Definisi Strategi Manajemen Reputasi
Definisi Strategi Manajemen Reputasi
Definisi Strategi Manajemen Reputasi
Manajemen Reputasi.
Reputasi adalah suatu nilai yang diberikan kepada individu, institusi atau Negara. Reputasi tidak
bisa diperoleh dalam waktu singkat karena harus dibangun bertahun-tahun untuk menghasilkan
sesuatu yang bisa dinilai oleh public. Reputasi pada dasarnya adalah nama baik yang dinilai dari
pihak eksternal dan internal. Menurut Gaotsi dan Wilson (2001), reputasi adalah evaluasi semua
stakeholder terhadap organisasi ada 5 faktor yang mempengaruhi organisasi, yaitu keberadaan
(being), tindakan (doing), berkomunikasi (communicating), mendengarkan (listening) dan melihat
(seeing). Organisasi perlu melakukan tindakan yang terencana dengan baik untuk membangun
kesan di mata stakeholder-nya, maka kepercayaan terhadap organisasi bisa terjaga.
Menurut Osborne (2001) mengatakan, barometer paling sederhana untuk reputasi adalah liputan
media massa. Karena liputan media akan memengaruhi persepsi public terhadap komitmen satu
organisasi pada isu-isu yang menarik perhatian public. Bila organisasi bisnis disangka
menyembunyikan sesuatu yang dipandang merugikan public oleh media, maka reputasi
organisasi itu akan hancur.
Oleh sebab itu, media relations menjadi salah satu bagian penting untuk menjaga reputasi dan
kepercayaan public terhadap organisasi. Tidak mengherankan jika banyak konsultan PR
menyarankan kliennya untuk berhubungan baik dengan media untuk menjaga reputasi
organisasi. Karena itu dalam manajemen reputasi, pertimbangan media relations yang baik
menjadi begitu penting.
Ada tiga pendekatan dalam manajemen reputasi. Pendekatan pertama menyangkut aspek-aspek
sebagai berikut :
Manajemen Konflik.
Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi. Pemimpin organisasi dituntut
menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif untuk
meningkatkan mutu organisasi.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar
dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada
proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun
pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan diperlukannya
adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara
pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan. Bahkan sepanjang
kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik. Demikian halnya
dengan kehidupan organisasi. Anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik.
Perubahan atau inovasi baru sangat rentan menimbulkan konflik (destruktif), apalagi jika tidak
disertai pemahaman yang memadai terhadap ide-ide yang berkembang.
Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam
bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang menjadi
“ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”.
Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-
pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai
macam keadaan dan pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah duo yang
dinamis.
Resolusi Konflik.
Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang
mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan
pengakuan juga perubahan – perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan –
kebutuhan.
Konflik dapat dilatar belakangi oleh banyak hal. Konflik internal suatu Negara bisa saja
disebabkan oleh banyak hal, baik konflik politik, ekonomi, perdagangan, etnis, perbatasan dan
sebagainya. Tentulah kedua belah pihak maupun pihak luar yang menyaksikan menginginkan
konflik dapat diakhiri.
Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan
oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pura harus melibatkan
pihak ketiga untuk menengahi dan mencari jalan keluar baik oleh Negara atau sebagai Organisasi
Regional bahkan Organisasi Internasional.
Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam penyelesaian konflik yaitu :
Peacekeeping
Adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer
yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.
Peacemaking
Adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan
strategi dari pihak yang bertikai melaluia mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level
elit atau pimpinan.
Peacebuilding
Adalah proses implementasi perubahan atau rekontruksi social, politik, dan ekonomi demi
terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan
negative peace atau the absence of violence berubah menjadi positive peace dimana
masyarakat merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan
politik yang efektif.
III. Manajemen Krisis.
Manajemen krisis adalah proses yang membahas organisasi dengan sebuah peristiwa besar
yang mengancam merugikan organisasi, stakeholders, atau masyarakat umum. Ada tiga elemen
yang paling umum untuk mendefinisi krisis : ancaman bagi organisasi,
unsur kejutan,dan keputusan waktu singkat. Berbeda dengan manajemen risiko, yang melibatkan
menilai potensi ancaman dan menemukan cara terbaik untuk menghindari ancaman. Sementara
manajemen krisis berurusan dengan ancaman yang telah terjadi.
Jadi manajemen krisis dalam pengertian yang lebih luas merupakan sebuah keterampilan teknis
yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi, menilai, memahami, dan mengatasi situasi yang serius,
terutama dari saat pertama kali terjadi sampai ke titik pemulihan kembali.
Krisis adalah suatu emergency, namun tidak setiap emergency adalah suatu krisis. Krisis
ditangani oleh manajemen terhadap krisis. Krisis adalah kondisi tidak stabil, yang bergerak
kearah suatu titik balik, dan menyandang potensi perubahan yang menentukan. Sedangkan
keadaan darurat (emergency) adalah kejadian tiba – tiba, yang tidak diharapkan terjadinya dan
menuntut penanganan segera.
Jadi esensi manajemen krisis adalh upaya untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor risiko
hingga tingkat serendah mungkin, dengan demikian akan lebih mampu menampilkan sebanyak
mungkin faktor kepastiannya. Sebenarnya yang disebut manajemen krisis itu diawali dengan
langkah mengupayakan sebanyak mungkin informasi mengenai alternatif – alternatif, maupun
mengenai probabilitas, bahkan jika mungkin mengenai kepastian tentang terjadinya, sehingga
pengambilan keputusan mengenai langkah – langkah yang direncanakan untuk ditempuh, dapat
lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap mungkin serta setajam (setepat)
mungkin informasinya. Tentu saja diupayakan dari sumber yang dapat diandalkan (reliable),
sedangkan materinya juga menyandang bobot nalar yang cukup.
Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat sesuatu
tambah baik atau tambah buruk. Menurut Djamaludin Ancok, jika dipandang dari kaca mata bisnis
suatu krisis akan menimbulkan hal – hal seperti berikut :
Kategori Krisis.
Untuk itu, selama proses penyusunan manajemen krisis, sangat penting untuk mampu
mengidentifikasi jenis krisis dalam berbagai situasi yang berbeda – beda dan menggunakan
berbagai macam strategi manajemen krisis yang berbeda. Perlu diketahui memprediksi krisis
memang sangat sulit,tapi mengidentifikasi macam – macam krisis sangatlah mudah dan bisa
dikelompokkan. Mengkategorikan ada tujuh jenis / tipe krisis :
Bencana alam
Teknologi krisis
Konfrontasi
Kedengkian (Malevolence)
Krisis karena Manajemen yang buruk (Crisis of skewed management value)
Krisis adanya penipuan (deception)
Kesalahan manajemen (management misconduct)
Terminologi “issues management” pertama kali dipublikasikan oleh W. Howard Chase pada
tanggal 15 April 1976 dalam newsletter-nya “Corporate Public Issues and Their Management”
Volume 1.
No. 1. Newsletter tersebut, sekarang sering disebut CPI, menyebutkan bahwa tujuan-tujuan
manajemen issue adalah untuk memperkenalkan dan memvalidasikan suatu penetrasi dalam
desain dan praktek manajemen korporat dengan tujuan untuk setidaknya mengelola issue publik
korporat sebaik atau bahkan lebih baik dibandingkan manajemen tradisional dari operasional
yang hanya memikirkan keuntungan saja. Ia juga berkata bahwa isi newsletter-nya akan
menggiring pembacanya pada revisi dasar atas praktek – praktek yang berbiaya tinggi dan tak
sesuai dari jajaran staff manajemen tradisional. Ditambahkannya bahwa pada masa ini hanya
ada satu manajemen dengan satu tujuan: bertahan hidup dan kembali pada kapital yang cukup
untuk memelihara produktivitas, apapun iklim ekonomi dan politik yang tengah berlangsung.
Pengertian Issue.
Kita tidak akan mudah memahami terminology Manajemen Issue di atas tanpa mengetahui apa
yang sebenarnya dimaksud dengan issue. Menurut dua pakar di AS, Hainsworth dan Meng,
sebuah issue muncul sebagai suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan, atau
diusulkan untuk dilakukan, oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi
dan penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal, atau dapat menjadi
masalah kebijakan publik melalui tindakan legislative atau perundangan. Chase &
Jones menggambarkan issue sebagai ‘sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap
diambil keputusannya. Pakar lain mengatakan bahwa dalam bentuk dasarnya, sebuah issue
dapat didefinisikan sebagai ‘sebuah titik konflik antara sebuah organisasi dengan satu atau lebih
publiknya.
Definisi sederhana lainnya menurut Regester & Larkin bahwa sebuah issue merepresentasikan
suatu kesenjangan antara praktek korporat dengan harapan-harapan para stakeholder (a gap
between corporate practice and stakeholder expectations). Dengan kata lain, sebuah issue yang
timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar
organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja
organisasi tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang.
Dari berbagai definisi di atas, terlihatlah bahwa pengertian issue menjurus pada adanya masalah
dalam suatu organisasi yang membutuhkan penanganan. Cara menangani issue tersebut yang
pada akhirnya memunculkan teori dan proses manajemen issue.
Diplomasi berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Menurut the Chamber’s
Twenthieth Century Dictionary, diplomasi adalah the art of negotiation, especially o treaties
between states; political skill. (seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-
negara; keahlian politik). Di sini, yang pertama menekankan kegiatannya sedangkan yang kedua
meletakkan penekanan seni berundingnya. Ivo D. Duchachek bependapat, “Diplomasi biasanya
didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dengan cara negosiasi
dengan negara lain. Tetapi diplomasi kadang-kadang dihubungkan dengan perang. Oleh karena
itulah Clausewitz, seorang filosof Jerman, dalam pernyataannya yang terkenal mengatakan
bahwa perang merupakan kelanjutan diplomasi melalui sarana lain.
Ada yang menyamakan kata itu dengan politik luar negeri, misalnya jika dikatakan
“Diplomasi RI di afrika perlu ditingkatkan”.
Diplomasi dapat pula diartikan sebagai “perundingan” seperti sering dinyatakan bahwa,
Masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi. Jadi perkataan
diplomasi disini merupakan satu – satunya mekanisme yaitu melalui perundingan.
Dapat pula diplomasi diartikan sebagai dinas luar negeri seperti dalam ungkapan selama
ini ia bekerja untuk diplomasi.
Ada juga yang menggunakan secara kiasan seperti dalam pandai berdiplomasi yang
berarti pandai bersilat lidah.
Tugas utama dari diplomat adalah menyangkut keterwakilannya (representation) dari suatu
negara di negara lain. Ada yang menganggap bahwa para duta besar itu merupakan mata dan
telinga dari negaranya. Tugas mereka mencakupi keterwakilan diplomatik, mengadakan
pertukaran nota mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama,
melakukan perundingan mengenai yang bersifat strategis dan politis, melindungi kepentingan
warga negaranya di negara penerima, dan singkatnya memberikan perlindungan serta
memajukan kepentingan negara pengirim di negara penerima.
Dalam menyelesaikan pertikaian atau permasalahan, duta besar tidak memiliki kapal perang dan
tidak pula mempunyai infanteri yang besar ataupun banteng, senjata utamanya semata-mata
hanyalah kata-kata dan kesempatan. Dalam transaksi-transaksi yang penting, kesempatan
berlalu sangat cepat. Sekali hilang maka hal itu sukar dapat ditemukan lagi. Adalah merupakan
pelanggaran yang besar untuk menghilangkan demokrasi dari suatu kesempatan, karena
kesempatan itu dapat menghilangkan oligarki dan otokarsi. Menurut sistem itu, tindakan dapat
diambil dengan cepat dan hanya meminta dengan kata.
Aspek lain dalam Konvensi Wina 1961 yang menyangkut diplomasi adalah perundingan
(negotiation) yang dilakukan dengan pemerintah negara penerima. Perundingan dapat timbul
karena adanya sesuatu masalah yang berkaitan dengan perdagangan, komunikasi atau
mengenai masalah militer. Demikian juga perundingan itu bisa dilakukan karena adanya tuntutan
negaranya tehadap negara penerima atau sebaliknya.
Diplomasi harus membentuk tujuan dalam raangka kekuatan yang sebenarnya untuk
mencapat tujuan tersebut. Suatu Negara yang ingin menciptakan tujuan – tujuannya yang
belum dicapai haruslah berhadapan dengan suatu risiko untuk perang. Karena itu
diperlukan suksesnya diplomasi untuk mencoba mendapatkan tujuannya tersebut sesuai
dengan kekuatannya.
Diplomasi harus menggunakan cara-cara yang pantas dan sesuai seperti kompromi,
bujukan dan bahkan kadang-kadang ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan –
tujuannya.
Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah
komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:
Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai
kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi)
yang lain.
Menurut Stephen Robbins dalam bukunya Organizational Behavior (2001), negosiasi adalah
proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya
untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut.
Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih
yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk
mencapai suatu kesepakatan. Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi? Upaya negosiasi
diperlukan manakala :
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil
yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan.
Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berikut :
Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah
yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai
Integrative negotiation.
Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang
sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang
berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang
tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak
mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat
dengan kekalahan mereka.
TUGAS
HUMAS INTERNASIONAL
Dibuat Oleh :
Rizky Satya Askar
10080012113