Artikel - Nilai Keadilan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.Artinya untuk

melaksanakan peran tersebut, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat

untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat

memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat

Rasa keadilan yang dimaksudkan yaitu rasa keadilan yang dapat diterima

oleh seluruh rakyat Indonesia dan mewujudkan keadilan1 secara nyata, yang

mana merupakan batu ujian bagi hakim dalam kaitannya dengan kemandirian

profesi dan fungsi hakim sebagai pengemban amanat pencari keadilan, karena

keadilan merupakan prinsip yang harus ditegakkan.

Penegakkan hukum disini adalah melihat hakim sebagai manusia yang

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam

kaitannya dengan penegakan hukum adalah dua hal yg saling berkaitan dan

tidak dapat dipisah-pisahkan yaitu Hukum dan Keadilan.

Padahal sebenarnya keadilan itu terdapat didalam kehidupan masyarakat

sendiri.Ada kalanya dinamika perkembangan masyarakat yangcepat seringkali

1
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998.

1
2

tidak bisa diikuti oleh hukum positif sehingga berakibat timbulnya kekosongan

hukum2.Kekosongan hukum merupakan tanggung jawab hakim untuk

mengisinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengadilan atau hakim

merupakan unsur yang cukup penting tidak saja dalam pembuat hukum atau

menemukan hukum, tetapi juga dalam mengembangkan hukum.

Kualitas dan kredibilitas aparat penegak hukum tengah menjadi sorotan

publik.Tentu saja, ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, aparat yang

seharusnya menegakkan hukum dan keadilan3 justru malah menyalahgunakan

kewenanganhukum.Tidak mengherankan dalam praktek penegakan hukum

sering dijumpai adanya ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat dan para

pencari keadilan terhadap kinerja peradilan yang dianggap tidak objektif,

kurang menjaga integritas, dan bahkan kurang professional.Produk peradilan

yang berupa putusan hakim sering dianggap kontroversial, cenderung tidak

sejalan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Dengan kata lain, putusan-putusan yang dijatuhkan dianggap tidak

berdasarkan pada pertimbangan hukum yang cermat dan komprehensif

(onvoeldoende gemotivered), tetapi hanya didasarkan pada silogisme yang

dangkal dalam mengkualifikasi peristiwa hukumnya yang kemudian berdampak

pula pada konstitusi hukumnya.Salah satu penyebabnya adalah adanya putusan

bebas terhadap perkara korupsi di peradilan, yang mengandung terdapat


2
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana,
PT. Alumni, Bandung, 2005.
3
Mudakir Iskandar Syah ,Hukum Dan Keadilan, Grafindo Utama, Jakarta, 1985.
3

kekeliruan atau kesalahan, baik dalam pengungkapan fakta maupun penerapan

hukumnya.

Dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, hakim itu harus

berperilaku adil, berperilaku jujur dengan tidak mencerminkan keberpihakan,

berintegritas tinggi sehingga mampu menolak berbagai godaan dan segala

bentuk intervensi, serta berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, sehingga

putusan yang dihasilkannya pun bernilai Pancasila.Hakim dalam mengambil

putusan pun harus bersikap profesional, yang artinya mengedepankan keahlian,

pengetahuan, keterampilan dengan didukung oleh wawasan yang luas.

Kekhawatiran ini semakin menjadi ketika pengadilan yang seharusnya

sebagai benteng terakhir penegakan hukum, justru malah menjadi lembaga

untuk menyalahgunakan kekuasaan yudisial. Putusan yang diambil hanya

sekadar menegakkan undang-undang, menyalin teks atau dengan kata lain

menjadi corong undang-undang setiap menjatuhkan putusan dalam perkara

korupsi.

Tindak pidana korupsi itu sendiri dalam lapangan hukum pidana

merupakan tindak pidana yang memuat ketentuan penyimpangan dari azas-azas

hukum dan aturan umum KUHP sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 103

KUHP dan juga di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang


4

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa mengingat korupsi di

Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas.

Tindak pidana korupsi tidak dapat dibiarkan, karena berdasarkan

kenyataan di indonesia nampak jelas bahwa perbuatan korupsi telah

membudaya dikalangan masyarakat, baik di kalangan pemerintah maupun di

kalangan masyarakat umum. Karena dampak tindak pidana korupsi tidak hanya

merugikan keuangan negara4, tetapi juga hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat, yang mengancam cita bangsa untuk mensejahterakan

masyarakatnya.

Dengan demikian upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus

dilakukan dengan cara khusus, antara lain penerapan system pembuktian

terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa5 dan seyogyanya

bersifat luar biasa dan harus pula dilakukan dengan cara-cara yang berbeda.

Salah satunya yang dapat dilakukan adalah mendorong agar hukum

mampu berperan dalam upaya menciptakan kontrol guna memperoleh

informasi dan transparansi terhadap perilaku birokrasi yaitu mencoba birokrasi

yang tertutup menjadi terbuka dan transparansi.Tindak pidana korupsi tidak lagi

dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karenanya dalam

4
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, PT. Alumni, Bandung, 2009.
5
Romli Atmasasmita, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta, 2010.
5

penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-

ordinary).

Pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pihak yang memiliki

keterkaitan dengan masalah tersebut.Seperti yang dilaksanakan oleh Kepolisian,

Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)yang merupakan

subsistem dalam peradilan pidana.Selama ini hakim dalam menangani kasus

korupsi, cenderung hanya memenuhi keadilan prosedural.Sehingga banyak para

pelaku tindak pidana korupsi yang diputus bebas oleh hakim dan melanjutkan

sampai ke tingkat Mahkamah Agung.

Pada tingkat Mahkamah Agung, ada beberapa kasus yang diputusdan

akibatnya terpidana harus menjalani masa hukumnya sesuai dengan putusan

Mahkamah Agung, seperti contoh dalam kasus penelitian ini yaitu putusan

Mahkamah Agung Nomor 1565/K/Pid/2004, Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1500/K/Pid/2006, dan putusan Mahkamah Agung Nomor.

2057/K/Pid.Sus/2009.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1565/K/Pid/20046, diputuskan:

1. Menyatakan Terdakwa Ir. Henry Panjaitan tersebut di atas terbuktidengan

sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidanaKorupsi Yang

Dilakukan Secara Bersama-Sama.

2. Menghukum oleh karena itu Terdakwa tersebut dengan pidana

penjaraselama 4 (empat) tahun, dan denda sebesar Rp.200.000.000,-


6
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1565/K/Pid/2004.
6

(duaratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak

dibayarakan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

3. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang

penggantisebesarRp.247.070.000,- (dua ratus empat puluh tujuh juta tujuh

puluh riburupiah) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini

berkekuatanhukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan

dilelangguna membayar uang pengganti tersebut, dengan ketentuandalam hal

terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untukmembayar uang

pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidanapenjara selama 2 (dua)

tahun.

Kasus ini pada tingkat Pengadilan Negeri putusannya dibebaskan

berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Pematangsiantar Nomor

216/Pid.B/2003/PN.Pms, dengan memperhatikan Pasal 2 ayat (1) joPasal 18

UU No.31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No.20Tahun 2001 jo

Pasal 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31Tahun 1999 yang

telah dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHP

dan UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum AcaraPidana, Terdakwa telah

dibebaskan dari semua dakwaan seperti tercantumdalam putusan Pengadilan

Negeri tersebut yang amar selengkapnyaberbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa ia Terdakwa Ir. Henry Panjaitan tidak terbukti secarasah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalamdakwaan Primair

dan dakwaan Subsidair Jaksa Penuntut Umum ;


7

2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair dandakwaan

Subsidair tersebut ;

3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan harkat dan martabatnya

4. Menyatakan bahwa barang bukti yang terdiri dari :

a. SK Walikota Pematang Siantar No.050-24/WK-Tahun 2002 tanggal 28

Januari 2002 tentang pengangkatan perangkat organisasi pelaksana

proyek dan alokasi umum anggaran belanja pembangunan kota Pematang

Siantar khusus untuk proyek pembangunan kios darurat Pasar Horas

Pematang Siantar ;

b. Surat DPRD kota Pematang Siantar Nomor : 170/6738/DPRD/I/2002

tanggal 25 Januari 2002 tentang persetujuan prinsip DPRD kota

Pematang Siantar atas Pembangunan Kios Darurat Pasar Horas ;

c. RAB Proyek Pembangunan Kios Darurat Pasar Horas Pematang Siantar

senilai Rp.1.400.368.000,-

5. Membebankan biaya perkara kepada Negara

Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor :

03/KS/Akta.Pid/2004/PN.Pms, yang dibuat oleh Panitera pada

PengadilanNegeri Pematangsiantar yang menerangkan, bahwa pada tanggal 2

Maret2004 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pematangsiantartelah

mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan PengadilanNegeri tersebut ;


8

Kemudian Putusan Mahkamah Agung Nomor1500/K/Pid/20067,

diputuskan:

1. Menyatakan Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan tersebut di atasterbukti

secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana

Korupsi

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut

denganpidana penjara selama 1 (satu) tahun ;

3. Menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalani,

kecualidikemudian hari ada perintah lain dengan keputusan Hakim, oleh

karenaTerdakwa sebelum lewat masa percobaan 2 (dua) tahun telah

melakukanperbuatan yang dapat dihukum ;

Kasus ini pada tingkat Pengadilian Negeri putusannya dibebaskan

berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Limboto

No.52/PID.B/2005/PN.LBT.tanggal 15 Maret 2006, memperhatikan Pasal 9

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001

tentang Perubahan dan penambahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP, Undang-Undang No.4 Tahun

2004, Undang-Undang No.8 Tahun 1981dan Undang-Undang No.14 Tahun

1985 sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang No.5 Tahun 2004 dan

Peraturan Perundang-undangan lainyang bersangkutan.

7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1500/K/Pid/2006.
9

Membaca putusan Pengadilan Negeri Limboto

No.52/PID.B/2005/PN.LBT.tanggal 15 Maret 2006 yang amar lengkapnya

sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya dalam dakwaan Primair, Subsidair dan Lebih Subsidair ;

2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan ;

3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

martabatnya ;

4. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi

No.07/Akta.Pid/2006/PN Limboto yang dibuat oleh Panitera pada

PengadilanNegeri Limboto yang menerangkan, bahwa pada tanggal 27 Maret

2006Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi terhadap

putusanPengadilan Negeri tersebut.

Putusan Mahkamah Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/20098, diputuskan:

1. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan tersebut

diatas terbukti dengan sah dan menyakinkan telah bersalah melakukan

tindakpidana Bersama-Sama Melakukan Korupsi, sebagaimanadakwaan

Primair

8
Putusan Mahkamah Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/2009.
10

2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama

4(empat) tahun penjara, dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus

jutarupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti

denganpidana kurungan selama 6 (enam) bulan ;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa

dikurangkanseluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4. Menghukum pula Terdakwa membayar uang pengganti sebesar

Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), dengan ketentuan

apabilaTerdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu

1 (satu)bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum

tetap,maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk

menutupiuang pengganti tersebut, dan dalam hal Terdakwa tidak mempunyai

hartabenda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka

digantidengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;

Kasus ini pada tingkat Pengadilian Negeri putusannya dibebaskan

berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb Nomor : 77 /Pid.B /

2007 / PN.Tjr. tanggal 03 April 2008. PadahalPerbuatan Terdakwa

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalamPasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 huruf

a, b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999sebagaimana telah dirubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 21Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;


11

Membaca Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb Nomor : 77 / Pid.B

/ 2007 / PN.Tjr. tanggal 03 April 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan tersebut di

atas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana dakwaan Primair Penuntut Umum di atas.

2. Membebaskan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan oleh

karena itu dari dakwaan Primair Penuntut Umum di atas ;

3. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan tersebut di

atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana Turut serta melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan

dengan cara menyalahgunakan kesempatan yang ada padanya karena

kedudukan ;

4. Memidana Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;

5. Menetapkan Terdakwa membayar pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,-

(tiga puluh juta rupiah) ;

Menimbang, bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi yang diajukanoleh

Pemohon Kasasi Jaksa / Penuntut Umum tersebut, MahkamahAgung

berpendapat bahwa Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa /Penuntut

Umum harus dikabulkan karena judex facti telah salah menerapkanhukum.

Dalam pemeriksanaan perkara kasasi pada Mahkamah Agung hanya

dilakukan terhadap berkas-berkas perkara dan surat-surat oleh sekurang-


12

kuranganya 3 orang Hakim Agung, yang jika dipandang perlu dapat mendengar

sendiri pihak-pihak yang dipandang perlu, untuk menentukan apakah ;

a. Suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak

sebagaimana mestinya.

b. Cara mengadili tidak dilakukan menurut ketentuan undang-undang.

c. Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya( Pasal 253 ayat 1

KUHAP).

Demi keadilan dan kebenaran maka putusan hakim harus dapat diperbaiki

atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan.

Karena dalam pedoman pelaksanaan KUHAP telah diberikan penjelasan bahwa

masalah tidak diterapkan hukum sebagaimana mestinya justru merupakan

alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi ( Pada Pasal

253 KUHAP).

Apabila lembaga pengadilan/Hakim kurang tepat dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap sipelaku, dan sanksi pidana itu dipandang kurang

setimpal dibandingkan dengan besarnya kesalahan atau kejahatan yang

dilakukan oleh koruptor9, maka kemungkinan besar implikasi dari putusan

pengadilan itu tidak bisa menimbulkan efek jera bagi sipelaku.

Diharapkan hakim sebagai pelaksana dari fungsi lembaga pengadilan

tentunya amatlah dibutuhkan kecerdasan analisisnya dan pengetahuan

9
Jeremies Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan Hukum
diIndonesia, Galang Press, Yogyakarta, 2007
13

empiriknya dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pidana korupsi10,

agar dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut dapat menimbulkan

efek jera atau keinsyafan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahandiatas tersebut, penulis

mencoba membahasnya dalam bentuk tesis yang berjudul:TINJAUAN

TENTANG KESALAHAN PENERAPAN HUKUM JUDEX FACTI

DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG

DALAMPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

B. Identifikasi Masalah

1.ApakahFaktor Penyebab Terjadinya Kesalahan Penerapan Hukum Judex

Facti Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri?

2. Bagaimanakah Analisis Hukum Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung

Terhadap Upaya Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Dalam Hal

Mengenai Putusan BebasJudex Facti Terhadap Perkara Tindak Pidana

Korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui instrumen

atau aturan hukum yang dapat digunakan sebagai Tinjauan Tentang Kesalahan

10
Sudikno Mertokusuma dan Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1993.
14

Penerapan Hukum Judex Facti Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah

Agung Dalam Pemberantasan Tindak pidana korupsi.

Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisisFaktor Penyebab Terjadinya

Kesalahan Penerapan Hukum Judex Facti Dalam Putusan Hakim Pengadilan

Negeri.

2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisismengenaiBagaimanakah

Analisis Hukum Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Upaya

Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Dalam Hal Mengenai Putusan

Bebas Judex Facti Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan Tesis sebagai hasil dari suatu penelitian diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis :

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan

terhadap perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum pidana

mengenai perkara tindak pidana korupsi.

b. Diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang hukum

yang dapat memecahkan hambatan-hambatan yang terjadi didalam praktek

peradilan sehingga tujuan hukum untuk mencapai keadilan dapat tercapai.

2. Kegunaan Praktis;
15

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para penegak

hukum khusunya Hakim dan Jaksa Penuntut Umum dalam menjalankan

tugasnya.

b. Diharapkan dapat mengembangkan kemampuan para penegak hukum

didalam menyelesaikan suatu perkara pidana.

E. Kerangka Pemikiran

Hakim di dalam masyarakat sebagai bagian dari penegak hukum dan

keadilan dituntut untuk mengenal, menggali, merasakan serta memahami, nilai-

nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana

dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman11 dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat guna benar-

benar mewujudkanfungsi hukum dalam menegakkan keadilan.

Tugas hakim sangatlah berat karena tidak hanya mempertimbangan

kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga

mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian

hukum12.

Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil,

namun sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin

memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim diharapkan dapat

menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam

11
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
12
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakkan Hukum, Alumni, Bandung, 1981.
16

persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas)

dan disertai dengan hati nurani hakim. Bahkan hakim juga disebut sebagai

wakil Tuhan di dunia dalam arti harus tercermin dalam putusan perkara yang

sedang ditanganinya, maka sebagai seorang hakim tidak perlu ragu, melainkan

tetap tegak dalam garis kebenaran dan tidak berpihak, namun putusan hakim

juga paling tidak dapat dilaksanakan oleh pencari keadilan atau tidak hanya

sekedar putusan yang tidak bisa dilaksanakan.

Dalam hal ini hakim Menurut Pasal 1 undang-undang RI Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana13 adalah pejabat peradilan negara yang

diberi wewenang olah Undang-undang untuk mengadili. Sedangkan maksud

dari mengadili yaitu serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,

dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak

di sidang pengadilan.Hakim mempunyai peranan penting dalam penegakan

hukum untuk tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan.

Proses penegakan hukum pidana (criminal law enforcement process),

saling berkaitan dengan kriminologi, karena kriminologi dapat memberikan

masukan kepada hukum pidana, terutama mengapa orang melakukan kejahatan

dan faktor-faktor penyebabnya serta upaya apa yang harus dilakukan agar para

penegak hukum tidak melanggar hukum.

Dalam praktek di dunia peradilan kadang ditemukan prinsip keadilan

hukum kalah dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan
13
Pasal 1 undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
17

keadilan akan tetapi kepastian hukum. Padahal setiap putusan hakim wajib

diawali dengan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa yang mempuyai makna bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai

spirit utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas yang lainnya

termasuk di atas kepastian hukum.

Apabila dianalisis dari sisi teori-teori keadilan bahwa para penganut

paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk

mewujudkan keadilan. Kenyataannya keadilan bukan satu-satunya istilah

yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum.Karena dalam suatu negara

hukum modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan

(welfare state).14

Berdasarkan fakta-fakta yang berkembang dalam praktek peradilan

pidana Indonesia yakni adanya pembentukan hukum melalui yurisprudensi

(putusan pengadilan) yang merupakan andil dari teori realisme, yakni bahwa

penemuan putusan-putusan hakim dipandang dan diakui sebagai dokumen

hukum. Hukum sebagai keahlian para hakim dan apa yang tercipta di

pengadilan dianggap sebagai hukum.

Dalam pembangunan dan pembentukan hukum di negara Indonesia, salah

satunya diperoleh melalui perilaku-perilaku (penemuan dan konstruksi hukum)

hakim dengan menempuh proses panjang dalam mekanisme peradilan hingga

14
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun).
18

lahirnya sebuah vonis yang dikemudian hari dapat diikuti oleh hakim-hakim

berikutnya dalam memutus kasus-kasus yang sama (sejenis).

Dengan demikian eksistensi yurisprudensi tersebut adalah berperan

sebagai dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara disamping

adanya beragam dasar pertimbangan lainnya yang dipergunakan oleh hakim-

hakim di negara Indonesia.

Kelaziman di Indonesia hakim yang satu memakai undang-undang

sebagai dasar keputusannya, hakim yang lainnya memakai rasa sebagai dasar

keputusannya, dan yang lain lagi ada memakai hukum adat sebagai dasar

putusannya, bahkan juga bisa menggunakan yurisprudensi sebagai satu-satunya

acuan untuk mengambil keputusan.

Apabila dasar pertimbangan putusan hakim hanya berpedoman pada

undang-undang maka pengaruh kuat esensi positivisme sebagai ciri penerapan

hukum Eropa Kontinental yang mewarnai pemikiran hakim tersebut dan

memang oleh karena Indonesia menganut system Civil Law System dengan

menjunjung tinggi asas legalitas maka yang ditemukan adalah kepastian.

Hakim sebagai corongnya undang-undang, hukum disamakan dengan

undang-undang.Sedangkan pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga

tidak bisa dilakukan secara maksimal15, di samping karena pengaruh kultur

civil law systemmenghendaki hakim untuk mendasarkan diri secara ketat

15
Soedirdjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, Penerbit: Akademika Pressindo, Jakarta
1985.
19

kepada bunyi undang-undang walaupun undang-undang tersebut telah

ketinggalan zaman, juga dikarenakan paradigma berfikir hakim masih banyak

mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum.

Pola pikir positivisme hukum yang menjadikan undang-undang sebagai

satu-satunya acuan juga membatasi penanganan tindak pidana korupsi yang

hanya dengan cara-cara konvensional.Disinilah kegagalan dalam penanganan

tindak pidana korupsi, yang disebabkan oleh peran lembaga peradilan melalui

hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap para terpidana korupsi.Apalagi

tindak pidana korupsi tidak masuk sebagai kejahatan biasa namun merupakan

kejahatan yang sangat luar biasa16dan disamakan sebagai kejahatan terhadap

kesejahteraan bangsa dan negara, ditandai dengan hilangannya aset-aset publik

untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

Oleh sebab itu, pengembalian aset hasil korupsi merupakan bagian

penting dan strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi17.

Proses pengembalian aset berdasarkan pendekatan konvensional hukum pidana

merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan, terutama terhadap

perkembangan tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan atau yang

bertujuan memperoleh keuntungan materiil.

16
Romli Atmasasmita, Pengkajian Mengenai Implikasi Konvensi Menentang Korupsi 2003 ke
dalam sistem Hukum Nasional, Proposal, Departemen Kehakiman dan HAM RI-Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2004, hlm.4
17
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Bandung PT Alumni, hlm. 21.
20

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang menghancurkan

kesejahteraan sosial bangsa dan negara, salah satu cara untuk mencegah,

melindungi dan mengembalikan hak-hak masyarakat dari tindak pidana korupsi

adalah melalui lembaga pemidanaan dalam bentuk pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi .

Teori pengembalian aset merupakan teori hukum yang menjelaskan

sistem hukum pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan

prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan

tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan

perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat dalam

mencapai kesejahteraan18 .

Teori ini dilandasi pada prinsip dasar Berikan kepada Negara apa yang

menjadi Hak Negara19. Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara

yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan

sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.

Michael Levi20, mengatakan dalam melakukan pengembalian aset yang

harus diperhatikan, antara lain:

18
Purwaning M. Yanuar, Op.cit, hlm. 25
19
Omar Swatz, Human Nature Review: The Rule of Law, Corruption and Mutual Legal
Assistance, Boston: CCVA, 2006,
20
Michael Levi, Tracing and Recovering The Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales,
UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hlm. 17
21

1. Alasan pencegahan (prophylactic), yaitu mencegah pelaku tindak

pidana memiliki kendali atas dana-dana untuk melakukan kejahatan

lain di masa yang akan datang.

2. Alasan kepatutan (propriety), yaitu karena pelaku tindak pidana tidak

memiliki hak yang pantas atas aset-aset tersebut.

3. Alasan prioritas / mendahului (priority), yaitu karena tindak pidana

memberikan hak mendahuli / prioritas kepada negara untuk menuntut

aset hasil tindak pidana dari pada yang hak yang dimiliki oleh pelaku

tindak pidana.

4. Alasan kepemilikan (propietary), yaitu karena kenyataannya kekayaan

diperoleh melalui tindak pidana, maka negara memiliki kepentingan

selaku pemilik kekayaan tersebut .

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai masalah hukum

yang relatif baru dan sebagai perkembangan tuntutan masyarakat, baik nasional

maupun internasional.Keadilan sebagaimana diuraikan di atas menuntut adanya

perubahan hukum bahkan legislasi pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi dalam sistem hukum Indonesia dengan memperhatikan perkembangan

rezim hukum internasional dalam pengembalian aset.Baik pelaku tindak pidana

korupsi maupun negara penerima aset hasil tindak pidana korupsi menikmati

keuntungan dari hasil aset hasil tindak pidana yang seharusnya dipergunakan

untuk kesejahteraan masyarakat negara korban tindak pidana korupsi.


22

Perbedaan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan sebenarnya

hal yang biasa terjadi sejak zaman dulu.Meskipun demikian terhadap kasus-

kasus seperti korupsi perlu kiranya mendapat perhatian dan kajian yang serius

dimasa mendatang.

Hakim dihadapkan dalam praktek peradilan dimana ada yang betul-betul

menerapkan aturan hukum sebagaimana adanya dengan alasan

kepentinganUndang-Undang dan ada juga sebagian hakim yang menerapkan /

menafsirkan Undang-Undang yang tertulis dengan cara memberikan putusan

pidana (Straft Macht) lebih rendah dari batas ancaman minimal, bahkan ada

sampai putusan bebas dengan alasan demi keadilan masyarakat21.

Selain itu juga independensi kekuasaan kehakiman merupakan bagian

dari prinsip negara hukum yang demokratis, prinsip tersebut diperlukan untuk

melindungi kekuasaan kehakiman dari intervensi, bujukan, rayuan, paksaan,

maupun pengaruh lembaga, teman sejawat, atasan atau pihak-pihak lain,

sehingga hakim dalam memutuskan perkara hanya demi keadilan dan

kebenaran22 berdasarkan hukum, rasa keadilan dan hati hurani.

Prinsip independensi kekuasaan kehakiman telah diakui secara global,

beberapa instrumen hukum internasional mengakui pentingnya independensi

peradilan, antara lain : Universal Declaration of Human Rights ( Article 10),

21
Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
22
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi, dan Putusan Pengadilan, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002.
23

International Convenan on Civil and Political Rights( ICCPR) (Article 14),

Vienna Declarations on Program for Action 1993 (Paragraph 27),

International Bar Association Code of Minimun Standards of Juducial

Independence, New Delhi 1982, Universal Declaration on the Independence of

Justice, Montereal 1983.

Jaminan perwujudan independensi kekuasaan kehakiman dapat dilihat

dari aspek yuridis-konstitusional, apakah konstitusi dan peraturan perundang-

undangan telah mengatur secara tegas, memadai dan menjamin kepastian

hukum tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim yang tidak bersifat

politis, masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intervensi dari kekuasaan

eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya

otonomi secara administratif, dan anggaran belanja, kelima hal ini sekaligus

menjadi parameter bagi independensi kekuasaan kehakiman disuatu negara .

Aspek lain dari jaminan independensi kekuasaan kehakiman adalah

akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Keberadaan akuntabilitas penting

artinya untuk memastikan bahwa independensi kekuasaan kehakiman tidak

digunakan untuk hal-hal lain diluar kepentingan menegakkan hukum dan

keadilan, hal ini menjadi salah satu parameter penting tentang terwujud atau

tidaknya independensi kekuasaan kehakiman dalam praktek penegakan

hukum.Bila tidak ada mekanisme ini maka lembaga peradilan akan menjadi

lembaga yang tidak tersentuh atau bahkan menjadi tirani yudisial, yang pada
24

akhirnya justru akan merobohkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman

itu sendiri.

Akuntabilitas sesungguhnya untuk menjaga hakim dan pengadilan dari

praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan kehakiman untuk kepentingan

pribadi dan/ atau kelompok sehingga dengan demikian akan menegakkan

independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.

Perjalanan membenahi sistem kekuasaan kehakiman yang independensi

dan akuntabel terasa berjalan tertatih-tatih, terkadang masih serasa berjalan

kebelakang kadang berjalan ditempat. Oleh karena itu, perlu dorongan dari

berbagai pihak untuk mendorong dan menjaga agar proses pembenahan sistem

kekuasaan kehakiman berjalan kedepan. Karena pilar bagi transisi menuju

demokrasi adalah terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman semata-

mata untuk mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

F. Metode Penelitian

Penulis dalam karya tulis ini menggunakan metode pendekatan secara

yuridis normatif, yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah asas

hukum, kaidah hukum dan peraturan hukum yang kongkrit, dengan spesifikasi

penelitiannya menggunakan metode deskriptif-analitis yang terdiri dari :

I. Tahap Penelitian dan Bahan Penelitian

Penelitian yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library

Research) yaitu dengan cara mengumpulkan bahan-bahan melalui Bahan


25

hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan

perundang-undangan, dan Putusan-Putusan Hakim Mahkamah Agung,

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan mengenai

bahan hukum primer, Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, literatur, buku-buku

ilmiah, peraturan perundang-undangan, surat kabar, dan informasi-informasi

lainnya yang relevan dengan judul tesis ini.Disamping itu juga, dapat

dilakukan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer.

II. Analisis Data

Dalam analisis data, penulis menggunakan bahan-bahan hukum ( literatur )

yang telah dikumpulkan selanjutnya dituangkan secara selektif untuk

dianalisis dengan metode deskritif analitis untuk menggambarkan

permasalahan berikut pemecahannya dilakukan secara kualitatif.

Anda mungkin juga menyukai