Toksikologi Isoniazid

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Toksikologi Isoniazid (INH)

TOKSISITAS ISONIAZID (INH) 1. TUBERKULOSIS Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. a. Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Obat yang dipakai: Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: - Tuberkulosis Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol

Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kanamisin Amikasin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : o Kapreomisin o Sikloserino PAS (dulu tersedia) o Derivat rifampisin dan INH o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

b. Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT : Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3 Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ). Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan ( 4 H 3R3 ).

Kategori 2 : 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid ( H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah pemderita selesai menelan obat.

Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3 Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ). ( Sumber : Pedoman nasional Penanggulangan Tuberkulosis )

2. ISONIAZID Isoniazid (INH) adalah turunan asam isonicotinic hydrazide, obat bakterisidal pilihan untuk tuberkulosis. INH terkenal karena kecenderungannya menyebabkan hepatitis dengan penggunaan kronis. Overdosis akut isoniazid adalah penyebab umum dari obat penginduksi kejang dan asidosis metabolik. ( Olson,1999 )

Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH. Hanya satu derivatnya yang diketahui, menghambat pembelahan kuman tuberculosis, yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksis untuk manusia. ( Farmakologi dan Terapi UI )

Chemical Structure of Isoniazid Rumus molekul Berat molekul Pemerian : C6H7N3O : 137,14 : Hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk hablur putih,

tidak berbau, perlahan lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya Titik lebur Kelarutan : 170C - 173C : Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol,

sukar larut dalam kloroform dan dalam eter

a. Efek Antibakteri Isoniazid secara invitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KMH (konsentrasi hambatan minimum) sekitar 0,025-0,05 g/ml. pemebelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yamg sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang istirahat mulai lagi dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan. Di antara mikrobakteria atipik biasanya hanya M. kansasli yang peka terhadap isoniazid, tetapi sensitifitasnya harus selalu diuji secara in vitro karena kuman ini memerlukan kadar hambat yang lebih tinggi. Pada uji hewan,

ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat dibandingkan streptomisin. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. b. Mekanisme Kerja Mekanisme kerja isoniazid belum tentu diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat asam mikolat (mycolicic acid) yang merupakan unsur penting dinding dinding sel mikrobacterium. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam dan menurunkan jumlah asam lemak yang terekstasi oleh methanol dari mikrobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap kuman peka ke dalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif. c. Resistensi Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Pengobatan dengan INH ini juga dapat menyebabkan timbulnya timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitive menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan.

d. Farmakokinetik Isoniazid mudah di absorbsi pada pemberian oral mapun parental. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada kecepatan metabolism ini dipengaruhi oleh factor genetic yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan waktu paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada orang-orang Eskimo dan Jepang, asetilator lambat terutama pada orang Skandavia, Yahudi dan Afrika Utara. Asetilasi cepat merupakan fenotip yang dominan heterozigot dan homozigot. Pada penderita yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid dalam sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pada penderita dengan asetilasi lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi antara 1 sampai 3 jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat hamper 80 menit, sedangkan nilai 3 jam adalah khas untuk asetiltor lambat. Masa paruh obat ini dapat menunjang jika terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa kecepatan asetilasi ini tidak berpengaruh pada efektivitas atau

toksisitas isoniazid bila obat inni diberikan setiap hati. Tetapi, bila penderita tergolong asetilator cepat dan mendapat isoniazid seminggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kirakira 20% kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan obtot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jatingan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik. Antara 75-90% isoniazid disekresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalm bentuk metabolit. Eksresi terutama dlam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit hasil proses asetilasi, dan asam nikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon dan dalam jumlah yang kecil sekali berupa N-metil-isoniazid. e. Efek Nonterapi Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbentuk morbiliform, makulopapular dan urtikaria. Reaksi hematologic dapat juga terjadi seperti agranulositosis, trombositopenia, dan anemia. Vaskulitis yang berhubungan dengan antibodi antinuclear dapat juga terjadi selama pengobatan, tetapi menghilang bila pemakaian obat dihentikan. Gejala arthritis seperti sakit sendi juga dapat terjadi. Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 6 mg/kgBB/hari. Bila penderita tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Perubahan neuropatologik yang berhubungan dengan efek samping antara lain menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria dan pecahnya akson terminal. Biasanya juga terjadi perubahan pada ganglia di daerah lumbai dan sacrum. Pemberian piridoksin sangat bermanfaat untuk mencegah perubahan tersebut. Pada pemberian isoniazid, eksresi piridoksin meningkat dan konsentrasinya dalam plasma menurun sehingga member gambaran seperti difisiensi piridoksin. Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optic dengan atropi dapat juga terjadi. Gambaran ialah kedut otot, vertigo, ataksia, parestesia, stufor dan ensefalopati toksis yang dapat berakhir fatal. Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini diantaranya euphoria, kurangnya daya ingat sementara,

hilangnya pengendalian diri dan psikosis. Sedasi yang berlebihan atau inkoordinasi dapat muncul jika isoniazid diberikan bersama fenitoin karena isoniazid menghambat parahidroksilasi antikonsulvan tersebut. Efek samping ini hanya terjadi pada penderita asetilator lambat. Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya neksrosis multilobular. Penggunaan obat ini pada penderita yang menunjukan adanya kelainan fungsi hati kaan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati. mekanisme . peranan alcohol juga dipertanyakan. Umur merupaka factor yang sangat penting untuk memperhitungkan resiko efek toksik pada hati. Kerusakan isoniazid pada hati jarang terjadi pada penderita yang berumur di bawah 35 tahun. Makin tinggi umur seseorang makan sering ditemui kelainan ini. Kalianan yang paling banyak ditemui ialah meningkatnya aktivitas enzim transaminase. Penderita yang mendapat INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala-gejala hepatitis, kalau perlu diperiksa aktivitas enzim serum glutamic-oxal-acetic transminase (SGOT). Hepatitis karena pemberian isoniazid ini terjadi antara 4-8 minggu setelah pengobatan dimulai. Pemberian isoniazid pada penderita dengan riwayat penyakit hati harus dilakukan dengan hati-hati. Efek samping lain yang terjadi adalah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinnitus dan retensi urin. Bila penderita sebelumnya telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin, pemberian INH dapat menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vitamin B6 dosis besar akan menyebabkan gambaran darah normal kembali. Dosis isoniazid yang berlebih sebagai usaha bunuh diri dapat menyebabkan koma, kejang-kejang, asidosis metabolic dan hiperglikemia. f. Status Dalam Pengobatan Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua ti[pe tuberculosis. Efek nonterapi dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan pengawasan yang cermat pada penderita. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat lain, untuk tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal. (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 598-600)

g. Metabolisme Isoniazid

3. MEKANISME TOKSISITAS ( Olson, 1999 ) a. Overdosis Akut Isoniazid menghasilkan efek toksik akut dengan mengurangi brain piridoksal 5-fosfat , yang merupakan bentuk aktif dari vitamin B6 dan merupakan kofaktor penting bagi enzim asam glutamat dekarboksilase. Hal ini menunjukan level yang rendah dari SSP gamma-aminobutyric acid (GABA), yang merupakan inhibitor neurotransmitter, yang menyebabkan aktivitas listrik tanpa hambatan dinyatakan sebagai kejang. INH juga dapat menghambat konversi hepatik laktat untuk piruvat, memperburuk asidosis laktat dari kejang. INH diinduksi oleh GABA deffficiency melalui tiga mekanisme berbeda : INH diubah menjadi hydrazones, yang menghalangi piridoksin phosphokinase, enzim yang mengaktifkan piridoksin untuk menjadi piridoksal 5-phosfat Metabolit INH secara langsung menghambat aktivitas piridoksal-5 -fosfat INH meningkatkan ekskresi piridoksin melalui pembentukan isonicotinylhydrazide kompleks, yang dieliminasi oleh ginjal.

Mekanisme Toksisitas Isoniazid (Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks2007 hal.476 ) Isoniazid menyebabkan kurang fungsionalnya piridoksin oleh dua mekanisme. Metabolit Hydrazone INH menghambat piridoksin phosphokinase, enzimnya yang mengkonversi piridoksin menjadi bentuk aktifnya, piridoksal-5-fosfat. Selain itu, INH bereaksi dengan fosfat piridoksal untuk menghasilkan sebuah kompleks hydrazone aktif yang diekskresi melalui ginjal. Hal ini mengganggu sintesis dan metabolisme _-aminobutyric acid (GABA), penghambatan neurotransmitter utama dalam SSP. Deplesi GABA dianggap sebagai etiologi seizure yang diinduksi isoniazid.

Gambar. 55-1. Metabolisme INH. Status Acetylator ditentukan oleh N-asetiltransferase polimorfisme.

b. Toksisitas Kronis Neuritis perifer/Pheripheralneuritis dengan penggunaan kronis diperkirakan terkait dengan kompetisi dengan piridoksin. Mekanisme hepatitis kronis dan isoniazid-induced lupus eritematosus sistemik (SLE) tidak dibahas di sini. c. Farmakokinetik Puncak absorbsi terjadi dalam 1-2 jam. Volume distribusi 0,6-0,7 L / kg. Eliminasi melalui metabolisme hati, waktu paruh 0,5-1,6 jam dalam asetilator cepat, dan 2-5 jam dalam asetilator lambat. Kadar puncak isoniazid tercapai satu sampai dua jam setelah konsumsi, meskipun efek toksik dapat mulai muncul lebih cepat. Obat mudah berdifusi ke seluruh cairan tubuh dan jaringan, dengan konsentrasi terbesar terjadi di hati. INH dengan dosis dari 80 sampai 150 mg per kg cenderung mengakibatkan aktivitas kejang yang parah

4. DOSIS TOKSIK ( Olson, 1999 ) a. Penyerapan Akut

15-40 mg / kg dapat menghasilkan toksisitas. Toksisitas parah terjadi setelah menelan 80-150 mg / kg. b. Dengan pengunaaan kronis 10-20% pasien akan berkembang menjadi toksisitas hati ketika dosis INH adalah 10 mg / kg / hari, tapi kurang dari 2% pasien akan berkembang menjadi toksisitas ini pada dosis 3-5 mg / kg / hari. Orang tua lebih rentan terhadap toksisitas kronis.

5. PRESENTASI KLINIS ( Olson, 1999 ) a. Setelah Overdosis Akut Mual, muntah, bicara cadel, ataksia, sensorium depresi, koma, depresi pernapasan, dan kejang dapat terjadi dengan cepat (biasanya dalam waktu 30-120 menit). Dalam Gap anion asidosis metabolik (pH 6,8-6,9) sering terjadi setelah satu atau dua kejang, mungkin karena untuk melepaskan asam laktat otot. Hal ini biasanya akan menghilang setelah aktivitas kejang dapat dikendalikan. Kerusakan hati mungkin terjadi setelah overdosis akut, dan dapat tertunda sampai beberapa hari. Hemolisis dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi glukosa-6-fosfat (G6PD) dehidrogenase. Rhabdomyolysis dapat menjadi komplikasi pada kejang berulang. b. Kronis terapi Penggunaan INH dapat menyebabkan neuritis perifer, hepatitis, reaksi hipersensitivitas termasuk obat-induced lupus eritematosus, dan defisiensi piridoksin.

6. DIAGNOSIS ( Olson, 1999 ) Biasanya diperoleh dari riwayat pasien dan presentasi klinis. Toksisitas isoniazid harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan onset kejang akut terutama jika tidak responsif terhadap obat antikonvulsan rutin dan jika disertai dengan asidosis metabolik . a. Level spesifik Isoniazid biasanya tidak terdeteksi dalam skrining toksikologi rutin. Tingkat tertentu dapat ditemukan tetapi sangat jarang, atau tidak membantu untuk managemen overdosis akut. A 5 mg / kg dosis menghasilkan puncak konsentrasi INH dari 3 mg / L pada 1 jam (1-7 mg / L dipertimbangkan antitubercular). Kadar INH dalam serum lebih dari 30 mg / L berhubungan dengan toksisitas akut. b. Penelitian laboratorium lain

Termasuk elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, tes fungsi hati, creatine phosphokinase, dan gas darah arteri. c. Pengujian Diagnostik (Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks2007 hal.476 ) Toksisitas akut INH adalah diagnosis klinis yang dapat disimpulkan oleh sejarah dan dikonfirmasi dengan mengukur konsentrasi serum INH. Toksisitas akut dari INH telah didefinisikan sebagai konsentrasi serum INH lebih besar dari 10 mg / L pada 1 jam setelah konsumsi, lebih besar dari 3,2 mg / L pada 2 jam setelah konsumsi, atau lebih besar dari 0,2 mg / L pada 6 jam setelah konsumsi. Karena pengukuran konsentrasi serum INH tidak tersedia secara luas, dokter tidak bisa mengandalkan konsentrasi serum untuk mengkonfirmasi diagnosis atau memulai terapi. Karena risiko hepatitis terkait dengan penggunaan INH kronis, aminotransferase hati harus secara teratur dipantau setelah terapi dimulai.

7. PENGOBATAN ( Olson, 1999 ) a. Emergensi dan Pengobatan Pendukung Amankan jalan napas. Ingatlah ABC (Airway, Breathing, Circulation). Ditangani koma (lihat p 19), kejang (p 22), dan asidosis metabolik (p 33) jika terjadi. Diberikan diazepam, 0,1-0,2 mg / kg IV, untuk pengobatan kejang. Untuk penanganan Asidosis Laktat : Asidosis yang berhubungan dengan toksisitas isoniazid merupakan asidosis laktat sekunder untuk aktivitas kejang. Oleh karena itu,kejang dikendalikan, asidosis biasanya berkurang sesuai dengan tingkat keparahan. Natrium bikarbonat dapat membantu dalam mengobati asidosis , pemberian dipertimbangkan pada pH kurang dari 7.1. Dosis awal yang baik adalah 1 sampai 3 mEq per kg, dengan monitoring gas arteri darah

b. Obat Spesifik Dan Antidot Piridoksin (vitamin B6) adalah antidot khusus dan biasanya berakhir dengan diazepamuntuk pengobatan kejang dan memperbaiki status mental. Diberikan minimal 5 g IV (lihat p 508) jika jumlah INH tertelan tidak diketahui, jika jumlah yang tertelan diketahui diberikan pyridoksin setara gram INH yang tertelan. Pengobatan bersamaan dengan diazepam dapat meningkatkan hasil. Jika piridoksin tidak tersedia, dosis tinggi diazepam (0,3-0,4 mg / kg) efektif untuk status epileptikus. Pengobatan dengan Pyridoxine juga dapat mempercepat resolusi asidosis metabolik.

c.

Manajemen (Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-ToxicologicEmergencies-Gold-Franks-2007 hal.476 ) Manajemen Toksisitas Akut Manajemen awal memerlukan penghentian aktivitas kejang, resusitasi cairan, dan stabilisasi dan koreksi tanda-tanda vital dengan pemeliharaan jalan napas yang baik. Dokter harus mempertimbangkan pemberian natrium bikarbonat untuk mengobati asidemia parah dengan pH <7,0. Dekontaminasi gastrointestinal harus dilakukan dengan karbon/arang aktif jika tidak ada kontraindikasi (Bab8). Antidot untuk induksi isoniazid disfungsi neurologis adalah piridoksin. Pyridoxine dengan cepat menghentikan kejang, mengoreksi asidosis metabolik, dan membalikkan koma. Untuk mengobati toksisitas akut, dosis intravena piridoksin dalam gram harus sama dengan jumlah INH tertelan dalam gram dengan dosis pertama pada orang dewasa hingga 5 g. Jumlah INH yang tidak diketahui diberikan dengan dosis piridoksin yang tidak lebih dari 5 g (dosis pediatrik: 70 mg / kg sampai maksimal 5 g) g. Benzodiazepin harus selalu digunakan untuk efek sinergis dengan piridoksin. Pasien tanpa gejala yang hadir ke gawat darurat dalam waktu 2 jam karena mengkonsumsi jumlah racun dari INH profilaksis harus menerima 5 g piridoksin. Pasien asimtomatik dapat diamati untuk 6-jam pertama tanda-tanda toksisitas. Toksisitas akut tidak mungkin muncul untuk pertama kali lebih dari 6 jam melampaui konsumsi. Meskipun hemodialisis telah digunakan untuk meningkatkan eliminasi INH dalam overdosis akut, dengan tingkat izin dilaporkan setinggi 120 mL / menit, hemodialisis jarang diindikasikan.

Manajemen Toksisitas Kronis Hepatitis (didefinisikan sebagai konsentrasi aminotransferase 2-3 kali level dasar) yang dihasilkan dari terapi akhir INH mandat terapi. Pyridoxine tidak memulihkan kerusakan hati dan karena itu, pengawasan dan pengintaian cedera hepatoseluler penting. Neuropati perifer umumnya dicegah atau diobati dengan 50 mg/hari secara oral piridoksin, meskipun dosis yang lebih rendah mungkin efektif.

d. Dekontaminasi Pra-rumah sakit. Diberikan charcoal jika tersedia. Jangan menginduksi muntah karena onset risiko yang cepat dari koma dan kejang. Charcoal pada awalnya harus diberikan sebagai bubur dengan sorbitol. Dosis Cahrcoal adalah 30 sampai 100 g untuk dewasa (1 sampai 2 g per kg) dan 15 sampai 30 g untuk anakanak (1 sampai 2 g per kg). Dosis sorbitol pada orang dewasa adalah 1 sampai 2 g per kg, dengan dosis maksimum 150 g. Pada anak-anak, dosis sorbitol adalah 1,0-1,5 g per kg dengan dosis maksimum 50 g.

Rumah sakit. Setelah upaya stabilisasi awal, upaya harus dilakukan untuk mencegah penyerapan isoniazid dan untuk mempercepat eliminasi obat. Lavage lambung diindikasikan jika itu bisa dilakukan dalam waktu satu jam menelan isoniazid.

D. Peningkatan eliminasi ( Olson, 1999 ) Diuresis paksa dan hemodialisis telah dilaporkan berhasil untuk menangani hal ini, tetapi tidak dibutuhkan untuk beberapa kasus, karena waktu paruh isoniazid relatif pendek (1-5 jam, tergantung pada status acetylator), dan toksisitas biasanya dapat dengan mudah diatasi dengan piridoksin dan diazepam. Gejala biasanya dapat diatasi 8-24 jam.

MANAJEMEN TOKSISITAS ISONIAZID ( Romero, Jennifer, et.al. 1998. Isoniazid Overdose: Recognition and Management. Journal of American Family Pysician ) Banyak langkah-langkah yang tercantum di bawah ini dapat dilakukan secara bersamaan. a. Amankan jalan napas. Ingatlah ABC (Airway, Breathing, Circulation). b. Pemberian obat secara Intravena c. Untuk kejang:

a. Pada orang dewasa, pemberian diazepam (Valium) intravena dalam dosis dari 5 sampai 10 mg, dan ulangi dosis jika perlu. b. Pada anak-anak, pemberian diazepam secara intravena dengan dosis 0,25-0,40 mg per kg, sampai 10 mg per dosis. Dosis dapat diulangi jika diperlukan. d. Dapatkan gas arteri darah. Jika pH 7,1 atau kurang, diberikan sodium bikarbonat, 1 sampai 3 mEq per kg intravena. e. Ganti piridoksin: Jika jumlah isoniazid tertelan diketahui, diberikan gram per gram dosis piridoksin (diencerkan sampai konsentrasi 50 ml per g) intravena selama lima sampai 10 menit. Dosis pyridoxine dapat diulang setiap lima sampai 20 menit. sampai kejang berhenti atau pasien mendapatkan kembali kesadarannya. Pyridoxine juga dapat diberikan untuk mengatasi neurologic defects. Jika jumlah isoniazid tertelan tidak diketahui, berikan 5 g piridoksin (diencerkan sampai 50 ml per g) intravena selama lima sampai 10 menit. f. Lakukan lavage lambung jika dalam waktu satu jam menelan isoniazid. Tetap diingat untuk melindungi jalan napas: menggunakan endotrakeal tube, atau menempatkan pasien dalam posisi dekubitus Trendelenburg dan kiri lateral. g. Diberikan charcoal dan sorbitol satu jam setelah menelan isoniazid:

Pada orang dewasa, memberikan 30 sampai 100 g (1 sampai 2 g per kg) dari charcoal sebagai bubur dengan 1 sampai 2 g per kg sorbitol, hingga 150 g. Ulangi dosis Charcoal saja. Pada anak-anak, diberikan 15 sampai 30 g (1 sampai 2 g per kg) dari charcoal sebagai bubur dengan 1,0-1,5 g per kg sorbitol, sampai 50 g.. Ulangi dosis charcoal saja.

h. Jika metode di atas gagal untuk mengontrol kejang, pertimbangkan hemodialisis atau administrasi thiopental oleh ahli anestesi. i. Jika gejala tersebut masih ada pada pasien , periksa darah lengkap, urinalisis, pengukuran elektrolit, BUN, kreatinin, glukosa, kreatinin kinase dan enzyme hati. Jika pasien mengalami kerusakan hati yang parah, monitor prothrombin time

DAFTAR PUSTAKA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: Gaya Baru. Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks2007 hal.476 Olson, et.al. 1999. Poisoning and overdose drug. Appleton & lange stamford, connecticut Vonoettingen.1958. Poisoning ( A Guide to Clinical Diagnosis and Treatment ). London : W.B.Sauders Company

Anda mungkin juga menyukai