Penanganan Hewan Percobaan
Penanganan Hewan Percobaan
Penanganan Hewan Percobaan
Disusun oleh :
Kelompok C2
2010
Volume pemberian obat pada hewan percobaan tidak boleh melebihi batas
maksimal yang telah ditetapkan, seperti yang ditunjukkan di bawah ini.
Hewan Volume Maksimal ( ml ) untuk Rute pemberian
Percobaan i.v i.m i.p s.c p.o
Mencit 0,5 0,05 1 0,5 1
Tikus 1 0,1 3 2 5
Kelinci 5-10 0,5 10 3 20
Marmot 2 0,2 3 3 10
(“Subarnas dkk, 2008”).
V. Data Pengamatan
Cara memegang
1. Mencit
Angkat mencit bagian ekornya dan usahakan mencit meregang badannya lalu
cengkram tengkuknya dengan tangan kiri sampai mencit tidak bisa bergerak kesana
kemari dan bagian mulut mencit akan terbuka sendirinya.
VI. Pembahasan
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah di bidang kedokteran atau
biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan
pembangunan keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang
dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke-16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964.
Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu
tentang segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian.
Disebutkan, perlunya dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang
biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia.
Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang
memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya
diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada
manusia. (Sulaksono, M.E., 1987)
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana
faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu :
1. Hewan liar.
2. Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3. Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).
4. Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistem isolator. Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut
di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan.
Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan
yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap
hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan
percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman. (Sulaksonono,
M.E., 1987)
Jenis-jenis Hewan percobaan:
No Jenis hewan percobaan Spesies
1. Mencit (Laboratory mince) Mus musculus
2. Tikus (Laboratory Rat) Rattus norvegicus
3. Golden (Syrian) Haruster Mescoricetus auratus
4. Chinese Haruster Cricetulus griseus
5. Marmut Cavia porcellus (Cavia cobaya)
6. Kelinci Oryctolagus cuniculus
7. Mongolian gerbil Meriones unguiculatus
8. Forret Mustela putorius furo
9. Tikus kapas (cotton rat) Sigmodon hispidus
10. Anjing Canis familiaris
11. Kucing Fells catus
12. Kera ekor panjang (Cynomolgus) Macaca fascicularis (Macaca irus)
13. Barak Macaca nemestrina
14. Lutung/monyet daun Presbytis ctistata
15. Kera rhesus Macaca mulata
16. Chimpanzee Pan troglodytes
17. Kera Sulawesi Macaca nigra
18. Babi Sus scrofa domestica
19. Ayam Gallus domesticus
20. Burung dara Columba livia domestica
21. Katak Rana sp.
22. Salamander Hynobius sp.
23. Lain-lain
1. Faktor internal
Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
variasi biologik (usia, jenis kelamin), ras dan sifat genetik, status kesehatan dan
nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan.
Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada usia yang
tepat pada fase hidup hewan tersebut, efek farmakologi yang dihasilkan akan lebih
baik. Beda hasilnya jika usia hewan tersebut masih bayi. Jenis kelamin juga
berpengaruh di lihat dari literature bobot badan hewan akan berbeda. Hal ini
berpengaruh pada dosis yang akan di gunakan pada hewan percobaan tersebut.
Begitu juga dengan ras dan sifat genetik, berpengaruh karena jika menggunakan
hewan percobaan dengan ras dan sifat genetik yang berbeda-beda, maka hasil
percobaannya juga akan berbeda. Hal ini karena gen pada setiap individu berbeda.
Dengan gen yang berbeda-beda dan karakteristik yang berbeda pula, maka masing-
masing memiliki perbedaan dalam perilaku, kemampuan imunologis, infeksi
penyakit, kemampuan dalam memberikan reaksi terhadap obat, kemampuan
reproduksi dan lain sebagainya.
Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil percobaan karena efek
yang dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan berlangsung cepat
efek yang di hasilkan.
Selain itu, bobot tubuh dan luas permukaan tubuh juga berpengaruh dalam hasil
percobaan. Bobot dan luas permukaan tubuh hewan yang besar akan lebih
membutuhkan lebih banyak dosis dibandingkan dengan yang memiliki bobot dan
luas permukaan tubuh yang kecil untuk mendapatkan data kuantitatif yang akurat
pada efek farmakologis yang terjadi.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru,
pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti
suhu, kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan),
suplai oksigen, pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau
organ untuk percobaan.
Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan percobaan, disebabkan
karena kondisi lingkungan yang jelek di mana hewan itu tinggal. Maka dengan
meningkatnya kejadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi yang
jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh menurun, sehingga akan berpengaruh
terhadap hasil suatu percobaan.
Jadi, untuk menghasilkan hasil percobaan yang baik, faktor eksternal tersebut
harus disesuaikan dengan karakteristik hewan percobaan agar hewan tersebut tidak
stres. Karena kalau hewan tersebut stres akan menghambat percobaan.
b. Tikus
Cara-cara pemberian oral, intraperitoneal, subkutan, intramuskular, dan intravena
dapat dilakukan seperti pada mencit. Penyuntikan subkutan dapat dilakukan pula
pada daerah kulit abdomen. Tetapi penyuntikan secara intravena lebih mudah
dilakukan pada vena penis tikus jantan dengan bantuan pembiusan hewan
percobaan. Karena vena penis tikus lebih terlihat dibandingkan dengan vena ekor
tikus.
c. Kelinci
Oral
Pemberian obat dengan cara oral pada kelinci jarang dilakukan. Tetapi bila
dilakukan biasanya menggunakan alat penahan rahang dan pipa lambung.
Subkutan
Cara pemberian ini dilakukan di bawah kulit di daerah tengkuk atau daerah sisi
pinggang. Cara pemberian dilakukan dengan mengangkat kulit dan kemudian
jarum ditusukkan ke bawah kulit.
Intravena
Dilakukan pada vena marginalis telinga dan penyuntikan dilakukan pada
daerah dekat ujung telinga. Untuk memperluas vena (mendilatasi vena), telinga
diulas terlebih dahulu dengan air hangat atau alkohol. Pencukuran bulu bila perlu
dapat dilakukan terutama pada hewan yang bulunya berwarna.
Intramuskular :Dilakukan pada otot kaki belakang.
Intraperitoneal
Kelinci dipegang menggantung pada kaki belakangnya sehingga perut maju ke
depan. Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah garis tengah di muka kandung
kemih. (Sukati, 2010)
d. Marmot
Oral
Pemberian oral kepada marmot dapat dilakukan dengan pipa lambung dengan
bantuan hewan dianestetik lemah terlebih dahulu.
Intradermal
Pemberian obat secara intradermal dilakukan dengan memasukan jarum suntik
ke dalam kulit secara perlahan-lahan. Agar terlihat, bulu marmot dicukur terlebih
dahulu.
Subkutan
Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah tengkuk: kulit dicubit kemudian
jarum disuntikkan ke bawah kulit.
Intraperitoneal
Penyuntikan dilakukan pada daerah perut agak ke kanan dari daerah garis
tengah dan di atas tulang kematian.
Intramuskular
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot paha kaki belakang.
Intravena
Pada marmot cara ini jarang digunakan. Penyuntikan dapat digunakan pada
vena marginalis dengan jarum yang halus dan pendek (cara ini dapat dilakukan
untuk marmot yang cukup besar) atau pada vena pada bagian paha dan penis
dengan bantuan anestetik terlebih dahulu. (Sukati, 2010)
Pada tiap cara pemberian ini kecuali oral, pembersihan dengan antiseptik pada
daerah penyuntikan perlu dilakukan pada sebelum penyuntikan dan setelah
penyuntikan. Jumlah volume penyuntikan dari tiap cara pemberian dan pada berbagai
hewan percobaan berbeda-beda, sesuai dengan tabel kedua.
Untuk kelancaran percobaan uji efek farmakologis suatu obat yang dilakukan
pada hewan percobaan sebaiknya digunakan perlakuan anestesi. Perlakuan anestesi
terhadap hewan percobaan kadang kala diperlakukan untuk memudahkan cara
pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena penis tikus) dan untuk
percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran tekanan darah insitu pada karotid
hewan dengan manometer condon. (Sukati, 2010)
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk anestesi adalah eter, halotan,
pentobarbital natrium, heksobarbital natrium, dan uretan (etil karabamat). Pada setiap
hewan percobaan yang berbeda, perlakuan anastesi, senyawa penganestesi serta
dosisnya yang dipakai juga berbeda.
a. Mencit
Eter
Eter digunakan untuk anestesi singkat. Cara perlakuan anestesi adalah dengan
meletakkan obat di dalam suatu wadah dan hewan dimasukan ke dalamnya dan
wadah ditutup rapat. Bila hewan sudah kehilangan kesadaran , maka hewan sudah
siap dilakukan uji percobaan.
Halotan
Halotan digunakan untuk anestesi yang lebih lama.
Pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium
Senyawa pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium dapat diberikan
secara intravena dan intraperitonial dengan dosis yang berbeda. Dosis
pentobarbital natrium untuk pemberian intravena adalah 35 mg/kg. Sedangkan
dosis untuk pemberian intraperitoneal adalah 45-60 mg/kg. Dosis heksobarbital
natrium untuk pemberian intravena adalah 47 mg/kg. Sedangkan dosis untuk
pemberian intraperitoneal adalah 75 mg/kg.
Uretan
Uretan diberikan dengan cara intraperitoneal pada dosis 1000-1250 mg/kg
dalam bentuk larutan 25% dalam air.
b. Tikus
Senyawa untuk perlakuan anestesi yang digunakan pada tikus umumnya sama
dengan yang dilakukan pada mencit.
c. Kelinci
Obat anestetika yang paling sering digunakan untuk kelinci adalah
pentobarbital natrium dengan cara menyuntikkannya secara perlahan. Dosis untuk
anestesi umum adalah 22 mg/kg. Untuk anestesi singkat biasanya digunakan
setengah dosis dari 22 mg/kg.
d. Marmot
Obat anestetika untuk marmot biasanya digunakan eter atau pentobarbital
natrium. Eter dapat digunakan untuk anestesi singkat setelah hewan dipuasakan
selama kurang lebih 12 jam. Sedangkan dosis untuk pentobarbital natrium adalah 28
mg/kg.
Apabila pada hewan percobaan terjadi keadaan rasa sakit yang hebat atau lama
akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit atau
jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan, maka perlu dilakukan
pengorbanan hewan.
Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu dilakukan sedemikian rupa
sehingga hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara
fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan
berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan
dari pengorbanan hewan percobaan dalam rangkaian percobaan. (Sukati, 2010)
Cara mengorbankan hewan percobaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
cara kimia dan cara fisik. Pada umumnya untuk mengorbankan mencit, tikus, kelinci,
dan marmot dilakukan dengan cara yang sama. Tetapi ada beberapa cara yang biasa
dilakukan untuk mengorbankan tikus, kelinci, dan marmot.
Cara kimia untuk mengorbankan mencit, tikus, kelinci, dan marmot adalah
dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium pada dosis letalnya sehingga
dapat membunuh hewan-hewan tersebut.
Untuk cara fisik ada beberapa yang berbeda. Untuk mencit dan marmot bisa
digunakan dislokasi leher. Caranya adalah dengan memegang ekor mencit atau marmot
dan kemudian ditempatkan di ram kawat sampai hewan tersebut meregangkan
badannya. Ketika hewan meregangkan badannya, pada bagian tengkuk diberi suatu
penahan yang keras dan dipegang dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanan menarik
ekornya dengan keras sampai lehernya terdilokasi dan hewan akan terbunuh.
Untuk mengorbankan tikus, kelinci, dan marmot dapat dilakukan cara fisik
sebagai berikut :
Untuk tikus dilakukan dengan cara membungkus tubuh tikus didalam sehelai kain
yang selanjutnya tikus dibunuh dengan cara memukul bagian belakang telinganya. Cara
lain adalah dengan cara memegang perut tikus yang menghadap ke atas, kemudian
bagian belakang kepalanya dipukulkan dengan keras pada permukaan yang keras atau
dengan cara memegang ekor tikus yang kemudian diayunkan sampai tengkuknya tepat
mengenai permukaan benda keras sehingga tikus akan terbunuh.
Untuk kelinci dilakukan dengan cara memegang kaki belakang kelinci, sedangkan
badan dan kepalanya tergantung ke bawah. Dengan menggunakan benda keras seperti
tongkat, bagian tengkuk kelinci dipukul dengan keras sehingga kelinci dapat terbunuh.
Untuk marmot, selain dilakukan dislokasi leher dapat juga dilakukan dengan cara
memukul bagian tengkuk dengan keras menggunakan alat dan juga bisa dengan cara
memukulkan bagian belakang kepala marmot pada permukaan keras.
VII. Kesimpulan
Penggunaan hewan percobaan sangat penting dalam penelitian ilmiah di bidang
kedokteran/biomedis.
Volume cairan obat yang diberikan pada hewan percobaan tidak boleh melebihi
batas maksimal yang telah ditetapkan.
Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan
percobaan, diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan perbandingan
luas permukaan tubuh setiap spesies.
Terdapat faktor internal dan eksternal pada hewan percobaan yang dapat
memperngaruhi hasil percobaan.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
Cara pemberian sediaan uji juga berbeda pada setiap hewan percobaan, dapat secara
oral, subkutan, intravena, intramuskular, intraperitoneal, dan intradermal.
Untuk kelancaran percobaan uji efek farmakologis suatu obat yang dilakukan pada
hewan percobaan sebaiknya digunakan perlakuan anestesi dengan senyawa eter,
halotan, pentobarbital natrium, heksobarbital natrium, dan uretan (etil karabamat).
Apabila pada hewan percobaan terjadi keadaan rasa sakit yang hebat atau lama
akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit atau
jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan, maka perlu dilakukan
pengorbanan hewan engan cara kima ataupun cara fisik.
Daftar Pustaka