang yang mukallaf adalah orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Namun ada kalanya seorang yang dibebani hukum tersebut menjadi hilang ataupun diberi keringanan oleh syara. Yaitu seperti yang dijelaskan diatas, beberapa hal yang bisa merubah hukum yang telah diwajibkan kepada seoran mukallaf.
3.2
Saran Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, diharapkan kritik dan saran untuk lebih baik lagi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dzazuli dan Nurul Aen. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam . Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Djalil, Basic. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Bakry, Sidi Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Syarifudin, Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Karim, Syafii. 2006. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Daftar Pustaka Dzazuli dan Nurul Aen. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam . Jakarta : Raja Grafindo Persada.