Reparasi Mutasi
Reparasi Mutasi
Reparasi Mutasi
REPARASI MUTASI
Disusun oleh:
Amanah Firdausa
11030234016 / KA 2011
Ainun Najih
12030234007 / KA 2012
Via Fitria
12030234024 / KB 2012
12030234215 / KA 2012
12030234221 / KA 2012
Ladhita Triprayoga
12030234227 / KA 2012
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2015
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A. Pengertian Mutasi.................................................................................... 3
B. Jenis-jenis Mutasi.................................................................................... 4
1. Berdasarkan Tempat Terjadinya ........................................................ 4
2. Berdasarkan Sumbernya .................................................................... 4
3. Berdasarkan Bagian yang Bermutasi ................................................. 5
4. Berdasarkan
C. Mekanisme Mutasi ................................................................................. 6
D. Laju Mutasi ............................................................................................
E. Penyebab Mutasi (Mutagen) .................................................................. 9
1. Mutagen Fisik .................................................................................... 9
2. Mutagen Kimiawi .............................................................................. 10
F.Mekanisme Perbaikan DNA ...................................................................
G. Beberapa Penyakit Akibat Mutasi........................................................... 11
1. Kanker ............................................................................................... 11
2. Avian Influenza A (H5N1) .................................................................12
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Genetika adalah salah satu cakupan ilmu biologi molekuler yang merupakan
ilmu pewarisan faktor keturunan (hereditas). Ilmu genetika ini meliputi studi
tentang apa yang dimaksud dengan gen, bagaimana gen dapat membawa
informasi genetik, gen direplikasikan dan dilewatkan dari generasi ke ganerasi,
dan bagaimana gen dapat mengekspresikan informasi di dalam organisme yang
akan menentukan karakteristik organisme yang bersangkutan.
Informasi genetik di dalam sel disebut genom. Genom sel diorganisasi di
dalam kromosom. Kromosom adalah suatu struktur yang mengandung DNA,
dimana DNA secara fisik membawa informasi herediter. Kromosom mengandung
gen yang merupakan segmen dari DNA (kecuali pada beberapa virus RNA),
dimana gen mengkode protein.
DNA adalah makromolekul yang tersusun atas unit berulang yang disebut
nukleotida. Setiap nukleotida terdiri atas basa nitrogen adenine (A), timin (T),
sitosin (cytosine, C), atau guanine (G); deoksiribosa (suatu gula pentose) dan
sebuah gugus fosfat. DNA di dalam sel terdapat sebagai rantai panjang nukleotida
yang berpasangan dan membelit menjadi satu membentuk struktur helix ganda
(double helix). Kedua rantai terkait oleh ikatan hidrogen yang terdapat di antara
basa - basa nitrogennya. Pasangan basa selalu terdapat dalam pola spesifik yaitu
adenine selalu berpasangan dengan timin, dan sitosin selalu berpasangan dengan
guanine. Akibat pasangan basa yang spesifik ini, maka sekuens basa pada satu
rantai menentukan sekuens basa pada rantai pasangannya, sehingga kedua rantai
dikatakan saling komplementer. Informasi genetik dikode oleh sekuens - sekuens
basa disepanjang rantai DNA. Struktur komplementer juga memungkinkan
duplikasi presisi DNA selama proses pembelahan sel.
Suatu gen menentukan suatu protein, dimana urutan nukleotida dalam DNA
menentukan urutan nukleotida dalam RNA yang selanjutnya menentukan urutan
asam amino dalam protein. Perkembangan biologi molekuler menjadi lebih
dipercepat
dengan
munculnya
rekayasa
genetika,
yang
memungkinkan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mutasi
Mutasi berasal dari kata Mutatus (bahasa latin) yang artinya adalah
perubahan. Mutasi didefenisikan sebagai perubahan materi genetik (DNA) yang
dapat diwariskan secara genetis keketurunannya. Istilah mutasi petama kali
digunakan oleh Hugo de Vries, untuk mengemukakan adanya perubahan fenotipe
yang mendadak pada bunga Oenothera lamarckiana dan bersifat menurun.
Ternyata perubahan tersebut terjadi karena adanya penyimpangan dari
kromosomnya. Seth wright juga melaporkan peristiwa mutasi pada domba jenis
Ancon yang berkaki pendek dan bersifat menurun. Penelitian ilmiah tentang
mutasi dilakukan pula oleh Morgan (1910) dengan menggunakan Drosophila
melanogaster (lalat buah). Akhirnya murid Morgan yang bernama Herman Yoseph
Muller berhasil dalam percobaannya terhadap lalat buah, yaitu menemukan mutasi
buatan dengan menggunakan sinar X.
Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi
secara tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisme hidup
yang bersifat terwariskan (heritable). Mutasi juga dapat diartikan sebagai
perubahan struktural atau komposisi genom suatu jasad yang dapat terjadi karena
faktor luar (mutagen) atau karena kesalahan replikasi. Peristiwa terjadinya mutasi
disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan dan
faktor penyebab mutasi disebut mutagen (mutagenic agent).
Perubahan urutan nukleotida yang menyebabkan protein yang dihasilkan
tidak dapat berfungsi baik dalam sel dan sel tidak mampu mentolerir inaktifnya
protein tersebut, maka akan menyebabkan kematian (lethal mutation). Mutasi
dapat mempengaruhi DNA maupun kromosom. DNA dapat dipengaruhi pada saat
sintesis DNA (replikasi). Pada saat tersebut faktor mutagen mempengaruhi
pasangan basa nukleutida sehingga tidak berpasangan dengan basa nukleutida
yang seharusnya (mismatch).
B. Jenis-jenis Mutasi
Mutasi gen adalah mutasi yang terjadi dalam lingkup gen. Peristiwa yang
terjadi pada mutasi gen adalah perubahan urutan-urutan DNA. Jenis-jenis
mutasi gen adalah sebagai berikut:
Mutasi salah arti (missens mutation), yaitu perubahan suatu kode genetik
(umumnya pada posisi 1 dan 2 pada kodon) sehingga menyebabkan asam
amino terkait (pada polipeptida) berubah. Perubahan pada asam amino
dapat menghasilkan fenotip mutan apabila asam amino yang berubah
merupakan asam amino esensial bagi protein tersebut. Jenis mutasi ini
dapat disebabkan oleh peristiwa transisi dan tranversi.
Mutasi diam (silent mutation), yaitu perubahan suatu pasangan basa dalam
gen (pada posisi 3 kodon) yang menimbulkan perubahan satu kode genetik
tetapi tidak mengakibatkan perubahan atau pergantian asam amino yang
dikode. Mutasi diam biasanya disebabkan karena terjadinya mutasi transisi
dan tranversi.
Mutasi tanpa arti (nonsense mutation), yaitu perubahan kodon asam amino
tertentu menjadi kodon stop. Hampir semua mutasi tanpa arti mengarah
pada inaktifnya suatu protein sehingga menghasilkan fenotip mutan.
Mutasi ini dapat terjadi baik oleh tranversi, transisi, delesi, maupun insersi.
Mutasi perubahan rangka baca (frameshift mutation), yaitu mutasi yang
terjadi karena delesi atau insersi satu atau lebih pasang basa dalam satu
gen sehingga ribosom membaca kodon tidak lengkap. Akibatnya akan
menghasilkan fenotip mutan.
c) Mutasi kromosom
Mutasi kromosom merupakan mutasi yang disebabkan karena perubahan
struktur kromosom atau perubahan jumlah kromosom. Istilah mutasi pada
umumnya digunakan untuk perubahan gen, sedangkan perubahan kromosom
yang dapat diamati dikenal sebagai variasi kromosom atau mutasi besar/ gross
mutation atau aberasi. Mutasi kromosom sering terjadi karena kesalahan pada
meiosis maupun pada mitosis. Pada prinsipnya, mutasi kromosom digolongkan
rnenjadi dua, yaitu sebagai berikut:
Duplikasi
Translokasi.
Translokasi ialah mutasi yang mengalami pertukaran segmen
kromosom ke kromosom non-homolog. Macam-macam translokasi antara
lain sebagai berikut:
-
Translokasi Robertson
Translokasi
Robertson
ialah
translokasi
yang
terjadi
karena
Inversi
Inversi ialah mutasi yang mengalami perubahan letak gen-gen, karena
selama meiosis kromosom terpilin dan terjadi kiasma. Inversi terjadi
karena kromosom patah dua kali secara simultan setelah terkena energi
radiasi dan segmen yang patah tersebut berotasi 180 o dan menyatu
kembali. Macam-macam inversi antara lain sebagai berikut:
Isokromosom
lsokromosom ialah mutasi kromosom yang terjadi pada waktu
menduplikasikan diri, pembelahan sentromernya mengalami perubahan
arah pembelahan sehingga terbentuklah dua kromosom yang masingmasing berlengan identik (sama). Dilihat dari pembelahan sentromer maka
isokromosom disebut juga fision, jadi peristiwanya berlawanan dengan
translokasi Robertson (fusion) yang mengalami penggabungan.
Katenasi
Katenasi ialah mutasi kromosom yang terjadi pada dua kromosom
non-homolog yang pada waktu membelah menjadi empat kromosom,
saling bertemu ujung-ujungnya sehingga membentuk lingkaran.
C. Mekanisme Mutasi
D. Laju Mutasi
Laju mutasi adalah peluang terjadinya mutasi pada sebuah gen dalam satu
generasi atau dalam pembentukan satu gamet. Pengukuran laju mutasi penting
untuk dilakukan di dalam genetika populasi, studi evolusi, dan analisis pengaruh
mutagen lingkungan.
Mutasi spontan biasanya merupakan peristiwa yang sangat jarang terjadi
sehingga untuk memperkirakan peluang kejadiannya diperlukan populasi yang
sangat besar dengan teknik tertentu. Salah satu teknik yang telah digunakan untuk
mengukur laju mutasi adalah metode ClB yang ditemukan oleh Herman Muller.
Metode ClB mengacu kepada suatu kromosom X lalat Drosophila melanogaster
yang memiliki sifat-sifat tertentu. Teknik ini dirancang untuk mendeteksi mutasi
yang terjadi pada kromosom X normal.
Kromosom X pada metode ClB mempunyai tiga ciri penting, yaitu (1)
inversi yang sangat besar (C), yang menghalangi terjadinya pindah silang pada
individu betina heterozigot; (2) letal resesif (l); dan (3) marker dominan Bar (B)
yang menjadikan mata sempit (lihat Bab VII). Dengan adanya letal resesif,
10
individu jantan dengan kromosom tersebut dan individu betina homozigot tidak
akan bertahan hidup.
Persilangan pertama dilakukan antara betina heterozigot untuk kromosom
ClB dan jantan dengan kromosom X normal. Di antara keturunan yang diperoleh,
dipilih individu betina yang mempunyai mata Bar untuk selanjutnya pada
persilangan kedua dikawinkan dengan jantan normal. Individu betina dengan mata
Bar ini jelas mempunyai genotipe heterozigot karena menerima kromosom ClB
dari tetua betina dan kromosom X normal dari tetua jantannya. Hasil persilangan
kedua yang diharapkan adalah dua betina berbanding dengan satu jantan. Ada
tidaknya individu jantan hasil persilangan kedua ini digunakan untuk
mengestimasi laju mutasi letal resesif.
Oleh karena pindah silang pada kromosom X dihalangi oleh adanya inversi
(C) pada individu betina, maka semua individu jantan hasil persilangan hanya
akan mempunyai genotipe +
dari tetua jantan awal (persilangan pertama). Sementara itu, individu jantan
dengan kromosom X ClB selalu mengalami kematian. Meskipun demikian,
kadang-kadang pada persilangan kedua tidak diperoleh individu jantan sama
sekali. Artinya, individu jantan yang mati tidak hanya yang membawa kromosom
ClB, tetapi juga individu yang membawa kromosom X dari tetua jantan awal. Jika
hal ini terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa kromosom X pada tetua jantan
awal yang semula normal berubah atau bermutasi menjadi kromosom X dengan
letal resesif. Dengan menghitung frekuensi terjadinya kematian pada individu
jantan yang seharusnya hidup ini, dapat dilakukan estimasi kuantitatif terhadap
laju mutasi yang menyebabkan terbentuknya alel letal resesif pada kromosom X.
Ternyata, lebih kurang 0,15% kromosom X terlihat mengalami mutasi semacam
itu selama spermatogenesis, yang berarti bahwa laju mutasi untuk mendapatkan
letal resesif per kromosom X per gamet adalah 1,5 x 10-3.
11
Pada metode ClB tidak diketahui laju mutasi gen tertentu karena kita tidak
dapat memastikan banyaknya gen pada kromosom X yang apabila mengalami
mutasi akan berubah menjadi alel resesif yang mematikan. Namun, semenjak
ditemukannya metode ClB berkembang pula sejumlah metode lain untuk
mengestimasi laju mutasi pada berbagai organisme. Hasilnya menunjukkan bahwa
laju mutasi sangat bervariasi antara gen yang satu dan lainnya. Sebagai contoh,
laju mutasi untuk terbentuknya tubuh berwarna kuning pada Drosophila adalah
10-4 per gamet per generasi, sementara laju mutasi untuk terbentuknya resitensi
terhadap streptomisin pada E. coli adalah 10-9 per sel per generasi.
12
13
14
Eksisi
Perbaikan dengan cara eksisi merupakan proses enzimatik bertahap
yang diawali dengan pembuangan dimer dari molekul DNA, diikuti oleh
resintesis segmen DNA baru, dan diakhiri oleh ligasi segmen tersebut
dengan untai DNA. Ada dua mekanisme eksisi yang agak berbeda. Pada
mekanisme pertama, enzim endonuklease melakukan pemotongan (eksisi)
pada dua tempat yang mengapit dimer. Akibatnya, segmen yang membawa
dimer akan terlepas dari untai DNA. Pembuangan segmen ini kemudian
diikuti oleh sintesis segmen baru yang akan menggantikannya dengan
bantuan enzim DNA polimerase I. Akhirnya, segmen yang baru tersebut
diligasi dengan untai DNA sehingga untai DNA ini sekarang tidak lagi
membawa dimer.
Pada mekanisme yang kedua pemotongan mula-mula hanya terjadi
pada satu tempat, yakni di sekitar dimer. Pada celah yang terbentuk akibat
pemotongan tersebut segera terjadi sintesis segmen baru dengan urutan basa
yang benar. Pada waktu yang sama terjadi pemotongan lagi pada segmen
yang membawa dimer sehingga segmen ini terlepas dari untai DNA. Seperti
pada mekanisme yang pertama, proses ini diakhiri dengan ligasi segmen
yang baru tadi dengan untai DNA.
Rekombinasi
Berbeda dengan dua mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya,
perbaikan kerusakan DNA dengan cara rekombinasi terjadi setelah replikasi
berlangsung. Oleh karena itu, mekanisme ini sering juga dikatakan sebagai
rekombinasi pascareplikasi.
Ketika DNA polimerase sampai pada suatu dimer, maka polimerisasi
akan terhenti sejenak untuk kemudian dimulai lagi dari posisi setelah dimer.
Akibatnya, untai DNA hasil polimerisasi akan mempunyai celah pada posisi
dimer. Mekanisme rekombinasi pada prinsipnya merupakan cara untuk
menutup celah tersebut menggunakan segmen yang sesuai pada untai DNA
cetakan yang membawa dimer. Untuk jelasnya, skema mekanisme tersebut
dapat dilihat pada Gambar 11.8.
15
16
Ketika sistem SOS aktif, sistem penyuntingan oleh DNA polimerase III
justru menjadi tidak aktif. Hal ini dimaksudkan agar polimerisasi tetap dapat
berjalan melintasi dimer. Untai DNA yang baru akan mempunyai dua basa adenin
berurutan pada posisi dimer (dalam kasus timin dimer). Dengan sendirinya, kedua
adenin ini tidak dapat berpasangan dengan timin karena kedua timin berada dalam
bentuk dimer. Sistem penyuntingan tidak dapat memperbaiki kesalahan ini karena
tidak aktif, sedangkan sistem perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat
memperbaikinya. Namun, karena jumlah dimer di dalam setiap sel yang
mengalami iradiasi UV biasanya begitu banyak, maka sistem perbaikan salah
pasangan tidak dapat memperbaiki semua kesalahan yang ada. Akibatnya, mutasi
tetap terjadi. Pengaruh mutagenik iradiasi UV memang hampir selalu merupakan
akibat perbaikan yang rentan terhadap kesalahan.
Radiasi pengion
Radiasi pengion mempunyai energi yang begitu besar sehingga molekul air
dan senyawa kimia lainnya yang terkena olehnya akan terurai menjadi fragmenfragmen bermuatan listrik. Semua bentuk radiasi pengion akan menyebabkan
17
pengaruh mutagenik dan letal pada virus dan sel. Radiasi pengion meliputi sinar X
beserta partikel-partikelnya dan radiasi yang dihasilkan oleh unsur-unsur
radioaktif seperti partikel , , dan sinar .
Intensitas radiasi pengion dinyatakan secara kuantitatif dengan beberapa
macam cara. Ukuran yang paling lazim digunakan adalah rad, yang didefinisikan
sebagai besarnya radiasi yang menyebabkan absorpsi energi sebesar 100 erg pada
setiap gram materi.
Frekuensi mutasi yang diinduksi oleh sinar X sebanding dengan dosis
radiasi yang diberikan. Sebagai contoh, frekuensi letal resesif pada kromosom X
Drosophila meningkat linier sejalan dengan meningkatnya dosis radiasi sinar X.
Pemaparan sebesar 1000 rad meningkatkan frekuensi mutasi dari laju mutasi
spontan sebesar 0,15% menjadi 3%. Pada Drosophila tidak terdapat ambang
bawah dosis pemaparan yang yang tidak menyebabkan mutasi. Artinya,
betapapun rendahnya dosis radiasi, mutasi akan tetap terinduksi.
Pengaruh mutagenik dan letal yang ditimbulkan oleh radiasi pengion
terutama berkaitan dengan kerusakan DNA. Ada tiga macam kerusakan DNA
yang disebabkan oleh radiasi pengion, yaitu kerusakan pada salah satu untai,
kerusakan pada kedua untai, dan perubahan basa nukleotida. Pada eukariot radiasi
pengion dapat menyebabkan kerusakan kromosom, yang biasanya bersifat letal.
Akan tetapi, pada beberapa organisme terdapat sistem yang dapat memperbaiki
kerusakan kromosom tersebut meskipun perbaikan yang dilakukan sering
mengakibatkan delesi, duplikasi, inversi, dan translokasi.
Radiasi pengion banyak digunakan dalam terapi tumor. Pada prinsipnya
perlakuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan frekuensi kerusakan kromosom
pada sel-sel yang sedang mengalami mitosis. Oleh karena tumor mengandung
banyak sekali sel yang mengalami mitosis sementara jaringan normal tidak, maka
sel tumor yang dirusak akan jauh lebih banyak daripada sel normal yang dirusak.
Namun, tidak semua sel tumor mengalami mitosis pada waktu yang sama. Oleh
karena itu, iradiasi biasanya dilakukan dengan selang waktu beberapa hari agar
sel-sel tumor yang semula sedang beristirahat kemudian melakukan mitosis.
18
Diharapkan setelah iradiasi diberikan selama kurun waktu tertentu, semua sel
tumor akan rusak.
perubahan
pengaturan
normal
kontrol
molekuler
perkembangbiakan sel. Perubahan genetik tersebut dapat berupa aktivasi protoonkogen dan atau inaktivasi gen penekan tumor yang dapat memicu
tumorigenesis dan memperbesar progresinya. Banyak sekali percobaan (bahkan
sampai jutaan) telah dilakukan untuk mempelajari karakteristika suatu kanker
dengan menggunakan hewan percobaan seperti tikus, mencit, anjing, domba,
bahkan organisme bersel tunggal, dll.
Sel kanker yang tak mampu berinteraksi secara sinkron dengan lingkungan
dan membelah tanpa kendali bersaing dengan sel normal dalam memperoleh
bahan makanan dari tubuh dan oksigen. Tumor dapat menggantikan jaringan
sehat dan terkadang menyebar ke bagian lain dari tubuh yakni suatu proses
pemendekan umur yang lazim disebut metastasis. Potensi metastasis ini
diperbesar oleh perubahan genetik yang lain. Jika tidak diobati, kebanyakan
kanker mengarah ke pesakitan dan bahkan kematian. Kanker muncul melalui
perubahan genetik rangkap/ganda dalam sel induk dari organ tubuh. Sebagian
perubahan yang tidak dapat dihapuskan akan terus menumpuk bersamaan
dengan bertambahnya umur dan tidak dapat dihindari, akan tetapi predisposisi
genetik, faktor lingkungan dan yang paling banyak yakni gaya hidup adalah
factor-faktor yang penting. Beberapa orang lahir dengan mutasi tertentu dalam
DNA-nya yang dapat mengarah ke kanker. Sebagai contoh, seorang wanita
lahir dengan mutasi pada gen yang disebut BRCA1 akan membentuk kanker
payudara atau rahim jauh lebih banyak daripada wanita yang tidak mempunyai
mutasi demikian.
19
diri
akan
tetapi
juga
dapat
meningkatkan
sifat
20
virus H5N1 dalam sel hospesnya (Hatta M, et. al. 2001). Disamping itu adanya
substitusi pada nonstructural protein (Asp92Glu), menyebabkan H5N1 resisten
terhadap interferon dan tumor necrosis factor (TNF-) secara invitro (Seo
SH, et.al. 2002). Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes
setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di
permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan
mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan
menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi
membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali
sel-sel disekitarnya.
Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil
dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel
nasofaring (Peiris JS,et.al. 2004), dan di dalam sel gastrointestinal (de Jong
MD, 2005, Uiprasertkul M,et.al.2005). Virus H5N1 juga dapat dideteksi di
dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien (WHO,2005). Fase
penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus
bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya.
Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan
reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel
hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada
manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu
burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat
pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung Nacethylneuraminic acid -2,3-galactose (SA -2,3-Gal), dimana molekul ini
berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada
permukaan sel manusia adalah SA -2,6-galactose (SA -2,6-Gal), sehingga
secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena
perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1
asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor
pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan
mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varian-varian
21
baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia (Russel
CJ and Webster RG.2005, Stevens J. et. al. 2006).
22
BAB III
KESIMPULAN
23