Di Bali Saat Ini Ditemukan Berbagai Corak Arsitektur
Di Bali Saat Ini Ditemukan Berbagai Corak Arsitektur
Di Bali Saat Ini Ditemukan Berbagai Corak Arsitektur
tradisional bali yang di kembangkan, arsitektur masa kini yang berstil bali bahkan arsitektur yang
sama sekali tidak memiliki nuansa bali. Mengetahui aspek-aspek arsitektur tadisional bali di
butuhkan pengetahuan yang mendalam terutama aspek filosofi, religius dan sosial budaya.Arsitektur
tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah
berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu,
sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta
Kosala-Kosali dan Asta Pasali. Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang
dilandasi agama Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional
Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan
kebudayaan.
Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang mempengaruhi nilai tata
ruangnya, antara lain :
2. Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana) Hulu Teben merupakan dua kutub
berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben bernilai nista/ kotor. Sedangkan
purusa(jantan) pradana(betina) merupakan embryo suatu kehidupan
3. Konsep Tri Buana - Tri Angga, Susunan tri angga fisik manusia dan struktur tri buana fisik
alam semesta melandasi susunan atas bagian kaki, badan, kepala yang masing-masing
bernilai nista, madya dan utama.
4. Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan sumber daya alam,
pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat, khususnya insan-insan ahli
pembangunan tradisional setempat.
Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan tradisional Bali
ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:
1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara
pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah, ladang/sungai.
Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus
langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain. Pantangan
ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan umum
dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini
tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
Desain interior berarti rancangan ruang dalam. Tetapi dalam konsep arsitektur tradisional Bali
Madya konsep desain interior, juga dapat berarti rancangan ruang di dalam ruang (space in space)
pada area rumah tinggal, ( by : http://m.isi-dps.ac.id/news/desain-interior-rumah-tinggal-tradisional-
bali-madya ) dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pola Zonasi
Pola zonasi rumah tinggal era Bali Madya memiliki pola teratur, dengan konsep ruang sanga
mandala, yang membagi pekarangan menjadi 9 bagian area (pah pinara sanga sesa besik). Tata
nilai ruangnya ditata dari area atau zona Utamaning utama sampai zona Nistaning nista untuk
bangunan paling provan. Jadi konsep zonasi unit bangunan di dalam pekarangan rumah tradisional
Bali Madya, ditata sesuai dengan fungsi dan nilai kesakralan dari unit bangunannya. Zona
parahyangan untuk tempat suci, zona pawongan untuk bangunan rumah dan zona palemahan untuk
kandang ternak, teba dan tempat servis/ pelayanan. Filosofi Trihitakarana sangat jelas diterapkan
pada sonasi ruang rumah tinggal era Bali Madya, karena zona ruangnya telah didesain agar
keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan ala lingkungan tetap
terjaga, sehingga pemilik dan pemakai bangunan memperoleh keselamatan, kedamaian dan
kesejahteraan.
2. Pola Sirkulasi
Desain pola sirkulasi pada rumah tinggal tradisional Bali Madya adalah dari pintu
masuk/angkulangkul menuju dapur (paon), yang memiliki makna sebagai tempat untuk
membersihkan segala hal buruk yang terbawa dari luar rumah, kemudian baru dapat memasuki
bangunan-bangunan lainnya, seperti ke Bale Dauh, Bale Gede/Dangin, Meten/Gedong dan
bangunan lainnya. Sedangkan pola religiusnya dimulai dari Sanggah/Merajan, baru kemudian ke
Bale Meten/Bale Daja, Bale Gede/dangin, Bale Dauh, Paon, Jineng, Penunggun Karang, Angkul-
angkul dan bangunan tambahan lainnya. Proses aktivitas yang dimulai dari tempat suci ini dilakukan
pada saat upacara secara tradisional Bali.
3. Orientasi
Orientasi bangunan rumah tradisional Bali Madya adalah menghadap ke ruang tengah
(natah),yang memiliki makna tempat bertemunya langit dan bumi, sehingga tercipta kehidupan di
bumi. Langit (akasa) adalah purusa, sebagai simbol unsur laki-laki dan bumi (pertiwi) adalah
pradana, yang merupakan simbol unsur perempuan. Unsur purusa dan predana inilah bertemu pada
natah, sehingga tercipta kehidupan di rumah tinggal tradisional Bali Madya. Pada rumah tradisional
Bali Madya, bangunan tempat tidur (Bale Meten) berorientasi ke Selatan, bangunan tempat anak
muda/ tamu (Bale Dauh) berorientasi ke Timur, bangunan tempat upacara (Bale Gede/Dangin)
berorientasi ke Barat, sedangkan dapur (Paon) berorientasi ke utara. Keempat unit bangunan pokok
tersebut berorientasi ke tengah/natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tinggal. Orientasi pintu
masuk tempat suci keluarga (Sanggah/ merajan) kearah Selatan atau ke arah Barat.
4. Lay Out Ruang
Maksud dari lay out ruang adalah perencanaan, rancangan, desain, susunan, tata letak tentang
ruang-ruang yang terdapat pada desain interior rumah tinggal tradisional Bali Madya. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa desain interior tradisional Bali Madya adalah seluruh compound
bangunan yang terdapat di dalam tembok penyengker, sehingga ruang kosong di
tengah yang disebut natah adalah termasuk ruang keluarga sebagai tempat bermain dan
berkumpulnya keluarga.
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali
yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari
zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada
lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para
undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.
KONSEP DASAR:
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata
ruangnya, diantaranya adalah:
1. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala
tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan
pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak,
Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain
bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.
Filosofi arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan Majapahit (abad XV
XIX ) dianggap sebagai masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali yang dilandasi
oleh lontar asta kosala-kosaili dan lontar asta bumi. (Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan
Panyarikan)
Asta kosala-kosali adalah aturan tentang bentuk-bentuk simbol pelinggih, yaitu ukuran panjang,
lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan.
Asta bumi adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar-
pelinggih.
Varian karakter yang mendasar muncul di antara penduduk di daerah dataran dengan pegunungan
serta penduduk di daerah Bali Selatan dengan penduduk di daerah Bali Utara. Meskipun demikian,
terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik acuan arsitektur tradisional Bali, yaitu
prinsip tri anggaatau tri loka, konsep kosmologis (tri hita karana), dan orientasi kosmologis.
C. ORIENTASI KOSMOLOGIS
Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa sanga).
Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan dewata nawa
sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap menitikberatkan
upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan berlandaskan:
Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kajake arah gunung dan kelodke arah
laut).
Gunung Agung merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah yang
tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan terdekat. Posisi
pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Oleh karena itu, pengertian kajabagi orang Bali yang berdiam di
sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal patokan sumbu mereka tetap,
yaitu sumbu kaja-keloddan kangin-kauh.
Paras kerobokan
Alang-alang
Ijuk
Bamboo
Kayu