Arsitektur Tradisional Bali

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

 11.25   baliinformation

Di Bali saat ini ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari Arsitektur tradisional
bali kuno, tradisional bali yang di kembangkan, arsitektur masa kini yang berstil bali bahkan
arsitektur yang sama sekali tidak memiliki nuansa bali. Mengetahui aspek-aspek arsitektur
tadisional bali di butuhkan pengetahuan yang mendalam terutama aspek filosofi, religius dan
sosial budaya.Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala
aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud
dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta
Pasali. Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama
Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat
ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan
kebudayaan.
      Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang mempengaruhi
nilai tata ruangnya, antara lain :

1. Konsep Keseimbangan (keseimbangan unsur semesta, konsep catur lokapala,konsep


dewata nawa sanga ), konsep ini juga harus menjadi panutan dalam membangun
diberbagai tataran arsitektur termasuk keseimbangan dalam berbagai fungsi
bangunan. konsep dewata nawa sanga ialah aplikasi dari pura-pura utama yang berada
di delapan penjuru arah dibali yang yang dibangun menyeimbangkan pulau bali, pura-
pura utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di delapan penjuru mata
angin dan di tengah.Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang berwujud natah (halaman
tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang ada disekitarnya dan juga
pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale Daje,Bale Dauh,Bale
Delod,Bale Dangin,
2. Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana) Hulu Teben merupakan dua
kutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben bernilai nista/ kotor.
Sedangkan purusa(jantan) pradana(betina) merupakan embryo suatu kehidupan
3. Konsep Tri Buana - Tri Angga, Susunan tri angga fisik manusia dan struktur tri buana
fisik alam semesta melandasi susunan atas bagian kaki, badan, kepala yang masing-
masing bernilai nista, madya dan utama.
4. Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan sumber daya
alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat, khususnya insan-insan
ahli pembangunan tradisional setempat.
Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan
tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:

1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara
pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah,
ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus
langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan
umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum,
ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.

Dan lain sebagainya.

      Desain interior berarti rancangan ruang dalam. Tetapi dalam konsep arsitektur tradisional
Bali Madya konsep desain interior, juga dapat berarti rancangan “ruang di dalam ruang”
(space in space) pada area rumah tinggal, ( by : http://m.isi-dps.ac.id/news/desain-interior-
rumah-tinggal-tradisional-bali-madya ) dengan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pola Zonasi 

    Pola zonasi rumah tinggal era Bali Madya memiliki pola teratur, dengan konsep ruang
sanga mandala, yang membagi pekarangan menjadi 9 bagian area (pah pinara sanga sesa
besik). Tata nilai ruangnya ditata dari area atau zona Utamaning utama sampai zona
Nistaning nista untuk bangunan paling provan. Jadi konsep zonasi unit bangunan di dalam
pekarangan rumah tradisional Bali Madya, ditata sesuai dengan fungsi dan nilai kesakralan
dari unit bangunannya. Zona parahyangan untuk tempat suci, zona pawongan untuk
bangunan rumah dan zona palemahan untuk kandang ternak, teba dan tempat servis/
pelayanan. Filosofi Trihitakarana sangat jelas diterapkan pada sonasi ruang rumah tinggal 
era Bali Madya, karena zona ruangnya telah didesain agar keselarasan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan ala lingkungan tetap terjaga, sehingga pemilik
dan pemakai bangunan memperoleh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.

2. Pola Sirkulasi

   Desain pola sirkulasi pada rumah tinggal tradisional Bali Madya adalah dari pintu
masuk/angkulangkul menuju dapur (paon), yang memiliki makna sebagai tempat untuk
membersihkan segala hal buruk yang terbawa dari luar rumah, kemudian baru dapat
memasuki bangunan-bangunan lainnya, seperti ke Bale Dauh, Bale Gede/Dangin,
Meten/Gedong dan bangunan lainnya. Sedangkan pola religiusnya dimulai dari
Sanggah/Merajan, baru kemudian ke Bale Meten/Bale Daja, Bale Gede/dangin, Bale Dauh,
Paon, Jineng, Penunggun Karang, Angkul-angkul dan bangunan tambahan lainnya. Proses
aktivitas yang dimulai dari tempat suci ini dilakukan pada saat upacara secara tradisional
Bali.

3. Orientasi

    Orientasi bangunan rumah tradisional Bali Madya adalah menghadap ke ruang tengah


(natah),yang memiliki makna tempat bertemunya langit dan bumi, sehingga tercipta
kehidupan di bumi. Langit (akasa) adalah purusa, sebagai simbol unsur laki-laki dan bumi
(pertiwi) adalah pradana, yang merupakan simbol unsur perempuan. Unsur purusa dan
predana inilah bertemu pada natah, sehingga tercipta kehidupan di rumah tinggal tradisional
Bali Madya. Pada rumah tradisional Bali Madya, bangunan tempat tidur (Bale Meten)
berorientasi ke Selatan, bangunan tempat anak muda/ tamu (Bale Dauh) berorientasi ke
Timur, bangunan tempat upacara (Bale Gede/Dangin) berorientasi ke Barat, sedangkan dapur
(Paon) berorientasi ke utara. Keempat unit bangunan pokok tersebut berorientasi ke
tengah/natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tinggal. Orientasi pintu masuk tempat
suci keluarga (Sanggah/ merajan) kearah Selatan atau ke arah Barat.
4. Lay Out Ruang

    Maksud dari lay out ruang adalah perencanaan, rancangan, desain, susunan, tata letak
tentang ruang-ruang yang terdapat pada desain interior rumah tinggal tradisional Bali Madya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa desain interior tradisional Bali Madya adalah
seluruh compound bangunan yang terdapat di dalam tembok penyengker, sehingga ruang
kosong di
tengah yang disebut natah adalah termasuk ruang keluarga sebagai tempat bermain dan
berkumpulnya keluarga.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan
masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan
yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri
fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada
penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk
dimaksud.

KONSEP DASAR:
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi
tata ruangnya, diantaranya adalah:
1. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:

Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)


Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
Sumbu natural: Gunung dan Laut

2. Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu


3. Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri
Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional
Bali.
Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia

Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala
didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali
adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi
yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun
memprhatikan kebudayan tersebut.

FILOSOFI ARSITEKTUR BALI

Filosofi arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan Majapahit (abad
XV – XIX ) dianggap sebagai masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali
yang dilandasi oleh lontar asta kosala-kosaili dan lontar asta bumi. (Bhagawan Wiswakarma
dan Bhagawan Panyarikan)
Asta kosala-kosali adalah aturan tentang bentuk-bentuk simbol pelinggih, yaitu ukuran
panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan.
Asta bumi adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak
antar-pelinggih.
Varian karakter yang mendasar muncul di antara penduduk di daerah dataran dengan
pegunungan serta penduduk di daerah Bali Selatan dengan penduduk di daerah Bali Utara.
Meskipun demikian, terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik acuan
arsitektur tradisional Bali, yaitu prinsip tri anggaatau tri loka, konsep kosmologis (tri hita
karana), dan orientasi kosmologis.

A.  PRINSIP TRIANGGA ATAU TRILOKA


Prinsip tria anggaatau tri lokamerupakan konsep keseimbangan kosmologis yang dicetuskan
oleh Empu Kuturan. Dalam prinsip ini terdapat tiga tata nilai tentang hubungan alam selaku
“wadah” dan manusia sebagai “pengisi”. Tata nilai ini memperlihatkan gradasi tingkatan
dengan spirit ketuhanan berada pada tingkatan paling tinggi.
Secara aplikatif, filosofi tri angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang memperlihatkan
tiga tingkatan, yaitu kepala badan-kaki. Dari filosofi tri angga dan tri lokaini, berkembang
konsepsi-konsepsi lain, seperti konsep kosmologis tri hita karana dan konsep orientasi
kosmologis

B.  KONSEP KOSMOLOGIS (TRIHITAKARANA)


Dalam konsep tri hita karana terdapat “tiga unsur” penghubung antara alam dan manusia
untuk membentuk kesempurnaan hidup, yaitu jiwa, raga, dan tenaga. Tiga sumber
kebahagiaan tersebut akan tercipta dengan memperhatikan keharmonisan hubungan antara
manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.

C.  ORIENTASI KOSMOLOGIS
Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa
sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan
dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap
menitikberatkan upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan
berlandaskan:
Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kajake arah gunung dan kelodke
arah laut).

Gunung Agung merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah
yang tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan
terdekat. Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan.  Oleh karena itu, pengertian kajabagi
orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal
patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-keloddan kangin-kauh.

Ciri Khas Arsitektur di Bali


Selain dikenal dengan kecantikan pulau dan pantainya, pesona Bali juga kental dengan ciri
khas arsitekturnya yang berbeda dan punya unsur kuat.  Hampir semua bangunan bernuansa
Bali memperlihatkan  material yang kental dengan nuansa alami dan juga pahatan yang indah
pada pintu.
Tidak heran bila arsitektur Bali  sangat digemari oleh seluruh pelosok Indonesia maupun
mancanegara. Melihat keunikan dari arsitektur khas pulau dewata ini, Lamudi akan
memaparkan ciri khas dari bangunan arsitektur di Bali.

1. Harmoni dengan alam


Salah satu unsur yang kental dari arsitektur di Bali  adalah konsep arsitektur yang harmoni
dengan lingkungan alam. Arsitektur harmoni ini merupakan  karakter dan inheren sebagai
watak  dasar arsitektur Bali.
Dengan konsep Tri Hita Karana, arsitektur Bali biasanya terdiri  dari 3 unsur pengubung
kerharmonisan yaitu, jiwa, raga dan tenaga. Tiga unsur ini akan menciptakan keharmonisan
hubungan antara lingkungan alam, antar-manusia serta manusia dengan Tuhan. Biasanya,
bangunan tersebut ditandai dengan material yang kental akan nuansa alam seperti batu-batuan
alam ataupun bambu.

2. Adanya ukiran di batu atau patung


Sejak kedatangan kerajaan Majapahit di sekitar abad 15, arsitektur Bali secara umum
mendapatkan pengaruh dari Hindu. Kedatangan Majapahit ini meninggalkan kebudayaan di
Bali berupa teknik pahatan di batu . Karya-karya pahatan dari batu tersebut kemudian
diletakkan di depan rumah dan digunakan sebagai pura atau tempat ibadah orang Hindu.
Seiring perkembangan jaman, selain kehadiran pura kecil di depan rumah, patung juga
menjadi salah satu gaya arsitektur yang indentik dengan Bali.

3. Struktur ruang yang  rapi


Gaya arsitektur Bali dibuat dengan konsep Tri Angga yang merupakan konsep keseimbangan.
Tri Angga  merupakan pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional
Bali, yang memperlihatkan tiga tingkatan yaitu,
-  Utama atau kepala. Bagian ini diposisikan paling tinggi yang diwujudkan dalam bentuk
atap. Pada arsitektur tradisional, bagian ini menggunakan atap ijuk dan alang-alang. Namun,
seiring perkembangan bagian atap mulai menggunakan bahan modern seperti, genteng.
-  Madya atau badan. Bagian tengah dari bangunan ini diwujudukan dalam bentuk bangunan
dinding, jendela dan pintu.
-  Nista atau kaki merupakan  bagian yang terletak di bawah dari sebuah bangunan. Bagian
ini diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah yang digunakan sebagai penyangga.
Biasanya, bagian ini erbuat dari batu bata atau batu gunung.

4. Struktur Rumah Tradisional Bali


Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali cenderung memiliki
struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-rumah beraksitektur tradisional Bali tak
hanya terdiri atas satu unit stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka yang tinggal di
kompleks ini merupakan keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling
kompleks bangunan ini dibangun tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup
memisahkannya dengan dunia luar.
Pada komplek bangunan ini terdapat satu Pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan
untuk bersama, area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting/perjamuan. Untuk tujuan
itu, biasanya pada kompleks bangunan ini dibangun 2 macam, yakni paviliun untuk
menerima tamu serta paviliun khusus untuk upacara adat dan ritual keagamaan.
SUMBER:
http://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Bali
http://www.lamudi.co.id/journal/3-ciri-khas-arsitektur-di-bali/
http://penebar-swadaya.net/blog/filosofi-arsirtektur-bali/
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI 

1. Pengertian 

Arsitektur Tradisional Bali merupakan suatu karya arsitektur yang lahir dari suatu tradisi,
kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk
fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan,
dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat 
Sejumlah pengertian arsitektur tradisional Bali lainnya : 

a. Arsitektur tradisional Bali merupakan microkosmos dari alam raya sebagai makrokosmos. 
b. Arsitektur tradisional sebagai wadah untuk membina dan menempatkan manusia secara   
    individu maupun kelompok agar selaras dengan alam semesta.. 
c. Arsitektur tradisional merupakan gambaran alam yang dituangkan dalam analogi –
analogi, 
    dan menyatakan terjemahan prinsip – prinsip kehidupan tradisi yang memberi gambaran  
    totalitas kehidupan individu dan masyarakat yang ritual. 

2. Hubungan Konseptual Antara Manusia, Bangunan, dan Alam. 

A. Tinjauan Filosofi : 

Sebelum kedatangan pengaruh Agama Hindu, Bali telah memiliki struktur bangunan yang
berbeda dengan setelah adanya pengaruh Hindu. Perbedaan itu tampak pada beberapa hal,
misalnya dalam segi tata ruang, tata bentuk, bahan bangunan, serta fungsi bangunan.
Pengaruh Hindu ke dalam berbagi aspek kehidupan baik itu ritual, kehidupan,
kemasyarakatan, berkesenian, dan lain –lain. Moksantam Jagadhita adalah tujuan akhir ajaran
Hindu. untuk mencapai tujuan tersebut maka semua dilakukan, dalam kehidupan rumah
tangga maka timbul “ banjar” dari desa yang bertahan hingga sekarang. Di dalam filsafat
hidup mengajarkan hendaknya mengharmoniskan diri dengan alam, berbeda dengan ajaran
barat : hendaknya menundukan alam. Menurut ajaran Hindu alam mini terdiri atas 5 unsur
yang disebut “ Pancamahabhata”, yaitu : 
 Pertiwi ( Zat padat ) 
 Apas ( Zat air ) 
 Teja ( Sinar ) 
 Wahyu ( Udara ) 
 Akasa ( …… ) 

Dunia dan segenap isinya berasal dari 5 unsur tersebut, dari sinilah muncul beberapa konsep
bahwa Bhuwana Agung dan Buwana Alit bersumber satu yaitu : “Panca Mahabhata”
( Parisada Hindu Dharma, 1..68 : 12 ) 
Filsafat hindu yang lazim disebut “ Tutur Sukma “ atau Tatwajhana. kemoksaan senantiasa
mengajarkan tentang hubungan harmonis antara Bhuwana Agung dan Bhuwana alit. di dalam
tatwa – tatwa disebut dengan istilah – istilah Pasak Weko, misalnya Panca Dewata di
Bhuwana Agung yaitu : Iswara di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di barat, Wisnu di
utara, dan Ciwa di tengah. Panca dewa di Buwana Alit , yaitu : Iswana di jantung, Brahma di
hati, Mahadewa di ……, Wisnu di empedu, dan Ciwa di paunduhan hati. 
Dalam arsitektur Bali mengandung filosofis symbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya,
yaitu : 

 Bhur Loka ( alam semesta ) 


 Bwas Loka ( alam manusia ) 
 Swah Loka ( alam dewa ) 

Sedangkan dalam Bhuwana Alit ( Badan Manusia ) juga di bagi 3 bagian, disebut “ Tri
Angga “ : 

 Nistama Angga ( Kaki ) 


 Madya Angga ( Badan ) 

Utama Angga ( Kepala ) Arsitektur Bali mengikuti konsep Bhuwana Agung dengan
pembagian menjadi 3 bagian, dan memiliki hitungan ganjil seperti 1,3,5,7,9, dan seterusnya. 
Bangunan itu sendiri merupakan symbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya, yaitu: 

 Pondasi dan lantai sebagai kaki ( Bhur Loka ) 


 Kontruksi Vertikal ( tiag dan dinding ) sebagai badan ( Bwas Loka ) 
 Pondasi atap sebagai kepala ( Swah Loka ) 

B. Norma Agama dan Kepercayaan : 

Dalam proses pembangunan, diawali dengan pengukuran tapak yang disebut dengan nyikut
karang. Dilanjutkan dengan caru pengeruak karang yaitu ritual persembahan kurban dan
mohon izin untuk membangun. Setelah izin didapat barulah dilakukan peletakan batu pertama
yang disebut nasarin. Ini bertujuan untuk mohon kekuatan pada ibu pertiwi agar kelak
bangunan menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya termasuk ahli bangunanya dilakukan
upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika semua
ritual sudah dilaksanakan barulah pembangunan dimulai. Setelah bangunan berdiri dan
sebelum digunakan dilakukan upacara syukuran yang disebut melaspas dan pengurip. Ini
bertujuan membersihkan bangunan dari energi-energi negatif dan menghidupkan aura
bangunan tersebut. 
Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau
ritual. Semua ritual tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang
akan dibangun dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Penciptanya,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.Tata cara penempatan
bangunan di dalam dengan pekarangan berpangkal pada konsep Rwa Bhineda, artinya kata
Rwa = dua , dan Bhineda = berbeda. artinya dua hal yang selalu ditentangkan ( berlawanan ),
seperti halnya Utara >< Selatan, Baik >< Buruk, dan lain sebagainya. dan hal demikian
disebut konsep dualisme. 
Selain itu juga ada konsep sumbu bumi ( uatra – selatan / “ Kaja – kelod” dengan nilai utama
pada „ kaja „ ( arah gunung), nilai nista pada arah kelod ( arah laut ), dan nilai Madya
( diantara gunung dan laut ).Sumbu timur ( kaugin ), barat ( kauh ) sebagai sumbu spiritual,
pada lintasan matahari dengan nilai utama di timur, sebagai arah terbitnya matahari, dan nilai
nista = barat ( terbenamnya matahari ). pertemuan kedua sumbu tersebut menjadi 9 daerah
dengan nilainya masing – masing, yang disebut Nawa Sanga sebagi konsep ritual, dan Sanga
Mandala dalam konsep wujud atau jiwa dan raga. 
Mereka percaya bahwa bangunan tradisional adalah hidup secara spiritual, bukan benda mati
semata, maka selalu diadakan upacara ritual dalam : 

 Upacara Pangruak karang dengan maksud memuja terhadap ibu pertiwi agar
mengijinkan tempat itu di bangun. 
 Upacara Prayascita untuk para Undagi dengan membuat sanggaran tempat menaruh
Banten Pejat, agar para undagi diberi keselamatan. 
 Upacara Mamakah , Mempulang dan Mempedogingkan dengan maksud memberi
korban untuk keselamatan dan kelancaran proses pembangunan. 
 Upacara Melaspas sebagai simbolis pencucian. 
 Upacara Pengurip dengan maksud menghidupkan kembali bangunan secara spiritual. 

Simbol pengurip ini diwujudkan dengan mengoleskan kapur warna putih, darah ( warna
merah ), dan arang ( warna hitam ) sebagai unsur Tri Kona, sebagai kekuatan Tri Murti
sebagai manipestasi Sang Hyang Wahdi ( Tuhan ), yang memiliki symbol – symbol. symbol
– symbol tersebut antara lain : 

 Kapur ( warna putih ) sebagai unsur Utpati ( pencipta ) dilaksanakan oleh Dewa
Brahma. 
 Darah ( warna merah ) sebagi unsur Shiti( pemelihara ) di laksanakan oleh Dewa
Wisnu. 
 Arang ( warna hitam ) sebagi unsur Pralina ( pengembali pada sumbernya ) yang
dilaksanakan oleh Dewa Shiwa. 

Agar terjadi keharmonisan antara makrokosmos ( alam semesta ) dan mikrokosmos ( manusia
), di buat aturan – aturan dalam lontar, yaitu : 

 Wismakarma : isinya tentang tata cara menjadi arsirtek. 


 Hastokosali : isinya tentang ukuran – ukurang matrik dari tangan ( hasta ),
dankaki,untuk berbagi bangunan suci,pawongan dan bangunan umum.
 Hastabhumi : isinya tentang tata tertib letak bangunan, denah dan sebagainya. 
 Padmabhumi : isinya tentang historis meletakan pura di Bali berdasarkan huruf –huruf
sakral. 
 Bhama….. : isinya tentang tata cara upacara dalam mendirikan bangunan. 
 Dewatatwa : isinya tentang jenis – jenis korban untuk upacara bangunan. 
 Fananthaka : isinya tentang klasifikasi kayu untuk bangunan suci, pawongan, dan
sebagainya, serta status kayu untuk masing – masing dewa. 
C. Alam Lingkungkungan 

Manusia dan alam ibarat bayi dan ibunya, manusia tanpa alam akan gersang tanpa keindahan,
sebaliknya alam tanpa manusia bagaikan rimba liar dan menakutkan.Salah satu konsep
arsitektur tradisional Bali adalah penyelarasan diri dengan alam lingkungan, atap di bentuk
selaras dengan gunung, bukit pegunungan yang melatarbelakangi bangunan, kerangka
bangunan dari bahan yang ….., sebagai pemindahan alam kepada ruang – ruang konstruksi,
lantai dan dinding dibangun dengan bahan batu alam, batu merah, dan bahan alam dengan
tujuan menampakan warna aslinya. 
Ruang – ruang arsitektur Bali pada umumnya terbuka, kecuali ruang untuk menyimpan
barang berharga, dengan ruang terbuka maka pemandangan lebih luas dan lebih menyatu
dengan alam. 
Bahan – bahan bangunanpun ditempatkan pada posisi awal, batu di bawah, kayu ditempatkan
di dataran sebagai tiang – tiang., injuk dan alang – alang yang tebal di tempatkan di atas bukit
sebagai atap.Dasar – dasar bumi secara simbolis di wujudkan bentuk kura – kura raksasa
yang di belit dengan dua Ular Naga raksasa sebagai pengikat kesetabilan alam.Bentuk hiasan
Asti ( kepala gajah ), Karang Guah ( kepala burung ), ditempatkan sesuai dengan kehidupan
di alam ini. 

3. Pola Bangunan Tradisional Bali 

A. Aspek Sosial Budaya 

Arsitektur tradisional Bali sebagi hasil karya masyarakat yang mengandung unsur – unsur
normative, tampak dalam fungsi bangunan terhadap kelompok organisasi kemasysrakatan
( desa / banjar ) atau kelompok organisasi geneologis ( kelompok warga ,pededian / paibon.),
Berdasarkan itu maka terbagi menjadi 3 bagian , yaitu : 

 Bangunan yang digunakan sebagai tempat sembahyang ( Pura, Sanggal, Pemerajah ) 


 Bangunan untuk tempat tinggal ( Grya, Jero, Puri, Umah ) 
 Bangunan yang digunakan sebagai tempat perrtemuan umum ( Balai, Wantilan, Balai
Banjar ) 

Pengelompokan bangunan menjadi 3 jenis di hubungkan dengan hakikat manusia sebagai


mahluk tuhan dan mahluk social, yang berhubunagn secara harmonis. 
Konsep keseimbangan kekuatan positif dan negatif di dalam Lontar Civa tatwapurana ada
istilah Bhutaya, Manusya, Dewaya. Kekuatan ala mini dapat berubah menjadi kekuatan
positif – negatif. Buta ( sebagai pemusnah ),Dewa ( sebagai pelindung ). konsep ini
digunakan dalam struktur bangunan yang berpegang pada penghuninya. Penempatan,
penggunaan, dan pembuatan bangunan akan memberikan rasa tentram, rukun, dan makmur
pada penghuninya, dan sebaliknya dapat membuat sengsara pemiliknya, selain itu konsep
Luhur Teben ( huku hilir ), Meral – Propan, Ala – Ayu ( baik – buruk, nista, madya – utama )
utpati, ashiti, Pralina, juga menjadi konsep pertimbangan dalam mendirikan sebuah
bangunan.

Jenis jenis Bangunan Berdasarkan Sifat : 

1. Bangunan Sakral ( suci ) 

    Ada 2 macam golongan bangunan Bali, yaitu : 


 Pura 

Pura adalah tempat pemujaan sebagai symbol kebesaran Tuhan YME, pura jenis ini disebut
pura khayangan. 
Kayangan tiga dan khayangan jagad ( Sad Khayangan ) 
Termasuk jenis Pura Tiga, yaitu : Pura desa, Puseh, Palem, yang terdapat di dalam suatu
wilayah desa. Termasuk jenis Pura Sad Khayangan adalah pura – pura yang besar, biasanya
tersebar di seluruh penjuru mata angina. misalnya : Pura Lempuyang, Batukara, Ulu Watu,
Bukit Peneglengan, dan pura Besakih. 
Setiap Banjar biasanya merupakan kesatuan sosial – budaya yang memiliki : pura yang
berfungsi sebagai Ulun Banjar dan pura ulun sawi, ulun danu, dan juga pura Melanting. 
Pura – pura lainnya yang ada di Bali adalah Pura Bukit, Pura Beji, Pura Kerajaan yang pernah
berkuasa ( Penataran, Dasar di Gelgel) 

 Bangunan Tempat Tinggal.( Pawongan ) 

Tempat tinggal ini berdasarkan status social adat istiadat Bali yang di sebut system :
Kewangsaan. Hal ini dapat dibedakan menjadi 4 jenis , yaitu : 
a. Griya tempat tinggal dari wanga brahmana.. 
b. Puri wilayah tempat tinggal raja dan kerabatnya. 
c. Jenis tempat tinggal wangsa Khasatria. 
d. Umah tempat tinggal golongan Sapta Sadma, yaitu Pasek Beudesa, Kebagan, Gadung, 
    Pande, Senggu, dan sebagainya 

2. Bangunan untuk Kepentingan Umum : 

Bangunan untuk kepentingan umum di sebut : Wantilan, biasanya di bangun dalalam suatu
komplek desa, kalau di banjar disebut “ Bale Banjar” ( ukurannya lebih kecil dari wankitan ) 

4. Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali : 

a. Tata letak pekarangan dan bangunan : 

 Bangunan Suci 

Letak pura di Bali sekarang ini seakan tidak beraturan, namun dapat diamati dari ciri –
cirinya, yaitu : 
- Pura yang didirikan di atas bukit adalah jenis pura agung. 
- Pura pantai di pantai. 
- Pura Khayangan di dataran biasa. 
- Pura desa di tengah desa. 

b. Bangunan tempat tinggal ( Pawongan )

Ada aturan dalam membuat tempat tinggal pawongan, dan ada Pantangan, di sekitarnya : 
- Tidak boleh numbak burung ( Berpapasan dengan gang ) 
- Di lingkupi oleh pekarangan rumah keluarga ( ) 
- Di apit oleh pekarangan keluarga lain ( Karang apit ) 
- Di jatuhi cucuran atap dari rumah orang lain ( Karang kelebon amuk )
- Berada sebelah jalan umum dan berpapasan ( karang negen ) 
c. Bangunan umum ( Wantilan )

Tidak ada aturan yang pasti. 


Ukuran dalam membuat bangunan : 
- Ukuran yang di pakai adalah satuan yang ada pada manusia, misalnya : ukuran Depa
Agung, Depa Madya , dan Depa Alit ( sebagai ukuran panjang dan lebar pekarangan ). 
- Tapak kaki untuk mengukur halaman pekarangan ( Natah Umah ) dan untuk mengukur
jarak tembok sekelilingnya. 
- Mengukur bangunan di gunakan dengan bagian – bagian tangan, misalnya : Ruas jari, tebal
jari, (agul, ngembel, acengkang, alengkat, dan amurti ).
Dalam perkembangannya Arsitektur Tradisional Bali mengalami perkembangan dan
pergeseran fungsi yang berpengaruh pada bentuk, struktur, konstruksi, bahan dan cerminan
sosial pemiliknya. Seperti wantilan yang dulunya untuk balai pertemuan dan kegiatan adat
mengalami perkembangan fungsi yaitu sebagai pendidikan Taman Kanak-kanak, tempat
usaha, arena olah raga, dan lain-lain. Kemajuan pariwisata juga berdampak pada peningkatan
taraf hidup masyarakat Bali sehingga sekarang sulit dibedakan mana puri dan rumah
masyarakat biasa. Karena masyarakat biasa yang ekonominya sudah mapan tidak ada
larangan membangun tempat tinggal layaknya sebuah puri. Begitu juga puri yang dulunya
merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya yang mana penjagaannya sangat ketat dan
penuh aturan sekarang ada yang difungsikan sebagai tempat kunjungan wisatawan, justru
keluarga puri yang keluar mencari tempat tinggal yang baru. 
Pesatnya perkembangan teknologi tidak bisa dipungkiri juga berpengaruh pada Arsitektur
Tradisional Bali. Walau arsitektur tradisional yang selalu didasari atas tradisi juga mengalami
perkembangan dan selalu mengikuti perkembangan zaman.

Tipologi Bangunan Tradisional Bali 


 Tipologi Bangunan Tradisional Bali Bangunan perumahan tradisional yang
digolongan utama, madya, dan sederhana (nista) masina-masing ada pula tingkatannya.
Tipologi bangunan tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama,
madya,  dan  nista.  Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakapat, bangunan
bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang Sembilan dan
bertiang dua belas. Dari bangunan bertiang dua belas dikembangkan dengan emper ke depan,
dan ke samping dan beberapa variasi masing-masing dengan penambahan tiang jajar.
Tembok penyengker (batas) pekarangan, Kori dan lumbung dalam bangunan perumahan,
tipologinya disesuaikan dengan tingkatan perumahan yang masing-masing mempunyai fungsi
sebagai berikut 

 Sakepat
Bangunan sakapat dilihat dari luas ruang tergolong
bangunan sederhana yang luasnya sekitar 3 m x 2,5 m, bertiang empat denah segi empat. Satu
bale-bale mengikat tiang. Atap dengan konstriiksi kqmpiah atau limasan. Variasi dapat
ditambahkan dengan satu tiang parba dan satu atau dua tiang pandak.  Dapat pula tanpa bale-
bale dalam fungsinya untuk BalePatok atau fungsi lain yang tidak memerlukan adanya bale-
bale. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggahwang. Sumber: I Nyoman Gelebet,
1986

 Sakanem

Bangunan sakanem dalam perumahan tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaiannya


sederhana. Dapat pula digolongkan madya bila ditinjau dari penyelesaiannya
untuk sakanem yang ditinjau dari penyelesaiannya untuk sakanem yang dibangun dengan
bahan dan penyelesaiannya madya. Bentuk sakanem segi empat panjang, dengan panjang
sekitar tiga kali lebar. Luas bangunan sekitar 6 m x 2 m, mendekati dua kali luas
sakapat.Konstruksi bangunan terdiri atas 6 berjajar tiga-tiga pada ke dua sisi panjang.
Keenam tiang disatukan oleh satu bale-bale atau empat tiang pada satu bale-bale, dan dua
tiang di teben pada satu bale-bale dengan dua saka pandak. Hubungan bale-bale dengan
konstruksi perangkai sunduk waton, Hkah, dan galar. Dalam variasinya, sakanem dengan satu
bale-bale yang hanya mengikat empat tiang dan dua tiang di teben sehingga memakai
canggahwang karena tidak
ada sunduk pengikat.Dalam komposisi bangunan
perumahan, sakenem menempati bagian Kangin atau Kelod untuk fungsinya sebagai
Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai Paon ditempatkan di bagian Kelod Kauh.
Sakenem yang difungsikan sebagai Bale Piyasan di Sanggah atau di Pamerajan ada pula yang
disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti sati tiang dengan canggahzvang panjang disebut
Bale Panca Sari. Konstruksi atap dengan kampiah atau limasan. Bahan bangunan dan
penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kualitasnya. sumber: I Nyoman
Gelebet, 1986

 Sakatus

Bangunan sakatus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi tunggal sebagai


tempat tidur yang disebut Bale Meten.Letaknya di
bagian Kaja menghadap Kelod ke natah berhadapan dengan Sumanggen. Dalam proses
membangun rumah, sakatusmerupakan bangunan awal yang disebut paturon. Jaraknya
delapan tapak kaki dengan mengurip angandang, diukur dari tembok pekarangan sisi Kaja.
Selanjutnya bangunan-bangunan lainnya ditentukan letaknya dengan jarak-jarak yang diukur
dari Bale sakatus.Bentuk bangunan segi empat panjang dengan luas sekitar 5 m x 2,5 m.
Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua bale-bale.
Masing-masing bale memanjang Kaja Kelod dengan kepala ke arah luan Kaja. Tiang-tiang
dirangkaikan dengan sunduk, waton, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait
pada pepurus sunduk dengan lubang tiang. Canggahwang tidak terdapat pada bangunan
sakutus.Konstruksi atap dengan sistem kampiah bukan limasan, difungsikan sebagai sirkulasi
udara selain udara yang melalui celah antara atap dengan kepala dinding. Selain dalam
bentuk sakutus ada pula bangunan bertiang delapan, empat pada sudut dan empat pada sisi
masing-masing. Untuk lumbung yang besar selain Jineng dengan empat tiang terdapat juga
Kelingking atau Gelebeg dengan enam atau delapan tiang.Dalam variasinya sakutus diberi
atap tonjolan di atas depan pintu. Ada pula yang dilengkapi dengan emper dengan empat
tiang berjajar di depan dengan lantai emper yang lebih rendah dari lantai utama. Lantai bale
sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya dimaksudkan sebagai estetika, filosofi, dan
fungsinya.
  Sakaroras

Sakaroras merupakan bangunan utama untuk perumahan


utama. Bahan bangunan, konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk
bangunan berdenah bujur sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Petaka
sebagai titik ikatan konstruksi di puncak atap. Bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah
dengan pembagian empat-empat sebanyak tiga deret dari luan ke teben. Dua bale-bale
masing-masing mengikat empat tiang dengan sunduk, waton, dan likah sebagai stabilitas
ikatan. Empat tiang sederet di teben dengan canggahwang sebagai stabilitas
konstruksinya.Bangunan tertutup di dua sisi dan terbuka ke arah natah. Ke arah teben tertutup
dengan dinding setengah terbuka namun ada pula yang terbuka. Letak bangunan di bagian
Kangin atau Kelod dan terbuka ke arah natah. Fungsi bangunan sakaroras sebagai
Sumanggen untuk kegiatan adat dan bangunan serba guna memiliki luas sekitar 6m x 6m,
mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakenem atau satu setengah kali luas
tiang sanga. Dalam tipologi bangunan perumahan tradisional Bali, sakepat dengan bale-bale
sisi panjang sepanjang tiang dan sisi lebar dua pertiga panjang tiang merupakan modul dasar.
Panjang tiang ditentukan oleh sisi-sisi penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing
jenis kasta, peranan penghuni, dan kecenderungan yang ingin dicapai.Bangunan sakeroras
juga disebut Bale Murdha bila hanya satu bale-bale mengikat empat tiang dibagian tengah.
Disebut Gunung Rata atau sakutus handling bila difungsikan sebagai Bale Meten dengan
dedeleg sebagai puncak atapnya. Letaknya di bagian Kaja menghadap ke natah.

Anda mungkin juga menyukai