Kejahatan Lingkungan Oleh Korporasi Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dan Pemimpin Pengurus Korporasi Untu
Kejahatan Lingkungan Oleh Korporasi Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dan Pemimpin Pengurus Korporasi Untu
Kejahatan Lingkungan Oleh Korporasi Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dan Pemimpin Pengurus Korporasi Untu
2 (2016): 149-195
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Andri G. Wibisana
Abstract
It is very likely that most environmental crimes involve corporation, in the
sense that the crimes were conducted within the scope of corporation and on
behalf of the corporation. This contribution attempts to answer the questions of
how corporate criminal liability has evolved in several jurisdictions, and how
this concept has been interpreted and implemented in Indonesia. The
contribution explains the development of corporate criminal liability, and
classifies it into liability for corporation and liability for corporate officers.
Based on such theoretical foundations, the contribution critically analyses the
formulation of corporate criminal liability and officers’ liability in various
legislations related to environmental protection and in various court decisions
in Indonesia. It is observed that some laws and rulings failed to make a clear
distinction between criminal liability for corporation and that for its high
ranking officers. The failure result in some rulings where a corporation being
held liable although it was not a defendant, or a director was likely to be put in
jail although he was not a defendant. The contribution recommends some
changes in corporate and officers’ criminal liability in Indonesia. In
particular, this contribution criticizies the use of individual criminal liability,
and argues that to hold an officer liable the government needs to prove the
contribution of the officer in the criminal conduct.
1 Artikel ini merupakan perbaikan dan perluasan dari artikel dengan judul sama yang telah
disampaikan pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup 2016, Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang, 20 April 2016.
Penulis berterima kasih kepada Nathalina Naibaho dan Adhimas Putrastyo Hutomo atas
komentarnya untuk draft awal dari tulisan ini. Terima kasih pula untuk ELSAM yang telah mengizinkan
penulis berkontribusi dalam diskusi mengenai RKUHP. Tentu saja kekeliruan yang ada dalam tulisan ini
tetaplah merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Abstrak
Sangat mungkin bahwa sebagian besar kejahatan lingkungan melibatkan
korporasi, dalam arti bahwa kejahatan dilakukan dalam lingkup korporasi dan
atas nama korporasi. Kontribusi ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang bagaimana tanggung jawab pidana korporasi telah
berkembang dalam beberapa yurisdiksi, dan bagaimana konsep ini telah
ditafsirkan dan diimplementasikan di Indonesia. kontribusi menjelaskan
perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi, dan mengklasifikasikan
menjadi kewajiban bagi perusahaan dan kewajiban untuk pejabat perusahaan.
Berdasarkan teori dasar tersebut, tulisan ini kritis menganalisa perumusan
pertanggungjawaban pidana korporasi dan kewajiban petugas 'dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan
lingkungan dan dalam berbagai keputusan pengadilan di Indonesia. Diamati
bahwa beberapa hukum dan putusan, gagal membuat perbedaan yang jelas
antara tanggung jawab pidana untuk korporasi dan untuk pejabat yang tinggi.
Hasil kegagalan dalam beberapa putusan terhadap sebuah perusahaan yang
dimintai tanggung jawab meskipun itu bukan terdakwa, atau direktur
kemungkinan besar akan dimasukkan ke dalam penjara meskipun ia bukan
terdakwa. Tulisan ini merekomendasikan beberapa perubahan dalam
perusahaan dan tanggung jawab pidana pejabat di Indonesia. Secara khusus,
tulisan ini mengkritisi penggunaan pertanggungjawaban pidana individu, dan
berpendapat bahwa untuk mengadakan petugas tanggung jawab pemerintah
perlu membuktikan kontribusi dari petugas dalam melakukan kejahatan.
I. Pendahuluan
undang Hukum Pidana (RKUHP) Buku Kesatu.8 Bagian ini juga akan
mendiskusikan penafsiran dan penerapan pertanggungjawaban korporasi dalam
beberapa putusan terkait pencemaran lingkungan di Indonesia. Bagian 4 secara
kritis membahas mengenai penerapan pertanggungjawaban korporasi di
Indonesia. Bagian 5 akan memaparkan beberapa catatan penutup dari tulisan
ini.
University Global Studies Law Review”, Vol. 4(3), 2005, hal. 550.
10 Ibid.
11 Ibid., hal. 550-551.
12 Ibid., hal. 551.
153 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
16 Rick Sarre, Penalising Corporate ‘Culture’: The Key to Safer Corporate Activity?, dalam:
James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.), “European Developments in Corporate Criminal Liability”,
(London: Routledge, 2011), hal. 86.
17 Feinberg menyatakan: “[c]ollective liability, as I shall use the term, is the vicarious liability of
an organized group (either a loosely organized or impermanent collection or a corporate institution) for
the actions of its constituent members …”. Lihat: Christopher Harding, “Criminal Enterprise: Individuals,
Organisations and Criminal Responsibility”, (Portland: Willan Publishing, 2007), hal. 87.
18 James Gobert, Squaring the Circle: The relationship between Individual and Organizational
Fault, dalam: James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.), “European Developments in Corporate
Criminal Liability”, (London: Routledge, 2011), hal. 141-143.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 156
19 Lihat pembahasan dan kasus-kasus yang menyertainya dalam: Dan K. Webb, Steven F. Molo
dan James F. Hurst, Understanding and Avoiding Corporate and Executive Criminal Liability, “The
Business Lawyer”, Vol. 49(2), February 1994, hal. 622-624.
20 Menurut Gobert, “[u]nder a test of vicarious liability, the link between a company’s criminal
liability and an individual’s crime is the fact that at the time of the offence the offender was engaged in
the company’s business and pursuing corporate goals.... Corporate liability results from imputing to the
company the crime of the individual.” Lihat: James Gobert (2008), Op. Cit., hal. 64.
21 Dan K. Webb, Steven F. Molo dan James F. Hurst, Op. Cit., hal. 620-621.
157 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
31 Yedidia Z. Stern, Corporate Criminal Personal Liability: Who is the Corporation?, “Journal of
36 United States v. Bank of New England, N.A., 821 F.2d 844 (1st Cir 1987), hal. 855.
Pengadilan tersebut menjelaskan pengetahuan kolektif sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memberikan penjelasan mengenai pengetahuan kolektif, sebagai berikut:
A collective knowledge instruction is entirely appropriate in the context of corporate criminal
liability...The acts of a corporation are, after all, simply the acts of all of its employees operating within
the scope of their employment. The law on corporate criminal liability reflects this.... Similarly, the
knowledge obtained by corporate employees acting within the scope of their employment is imputed to the
corporation.... Corporations compartmentalize knowledge, subdividing the elements of specific duties and
operations into smaller components. The aggregate of those components constitutes the corporation's
knowledge of a particular operation. It is irrelevant whether employees administering one component of
an operation know the specific activities of employees administering another aspect of the operation.”
Lihat: United States v. Bank of New England, N.A., hal. 856.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 164
United States v. Bank of New England, apa yang tidak diketahui oleh
individu pegawai, tetaplahlah harus diketahui oleh Bank.
Atas dasar inilah maka Gobert berpendapat bahwa teori agregasi
merupakan jembatan ke arah pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan korporasi sendiri. Hal ini dikarenakan pada satu sisi teori
agregasi masihlah didasarkan pada perbuatan pegawai, sehingga
masih terkait dengan vicarious liability. Namun pada sisi lain,
perbuatan pegawai ini tidaklah dipandang sebagai perbuatan oleh
satu individu. Artinya, teori agregasi tidaklah mensyaratkan adanya
tindak pidana yang sempurna dari satu individu. Karena itulah maka
Gobert menyatakan bahwa dalam teori agregasi sebuah korporasi
dapat tetap bertanggungjawab meskipun tidak ada satu orang
pegawai pun yang telah melakukan tindak pidana. Dalam hal ini,
maka pertanggungjawaban korporasi bukanlah merupakan turunan
dari tindak pidana seseorang, tetapi merupakan hasil dari kesalahan
korporasi itu sendiri.37
40Maurice Punch, The Organizational Component in Corporate Crime, dalam: James Gobert dan
Ana-Maria Pascal (eds.), “European Developments in Corporate Criminal Liability”, (London:
Routledge, 2011), hal. 103.
41 Cristina de Maglie, Op. Cit., hal. 560.
42 Criminal Act 2002, sebagaimana dikutip oleh Gobert, menyatakan:
(1). “If intention, knowledge or recklessness is a fault element in relation to a physical element
of an offence that may be committed by a company, that fault element must be attributed to
a body corporate that expressly, tacitly or impliedly authorized or permitted the commission
of the offence.
(2). “The means by which such an authorization or permission may be established include …
c). proving that a corporate culture existed within the body corporate that directed,
encouraged, tolerated or led to non‑compliance with the relevant provision; or
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 166
d). proving that the body corporate failed to create and maintain a corporate culture that
required compliance with the relevant provision.”
Lihat: James Gobert (2011), Op. Cit., hal. 145. Lihat pula: Rick Sarre, Op. Cit., hal. 89-90.
43 Cristina de Maglie, Op. Cit., hal. 559.
44 Perlu diperhatkan di sini bahwa oleh Sjahdeini, teori ini dianggap sebagai teori yang berdiri
sendiri dan terpisah dari teori budaya korporasi. Lihat: Sutan Remy Sjahdeini, “Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi”, cet. II (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hal. 113-117.
45 Brent Fisse dan John Braithwaite (1993), Op. Cit., hal. 48. Lihat pula: Brent Fisse dan John
Braithwaite (1988), The Allocation of Responsibility for Corporate Crime: Individualism, Collectivism
and Accountability, Sydney Law Review, Vol. 11, 1988, hal. 505-506.
46 Brent Fisse dan John Braithwaite (1993), Op. Cit., hal. 162.
167 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
Criminal Liability fromcan Economic Perspective, dalam: Dominik Brodowski, et al. (eds.), “Regulating
Corporate Criminal Liability”, (Dordrecht: Springer, 2014), hal. 48.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 168
57 Richard Card, “Criminal Law”, 21st ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), hal. 770.
58 Michael Jefferson, Loc. Cit. Dalam penjelasan Elliot dan Quinn tidak begitu terlihat adanya
perbedaan antara vicarious liability berdasarkan perluasan penafsiran (extensive construction) dengan
vicarious liability berdasarkan perumusan pasal perundang-undangan secara ekplisit, karena keduanya
sepertinya mensyaratkan adanya perumusan pasal tanpa mens rea. Perbedaannya terletak pada apakah
vicarious liability dirumuskan secara eksplisit, atau kah merupakan penafsiran yang secara implisit
tercermin di dalam rumusan pasal. Lihat: Catherine Elliott dan Frances Quinn, Criminal Law, 3rd ed.
(Essex: Pearson Education, Ltd., 2000), hal. 231.
59 The Law Commission, Criminal Law: Involuntary Manslaughter, Consultation Paper No 135,
tersedia pada: <http://www.lawcom.gov.uk/wp-content/uploads/2015/06/No.135-Criminal-Law-
Involuntary-Manslaughter-A-Consultation-Paper.pdf>, diakses pada bulan Mei 2016, hal. 92.
60 Perlu diketahui bahwa beberapa pengarang mungkin akan menggolongkan prinsip delegasi
sebagai pertanggungjawaban korporasi pada umumnya, dan bukan bagian dari vicarious liability untuk
individu (yaitu pemimpin/pengurus korporasi). Lihat misalnya: Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 97-
100.
61 Amanda Pinto dan Martin Evans, Amanda Pinto dan Martin Evans, “Corporate Criminal
Liability“, (London: Sweet and Maxwell, 2003), hal. 67.
171 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
perbuatan orang lain ialah bahwa pertanggungjawaban terdakwa dalam RCO dipicu oleh adanya
pelanggaran hukum oleh orang lain. Dalam arti ini, tanggungjawab terdakwa dalam doktrin RCO terjadi
karena terdakwa memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan mengoreksi pelanggaran hukum; dan ia
gagal melakukan tanggung jawab itu. Bagaimana pelanggaran tersebut terjadi, siapa saja yang terlibat di
dalamnya, atau apakah pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, tidaklah relevan dalam
penentuan pertanggungjawaban pemimpin/pengurus. Dengan demikian, menurut doktrin RCO ini, pada
saat terjadinya pelanggaran, pemimpin/pengurus sendiri dianggap melakukan tindak pidana berupa
kegagalan melakukan tanggung jawab pencegahan dan melakukan tindakan koreksi atas pelanggaran
hukum yang terjadi. Ketiga, tanggung jawab pemimpin/pengurus dalam doktrin RCO adalah tanggung
jawab pribadi, yang muncul bukan karena ia berpartisipasi dalam pelanggaran hukum, tetapi karena
kegagalannya mencegah terjadinya pelanggaran. Lihat: Todd S. Aagaard, A Fresh Look At The
Responsible Relation Doctrine, “Journal of Criminal Law & Criminology”, Vol. 96, 2006, hal. 1289-
1290.
Untuk komentar terhadap doktrin RCO atau Doktrin Park, lihat misalnya: Peter J. Henning, A
New Crime For Corporate Misconduct?, “Mississippi Law Journal”, Vol. 84, 2014, hal. 43-88.
71 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, “Corporate Crime”, (New York: The Free Press,
Welfare Context, “Journal of Criminal Law & Criminology”, Vol. 93, 2003, hal. 705-706.
175 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
73 Nancy Mullikin, Holding the “Responsible Corporate Officer” Responsible: Addressing the
Need for Expansion of Criminal Liability for Corporate Environmental Violators, “Golden Gate
University Environmental Law Journal”, Vol. 3, 2010, hal. 417.
74 Amanda Pinto dan Martin Evans, Op. Cit., hal. 81-82.
75 Ibid., hal. 82.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 176
Pascal (eds.), “European Developments in Corporate Criminal Liability”, (London: Routledge, 2011),
hal. 121.
77 Section 26 dari OHS Act 2000, sebagaimana dikutip oleh Foster, menyatakan:
“Offences by corporations – liability of directors and managers
(1). If a corporation contravenes, whether by act or omission, any provision of this Act or the
regulations, each director of the corporation, and each person concerned in the
management of the corporation, is taken to have contravened the same provision unless the
director or person satisfies the court that:
a). he or she was not in a position to influence the conduct of the corporation in relation to
its contravention of the provision, or
b). he or she, being in such a position, used all due diligence to prevent the contravention
by the corporation.
Lihat: Ibid., hal. 124.
78 Ibid.
177 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
a. UU Lingkungan Hidup
boleh pula hanya denda. Dari cara perumusunan ini, maka muncul
kesimpulan yang aneh: korporasi bisa dikenakan pidana penjara!
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis beranggapan bahwa
Pasal 116 dan 118 UU No. 32 Tahun 2009 beserta penjelasannya
dapat diartikan sebagai berikut: Pertama, UU No. 32 Tahun 2009
membuka kemungkinan diterapkannya corporate vicarious liability,
yaitu dalam hal tindak pidana untuk atau nama korporasi
menimbulkan pertanggungjawaban korporasi (Pasal 116 ayat (1)
huruf a). Kedua, UU membuka kemungkinan diterapkannya
individual vicarious liability, yaitu jika pasal 116 ayat (1) huruf a
diterjemahkan berdasarkan Penjelasan Pasal 118. Menurut penulis
penafsiran pertama (tentang corporate vicarious liability) dan
penafsiran kedua (tentang individual vicarious liability) tidaklah
mungkin diterapkan bersama-sama, karena kedua penafsiran yang
bertolak belakang ini terkait dengan penafsiran atas satu Pasal yang
sama, yaitu Pasal 116 ayat (1) huruf a. Ketiga, UU juga membuka
kemungkinan pertanggungjawaban pribaddi dari pelaku (yaitu
pemberi perintah dalam tindak pidana dan pemimpin tindak pidana),
seperti dinyatakan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, dan Pasal 116
ayat (2). Keempat, Pasal 116 ayat (1) huruf b tidaklah menunjukkan
bahwa UU menganut individual vicarious liability, karena “pemberi
perintah” dan “pemimpin” di sini tidak bersifat umum (dalam arti
terkait dengan struktur korporasi), melainkan bersifat khusus dalam
arti merupakan “pemberi perintah dan pemimpin dalam tindak
pidana”.
82 Lihat perumusan sanksi pidana untuk korporasi dalam: UU No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, LN Tahun 2013 No. 130, TLN No. 5432 [selanjutnya
disebut UU No. 18 Tahun 2013], Pasal 83 s.d. Pasal 103.
183 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
pidana ini dapat saja dilakukan oleh pengurus sendiri, oleh pegawai
bawahan, atau bahkan oleh korporasi itu sendiri.
Kedua, UU No. 39 Tahun 2014 membuka pula kemungkinan
dijatuhkannya sanksi denda kepada korporasi. Karena UU tidak
membatasi, maka pertanggungjawaban korporasi ini dapat
didasarkan pada teori corporate vicarious liability, teori agregasi,
teori identifikasi, atau bahkan teori budaya korporasi.
86 Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo
(2010), hal. 2.
87 Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo
94 Kritik serupa juga ditujukan oleh Greenberg dan Brotman terhadap penerapan RCO di AS.
Lihat: Joshua D. Greenberg and Ellen C. Brotman, “Strict Vicarious Criminal Liability for Corporations
and Corporate Executives: Stretching the Boundaries of Criminalization”, American Criminal Law
Review, Vol. 51, 2014, hal. 94. Menurut penulis, Greenberg dan Brotman tidak sepenuhnya tepat dalam
menyamakan anatara individual vicarious liability dengan RCO, justru karena RCO masih mensyaratkan
adanya kegagalan dalam pengawasan dan pencegahan, serta tidak melekatkan pertanggungjawaban
kepada seseorang hanya karena kedudukan dia sebagai seorang atasan. Kritik Greenberg dan Brotman,
menurut penulis, lebih tepat diarahkan kepada individual vicarious liability.
191 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016
V. Penutup
1. Simpulan
2. Saran
Daftar Pustaka
Buku/Artikel Jurnal
Putusan Pengadilan
Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim
Young Woo (2010).
Mahkamah Agung, Putusan No 1363 K/PID.SUS/2012, Republik Indonesia v.
Ibrahim Lisaholit (2012).
PN Manado, Putusan No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT.
Newmont Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005).
PN Pelalawan, Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.Plw, Republik Indonesia v.
Adei Plantation and Industr (2013).
United States v. Twentieth Century Fox Film Corp., 882 F.2d 656 (2d Cir
1989).
United States v. Bank of New England, N.A., 821 F.2d 844 (1st Cir 1987).