Arsitektur Tradisional Bali
Arsitektur Tradisional Bali
Arsitektur Tradisional Bali
11.25 baliinformation
Di Bali saat ini ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari Arsitektur tradisional
bali kuno, tradisional bali yang di kembangkan, arsitektur masa kini yang berstil bali bahkan
arsitektur yang sama sekali tidak memiliki nuansa bali. Mengetahui aspek-aspek arsitektur
tadisional bali di butuhkan pengetahuan yang mendalam terutama aspek filosofi, religius dan
sosial budaya.Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala
aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud
dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta
Pasali. Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama
Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat
ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan
kebudayaan.
Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang mempengaruhi
nilai tata ruangnya, antara lain :
1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara
pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah,
ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus
langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan
umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum,
ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
Desain interior berarti rancangan ruang dalam. Tetapi dalam konsep arsitektur tradisional
Bali Madya konsep desain interior, juga dapat berarti rancangan “ruang di dalam ruang”
(space in space) pada area rumah tinggal, ( by : http://m.isi-dps.ac.id/news/desain-interior-
rumah-tinggal-tradisional-bali-madya ) dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pola Zonasi
Pola zonasi rumah tinggal era Bali Madya memiliki pola teratur, dengan konsep ruang
sanga mandala, yang membagi pekarangan menjadi 9 bagian area (pah pinara sanga sesa
besik). Tata nilai ruangnya ditata dari area atau zona Utamaning utama sampai zona
Nistaning nista untuk bangunan paling provan. Jadi konsep zonasi unit bangunan di dalam
pekarangan rumah tradisional Bali Madya, ditata sesuai dengan fungsi dan nilai kesakralan
dari unit bangunannya. Zona parahyangan untuk tempat suci, zona pawongan untuk
bangunan rumah dan zona palemahan untuk kandang ternak, teba dan tempat servis/
pelayanan. Filosofi Trihitakarana sangat jelas diterapkan pada sonasi ruang rumah tinggal
era Bali Madya, karena zona ruangnya telah didesain agar keselarasan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan ala lingkungan tetap terjaga, sehingga pemilik
dan pemakai bangunan memperoleh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.
2. Pola Sirkulasi
Desain pola sirkulasi pada rumah tinggal tradisional Bali Madya adalah dari pintu
masuk/angkulangkul menuju dapur (paon), yang memiliki makna sebagai tempat untuk
membersihkan segala hal buruk yang terbawa dari luar rumah, kemudian baru dapat
memasuki bangunan-bangunan lainnya, seperti ke Bale Dauh, Bale Gede/Dangin,
Meten/Gedong dan bangunan lainnya. Sedangkan pola religiusnya dimulai dari
Sanggah/Merajan, baru kemudian ke Bale Meten/Bale Daja, Bale Gede/dangin, Bale Dauh,
Paon, Jineng, Penunggun Karang, Angkul-angkul dan bangunan tambahan lainnya. Proses
aktivitas yang dimulai dari tempat suci ini dilakukan pada saat upacara secara tradisional
Bali.
3. Orientasi
Maksud dari lay out ruang adalah perencanaan, rancangan, desain, susunan, tata letak
tentang ruang-ruang yang terdapat pada desain interior rumah tinggal tradisional Bali Madya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa desain interior tradisional Bali Madya adalah
seluruh compound bangunan yang terdapat di dalam tembok penyengker, sehingga ruang
kosong di
tengah yang disebut natah adalah termasuk ruang keluarga sebagai tempat bermain dan
berkumpulnya keluarga.
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan
masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan
yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri
fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada
penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk
dimaksud.
KONSEP DASAR:
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi
tata ruangnya, diantaranya adalah:
1. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala
didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali
adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi
yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun
memprhatikan kebudayan tersebut.
Filosofi arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan Majapahit (abad
XV – XIX ) dianggap sebagai masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali
yang dilandasi oleh lontar asta kosala-kosaili dan lontar asta bumi. (Bhagawan Wiswakarma
dan Bhagawan Panyarikan)
Asta kosala-kosali adalah aturan tentang bentuk-bentuk simbol pelinggih, yaitu ukuran
panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan.
Asta bumi adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak
antar-pelinggih.
Varian karakter yang mendasar muncul di antara penduduk di daerah dataran dengan
pegunungan serta penduduk di daerah Bali Selatan dengan penduduk di daerah Bali Utara.
Meskipun demikian, terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik acuan
arsitektur tradisional Bali, yaitu prinsip tri anggaatau tri loka, konsep kosmologis (tri hita
karana), dan orientasi kosmologis.
C. ORIENTASI KOSMOLOGIS
Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa
sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan
dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap
menitikberatkan upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan
berlandaskan:
Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kajake arah gunung dan kelodke
arah laut).
Gunung Agung merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah
yang tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan
terdekat. Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Oleh karena itu, pengertian kajabagi
orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal
patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-keloddan kangin-kauh.
1. Pengertian
Arsitektur Tradisional Bali merupakan suatu karya arsitektur yang lahir dari suatu tradisi,
kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk
fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan,
dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat
Sejumlah pengertian arsitektur tradisional Bali lainnya :
a. Arsitektur tradisional Bali merupakan microkosmos dari alam raya sebagai makrokosmos.
b. Arsitektur tradisional sebagai wadah untuk membina dan menempatkan manusia secara
individu maupun kelompok agar selaras dengan alam semesta..
c. Arsitektur tradisional merupakan gambaran alam yang dituangkan dalam analogi –
analogi,
dan menyatakan terjemahan prinsip – prinsip kehidupan tradisi yang memberi gambaran
totalitas kehidupan individu dan masyarakat yang ritual.
A. Tinjauan Filosofi :
Sebelum kedatangan pengaruh Agama Hindu, Bali telah memiliki struktur bangunan yang
berbeda dengan setelah adanya pengaruh Hindu. Perbedaan itu tampak pada beberapa hal,
misalnya dalam segi tata ruang, tata bentuk, bahan bangunan, serta fungsi bangunan.
Pengaruh Hindu ke dalam berbagi aspek kehidupan baik itu ritual, kehidupan,
kemasyarakatan, berkesenian, dan lain –lain. Moksantam Jagadhita adalah tujuan akhir ajaran
Hindu. untuk mencapai tujuan tersebut maka semua dilakukan, dalam kehidupan rumah
tangga maka timbul “ banjar” dari desa yang bertahan hingga sekarang. Di dalam filsafat
hidup mengajarkan hendaknya mengharmoniskan diri dengan alam, berbeda dengan ajaran
barat : hendaknya menundukan alam. Menurut ajaran Hindu alam mini terdiri atas 5 unsur
yang disebut “ Pancamahabhata”, yaitu :
Pertiwi ( Zat padat )
Apas ( Zat air )
Teja ( Sinar )
Wahyu ( Udara )
Akasa ( …… )
Dunia dan segenap isinya berasal dari 5 unsur tersebut, dari sinilah muncul beberapa konsep
bahwa Bhuwana Agung dan Buwana Alit bersumber satu yaitu : “Panca Mahabhata”
( Parisada Hindu Dharma, 1..68 : 12 )
Filsafat hindu yang lazim disebut “ Tutur Sukma “ atau Tatwajhana. kemoksaan senantiasa
mengajarkan tentang hubungan harmonis antara Bhuwana Agung dan Bhuwana alit. di dalam
tatwa – tatwa disebut dengan istilah – istilah Pasak Weko, misalnya Panca Dewata di
Bhuwana Agung yaitu : Iswara di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di barat, Wisnu di
utara, dan Ciwa di tengah. Panca dewa di Buwana Alit , yaitu : Iswana di jantung, Brahma di
hati, Mahadewa di ……, Wisnu di empedu, dan Ciwa di paunduhan hati.
Dalam arsitektur Bali mengandung filosofis symbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya,
yaitu :
Sedangkan dalam Bhuwana Alit ( Badan Manusia ) juga di bagi 3 bagian, disebut “ Tri
Angga “ :
Utama Angga ( Kepala ) Arsitektur Bali mengikuti konsep Bhuwana Agung dengan
pembagian menjadi 3 bagian, dan memiliki hitungan ganjil seperti 1,3,5,7,9, dan seterusnya.
Bangunan itu sendiri merupakan symbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya, yaitu:
Dalam proses pembangunan, diawali dengan pengukuran tapak yang disebut dengan nyikut
karang. Dilanjutkan dengan caru pengeruak karang yaitu ritual persembahan kurban dan
mohon izin untuk membangun. Setelah izin didapat barulah dilakukan peletakan batu pertama
yang disebut nasarin. Ini bertujuan untuk mohon kekuatan pada ibu pertiwi agar kelak
bangunan menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya termasuk ahli bangunanya dilakukan
upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika semua
ritual sudah dilaksanakan barulah pembangunan dimulai. Setelah bangunan berdiri dan
sebelum digunakan dilakukan upacara syukuran yang disebut melaspas dan pengurip. Ini
bertujuan membersihkan bangunan dari energi-energi negatif dan menghidupkan aura
bangunan tersebut.
Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau
ritual. Semua ritual tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang
akan dibangun dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Penciptanya,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.Tata cara penempatan
bangunan di dalam dengan pekarangan berpangkal pada konsep Rwa Bhineda, artinya kata
Rwa = dua , dan Bhineda = berbeda. artinya dua hal yang selalu ditentangkan ( berlawanan ),
seperti halnya Utara >< Selatan, Baik >< Buruk, dan lain sebagainya. dan hal demikian
disebut konsep dualisme.
Selain itu juga ada konsep sumbu bumi ( uatra – selatan / “ Kaja – kelod” dengan nilai utama
pada „ kaja „ ( arah gunung), nilai nista pada arah kelod ( arah laut ), dan nilai Madya
( diantara gunung dan laut ).Sumbu timur ( kaugin ), barat ( kauh ) sebagai sumbu spiritual,
pada lintasan matahari dengan nilai utama di timur, sebagai arah terbitnya matahari, dan nilai
nista = barat ( terbenamnya matahari ). pertemuan kedua sumbu tersebut menjadi 9 daerah
dengan nilainya masing – masing, yang disebut Nawa Sanga sebagi konsep ritual, dan Sanga
Mandala dalam konsep wujud atau jiwa dan raga.
Mereka percaya bahwa bangunan tradisional adalah hidup secara spiritual, bukan benda mati
semata, maka selalu diadakan upacara ritual dalam :
Upacara Pangruak karang dengan maksud memuja terhadap ibu pertiwi agar
mengijinkan tempat itu di bangun.
Upacara Prayascita untuk para Undagi dengan membuat sanggaran tempat menaruh
Banten Pejat, agar para undagi diberi keselamatan.
Upacara Mamakah , Mempulang dan Mempedogingkan dengan maksud memberi
korban untuk keselamatan dan kelancaran proses pembangunan.
Upacara Melaspas sebagai simbolis pencucian.
Upacara Pengurip dengan maksud menghidupkan kembali bangunan secara spiritual.
Simbol pengurip ini diwujudkan dengan mengoleskan kapur warna putih, darah ( warna
merah ), dan arang ( warna hitam ) sebagai unsur Tri Kona, sebagai kekuatan Tri Murti
sebagai manipestasi Sang Hyang Wahdi ( Tuhan ), yang memiliki symbol – symbol. symbol
– symbol tersebut antara lain :
Kapur ( warna putih ) sebagai unsur Utpati ( pencipta ) dilaksanakan oleh Dewa
Brahma.
Darah ( warna merah ) sebagi unsur Shiti( pemelihara ) di laksanakan oleh Dewa
Wisnu.
Arang ( warna hitam ) sebagi unsur Pralina ( pengembali pada sumbernya ) yang
dilaksanakan oleh Dewa Shiwa.
Agar terjadi keharmonisan antara makrokosmos ( alam semesta ) dan mikrokosmos ( manusia
), di buat aturan – aturan dalam lontar, yaitu :
Manusia dan alam ibarat bayi dan ibunya, manusia tanpa alam akan gersang tanpa keindahan,
sebaliknya alam tanpa manusia bagaikan rimba liar dan menakutkan.Salah satu konsep
arsitektur tradisional Bali adalah penyelarasan diri dengan alam lingkungan, atap di bentuk
selaras dengan gunung, bukit pegunungan yang melatarbelakangi bangunan, kerangka
bangunan dari bahan yang ….., sebagai pemindahan alam kepada ruang – ruang konstruksi,
lantai dan dinding dibangun dengan bahan batu alam, batu merah, dan bahan alam dengan
tujuan menampakan warna aslinya.
Ruang – ruang arsitektur Bali pada umumnya terbuka, kecuali ruang untuk menyimpan
barang berharga, dengan ruang terbuka maka pemandangan lebih luas dan lebih menyatu
dengan alam.
Bahan – bahan bangunanpun ditempatkan pada posisi awal, batu di bawah, kayu ditempatkan
di dataran sebagai tiang – tiang., injuk dan alang – alang yang tebal di tempatkan di atas bukit
sebagai atap.Dasar – dasar bumi secara simbolis di wujudkan bentuk kura – kura raksasa
yang di belit dengan dua Ular Naga raksasa sebagai pengikat kesetabilan alam.Bentuk hiasan
Asti ( kepala gajah ), Karang Guah ( kepala burung ), ditempatkan sesuai dengan kehidupan
di alam ini.
Arsitektur tradisional Bali sebagi hasil karya masyarakat yang mengandung unsur – unsur
normative, tampak dalam fungsi bangunan terhadap kelompok organisasi kemasysrakatan
( desa / banjar ) atau kelompok organisasi geneologis ( kelompok warga ,pededian / paibon.),
Berdasarkan itu maka terbagi menjadi 3 bagian , yaitu :
Pura adalah tempat pemujaan sebagai symbol kebesaran Tuhan YME, pura jenis ini disebut
pura khayangan.
Kayangan tiga dan khayangan jagad ( Sad Khayangan )
Termasuk jenis Pura Tiga, yaitu : Pura desa, Puseh, Palem, yang terdapat di dalam suatu
wilayah desa. Termasuk jenis Pura Sad Khayangan adalah pura – pura yang besar, biasanya
tersebar di seluruh penjuru mata angina. misalnya : Pura Lempuyang, Batukara, Ulu Watu,
Bukit Peneglengan, dan pura Besakih.
Setiap Banjar biasanya merupakan kesatuan sosial – budaya yang memiliki : pura yang
berfungsi sebagai Ulun Banjar dan pura ulun sawi, ulun danu, dan juga pura Melanting.
Pura – pura lainnya yang ada di Bali adalah Pura Bukit, Pura Beji, Pura Kerajaan yang pernah
berkuasa ( Penataran, Dasar di Gelgel)
Tempat tinggal ini berdasarkan status social adat istiadat Bali yang di sebut system :
Kewangsaan. Hal ini dapat dibedakan menjadi 4 jenis , yaitu :
a. Griya tempat tinggal dari wanga brahmana..
b. Puri wilayah tempat tinggal raja dan kerabatnya.
c. Jenis tempat tinggal wangsa Khasatria.
d. Umah tempat tinggal golongan Sapta Sadma, yaitu Pasek Beudesa, Kebagan, Gadung,
Pande, Senggu, dan sebagainya
Bangunan untuk kepentingan umum di sebut : Wantilan, biasanya di bangun dalalam suatu
komplek desa, kalau di banjar disebut “ Bale Banjar” ( ukurannya lebih kecil dari wankitan )
Bangunan Suci
Letak pura di Bali sekarang ini seakan tidak beraturan, namun dapat diamati dari ciri –
cirinya, yaitu :
- Pura yang didirikan di atas bukit adalah jenis pura agung.
- Pura pantai di pantai.
- Pura Khayangan di dataran biasa.
- Pura desa di tengah desa.
Ada aturan dalam membuat tempat tinggal pawongan, dan ada Pantangan, di sekitarnya :
- Tidak boleh numbak burung ( Berpapasan dengan gang )
- Di lingkupi oleh pekarangan rumah keluarga ( )
- Di apit oleh pekarangan keluarga lain ( Karang apit )
- Di jatuhi cucuran atap dari rumah orang lain ( Karang kelebon amuk )
- Berada sebelah jalan umum dan berpapasan ( karang negen )
c. Bangunan umum ( Wantilan )
Sakepat
Bangunan sakapat dilihat dari luas ruang tergolong
bangunan sederhana yang luasnya sekitar 3 m x 2,5 m, bertiang empat denah segi empat. Satu
bale-bale mengikat tiang. Atap dengan konstriiksi kqmpiah atau limasan. Variasi dapat
ditambahkan dengan satu tiang parba dan satu atau dua tiang pandak. Dapat pula tanpa bale-
bale dalam fungsinya untuk BalePatok atau fungsi lain yang tidak memerlukan adanya bale-
bale. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggahwang. Sumber: I Nyoman Gelebet,
1986
Sakanem
Sakatus