Indian Ocean Dipole
Indian Ocean Dipole
Indian Ocean Dipole
Disusun oleh :
Vivi Octavia Chavez
230210100015
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indian Ocean Dipole merupakan salah satu aspek/fenomena alam yang sangat
mempengaruhi keadaan perikanan (Biota laut yang termasuk dalam perikanan). Hal ini
yang membuat IOD sangat penting dipelajari. Dalam penulisan makalah ini dibahas
mengenai aspek-aspek yang menyangkut dengan kebutuhan pengetahuan mata kuliah
terkait.
Fenomena IOD memberikan dampak yang besar terhadap kondisi lingkungan laut
dan atmosfer. Dampak IOD dapat positif maupun negatif. Dampak positif terjadi pada
saat IOD fase positif yang menyebabkan perairan pantai barat Sumatera dan selatan Jawa
terjadi proses upwelling. Sedangkan dampak negatif terjadi pada saat IOD fase positif
yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan sebaliknya pada saat IOD fase negatif akan
meningkatkan intensitas curah hujan dibeberapa wilayah Indonesia terutama kawasan
bagian barat. Dengan mempelajari IOD kita dapat memperkirakan keadaan biota laut
pada musim IOD, sehingga dalam tindak lanjut kita bisa mempertimbangkannya.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami membatasi permasalahan hanya pada aspekaspek Indian Ocean Dipole, masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini antara lain
kami rumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1.3
1.
2.
3.
Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui proses terjadinya IOD
2. Mahasiswa dapat mengetahui dampak IOD terhadap preairan dan perikanan
Indonesia
3. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Meteorologi Laut
BAB II
ISI
Indian Ocean Dipole (IOD) adalah laut digabungkan dan fenomena atmosfer di
Samudra Hindia khatulistiwa yang mempengaruhi iklim Australia dan negara-negara lain
yang mengelilingi cekungan Samudra Hindia (Saji et al 1999.).
Besar variabilitas SST di Samudera Hindia telah dikaitkan dengan Indian Ocean Dipole
(IOD), juga disebut sebagai Samudera Hindia zonal Mode (IOZM; Saji et al, 1999;.
Webster et al, 1999.).
Pola ini mewujud melalui gradien zonal SST tropis, yang pada satu tahap ekstrem
di musim gugur boreal menunjukkan cooling off Sumatra dan pemanasan lepas pantai
Somalia di sebelah barat, dikombinasikan dengan anomali timuran di sepanjang
khatulistiwa. Besarnya curah hujan maksimum sekunder dari Oktober sampai Desember
di Afrika Timur sangat berkorelasi dengan kejadian IOD positif (Xie et al, 2002.).
Menurut Saji et al. (1999a) IODM adalah sebuah fenomena fisis samudera dan
atmosfer di kawasan Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan adanaya anomali
negatif suhu permukaan laut dibagaian barat Samudera Hindia. Sinyal fenomena IODM
sering diasosiasikan dengan perubahan anomali suhu muka laut (SPL) antara Samudera
Hindia tropis bagian Barat (50o E -70 o E dan 10 o S 10 o N) dengan Samudera Hindia
tropis bagian Timur (90o E -110
E dan 10
S 10
dekat Sumatera Bagian Barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika
sehingga aliran udara berlangsung secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi
(wilayah dengan kumpulan massa udara dingin) menuju wilayah dengan tekanan udara
rendah (wilayah dengan kumpulan massa udara hangat). Agak rumit memang untuk
dijelaskan dengan rinci mekanisme pembentukannya. Namun, pada bahasan kali ini
difokuskan kepada bagaimana IOD ini melintasi wilayah Indonesia yang
dicirikan adanya variasi musiman dari parameter Sea Surface Temperature (SST), Sea
Level Pressure (SLP) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR) di sepanjang kawasan
Pasifik Barat mulai dari bagian timur pantai benua Afrika hingga pantai barat Pulau
Sumatera.
E dan 10
S 10
Memasuki tahun 1998, pengaruh fase positif Indian Ocean Dipole di Samudera
Hindia bagian timur mulai melemah dan mencapai puncaknya pada akhir Musim Barat
pada bulan Februari 1998.
Selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang mengalir
sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan dari lepas pantai
Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda.
Memasuki Musim Timur, gelombang Kelvin dari ekuator Samudera Hindia
menjalar sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Jawa dan mendorong sebagian massa
air hangat dari perairan internal Selat Sunda. Kondisi ini menyebabkan penurunan hasil
tangkapan tongkol dari 65 ton/bulan pada bulan April menjadi 50 ton/bulan selama
pengaruh gelombang Kelvin di Selat Sunda pada pertengan bulan Mei s/d Juni 1998.
Kondisi Oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk upwelling
(taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998 (Syamsudin
2003). Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda (barat Sumatra) dan diikuti dengan
pembentukan massa air hangat di perairan internal Selat Sunda.
IOD (+) terjadi saat wilayah pantai barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah
timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian
barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan
konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal. Sebaliknya, di
wilayah Barat Sumatera terjadi kekeringgan setelah massa uap airnya gagal diturunkan
sebagai hujan.
b)
Fase negatif Indian Ocean Indian Dipole berlangsung selama Oktober 2000 s/d
Maret 2001. Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif suhu permukaan laut
di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di wilayah ini meningkat
secara tajam.
Selama berlangsungnya fase ini, kondisi hidrologi selat Sunda didominasi massa
air yang relatif dingin. pada saat IOD (-), wilayah barat Sumatera termasuk Sumatera
Barat mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan.
Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah Afrika Bagian
Timur dan tekanan rendah di Bagian Barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan
awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah
Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya
Indonesia Bagian Barat. Di sini terlihat adanya keterkaitan antara fenomena IOD dengan
perilaku curah hujan di wilayah
Indonesia Bagian Barat.
Selain dari fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropis, Indonesia juga
mendapat ancaman kekeringan dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka
laut di Samudra Hindia-di barat daya Indonesia. Fenomena anomali cuaca di Samudra
Hindia ini dikenal dengan istilah Indian Ocean Dipole Mode (IODM). Fenomena IODM
ini pertama kali ditemukan oleh Toshio Yamagata, guru besar dari Tokyo University, dan
timnya yang melakukan observasi iklim di Samudra Hindia pada program JAMSTEC
tahun 1999 (Sumber: http://www.jamstec.go.jp).
Menurut Saji et al. (1999a) IODM adalah sebuah fenomena fisis samudera dan
atmosfer di kawasan Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan adanaya anomali
negatif suhu permukaan laut dibagaian barat Samudera Hindia. Sinyal fenomena IODM
sering diasosiasikan dengan perubahan anomali suhu muka laut (SPL) antara Samudera
Hindia tropis bagian Barat (50o E -70 o E dan 10 o S 10 o N) dengan Samudera Hindia
E dan 10
S 10
cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan analisa yang dilakukan oleh
dua orang ilmuwan di Jepang Professor Toshio Yamagata dan Dr. N. H. Saji. Kedua
ilmuwan ini melakukan analisa terhadap data suhu permukaan air laut di Samudera
Hindia untuk periode 1958 1998 dan mengaitkan bencana banjir di benua Afrika bagian
timur pada tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia pada tahun 1994 dan 1997 dengan
anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia.
D. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh Indian Ocean Dipole
Dampak negatif dari Indian Ocean Dipole tidak hanya di Indonesia, tetapi juga
menimbulkan dampak negatif pada daerah-daerah lain yang mengelilingi Samudera
Hindia. Di Indonesia, IOD menyebabkan kekeringan. Dan terjadi Algae bloom (blooming
phytoplankton) di sepanjang pantai barat Sumatra dan selatan jawa karena dipicu oleh
meningkatnya intensitas upwelling (pengangkatan massa air di kedalaman yang kaya zat
hara ke arah permukaan). Ledakkan plankton ini mengakibatkan kekurangan oksigen di
daerah perairan tersebut, karena ledakan plankton tersebut membutuhkan oksigen yang
banyak untuk proses respirasinya. Akibatnya akan terjadi kompetisi antara plankton dan
organisme lain (seperti terumbu karang) di perairan tersebut untuk mendapat oksigen
yang ada dalam jumlah terbatas. Jika plankton berkembang lebih cepat dan menjadi lebih
dominan, maka kelangsungan hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam.
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua samudera.
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; ternyata tidak hanya memberikan keuntungan,
tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera
tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik jika terus memantau gejala-gejala penyimpangan
iklim di kedua samudera ini, sehingga dampak lebih buruknya dapat diminimalisir. Upaya
ini sebaiknya diiringi dengan kebijakkan pemerintah terkait dengan mitigasi bencana
untuk mengatasi dampang penyimpangan iklim yang kecenderungannya semakin
meningkat.
E. Pengaruh Indian Ocean Dipole Terhadap Perikanan Indonesia
Terjadinya Indian Ocean Dipole tidak saja memberi pengaruh terhadap musim
dan pergerakan angin di wilayah Indonesia, namun juga sangat berpengaruh terhadap
keadaan perikanan di Indonesia. Ini terjadi dengan beberapa alasan fisik air yang terjadi
di wilayah Indian Ocean Dipole, yaitu
1)
Pada masa Indian Ocean Dipole Negatif, pergerakan ikan di daerah di Fase negatif
berlangsung selama Oktober 2000 s/d Maret 2001. Fase negatif ditandai dengan dominasi
anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan
curah hujan di wilayah ini meningkat secara tajam.
Dengan demikian, pada masa ini merupakan kondisi buruk untuk perikanan di daerah
Selat Sunda (perairan antara Jawa dan Sumatra) karena dengan curah hujan tinggi, suhu
perairan juga mengalami penurunan drastis yang memungkinkan ikan melakukan migrasi
ketempat yang lebih hangat.
2)
Pada masa Indian Ocean Dipole positif terjadi 3 fase perubahan suhu di daerah selat
sunda (antara Sumatra dan jawa), secara berurutan sebagai berikut ;
Fase pertama yang terjadi di daerah selatan P. Jawa dan Sumatra yang megalami
fase pendinginan suhu air laut permukanaan, (ditandai dengan dominasi anomali
negatif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur), mulai
terbentuk pada bulan Juni dan semakin menguat pengaruhnya akibat propagasi
gelombang Rossby yang bergerak ke barat dari sumbernya di perairan sekitar
Laut Timor, sepanjang 10-120 LS, pada bulan Juli dan mencapai puncaknya
Oktober.
Dengan demikian Samudera Hindia bagian timur yang mencakup perairan Selat
Sunda didominasi massa air relatif dingin yang tidak kondusif untuk ikan-ikan
permukaan berdarah dingin (tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan
sekitarnya) sehingga mereka akan melakukan migrasi ke tempat-tempat yang
lebih nyaman mereka huni. Karena pada keadaan aslinya permukaan air laut
bersuhu hangat.
Namun selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang
mengalir sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan dari
lepas pantai Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke
perairan Selat Sunda. Suplai massa air hangat ini menyebabkan kondisi hidrologi
Selat Sunda sangat kondusif untuk migrasi ikan tongkol.
Pada fase ketiga kondisi oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai
terbentuk upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d
Agustus 1998 (Syamsudin 2003). Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda
(barat Sumatra) dan diikuti dengan pembentukan massa air hangat di perairan
internal Selat Sunda, merupakan kondisi ideal lingkungan hidup ikan (terjadi
sebelum penurunan suhu secara signifikan pada bulan September.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data-data diatas dapat kami simpulkan bahwa kondisi perikanan di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh fenomena-fenomena alam seperti Indian Osean Dipole yang
terjadi di sekitar perairan Indonesia.
Hal-hal ini dapat menjadi pertimbangan kita dalam melakukan penangkapan
dengan mempelajari IOD secara lebih signifikan, karena fase-fase IOD tidak
menetap/sama dari bulan ke bulannya. Anomali gradien suhu permukaan laut ini dikenal
dengan Dipole Mode Indek (DMI). IOD mempunyai dua fase yaitu fase positif dan fase
negatif.
Terjadinya Indian Ocean Dipole sulit diprediksi. Akan tetapi, upaya para
ilmuwan untuk mempertepat prakiraan kapan akan munculnya gejala penyimpangan
cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil yaitu dengan cara anomali pembetukan dua
kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia.
Selain itu IOD juga mempengaruhi curah hujan di wilayah Negara Indonesia, yang
nantinya kita juga bisa mempertimbangkan dan memperkirakan masa-masa perubahan
keadaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Christon.
2010
Pengaruh
IOD
terhadap
perubahan
iklim
Indonesia.
Disusun Oleh :
Eli Riswandi
230210100055
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Bumi merupakan tempat satu-satunya mahkluk hidup dapat hidup. Bumi ini
diselimuti lautan 2/3 dari pemukaan bumi. Selain itu banyak juga komponenkomponen lainya yang ada di bumi ini. Hingga saat ini bumi berpenduduk sekitar 4
milyar lebih manusia. Didalam lautan maupun daratan terdapat bermacam-macam
mahluk hidup baik berupa tumbuhan maupun hewan. Di bumi ini banyak terjadi
kejadian yang di pengaruhi baik oleh ulah mahkluk hidup atau factor alam itu
sendiri. Dalam menyeimbangkan terhadap lingkunganya alam selalu memberikan
hal-hal yang luar biasa hebat untuk dipelajari. Contohnya banyak anomali-anomali
dalam kehidupan ini yang terjadi didarat ataupn dilaut seperti gempa, badai, perbedan
musim dan kejadian lainya. Laut merupakan wilayah yang luas dan sering terjadi halhal yang unik. Seperti halnya Indian Ocean Dipole merupakan kejadian yang langka
terjadi. Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan
oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia
sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Kejadian ini terjadi
karena perbedaan tekanan sehingga massa air mengalir ke barat samudra hindia. IOD
ini dapat berdampak negative bagi daerah-daerah yang terdapat disekitar daerah yang
mengelilingi samudra hindia.
1.2. Tujuan
Untuk mempelajari bagaimana proses terjadinya IOD dan apa saja yang
memepengaruhi terjadinya IOD. Untuk memepelajari dampak dari IOD dan
pengaruh-pengaruh lainya terhadap daerah yang mengelilingi samudra hindia.
Untuk memberikan informasi pada kegiatan pembelajaran pada sektor Samudera
Hindia terkait dengan fenomena Indian Ocean Dipole.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ilustrasi proses interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di Samudera Hindia
pada :
a) Kondisi normal dan
b) Saat terjadinya Indian Ocean Dipole.
Perbedaan suhu permukaan laut direpresentasikan oleh perbedaan warna; merah
menunjukkan anomaly positif. Aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan
massa air di bagian barat Samudera Hindia ini merupakan gejala fisik utama yang
mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini akan menimbulkan
gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur (berlawanan dengan
arah angina). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan thermocline (lapisan
air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut
dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian Timur Samudera Hindia (Selatan
Jawa dan Barat Sumatra). Ketika thermocline ini terangkat, suhu permukaan air laut
menurun. Sebaliknya, di sisi Barat, gelombang ini akan menekan thermocline lebih
masuk ke dalam, yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat, dan Indian
Ocean Dipole pun berlangsung. Karena itu pula penurunan suhu permukaan air laut di
sisi Timur Samudera Hindia (anomali negative) dan kenaikan suhu permukaan air laut
di sisi Barat nya (anomali positif) disebut peristiwa pembentukan dua kutub (kutub
positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole.
Pembentukan dua kutub suhu permukaan air laut ini akan mengakibatkan
pergeseran zona
konveksi
(zona
pembentukan
menimbulkan hujan), dimana zona ini biasanya terdapat di atas permukaan air laut yang
hangat (anomali positif). Pada kondisi normal (Gambar 1a), zona konveksi berada di
perairan pantai Barat Sumatra. Akan tetapi pada kondisi Indian Ocean Dipole, zona
konveksi akan bergeser ke arah barat, ke daerah perairan di tengah-tengah Samudera
Hindia dan perairan pantai Timur Afrika. Akibatnya, zona hujan pun akan bergeser ke
arah barat, sehingga Indonesia akan mengalami kekeringan.
2.2. Mendeteksi Indian Ocean Dipole
Seperti halnya El Nino yang diindikasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (indeks
perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan permukaan laut di
Darwin/Asutralia), maka fenomena Indian Ocean Dipole direpresentasikan oleh
perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat Samudera Hindia (daerah 50-70
BT dan 10 LS - 10 LU) dan suhu permukaan air laut di bagian Timur. Samudera
Hindia (daerah 90-110 BT dan 10 LS - 0 LU). Indeks perbedaan suhu permukaan
air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, semakin
kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan.
Evolusi Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei/Juni, mencapai puncaknya
pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November/Desember. Akibatnya,
Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit
mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin
parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika
kedua fenomena ini terjadi secara berurutan, seperti pada tahun 1997 - 1998, maka
Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari
bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya.
Indian Ocean Dipole munculnya sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, upaya para
ilmuwan untuk mempertepat prakiraan bakal munculnya gejala penyimpangan cuaca ini
telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan analisa yang dilakukan oleh dua
orang ilmuwan di Jepang Professor Toshio Yamagata dan Dr. N. H. Saji. Kedua
ilmuwan ini melakukan analisa terhadap data suhu permukaan air laut di Samudera
Hindia untuk periode 1958 - 1998 dan mengaitkan bencana banjir di benua Afrika
bagian timur pada tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia pada tahun 1994 dan 1997
dengan anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia.
2.3. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh Indian Ocean Dipole
2.3.1. Efek Indian Ocean Dipole tehadap wilayah yang mengelilingi samudra Hindia
Ulah Indian Ocean Dipole ini tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga menimbulkan
dampak negatif pada daerah-daerah lain yang mengelilingi Samudera Hindia. Jika di
Indonesia dia menyebabkan kekeringan, maka hal ini bertolak belakang dengan daerah
pantai timur Afrika dan daratan India. Wilayah-wilayah ini akan mengalami musim hujan
yang berlebih, di atas rata-rata. Kelebihan curah hujan di Afrika ini berimplikasi pada
meningkatnya penyeberan virus deman Rift Valley yang dibawa oleh nyamuk yang
berkembang selama musim hujan. Sementara itu, daerah sebelah barat Australia akan
mengalami musim dingin yang amat kering karena pengaruh fenomena Indian Ocean
Dipole.
Indian Ocean Dipole juga mengancam ekosistem turumbu karang di perairan
sekitar kepulauan Mentawai. Terjadi Algae bloom (blooming phytoplankton) di
sepanjang pantai barat Sumatra dan Selatan Jawa karena dipicu oleh meningkatnya
intesitas upwelling (pengangkatan masa air di kedalaman yang kaya zat hara ke arah
permukaan), seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Ledakan plankton ini akan
mengakibatkan kekurangan oksigen di daerah perairan tersebut, karena ledakan
plankton tersebut membutuhkan oksigen yang banyak untuk proses respirasinya.
Akibatnya akan terjadi kompetisi antara plankton dan organisme lain (seperti terumbu
karang) di perairan tersebut untuk mendapat oksigen yang ada dalam jumlah terbatas.
Jika plankton berkembang lebih cepat dan menjadi lebih dominan, maka kelangsungan
hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam. Hasil analisis terhadap fosil
terumbu karang di Kepulauan Mentawai yang dilakukan oleh ahli terumbu karang
Australian National University, Nerilie J. Abram, mengungkapkan fakta bahwa
kematian masal terumbu karang yang terjadi pada tahun 1961, 1994 dan 1997
bersamaan dengan waktu terjadinya fenomena Indian Ocean Dipole.
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua samudera;
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; ternyata tidak hanya memberikan keuntungan,
tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera
tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita terus memantau gejala-gejala
penyimpangan iklim di kedua samudera ini, sehingga dampak lebih buruknya dapat
diminimalisir. Upaya ini sebaiknya diiringi dengan kebijakan pemerintah terkait dengan
mitigasi
bencana
untuk
mengatasi
dampak
penyimpangan
iklim
yang
Penelitian Perubahan
Iklim, telah
menunjukkan korelasi
yang
signifikan antara IOD. Kekeringan dibagian selatan Australia, khususnya selatn timur.
Setiap kekeringan selatan besar
fluktasi
IOD
positif/netral termasuk paa tahun 1895-1902, 1937-1945 dan 1995 hingga sekarang
saat kekeringan.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika IOD berada dalam fase negatif, didaerah
Samudra Hindia dan barat Australia air dingin sedangkan di Timor Leste hangat. Angin
yang
dari laut
dan kemudian
menyapu ke
bawah
kearah selatan Australia dan akan memberikan curah hujan yang lebih tinggi .
Dalam fase
dan mengurangi
positif
jumlah
IOD,
kelembaban dijemput
dan diangkut di
seluruh
jauh di
bawah rata-rata selama periode dari IOD positif. Penelitian ini juga menunjukan baha
IOD memiliki efek yangjauh lebih signifikan pada pola cuah hujan di selatan-timur
Australia dari Elnino-southerm Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik sebagaimana
telah ditunjukan dalam beberapa tahun sebelumnya.
Contoh Indian Ocean Dipole di bagian barat Indonesia.
Suhu air di sekitar Kepulauan Mentawai turun sekitar 4 Celcius selama puncak Indian
Ocean Dipole pada bulan November 1997. Elama peristiwa ini angin angin yang luar
biasa kuat dari air permukaan yang hangat mendorong ke arah timur Afrika.
Memungkinkan air dingin untuk upwelling sepanjang pantai Sumatra. Dalam gambar
diatas
biasanya, sementara
positif.
2.4.1. Skema dari kejadian IOD positif
Skema diatas menunjukan bahwa diagram dari SST (pemanasan bayangan merah
dan pendinginan bayangan biru) selama IOD positif. Bercak putih menunjukan aktivitas
konvektif meningkat, dan tanda panah menunjukkan arah angin dari barat Australia
menuju Samudra Hindia dan bagian timur Afrika.
Tiga kali
terjadi pada
2006, 2007
Bercak
putih menunjukkan
Arah
Sebuah IOD pola negative SST telah terbukti berhubungan dengan peningkatan
curah hujan di seluruh bagian selatan Autralia. Contoh gambar peta disamping
menunjukan rata-rata suhu permukaan laut pada bulan November 1997. Kutub timur
dan barat IOD yang ditandai dengan kotak hitam.
terkait
dengan Samudera
melintasi Samudra
ini
dihitung sebagai perbedaan dari WTIO dan indeks Setio. Ekstrim September-OktoberNovember curah hujan di Afrika Timur tropis telah dikaitkan dengan periode DMI terusmenerus tinggi (Hitam et al, Sen Wea Rev,. 2003.).
Data source Indeks dihitung dengan menggunakan analisis Reynolds OIv2 SST, yang
tersedia melalui perpustakaan IRI, dan diperbharui setiap minggu. Anomali dihitung
relative terhadap siklus musiman iklim bedasarkan pada tahun 1982-2005. Serangkaian
seri
mingguan
diinterpolasi
setiap
(29
hari
Februari)
untuk
siklus
diperlakukan sebagai
kasus khusus
dan linear interpolasi antara klimatologi tanggal 28 Februari dan 1 Maret. Rata-rata dari
indeks selama
BAB III
KESIMPULAN
IOD adalah osilasi yang tidak teratur dari suhu permukaan laut di mana Samudera India
bagian
hangat secara
bergantian dan
kemudian lebih
dingin
dari bagian timur laut. Fenomena ini dapat menyebabkan efek yang buruk bagi wilayah
yang mengelilingi Samudra Hindia. Air hangat di Samudra Hindia bagian timur menuju
ke barat
yang
sangat
akan
tetepi kekeringan terjadi yang parah atau kebakaran hutan di wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka
JAMSTEC.2008.Indian_Ocean_Dipole_(IOD)_bY_the_LAS.http://www.aviso.oceanobs.c
om/en/applications/climate/indian-ocean-dipole/index.html
Iskhaq
Iskandar.2008.http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1206267194
Anonym.2011.iod.http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/publications/sy03b.pdf
Anonym.2011.Indian ocean dipole.http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Ocean_Dipole
Anonym.2009.Pengaruh_IOD_terhadap_iklim_Indonesia.http://cheatonunpad.wordpress
.com/2009/12/22/pengaruh-indian-ocean-dipole-pada-iklim-indonesia/
Anonym.2011.IOD.http://acanx.multiply.com/journal/item/7
Anonym.2011.http://www.perpustakaan.lapan.go.id/jurnal/index.php/jurnal_sains/article/
viewFile/340/293
Wataru_Sasaki.2008.Climate_Variation.http://www.bom.gov.au/climate/IOD/about_IOD
.shtml
Unesco.2011.state_of_the_ocean.http://ioc3.unesco.org/oopc/state_of_the_ocean/sur/ind/
dmi.php
Anonym.2008.http://www.ias.ac.in/currsci/jan102008/29.pdf
Disusun Oleh :
LOLA NURUL AFIFAH
230210100027
PENDAHULUAN
Negara
terluas
keenam
menurut
keseluruhan.
Kepemilikian
dan
padang rumput, Dataran Victoria Biasa dan Semak Belukar Mulga Australia
Barat. Jantung Negara ini adalah dataran tinggi Australia tengah memiliki fitur
yang menonjol, yakni di tengah dan selatan, termasuk pedalaman Gurun
simpson, Gurun Berbatu Tirari-Sturt, Gurun Gibson, Gurun Sandy-Tanami Besar,
dan Gurun Victoria Besar dengan Dataran Nullarbor yang terkenal di pesisir
selatan.
Iklim di Australia sangat dipengaruhi oleh arus samudera, termasuk Dipol
Samudera Hindia dan Osilasi El-Nio Selatan, yang berkorelasi dengan
kekeringan yang berkala, dan system tekanan rendah tropis bermusim yang
menghasilkan siklon di utara Australia. Faktor-faktor ini mengimbasi curah hujan
yang variatif dari tahun ke tahun. Sebagian besar utara Negara ini memiliki iklim
hujan musim panas dominan tropis (monsoon). Di bawah tiga per empat
Australia terletak sebuah gurun atau zona kurang subur. Pojok Barat Daya
Australia Barat memiliki iklim Mediterrania. Banyak bagian di tenggara (termasuk
Tasmania) adalah beriklim sedang.
ISI
Dipole Mode
Interaksi yang cukup kuat antara atmosfer dan lautan di wilayah
Samudera Hindia menghasilkan fenomena Dipole Mode (DM) yang didefinisikan
sebagai tanda-tanda atau gejala akan menaiknya atau memanasnya suhu
permukaan laut (SPL) dari kondisi normal di sepanjang Ekuator Samudera
Hindia, khususnya di sebelah selatan Hindia yang diiringi dengan menurunnya
suhu permukaan laut tidak normal di perairan Indonesia di wilayah pantai barat
Sumatera (Yamagata, 2001). Pada keadaan normalnya, disebelah barat lautan
tropis Hindia suhu permukaan laut mengalami pendinginan dan hangat di
sebelah bagian timurnya dan ditandai dengan distribusi SPL yang cukup merata
disekitar ekuator.
Saji,
et.al
(1999)
menganalisis
kejadian
Dipole
Mode
dengan
barat (50E - 70E, 10S - 10N) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur
(90E - 120E, 10S ekuator). Selain SPL, dipole anomali RGP juga sama
terjadi seperti SPL pada satu tahun Dipole Mode (Behera et.al, 1999). Saji dan
yamagata (2001) mengidentifikasi bahwa kejadian DM(+) meliputi tahun 19821983, 1994-1995 dan 1997-1998 dan kejadian DM(-) pada tahun 1983-1984,
1988-1989, 1992-1993, 1995-1996 dan 1998-1999.
Hasil perhitungan perbedaan nilai (selisih) antara anomaly suhu muka
laut di bagian barat dan sebelah timur samudera Hindia ini dikenal sebagai DMI
(Dipole Mode Index). Dipole Mode dibagi menjadi dua fase yakni Dipol Mode
positif dan Dipole Mode Negatif. Dipole Mode positif (DMP) terjadi pada saat
tekanan udara permukaan diatas wilayah barat Sumatera relatif bertekanan lebih
tinggi dibandingkan wilayah timur Afrika yang bertekanan relatif rendah, sehingga
udara mengalir dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang
mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan
menghasilkan curah hujan diatas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi
kekeringan, begitu sebaliknya dengan Dipole Mode Negatif (DMN). Dalam
kaitannya dengan pola curah hujan di BMI. Illustrasi proses / mekanisme
fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) secara skematis di sajikan dalam gambar
(1) dan (2) :
Gambar 2. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI
positif
Sumber : http//www.jamstec.go.hjp/frsgc/research/d1/iod/
Gambar 3. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI
negatif
Sumber : http//www.jamstec.go.hjp/frsgc/research/d1/iod/
Fenomena
Tahun
El Nino
La Nina
DM+
DM-
Kondisi
Iklim
1955
1956
1957
kuat
1961
1963
kuat
1965
kuat
kuat
normal
kuat
kekeringan
kuat
kekeringan
kekeringan
1967
1969
kuat
kekeringan
kuat
1970
kekeringan
kuat
normal
1971
1972
Tabel
kuat
kuat
1973
kuat
1975
kuat
1976
kuat
1982
kuat
2003
kekeringan
kuat
kuat
1. Data
kekeringan
kekeringan
kuat
kuat
kekeringan
kuat
kekeringan
kuat
kuat
1998
2002
kuat
kuat
1995
1997
kekeringan
kekeringan
1993
1994
kuat
kuat
1988
1991
kuat
kekeringan
1983
1987
kekeringan
kuat
kuat
kuat
kuat
kekeringan
kuat
normal
kuat
normal
kuat
2004
normal
kekeringan
kuat
normal
fenomena Dipole Mode yang terjadi karena adanya aliran udara antara
wilayah Hindia bagian selatan dengan setelah barat Australia.
Hasil studi dari Saji dan yamagata (2003) menyatakan bahwa DM
berkorelasi positif dengan tingginya anomali SPL di Belahan Bumi Utara (BBU)
dan Belahan Bumi Selatan (BBS) termasuk kawasan Subtropid. Perubahan SPL
selama peristiwa DM ditemukan hubungannya dengan perubahan angin
permukaan di samudera Hindia bagian tengah ekuator. Pada kenyataannya arah
angin berkebalikan dari baratan ke timuran selama puncak fase dari kejadian DM
positif ketika SPL mendingin di timur dan menghangat di barat. Pengaruh dari
angin ini sangat signifikan pada kedalaman termoklim melalui proses-proses di
lautan (Rao et al.,2001). Termoklim meningkat di bagian timur dan semakin
dalam dibagian tengah dan barat. Penurunan upwelling di sekitar pantai
menyebabkan SPL mendingin di bagian timue (Behera et al.,1999).
DM positif menghasilkan anomali sirkulasi atmosfer dimana osilasi SPL di
Samudera Hindia tropis berkaitan dengan curah hujan di Negara-negara
sekitarnya terutama Indonesia dan beberapa Negara Afrika. Penelitian selama
beberapa decade terakhir menunjukkan bahwa iklim di daerah tropis pada skala
besar sangat dipengaruhi oleh perubahan SPL. Behera dan Yamagata (2001)
mengidentifikasi bahwa mendinginnya SPL dibagian timur Samudera Hindia
disebabkan oleh peningkatan evaporasi di bagian barat Samudera Hindia.
Pengaruh Kekeringan Australia
Sebuah studi 2009 oleh Ummenhofer dkk. Di Universitas New South
Wales (UNSW) Pusat Penelitian Perubahan Iklim, telah menunjukkan korelasi
yang signifikan antara IOD dan kekeringan di bagian selatan Australia,
khususnya selatan-timur. Setiap kekeringan selatan besar sejak 1889 telah
bertepatan dengan fluktuasi IOD positif / netral termasuk 1895-1902, 1937-1945
dan saat ini 1995-sekarang kekeringan.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika IOD berada dalam fase negative,
dengan air dingin Samudera Hindia barat Australia dan hangat Laut Timor air ke
utara, angin yang menghasilkan yang mengambil air dari laut dan kemudian
menyapu ke bawah kea rah selatan Australia untuk memberikan curah hujan
yang lebih tinggi. Dalam fase positif IOD, pola suhu laut dibalik, melemahnya
angin dan mengurangi jumlah kelembapan dibawa dan diangkut ke seluruh
Gambar 4. Rata-rata curah hujan pada musim dingin musim semi di Australia selama tahun IOD
positif
Sumber : www.bom.gov.au
Peta di atas menunjukkan bahwa selama tahun IOD positif, musim dingin
musim semi bisa menyebabkan curah hujan dibawah rata-rata (yaitu dalam
desil 2 atau 3 dan ditunjukkan oleh warna merah di peta) di bagian tengah dan
selatan Australia. Perlu dicatat bahwa tidak ada bagian dari negara ini ada
kecenderungan yang konsisten terhadap rata-rata diatas (desil 8 atau lebih
tinggi) curah hujan di tahun IOD positif.
Musim dingin & Musim Semi di Australia pada tahun IOD negatif
Gambar 5. Rata-rata curah hujan pada musim dingin musim semi di Australia selama tahun IOD
negative
Sumber : www.bom.gov.au
Peta di atas menunjukkan bahwa selama tahun IOD negatif, musim dingin
musim semi bisa menyebabkan curah hujan di atas rata-rata (yang berarti
dalam desil 8 atau 9 dan ditunjukkan oleh warna biru dip eta) di sebagian besar
selatan Australia. Perlu dicatat bahwa tidak ada bagian dari Negara ini ada
kecenderungan yang konsisten terhadap bawah rata-rata (desil 3 atau lebih
rendah) curah hujan.
KESIMPULAN
Indian Ocean Dipole adalah suatu fenomena yang terjadi karena adanya
interaksi antara atmospher dan ocean yang terdapat di lautan Hindia tropis.
Fenomena dicirikan dengan bersamaan terjadinya penyimpangan suhu muka air
laut yang berlawanan di bagian barat (50E - 70E, 10N) dan di bagian timur /
tenggara (90E 110E, 10S ekuator). Untuk menyatakan besarnya
simpangan tersebut lazim digunakan istilah anomali yakni beda atau
pembanding terhadap nilai rata-ratanya. Misalnya pada waktu Lautan Hindia
khatulistiwa bagian tenggara mengalami anomali dingin, suhu muka laut di
sebelah barat Sumatera terjadi anomali panas atau dalam keadaan suhu muka
laut di Lautan Hindia khatulistiwa bagian barat lebih dingin dibandingkan di
sebelah timur; demikian keadaan tersebut dapat sebaliknya. Dari keadaan
seolah-olah seperti ada pasangan pusat panas-dingin di bagian barat dan bagian
timur; kemudian pasangan tersebut dikenal dengan Indian Dipole Mode yang
selanjutnya orang menyingkat dengan dipole mode. Bila pusat panas berada di
bagian timur disebut dipole mode negatif dan bila berada dibagian barat disebut
dipole mode positif .
Fenomena dipole merupakan hasil atau model interaksi antara atmosfer
dan laut. Dari model tersebut dijelaskan bahwa timbulnya Dipole Mode didahului
oleh pasat tenggara diatas lautan Hindia bagian selatan dan timur yang kuat dan
bertiup terus menerus dalam suatu kurun waktu. Tiupan yang terus menerus
tersebut menimbulkan tegangan (stress) muka air laut sehingga terjadi
penumpukkan massa laut dan panas
anomaly suhu muka laut di lautan Hindia khatulistiwa yang demikian , daerah
golakan yang biasanya terdapat dibagian timur yang panas bergeser ke barat.
Sebaliknya ketika angin pasat lemahangin banyak bertiup dari arah barat atau
barat daya sehingga terjadi pengumpulan massa dan panas di bagian timur yang
panas. Tetapi dari pandangan oseanografi penurunan suhu muka laut di bagian
timur lautan Hindia khatulistiwa karena timbulnya massa laut naik atau upwelling
yang berawal di lautan sebelah selatan Nusa Tenggara Barat kemudian menjalar
ke barat sehingga suhu muka laut di bagian timur lautan Hindia sekitar
khatulistiwa lebih dingin dibandingkan di bagian barat bergeser ke timur sehingga
di bagian barat lebih dingin dibandingkan di bagian timur.
Di Australia saat terjadi IOD positif akan mengakibatkan curah hujan yang
rendah atau relatif kering / panas. Sedangkan pada IOD negatif akan
mengakibatkan curah hujannya tinggi atau basah / lembab.
DAFTAR PUSTAKA
2011.
Dipole
Samudera
Hindia.
2010.
Dipole
Mode
(DM).
http://moklim.dirgantara-
2010.
Dipole
Mode.
http://egsaugm.blogspot.com/2010/12/dipole-
Topik : IOD
Disusun oleh:
Liza Syahputra
230210100038
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
Gambar 1. Suhu permukaan laut rata rata pada bulan November 1997
Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/IOD/about_IOD.shtml
Periode Indian Ocean Dipole yang positif ditandai dengan air di Samudra Hindia Tropis
Bagian timur menjadi lebih dingin dari air normal, dan di bagian barat Samudera Hindia tropis
menjadi lebih hangat dari air normal. Sebaliknya, Indian Ocean Dipole yang negatif ditandai
dengan air di Samudera Hindia tropis timur laut menjadi lebih hangat dibandingkan air di
Samudra Hindia tropis bagian barat.
El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu fenomena laut yang
berpengaruh besar terhadap keragaman hujan indonesia (Boer, 2003). ENS0 merupakan
fenomena interaksi dari lautan dan atmosfer di Samudera Pasifik dimana El Nino adalah
fenomena laulan dan Soutliern Oscillation adalah fenomena atmosfer. lndikator yang digunakan
untuk mengctahui ENS0 adalah lndeks Osilasi Selatan (SOI) dan ASPL di Samudera
Pasifik.ASPL di Pasifik Ekuator berkaitan eratdengan sirkulasi Walker. Daerah denganSPL
tinggi merupakan pusat tekanan udara rendah dan merupakan daerah konvektif, sehinga
menjadi penggerak utama sirkulasi walker selanjutnya. Pada sirkulasi walker normal, titik
konvektif herada pada wilayah Indonesia, Amerika,dan Afrika di sepanjang ekuator.Namun
dengan pergeseran SPL tinggi dari Indonesia ke arah timur pada saal terjadi El Nino.maka titik
konvektif pun bergeser mengikuti SPL sehingga terjadi perubahan sirkulasi Walker. Fenomella
ini dikenal sebagai El Nino.
sirkulasi tropis skala luas yaitu Sirkulasi Walker dan Sirkulasi Hadley. Dampak El Nino terhadap
kondisi cuaca global (Pustekkom, 2007) antara lain angin pasat timuran melemah, sirkulasi
muson melemah, akumulasi curah hujan berkurang di wilayah lndonesia, Amerika Tengah dan
amerika Selatan bagian Utara. Cuaca di daerah tersebut cenderung lebih dingin dan kering, dan
potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah
Argentina.
Beberapa daerah tropis, lermasuk Indonesia, secara langsung dipengaruhi oleh kondisi
kering akibat peristiwa ENSO. Periode El Nino berkaitan dengan peningkatan curah hujan
sepanjang Samudera Pasitik bagian timur dan tengah serta kondisi kering di atas normal terjadi
di Australia utara, Indonesia, dan Filipina Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di
sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat
tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang
dikenal sebagai benua maritim (kepulauan), maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi
oleh fenomena El Nino.
jauh lebih signifikan pada pola curah hujan di selatan-timur Australia dari El Nino-Southern
Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik
2.5 PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE DALAM BIDANG PERIKANAN
Indian Ocean Dipole tidak Hanya mengakibatkan perubahan pergerakan angin namun
juga sangat berpengaruh terhadap perikanan yaitu ditandai dengan perubahan fisik air yang
terjadi di wilayah Indian Ocean Dipole:
Pada masa IOD negatif, pergerakan ikan didaerah fase negatif berlangsung pada
bulan Oktober 2000 sampai Maret 2001. Fase ini ditandai dengan anomali positif
suhu permukaan laut di Samudera Hindia menyebabkan
meningkat secara tajam. Pada masa ini, terjadi kondisi yang buruk bagi perikanan
daerah Selat Sunda dengan curah hujan yang tinggi mempengaruhi ikan untuk
bermigrasi ke tempat yang lebih hangat.
Pada masa IOD positif, terdapat 3 fase perubahan suhu di Selat Sunda yang secara
berurutan yaitu:
Fase pertama terjadi di daerah selatan pulau Jawa dan Sumatra mengalami
pendinginan suhu laut permukaan, mulai terbentuk pada bulan Juni dan
semakin menguat karena propagasi gelombang Rossby yang bertiup dari
sumbernya ke daerah barat di sekitar Laut Timor dan mencapai puncaknya
pada bulan Oktober. Hal ini mengakibatkan kondisi air yang kurang kondusif
sehingga ikan cenderung bermigrasi ke daerah yang lebih hangat
Selama masa transisi dari barat ke timur, arus yang mengalir sepanjang pantai
selatan Sumatra dan arus khatulistiwa selatan lepas pantai Samudra Hindia
membawa massa air yang relatif hangat. Kondisi air seperti ini sangat kondusif
bagi migrasi ikan tongkol
Pada fase ketiga, kondisi oseanografi Selat Sunda kembali stabil, terbentuk
upwelling di perairan Sumatra pada bulan juli sampai agustus 1998
(syamsuddin 2003). Upwelling di perairan ini diikuti dengan terbawanya suplai
massa air hangat yang sangat ideal bagi lingkungan hidup ikan.
BAB III
KESIMPULAN
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis tidak hanya memberikan dampak
positif, namun juga rawan akan fenomena alam yang menyebabkan penyimpangan iklim yang
terdapat di kedua samudra yang mengapit Indonesia. Seperti peristiwa Indian Ocean Dipole
yang memegang pengaruh terhadap berbagai aspek. Sisi menguntungkan dari fenomena ini
yaitu mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi kehidupan di laut yang merupakan
keuntungan dalam bidang perikanan. Sementara sisi merugikan dari fenomena ini yaitu
menciptakan kondisi yang kurang kondusif bagi kehidupan di perairan laut, bahkan dapat
mengancam kelangsungan beberapa organisme serta menggangu keseimbangan dalam suatu
ekosistem, baik itu di daratan maupun di perairan.Oleh karena itu akan lebih baik apabila terus
dilakukan pemantauan gejala gejala iklim yang terjadi di kedua samudera yang berada di
Indonesia, dan juga dilakukan langkah mitigasi agar efek buruknya dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
NH Saji, BN Goswami, Vinayachandran PN, Yamagata T., 1999: Sebuah modus dipol di
Samudera Hindia tropis, Alam, 401, 360-363.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=dampak%20positif%20indian%20ocean%20di
pole&source=web&cd=9&ved=0CE4QFjAI&url=http%3A%2F%2Frepository.ipb.ac.id%2
Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F36858%2FBAB%2520II%2520Tinjauan%252
0Pustaka%2520G09rfu4.pdf%3Fsequence%3D7&ei=UebATtj1IcjZrQeCs43cCQ&usg=AFQjCNGWKnTZrj7NFU
GLWkKgJIpERGjFwA. Diakses pada tanggal 14 November 2011 pukul 17.00 WIB
Herawati Beti, Muhammad Mahatir, Prasetyo Rini Noviana, Yuhendra Rian. 2011.
Makalah indian Ocean Dipole. http://riyuch4nzbl0g.blogspot.com/2010/11/makalahindian-osean-dipole-dan.html. diakses pada tanggal 14 November 2011 pukul 18.55
WIB
METEOROLOGI LAUT
Disusun Oleh:
Viky Fajrul Sahrija
230210100002
Kelompok 1
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2011
PENDAHULUAN
Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi
antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa
(tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Samudera
Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa
udara yang berhembus ke barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan
mengangkat massa air dari bawah ke permukaan, mirip dengan "bajak" petani yang mengangkat
lapisan bawah tanah/lumpur ke permukaan. Akibatnya, suhu permukaan laut di sekitar pantai
Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis (anomali
negatif rata-rata sebesar 2 derajat Celsius).
Aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia ini
merupakan gejala fisik utama yang mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini
akan menimbulkan gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur
(berlawanan dengan arah angina). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan
thermocline (lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah
permukaan laut dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian Timur Samudera Hindia
(Selatan Jawa dan Barat Sumatra). Ketika thermocline ini terangkat, suhu permukaan air laut
menurun. Sebaliknya, di sisi Barat, gelombang ini akan menekan thermocline lebih masuk ke
dalam, yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat, dan Indian Ocean Dipole pun
berlangsung. Karena itu pula penurunan suhu permukaan air laut di sisi Timur Samudera Hindia
(anomali negative) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi Barat nya (anomali positif)
disebut peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air
laut) atau Indian Ocean Dipole.
TINJAUAN PUSTAKA
pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas
normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan, begitu sebaliknya dengan Dipole
Mode Negatif (DMN). Dalam kaitannya dengan pola curah hujan di BMI (Benua Maritim
Indonesia), maka DMI positif berhubungan dengan berkurangnya intensitas curah hujan di
bagian barat BMI. Sedang sebaliknya, DMI negatif berhubungan dengan bertambahnya
intensitas curah hujan di bagian barat BMI. Ilustrasi proses / mekanisme fenomena IOD (Indian
Ocean Dipole) secara skematis di sajikan dalam gambar (1) dan (2) :
Gambar 1. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI
positif.
Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Gambar 2. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI
negatif.
Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Siklus DM diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar
selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei-Juni, bersamaan dengan itu terjadi anomali
angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli-Agustus,
anomali negatif SPL tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai ke ekuator hingga
pantai barat Sumatera, sementara itu anomali positif SPL mulai muncul di Samudera Hindia
bagian barat. Perbedaan tekanan di antara keduanya semakin memperkuat angin tenggara di
sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan
Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember.
Fenomena Dipole Mode dipengaruhi oleh sirkulasi Walter yang terjadi akibat adanya
perbedaan tekanan antara wilayah bagian timur Samudera Hindia dekat Pulau Sumatera bagian
barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika yang mengakibatkan terjadinya aliran
udara secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi menuju wilayah dengan tekanan udara
rendah. Selain itu ternyata angin zonal (timur-barat) juga berpengaruh terhadap kejadian ini,
yakni akibat adanya pergerakan massa udara dari barat ke timur Samudera Hindia atau
sebaliknya. Sementara itu angin meridional juga berpengaruh terhadap fenomena Dipole Mode
yang terjadi karena adanya aliran udara antara wilayah India bagian selatan dengan setelah barat
Australia.
Hasil studi dari Saji dan Yamagata (2003) menyatakan bahwa DM berkolerasi positif
dengan tingginya anomali SPL di Belahan Bumi Utara (BBU) dan Belahan Bumi Selatan (BBS)
termasuk kawasan Subtropis. Perubahan SPL selama peristiwa DM ditemukan hubungannya
dengan perubahan angin permukaan di Samudera Hindia bagian tengah ekuator. Pada
kenyataannya arah angin berkebalikan dari baratan ke timuran selama puncak fase dari kejadian
DM positif ketika SPL mendingin di timur dan menghangat di Barat. Pengaruh dari angin ini
sangat signifikan pada kedalaman termoklim melalui proses-proses di lautan (Rao et al.,2001).
Termoklim meningkat di bagian timur dan semakin dalam dibagian tengah dan barat. Penurunan
upwelling di sekitar pantai menyebabkan SPL mendingin di bagian timur (Behera et al.,1999).
a. Pada masa Indian Ocean Dipole Negatif, pergerakan ikan di daerah di Fase negatif berlangsung
selama Oktober 2000 s/d Maret 2001. Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif
suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di
wilayah ini meningkat secara tajam.
Dengan demikian, pada masa ini merupakan kondisi buruk untuk perikanan di daerah Selat
Sunda (perairan antara Jawa dan Sumatra) karena dengan curah hujan tinggi, suhu perairan
juga mengalami penurunan drastis yang memungkinkan ikan melakukan migrasi ketempat
yang lebih hangat.
b. Pada masa Indian Ocean Dipole positif terjadi 3 fase perubahan suhu di daerah
(antara Sumatra dan jawa), secara berurutan sebagai berikut:
selat sunda
Fase pertama yang terjadi di daerah selatan P. Jawa dan Sumatra yang megalami fase
pendinginan suhu air laut permukanaan, (ditandai dengan dominasi anomali negatif Suhu
Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur), mulai terbentuk pada bulan Juni
dan semakin menguat pengaruhnya akibat propagasi gelombang Rossby yang bergerak ke
barat dari sumbernya di perairan sekitar Laut Timor, sepanjang 10-120 LS, pada bulan Juli
dan mencapai puncaknya Oktober.
Dengan demikian Samudera Hindia bagian timur yang mencakup perairan Selat Sunda
didominasi massa air relatif dingin yang tidak kondusif untuk ikan-ikan permukaan berdarah
dingin (tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya) sehingga mereka akan
melakukan migrasi ke tempat-tempat yang lebih nyaman mereka huni. Karena pada keadaan
aslinya permukaan air laut bersuhu hangat.
Namun selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang mengalir
sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan dari lepas pantai Samudera
Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda. Suplai massa air
hangat ini menyebabkan kondisi hidrologi Selat Sunda sangat kondusif untuk migrasi ikan
tongkol.
Pada fase ketiga kondisi oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk
upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998 (Syamsudin
2003). Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda (barat Sumatra) dan diikuti dengan
pembentukan massa air hangat di perairan internal Selat Sunda, merupakan kondisi ideal
lingkungan hidup ikan (terjadi sebelum penurunan suhu secara signifikan pada bulan
September.
KESIMPULAN
Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi
antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa
(tropis) dan di sebelah selatan Jawa.
Indian Ocean Dipole terjadi apabila ada perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat
Samudera Hindia (daerah 50 o-70o BT dan 10o LS - 10o LU) dan suhu permukaan air laut di
bagian Timur Samudera Hindia (daerah 90 o-110o BT dan 10o LS - 0o LU). Indeks perbedaan
suhu permukaan air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini,
semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan.
Akibat yang ditimbulkannya didaerah Indonesia dia menyebabkan kekeringan, maka hal ini
bertolak belakang dengan daerah pantai timur Afrika dan daratan India. Wilayah-wilayah ini
akan mengalami musim hujan yang berlebih, di atas rata-rata. Selain itu dapat mempengaruhi
perikanan di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA