MSK Case 8 Unethical Practices - Part 3 Fasti
MSK Case 8 Unethical Practices - Part 3 Fasti
MSK Case 8 Unethical Practices - Part 3 Fasti
Oleh:
Universitas Indonesia
2014/2015
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MAKSI-PPAK
Statement of Authorship
“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah
murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menggunakannya.
Kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Nike memutuskan hubungan kerja dengan pemasoknya ketika manajemen Nike, dalam kurun
waktu tertentu, menemukan bahwa pemasok tersebut tidak mampu dan tidak memiliki keinginan
yang kuat untuk menangani isu-isu penting terkait palanggaran kepatuhan yang mereka lakukan.
Satu pemasok di Cina misalnya, melakukan pelanggaran terhadap standar lembur serta
memalsukan time work record. Tim kepatuhan Nike menyusun action plan untuk diterapkan
oleh tiga unit bisnis Nike yang berbeda dalam menjalankan hubungan kerja dengan pemasok
tersebut. Setelah melakukan upaya selama enam bulan dan tidak ada perkembangan yang
dihasilkan, Nike memutuskan hubungan kerjanya dengan pemasok dari Cina tersebut. Pada
November 2006, Nike menghentikan kerja samanya dengan pemasok bola kaki asal Pakistan
yang gagal menangani pelanggaran kode etik yang serius.
Keputusan Nike untuk mengakhiri kerja sama dengan pemasoknya didasari pada kinerja
pemasok yang dilihat dari balanced scorecard, dimana perusahaan menilai ada tidaknya praktik
yang melanggar etika dengan melihat akun labor code compliance dan menganalisanya bersama
dengan pengukuran lain seperti harga, kualitas, dan delivery time. Contohnya, kelompok
manufaktur di Asia Tenggara memiliki kinerja yang rendah terkait banyak isu, mulai dari
mempekerjakan buruh melebihi standar jam kerja buruh hingga komunikasi antara manajemen
buruh dengan bagian kualitas produk dan shipping date. Setelah serangkaian tinjauan kerja,
manajemen Nike memberitahukan kepada kelompok manufaktur tersebut bahwa Nike tidak akan
melakukan pemesanan untuk season berikutnya. Nike tidak melaporkan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan kinerja yang rendah saja namun juga karena adanya pelanggaran kepatuhan,
manajemen Nike mengatakan, “sulit untuk memisahkan kinerja yang rendah dari kepatuhan
sebagai satu-satunya alasan untuk mengakhiri hubungan bisnis”.
Untuk memberikan insentif yang lebih besar kepada pemasok yang mengikuti standar dan
ekspektasi Nike, manajemen Nike dan auditor pabrik memberikan kolonggaran kepada pemasok
dimana pemasok bisa mempekerjakan buruh dalam minggu kerja yang panjang (di atas 72 jam)
pada saat crunch production period, dan tidak mengharuskan pemasok menaati standar yang
ketat dimana buruh harus diberikan 1 hari off kerja setiap 14 hari, dengan syarat pemasok
memberikan hari off yang lebih banyak kepada para buruh pada saat lack production period.
Nike juga merampingkan metodenya dalam merancang sepatu dan melakukan pesanan kepada
pemasok utama perusahaan, serta membantu pemasok asing mengembangkan teknik produksi
yang lebih efisien, sehingga pemasok bisa terhindar dari mempekerjakan buruh dalam minggu
kerja yang panjang dan lembur yang berlebihan. Menurut vice president Nike untuk global
footwear operation, “Jika Anda meningkatkan efisiensi dan inovasi, hal ini dapat mengubah cost
equation pabrik”.
Pada tahun 2008, Nike menemukan adanya pelanggaran etika terkait kondisi kehidupan yang
tidak layak, penahanan passport buruh, dan pemalsuan gaji yang dilakukan oleh pemasok Nike di
Malaysia. Untuk mengatasi masalah tersebut, Nike mengharuskan pemasok tersebut untuk segera
melakukan perubahan-perubahan sebagai berikut:
1. Semua buruh migran akan diberikan reimbursement terkait pekerjaan mereka selama ini
termasuk namun tidak terbatas pada biaya perekrutan yang dibayarkan kepada agen
Tenaha kerja dan biaya perizinan kerja buruh.
2. Semua biaya yang terkait dengan pekerjaan buruh akan dibayarkan oleh pemasok sebagai
biaya dalam menjalan bisnis.
3. Para buruh yang ingin pulang ke negaranya akan dibiayai oleh perusahaan terlepas dari
persyaratan kontrak (contract erequirement).
4. Sebagian besar asrama buruh berada dalam kondisi yang tidak layak. Semua buruh akan
dipindahkan ke asrama baru yang telah diinspeksi dan disetujui oleh Nike dalam 30 hari.
5. Semua buruh akan segera memiliki free access atas passport mereka.
6. Buruh akan memiliki akses 24 jam hotline Nike jika mereka mengalami kesulitan dalam
mengakses passport dari manajemen pabrik pemasok. Nike akan melakukan investigasi
yang cermat atas semua klaim yang ada.
7. Komunikasi dengan para buruh mengenai perubahan ini akan disampaikan baik secara
lisan maupun melalui postingan di semua area publik dalam semua bahasa yang sesuai.
Nike juga mengumumkan bahwa selama 10 tahun ke depan, Nike akan mereviu semua
pemasoknya yang berlokasi di Malaysia dan mewajibkan para pemasok tersebut untuk
menerapkan kebijakan yang sama.
Pada February 2002, Wal-Mart membuat sebuah perusahaan bernama Global Procurement
Services Group (GPSG), yang bertugas mengidentifikasi pemasok baru, sumber produk baru,
membangun kerja sama dengan pemasok yang ada, mengelola global supply chain direct
import Wal-Mart, menyediakan pelatihan mengenai standar kelayakan lokasi kerja kepada
pemasok, dan menjalankan standar pemasok Wal-Mart. Semua karyawan Wal-Mart yang
terkait dengan pengawasan kepatuhan pemasok menjadi bagian dari GPSG. Pada tahun 2008,
GPSG memiliki sekitar 1700 pegawai yang bekerja dari kantor-kantor di 25 negara, termasuk
Cina, Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Honduras, Nicaragua, Guatemala,
Mexico, Brazil, dan Turki (negara-negara dimana terdapat tantangan besar terkait kepatuhan
pemasok).
Pada tahun 2005-2007, Wal-Mart membeli barang dari hampir 9.000 pemasok di 60 negara;
sekitar 2.500 dari 9.000 pemasok telah menerapkan standar yang tetapkan oleh Wal-Mart dan
sistem audit pabrik karena merger, akuisisi, dan konstruksi pabrik baru. Sekitar 200 orang
karyawan Wal-Mart yang tersebar di seluruh kantor GPSG di 25 negara bertugas mengawasi
kepatuhan pemasok terhadap Standard for Suppliers Wal-Mart. Para pemasok yang terikat
dengan standar tersebut harus mengungkapkan pabrik yang digunakan untuk memenuhi
setiap pesanan Wal-Mart.
Setelah mempelajari insiden yang dilaporkan oleh Business Week yang telah disebutkan di
awal kasus, Wal-Mart memulai investigasi terhadap pabrik Beifa di Ningbo. Wal-Mart
menemukan bahwa beberapa dari pemasoknya berusaha mengelabui pengawasan pabrik dan
tidak mematuhi standar yang ditetapkan oleh Wal-Mart.
Wal-Mart menyatakan bahwa multiple audit oleh beberapa perusahaan dengan standar yang
dan interpretasi yang berbeda perlu dibahas. Respon tersebut meningkatkan kerja sama Wal-
Mart dengan perusahaan dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan monitoring
untuk bekerja bersama-sama mengkonvergensi kode etik pemasok dan interpretasi dari
standar dan hukum setempat; tujuan Wal-Mart adalah untuk membangun program sertifikasi
yang kompak dan kredibel yang membantu para pemasok dalam mematuhi standard dan
hukum setempat serta mengurangi kejenuhan audit.
Menjelang akhir dari penyusunan program tersebut, Wal-Mart memulai kerja sama yang erat
dengan International Council of Toy Industries (ICTI) CARE Process dan Global Social
Compliance Program. ICTI beranggotakan asosiasi perdagangan mainan dari 21 negara yang
mengkampanyekan standar mainan yang aman, perlakuan yang sama kepada buruh, kondisi
kerja yang aman di pabrik mainan, serta cara yang bertanggung jawab dalam mengiklankan
dan memasarkan mainan kepada anak-anak. ICTI telah mengembangkan sebuah kode praktik
bisnis yang berisi standar yang tinggi terhadap praktik buruh serta kesehatan dan keselamatan
buruh. CARE Process tersebut bertujuan untuk menciptakan satu program audit yang
menyeluruh dan konsisten untuk mengawasi kepatuhan pemasok terhadap kode praktik
tersebut; sebagian besar dari audit ICTI dilakukan di China, dimana 70 persen dari mainan di
seluruh dunia dibuat.
Wal-Mart merupakan salah satu pendiri Global Social Compliance Program (GSCP). GSCP
merupakan langkah awal untuk mempromosikan standar global yang sama untuk kode etik
pemasok dan kondisi kerja di pabrik pemasok yang wajar, khususnya yang berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatan kerja, tenaga kerja di bawah umur, diskriminasi, dan kompensasi.
Pengawasan pabrik merupakan komponen penting dalam program ini. Walaupu sebagian
besar pelaksanaan program ini dilakukan oleh CIES, sebuah asosiasi retailer dan pemasok
makanan internasional, ruang lingkup dari GSCP meliputi produk makanan dan bukan
makanan. Walaupun saat ini GSCP beranggotakan perusahaan-perusahaan, untuk ke
depannya GSCP akan memperluas kerja samanya dengan persatuan dagang, organisasi
pemerintah, dan organisasi nonpemerintah.
Pada Juli 2008, Wal-Mart Intertek Group, PLC, sebuah organisasi pengawas pemasok yang
independen yang memiliki 25 kantor di Cina, mulai melakukan audit terhadap pabrik
pemasok Wal-Mart di Cina. Intertek merupakan salah satu dari beberapa group yang
digunakan oleh Wal-Mart untuk mengaudit para pemasoknya.
COMPLIANCE EFFORTS OF INDUSTRY GROUPS AND NONGOVERNMENTAL
ORGANIZATION
ANALISIS
3. Apa pemicu dari strategi dan perilaku bisnis yang tidak etis?
REFERENCES
Arthur Thompson, Margaret Peteraf, John Gamble, A. J. Strickland III (2012). Crafting and
Executing Strategy, 18th edition. Mc Graw Hill.
Arthur Thompson, Margaret Peteraf, John Gamble, A. J. Strickland III (2014). Crafting and
Executing Strategy, 19th edition. Mc Graw Hill.