Makalah Kelompok 1 Yuris
Makalah Kelompok 1 Yuris
Makalah Kelompok 1 Yuris
DOSEN PENGAMPU :
FONNY TAWAS SH, MH
KELOMPOK 1 :
1. JULIA BELLA LATI – 20071101240 (Tidak Presentasi)
2. VREEKE RULL.V.E KATUUK – 20071101528 (Tidak Presentasi)
3. GERALD CHRISTOPHER TANENG – 210711010022
4. ANASTASYA GREETLYN PONGOH – 210711010066
5. MERLIN PAQUITA RIMBING – 210711010097
6. MIRACHEL TESSALONIKA VANESSA MEHIPE – 210711010099
7. PRETI SISONG – 210711010103
8. VERENA AURELIA KATIANDAGHO – 210711010118
9. MARSHANDA NELKE LAUREEN MANOSSOH – 210711010132
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa atas
berkat dan Rahmat-Nya maka selesailah penulisan Makalah ini yang menjadi tugas
Mata Kuliah Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi pada Semester VI Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Kami menyadari sebagai Mahasiswa masih dalam tahap belajar, tidak terlepas
dari keterbatasan dan kesulitan dalam penyusunan Makalah ini.
Mohon maaf apabila dalam penulisan ini terdapat kekeliruan serta hal-hal
yang kurang berkenan, karenanya Kami juga mengharapkan kritik dan arahan oleh
dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi Semester VI
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado dalam penyempurnaan Makalah
ini sehingga dapat bermanfaat.
Semoga Tuhan Allah menyertai segala usaha dan kerja kita.
KELOMPOK 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………1
1. Latar Belakang………………………………………………………….1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………2
3. Tujuan Penulisan………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..3
1. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana………………………………….3
2. Hakim……………………………………………………………………8
3. Penemuan Hukum………………………………………………………10
4. Cara Penafsiran Hukum…………………………………………………13
BAB III PENUTUP………………………………………………..15
1. Kesimpulan……………………………………………………………..15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………16
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kelahiran Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
yang dikenal dengan nama KUHAP sejak diundangkan 31 Desember 1981
disambut oleh segenap masyarakat Indonesia dengan penuh rasa sukacita dan
harapan akan terwujudnya kepastian hukum berdasarkan kebenaran dan
keadilan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa setelah membaca
perumusan pasal-pasal dalam KUHAP bahwa secara tersurat telah mengatur
pemberian perlindungan terhadap keluhuran harkat martabat atau disebut juga
sebagai hak-hak asasi manusia.
Istilah Hukum Acara Pidana sudah dikenal dan dipakai oleh masyarakat sejak
diberlakukannya Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana pada tanggal 31 Desember 1981 dan ditandatangani oleh Presiden
Soeharto, masyarakat Indonesia menyambutnya dengan penuh rasa sukacita
karena perwujudan penyelenggaraan hukum di Indonesia sudah mengarah pada
nilai- nilai penegakan, perlindungan jaminan hak asasi manusia demi
menjunjung tinggi konsep rule of law. Mengenai pengertian Hukum Acara
Pidana, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
”Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka
dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan
hukum pidana.”
Dari pendapat diatas dijelaskan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana yang
dirumuskan oleh Wirjono Prodjodikoro adalah pengertian mengenai pelaksanaan
kewenangan badan-badan pemerintah dalam penegakan hukum acara pidana.
Sebelum dibentuknya KUHAP di Indonesia, Hukum Acara pidana lingkupnya
lebih sempit, yaitu hanya sebatas mulai pada mencari kebenaran penyelidikan,
penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa.
Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana. Selain itu juga,
Wirjono mengemukakan bahwa “Hukum acara pidana adalah berbicara
mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang aparat penegak hukum
dalam menjalankan dan menegakkan hukum pidana materiil dalam suatu
negara”. Ia juga menekankan bahwa dalam praktik penegakan hukum pidana
harus ada peran serta aparat penegak hukum dan badab-badan pemerintah yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk menjalankan fungsi peradilan
dalam hakikat rule of law.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem hukum acara pidana berfungsi dalam proses peradilan?
2. Bagaimana peran dan tanggung jawab seorang hakim dalam sistem hukum
pidana?
3. Bagaimana proses Penemuan Hukum (judicial discovery) berlangsung dalam
konteks hukum acara pidana?
4. Bagaimana hakim menafsirkan hukum dalam kasus-kasus pidana dan apa
metode atau pendekatan yang mereka gunakan?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah tentang hukum acara pidana adalah untuk
menyelidiki prosedur-prosedur yang terlibat dalam pengadilan pidana. Ini
meliputi peran hakim, penemuan hukum, dan teknik penafsiran hakim dalam
konteks hukum acara pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
b. Penyidikan
Penyidikan yang dimaksud di dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut
sesuai dengan pengertian opsporing atau interrogation. Menurut de Pinto,
menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat
yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka
dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada
terjadi sesuatu pelanggaran hukum.
Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan
dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan
upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna
membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana.
c. Penuntutan
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP disebutkan mengenai definisi
penuntutan adalah : “Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang tersebut dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.”
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro menyebutkan dengan tegas
bahwa penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka Hakim
Pidana dengan menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas
perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa
dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.
d. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan di Pengadilan dimulai dengan penentuan hari
persidangan yang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan untuk menyidangkan perkara, hal tersebut diatur di dalam
Pasal 152 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini, hakim tersebut memerintahkan
kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk
datang di sidang pengadilan yang diatur di dalam Pasal 152 ayat (2)
KUHAP.
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan.
Pertama, pemeriksaan perkara biasa, kedua, pemeriksaan singkat, dan
ketiga, pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas
pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas.
4. Penafsiran Hukum
Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai
kewajiban atau hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum
agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah
dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar
sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya
dalam menemukan dan menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum,
maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam
hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman .
Penafsiran hukum terdiri dari :
1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran yang didasarkan hukum tata bahasa sehari-hari. Hal ini
dilakukan apabila ada suatu istilah yang kurang terang atau kurang jelas
dapat ditafsirkan menurut tata bahasa sehari-hari.
2. Penafsiran Autentik
Penafsiran yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri. Dalam Bab X
Pasal 86 sampai pasal 101 KUHP dicantumkan penafsiran autentik.
3. Penafsiran Sistematis
Penafsiran yang menghubungkan dengan bagian dari suatu undang-
undang itu dengan bagian lain dari undang-undang itu juga.
4. Penafsiran Menurut Sejarah Undang-undang
Penafsiran dengan melihat kepada berkas-berkas atau bahan-bahan waktu
undang-undang itu dibuat.
5. Penafsiran Analogis
Penafsiran suatu istilah berdasarkan ketentuan yang belum diatur oleh
undang-undang,tetapi mempunyai asas yang sama dengan sesuatu hal
yang telah daitur dalam undang-undang.
6. Penafsiran Teleologis
Penafsiran yang didasarkan kepada tujuan daripada udnang-undang itu
7. Penafsiran menurut sejarah hukum
Penafsiran dengan melihat kepada sejarah hukum. Misalnya dengan
melihat hukum yang pernah berlaku.
8. Penafsiran Ekstensif
Penafisran dengan memperluas arti dari suatu istilah yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum acara pidana, peran hakim, penemuan hukum, dan cara penafsiran
hakim merupakan aspek penting dalam sistem peradilan pidana. Dengan
memahami prinsip-prinsip dasar dan menjalankan tugasnya dengan integritas,
hakim dapat memastikan bahwa keadilan terwujud dalam setiap tahapan proses
peradilan pidana.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan atau
setidaktidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang
selengkaplengkapnya dari suatu perkata pidana dengan menerapkan ketentuan
Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum,
dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Dengan kata lain Hukum Acara Pidana meliputi aturan-aturan yang
menetapkan bagaimana negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya
melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana. Hukum Acara Pidana ini
merupakan aturan-aturan yang menjadi dasar bagi penegak hukum untuk
melaksanakan Hukum Pidana Materiil.
Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari suatu
dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan. Penilaian dari putusan hakim adalah apa yang didakwakan dalam
surat dakwaan terbukti serta menilai apa yang didakwakan memang benar
terbukti.
Putusan hakim menjadi penting karena hal ini merupakan pokok dari suatu
proses persidangan. Putusan hakim dapat menentukan nasib terdakwa dan berat
ringannya suatu hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Dalam mempertimbangkan hukum yang akan ditetapkan, hakim harus
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Idealnya, putusan harus
memuat tiga unsur yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Kegiatan dalam kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu perundang-undang
dengan tuntas dan jelas. Sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang
lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelasjelasnya. Karena hukumnya tidak
lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan. Hukum diartikan
sebagai keputusan hukum (pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah
tugas dan kewajiban hakim mengenai tugas dan kewajiban hakim dalam
menemukan apa yang menjadi hukum, hakim dapat dianggap sebagai salah satu
faktor pembentuk hukum.2 Karena Undang-Undang tidak lengkap maka hakim
harus mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.unpas.ac.id/33579/4/BAB%202.pdf
2. http://digilib.unila.ac.id/9292/3/BAB%20II.pdf
3. https://etheses.iainkediri.ac.id/1047/3/931102615-BAB%20II.pdf
4. http://repository.untag-sby.ac.id/15269/3/BAB%20II.pdf
5. http://digilib.unila.ac.id/5333/8/BAB%20II.pdf
6. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hakim
7. https://mh.uma.ac.id/penafsiran-hukum/