Makalah Kelompok 1 Yuris

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM ACARA PIDANA,


HAKIM, PENEMUAN HUKUM, DAN CARA PENAFSIRAN
HUKUM

DOSEN PENGAMPU :
FONNY TAWAS SH, MH

KELOMPOK 1 :
1. JULIA BELLA LATI – 20071101240 (Tidak Presentasi)
2. VREEKE RULL.V.E KATUUK – 20071101528 (Tidak Presentasi)
3. GERALD CHRISTOPHER TANENG – 210711010022
4. ANASTASYA GREETLYN PONGOH – 210711010066
5. MERLIN PAQUITA RIMBING – 210711010097
6. MIRACHEL TESSALONIKA VANESSA MEHIPE – 210711010099
7. PRETI SISONG – 210711010103
8. VERENA AURELIA KATIANDAGHO – 210711010118
9. MARSHANDA NELKE LAUREEN MANOSSOH – 210711010132

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa atas
berkat dan Rahmat-Nya maka selesailah penulisan Makalah ini yang menjadi tugas
Mata Kuliah Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi pada Semester VI Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Kami menyadari sebagai Mahasiswa masih dalam tahap belajar, tidak terlepas
dari keterbatasan dan kesulitan dalam penyusunan Makalah ini.
Mohon maaf apabila dalam penulisan ini terdapat kekeliruan serta hal-hal
yang kurang berkenan, karenanya Kami juga mengharapkan kritik dan arahan oleh
dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi Semester VI
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado dalam penyempurnaan Makalah
ini sehingga dapat bermanfaat.
Semoga Tuhan Allah menyertai segala usaha dan kerja kita.

Manado, Februari 2024

KELOMPOK 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………1
1. Latar Belakang………………………………………………………….1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………2
3. Tujuan Penulisan………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..3
1. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana………………………………….3
2. Hakim……………………………………………………………………8
3. Penemuan Hukum………………………………………………………10
4. Cara Penafsiran Hukum…………………………………………………13
BAB III PENUTUP………………………………………………..15
1. Kesimpulan……………………………………………………………..15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………16
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kelahiran Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
yang dikenal dengan nama KUHAP sejak diundangkan 31 Desember 1981
disambut oleh segenap masyarakat Indonesia dengan penuh rasa sukacita dan
harapan akan terwujudnya kepastian hukum berdasarkan kebenaran dan
keadilan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa setelah membaca
perumusan pasal-pasal dalam KUHAP bahwa secara tersurat telah mengatur
pemberian perlindungan terhadap keluhuran harkat martabat atau disebut juga
sebagai hak-hak asasi manusia.
Istilah Hukum Acara Pidana sudah dikenal dan dipakai oleh masyarakat sejak
diberlakukannya Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana pada tanggal 31 Desember 1981 dan ditandatangani oleh Presiden
Soeharto, masyarakat Indonesia menyambutnya dengan penuh rasa sukacita
karena perwujudan penyelenggaraan hukum di Indonesia sudah mengarah pada
nilai- nilai penegakan, perlindungan jaminan hak asasi manusia demi
menjunjung tinggi konsep rule of law. Mengenai pengertian Hukum Acara
Pidana, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
”Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka
dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan
hukum pidana.”
Dari pendapat diatas dijelaskan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana yang
dirumuskan oleh Wirjono Prodjodikoro adalah pengertian mengenai pelaksanaan
kewenangan badan-badan pemerintah dalam penegakan hukum acara pidana.
Sebelum dibentuknya KUHAP di Indonesia, Hukum Acara pidana lingkupnya
lebih sempit, yaitu hanya sebatas mulai pada mencari kebenaran penyelidikan,
penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa.
Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana. Selain itu juga,
Wirjono mengemukakan bahwa “Hukum acara pidana adalah berbicara
mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang aparat penegak hukum
dalam menjalankan dan menegakkan hukum pidana materiil dalam suatu
negara”. Ia juga menekankan bahwa dalam praktik penegakan hukum pidana
harus ada peran serta aparat penegak hukum dan badab-badan pemerintah yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk menjalankan fungsi peradilan
dalam hakikat rule of law.

Sebuah proses pasti didasari oleh sebuah tujuan. Dengan adanya


penyelenggaraan kekuasaan peradilan dan tata cara pelaksanaan tugas dari
lembaga yang berwenang yang dijalankan sesuai dalam ketentuan undang-
undang, maka tujuan akhir yang diperoleh adalah tercapainya suatu ketertiban,
ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. Seorang pakar
hukum pidana Belanda, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi utama
Hukum Acara Pidana yaitu :
1. Mencari dan menemukan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh Hakim
3. Pelaksanaan putusan.
Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting adalah “mencari dan
menemukan kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui
kumpulan alat bukti dan barang bukti kemudian Hakim menjatuhkan putusan
pidana yang selanjutnya dilaksanakan oleh Jaksa.
Pendapat Van Bemmelen diatas berbicara mengenai fungsi utama hukum
dalam mencari suatu kebenaran. Kebenaran yang dimaksud diatas adalah
kebenaran dalam arti kebenaran materiil yang nantinya dapat mencapai tujuan
dan fungsi peradilan yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Dalam
hal mengenai beberapa tujuan hukum acara pidana yang lain dapat dilihat dari
Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman
yaitu:
Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari atau mendapatkan
setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku
yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem hukum acara pidana berfungsi dalam proses peradilan?
2. Bagaimana peran dan tanggung jawab seorang hakim dalam sistem hukum
pidana?
3. Bagaimana proses Penemuan Hukum (judicial discovery) berlangsung dalam
konteks hukum acara pidana?
4. Bagaimana hakim menafsirkan hukum dalam kasus-kasus pidana dan apa
metode atau pendekatan yang mereka gunakan?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah tentang hukum acara pidana adalah untuk
menyelidiki prosedur-prosedur yang terlibat dalam pengadilan pidana. Ini
meliputi peran hakim, penemuan hukum, dan teknik penafsiran hakim dalam
konteks hukum acara pidana.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana


1) Definisi Hukum Acara Pidana
Pandangan para ahli hukum mengenai definisi Hukum Acara Pidana,
menurut Simon bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah Upaya
mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya
mempergunakan haknya untuk memidana. Van bemmelen berpendapat bahwa
Simon terhadap definisi Hukum Acara Pidana agak sempit dan kurang tepat
karena hanya menitikberatkan bagaimana hukum pidana materiil harus
dilaksanakan, namun disisi lain mengabaikan tugas pokok Hukum Acara
Pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-
lengkapnya.
Di dalam hukum pidana, hukum acara pidana adalah hukum yang
mengatur berkaitan dengan proses beracara atau secara umum dikenal dengan
hukum formil. Hukum acara pidana tersebut dirangkum di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana).
Istilah hukum acara pidana itu sendiri dianggap sudah tepat jika
dibandingkan dengan istilah hukum proses pidana atau hukum tuntutan
pidana. Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan
akan menjadi tuntutan pidana. Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman
Belanda pada waktu rancangan undang-undang dibicarakan di parlemen
karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Sehingga istilah bahasa
inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda.
Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya
mulai pada pencarian kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada
pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak
termasuk dalam hukum acara pidana. Apalagi yang menyangkut terkait
perencanaan undang-undang pidana. Dengan terciptanya KUHAP, maka
untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang
lengkap dalam arti seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran)
sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai dengan peninjauan
kembali (herziening).
Hukum acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu,
hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi definisi tentang hukum acara
pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,
praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan,
penangkapan, penahanan dan lain-lain, diberi definisi dalam Pasal 11
KUHAP.
Andi Hamzah (2002: 2), memberikan penjelasan mengenai istilah hukum
acara pidana yang diuraikan sebagai berikut:
Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah “hukum
proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda memakai istilah
strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana,
bukannya istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah itu
menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undang-undang
dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Oleh
karena itu, menurut pendapat penulis istilah Inggris Criminal Procedure Law
lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah strafvordering sudah
memasyarakat maka tetap digunakan. Orang Perancis memakainya dan
menamainya Coded' Instruction Criminelle. Sedangkan istilah yang sering
dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Procedure Rules. Digunakan istilah
rules karena di Amerika Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi
sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan
dibukukan sebagai himpunan hukum.

2) Tahapan Dalam Hukum Acara Pidana


a. Penyelidikan
Penyelidikan berdasarkan definisi yang diatur di dalam Pasal 1 butir
5 KUHAP adalah : “Serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur menurut undang-undang ini.”
Definisi dari penyelidikan ini di dalam organisasi kepolisian
menggunakan istilah reserse. Tugasnya yaitu berkaitan dengan
penerimaan laporan dan pengaturan serta menghentikan orang yang
dicurigai untuk diperiksa. Penyelidikan merupakan tindakan yang
mendahului penyidikan. Jika dihubungkan dengan teori hukum acara
pidana yang dikemukakan oleh van Bemmelen maka penyelidikan
merupakan tahap pertama dari tujuh tahap di dalam hukum acara pidana,
yang bertujuan mencari kebenaran.

b. Penyidikan
Penyidikan yang dimaksud di dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut
sesuai dengan pengertian opsporing atau interrogation. Menurut de Pinto,
menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat
yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka
dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada
terjadi sesuatu pelanggaran hukum.
Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan
dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan
upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna
membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana.

c. Penuntutan
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP disebutkan mengenai definisi
penuntutan adalah : “Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang tersebut dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.”
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro menyebutkan dengan tegas
bahwa penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka Hakim
Pidana dengan menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas
perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa
dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

d. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan di Pengadilan dimulai dengan penentuan hari
persidangan yang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan untuk menyidangkan perkara, hal tersebut diatur di dalam
Pasal 152 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini, hakim tersebut memerintahkan
kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk
datang di sidang pengadilan yang diatur di dalam Pasal 152 ayat (2)
KUHAP.
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan.
Pertama, pemeriksaan perkara biasa, kedua, pemeriksaan singkat, dan
ketiga, pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas
pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas.

3) Pembuktian Dalam Proses Peradilan Pidana


a. Definisi Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti sesuatu hal (perisitiwa
dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal
(peristiwa dan sebagainya) apa-apa saja yang menjadi tanda sesuatu
perbuatan (kejahatan dan sebagainya). Pembuktian = perbuatan (hal dan
sebagainya) membuktikan ; pembuktian (memperlihatkan) bukti.
Pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan
demikian, pembuktian hanya diperlukan dalam persengketaan atau
perkara di muka hakim atau pengadilan. Oleh karenanya seseorang tidak
dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah
memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan
bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.
Permasalahan terkait pembuktian ini adalah masalah yang pelik
(ingewikkeld) dan menempati titik sentral dalam hukum acara pidana.
Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materil, dan bukannya untuk mencari kesalahan seseorang. Hal
ini diterangkan oleh Van Bemmelen bahwa maksud dari pembuktian
(bewijzen) sebagai berikut :
“Pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak
dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim : 1) Mengenai
pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah
terjadi; 2) Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi;”

b. Jenis-jenis Alat Bukti


Pada setiap pemeriksaan, baik itu pemeriksaan dengan acara biasa,
acara singkat, maupun acara cepat, diperlukan alat bukti untuk membantu
hakim mengambil keputusannya. Adapun alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP diatur di dalam
Pasal 184 yaitu :
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Alat-alat bukti ini menjadi sesuatu yang penting, oleh karena itu
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan berdasarkan
pada keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana tersebut benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan tersebut. Maka
dengan demikian alat bukti itu sangatlah penting dalam menemukan
pelaku tindak pidana dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana tersebut.

4) Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana


a. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocene)
Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum
acara pidana. Ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya
tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan
penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP.
Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat diuraikan
lebih lanjut selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan
negeri,
pengadilan tinggi, dan mahkamah agung Republik Indonesia) dan
belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),
maka terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku
dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut
harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang,
yaitu hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap
penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan
dan mendapatkan putusan seadil-adilnya, hak untuk mendapatkan
juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan hukum, dan sebagainya.

b. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan


Asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3
huruf e KUHAP. Secara konkret, jika dijabarkan bahwa dengan
dilakukan peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan
dimaksudkan agar terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai
berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum
serta proses administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu
membebaninya.
c. Asas Hak Ingkar
Hak ingkar diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No. 48
Tahun 2009 dan Pasal 157 KUHAP adalah hak seseorang yang diadili
untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap
seorang hakim yang mengadili perkaranya.

d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum


Keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het
process) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini
secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-
undang No. 48 Tahun 2009, penjelasan umum angka 3 huruf I
KUHAP dan diuraikan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP.

e. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya


Kehadiran Terdakwa
Asas ini termaktub dalam ketentuan Pasal 154, Pasal 176 ayat
(2), dan Pasal 196 ayat (1) KUHAP serta Pasal 12 ayat (1) Undang-
undang No. 48 Tahun 2009 khususnya terhadap perkara-perkara yang
diajukan secara biasa (pid. B) dan singkat (pid. S), dengan asas
kehadiran terdakwa ini, maka pemeriksaan pengadilan secara in
absentia sebagaimana dikenal dalam tindak pidana khusus (ius
singulare, ius speciale, atau bijzonder strafrecht) pada tindak pidana
korupsi (Undang-undang No. 20 Tahun 2001) dan tindak pidana
pencucian uang (Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955) dalam
konteks ini tidak diperkenankan kecuali dalam acara cepat,
khususnya acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini kenyataannya
diperlemah dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman di mana menurut Pasal 12 ayat (2) undang-
undang tersebut.

f. Asas Equal Before The Law


Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum
(rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan yang sama bagi setiap
orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan
demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan
sama di depan hukum (equal protection under the law) dan
mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal jucstice
under the law).

g. Asas Bantuan Hukum


Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka
3 huruf f KUHAP:
“setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan
memproleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.
Adapun asas bantuan hukum dalam Bab XI Pasal 56 Undang-
undang No. 48 Tahun 2009 dirumuskan bahwa:
“setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.”

h. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dari Lisan


Pada asasanya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di
depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada
terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan secara lisan
dalam Bahasa Indonesia. Tegasnya hukum acara pidana Indonesia
tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan
dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum
perdata, implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan
umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155
KUHAP, dan seterusnya.

i. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi


Apabila seseorang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, atau
diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan, baik mengenal orangnya maupun penerapan hukumnya,
wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas
(vrispraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi:
“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan
harkat serta martabatnya”.

j. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa
(Bab XIX, Pasal 270 KUHAP, Pasal 54 ayat (1) Undang-undang No.
48 Tahun 2009) dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan
pengamatan ini dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang
didelegasikan kepada dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan
pengamatan ini dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang
didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus untuk
membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan.
Dalam praktik hakim tersebut lazim disebut sebagai “hakim wasmat”
atau “kimwasmat” (Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP, Bab VI
Pasal 55 Undang-undang No. 48 Tahun 2009, Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 1985 tanggal 11
Februari 1985).

k. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan


Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam
setiap tingkat pemeriksaan telah dibatasi (Lilik Mulyadi, 2012: 13-
19).
2. Hakim
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
sebagai hasil revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, BAB IV tentang hakim
dan kewajibannya.
Berdasarkan pasal 1 angka 9 KUHAP, mengadili merupakan
serangkaian tindakan yang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU NO. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman, Hakim adalah hakim pada mahkamah agung dan
hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Secara yuridis dan filosofis bahwa Hakim Indonesia mempunyai
kewajiban atau hak untuk melakukan Penemuan Hukum dan penciptaan
hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua tingkatan,baik hakim
tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi atau Hakim Agung.

Hakim adalah pejabat umum yang diberikan wewenang untuk dapat


mengadili, memutuskan perkara-perkara yang tidak bertanggung dan
memimpin perkara hukum yang diajukan ke Pengadilan dan Mahkamah.
Dalam kasus juri, hakim seorang pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman dan memimpin persidangan yang diatur dalam undang-undang,
baik sendiri atau sebagian dari panel hakim. Kekuasaan, fungsi, metode
pengangkatan, disiplin, dan pelatihan hakim sangat bervariasi di berbagai
yurisdiksi.
Inkuisitorial hakim ialah melakukan pembuktian, penyajian bukti,
pemeriksaan saksi dan bertanggung jawab untuk menemukan fakta kejadian
yang sebenarnya.
Hakim yaitu yang mewakili Instansi Pengadilan untuk memutuskan
perkara dengan landasan dasar hukum Tuhan di muka bumi, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat yang mengatakan bahwa "pada umumnya kamu
tidak dapat menjadikanmu hakim dalam suatu perkara yang mereka
sengketakan kemudian mereka tidak merasa dalam hati ada keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya", oleh karena itu peran hakim sangat sentral di bumi ini, jika
hakim itu baik maka akan baik pula seluruh bangsa itu namun jika hakim itu
buruk maka akan rusak seluruh bangsa itu. Hakim berada dibawah payung
Badan Peradilan, sedangkan Badan Peradilan didasarkan pada hukum dasar
tertinggi negara dan memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Sebagai puncak kedaulatan negara.

Pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009


tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili
suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks
hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah diperbolehkan, dengan
adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang nomor 14
tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, oleh Mochtar
Kusumaatmadja disebut juga dengan asas non-liquiet yang merupakan
cerminan dari Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) pada masa Belanda.
( Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta,2002:hlm 99).
Asas ini kemudian mendasari atau memberikan peluang bagi hakim,
untuk menafsirkan dan menerapkan konsep penemuan hukum dalam sistem
hukum Indonesia. Namun demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai
apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan
pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti
di dalam hukum common law.
Hal itu menunjukkan fungsi utama hakim dalam memberikan putusan
terhadap perkara yang diajukan kepadanya.( Nanda Dewa Agung Dewantara,
2005: 28). Kebebasan hakim dapat pula bertindak sewenang-wenang. Untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut, harus diciptakan batasan-
batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan
kehakiman.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seorang hakim tidak
menjatuhkan putusan kepada seseorang,kecuali dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah. Hakim sudah memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya( Pasal 183 UU No.8 tahun 1981).
Hal ini menunjukkan adanya kemandirian, atau bebas menentukan
timbulnya keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang
dihadapkan ke muka sidang. Di dalam tindak pidana korupsi ada yang
dinamakan hakim karier dan hakim adhoc sebagaiman dinyatakan pada Pasal
1 UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
1) Hakim adalah hakim karier dan hakim Ad hoc
2) Hakim karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi,
dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana
korupsi.
3) Hakim Ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan
persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim
tindak pidana korupsi.

3. Penemuan Hukum (Rechtsvinding)


1) Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum adalah suatu metode untuk mendapatkan hukum
dalam hal peraturannya sudah ada akan tetapi tidak jelas bagaimana
penerapannya pada suatu kasus yang konkret. Penemuan hukum
(rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum
pada peristiwa hukum konkret. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa
konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya
dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi, dalam menemukan
hukumnya untuk peristiwa konkret. Keharusan menemukan hukum baru
ketika aturannya tidak saja tak jelas, tetapi memang tidak ada, diperlukan
pembentukan hukum. Hakim harus menggali berdasarkan banyak hal
mulai dari menganalogikan dengan perkara yang (mungkin) sejenis,
menetapkan parameter tertentu yang akan dijadikan sebagai patokan
didalam menjatuhkan putusan dan yang lebih penting lagi adalah
memperhatikan elemen sosiokultural keadilan yang hidup dan berkembang
di masyarakat. Dengan demikian apakah sebuah kasus yang ditangani itu
akan tuntas berdasarkan interpretasi atau analogi, sepenuhnya akan
tergantung kepada hakim. Hanya saja nanti putusan tersebut akan diuji
oleh masyarakat, tentang adil dan tidaknya. Sebab hakekat penerapan,
apakah ini interpretasi atau analogi, akan terulang kepada keharusan
tegaknya nilai keadilan dan kepastian hukum secara simetris. (Sudikno
Mertokusumo,1996)

Hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama,


kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi
sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang merupakan
konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan .
Berdasarkan menurut Soedikno diatas maka dapat dikatakan Penemuan
hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
penafsiran, yang menggunakan asas- asas logika. Namun demikian,
penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula
aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu
keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara.

Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat


menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi
keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang
didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya
dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium
lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian
bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi
logika dan penafsiran menggunakan aspek- aspek lainnya, ditujukan untuk
mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum.
Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan
identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum.
Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar
lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian
hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian
dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari
konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
(Jazim Hamidi,2005)

2) Dasar Hukum Positif dalam penemuan hukum


Dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman ditentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, kekuasaan kehakiman adalah
bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan
kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan
asas universal yang terdapat diberbagai negara. Kebebasan peradilan atau
hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari
pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada
hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa.

Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan


Kehakiman menyatakan
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang “
Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu
sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus
menemukan hukumnya.
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat
dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, antara lain: (Achmad Ali,
167: 1993)

1. Metode Interpretasi atau penafsiran


Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan
penjelasan luas tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah
dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum
tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat
mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan
akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan
fungsi agar hukum positif itu berlaku. (Sudikno Mertokusumo dan
A.Pitlo, 1993:13).
Arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha
memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah
yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat
memahaminya, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan
suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi
hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan
perundang-undangan. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta
menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya.

2. Metode Konstruksi Hukum


Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim
dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa
keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya
sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa
hukum yang sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak
pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak
hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan
masyarakat luas. ( Jazim hamidi,58-59:2005)
Menurut Rudolph von Jhering, ada 3 (tiga) syarat utama untuk
melakukan konstruksi hukum, yaitu:
a. Konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum
positif yang bersangkutan.
b. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di
dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri.
c. Konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan (estetika), yaitu
konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan
konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang
sesuatu hal, sehingga dimungkinkan penggabungan berbagai
peraturan, pembuatan pengertian-pengertian baru, dan lain-lain.
(Achmad Ali,191-192:1993).

3. Metode Hermeneutika Hukum


Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah
merupakan suatu kasus yang khusus atau baru, tetapi sebaliknya, ia
hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problem hermeneutika
dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh,
dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.
(Jazim Hamidi, 2005:42).
Metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna,
tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah
makna orisinil dari teks hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak
semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum konkret,
tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukum.
Pengalaman hakim pada saat menemukan hukum dalam praktik di
pengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan
interpretasinya. Dengan demikian, penggunaan dan penerapan
hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru
akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus
perkara dipengadilan. Kelebihan metode ini terletak pada cara dan
ruang lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam, dan holistik
dalam bingkai kesatuan antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya
(Jazim hamidi,2005:64).
Dalam praktik peradilan, tampaknya metode hermeneutika
hukum ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode
penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia, hal ini
disebabkan begitu dominannya metode interpretasi dan konstruksi
hukum yang sangat legalistik formal, sebagai metode penemuan
hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di
Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar
dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak menggunakannya dalam
praktik peradilan, padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada
pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode
menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat
teksnya saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan, serta
bagaimakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini
dan masa mendatang.

4. Penafsiran Hukum
Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai
kewajiban atau hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum
agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah
dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar
sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya
dalam menemukan dan menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum,
maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam
hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman .
 Penafsiran hukum terdiri dari :

1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran yang didasarkan hukum tata bahasa sehari-hari. Hal ini
dilakukan apabila ada suatu istilah yang kurang terang atau kurang jelas
dapat ditafsirkan menurut tata bahasa sehari-hari.

2. Penafsiran Autentik
Penafsiran yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri. Dalam Bab X
Pasal 86 sampai pasal 101 KUHP dicantumkan penafsiran autentik.
3. Penafsiran Sistematis
Penafsiran yang menghubungkan dengan bagian dari suatu undang-
undang itu dengan bagian lain dari undang-undang itu juga.
4. Penafsiran Menurut Sejarah Undang-undang
Penafsiran dengan melihat kepada berkas-berkas atau bahan-bahan waktu
undang-undang itu dibuat.
5. Penafsiran Analogis
Penafsiran suatu istilah berdasarkan ketentuan yang belum diatur oleh
undang-undang,tetapi mempunyai asas yang sama dengan sesuatu hal
yang telah daitur dalam undang-undang.
6. Penafsiran Teleologis
Penafsiran yang didasarkan kepada tujuan daripada udnang-undang itu
7. Penafsiran menurut sejarah hukum
Penafsiran dengan melihat kepada sejarah hukum. Misalnya dengan
melihat hukum yang pernah berlaku.
8. Penafsiran Ekstensif
Penafisran dengan memperluas arti dari suatu istilah yang sebenarnya.

9. Penafsiran mempertentangkan ( redeneering acontratio)


Penafsiran secara menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang
sedang dihadapi. Misalnya kebalikan dari ungkapan tiada pidana tanpa
kesalahan adalah pidana hanya dijatuhkan kepada seseorang yang
padanya terdapat kesalahan. Contoh lainnya adalah dilarang melakukan
suatu tindakan tertentu, kebalikannya adalah jika seseorang melakukan
tindakan yang tidak dilarang , tidak tunguk pada ketentuan larangan
tersebut.
10. Penafsiran mempersempit ( restrictieve interpretatie)
Penafsiran yang mempersempit pengertian suatu istilah. Misalnya
undang-undang dalam arti luas adalah semua produk perundang-undangan
seperti UUD, undang-undang, Perpu, Peraturan pemerintah dan
sebagainya. Sedangkan undang-undang dalam arti sempit hanya undang-
undang yang dibuat pemerintah bersama DPR.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Hukum acara pidana, peran hakim, penemuan hukum, dan cara penafsiran
hakim merupakan aspek penting dalam sistem peradilan pidana. Dengan
memahami prinsip-prinsip dasar dan menjalankan tugasnya dengan integritas,
hakim dapat memastikan bahwa keadilan terwujud dalam setiap tahapan proses
peradilan pidana.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan atau
setidaktidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang
selengkaplengkapnya dari suatu perkata pidana dengan menerapkan ketentuan
Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum,
dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Dengan kata lain Hukum Acara Pidana meliputi aturan-aturan yang
menetapkan bagaimana negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya
melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana. Hukum Acara Pidana ini
merupakan aturan-aturan yang menjadi dasar bagi penegak hukum untuk
melaksanakan Hukum Pidana Materiil.

Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari suatu
dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan. Penilaian dari putusan hakim adalah apa yang didakwakan dalam
surat dakwaan terbukti serta menilai apa yang didakwakan memang benar
terbukti.
Putusan hakim menjadi penting karena hal ini merupakan pokok dari suatu
proses persidangan. Putusan hakim dapat menentukan nasib terdakwa dan berat
ringannya suatu hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Dalam mempertimbangkan hukum yang akan ditetapkan, hakim harus
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Idealnya, putusan harus
memuat tiga unsur yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Kegiatan dalam kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu perundang-undang
dengan tuntas dan jelas. Sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang
lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelasjelasnya. Karena hukumnya tidak
lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan. Hukum diartikan
sebagai keputusan hukum (pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah
tugas dan kewajiban hakim mengenai tugas dan kewajiban hakim dalam
menemukan apa yang menjadi hukum, hakim dapat dianggap sebagai salah satu
faktor pembentuk hukum.2 Karena Undang-Undang tidak lengkap maka hakim
harus mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).

DAFTAR PUSTAKA

1. http://repository.unpas.ac.id/33579/4/BAB%202.pdf

2. http://digilib.unila.ac.id/9292/3/BAB%20II.pdf

3. https://etheses.iainkediri.ac.id/1047/3/931102615-BAB%20II.pdf

4. http://repository.untag-sby.ac.id/15269/3/BAB%20II.pdf

5. http://digilib.unila.ac.id/5333/8/BAB%20II.pdf

6. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hakim

7. https://mh.uma.ac.id/penafsiran-hukum/

Anda mungkin juga menyukai