Pengertian Rumah Tradisional Bali
Pengertian Rumah Tradisional Bali
Pengertian Rumah Tradisional Bali
Selain ada kosep diatas juga ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman
penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
a) Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan
atmosfir)
b) Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
c) Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi
kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala.Transformasi fisik dari konsep ini pada
perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali.
2.2. Sejarah Arsitektur Bali
Kebubudayaan Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih sederhana dari
benda-benda alam disekitarnya. Bali aga mengembangkan kebuday`an dengan
bemrentuk benda-benda alam dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya
menjaga keseimbangan manusia dengan alam dan lingkungannya. Kebudayaan Bali
mula tidak banyak meninggalkan peninggalan budaya mengingat kayu-kayu dan
bebatuan yang dipakai sebagai bahan perwujudan Arsitekturnya kurang tahan terhadapa
iklim tropis pada kurun waktu yang lama. Peninggalan-peninggalan kebudayaan Bali
Aga masih dapat ditemukan di beberapa tempat seperti Gunung Kawi, Tirta Embul, Gua
Gajah, dan beberapa tempat di Bedulu sebagai lokasi pusat kerajaan pada masa Bali
Aga.
Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang meninggalkan
beberapa data arsitktur , diantaranya adalah konsep Bale Agung yang sampai sekarang
merupakan bagian dari setiap desa adat Bali, Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori
Arsitekturnya yaitu bangunan seperti pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai
sebagai potensi site.Empu Kuturan Sebagai budayawan besar mendampingi Anak
Wungsu yang memerintah Bali sekitar abad ke-11, juga merupakan seorang Arsitek
yang banyak meninggalkan teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama.Tata pola
desa adat, Kahyangan Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan
lainnya merupakan karya dari Empu Kuturan.
Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda sakti Wawurauh
merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar
pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau merupakan Arsitek besar
dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan pembaruan diberbagai
bidang budaya lainnya.Padmasana merupakan konsep beliau untuk banguanan menuju
Tuhan Yang Maha Esa.Tirtayatra merupaka sebuah budaya di Bali yang berarti
perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan peninggalan dari Dang
Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau mengelilingi pantai di Bali,
dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur, perjalanan ini menuju ke pura-
pura di daerah-daerah tersebut.
Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang masing-masing
sebagai ibu kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak lagi menokohkan dirinya< karena
adanya pedoman berdasarkan teori Kebo Iwa, Hyang Nirartha, dan Empu kuturan yang
dikembangkan oleh para undagi (tukang)Dewanya undagi adalah Asta Kosali sebagai
teori pelaksanaan bangunan Tradisional Bali. Setelah Bali dikuasai Kolonial Belanda,
Arsitektur Tradisional mangalami pengaruh asing yang disesuaikan dengan Arsitektur
Tradisional yang telah ada.Bangunan-bangunan seperti wantilan, loji dan hiasan-hiasan
seperti Patra Cina, Patra Mesir, Patra Olanda.