Kejahatan Lingkungan Oleh Korporasi Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dan Pemimpin Pengurus Korporasi Untu

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 47

Jurnal Hukum & Pembangunan 46 No.

2 (2016): 149-195
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

KEJAHATAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI:


MENCARI BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DAN
PEMIMPIN/PENGURUS KORPORASI UNTUK KEJAHATAN
LINGKUNGAN DI INDONESIA?1

Andri G. Wibisana

* Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Universitas Indonesia


Korespondensi: [email protected].
Naskah dikirim: 31 Mei 2016
Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 Juni 2016

Abstract
It is very likely that most environmental crimes involve corporation, in the
sense that the crimes were conducted within the scope of corporation and on
behalf of the corporation. This contribution attempts to answer the questions of
how corporate criminal liability has evolved in several jurisdictions, and how
this concept has been interpreted and implemented in Indonesia. The
contribution explains the development of corporate criminal liability, and
classifies it into liability for corporation and liability for corporate officers.
Based on such theoretical foundations, the contribution critically analyses the
formulation of corporate criminal liability and officers’ liability in various
legislations related to environmental protection and in various court decisions
in Indonesia. It is observed that some laws and rulings failed to make a clear
distinction between criminal liability for corporation and that for its high
ranking officers. The failure result in some rulings where a corporation being
held liable although it was not a defendant, or a director was likely to be put in
jail although he was not a defendant. The contribution recommends some
changes in corporate and officers’ criminal liability in Indonesia. In
particular, this contribution criticizies the use of individual criminal liability,
and argues that to hold an officer liable the government needs to prove the
contribution of the officer in the criminal conduct.

Keywords: corporate criminal liability, officers’ liability, environmental


crimes

1 Artikel ini merupakan perbaikan dan perluasan dari artikel dengan judul sama yang telah

disampaikan pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup 2016, Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang, 20 April 2016.
Penulis berterima kasih kepada Nathalina Naibaho dan Adhimas Putrastyo Hutomo atas
komentarnya untuk draft awal dari tulisan ini. Terima kasih pula untuk ELSAM yang telah mengizinkan
penulis berkontribusi dalam diskusi mengenai RKUHP. Tentu saja kekeliruan yang ada dalam tulisan ini
tetaplah merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol46.no2.74
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 150

Abstrak
Sangat mungkin bahwa sebagian besar kejahatan lingkungan melibatkan
korporasi, dalam arti bahwa kejahatan dilakukan dalam lingkup korporasi dan
atas nama korporasi. Kontribusi ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang bagaimana tanggung jawab pidana korporasi telah
berkembang dalam beberapa yurisdiksi, dan bagaimana konsep ini telah
ditafsirkan dan diimplementasikan di Indonesia. kontribusi menjelaskan
perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi, dan mengklasifikasikan
menjadi kewajiban bagi perusahaan dan kewajiban untuk pejabat perusahaan.
Berdasarkan teori dasar tersebut, tulisan ini kritis menganalisa perumusan
pertanggungjawaban pidana korporasi dan kewajiban petugas 'dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan
lingkungan dan dalam berbagai keputusan pengadilan di Indonesia. Diamati
bahwa beberapa hukum dan putusan, gagal membuat perbedaan yang jelas
antara tanggung jawab pidana untuk korporasi dan untuk pejabat yang tinggi.
Hasil kegagalan dalam beberapa putusan terhadap sebuah perusahaan yang
dimintai tanggung jawab meskipun itu bukan terdakwa, atau direktur
kemungkinan besar akan dimasukkan ke dalam penjara meskipun ia bukan
terdakwa. Tulisan ini merekomendasikan beberapa perubahan dalam
perusahaan dan tanggung jawab pidana pejabat di Indonesia. Secara khusus,
tulisan ini mengkritisi penggunaan pertanggungjawaban pidana individu, dan
berpendapat bahwa untuk mengadakan petugas tanggung jawab pemerintah
perlu membuktikan kontribusi dari petugas dalam melakukan kejahatan.

Kata kunci: tanggung jawab pidana korporasi, kewajiban petugas, kejahatan


lingkungan

I. Pendahuluan

Sebagian besar tindak pidana lingkungan hidup seringkali melibatkan


korporasi, dalam arti bahwa tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup
kerja korporasi dan untuk menguntungkan korporasi. Setidaknya sejak tahun
1997, melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH),2 Indonesia telah mencoba untuk merumuskan ketentuan mengenai
pertanggungjawaban korporasi. Beberapa putusan pengadilan juga
memperlihatkan bagaimana pertanggungjawaban korporasi diterapkan di
Indonesia.
Menurut Fisse dan Braithwaite, terdapat dua puluh hal penting
(desiderata) yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan penegakan
hukum yang adil dan efektif bagi tindak pidana korporasi. Tiga hal penting di
antaranya adalah:3 Pertama, alokasi tanggung jawab atas tindak pidana
2Indonesia (A), Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN
Tahun 1997 LN No. 68, TLN No. 3699.
3 Brent Fisse dan John Braithwaite, “Corporations, Crime and Accountability”, (Cambridge:

Cambridge University Press, 1993), hal. 135-136.


151 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

korporasi harus didasarkan pada pemahaman bahwa tindakan korporasi


bukanlah sekedar jumlah dari tindakan individu-individu di dalam korporasi,
tetapi juga dapat merupakan tindakan dari korporasi itu sendiri. Kedua, alokasi
tanggung jawab atas tindak pidana korporasi harus mampu mengalokasikan
tanggung jawab kepada setiap pihak yang harus bertanggung jawab, baik itu
individu, sub unit dari korporasi, korporasi, perusahaan induk, asosiasi industri,
atau mereka yang harus mengawasi korporasi seperti akuntan atau bahkan
regulator. Ketiga, alokasi tanggung jawab kepada individu harus mampu
menghindari kemungkinan dikorbankannya pihak tertentu dalam korporasi
sebagai kambing hitam.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pertanggungjawaban korporasi dan
pertanggungjawaban pribadi memegang peranan penting untuk menjamin
adanya akuntabilitas dari korporasi. Persoalannya adalah bagaimana
menjadikan sebuah korporasi dan/atau pengurus korporasi bertanggungjawab
atas tindak pidana korporasi. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan
memperlihatkan bagaimana pertanggungjawaban korporasi berkembang di
beberapa negara, dan bagaimana penafsiran tersebut dibandingkan dengan
penafsiran dan praktek di Indonesia.
Tulisan ini akan menjelaskan klasifikasi dan sejarah perkembangan
pertanggungjawaban korporasi, bagaimana tindak pidana dan
pertanggungjawaban korporasi dijelaskan oleh berbagai teori, dan bagaimana
pertanggungjawaban korporasi dibedakan dari pertanggungjawaban pribadi
pengurus korporasi. Adapun struktur dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
Pada Bagian 1 akan dipaparkan mengenai pendahuluan. Setelah itu, Bagian 2
akan membahas mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban korporasi
dalam hukum lingkungan di Indonesia. Bagian ini tidak hanya menjelaskan
mengenai klasifikasi dan sejarah perkembangan pertanggungjawaban
korporasi, tetapi juga menjelaskan bagaimana tindak pidana dan
pertanggungjawaban korporasi dijelaskan oleh berbagai teori, dan bagaimana
pertanggungjawaban korporasi dibedakan dari pertanggungjawaban pribadi
pengurus korporasi. Selanjutnya, Bagian 3 akan membahas mengenai tindak
pidana korporasi, serta pertanggungjawaban korporasi dan pemimpin/pengurus
korporasi menurut UU lingkungan hidup (UU No. 32 Tahun 2009),4 serta
membandingkannya dengan perumusan pertanggungjawaban dan tindak pidana
korporasi menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,5 UU No. 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,6 UU
No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,7 dan Rancangan Kitab Undang-
4 Indonesia (B), Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.


5 Indonesia (C), Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, LN Tahun 1999 No.
167, TLN No. 3888, sebagaimana telah diubah oleh PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, LN Tahun 2004 No. 29, TLN No. 4374 .
6 Indonesia (D), Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, LN Tahun 2013 No. 130, TLN No. .


7 Indonesia (E), Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, LN Tahun 2014 No.
308, TLN No. 5613 .
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 152

undang Hukum Pidana (RKUHP) Buku Kesatu.8 Bagian ini juga akan
mendiskusikan penafsiran dan penerapan pertanggungjawaban korporasi dalam
beberapa putusan terkait pencemaran lingkungan di Indonesia. Bagian 4 secara
kritis membahas mengenai penerapan pertanggungjawaban korporasi di
Indonesia. Bagian 5 akan memaparkan beberapa catatan penutup dari tulisan
ini.

II. Tindak Pidana Korporas serta Pertanggungjawaban Korporasi dan


Pemimpin/Pengurus Korporasi

Menurut de Maglie, secara garis besar pembahasan terkait


pertanggungjawaban korporasi dapat dibagi ke dalam tiga persoalan, yaitu: a.
pembahasan tentang penentuan organisasi seperti apa yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban; b. jenis tindak pidana apa yang dianggap dapat dilakukan
oleh korporasi; dan c. kriteria apa yang diperlukan untuk mengatribusikan
(melekatkan) pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.9
Terkait pertanyaan organisasi seperti apa yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban, de Maglie mengemukakan tiga pendekatan untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Pada pendekatan pertama, semua organisasi
dapat bertanggungjawab secara pidana. Tidak ada pembatasan mengenai
organisasi seperti apa yang bisa bertanggungjawab. Australia dan Belanda
menganut pendekatan yang pertama ini.10 Pada pendekatan kedua, hanya
organisasi yang secara spesifik ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan lah yang dapat memikul pertanggungjawaban pidana. Amerika
Serikat dan Kanada menganut pendekatan yang kedua ini, di mana di dalam
peraturan perundang-undangan mereka biasanya ditentukan bahwa yang
termasuk ke dalam organisasi yang bertanggungjawab, antara lain, adalah:

Corporations, partnerships, associations, joint stock companies,


unions, trusts, pension funds, unincorporated organizations,
governments and political subdivisions thereof, and nonprofit
organizations.11

Pada pendekatan ketiga, hanya organisasi yang berbentuk badan hukum


lah yang akan dapat dimintai pertanggungjawaban. Perancis dan Denmark
adalah conoth dari negara yang menganut pendekatan ini.12

8 Rancangan KUHP Final, Versi 5 Juni 2015, tersedia pada: <http://reformasikuhp.org/r-kuhp/>,


diakses pada bulan Mei 2016.
9 Cristina de Maglie, Models of Corporate Criminal Liability in Comparative Law, “Washington

University Global Studies Law Review”, Vol. 4(3), 2005, hal. 550.
10 Ibid.
11 Ibid., hal. 550-551.
12 Ibid., hal. 551.
153 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Terkait pertanyaan jenis tindak pidana apa yang dianggap dapat


dilakukan oleh korporasi, de Maglie menjelaskan bahwa beberapa negara tidak
membedakan jenis tindak pidana ini, dalam arti bahwa setiap tindak pidana
yang dilakukan oleh orang dianggap dapat pula dilakukan oleh korporasi.
Pendekatan ini dianut oleh, antara lain, Australia, Kanada, Belanda. Namun
demikian, ada pula negara, misalnya Perancis, yang menyatakan bahwa
korporasi hanya bertanggungjawab apabila disebutkan secara tegas di dalam
peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar pemidanaan. Di sisi lain,
ada pula negara seperti AS yang membuat sebuah daftar (di dalam the U.S.
Sentencing Guidelines) yang berisi tentang tindak pidana apa saja yang dapat
dimintakan pertanggungjawabannya kepada korporasi.13
Sedangkan terkait pertanyaan kriteria apakah untuk menentukan
pertanggungajwaban korporasi, de Maglie membagi pula kriteria tersebut ke
dalam tiga pendekatan besar. Pada pendekatan pertama, korporasi
bertanggungjawab atas actus reus dan mens rea dari mereka yang bekerja
untuk dan atas nama (on behalf of) korporasi. Negara yang menganut
pendekatan ini antara lain adalah AS, Belanda, dan Australia. ada pendekatan
kedua, korporasi hanya bertanggungjawab apabila yang melakukan tindak
pidana adalah pemimpin korporasi. Negara yang menganut pendekatan ini
adalah, misalnya, Perancis. Pada pendekatan ketiga, korporasi dianggap
bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri, misalnya karena adanya
kegagalan untuk melakukan pengawasan atau karena adanya budaya di dalam
korporasi yang memungkinkan terjadinya tindak pidana.14
Terkait kriteria untuk menentukan pertanggungajwaban korporasi, Pieth
dan Ivory membagi pula kriteria tersebut ke dalam tiga kelompok yang sama
dengan pembagian yang dilakukan oleh de Maglie. Menurut Pieth dan Ivory,
pertanggungjawaban korporasi terbentuk dengan tiga kriteria. Pada kriteria
pertama, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh
pekerjanya. Dalam hal ini bisa muncul dua kemungkinan. Pertama, korporasi
bertanggungjawab secara strict vicarious liability, yaitu tanpa mempedulikan
apakah korporasi sudah mencegah atau mengambil langkah untuk merespon
tindak pidana tersebut atau tidak. Kedua, korporasi bertanggunggjawab secara
qualified vicarious liability, yaitu hanya jika korporasi gagal untuk mengambil
langkah yang layak guna mencegah tindak pidana. Pada kriteria kedua,
korporasi hanya bertanggungjawab atas perbuatan pemimpin korporasi. Untuk
kriteria pertama dan kedua, korporasi bertanggungjawab atas perbuatan
seseorang, sehingga pertanggungjawaban ini merupakan pertanggungjawaban
turunan (derivative) dari pertanggungjawaban pribadi. Ketiga, korporasi
bertanggungjawab dengan cara melihat tindakan kolektif dari orang-orang yang
berada di dalamnya baik melalui agregasi, atau melalui organisasi di dalam
korporasi yang mendorong terjadinya tindak pidana. Pada kriteria ketiga ini,
korporasi bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri atau tindak pidana yang

13 Ibid., hal. 551-552.


14 Ibid., hal. 553-560.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 154

dilakukannya sendiri (corporate’s fault atau culpability). 15 Menurut krieteria


ketiga ini, pertanggungjawaban korporasi muncul karena perbuatan korporasi
itu sendiri, sehingga pertanggungjawaban korporasi dapat saja muncul tanpa
perlu mengaitkannya dengan tindakan dan pertanggungjawaban pidana dari
orang-orang di dalam korporasi.
Menurut penulis, selain dari persoalan di atas, satu hal lain yang juga
sangat erat kaitannya dengan tindak pidana dan pertanggungjawaban korporasi
adalah kriteria apa yang diperlukan untuk meminta pertanggungjawaban dari

15 Menurut mereka, pertanggungjawaban korporasi muncul dengan jalan:


– “by imputing the corporation with offenses by any corporate agent oremployee – no matter
what steps others in the corporation had taken to prevent and respond to the misconduct (strict vicarious
liability), or if others had not done enough to prevent the wrongdoing (qualified vicarious liability)
– “by identifying the corporation with its executive bodies and managers and holding it liable for
their acts, omissions, and states of mind (identification); and
– “by treating the collective as capable of offending in its own right, either through the
aggregated thoughts and deeds of its senior stakeholders (aggregation) or though inadequate
organizational systems and cultures (corporate culture, corporate (dis)organization)”.
Lihat: Mark Pieth and Radha Ivory, Emergence and Convergence: Corporate Criminal Liability
Principles in Overview, dalam: Mark Pieth dan Radha Ivory (eds.), “Corporate Criminal Liability:
Emergence, Convergence, and Risk”, (Dordrecht: Springer, 2011), hal. 21-22.
Pembagian yang sedikit berbeda diperlihatkan oleh Gobert, yang tidak membedakan apakah
tindak pidana dilakukan oleh seseorang dengan jabatan tinggi di dalam korporasi atau tidak. Menurutnya,
kriteria untuk menentukan pertanggungajwaban korporasi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1. “When it orders, aids, abets, counsels, or in any other way facilitates a criminal offence by a
person for whom the organization bears responsibility (e.g., one of its directors, officers,
employees or agents)
2. “When it fails to prevent a crime by a person for whom the organization bears responsibility;
in circumstances where:
a. it had a duty to its employees, consumers or users of its product, or members of the public
to prevent harm, and;
b. when it was – or with the exercise of due diligence – should have been, aware of the risks
that were presented by a policy or course of action or inaction;
c. when it had the capacity to prevent the violation; and
d. when it was not unreasonable for it do so.
3. “Permits a corporate culture that tolerates, encourages, or fails to discourage crimes; or fails
to establish a corporate culture that demands compliance with the law.”
Pada kriteria pertama, korporasi bertanggungjawab jika memerintahkan, membantu, mendorong,
memberikan nasehat, atau memfasilitasi tindak pidana oleh orang yang bekerja untuknya. Pada kriteria
kedua, korporasi juga bertanggungjawab atas tindak pidana seseorang yang bekerja untuknya, jika: a).
korporasi memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya bahaya/tindak pidana; b). korporasi menyadari
atau dianggap harus menyadari adanya resiko bahaya/tindak pidana yang akan muncul dari kebijakannya
atau dari diambilnya atau tidak diambilnya tindakan oleh korporasi; c). korporasi memiliki kapasitas
untuk mencegah terjadinya pelanggaran; dan d). tindakan pencegahan oleh korporasi merupakan tindakan
yang layak diharapkan darinya. Pada kriteria ketiga, korporasi bertanggungjawab jika terdapat budaya di
dalam korporasi yang memberikan toleransi atau mendorong terjadinya tindak pindana, atau jika
korporasi gagal untuk membentuk budaya korporasi yang mendorong penaatan terhadap hukum. Lihat:
James Gobert (2008), The Evolving Legal Test of Corporate Criminal Liability, dalam: John Minkes dan
Leonard Minkes (eds.), “Corporate and White-collar Crime”, (London: Sage Publications Ltd., 2008),
hal. 79.
155 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

pemimpin/pengurus korporasi. Menurut penulis, kriteria ini perlu dibahas


karena secara teoritis apabila sebuah korporasi bertanggungjawab atas sebuah
tindak pidana, belum tentu secara otomatis pengurus korporasi juga menjadi
ikut bertanggungjawab. Secara jelas, hal ini dapat dilihat dari pernyataan Sarre
bahwa “[i]mposing criminal liability on corporations for regulatory breaches
by its senior officers is one thing; imposing personal criminal liability on
senior officers simply because their company has committed an offence is quite
another”.16 Dari kutipan ini terlihat bahwa membuat korporasi
bertanggungjawab atas perbuatan seseorang tidaklah sama dengan membuat
seseorang bertanggungjawab atas perbuatan korporasi.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas kriteria untuk menentukan
pertanggungjawaban korporasi di dalam Bagian 2.1. Selain itu, penulis akan
membahas persoalan pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi
sebagai bagian tersendiri yang terpisah dari pertanggungjawaban korporasi
pada Bagian 2.2.

1. Teori Pertanggungjawaban Korporasi

a. Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability/


Respondeat Superior)

Pertanggungjawaban pengganti (disebut dengan vicarious


liability atau respondeat superior) merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban korporasi yang paling banyak diterapkan di
berbagai negara. Dalam pertanggungjawaban ini, korporasi
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh seorang
pekerjanya, tanpa melihat status atau kedudukan orang tersebut di
dalam korporasi. Dalam hal ini, Feinberg sebagaimana dikutip oleh
Harding, menyatakan bahwa vicarious liability adalah
pertanggungjawaban kolektif, di mana organisasi bertanggungjawab
atas perbuatan dari anggotanya.17 Perlu dicatat bahwa
pertanggungjawaban pengganti ini dapat dikenakan baik kepada
korporasi (corporate vicarious liability), maupun kepada pemimpin/
pengurus korporasi (individual vicarious liability).18 Dalam
pembahasan pada bagian ini, yang dimaksud dengan
pertanggungjawaban pengganti adalah dalam arti corporate vicarious

16 Rick Sarre, Penalising Corporate ‘Culture’: The Key to Safer Corporate Activity?, dalam:

James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.), “European Developments in Corporate Criminal Liability”,
(London: Routledge, 2011), hal. 86.
17 Feinberg menyatakan: “[c]ollective liability, as I shall use the term, is the vicarious liability of

an organized group (either a loosely organized or impermanent collection or a corporate institution) for
the actions of its constituent members …”. Lihat: Christopher Harding, “Criminal Enterprise: Individuals,
Organisations and Criminal Responsibility”, (Portland: Willan Publishing, 2007), hal. 87.
18 James Gobert, Squaring the Circle: The relationship between Individual and Organizational

Fault, dalam: James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.), “European Developments in Corporate
Criminal Liability”, (London: Routledge, 2011), hal. 141-143.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 156

liability; sedangkan individual vicarious liability akan dibahas pada


Bagian 2.2.
Salah satu negara yang mempraktekkan pertanggungjawaban
pengganti ini adalah AS. Berdasarkan penelusuran Webb, dkk.
terhadap beberapa putusan di AS, korporasi dapat bertanggungjawab
atas tindak pidana yang dilakukan oleh: a). orang yang secara
langsung terkait dengan korporasi, seperti direktur, pengurus,
maupun pegawai; b). anak perusahaan (subsidiaries); dan c).
kontraktor dari korporasi (independent contractor).19
Adapun syarat yang digunakan oleh pengadilan AS dalam
menentukan pertanggungjawaban pengganti adalah bahwa tindak
pidana dilakukan oleh pelaku di dalam ruang lingkup
kewenangannya (scope of authority/employment) dan bahwa tindak
pidana tersebut dilakukan untuk menguntungkan korporasi (for the
benefit of the corporation). Terkait hal ini, Gobert menyatakan
bahwa kriteria yang penting untuk dibuktikan di dalam vicarious
liability adalah bahwa pada saat melakukan tindak pidananya, pelaku
sedang mengerjakan urusan korporasi dan bahwa tindak pidana itu
dilakukan untuk mewujudkan kepentingan korporasi.20 Dengan
demikian, pertanggungjawaban korporasi muncul dari dilekatkannya
pertanggungjawaban untuk perbuatan seseorang kepada korporasi.
Lebih jauh lagi Webb, dkk. menyimpulkan bahwa di dalam
beberapa kasus, lingkup kewenangan (scope of authority) tidaklah
selalu mensyaratkan bahwa korporasi benar-benar mengizinkan
pegawainya untuk melakukan tindak pidana. Sebaliknya, cukup
dibuktikan saja bahwa ketika pegawai melakukan tindak pidananya,
ia sedang menjalankan tugas dan wewenangnya yang biasa
dikerjakannya. Sepanjang perbuatan pelaku dianggap termasuk ke
dalam lingkup fungsi pekerjaannya, maka “scope of authority”
dianggap terbukti dan korporasi bertanggungjawab, meskipun
perbuatan pelaku tersebut misalnya bertentangan dengan kebijakan
tertulis dari korporasi.21
Terkait unsur menguntungkan korporasi, Webb, dkk.
menyatakan bahwa persyaratan ini dipenuhi apabila setidaknya
sebagian tujuan dari pelaku adalah untuk menguntungkan korporasi.
Apabila perbuatan pelaku sepenuhnya bertujuan untuk
menguntungkan dirinya sendiri, atau apabila korporasi adalah korban
dari perbuatan pelaku (misalnya terjadi penggelapan uang korporasi),

19 Lihat pembahasan dan kasus-kasus yang menyertainya dalam: Dan K. Webb, Steven F. Molo

dan James F. Hurst, Understanding and Avoiding Corporate and Executive Criminal Liability, “The
Business Lawyer”, Vol. 49(2), February 1994, hal. 622-624.
20 Menurut Gobert, “[u]nder a test of vicarious liability, the link between a company’s criminal

liability and an individual’s crime is the fact that at the time of the offence the offender was engaged in
the company’s business and pursuing corporate goals.... Corporate liability results from imputing to the
company the crime of the individual.” Lihat: James Gobert (2008), Op. Cit., hal. 64.
21 Dan K. Webb, Steven F. Molo dan James F. Hurst, Op. Cit., hal. 620-621.
157 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

maka pelaku bertanggungjawab secara pribadi. Salah satu contoh


yang dikemukakan oleh Webb, dkk. untuk menjelaskan unsur
menguntungkan korporasi adalah putusan Pengadilan Banding 4th
Circuit dalam kasus United States v. Automated Medical
Laboratories. Dalam kasus ini, seorang kepala bagian
memerintahkan bawahannya memalsukan laporan perusahaan terkait
ketaatan perusahaan terhadap regulasi FDA (Food and Drug
Administration). Pemalsuan tersebut dimaksudkan untuk menutupi
adanya ketidaktaatan dari perusahaan tersebut. Atas tindakan
pemalsuan tersebut, perusahaan didakwa melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan. Dalam kasus ini, perusahaan
berdalih bahwa perbuatan kepala bagian tersebut dilakukan untuk
kepentingannya sendiri, yaitu agar ia memperoleh promosi karier di
dalam perusahaan. Pengadilan menolak dalih ini dengan alasan
bahwa kepentingan pribadi pelaku tersebut tergantung dari
keuntungan yang diperoleh perusahaan, dalam hal ini tergantung
pada penaatan perusahaan terhadap regulasi FDA.22
Lebih jauh lagi, perlu pula diutarakan di sini bahwa tindak
pidana yang bertentangan dengan program/kebijakan perusahaan
tidak selalu berarti bahwa perbuatan tersebut berada di luar lingkup
kerja, sehingga dapat membebaskan perusahaan dari
pertanggungjawaban. Dalam hal ini, Pengadilan Banding 2nd Circuit
dalam United States v. Twentieth Century Fox Film Corp. menolak
dalih perusahaan yang menyatakan bahwa perbuatan pelaku
(pegawainya) merupakan hal yang secara tegas dilarang oleh
perusahaan melalui program penaatan mereka. Pandangan
Pengadilan tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:23
Fox argues, however, that even if its branch manager
willfully violated the decree, any violation by the
corporation was not willful in view of the extensive
program Fox adopted to encourage its employees to
comply with the decree. At trial, Fox sought to introduce
evidence regarding its compliance program, but Judge
Palmieri refused to admit it.
We agree with the District Court that Fox's compliance
program, however extensive, does not immunize the
corporation from liability when its employees, acting
within the scope of their authority, fail to comply with the
law and the consent decree. It is settled law that a
corporation may be held criminally responsible for
antitrust violations committed by its employees or agents
acting within the scope of their authority....We see no

22 Ibid., hal. 621.


23 United States v. Twentieth Century Fox Film Corp., 882 F.2d 656 (2d Cir 1989), hal. 22.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 158

reason to establish higher standards of proof for


corporate violations of antitrust consent decrees than for
violations of the antitrust laws themselves.
Persyaratan yang hampir sama dengan yang kriteria
pertanggungjawaban pengganti di AS juga dianut oleh Australian
Criminal Code. Sebagaimana dipaparkan oleh de Maglie, syarat yang
dianut oleh undang-undang ini adalah adanya lingkup kerja (scope of
employment) dan maksud untuk menguntungkan korporasi (intent to
benefit the corporation). Mengenai lingkup kerja, de Maglie
menyatkan bahwa pengadilan di Australia memperluas makna
lingkup kerja sehingga tidak hanya meliputi perbuatan yang secara
terbuka, diam-diam, atau tersirat disetujui oleh dewan direksi dari
perusahaan, tetapi juga semua perbuatan yang terkait dengan pola
perbuatan seseorang sebagai pegawai perusahaan tersebut.
Sedangkan dalam hal unsur dengan maksud menguntungkan
perusahaan, pengadilan Australia tidaklah mensyaratkan bahwa
keseluruhan tujuan perbuatan pelaku adalah untuk keuntungan
perusahaan. Meskipun pelaku memiliki maksud untuk
menguntungkan diri sendiri, apabila di dalam perbuatannya juga
termuat maksud untuk menguntungkan korporasi, maka unsur
dengan menguntungkan perusahaan telah dianggap terpenuhi.24
Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil perbandingan, Stessens
mengutarakan bahwa selain AS dan Australia, kriteria
menguntungkan korporasi juga menjadi syarat pertanggungjawaban
korporasi di Perancis, Jerman, Belanda, dan Kanada. Sedangkan di
Inggris, syarat menguntungkan korporasi ini tidak selalu diperlukan.
Dalam hal ini, Stessens merujuk pada kasus DPP v. Kent and Sussex
Contractors Ltd., di mana korporasi bertanggungjawab atas
perbuatan pegawai, meskipun korporasi tersebut merupakan korban
dari perbuatan tersebut. Tentu saja hal ini sedikit mengherankan,
sehingga bahkan di Inggris sendiri pun putusan di atas memperoleh
kritik yang tajam.25
Sementara itu, Keulen dan Gritter mengungkapkan bahwa
pengadilan di Belanda menggunakan kriteria yang berbeda-beda
terkait pertanggungjawaban pengganti. Berdasarkan rangkuman
kriteria yang dibuat oleh kedua pengarang ini, korporasi
bertanggungjawab apabila: a). tindak pidana diduga dilakukan oleh
seseorang yang bekerja untuk korporasi, baik atas dasar hubungan
kerja yang formal maupun tidak; b). tindak pidana yang dilakukan
merupakan bagian dari kegiatan normal korporasi sehari-hari; c).
korporasi memperoleh keuntungan dari tindak pidana yang

24 Cristina de Maglie, Op. Cit., hal. 554.


Guy Stessens, Corporate Criminal Liability: A Comparative Perspective, “The International
25

and Comparative Law Quarterly”, Vol. 43(3), 1994, hal. 514-515.


159 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

dilakukan; d). korporasi memiliki kekuasaan terhadap tindak pidana,


dan sekaligus menerima tindak pidana tersebut.26
Khusus mengenai kriteria terakhir, Stessens menyatakan bahwa
kekuasaan dan penerimaan korporasi berasal dari kriteria yang
dipakai di dalam kasus kawat besi (IJzerdraad) tahun 1954. Dalam
kasus ini, Hoge Raad menyatakan bahwa korporasi
bertanggungjawab atas perbuatan pegawainya apabila: a). korporasi
memiliki kekuasaan untuk menentukan perbuatan pegawainya, dan
b). perbuatan pegawai ini termasuk ke dalam perbuatan yang
biasanya diterima oleh korporasi, sehingga dianggap sebagai bagian
dari pelaksanaan urusan korporasi yang biasa dilakukan. 27 Dengan
demikian, putusan IJzerdraad menghasilkan dua kriteria bagi
penentuan pertanggungjawaban korporasi, yaitu adanya kekuasaan
(power) dan penerimaan (acceptance). Kedua kriteria inilah yang
kemudian masuk ke dalam peraturan perundang-undangan dalam
Penjelasan Pasal 118 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b. Teori Identifikasi (Theory of Identification)

Teori identifikasi adalah teori pertanggungjawaban korporasi


yang dianut di Inggris. Berdasarkan teori ini, korporasi
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus/
pemimpin korporasi. Menurut Gobert, teori identifikasi adalah salah
satu varian dari pertanggungjawaban pengganti.28 Dengan demikian,
syarat dari pertanggungjawaban pengganti, yaitu bahwa tindak
pidana termasuk ke dalam lingkup kerja dan menguntungkan
korporasi, haruslah terpenuhi. Namun demikian, dari tiga kasus awal
yang menerapkan teori identifikasi yang dikemukakan oleh Gobert
sendiri terlihat bahwa pelaku justru bertindak merugikan korporasi.
Dalam kasus DPP v Kent and Sussex Contractors Ltd., dinyatakan
bahwa pikiran dari korporasi dapat ditemukan dalam pikiran pegawai

26 Keulen dan Gritter, menyatakan bahwa kriteria tersebut adalah:


• “The act or an omission was allegedly committed by someone who works for the corporation,
whether under a formal contract of employment or not.
• “The impugned act or omission was part of the everyday “normal business” of the corporation.
• “The corporation profited from the relevant conduct.
• “The allegedly criminal course of conduct was at the “disposal” of the corporation and the
corporation “accepted” the conduct, that acceptance including the failure to take reasonable
care to prevent the act or omission from being carried out.”
Lihat: Berend F. Keulen and Erik Gritter, Corporate Criminal Liability in the Netherlands, dalam
Mark Pieth dan Radha Ivory (eds.), “Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence, And Risk”,
(Dordrecht: Springer, 2011), hal. 183.
27 Guy Stessens, Op. Cit., hal. 511.
28 James Gobert (2008), Op. Cit., hal. 67.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 160

yang diberikan wewenang untuk berbicara dan bertindak atas nama


korporasi. Jika pegawai tersebut memiliki niat untuk melakukan
penipuan, maka korporasi pun dianggap memiliki niat untuk menipu.
Dalam kasus R v ICR Haulage Ltd. seorang direktur dari perusahaan
dan perusahaan itu sendiri, bersama-sama dengan sembilan orang
pegawai lainnya, didakwa melalukan konspirasi tindak pidana
penipuan. Dalam kasus ini pun pengadilan menegaskan kembali
bahwa apa yang menjadi niat, pengetahuan, dan kepercayaan dari
pemimpin korporasi dapat dianggap sebagai niat, pengetahuan, dan
kepercayaan dari korporasi itu sendiri. Sementara itu, dalam kasus
Moore v Bresler Ltd., seorang sekretaris dan korporasi didakwa atas
pemalsuan dokumen. Dalam kasus ini, sekretaris sebenarnya
melalukan penjualan produk perusahaan dengan tujuan untuk
memperkaya diri sendiri. Untuk menutupi perbuatannya, sekretaris
tersebut membuat laporan pajak palsu kepada pemerintah, di mana
penjualan yang dilakukannya tidaklah termasuk ke dalam laporan
tersebut. Meskipun dalam kasus ini korporasi adalah korban, namun
dalam kasus ini pun korporasi bertanggungjawab atas perbuatan
pelaku.29
Ketiga kasus di atas menunjukkan bahwa apabila digunakan
vicarious liability, maka korporasi akan bebas dari
pertanggungjawaban. Namun karena dalam kasus ini pelaku adalah
pengurus/pemimpin korporasi, maka perbuatan mereka dianggap
masih berada di dalam lingkup kerja/kewenangannya, sehingga
korporasi tetaplah bertanggungjawab.
Selanjutnya, putusan pengadilan Inggris yang dianggap paling
mewakili teori identifikasi adalah putusan Tesco Supermarkets Ltd. v
Nattrass. Dalam putusan ini, untuk menjelaskan pertanggungjawaban
korporasi, Lord Reid merujuk pada pandangan Lord Denning yang
menganalogikan perbedaan antara pegawai biasa dengan
pengurus/pemimpin korporasi seperti perbedaan antara tangan dan
pikiran/otak manusia. Menurut analogi ini, sama seperti perbuatan
manusia dikendalikan oleh kehendak pikiran/otak, maka perbuatan
korporasi dikendalikan oleh kehendak dari pemimpin/pengurusnya.
Dalam hal ini, Lord Denning, sebagaimana dikutip oleh Gobert,
menyatakan:30
A company may in many ways be likened to the human
body. It has a brain and nerve centre which controls what
it does. It also has hands which hold the tools and act in
accordance with directions from the centre. Some of the
people in the company are mere servants and agents who
are nothing more than hands to do the work … Others are
29 Ibid., hal. 64-65. Lihat pula pembahasan ketiga kasus tersebut dalam: Harvey Yarosky, The
Criminal Liability of Corporations, “McGill Law Journal”, Vol. 10(2), 1964, hal. 144-147.
30 James Gobert (2008), Op. Cit., hal. 66.
161 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

directors and managers who represent the directing mind


and will of the company and control what it does. The
state of mind of those managers is the state of mind of the
company.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa untuk menentukan apakah
perbuatan seseorang dapat diidentifikasi sebagai perbuatan korporasi,
teori identifikasi menggunakan gambaran keterkaitan antara alam
pikiran dengan gerak tubuh manusia. Dalam hal ini, alam pikiran ini
seringkali digambarkan melalui istilah “directing mind” (pikiran
yang mengarahkan perbuatan), “directing will” (kehendak yang
mengarahkan perbuatan), “ego centre” (pusat ego), atau “control
centre” (pusat pengaturan). Alam pikiran ini yang dianggap akan
menggerakan tubuh manusia. Dalam hal ini, “a corporate ‘body’
shall not be punished for a serious offence when its corporate
‘hands’ act without direction from its ‘mind’”, korporasi secara
keseluruhan tidaklah bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh ‘tangan’ korporasi apabila perbuatan ‘tangan’ ini
dilakukan tanpa adanya arahan dari ‘pikiran’ korporasi.31 Seseorang
akan dianggap sebagai “directing mind/will”, kehendak atau pikiran
yang menentukan dalam korporasi, apabila orang tersebut adalah
“superior agent” (pegawai tinggi), “responsible agent” (pegawai
yang bertanggungjawab), “important official” (pegawai yang
penting), “primary agent” (pegawai utama), atau “top
management”.32
Untuk menentukan siapa yang dianggap sebagai pikiran/organ
korporasi atau pegawai penting/pimpinan dari korporasi, dan siapa
yang hanya hanya merupakan tubuh atau agent (pegawai pelaksana)
dari korporasi, maka pengujian biasanya dilakukan dengan
menentukan apakah pelaku kegiatan termasuk ke dalam organ primer
korporasi atau bukan. Adapun organ primer korporasi sering kali
dijelaskan dengan merujuk pada dokumen resmi korporasi yang
menentukan hierarki korporasi dan organ utama mana yang dianggap
sebagai wakil dari korporasi.33
Stern mengkritik pengujian berdasarkan dokumen tersebut.
Menurutnya, dalam korporasi modern, yang disebut pimpinan atau
organ utama atau badan yang mewakili ini sering kali berfungsi
hanya untuk memberikan persetujuan atas sebuah perbuatan yang
dilakukan oleh agent atau badan lain yang sering kali bertindak
otonom.34 Artinya, jika perbuatan pemimpin tidak lebih dari sekedar

31 Yedidia Z. Stern, Corporate Criminal Personal Liability: Who is the Corporation?, “Journal of

Corporation Law”, Vol. 13(1), 1987, hal. 132.


32 Ibid., hal. 134.
33 Ibid., hal. 132-133.
34 Ibid., hal. 132.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 162

memberikan persetujuan, maka perbuatan yang dilakukan oleh


pelaku akan gagal untuk dianggap sebagai perbuatan dari korporasi.
Untuk mengatasi hal ini, Stern mengusulkan adanya pengujian
melalui dua tahapan. Pada tahap pertama dilakukan pengujian atas
dasar fungsi. Dalam hal ini akan dilihat apakah perbuatan yang
dilakukan menunjukkan fungsi “sebagai” korporasi (dan bukannya
fungsi “untuk” korporasi) dan apakah perbuatan tersebut sesuai
dengan lingkup kerja pelaku. Melalui pengujian ini, perbuatan dari
seorang pemimpin korporasi tetap tidak bisa dianggap sebagai
perbuatan korporasi jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan
ultra vires (melampaui wewenang), atau merupakan perbautan yang
intra vires (tidak melampaui wewenang) tetapi dianggap tidak dapat
diatribusikan kepada korporasi sehingga tidak berfungsi sebagai
perbuatan sebagai korporasi. Jika jawaban atas pengujian di atas
adalah positif, maka dilanjukan dengan pengujian tahap kedua, yaitu
pengujian atas dasar hierarki: apakah pelaku memiliki tempat yang
tinggi di dalam hierarki korporasi. Perbuatan pelaku akan dianggap
identik dengan perbuatan korporasi hanya jika pelaku memiliki
jabatan yang tinggi di dalam korporasi.35

c. Teori Agregasi (Aggregaton Theory)

Berdasarkan teori ini, pertanggungjawaban korporasi didasarkan


pada penjumlahan (aggregation) dari pikiran (state of mind) atau
kesalahan (culpability) dari tiap individu yang mewakili korporasi.
Agregasi di sini tidak berarti benar-benar menjumlahkan semua
pikiran, tetapi lebih pada membandingkan pikiran satu orang dengan
orang lainnya. Teori ini dianut di AS, dalam putusan Pengadilan
Banding 1st Circuit dalam United States v. Bank of New England
(1987). Sebagai tindak lanjut dari Currency Transaction Reporting
Act [31 U.S.C. §§ 5311-22 (1982)], Departeman Keuangan
(Department of Treasury) AS mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan bank untuk melakukan laporan (Currency Transaction
Reports, CTRs) dalam waktu 15 hari atas transaksi di atas US$
10.000. Aturan tersebut menyatakan: “[e]ach financial institution,
other than a casino shall file a report of each deposit, withdrawal,
exchange of currency or other payment or transfer, by, through, or to
such financial institution, which involves a transaction in currency of
more than $ 10,000.” [31 C.F.R. § 103.22 (a)(1)(1986)]. Kegagalan
melaporkan transaksi tersebut merupakan tindak pidana berdasarkan
Currency Transaction Reporting Act yang menyatakan: “[a] person
willfully violating this subchapter or a regulation prescribed under
this subchapter ..., while violating another law of the United States
or as part of a pattern of illegal activity involving transactions of

35 Ibid., hal. 140, dan 142-143.


163 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

more than $ 100,000 in a 12-month period, shall be fined no more


than $ 500,000, imprisoned for not more than 5 years, or both.”[31
U.S.C. § 5322(b)]. Dalam kasus tersebut, terdapat pegawai Bank
yang mengetahui adanya kewajiban memberikan laporan tersebut.
Namun pegawai tersebut tidak mengetahui adanya transaksi di atas
US$ 10.000. Sementara itu, terdapat pegawai Bank yang mengetahui
adanya transaksi di atas US$ 10.000, tetapi ia tidak mengetahui
adanya kewajiban memberkan laporan atas transaksi tersebut.
Akibatnya, tidak ada pegawai Bank yang memberikan laporan
transaksi tersebut.
Pengadilan tingkat pertama dalam kasus tersebut
memerintahkan kepada juri agar pengetahuan dan tindakan individu
pegawai Bank dapat dilekatkan pada pengetahuan dan tindakan
Bank. Lebih dari itu, pengadilan membuka kemungkinan
diterapkannya pengetahuan kolektif pegawai untuk menentukan
pengetahuan dari Bank. Menurut pengadilan:
If Employee A knows one facet of the currency reporting
requirement, B knows another facet of it, and C a third
facet of it, the bank knows them all. So if you find that an
employee within the scope of his employment knew that
CTRs had to be filed, even if multiple checks are used, the
bank is deemed to know it. The bank is also deemed to
know it if each of several employees knew a part of that
requirement and the sum of what the separate employees
knew amounted to knowledge that such a requirement
existed.36
Dari kutipan di atas terlihat bahwa berdasarkan teori agregasi,
maka meskipun perbuatan satu-dua individu tidaklah memenuhi
tindak pidana, tetapi korporasi dapat tetap bertanggungjawab apabila
tindakan dari individu-individu secara kolektif tetap memenuhi
tindak pidana. Tentu saja sepanjang individu-individu tersebut
bekerja di dalam lingkup kerja mereka. Dengan demikian, dalam

36 United States v. Bank of New England, N.A., 821 F.2d 844 (1st Cir 1987), hal. 855.
Pengadilan tersebut menjelaskan pengetahuan kolektif sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memberikan penjelasan mengenai pengetahuan kolektif, sebagai berikut:
A collective knowledge instruction is entirely appropriate in the context of corporate criminal
liability...The acts of a corporation are, after all, simply the acts of all of its employees operating within
the scope of their employment. The law on corporate criminal liability reflects this.... Similarly, the
knowledge obtained by corporate employees acting within the scope of their employment is imputed to the
corporation.... Corporations compartmentalize knowledge, subdividing the elements of specific duties and
operations into smaller components. The aggregate of those components constitutes the corporation's
knowledge of a particular operation. It is irrelevant whether employees administering one component of
an operation know the specific activities of employees administering another aspect of the operation.”
Lihat: United States v. Bank of New England, N.A., hal. 856.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 164

United States v. Bank of New England, apa yang tidak diketahui oleh
individu pegawai, tetaplahlah harus diketahui oleh Bank.
Atas dasar inilah maka Gobert berpendapat bahwa teori agregasi
merupakan jembatan ke arah pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan korporasi sendiri. Hal ini dikarenakan pada satu sisi teori
agregasi masihlah didasarkan pada perbuatan pegawai, sehingga
masih terkait dengan vicarious liability. Namun pada sisi lain,
perbuatan pegawai ini tidaklah dipandang sebagai perbuatan oleh
satu individu. Artinya, teori agregasi tidaklah mensyaratkan adanya
tindak pidana yang sempurna dari satu individu. Karena itulah maka
Gobert menyatakan bahwa dalam teori agregasi sebuah korporasi
dapat tetap bertanggungjawab meskipun tidak ada satu orang
pegawai pun yang telah melakukan tindak pidana. Dalam hal ini,
maka pertanggungjawaban korporasi bukanlah merupakan turunan
dari tindak pidana seseorang, tetapi merupakan hasil dari kesalahan
korporasi itu sendiri.37

d. Teori Model Organisasi

De Maglie menerangkan bahwa berdasarkan model organisasi,


korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban karena adanya
kulpabilitas dari korporasi. Menurut de Maglie, terdapat empat
kemungkinan untuk menjerat korporasi berdasarkan teori ini, yaitu:
adanya kebijakan korporasi (corporate policy), adanya budaya
korporasi (corporate culture), adanya kesalahan korporasi dalam
pencegahan (preventative fault), dan adanya kesalahan korporasi
dalam merespon tindak pidana (reactive corporate fault).38
Menurut teori Corporate Policy, korporasi bertanggunggung
jawab jika tindak pidana muncul karena adanya kebijakan korporasi
sendiri yang termasuk kebijakan ilegal. Misalnya kebijakan yang
memaksa atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana. Pada sisi
lain, korporasi dapat pula bertanggungjawab jika tindak pidana
terjadi karena adanya kebijakan korporasi yang meskipun legal tetapi
dianggap memberikan dorongan bagi terjadinya tindak pidana.
Misalnya, adanya toleransi terhadap tindak pidana atau secara
sistematis menutup mata atas tindak pidana yang terjadi.39
Dalam teori Corporate Culture, korporasi bertanggungjawab
karena dianggap memiliki budaya yang mendorong atau memberikan
toleransi pada tindak pidana, atau dianggap gagal untuk membangun
budaha yang mendorong adanya penaatan. Teori ini berkembang
karena di dalam berbagai tindak pidana, struktur atau budaya di
dalam korporasi sangatlah berpengaruh. Hal ini misalnya diutarakan

37 James Gobert (2008), Op. Cit., hal. 71.


38 Cristina de Maglie, Op. Cit., hal. 558.
39 Ibid.
165 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

oleh Punch. Menurutnya, budaya, struktur, sistem penghargaan,


sistem rekruitmen, hiearki, pembagian kerja, kepemimpinan,
pengambilan keputusan, maupun sistem pertanggungjawaban di
dalam korporasi telah mempengaruhi perbuatan individu-individu
sehingga cocok dengan perbuatan secara kolektif. Karena itulah
maka, menurut Punch, “the organizational component is crucial to
corporate crime – no organization, no crime”. 40
Sementara itu, de Maglie mengutarakan bahwa di dalam teori
budaya korporasi, korporasi bertanggungjawab atas dasar: a). adanya
kebijakan yang secara tersurat maupun tersirat memaksa,
mendorong, mengizinkan, atau memberikan toleransi atas tindak
pidana yang dilakukan; b). adanya budaya yang mengarahkan,
mendorong, atau memberikan toleransi pada dilakukannya tindak
pidana; c). adanya kegagalan untuk mengerapkan program penaatan
atau untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap tindak pidana;
dan d). adanya kegagalan untuk mengambil tindakan pencegahan
guna merespon tindak pidana yang dilakukan.41
Australia adalah salah satu negara yang menganut teori budaya
korporasi. Dalam hal ini, negara bagian Australian Capital
Territories (ACT) menegaskan di dalam Criminal Act 2002
mengenai budaya korporasi sebagai dasar pertanggungjawaban
korporsi. Section 51 dari UU ini memperlihatkan bahwa apabila
tindak pidana memerlukan adanya kesengajaan, pengetahuan, atau
kelalaian sebagai elemen dari kesalahan (fault), maka elemen
kesalahan tersebut dapat diterapkan kepada korporasi apabila
korporasi secara tersurat, tersirat, atau diam-diam mengizinkan
(authorize atau permit) dilakukannya tindak pidana. Sementara itu,
tindakan “mengizinkan” (authorization atau permission) ditunjukkan
antara lain: dengan membuktikan adanya budaya korporasi yang
mengarahkan, mendorong, memberikan toleransi, atau mengarahkan
pada ketidaktaatan; atau dengan membuktikan bahwa korporasi telah
gagal membangun dan memelihara budaya yang mewajibkan
adanyaa penaatan. 42

40Maurice Punch, The Organizational Component in Corporate Crime, dalam: James Gobert dan
Ana-Maria Pascal (eds.), “European Developments in Corporate Criminal Liability”, (London:
Routledge, 2011), hal. 103.
41 Cristina de Maglie, Op. Cit., hal. 560.
42 Criminal Act 2002, sebagaimana dikutip oleh Gobert, menyatakan:
(1). “If intention, knowledge or recklessness is a fault element in relation to a physical element
of an offence that may be committed by a company, that fault element must be attributed to
a body corporate that expressly, tacitly or impliedly authorized or permitted the commission
of the offence.
(2). “The means by which such an authorization or permission may be established include …
c). proving that a corporate culture existed within the body corporate that directed,
encouraged, tolerated or led to non‑compliance with the relevant provision; or
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 166

Berdasarkan teori Preventive Fault, tanggung jawab korporasi


muncul ketika korporasi dianggap gagal untuk memasukkan atau
menerapkan sistem internal yang layak untuk mencegah
dilakukannya tindak pidana. Dalam hal ini, pertanggungjawaban
korporasi muncul karena korporasi tersebut dianggap gagal
mengambil langkah yang layak untuk mencegah atau mendeteksi
adanya tindak pidana.43 Salah satu bentuk dari langkah pencegahan
yang layak misalnya adalah dikembangkan dan diterapkannya
program internal dari korporasi untuk menjamin adanya penaatan
terhadap hukum.
Teori keempat dari Model Organisasi adalah teori kesalahan
reaktif korporasi (reactive corporate fault), sebagaimana
dikembangkan oleh Fisse dan Braithwaite.44 Berdasarkan teori ini,
kesalahan korporasi muncul apabila korporasi dianggap gagal untuk
mengambil tindakan pencegahan atau tindakan korektif sebagai
reaksi atas tindak pidana (actus reus) yang dilakukan oleh personil
korporasi. Menurut kedua pengarang ini, yang perlu dipertimbangkan
bukanlah apakah korporasi memiliki kebijakan untuk menaati hukum
atau tidak, tetapi apakah korporasi melakukan tindakan disiplin
internal, reformasi struktural, dan kompensasi sebagai reaksi atas
dilakukannya actus reus oleh pegawainya.45 Berdasarkan teori ini
maka terdapat dua jenis kesalahan. Kesalahan awal (initial fault)
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai, sedangkan
kesalahan reaktif (reactive fault) adalah kegagalan untuk mengambil
tindakan yang seharusnya guna mengoreksi kesalahan awal. Menurut
Fisse dan Braithwaite, meskipun bukti tentang kesalahan awal sering
kali sulit didapatkan, akan tetapi bukti tentang kesalahan reaktif
mudah untuk diperoleh (karena terkait dengan reasksi pasca
terjadinya tindak pidana oleh pegawai).46 Lebih dari itu, menurut
penulis, apabila pertanggungjawaban korporasi atas kesalahan awal
dapat digolongkan sebagai pertanggungjawaban korporasi atas
perbuatan seseorang (sehingga pertanggungjawaban korporasi adalah
turunan dari pertanggungjawaban pribadi), maka
pertanggungjawaban korporasi atas kesalahan reaktif lebih
merupakan pertanggungjawaban korporasi atas kesalahannya sendiri.

d). proving that the body corporate failed to create and maintain a corporate culture that
required compliance with the relevant provision.”
Lihat: James Gobert (2011), Op. Cit., hal. 145. Lihat pula: Rick Sarre, Op. Cit., hal. 89-90.
43 Cristina de Maglie, Op. Cit., hal. 559.
44 Perlu diperhatkan di sini bahwa oleh Sjahdeini, teori ini dianggap sebagai teori yang berdiri
sendiri dan terpisah dari teori budaya korporasi. Lihat: Sutan Remy Sjahdeini, “Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi”, cet. II (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hal. 113-117.
45 Brent Fisse dan John Braithwaite (1993), Op. Cit., hal. 48. Lihat pula: Brent Fisse dan John

Braithwaite (1988), The Allocation of Responsibility for Corporate Crime: Individualism, Collectivism
and Accountability, Sydney Law Review, Vol. 11, 1988, hal. 505-506.
46 Brent Fisse dan John Braithwaite (1993), Op. Cit., hal. 162.
167 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Rangkuman dari model pertanggungjawaban korporasi dapat dilihat


pada Tabel 1 dari Lampiran tulisan ini.

2. Pemidaan Korporasi dan Pemimpin/Pengurus Korporasi

Di banyak negara, pemimpin/pengurus korporasi dapat dijatuhi


pidana secara sendiri atau secara bersama-sama dengan korporasi, atas
sebuah tindak pidana. Stessens menyatakan bahwa di Perancis, Belanda,
Inggris dan Wales, serta Kanada pemidaan pemimpin/pengurus korporasi
ini dapat diterapkan bersama-sama dengan pertanggungjawaban
korporasi. Sementara itu, di Belgia, yang terjadi nayalah pemidanaan
bagi pemimpin/pengurus korporasi.47 Selain itu, Anderson menambahkan
beberapa negara yang juga memungkinkan dijatuhkannya pidana pada
pada pemimpin/pengurus koporasi secara sendiri, yaitu: China, Hong
Kong, Malaysia, Korea Selatan, dan Afrika Selatan.48
Menurut Gobert, pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi
dianggap perlu jika korporasi hanya dijadikan alat bagi individu
pemimpin/pengurus untuk melakukan tindak pidana. Pada sisi lain,
Gobert juga menambahkan bahwa pertanggungjawaban pemimpin/
pengurus korporasi juga diperlukan karena adanya kemungkinan bahwa
sanksi senda yang dijatuhkan kepada korporasi tidak akan mempengaruhi
kehidupan pemimpin/pengurus korporasi.49 Dengan demikian,
pertanggungjawaban pribadi pemimpin/pengurus korporasi dimaksudkan
untuk menghindarkan adanya perilaku free rider atau moral hazard dari
pemimpim/pengurus korporasi apabila yang dapat diminta
pertanggungjawaban atas tindak pidana hanyalah korporasi. Karenanya,
pandangan perspektif ekonomi tentang pertanggungjawaban
pemimpin/pengurus korporasi sebagaimana dikemukakan oleh Bernau,
menjadi perlu untuk dikemukakan di sini. Menurut perspektif ini,
pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi diperlukan untuk
menjamin bahwa mereka yang mengambil keputusan di dalam korporasi
akan bertangjawab atas keputusan yang diambilnya. Dan pengambil
keputusan di dalam korporasi bukanlah korporasi itu sendiri, tetapi para
pengurus.50
Apabila pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi
dianggap penting, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana membuat
seorang pengurus/pemimpin korporasi bertanggung jawab? Jawaban atas
pertanyaan ini terdiri dari tiga pendekatan. Pertama, pendekatan

47 Guy Stessens, Op. Cit., hal. 517-518.


48Helen Anderson, Directors' Liability for Corporate Faults and Defaults-An International
Comparison, “Pacific Rim Law & Policy Journal”, Vol. 18, January, 2009, hal. 58-10.
49 James Gobert (2011), Op. Cit., hal. 143.
50 Patrick Bernau, Decision and Punishment: Or—Hold Bankers Responsible!: Corporate

Criminal Liability fromcan Economic Perspective, dalam: Dominik Brodowski, et al. (eds.), “Regulating
Corporate Criminal Liability”, (Dordrecht: Springer, 2014), hal. 48.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 168

pertanggungjawaban pengganti secara pribadi (individual vicarious


liability). Kedua, pengurus/pemimpin korporasi bertanggungjawab
berdasarkan teori delegasi. Dan Ketiga, karena partisipasi langsung,
bantuan, dukungan, atau kegagalan pemimpin/pengurus korporasi dalam
mencegah tindak pidana.

a. Pertanggungjawaban Pengganti secara Pribadi (Individual


Vicarious Liability)

Berdasarkan pertanggungjawaban ini, seseorang (dalam hal ini


pemimpin/pengurus) bertanggungjawab atas perbuatan pidana orang
lain (dalam hal ini pekerja). Menurut Allen, meskipun
pertanggungjawaban pengganti secara individu meskipun merupakan
praktek yang lazim dilakukan dalam konteks perdata, tetapi cukup
jarang digunakan dalam perkara pidana.51 Pada dasarnya
pertanggungjawaban pidana sifatnya personal, dan karenanya
seseorang tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya atas
perbuatan orang lain. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari pendapat
pengadilan di dalam kasus Huggins. Di dalam kasus ini, Huggins
adalah seorang kepala sipir yang didakwa bertanggungjawab atas
kematian narapidana karena kesalahan anak buahnya yang
menempatkan narapidana tersebut ke dalam sel yang tidak layak.
Sebagai dasar penolakan pertanggungjawaban pidana untuk Huggins,
pengadilan menyatakan bahwa pada dasarnya atasan dan anak buah
bertanggungjawab atas perbuatan masing-masing. Karena dalam
kasus ini kesalahan pelaku (anak buah) terjadi tanpa sepengetahuan
Huggins, maka ia Huggins dinyatakan tidak bersalah.52 Dengan
demikian, vicarious liability merupakan bentuk pengecualian dari
pertanggungjawaban pidana pada umumnya.
Dalam literatur hukum pidana di Inggris, sebagai pengelualian
terhadap prinsip dasar pertanggungjawaban pidana, vicarious
liability dapat dilakukan melalui:
1) Tindak pidana menurut putusan pengadilan (common law
offences)
Dalam hal ini, vicarious liability bisa muncul dalam kaitannya
perbuatan pidana karena adanya gangguan publik (public
nuisance). Hal ini bisa diketahui dari kasus Stephens (1866),
51 Michael J. Allen, “Textbook on Criminal Law”, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press,

2003), hal. 235.


52 Ibid.
Pandangan umum pada hukum pidana ini dapat pula dilihat, misalnya, dalam hukum pidana
Afrika Selatan sebagaimana diutarakan oleh Snyman bahwa: “In a civilised legal system nobody ought to
be held liable for a crime committed not by himself but by another, provided he was not a party to the
crime. Only those who acted with culpability ought to be punished—[garisbawah dari penulis]” Lihat: CR
Snyman, “Criminal Law”, 5th ed. (Durban: LexisNexis, 2008), hal. 371. Pendapat yang sama juga dapat
dilihat dalam hukum pidana di Inggris, sebagaimana diutarakan oleh Jefferson, dalam: Michael Jefferson,
“Criminal Law”, 9th ed. (Essex: Pearson Education Ltd., 2009), hal. 210.
169 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

yang bertanggung jawab atas perbuatan anak buahnya yang


membuang sampah ke sungai sehingga mengganggu pelayaran
sungai. Stephens bertanggungjawab meskipun ia tidak
mengizinkan atau tidak mengetahui bahwa anak buahnya telah
melakukan perbuatan yang disangkakan.53 Menurut Jefferson,
dalam kasus ini pertanggungjawaban pidana atasan (Stephens)
didasarkan pada konsep vicarious liability yang berlaku pada
pertanggungjawaban perdata; seandainya pertanggungjawaban
ini murni didasarkan pada pertanggungjawaban pidana, maka
konsep vicarious liability ini tidak dapat diterapkan.54
2) ketentuan peraturan perundang-undangan secara eksplisit
Peraturan perundang-undangan dapat secara tegas menyatakan
bahwa seorang majikan bertanggungjawab atas tindak pidana
yang dilakukan oleh pegawainya. Hal ini misalnya dapat dilihat
pada Section 9(1) dari Licensing Act 1964 di Inggris yang
menyatakan: “[s]ubject to the provisions of this Act, no person
shall, except during the permitted hours—(a). himself or by his
servant or agent sell or supply to any person in licensed
permises...any intoxicating liquor...”.55 Dalam konteks ini, UU
menyatakan bahwa pemilik toko akan bertanggung jawab atas
pelanggaran pasal di atas. Contoh lain adalah Section 31 dari
Transport Act 1982 di Inggris yang membebankan sanksi pidana
denda kepada pemilik kendaraan atas tindak pidana lalu lintas
tertentu. Ia bisa lepas dari pertanggungjawaban apabila bisa
menunjukkan, misalnya, bahwa pada saat tindak pidana terjadi
ia bukanlah pemilik kendaraan atau bahwa kendaraan telah
digunakan orang lain tanpa seizinnya.56
3) Doktrin “konstruksi secara luas” (extensive construction)
Kadang kala, pengadilan di Inggris menggunakan perluasan
penafsiran kepada beberapa kata, seperti “sell” (menjual), “use”
(menggunakan), atau “drive” (mengendarai), sedemikian rupa
sehingga dikonstruksikan bahwa seseorang akan
bertanggungjawab atas perbuatan pidana bawahannya, seolah-
olah orang tersebutlah yang secara fisik melakukan perbuatan
tersebut. Hal inilah yang disebut dengan konstruksi secara luas,
extensive construction. Misalnya, seorang majikan
bertanggungjawab atas penggunaan kendaraan yang remnya
blong oleh bawahannya; pemilik toko bertanggungjawab atas
penjualan barang yang memiliki berat yang kurang dari bobot
yang tercantum, meskipin kekurangan bobot ini terjadi karena

53 Michael J. Allen, Op. Cit., hal. 234.


54 Michael Jefferson, Op. Cit., hal. 211.
55 Dikutip dari: Michael J. Allen, Loc. Cit.
56 Michael Jefferson, Loc. Cit.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 170

kesalahan bawahan; seorang atasan bertanggungjawab atas


penjualan minuman keras secara ilegal oleh pekerjanya
meskipun pekerja ini melakukan penjualan ilegal dengan
melanggar instruksi atasan.57 Menurut Jefferson, doktrin ini
mensyaratkan dua hal. Pada satu sisi disyaratkan adanya
kewajiban absolut (absolut duty) yang oleh hukum dibebankan
kepada atasan. Pada sisi lain disyaratkan adanya perumusan
tindak pidana secara strict liability (tidak memerlukan mens
rea), sehingga tindakan (actus reus) dari pelaku dapat dilekatkan
kepada atasan.58 Dengan demikian, doktrin extensive
construction terbatas hanya pada delik yang dirumuskan secara
strict liability.59 Jika tindak pidana mensyaratkan mens rea,
maka pertanggungjawaban vicarious liability harus didasarkan
pada prinsip delegasi seperti dijelaskan di bawah ini.
4) teori prinsip delegasi (delegation principle)60
Menurut pandangan Pinto dan Evans, pertanggungjawaban
berdasarkan teori delegasi muncul “when a statute imposes a
duty on a particular category of person [i.e. license holder] and
makes breach of the duty an offence”.61 Artinya, apabila
peraturan perundang-undangan menetapkan kewajiban tertentu
kepada orang tertentu di dalam korporasi, yaitu pemegang izin,
dan peraturan tersebut kemudain menetapkan bahwa tidak
dilakukannya kewajiban tersebut adalah sebuah tindak pidana,
maka pemegang izin ini akan bertanggung jawab atas
pelanggaran yang terjadi, terlepas dari apakah ia telah
mendelegasikan pelaksanaan kewajibannya tersebut kepada
orang lain atau tidak.
Sementara itu, Law Commissions of England and Wales,
menjelaskan bahwa apabila seorang pemegang izin (an office-
holder atau a licence-holder) memiliki kewajiban tertentu, dan

57 Richard Card, “Criminal Law”, 21st ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), hal. 770.
58 Michael Jefferson, Loc. Cit. Dalam penjelasan Elliot dan Quinn tidak begitu terlihat adanya

perbedaan antara vicarious liability berdasarkan perluasan penafsiran (extensive construction) dengan
vicarious liability berdasarkan perumusan pasal perundang-undangan secara ekplisit, karena keduanya
sepertinya mensyaratkan adanya perumusan pasal tanpa mens rea. Perbedaannya terletak pada apakah
vicarious liability dirumuskan secara eksplisit, atau kah merupakan penafsiran yang secara implisit
tercermin di dalam rumusan pasal. Lihat: Catherine Elliott dan Frances Quinn, Criminal Law, 3rd ed.
(Essex: Pearson Education, Ltd., 2000), hal. 231.
59 The Law Commission, Criminal Law: Involuntary Manslaughter, Consultation Paper No 135,
tersedia pada: <http://www.lawcom.gov.uk/wp-content/uploads/2015/06/No.135-Criminal-Law-
Involuntary-Manslaughter-A-Consultation-Paper.pdf>, diakses pada bulan Mei 2016, hal. 92.
60 Perlu diketahui bahwa beberapa pengarang mungkin akan menggolongkan prinsip delegasi

sebagai pertanggungjawaban korporasi pada umumnya, dan bukan bagian dari vicarious liability untuk
individu (yaitu pemimpin/pengurus korporasi). Lihat misalnya: Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 97-
100.
61 Amanda Pinto dan Martin Evans, Amanda Pinto dan Martin Evans, “Corporate Criminal
Liability“, (London: Sweet and Maxwell, 2003), hal. 67.
171 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

ia mendelegasikan pelaksanaan kewajiban tersebut kepada pihak


lain, yang kemudian gagal memenuhi kewajiban tersebut, maka
pemegang izin tersebut bertanggungjawab atas dasar teori
delegasi. Dengan demikian, tidak ada pengatribusian perbuatan
seseorang kepada korporasi. Karena itulah maka menurut Law
Commission, teori delegasi sebenarnya bukanlah termasuk ke
dalam salah satu teori pertanggungjawaban korporasi.62
Teori delegasi dapat ditemukan di dalam contoh klasik di
Inggris, yaitu dalam Allen v. Whitehead (1930). Kasus ini
didasarkan pada adanya pelanggaran terhadap Metropolitan
Police Act Tahun 1839 yang mewajibkan pemilik café untuk
menjamin bahwa tempat usaha tersebut tidak akan dijadikan
tempat berkumpulnya prostitusi. Dalam kasus ini, seorang
pemilik café mendelegasikan pengelolaan café kepada seorang
manajer, yang ternyata kemudian tanpa sepengetahuan pemilik
café mengizinkan prostitusi berkumpul di café tersebut. Dalam
hal ini, pemiliki café dianggap bertanggungjawab atas
pelanggaran larangan dari Metropolitan Police Act. Pemilik café
ini tidak bisa beralasan bahwa ia tidak mengetahui apa yang
dilakukan oleh manajernya.63
Menurut penulis, sama seperti pada doktrin extensive
construction, pertanggungjawaban menurut prinsip delegasi
terjadi karena peraturan perundang-undangan telah sedemikian
rupa menetapkan bahwa hanya ada satu pihak yang akan
bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran terhadap
kewajiban, yaitu mereka yang oleh peraturan telah dibebani
kewajiban tersebut. Dalam hal ini, karena pemilik café telah
dibebankan kewajiban untuk menjamin tidak digunakannya
tempat usaha sebagai tempat berkumpulnya prostitusi, maka
pelanggaran atas kewajiban tersebut akan membuat pemilik café
bertanggung jawab. Adapun perbedaan dengan doktrin extensive
construction, pada prinsip delegasi atasan bisa
bertanggungjawab untuk perbuatan yang mensyaratkan adanya
mens rea. Akibatnya, pada prinsip delegasi,
pertanggungjawaban atasan mensyaratkan adanya delegasi
secara utuh (full delegation), sehingga atasan yang tidak
mengetahui atas fakta-fakta terkait tindak pidana, tidak akan
bertanggung jawab. Lebih dari itu, Jefferson juga menyatakan
bahwa prinsip delegasi hanya dapat diterapkan kepada subjek
hukum orang, dan bukan untuk korporasi.64
62 The Law Commission of England and Wales, Criminal Liability in Regulatory Contexts: A

Consultation Paper, Consultation Paper No 195, 2010, tersedia pada <http://www.lawcom.gov.uk/wp-


content/uploads/2015/06/cp195_Criminal_Liability_ consultation.pdf>, diakses pada Februari 2016, par.
7.53, hal. 145.
63 Michael J. Allen, Op. Cit., hal. 237.
64 Michael Jefferson, Op. Cit., hal. 214-215.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 172

Lebih jauh lagi, dalam penerapan individual vicarious liability,


ada baiknya kita merujuk pada beberapa hal/ukuran sebagaimana
diturakan oleh Snyman pada saat membahas vicarious liability di
Afrika Selatan. Menurut Snyman, ukuran yang berlaku untuk strict
liability, berlaku pula untuk vicarious liability. Ukuran tersebut
yaitu: a). Bagaimana bahasa yang digunakan oleh pembuat undang-
undang, dalam arti apakah vicarious liability secara tegas
dirumuskan dalam tindak pidana tertentu, ataukah merupakan
implikasi yang akan dihasilkan dari perumusan tindak pidana
tersebut. b). apakah lingkup dan tujuan dari perumusan pasal pidana
(the scope and purpose of the prohibition). Dalam hal ini, sama
seperti untuk strict liability, pertanggungjawaban vicarious liability
biasanya ditujukan untuk perbuatan yang menggangung
kesejahteraan/ketertiban umum. c). beratnya sanksi (the measure of
punishment). Semakin ringan sanksi yang diancamkan, semakin
mungkin vicarious liability berlaku. d). apakah tujuan dari pembuat
undang-undang tidak akan tercapat tanpa adanya penerapan vicarious
liability. e). apakah atasan memperolah keuntungan dari perbuatan
bawahan. Vicarious liability berlaku jika atasan memperoleh
keuntungan dari perbuatan pidana bawahan. f). apakah undang-
undang secara tegas membatasi siapa yang akan terkena
pertanggungjawaban. Jika UU menentukan bahwa yang akan
bertanggjawab hanyalah orang tertentu, misalnya pemegang izin,
maka vicarious liability berlaku.65

b. Karena Partisipasi, Bantuan, Persetujuan, atau Kegagalan


Melakukan Pengawasan

Di AS, pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi


dapat didasarkan pada tiga alasan sebagaimana diutarakan oleh
Webb, dkk. berikut ini: Pertama, adanya partisipasi langsung di
dalam tindak pidana. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pribadi
dimaksudkan agar seorang pelaku tidak bisa menghindar dari
pertanggungjawaban dengan cara berlindung di balik
pertanggungjawaban korporasi.66
Hal ini sejalan dengan pandangan Fisse dan Braithwaise,
sebagaimana diutarakan pada Bagian 2, yang menyatakan bahwa
dalam rangka menjamin adanya akuntabilitas dari korporasi, maka
pertanggungjawaban harus dikenakan kepada siapa pun yang di
dalam korporasi yang bisa dimintakan pertanggungjawaban, baik itu
pelaku, pengurus/pemimpin, atau korporasinya itu sendiri.

65 C.R. Snyman, Op. Cit., hal. 251.


66 Dan K. Webb, Steven F. Molo dan James F. Hurst, Op. Cit., hal. 627.
173 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Kedua, adanya bantuan atau dorongan untuk melakukan tindak


pidana. Dalam hal ini, pertanggungjawaban oleh pengurus muncul
jika pengurus dianggap memfasilitasi, membantu, mendorong,
memberikan arahan, atau menyetujui dilakukannya tindak pidana,
baik melalui tindakan aktif tertentu maupun melalui tidak
dilakukannya langkah tertentu. Dilakukan atau tidak dilakukannya
upaya ini yang dianggap mengakibatkan terjadinya tindak pidana.67
Ketiga, adanya kegagalan melalukan pengawasan. Kriteria ini
didasarkan pada doktrin “the Responsible Corporate Officer” (RCO),
yang menyatakan bahwa pengurus/pemimpin korporasi dapat
dipidana untuk tindak pidana dari bawahannya, meskipun
pengurus/pemimpin korporasi tidak mengetahui secara spesifik
tindak pidana apa yang telah dilakukan oleh bawahannya. Dalam hal
ini, untuk memidana pemimpin/pengurus korporasi maka jaksa
diminta untuk membuktikan bahwa pengurus/pemimpin korporasi
memiliki kekuasaan untuk membenahi atau mencegah terjadinya
pelanggaran pidana.68 Terkait kriteria ini, Webb, dkk
mengetengahkan putusan kasus United States v. Park. Dalam kasus
ini, pemimpin korporasi bersama-sama dengan korporasi didakwa
karena melanggar Food, Drug and Cosmetic Act (FDCA).
Pertanyaan penting di sini adalah apakah terdakwa (Park) dalam
tindak pidananya memegang posisi dan tanggungjawab. Jika iya,
maka terdakwa bertanggungjawab karena posisinya sebagai pihak
yang memikul tanggung jawab. Dalam hal ini, kesalahan dapat
diatribusikan kepada pemimpin/pengurus korporasi meskipun ia
tidaklah secara sadar melakukan tindak pidana, atau bahwa ia tidak
secara langsung berpartisipasi dalam tindak pidana.69 Dengan
merujuk pada pertimbangan dalam United States v. Dotterweich dan
United States v. Park, Bragg, dkk menyimpulkan bahwa di dalam
Doktrin RCO, seorang pengurus/pemimpin korporasi akan
bertanggungjawab untuk terjadinya tindak pidana di dalam korporasi
apabila pada satu sisi terbukti bahwa pengurus/pemimpin tersebut,
karena posisinya di dalam korporasi, memiliki tanggung jawab dan
kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana, untuk
mengoreksi tindak pidana yang terjadi; sedang pada sisi lain terbukti
pula bahwa ia gagal untuk melakukan tanggung jawab tersebut.70

67 Ibid., hal. 627-628.


68 Ibid., hal. 628.
69 Ibid., hal. 628-629.
70Jennifer Bragg, John Bentivoglio, dan Andrew Collins, Onus of Responsibility: The Changing
Responsible Corporate Officer Doctrine, “Food and Drug Law Journal”, Vol. 65, 2010, hal. 525.
Dengan berdasarkan pada pandangan Agaard, penulis berpandangan bahwa Doktrin RCO berbeda
dengan vicarious liability karena beberapa alasan. Pertama, di dalam RCO, terdakwa memenuhi semua
unsur tindak pidana, tanpa perlu merujuknya dengan perbuatan orang lain. Artinya, di dalam RCO
kesalahan dan tanggungjawab terdakwa (pemimpin) tidaklah tergantung dari kesalahan dan tanggung
jawab pihak lain (bawahan). Kedua, RCO sepenuhnya fokus pada terdakwa. Satu-satunya rujukan pada
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 174

Untuk meminta pemimpin/pengurus bertanggungjawab atas


perbuatan orang lain, penuntut umum haruslah mampu menunjukkan
bahwa pemimpin/pengurus memiliki kewenangan untuk memastikan
adanya penaatan (compliance) di dalam organisasi yang
dipimpinnya, sehingga ia memiliki kewajiban untuk melakukan
pengawasan dan mencegah terjadi tindak pidana.71 Kegalalan
melakukan pengawasan dan pencegahan ini menimbulkan
pertanggungjawaban pidana dari pemimpin/pengurus.
Doktrin RCO telah pula diterapkan di dalam kasus lingkungan
di AS. Dalam United States v. Iverson, terdakwa yaitu seorang
pemimpin perusahaan kimia didakwa melanggar Clean Water Act
yang melarang pembuangan limbah pada kawasan air yang
dilindungi. Dalam kasus ini, pekerja terdakwa membersihkan drum
yang mengandung limbah B3, sehingga limbah tersebut masuk ke
dalam sistem pembuangan umum. Dalam kasus ini terbukti bahwa
terdakwa mengetahui terjadinya pembuangan limbah, meskipun ia
secara pribadi tidak melakukan pembuangan limbah tersebut.
Menurut pengadilan, terdakwa akan bertanggungjawab apabila: a).
terdakwa mengetahui bahwa ada pembuangan yang dilakukan oleh
anak buahnya; b). terdakwa memiliki kekuasaan/kewenangan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana (yaitu pembuangan limbah); dan
c). terdakwa gagal mencegah terjadinya tindak pidana tersebut.72
Lebih jauh lagi, pengadilan dalam United States v. Iverson
menyatakan bahwa meskipun Doktrin RCO membebaskan penuntut
umum dari beban untuk membuktikan bahwa terdakwa adalah pihak
yang membuang atau menyebabkan terjadinya tindak pidana
(pembuangan limbah), Doktrin ini tetap meminta penuntut umum
untuk mampu membuktikan bahwa pembuangan limbah adalah

perbuatan orang lain ialah bahwa pertanggungjawaban terdakwa dalam RCO dipicu oleh adanya
pelanggaran hukum oleh orang lain. Dalam arti ini, tanggungjawab terdakwa dalam doktrin RCO terjadi
karena terdakwa memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan mengoreksi pelanggaran hukum; dan ia
gagal melakukan tanggung jawab itu. Bagaimana pelanggaran tersebut terjadi, siapa saja yang terlibat di
dalamnya, atau apakah pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, tidaklah relevan dalam
penentuan pertanggungjawaban pemimpin/pengurus. Dengan demikian, menurut doktrin RCO ini, pada
saat terjadinya pelanggaran, pemimpin/pengurus sendiri dianggap melakukan tindak pidana berupa
kegagalan melakukan tanggung jawab pencegahan dan melakukan tindakan koreksi atas pelanggaran
hukum yang terjadi. Ketiga, tanggung jawab pemimpin/pengurus dalam doktrin RCO adalah tanggung
jawab pribadi, yang muncul bukan karena ia berpartisipasi dalam pelanggaran hukum, tetapi karena
kegagalannya mencegah terjadinya pelanggaran. Lihat: Todd S. Aagaard, A Fresh Look At The
Responsible Relation Doctrine, “Journal of Criminal Law & Criminology”, Vol. 96, 2006, hal. 1289-
1290.
Untuk komentar terhadap doktrin RCO atau Doktrin Park, lihat misalnya: Peter J. Henning, A
New Crime For Corporate Misconduct?, “Mississippi Law Journal”, Vol. 84, 2014, hal. 43-88.
71 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, “Corporate Crime”, (New York: The Free Press,

1980), hal. 281.


72 Amiad Kushner, Applying The Responsible Corporate Officer Doctrine Outside The Public

Welfare Context, “Journal of Criminal Law & Criminology”, Vol. 93, 2003, hal. 705-706.
175 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

tindak pidana dan bahwa terdakwa mengetahui adanya pembuangan


(tindak pidana) tersebut.73
Di Inggris, pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi
diterapkan jika tindak pidana dilakukan atas dasar persetujuan
(consent), persengkongkolan (connivance), atau atas dasar adanya
kelalaian (neglect) pada pihak pemimpin/pengurus. Dalam hal ini,
Trades Descriptin Act Tahun 1968, sebagaimana dikutip oleh Pinto
dan Evans, yang pada Section 20 (1) menyatakan bahwa:
Where an offence under this Act which has been
committed by a body corporate is proved to have been
committed with the consent or connivance of, or to be
attributable to any neglect on the part of, any director,
manager, secretary or other similar officer ot the body
corporate or any person who was purpoting to act in any
such capacity, he as well as the body corporate shall be
guilty of that offence. 74
Menurut Pinto dan Evans, perbedaan persetujuan (consent)
dengan persekongkolan (connivance) adalah bahwa dalam consent
tidak selalu diperlukan adanya pengetahuan aktual (actual
knowledge) dari pemimpin/pengurus, sedangkan di dalam
connivance pengetahuan tersebut diperlukan. Lebih jauh lagi, Pinto
dan Evans juga menyatakan bahwa connivance mengindikasikan
adanya tingkat keterlibatan pemimpin/pengurus korporasi yang lebih
dalam dibandingkan dengan consent. Sementara itu, oleh kedua
pengarang ini neglect diartikan sebagai kegagalan untuk melakukan
sesuatu kewajiban, dalam arti bahwa pemimpin/pengurus korporasi
tidak melakukan kewajiban yang secara layak diharapkan darinya.75
Khusus mengenai neglect ini, ada baiknya jika kita merujuk pula
kriteria yang dikembangkan dazlam kasus Wotherspoon v HM
Advocate, sebagaimana dirangkum oleh Foster, di antaranya:
Pertama, istilah lalai (neglect) mengandaikan adanya kewajiban
tertentu yang gagal dilakukan oleh seseorang. Kedua, pembuktian
adanya kelalaian ini tidak bisa dilakukan tanpa identifikasi adanya
kegagalan dari pemimpin/pengurus korporasi untuk mengambil
langkah tertentu yang diwajibkan kepadanya. Ketiga, karena itu
pengetahuan atau kesadaran pemimpin/pengurus korporasi bahwa

73 Nancy Mullikin, Holding the “Responsible Corporate Officer” Responsible: Addressing the

Need for Expansion of Criminal Liability for Corporate Environmental Violators, “Golden Gate
University Environmental Law Journal”, Vol. 3, 2010, hal. 417.
74 Amanda Pinto dan Martin Evans, Op. Cit., hal. 81-82.
75 Ibid., hal. 82.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 176

tindakan tertentu seharusnya perlu diambil menjadi sangat relevan


untuk dibuktikan.76
Sementara itu, pertanggungjawaban pemimpin/pengurus
korporasi terdapat pula dalam beberapa undang-undang di Australia.
Di negara bagian New South Wales (NSW), misalnya, Occupational
Health and Safety Act Tahun 2000 (selanjutnya disebut OHS Act
2000) mengandung ketentuan yang memuat pertanggungjawaban
bagi pemimpin/pengurus korporasi. Dalam hal ini, Section 26 dari
OHS Act 2000 menyatakan bahwa apabila korporasi dianggap telah
melalukan tindak pidana, maka pemimpin/pengurus korporasi
dianggap telah pula melakukan tindak pidana, kecuali pemimpin/
pengurus korporasi dapat membuktikan mereka tidak dalam posisi
untuk mempengaruhi perilaku korporasi untuk melakukan tindak
pidana. Apabila pemiminpin/pengurus berada dalam posisi untuk
mempengaruhi perilaku korporasi, maka pemimpin/pengurus harus
membuktikan bahwa mereka telah melakukan segala cara yang layak
(all due dilligence) untuk mencegah terjadinya tindak pidana.77
Oleh Foster, ketentuan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pertanggungjawaban pribadi pemimpin/pengurus korporasi
hanya ada apabila sebelumnya korporasi telah terbukti melakukan
tindak pidana. Kedua, yang dapat bertanggungjawab tidaklah terbatas
hanya pada dewan direksi, tetapi juga para pihak yang terlibat dalam
manajemen korporasi (concerned in management). Ketiga, terdapat
praduga bersalah terhadap pemimpin/pengurus korporasi. Dalam hal
ini, apabila korporasi dianggap telah terbukti melakukan tindak
pidana, maka pemimpin/pengurus korporasi karena kedudukannya
dianggap telah pula terbukti melakukan tindak pidana, kecuali
mereka bisa membuktikan bahwa mereka tidak mampu
mempengaruhi perilaku korporasi atau jika mereka telah melakukan
segala upaya untuk mencegah pelanggaran. Keempat, beban
pembuktian ada pada pemimpin/pengurus korporasi.78
76 Neil Foster, Individual Liability of Company Officers, dalam James Gobert dan Ana-Maria

Pascal (eds.), “European Developments in Corporate Criminal Liability”, (London: Routledge, 2011),
hal. 121.
77 Section 26 dari OHS Act 2000, sebagaimana dikutip oleh Foster, menyatakan:
“Offences by corporations – liability of directors and managers
(1). If a corporation contravenes, whether by act or omission, any provision of this Act or the
regulations, each director of the corporation, and each person concerned in the
management of the corporation, is taken to have contravened the same provision unless the
director or person satisfies the court that:
a). he or she was not in a position to influence the conduct of the corporation in relation to
its contravention of the provision, or
b). he or she, being in such a position, used all due diligence to prevent the contravention
by the corporation.
Lihat: Ibid., hal. 124.
78 Ibid.
177 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Rangkuman dari pertanggungjawaban pemimpin/pengurus


korporasi dapat dilihat dalam Tabel 2 Lampiran dari tulisan ini.

III. Pertanggungjawaban Korporasi Menurut Peraturan Perundangan-


undangan Bidana Lingkungan Hidup dan Penerapannya di
Pengadilan

Dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai perumusan


pertanggungjawaban korporasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
serta bagaimana pertanggungjawaban tersebut diterapkan di dalam kasus
pencemaran lingkungan.

1. Pertanggungjawaban Korporasi dan Pemimpin/Pengurus


Korporasi menurut Peraturan Perundang-undangan

a. UU Lingkungan Hidup

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban korporasi di dalam


UU No. 32 Tahun 2009 dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 116 s.d.
120. Tulisan ini hanya akan membahas beberapa pasal saja dari
ketentuan tersebut.
Pasal 116 UU No. 32 Tahun 2009 menyatakan:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk,
atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan
kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama.

Sementara itu, Pasal 118 UU No. 32 Tahun 2009 menyatakan


bahwa “[t]erhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha
yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan
di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional.” Sepintas, Pasal ini sudah tepat, yaitu
bahwa dalam hal tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada
korporasi, maka korporasi itu diwakili oleh pengurus.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 178

Kebingungan justru terjadi apabila kita membaca Penjelasan


dari Pasal 118 UU No. 32 Tahun 2009, yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini
adalah badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana
dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan
hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan
hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana
dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang
memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima
tindakan pelaku fisik tersebut.
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal
ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup
melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik,
dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan
terjadinya tindak pidana tersebut.

Dengan memperhatikan Penjelasan ini, terutama frasa “tuntutan


pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan
hukum” maka kita memperoleh kesan bahwa apabila apabila tuntutan
dan sanksi pidana dijatuhkan kepada korporasi, maka sanksi tersebut
sebenarnya ditujukan kepada pemimpin/pengurus korporasi. Dalam
hal ini, mereka tidak bertindak sebagai wakil dari korporasi di
pengadilan, tetapi memang sebagai pihak yang menjalankan sanksi
pidana. Dengan interpretasi ini, UU No. 32 Tahun 2009 menjadi
tidak lagi menganut pertanggungjawaban korporasi, baik dalam arti
korporasi bertanggungjawab atas perbuatan seseorang atau atas
perbuatannya sendiri; tetapi menganut pertanggungjawaban
pengganti individual (individual vicarious liability), di mana
pemimpin korporasi bertanggungjawab atas perbuatan orang lain
atau perbuatan korporasi.
Pemahaman yang janggal tentang pertanggungjawaban
korporasi dapat dilihat pada rumusan Pasal 119 UU No. 32 Tahun
2009. Pasal ini menyatakan bahwa “[s]elain pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:...” Pasal
ini berarti bahwa untuk korporasi selain dari pidana pokok yang
dikenal dalam UU No. 32 Tahun 2009, dapat pula dikenakan pidana
tambahan atau tata tertib. Dengan rumusan kalimat seperti itu, maka
untuk korporasi tidak bisa dikenakan hanya pidana tambahan atau
tata tertib, tanpa disertai dengan pidana pokoknya. Pertanyaannya
kemudian, apakah pidana pokok yang ada dalam UU No. 32 Tahun
2009. Apabila kita menelusuri ketentuan pidana dalam UU No. 32
Tahun 2009, yaitu Pasal 98 s.d. 115, maka segera akan kita ketahui
bahwa pidana pokok yang dikenal di dalam UU No. 32 Tahun 2009
adalah penjara dan denda. Tidak boleh hanya penjara, dan tidak
179 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

boleh pula hanya denda. Dari cara perumusunan ini, maka muncul
kesimpulan yang aneh: korporasi bisa dikenakan pidana penjara!
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis beranggapan bahwa
Pasal 116 dan 118 UU No. 32 Tahun 2009 beserta penjelasannya
dapat diartikan sebagai berikut: Pertama, UU No. 32 Tahun 2009
membuka kemungkinan diterapkannya corporate vicarious liability,
yaitu dalam hal tindak pidana untuk atau nama korporasi
menimbulkan pertanggungjawaban korporasi (Pasal 116 ayat (1)
huruf a). Kedua, UU membuka kemungkinan diterapkannya
individual vicarious liability, yaitu jika pasal 116 ayat (1) huruf a
diterjemahkan berdasarkan Penjelasan Pasal 118. Menurut penulis
penafsiran pertama (tentang corporate vicarious liability) dan
penafsiran kedua (tentang individual vicarious liability) tidaklah
mungkin diterapkan bersama-sama, karena kedua penafsiran yang
bertolak belakang ini terkait dengan penafsiran atas satu Pasal yang
sama, yaitu Pasal 116 ayat (1) huruf a. Ketiga, UU juga membuka
kemungkinan pertanggungjawaban pribaddi dari pelaku (yaitu
pemberi perintah dalam tindak pidana dan pemimpin tindak pidana),
seperti dinyatakan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, dan Pasal 116
ayat (2). Keempat, Pasal 116 ayat (1) huruf b tidaklah menunjukkan
bahwa UU menganut individual vicarious liability, karena “pemberi
perintah” dan “pemimpin” di sini tidak bersifat umum (dalam arti
terkait dengan struktur korporasi), melainkan bersifat khusus dalam
arti merupakan “pemberi perintah dan pemimpin dalam tindak
pidana”.

b. SK Ketua MA dan Peraturan Jaksa Agung terkait


Pertanggungjawaban Korporasi

Penafsiran penegak hukum terkait tindak pidana dan


pertanggungjawaban korporasi dapat pula dilihat dalam Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung dan Peraturan Jaksa Agung. Di
dalam Lampiran dari Keputusan Ketua MA No.
036/KMA/SK/II/2013 tentang Pedoman Penangan Perkara
Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa apabila tindak pidana
lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama korporasi,
maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a),
korporasinya, b). Orang yang memberikan perintah, yaitu orang
dengan jabatan yang sesuai atau Pengurus/direksi sesuai Anggaran
Dasar; c). Pemimpin badan usaha.
Menurut penulis, SK Ketua MA ini tidak menjawab berbagai
persoalan yang dikemukakan terkait pertanggungjawaban korporasi
dan pemimpin/pengurus korporasi yang menurut penulis menjadi
persoalan dari UU No. 32 Tahun 2009. Misalnya saja, SK Ketua MA
tersebut tidak menjelaskan apa perbedaan antra pertanggungjawaban
untuk orang yang memberikan perinah, yang diartikan sebagai
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 180

pengurus/direksi; dengan pertanggungjawaban oleh pemimpin badan


usaha. Bukankah keduanya relatif sama saja?
Lebih penting lagi, SK Ketuan MA ini menguraikan pula
beberapa hal yang dapat dijadikan pembalan oleh terdakwa di dalam
kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, antara lain: “a. direksi
menerima laporan bahwa pengelolaan lingkungan hidup sudah sesuai
dengan peraturan atau izin; b. Direksi tidak menerima laporan dari
operator mengenai kegiatan yang terkait dengan tindak pidana; c.
direksi membuktikan telah melakukan tindakan-tindakan sesuai
dengan SOP tetapi diabaikan oleh bawahannya; d. Operator dapat
membuktikan bahwa dia sudah melaporkan kepada atasan dan
diteruskan kepada direksi dan tidak ditanggap”.79
Sementara itu, pada tahun 2014, Jaksa Agung juga menerbitkan
Peraturan Jaksa Agung RI No. Per-028/A/JA/10/2014 tentang
Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
Korporasi (selanjutnya disebut PerJA Tahun 2014). Di dalam
Lampiran dari PerJA Tahun 2014 tersebut antara lain dijelaskan
beberapa tindakan korporasi yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban, di antaranya: a). semua perbuatan yang
didasarkan pada keputusan pengurus; b). berbuat atau tidak
berbuatnya seseorang untuk kepentingan korporasi; c). perbuatan
yang menggunakan sumber daya manusia, dana, atau
dukungan/fasilitas korporasi; d). perbuatan yang dilakukan oleh
pihak ketiga atas permintaan atau perintah dari korporasi atau
pengurus korporasi; e). Perbuatan dalam rangka menjalankan
kegiatan sehari-hari korporasi; f). perbuatan yang menguntungkan
korporasi; g). tindakan yang biasanya diterima (accepted) oleh
korporasi; h). Korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak
pidana.80
Selain itu, PerJA 2014 juga menentukan beberapa perbuatan
pengurus korporasi yang dapat dimintakan pertanggungajwaban
pidana, di antaranya: a). setiap orang yang melakukan, turut serta
melakukan, menyuruh, menganjurkan, atau membatu tindak pidana;
b). setiap orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk
mengambil langkah pencegahan tindak pidana, namun tidak
mengambil langkah yang seharusnya; dan c). orang yang memiliki
pengetahuan akan adanya risiko yang cukup besar dan mengetahui
ahwa tindak pidana akan dilakukan oleh korporasi.81 Lebih jauh lagi,
PerJA 2014 juga memuat Formulir 1 yang berisi format untuk

79 Lihat Lampiran Keputusan Ketua MA No. 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pedoman Penangan

Perkara Lingkungan Hidup.


80 Peraturan Jaksa Agung RI No. Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara

Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi, Lampiran hal. 3-4.


81 Peraturan Jaksa Agung RI No. Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara
Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi, Lampiran hal. 5.
181 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

terdakwa berupa korporasi, Formulir 2 yang berisi format untuk


terdakwa pengurus korporasi, dan Formulir 3 jika terdakwa korporasi
dan pengurus disatukan dalam satu berkas.
Pembedaan yang dilakukan oleh PerJA 2014 patut diapresiasi,
karena menunjukkan bahwa PerJA dapat membedakan
pertanggungjawaban korporasi dengan pertanggungjawaban pribadi
dari pemimpin/pengurus korporasi. Apresiasi lebih perlu pula
diberikan kepada PerJA 2014 ini terkait dengan kriteria untuk
mentukan perbuatan pengurus korporasi yang dapat memicu
pertanggungjawaban pribadi. Menurut penulis, kriteria ini sedikit
banyak lebih dekat dengan berbagai teori yang sudah dijelaskan pada
Bagian 2.2. Persoalannya, tentu saja, apakah PerJA 2014 dapat
diterapkan untuk tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup
mengingat perumusan di dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang cukup
membingungkan.

c. Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 41 Tahun


1999

Menurut Pasal 78 ayat (14) UU No. 41 Tahun 1999, untuk


tindak pidana kehutanan yang “dilakukan oleh dan atau atas nama
badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama...”. Penjelasan dari Pasal 78 ayat (14) menyatakan
bahwa “[y]ang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara
lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer
venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.”
Dengan demikian, dari ketentuan mengenai tindak pidana
korporasi menurut UU No. 41 Tahun 1999 dapat disimpulkan hal
sebagai berikut: Pertama, dalam mendefinisikan korporasi, UU ini
mengikuti model Perancis, yaitu melalui penentuan jenis korporasi
macam apa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam hal
ini, korporasi didefinisikan sebagai “perseroan terbatas, perseroan
komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan
sejenisnya”. Kedua, UU No. 41 Tahun 1999 tidak menyediakan
sanksi pidana bagi korporasi. Dengan demikian, UU ini tidak
menganut pertanggungjawaban korporasi baik atas perbuatan orang
maupun atas perbuatan sendiri. Ketiga, sebaliknya, UU No. 41 Tahun
1999 justru menganut individual vicarious liability, di mana
pengurus korporasi akan bertanggungjawab atas perbuatan dari
bawahan, dirinya sendiri, atau bahkan perbuatan korporasi. Hal ini
terlihat dari ketentuan yang menyatakan bahwa apabila tindak pidana
dilakukan oleh korporasi maka “tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya”.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 182

d. Pertanggungjawaban Korporasi Menurut UU No. 18 Tahun


2013

Rumusan pertanggungjawaban korporasi yang cukup


membingungkan dapat ditemukan dalam UU No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberatasan Perusakan Hutan. Pada Pasal
82 ayat (3), UU No. 18 Tahun 2013 menyatakan:
Korporasi yang:
a). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan ...;
b). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki izin ...; dan/atau
c). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah ...
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Tata cara perumusan sanksi pidana bagi korporasi tersebut
kemudian diulang lagi di dalam berbagai ketentuan dari UU No. 18
Tahun 2013. Dengan cara perumusan tersebut, UU sepertinya hendak
menyatakan bahwa pada dasarnya semua tindak pidana terkait
pembalakan liar yang dapat dilakukan oleh manusia, dianggap dapat
pula dilakukan oleh korporasi.82 Dari perumusan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa UU No. 18 Tahun 2013 secara tegas telah
memungkinkan dijatuhkannya pidana penjara bagi korporasi!
Tentu saja memenjarakan korporasi adalah sebuah kekeliruan
fatal. Anehnya, kekeluaran ini sendiri tampaknya disadari oleh
pembuat undang-undang, karena dalam Pasal 109 ayat (5), UU No.
18 Tahun 2013 menyatakan bahwa “Pidana pokok yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal103.” Dengan
demikian, Ayat ini mencoba menganulir sanksi pidana bagi korporasi
seperti dirumuskan pada Pasal 82 s.d. 103, yang telah memuat sanksi
penjara dan denda. Persoalannya, apabila kemudian dianulir pada
Pasal 109, maka untuk apa pembuat undang-undang tetap
mencantumkan sanksi penjara bagi korporasi di dalam Pasal 82 s.d.
103?
Lebih jauh lagi, Pasal 109 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013
menyatakan apabila tindak pidana terkait pembalakan liar “dilakukan

82 Lihat perumusan sanksi pidana untuk korporasi dalam: UU No. 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, LN Tahun 2013 No. 130, TLN No. 5432 [selanjutnya
disebut UU No. 18 Tahun 2013], Pasal 83 s.d. Pasal 103.
183 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan


pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”
Selanjutnya, Pasal 109 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 menyatakan
bahwa tindak pidana terkait pembalakan liar dianggap dilakukan oleh
korporasi “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang
perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara
sendiri maupun bersama-sama”. Sedangkan Pasal 109 ayat (3) UU
No. 18 Tahun 2013 menyatakan bahwa jika tuntutan pidana
dilakukan terhadap korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus.
Dari rumusan Pasal ini, dapat disimpulkan bahwa UU No. 18
Tahun 2013 memungkinkan sanksi pidana untuk dijatuhkan kepada
korporasi maupun pengurus korporasi. Dengan dapat dipidananya
pengurus korporasi atas perbuatan seseorang di dalam lingkup kerja
korporasi, sebagaimana tercermin dalam Pasal 109 ayat (1) dan (2)
UU No. 18 Tahun 2013, maka terlihat bahwa UU ini menganut
individual vicarious liability. Dalam hal ini, pengurus korporasi
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh siapa pun
yang berada di bawah lingkup kerja korporasi. Selain itu, dengan
dapat dipidananya korporasi, maka terlihat bahwa UU No. 18 Tahun
2013 membuka diterapkannya berbagai teori pertanggungjawaban
korporasi, mulai dari corporate vicarious liability, teori agregasi,
teori identifikasi, ataupun teori budaya korporasi.

e. Pertanggungjawaban Korporasi Menurut UU No. 39 Tahun


2014

Rumusan pertanggungjawaban korporasi dapat pula ditemukan


dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Menurut Pasal
113 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014:
(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal
107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh
korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan
Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal
107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya
dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah
1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing
tersebut.
Menurut penulis, ketentuan singkat di atas justru merupakan
ketentuan yang lebih jelas mengenai tindak pidana korporasi.
Pertama, jelaslah bahwa UU No. 39 Tahun 2014 menganut
individual vicarious liability, dengan adanya pemidanaan kepada
pengurus atas tindak pidana yang dilakukan untuk korporasi. Tindak
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 184

pidana ini dapat saja dilakukan oleh pengurus sendiri, oleh pegawai
bawahan, atau bahkan oleh korporasi itu sendiri.
Kedua, UU No. 39 Tahun 2014 membuka pula kemungkinan
dijatuhkannya sanksi denda kepada korporasi. Karena UU tidak
membatasi, maka pertanggungjawaban korporasi ini dapat
didasarkan pada teori corporate vicarious liability, teori agregasi,
teori identifikasi, atau bahkan teori budaya korporasi.

e. Pertanggungjawaban Korporasi menurut RKUHP

Pertanggungjawaban korporasi ternyata dirumuskan pula di


dalam beberapa pasal RKUHP. Menurut Pasal 49: “Tindak pidana
dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi
kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut…”—[garis
bawah dari penulis]. Selanjutnya di dalam penjelasan Penjelasan
Pasal 49 dinyatakan pula bahwa “Kedudukan fungsional diartikan
bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili,
kewenangan mengambil keputusan, dan kewenangan untuk
menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut….”
Selanjutnya, dikatakan pula di dalam Pasal 50 bahwa: “Jika tindak
pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya atau personil
pengendali korporasi”.
Dari rumusan ini disimpulkan dua hal. Pertama, bahwa
korporasi dianggap melakukan perbuatan pidana jika perbuatan itu
dilakukan oleh pengurus/pemimpin korporasi (yang disubut “orang-
orang yang mempunyai kedudukan fungsional”). Kita bisa melihat
bahwa sepertinya perancang RKUHP menganut teori identifikasi.
Dengan demikian, menurut Pasal 49 dan 50, tidak ada
perbuatan/pertanggungjawaban korporasi jika perbuatan pidana
dilakukan oleh bawahan!
Memang RKUHP dalam Pasal 51 juga menyatakan bahwa
“[k]orporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi,
jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain
yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.” Rumusan ini cukup
luas, sehingga sepintas dapat disimpulkan bahwa korporasi dapat
diminta pertanggungjawaban pidana apabila pelaku pidana adalah
bawahan atau apabila tindak pidana oleh bawahan ini terjadi karena
adanya budaya atau kebijakan korporasi sendiri. Sayangnya,
penjelasan Pasal 51 justru akan menegasikan kesimpulan ini, karena
penjelasan ini menegaskan bahwa:
185 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan


sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat
kemungkinan sebagai berikut:
a. pengurus korporasi sebagai pembuat tindak
pidana dan oleh karena itu penguruslah yang
bertanggung jawab;
b. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan
pengurus yang bertanggung jawab; atau
c. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga
sebagai yang bertanggung jawab.”—[garis bawah
dari penulis].

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa korporasi bertanggung


jawab karena perbuatan pidana oleh pengurus, atau karena perbuatan
pidana oleh korporasi sendiri. Karena pengurus tidak lain adalah
orang dengan kedudukan fungsional di dalam korporasi, dan
perbuatan oleh korporasi adalah perbuatan adalah orang dengan
kedudukan fungsional tersebut, maka rumusan Pasal 51 dan
penjelasannya ternyata tidak mengubah batasan pertanggungjawaban
korporasi yand ada dalam Pasal 49. Akibatnya kesimpulan yang
dihasilkan tetaplah sama, yaitu bahwa perbuatan dan
pertanggungjawaban korporasi hanya ada jika pelaku perbuatan
pidananya adalah pengurus!
Kesimpulan di atas patut disayangkan karena sebenarnya
korporasi dapat bertanggungjawab tidak hanya atas perbuatan
pemimpin/pengurus (teori identifikasi), tetapi juga atas perbuatan
bawahan (teori corporate vicarious liability), atau bahkan karena
perbuatan korporasi itu sendiri (model organisasi) atau agregasi
perbuatan bawahan. Dalam model organisasi dan agregasi, korporasi
bahkan bisa bertanggungjawab tanpa perlu adanya perbuatan pidana
yang dilakukan oleh subjek hukum orang. Rumusan RKUHP perlu
diubah karena rumusan tersebut sangat membatasi keberlakuan
pertanggungjawaban korporasi, sehingga akan sangat sulit, jika tidak
mungkin, untuk menerapkan pertanggungjawaban korporasi. Hal ini
karena di dalam kenyataan sehari-hari hampir bisa dipastikan kita
akan sangat sulit menemukan pengurus/pemimpin secara langsung
memimpin dan melakukan tindak pidana.
Kedua, apabila Pasal 51 dan penjelasannya hendak diperluas
penafsirannya sehingga juga meliputi pertanggungjawaban atas
perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahan, maka RKUHP
berarti membolehkan dijatuhkannya individual vicarious liability.
Dalam hal ini, pemimpin/pengurus bertanggung jawab atas perbuatan
bawahannya. Tentu saja karena tidak jelas batasannya, dan tidak jelas
pula tindak pidana apa saja yang bisa dikenakan individual vicarious
liability ini, maka perumusan Pasal 51 ini bisa menimbulkan
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 186

kesimpangsiuran dalam penerapannya. Jika ini terjadi, maka RKUHP


akan gagal membenahi dan mengoreksi berbagai kerancuan
penerapan pertanggungjawaban korporasi yang selama ini terjadi.
Kerancuan ini akan terlihat dari pembahasan pada sub Bagian
berikut.

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Praktek: Beberapa


Putusan Kasus Lingkungan Hidup terkait Pertanggungjawaban
Korporasi

Kasus yang perlu mendapat perhatian sebagai contoh dari penerapan


pertanggungjawaban korporasi adalah kasus Republik Indonesia v. PT.
Newmont Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005). Dalam kasus
ini, JPU membagi pertanggungjawaban ke dalam pertanggungjawaban
oleh badan hukum (PT. NMR) dan pertanggungjawaban pribadi
pemimpin/pengurus korporasi (Richard Bruce Ness). Dalam kasus ini,
secara cukup konsisten JPU menentukan bahwa Terdakwa I adalah badan
hukum, yaitu PT. Newmont Minahasa Raya, dan Terdakwa II adalah
orang, yaitu Richard Bruce Ness.83 Dalam kasus ini, JPU juga telah
sangat baik dalam menjelaskan mengapa Richard Bruce Ness, seorang
direktur, menjadi terdakwa. Dalam dakwaannya, secara konsisten JPU
menjelaskan bahwa Terdakwa II berkontribusi dalam tindak pidana yang
disangkakan. Terkait hal ini, JPU misalnya menyatakan bahwa Terdakwa
II “memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengawasi,
mengendalikan, dan memerintah staf di bawahnya supaya dapat
melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku...”.84 Pada sisi
lain, JPU juga menyatakan bahwa Terdakwa II “ternyata tidak
melakukan upaya untuk mencegah”, atau “tetapi tetap saja
membiarkan/tidak memerintahkan untuk dihentikannya” tindak pidana
yang didakwakan.85 Dalam konstruksi ini, JPU mendakwa Richard Bruce
Ness karena adanya kegagalan sebagai pemimpin/pengurus korporasi
untuk menjalankan kewenangan pemimpin/pengurus guna mencegah
terjadinya tindak pidana, dan bukan hanya karena kedudukan Richard
Bruce Ness sebagai pemimpin/pengurus. Putusan PN yang membebaskan
para Terdakwa tidak menunjukkan adanya kekeliruan JPU dalam
merumuskan pertanggungjawaban korporasi dan pemimpin/ pengurus,
melainkan karena persoalan pembuktian kausalitas dan juga penafsiran
asas subsidiaritas.
Sementara itu, pada tahun 2010, MA mengeluarkan sebuah putusan
yang sangat penting terkait bagaimana pertanggungjawaban korporasi
83 Lihat: Putusan PN Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT. Newmont

Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005), hal. 1.


84 Putusan PN Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT. Newmont

Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005), hal. 57.


85 Putusan PN Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT. Newmont
Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005), hal. 64.
187 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

diterapkan untuk kasus pencemaran lingkungan. Putusan ini adalah


Putusan MA dalam kasus Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010).
Kim Young Woo adalah direktur dari PT. Dongwoo Environmental
Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan
limbah B3 dan telah memperoleh izin pengolahan limbah B3 berdasarkan
SK Kepala Bapedal No. KEP-154/BAPEDAL/12/2001 tangga l 07
Desember 2001, dan telah diperpanjang berdasarkan SK Menteri LH No.
No.79 Tahun 2005.86 Dalam kasus ini, terdakwa yaitu Kim Young Woo
didakwa berdasarkan Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 (untuk
dakwaan primair), Pasal 43 (1) UU No. 23 Tahun 1997 Jo Pasal 45 UU
No. 23 Tahun 1997 (untuk dakwaan subsidair), Pasal 42 (1) UU No. 23
Tahun 1997 (untuk dakwaan lebih subsidair), dan Pasal 44 (1) UU No.
23 Tahun 1997 (untuk dakwaan lebih subsidair lagi).87 Mahkamah
Agung menyatakan bahwa “perbuatan Terdakwa dilakukan dalam
kedudukan sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental
Indonesia yang bergerak di bidang Pengelolaan Limbah B3.....”88 Atas
dasar itu, MA menyatakan bahwa “Terdakwa PT. Dongwoo
Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana”—[italics dari penulis], dan karenanya “menjatuhkan pidana
denda sebesar Rp. 650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah ) dan
apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (enum) bulan”.89
Putusan MA dalam Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010)
menggambarkan adanya persoalan dalam penafsiran pertanggungjawaban
korporasi di Indonesia. Dalam kasus ini secara jelas disebutkan pada
halaman pertama bahwa yang menjadi terdakwa adalah Kim Young
Woo. Akan tetapi, di dalam amar putusan disebutkan bahwa terdakwa
adalah PT. Dongwoo Environmental Indonesia. Menurut penulis, antara
Kim Young Woo sebagai subjek hukum orang, dan PT. Dongwoo
Environmental Indonesia sebagai badan hukum, merupakan dua subjek
hukum yang berbeda. Karena itu, kedua subjek hukum ini tidak bisa
begitu saja bertukar kedudukannya. Artinya, apabila pada halaman
pertama disebutkan bahwa terdakwa adalah Kim Young Woo, maka
dalam amar pun terdakwa seharusnya Kim Young Woo, dan bukan PT.
Dongwoo Environmental Indonesia.

86 Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo
(2010), hal. 2.
87 Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo

(2010), hal. 86.


88 Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo

(2010), hal. 94.


89 Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo
(2010), hal. 95.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 188

Kasus lainnya yang perlu diperhatikan adalah Putusan MA dalam


kasus RI v. Ibrahim Lisaholit (2012). Dalam kasus ini, terdakwa adalah
Ibrahim Lisaholit, yaitu manajer kebun (estate manager) dari sebuah
korporasi, yaitu PT. Kalimantan Hamparan Sawit (PT. KHS). Dalam
pertimbangannya, MA menyatakan bahwa “PT. KALIMANTAN
HAMPARAN SAWIT (PT. KHS) telah lalai menyediakan alat-alat
pemadam kebakaran/sangat minim...”—[garis bawah dari penulis].90 Di
sisi lain, MA menyatakan pula bahwa “Terdakwa selaku Manager Estate
PT. KALIMANTAN HAMPARAN SAWIT (PT. KHS), bertanggung
jawab secara fungsional untuk PT. KALIMANTAN HAMPARAN
SAWIT (PT. KHS) (functionele daderschap dalam korporasi) sehingga
korporasi tersebut (PT. KHS) harus bertanggung jawab terhadap
terjadinya kerusakan lingkungan tersebut, sekalipun Jaksa/Penuntut
Umum tidak mendakwakan korporasi yang bersangkutan”—[garis bawah
dari penulis].91 Kelalaian inilah yang dianggap sebagai tindak pidana,
sehingga MA menyatakan bahwa terdakwa terbukti “[k]arena
kealpaannya mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup”.92
Putusan MA dalam RI v. Ibrahim Lisaholit memperlihatkan bahwa
MA sepertinya tidak membedakan antara subjek hukum korporasi dan
dengan terdakwa (orang). Sepertinya kedua subjek hukum ini dianggap
sama dan karenanya perbuatan satu subjek hukum mengindikasikan
pertanggungjawaban subjek hukum lainnya. Kesan seperti ini terlihat
pada satu sisi dari kesimpulan MA yang menyatakan bahwa terdapat
kelalaian dari PT. KHS padahal yang menjadi terdakwa adalah subjek
hukum orang; dan pada sisi lain dari kesimpulan yang menyatakan
bahwa karena subjek hukum orang (terdakwa) bertanggungjawab maka
korporasi harus bertanggungjawab pula.
Terakhir, Putusan PN Pelalawan dalam Kasus Republik Indonesia v.
Adei Plantation and Industry (2013), layak pula untuk diperhatikan.
Dalam kasus ini, yang menjadi terdakwa adalah korporasi, yaitu PT. Adei
Plantation. Selama persidangan, yang duduk sebagai wakil terdakwa
adalah Tan Kei Yoong (subjek hukum orang), yang merupakan direktur
dari terdakwa korporasi. Dalam amar putusannya, pengadilan
menyatakan bahwa “terdakwa PT ADEI PLANTATION AND
INDUSTRY telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup” dan karenanya
“menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana

90 Mahkamah Agung, Putusan No 1363 K/PID.SUS/2012, Republik Indonesia v. Ibrahim

Lisaholit (2012), hal. 62.


91 Mahkamah Agung, Putusan No 1363 K/PID.SUS/2012, Republik Indonesia v. Ibrahim

Lisaholit (2012), hal. 63.


92 Mahkamah Agung, Putusan No 1363 K/PID.SUS/2012, Republik Indonesia v. Ibrahim
Lisaholit (2012), hal. 64.
189 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

denda sebesar Rp. 1.5000.000.000,-... dengan ketentuan apabila denda


tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan yang diwakili oleh
Sdr. Tan Kei Yoong selama 5 (lima) bulan”—[garis bawah dari
penulis].93 Dengan demikian, jika terdakwa tidak mampu membayar
denda, maka Tan Kei Yoong, yang sebenarnya tidak pernah dijadikan
terdakwa, akan dikenakan pidana kurungan. Jika ini terjadi, maka Tan
Kei Yoong dapat dipidana tanpa pernah diadili!

IV. Kritik atas Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia

Pembahasan pada bagian sebelumnya memperlihatkan adanya kerancuan


dan kekeliruan mendasar dalam pemahaman pembuat undang-undang atau pun
penegak hukum terkait pertanggungjawaban korporasi. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa hal yang ditemukan dalam tulisan ini: Pertama, terdapat
beberapa undang-undang yang perumusannya dapat menimbulkan penafsiran
bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana penjara. Hal ini merupakan kekeliruan
karena secara teori dan logika, tidak mungkin korporasi dikenakan sanksi
pidana berupa penjara atau kurungan.
Kedua, terdapat rumusan yang dapat ditafsirkan bahwa apabila korporasi
yang melakukan tindak pidana atau dijadikan terdakwa, maka sanksi
dijatuhkan kepada pengurus/pemimpin korporasi. Penafsiran seperti ini
tidaklah sepenuhnya tepat karena justru akan menimbulkan bahaya, yaitu
berubahnya subjek hukum secara otomatis. Cara penafsiran ini tidak hanya
keliru karena telah mencampuradukkan dan menganggap sama dua subjek
hukum yang sesungguhnya berbeda, yaitu korporasi dan orang (pemimpin/
pengurus korporasi), tetapi juga memungkinkan dijatuhkannya pidana kepada
orang orang (pemimpin/ pengurus korporasi) tanpa sebelumnya orang tersebut
diadili (dijadikan terdakwa).
Penulis melihat bahwa persoalan dalam memahami pertanggungjawaban
korporasi di atas terjadi karena setidaknya karena tiga hal:
1) Terdapat pemahaman yang menyamakan dan mencampuradukkan
antara pertangungjawaban korporasi dengan pertanggungjawaban
pemimpin/pengurus korporasi;
2) Tidak jelasnya kriteria untuk menentukan kapan dan atas perbuatan
siapa korporasi bertanggungjawab.
3) Tidak adanya kriteria untuk menjelaskan kapan dan atas perbuatan
siapa pemimpin/pengurus korporasi bertangungjawab.
Lebih jauh lagi penulis melihat bahwa kerancuan lebih terlihat lagi di
dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pemimpin/pengurus korporasi.
Hal ini, menurut penulis, terjadi karena dianutnya individual vicarious liability
oleh perumus UU atau penegak hukum. Penulis sependapat dengan beberapa
ahli hukum bahwa individual vicarious liability tidak begitu sejalan dengan

93 PN Pelalawan Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.Plw, Republik Indonesia v. Adei Plantation


(2013), hal. 226.
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 190

pandangan umum mengenai pertanggungjawaban pidana. Pada dasarnya,


seseorang pemimpin/pengurus tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan orang lain hanya karena pemimpin/pengurus ini memegang posisi
sebagai pemimpin/pengurus.
Menurut penulis, secara konseptual individual vicarious liability
menimbulkan kerancuan dan campur aduk antara subjek hukum orang dengan
subjek hukum badan hukum. Pertanggungjawaban seperti ini dapat
menimbulkan kesan bahwa perbuatan/pertanggungjawaban badan hukum
secara otomatis mengindikasikan pula adanya pertanggungjawaban subjek
hukum orang. Akibatnya, dapat saja terjadi seorang pemimpin/pengurus
bertangungjawab dan menjalankan sanksi pidana, padahal ia tidak pernah
menjadi terdakwa karena selama persidangan yang menjadi terdakwa adalah
korporasi. Sebaliknya, bisa pula terjadi korporasi menjadi pihak yang
dikenakan sanksi pidana, padahal selama persidangan yang menjadi terdakwa
adalah pemimpin/pengurus korporasi tersebut. Menurut penulis, adalah keliru
apabila kita memandang bahwa apabila korporasi dijadikan terdakwa maka
pidana dapat dijatuhkan kepada dan dijalankan oleh pemimpin/pengurus. Jika
kita menginginkan agar pemimpin/pengurus ini dipidana, maka mereka
haruslah dijadikan terdakwa pula!
Individual vicarious liability juga bermasalah karena bisa saja
pengurus/pemimpin korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pidana
bawahan, meskipun pengurus/pemimpin ini telah melakukan upaya
pencegahan dan kehati-hatian, meskipun pengurus/pemimpin tidak terlibat
sama sekali dalam tindak pidana yang dilakukan, atau meskipun misalnya
bawahan telah menutup-nutupi tindak pidana yang dilakukannya agar
pengurus/pemimpin tidak mengetahui perbutan pidananya. Lebih jauh lagi, jika
tujuan menjatuhkan pidana bagi pemimpin/pengurus adalah untuk memberikan
insentif kepada mereka untuk melakukan segala upaya dalam mencegah tindak
pidana, maka individual vicarious liability sebenarnya telah gagal untuk
mencapai tujuan tersebut, karena ternyata pengurus/pemimpin tetap
bertanggungjawab tanpa melihat apakah ia telah bertindak cermat untuk
mencegah terjadinya tindak pidana atau tidak.94

94 Kritik serupa juga ditujukan oleh Greenberg dan Brotman terhadap penerapan RCO di AS.

Lihat: Joshua D. Greenberg and Ellen C. Brotman, “Strict Vicarious Criminal Liability for Corporations
and Corporate Executives: Stretching the Boundaries of Criminalization”, American Criminal Law
Review, Vol. 51, 2014, hal. 94. Menurut penulis, Greenberg dan Brotman tidak sepenuhnya tepat dalam
menyamakan anatara individual vicarious liability dengan RCO, justru karena RCO masih mensyaratkan
adanya kegagalan dalam pengawasan dan pencegahan, serta tidak melekatkan pertanggungjawaban
kepada seseorang hanya karena kedudukan dia sebagai seorang atasan. Kritik Greenberg dan Brotman,
menurut penulis, lebih tepat diarahkan kepada individual vicarious liability.
191 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

V. Penutup

1. Simpulan

Tulisan ini telah memaparkan beberapa hal terkait tindak pidana


korporasi, pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungajwaban
pemimpin/pengurus korporasi, sebagaimana terangkum dalam Lampiran
dari tulisan ini, masing-masing pertanggungjawaban tersebut
memerlukan kriterianya sendiri-sendiri. Karena undang-undang di
Indonesia sebagian besar tidak menjelaskan (atau menjelaskan dengan
tidak jelas) pertanggungjawaban korporasi apa yang dianut, maka
penegak hukum memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang besar
untuk merumuskan dan menafsirkan undang-undang tersebut. Satu hal
yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa karena setiap teori
yang akan digunakan membutuhkan kriterianya masing-masing, maka
pilihan teori yang akan digunakan sedikit banyak terkait pula dengan
sejauh mana bukti yang tersedia dapat mendukung kriteria ini.
Dari rumusan beberapa ketentuan dan penafsiran beberapa kasus,
terlihat bahwa pemimpin atau pengurus korporasi seolah-olah secara
otomatis bertanggungjawab atas tindak pidana di dalam lingkup kerja
korporasi yang dilakukan oleh siapa pun, hanya karena kedudukannya
sebagai pemimpin atau pengurus korporasi. Inilah yang disebut sebagai
individual vicarious liability. Penulis menyetujui pendapat Allen atau
Jefferson yang menyatakan bahwa meskipun dalam konteks perdata
individual vicarious liability sudah jamak ditemukan, akan tetapi dalam
konteks pidana individual vicarious liability sebaiknya dihindari. Karena
itulah, apabila hendak memasukkan pula pemimpin/pengurus korporasi
sebagai terdakwa, maka diperlukan bukti lain selain fakta bahwa mereka
adalah pemimpin/pengurus korporasi. Bukti itu dapat berupa partisipasi
atau kegagalan dalam mengawasi atau mencegah tindak pidana,
sebagaimana dirumuskan dalam beberapa ketentuan pidana untuk
pengurus korporasi di AS, Inggris, dan beberapa negara bagian di
Australia.

2. Saran

Khusus mengenai RKUHP, menurut penulis akan lebih jelas apabila


Pasal 49 dan Penjelasannya, serta Penjelasan Pasal 51 (dari RKUHP versi
Juni 2015) dihilangkan. Cukup apabila rumusan yang dimuat adalah
rumusan pertanggungjawaban korporasi menurut Pasal 51. Tentu saja
jika ingin lebih baik lagi, maka Pasal 50 RKUHP sebaiknya juga diubah
sehingga secara jelas menyatakan bahwa apabila korporasi dianggap
bertanggungjawab karena perbuatan pidana yang dilakukan oleh atau
untuk dan/atau atas nama korporasi, maka pemimpin/pengurus dianggap
telah pula gagal melakukan pengawasan dan pencegahan sehingga ia
harus pula bertanggungjawab. Pemimipin/pengurus ini dapat lepas dari
pertanggungjawaban apabila ia mampu membuktikan tidak memiliki
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 192

kewenangan untuk menghentikan tindak pidana, atau telah melakukan


upaya yang layak untuk mengawasi dan mencegah dilakukannya tindak
pidana.
193 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Daftar Pustaka

Buku/Artikel Jurnal

Aagaard, Todd S. “A Fresh Look At The Responsible Relation Doctrine”,


Journal of Criminal Law & Criminology, Vol. 96, 2006.
Allen, Michael J. Textbook on Criminal Law, 7th ed. Oxford: Oxford
University Press, 2003.
Anderson, Helen. “Directors' Liability for Corporate Faults and Defaults-An
International Comparison”, Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 18,
January, 2009.
Bernau, Patrick. Decision and Punishment: Or—Hold Bankers Responsible!:
Corporate Criminal Liability fromcan Economic Perspective, dalam:
Dominik Brodowski, et al. (eds.), Regulating Corporate Criminal
Liability. Dordrecht: Springer, 2014.
Bragg, Jennifer; John Bentivoglio; dan Andrew Collins. “Onus of
Responsibility: The Changing Responsible Corporate Officer Doctrine”,
Food and Drug Law Journal, Vol. 65, 2010.
Card, Richard. Criminal Law. 21st ed. Oxford: Oxford University Press, 2012.
Clinard, Marshall B.; dan Peter C. Yeager. Corporate Crime. New York: The
Free Press, 1980.
Elliott, Catherine; dan Frances Quinn. Criminal Law. 3rd ed. Essex: Pearson
Education, Ltd., 2000.
Fisse, Brent; dan John Braithwaite (1988). “The Allocation of Responsibility
for Corporate Crime: Individualism, Collectivism and Accountability”,
Sydney Law Review, Vol. 11, 1988.
Fisse, Brent; dan John Braithwaite (1993). Corporations, Crime and
Accountability. Cambridge: Cambridge University Press, 1993.
Foster, Neil. “Individual Liability of Company Officers”. Dalam: James Gobert
dan Ana-Maria Pascal (eds.), European Developments in Corporate
Criminal Liability. London: Routledge, 2011.
Gobert, James The Evolving Legal Test of Corporate Criminal Liability,
Dalam: John Minkes dan Leonard Minkes (eds.), Corporate and White-
collar Crime. London: Sage Publications Ltd., 2008.
Gobert, James. Squaring the Circle: The Relationship between Individual and
Organizational Fault, dalam: James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.).
European Developments in Corporate Criminal Liability. London:
Routledge, 2011.
Greenberg, Joshua D. dan Ellen C. Brotman. ”Strict Vicarious Criminal
Liability for Corporations and Corporate Executives: Stretching the
Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Wibisana 194

Boundaries of Criminalization”, American Criminal Law Review, Vol.


51, 2014.
Harding, Christopher. Criminal Enterprise: Individuals, Organisations and
Criminal Responsibility. Portland: Willan Publishing, 2007.
Henning, Peter J. “A New Crime For Corporate Misconduct?”, Mississippi
Law Journal, Vol. 84, 2014.
Keulen, Berend F.; and Erik Gritter. Corporate Criminal Liability in the
Netherlands, dalam: Mark Pieth dan Radha Ivory (eds.). Corporate
Criminal Liability: Emergence, Convergence, And Risk. Dordrecht:
Springer, 2011.
Kushner, Amiad. “Applying The Responsible Corporate Officer Doctrine
Outside the Public Welfare Context”, Journal of Criminal Law &
Criminology, Vol. 93, 2003.
Mullikin, Nancy. “Holding the “Responsible Corporate Officer” Responsible:
Addressing the Need for Expansion of Criminal Liability for Corporate
Environmental Violators”, Golden Gate University Environmental Law
Journal, Vol. 3, 2010.
The Law Commission, “Criminal Law: Involuntary Manslaughter”,
Consultation Paper No 135, tersedia pada: <http://www.lawcom.gov.uk/
wp-content/uploads/2015/06/No.135-Criminal-Law-Involuntary-
Manslaughter-A-Consultation-Paper.pdf>, diakses pada bulan Mei 2016.
The Law Commission of England and Wales. “Criminal Liability in
Regulatory Contexts: A Consultation Paper”, Consultation Paper No
195, 2010. Tersedia pada <http://www.lawcom.gov.uk/wp-content/
uploads/2015/06/cp195_Criminal_Liability_consultation.pdf>, diakses
pada Februari 2016.
de Maglie, Cristina. “Models of Corporate Criminal Liability in Comparative
Law”, Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4(3),
2005.
Pieth, Mark; dan Radha Ivory. Emergence and Convergence: Corporate
Criminal Liability Principles in Overview, dalam: Mark Pieth dan Radha
Ivory (eds.), Corporate Criminal Liability: Emergence, Convergence,
and Risk. Dordrecht: Springer, 2011.
Pinto, Amanda; dan Martin Evans. Corporate Criminal Liability. London:
Sweet and Maxwell, 2003.
Punch, Maurice. The Organizational Component in Corporate Crime, dalam:
James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.). European Developments in
Corporate Criminal Liability. London: Routledge, 2011.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Ed. II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011.
195 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.2 April-Juni 2016

Sarre, Rick. Penalising Corporate ‘Culture’: The Key to Safer Corporate


Activity?, dalam: James Gobert dan Ana-Maria Pascal (eds.). European
Developments in Corporate Criminal Liability. London: Routledge,
2011.
Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. II.
Jakarta: Grafiti Press, 2007.
Stern, Yedidia Z. “Corporate Criminal Personal Liability: Who is the
Corporation?”, Journal of Corporation Law, Vol. 13(1), 1987.
Stessens, Guy. “Corporate Criminal Liability: A Comparative Perspective”,
The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 43(3), 1994.
Webb, Dan K.; Steven F. Molo; dan James F. Hurst. “Understanding and
Avoiding Corporate and Executive Criminal Liability”, The Business
Lawyer, Vol. 49(2), February 1994.
Yarosky, Harvey. “The Criminal Liability of Corporations”, McGill Law
Journal, Vol. 10(2), 1964.

Putusan Pengadilan

Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim
Young Woo (2010).
Mahkamah Agung, Putusan No 1363 K/PID.SUS/2012, Republik Indonesia v.
Ibrahim Lisaholit (2012).
PN Manado, Putusan No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT.
Newmont Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005).
PN Pelalawan, Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.Plw, Republik Indonesia v.
Adei Plantation and Industr (2013).
United States v. Twentieth Century Fox Film Corp., 882 F.2d 656 (2d Cir
1989).
United States v. Bank of New England, N.A., 821 F.2d 844 (1st Cir 1987).

Anda mungkin juga menyukai