Wifika Sintari - 02011282025283

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

ESSAY HUKUM PIDANA DI LUAR KUHP

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP


TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Dosen Pengampu :

Dr. Henny Yuningsih, S.H., M.H.

Almira Novia Zulaikha, S.H., M.H.

Desia Rakhma Banjarani, S.H., M.H.

Taroman Pasyah, S.H.I, M.H.

Disusun Oleh:

Wifika Sintari

02011282025283

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2023
A. PENDAHULUAN
Era globalisasi membawa pengaruh terhadap perkembangan masyarakat
dalam setiap bidang kehidupan yang salah satunya perkembangan ekonomi.
Perkembangan ekonomi dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari konsep industri
modern, yang turut dipengaruhi oleh peran korporasi sebagai implementasi dari
perkembangan ekonomi baik dalam lingkup nasional maupun multinasional.
Korporasi merupakan suatu perseorangan yang merupakan badan
hukum.1 Keberadaan korporasi di Indonesia menyebar dalam beberapa sektor
perekonomian dan di beberapa bidang kehidupan, yang diantaranya dalam sektor
perdagangan, kelautan, pertambangan, perkebunan dan lain sebagainya, dengan
demikian strategisnya posisi korporasi dalam bidang kehidupan masyarakat
berbanding lurus dengan dampak serta pengaruh korporasi terhadap bidang
kehidupan masyarakat. Korporasi berperan penting terhadap perkembangan
industri yang modern sebab melalui korporasi yang merupakan suatu cara
strategis dalam mencapai tujuan yakni dalam aspek memenuhi kebutuhan
masyarakat yang tentunya sejalan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi masyarakat di suatu negara. Korporasi juga memiliki andil penting
dalam hal menciptakan lapangan kerja yang berbanding lurus dengan
kontribusinya dalam mengurangi angka pengangguran, serta turut berperan
dalam aspek penerimaan pajak negara.
Korporasi yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
dan keuangan negara, bagai dua sisi mata uang tentunya korporasi memiliki
pengaruh negatif yang salah satunya memiliki pengaruh terhadap
berkembangnya beberapa tindak pidana yang asalnya dari suatu tindakan
menyimpang oleh Korporasi dengan motif ekonomi. Adapun tindakan
menyimpang oleh Korporasi memiliki karakteristik khusus yang dimana modus
operandinya memiliki beberapa perbedaan dengan tindak pidana pada
umumnya. Adapun Kejahatan oleh korporasi pada umumnya berkenaan dengan
sektor dimana korporasi itu berkembang yakni dalam hal perusakan dan
pencemaran lingkungan, perusakan populasi perikanan, dan perilaku
menyimpang lainnya seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan suap-
1
Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana,
2010, hlm.23.
menyuap. Berdasarkan hal tersebut tentunya dalam melakukan penegakan
hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi tentunya
diperlukan pengaturan khusus terhadap kejahatan yang dilakukan oleh
Korporasi. 2
Sistem hukum nasional Indonesia telah mengatur Korporasi sebagai
salah satu subjek hukum dalam tindak pidana sejak tahun 1951 hal tersebut
diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951
tentang Penimbunan Barang-Barang. Hal tersebut membuktikan bahwasanya
Korporasi merupakan salah satu subjek hukum dalam tindak pidana yang
memiliki potensi melakukan kejahatan yang sifatnya modern. Dalam Pasal 39
ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi juga telah diatur mengenai
kedudukan Korporasi sebagai subjek hukum dalam suatu tindak pidana ekonomi
berserta dengan bentuk pertanggungjawaban pidana. Adanya eksistensi dari
kedua pengaturan terkait kedudukan korporasi dalam tindak pidana ikut
mendorong terdapatnya pengaturan dengan disahkannya beberapa undang-
undang dalam beberapa bidang dalam perkembangan kedudukan korporasi,3
diantaranya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 45 tentang Perikanan,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Bedasarkan eksistensi
undang-undang tersebut dapat dikatakan bahwasanya salah satu tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi yang kerap kali terjadi yakni dalam aspek
lingkungan hidup dan sumber daya alam. 4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur terkait ketentuan tindak pidana dalam
Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Diatur pula pada Pasal 45 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

2
Anjari, Warih. "Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana." Jurnal Widya Yustisia
1, no. 2 (2016): 247176.
3
Mardiya, Nuzul Qur'aini. "Pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan
hidup/the regulation of corporate liability in environmental criminal act." Jurnal Hukum dan Peradilan 7,
no. 3 (2018): 483-502.
4
Kurniawan, Ridho. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability (Studi
Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan Hidup)." Jurnal Yuridis 1, no. 2 (2017): 153-168.
Hidup, bahwasanya terhadap orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam
tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh, untuk,atau atas nama badan
usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup telah diatur bahwasanya suatu korporasi atau badan usaha yang
melakukan tindak pidana lingkungan hidup memiliki 3 (tiga) model
pertanggungjawaban pidana, yakni :5
1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a) badan usaha; dan/atau
b) orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut.
2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan
secara sendiri atau bersama-sama.
Berdasarkan pengaturan tersebut dapat dikatakan bahwasanya korporasi
sebagai subjek hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup telah diatur
secara khusus dalam b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana oleh Korporasi mengatur mekanisme terkait tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi, dimana pada 1 ayat (1) disebutkan bahwasanya
korporasi adalah kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisir, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal konteks
5
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali. Sistem Pertanggungjawaban Pidana: Perkembangan dan Penerapan.
Rajagrafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, 2015.
praktek penegakan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh
suatu korporasi atau badan usaha, kerap kali pertanggungjawaban pidana
dalam tindak pidana tersebut dijatuhi kepada pengurus perseroan yang dalam
hal ini korporasi tanpa melibatkan perseroan yang dalam hal ini korporasi
untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana. 6
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwasanya
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana lingkungan
hidup masih belum jelas mengatur terkait bagaimana pertanggungjawaban
pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi dalam tindak pidana
lingkungan hidup, sehingga diperlukannya reformulasi pertanggungjawaban
pidana korporasi melalui penal policy.7 Beradasarkan hal tersebut, penulis
membuat essay terkait pembahasan berjudul, “Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup”. Agar sistematis, penulis
membagi essay tersebut dalam beberapa bagian, yakni : (1)
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan
Hidup; (2) Pola Pemidanaan terhadap Korporasi yang Melakukan Tindak
Pidana Lingkungan Hidup; (3) Urgensi Pertanggungjawaban Pidana
terhadap Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup; (4)
Analisis Terkait Kualifikasi Tindak Pidana Lingkungan Hidup Yang
Dilakukan Oleh Korporasi Dan Contoh Kasus.

B. PEMBAHASAN
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Lingkungan Hidup
Pertanggungjawaban pidana merupakan salah satu bentuk guna
menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi. 8 Dalam
hal ini pertanggungjawaban pidana yang didasarkan atas kesalahan (liability
base on fault) mengandung pengertian bahwa adanya pertanggungjawaban
pidana tersebut didasarkan pada kesalahan yang mengakibatkan terjadinya
6
Kusumo, Bambang Ali. "Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia." Wacana
Hukum 7, no. 2 (2008).
7
Atmasasmita, Romli, 2010, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis. Kencana Perdana Media Group, Jakarta.
8
Andi hamzah. Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
pencemaran lingkungan dan atau perusakan sumber daya alam, yang secara
teknis dan prosedur tidak harus dimintakan pembuktian lagi.9
Pengaturan terkait Tindak Pidana Lingkungan Hidup dimuat dalam
Bab IX Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diatur dalam Pasal 41 hingga Pasal 48.
Terdapat beberapa perbedaan antara pengaturan pidana yang diatur dalam
Pasal 22 Undang- Undang Lingkungan Hidup (UULH), dimana ketentuan
pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkesan lebih lengkap dan detail.
Ketentuan terkait pidana yang diancamkan dalam pasal-pasal Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yakni pidana penjara dan denda, 10 berbanding terbalik
dengan ketetentuan pidana yang diatur dalam UULH dimanameliputi pidana
penjara dan/atau denda. Berdasarkan pengaturan pada Pasal 22 UULH,
dijelaskan bahwasanya delik yang diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup merupakan delik materiil.11 Adapun ancaman pidana dapat diperberat
apabila suatu tindak pidana menyebabkan orang mati atau luka berat.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatu terkait perbuatan
dengan sengaja, adapun pada Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat
pengaturan terkait perbuatan yang didasari oleh kealpaan, dimana hal
tersebut diancam pidana lebih ringan.
Dalam hal delik materiil sulit dalam membuktikan perbuatan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, seperti dalam hal
membuktikan suatu usaha dan/atau kegiatan yang mencemarkan karena baku
mutu ambien sungai telah dilampaui ambang batasnya padahal sumber
9
Muladi dan Priyatno, Dwija, 2013. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana
Perdana Media Group, Jakarta.
10
Putri, Tri Tuti Aditama, and Ismail Ismail. "Analisis Yuridis Terhadap Pertanggung Jawaban Pidana
Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan." JURNAL PIONIR 5, no. 4 (2019).
11
Andhy Yanto Herlan. Dakwaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan
Hidup, 2008.
pencemaran dapat berupa limbah industri, limbah domestik dan limbah
pertanian, yang berarti multi source pollution, maka delik formil yang
tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) dikaitkan dengan melepaskan atau
membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun
ke dalam air permukaan yang melanggar ketentuan perundang- undangan.
Berdasarkan hal tersebut, maka cukup dibuktikan bahwasanya usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan limbahnya melampaui ambang batas
yang ditetapkan oleh baku mutu efluen, yang pengukurannya dapat
dilakukan di tempat penggelontoran limbah.12
Berbanding terbalik dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
mengatur delik materiil, adapun Pasal 43 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur
delik formil, dimana lebih memudahkan pembuktian sebab dihubungkan
dengan perincian tindakan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwasanya apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Adapun Pasal 46 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur:13
1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh
atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta
tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan
baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah

12
Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana. Ctk. Pertama, UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS, UNS Press, Surakarta, 2008.
13
Marjono Raksodipoetra. “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2014.
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh
atau atas badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
tuntutan pidana diberlakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap
mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin
tanpa mengingat apakah orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja
atau hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau
bersama-sama.
3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat- surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di
tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan
yang tetap.
4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh
bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan agar pengurus menghadap
sendiri di pengadilan.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwasanya selain pengaturan
pidana yang dimaksud dalam KUHP dan Undang- undang ini, terkait pelaku
tindak pidana lingkungan hidup dapat juga dikenakan tata tertib yang
diantaranya :14
1) Perampasan ketentuan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau
2) Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, dan/atau
3) Perbaikan akibat tindak pidana, dan/atau
4) Mewajibakan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/ atau
14
Rahmadi. Hukum lingkungan di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
5) Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.

Adapun dampak dari penerapan ketentuan terkait pertanggungjawaban


pidana korporasi seharusnya dapat lebih dipahami oleh para pengusaha, dengan
demikian dapat meningkatkan ketelitian dalam mengelola perusahaannya guna
terhindar dari dilakukannya suatu tindakan yang menimbulkan sanksi bagi
pengusaha yakni pidana penjara, yang disertai dengan pengenaan denda terhadap
perusahaan serta dianulirnya izin beroperasi dari perusahaan tersebut.

2. Pola Pemidanaan terhadap Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana


Lingkungan Hidup
Pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap korporasi
terkait tindak pidana lingkungan hidup yang diakibatkannya menimbulkan
akibat bagi korporasi tersebut dengan dijatuhi pidana terkait perbuatan
korporasi tersebut. Dalam konteks ini, adapun tujuan pemidanaan korporasi
menyangkut tujuan yang sifatnya intergratif, yakni:15
a. Tujuan pemidanaan merupakan pencegahan (umum dan khusus). Dimana
tujuan pencegahan khusus yakni guna mendidik serta memperbaiki
pelakunya; adapun tujuan pencegahan umum yakni agar orang lain tidak
melakukan kejahatan tersebut. Dengan demikian, apabila dikaitkan
dengan korporasi, adapun tujuan dipidananya korporasi agar korporasi
tersebut tidak mengulangi tindak pidana, dan agar korporasi-korporasi
lain tidak melakukan tindak pidana, dengan tujuan pemberdayaan
masyarakat.
b. Tujuan pemidanaan dalam hal perlindungan masyarakat. Perlindungan
masyarakat yang merupakan tujuan pemidanaan memiliki dimensi yang
cukup luas, dimana secara fundamental hal tersebut adalah tujuan dari
setiap pemidanaan. Perlindungan masyarakat kerap dikatakan merupakan
bagian dari pencegahan, adapun hal tersebut dikaitkan dengan korporasi,
yakni agar korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana.
15
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dala Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta,Prenada Media Group))
c. Tujuan pemidanaan yakni guna memelihara solidaritas masyarakat.
Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam hubungannya dengan tujuan
pemidanaan yakni untuk penegakan adat istiadat masyarakat, serta untuk
mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak
resmi. Konteks solidaritas dalam hal ini sering kali dikaitkan dengan
masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh
negara. Apabila dikaitkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi
terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari
kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.
d. Tujuan pemidanaan dalam hal pengimbalan atau keseimbangan, yakni
terdapat kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban
individual dari pelaku tindak pidana dengan memperhatikan beberapa
faktor. Penderitaan yang dihubungkan oleh pidana harus memiliki
dampak dalam proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan
masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh
melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi
general apapun.

Ancaman pidana yang mungkin dijatuhkan terhadap korporasi yang diatur


dalam ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni pidana denda dan
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan
yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat
usaha dan/atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, pewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau penempatan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Namun
dewasa ini, pidana tersebut terkesan belum mampu meningkatkan efektivitas
penegakan hukum tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup.
Adapun pola pemidanaan yang telah diatur Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih
terdapat berbagai kelemahan dimana hal tersebut menjadi salah satu
penyebab penegakan tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup
yang kurang efektif. Dengan demikian, penting untuk diatur terkait
ketentuan mengenai pola pemidanaan yang didasarkan pada konservasi
lingkungan hidup, yakni berupa pemberatan pidana denda, pengaturan
pelaksanaan pidana denda, dan tindakan pemulihan lingkungan hidup.

1) Pemberatan Pidana Denda


Ancaman pidana denda dilatarbelakangi oleh adanya hubungan
keperdataan yakni saat seseorang dirugikan, dengan demikian orang
tersebut dapat menuntut ganti rugi kerusakan yang jumlahnya tergantung
pada besarnya kerugian yang ditimbulkan, berserta kedudukan sosialnya
yang dirugikan tersebut.16 Pidana denda adalah salah satu bentuk pidana
pokok dalam hukum pidana indonesia, yang pada dasarnya hanya dapat
dijatuhkan bagi orang-orang dewasa.17
Dalam hal ini berlaku pula Polluter Pays Principle (PPP) dimana pelaku
tindak pidana wajib bertanggungjawab serta harus membayar. Prinsip
pencemar harus membayar dapat dikatakan sebagai pertimbangan
distributif, yakni apabila pencemar merupakan orang kaya (industri) dan
korbannya adalah orang miskin (masyarakat umum).

2) Pengaturan Pelaksanaan Pidana Denda


Ancama pidana denda yang dimuat dalam undang-undang di bidang
lingkungan hidup tentunya harus pula disertai suatu aturan pelaksana
guna menjamin adanya pelaksanaan konservasi serta pemulihan terhadap
oleh pelaku tindak pidana meskipun pidana denda tidak dapat dibayar
oleh pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal ini, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup tidak mengatur ketentuan pelaksanaan pidana denda
yang tidak dibayar oleh terpidana sehingga berlaku ketentuan umum
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 KUHP yang menyebutkan bahwa
jika pidana denda tidak dibayar maka diganti pidana kurungan dimana
pidana kurungan tersebut tidak boleh lebih dari 8 (delapan) bulan.

16
P.A.F Lamintang dikutip dalam Widayati, Lidya Suryani. "Ultimum Remedium dalam
Bidang Lingkungan Hidup." Jurnal Fak ultas Huk um UII 22.1 (2015): 1-24.
17
Suhartono, Slamet. "Corporate responsibility for environmental crime in Indonesia."
Journal of Law and Conflict Resolution 9.1 (2017): 1-8.
Ketentuan tersebut menyebabkan penjatuhan pidana denda menjadi tidak
efektif.18
Tindak pidana lingkungan hidup sebagai salah satu kejahatan ekonomi
dilakukan dengan motif mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Artinya bahwa pidana denda yang diancamkan tersebut bertujuan untuk
mencegah pelaku mendapat keuntungan dari tindak pidana lingkungan
hidup yang dilakukannya tersebut sehingga pelaku tidak melakukannya.

3) Sanksi Tindakan Perbaikan Akibat Tindak Pidana Bersifat Imperatif


Hukum pidana memiliki tujuan tidak hanya menjatuhkan pidana semata,
tetapi dapat pula diimplementasikan dalam suatu sistem sanksi tindakan.
Sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang sifatnya bukan berorientasi
pada pembalasan, tetapi berorientasi pada perbaikan dan pemulihan
terkait tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Sanksi tindakan didasarkan pada tujuan diadakannya pemidanaan
tersebut. Adapun sanksi tindakan sifatnya antisipatif terhadap pelaku
perbuatan tersebut yang dimana prioritas sanksi tindakan lebih terarah
pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. 19 Adapun
pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi sanksi untuk memperbaiki
lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak akibat perbuatannya
dapat mengetahui secara langsung sulitnya pemulihan lingkungan hidup
ke kondisi semula sebelum terjadinya tindak pidana serta dampak negatif
dari perbuatannya tersebut sehingga diharapkan pelaku menyadari
kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri sehingga tidak mengulangi
kesalahan yang sama.

3. Analisis Terkait Kualifikasi Tindak Pidana Lingkungan Hidup Yang


Dilakukan Oleh Korporasi Dan Contoh Kasus
Tindak pidana pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

18
Siregar, Januari, and Muaz Zul. "Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di
Indonesia." Jurnal Mercatoria 8, no. 2 (2015): 107-131.
19
Mewengkang, E. (2014). Prinsip Tanggungjawab Perusahaan Terhadap Pencemaran Lingkungan.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup zat, energi, dan tau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkunganhidup yang
telah ditetapkan. Dalam hal tersebut terdapat beberapa unsur yang harus
terpenuhi dalam menentukan pencemaran lingkungan tersebut yang diatur
dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait unsur-unsur
pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 1
angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut membuktikan tidak hanya
memberikan gambaran tentang bagaimana dan apa bentuk pencemaran
lingkungan,20 waktu yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana tersebut,
serta memberi penjelasan dalam memisahkan kasus pencemaran dengan
perusakan lingkungan.
Kasus Putusan Nomor 510/Pid.Sus/ 2021PN Btm
A. Kasus Posisi
PT. Prima Makmur Batam telah melakukan perusakan lingkungan untuk
membangun kavling perumahan dan bangunan tanpa izin di dalam
kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai seluas 13,846 ha dan Hutan
Lindung Tanjung Kasam seluas 5,416 ha, di Kecamatan Nongsa, Kota
Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Adapun kegiatan pembukaan dan
pematangan lahan di lokasi Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai
Kelurahan Batu Besar dan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Kasam
(Duriangkang II) Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam,
Provinsi Kepulauan Riau dilakukan oleh terdakwa PT. Prima Makmur
Batam yang diwakili oleh RAMUDAH alias AYANG Binti UMAR
selaku Direktur dengan mempergunakan alat berat berupa excavator
untuk menggali dan memindahkan tanah ke dalam dump truck, buldozer
untuk meratakan tanah, dan dumptruck untuk memindahkan tanah yang
sudah dimuat. Adapun atas kegiatan pembukaan dan pematangan lahan

20
Ridwansyah, Muhammad. "Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al-Bi’ah)." Jurnal Hukum dan
Peradilan 6, no. 2 (2017): 173-188.
di lokasi Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai Kelurahan Batu Besar
dan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Kasam (Duriangkang II)
Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan
Riau tersebut, terdakwa PT. Prima Makmur Batam yang diwakili oleh
RAMUDAH Alias AYANG Binti UMAR selaku Direktur telah beberapa
kali mendapat pemberitahuan dari pihak KPHL (Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung) Unit II Batam yang pada intinya memberitahukan bahwa
kegiatan terdakwa PT. Prima Makmur Batam yang diwakili oleh
RAMUDAH Alias AYANG Binti UMAR selaku Direktur berada di
kawasan hutan dan agar terdakwa PT. Prima Makmur Batam yang
diwakili oleh RAMUDAH Alias AYANG Binti UMAR selaku Direktur
tidak melanjutkan melakukan kegiatan pembukaan dan pematangan
lahan, yaitu:
a) Surat Nomor: 522/05/DLHK/KPHL-BTM/2/2018, tanggal 19
Februari 2018, Hal pemberitahuan lokasi berada dalam Kawasan
Hutan Lindung.
b) Surat Nomor : 522/75/DLHK/KPHL-BTM/9/2018, tanggal 14
September 2018, Hal pemberitahuan lokasi berada dalam Kawasan
Hutan Lindung.
c) Surat Nomor: 522/113/DLHK/KPHL-BTM/12/2018, tanggal 20
Desember 2018, Hal Teguran I.

Meskipun sudah mendapat pemberitahuan dan teguran dari pihak KPHL


(Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Unit II Batam, namun terdakwa
PT. PRIMA MAKMUR BATAM yang diwakili oleh RAMUDAH Alias
AYANG Binti UMAR selaku Direktur tetap melanjutkan aktivitas
kegiatan pembukaan dan pematangan lahan di lokasi Kawasan Hutan
Lindung Sei Hulu Lanjai Kelurahan Batu Besar dan Kawasan Hutan
Lindung Tanjung Kasam (Duriangkang II) Kelurahan Kabil, Kecamatan
Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau untuk dibuat menjadi
kavlingan perumahan dan ruko. Berdasarkan hasil pengamatan dan
analisa laboratorium yang dilakukan oleh Ahli di Bidang Kerusakan
Tanah dan Lingkungan diperoleh kesimpulan kerusakan lingkungan yang
terjadi di Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai dan Hutan Lindung
Tanjung Kasam adalah sebagai berikut :

a. Telah terjadi kerusakan tanah dan lingkungan akibat pembukaan dan


pematangan lahan (untuk pembangunan rumah) di Kawasan Hutan
Lindung Sei Hulu Lanjai dan Hutan Lindung Tanjung Kasam oleh
PT. PRIMA MAKMUR BATAM.
b. Hasil pengamatan lapangan dan analisa kerusakan tanah akibat
pembukaan dan pematangan lahan (untuk pembangunan rumah) telah
terjadi kerusakan lingkungan karena telah masuk kriteria baku
kerusakan (PP Nomor 150 Tahun 2000) untuk kriteria kerusakan
parameter batu permukaan dan solum tanah.
c. Hasil pengamatan lapangan dan analisa kerusakan tanah akibat
pembukaan dan pematangan lahan (untuk pembangunan rumah) telah
terjadi kerusakan karena telah masuk kriteria baku kerusakan
(Kepmen Nomor: KEP-43/MENLH/10/1996) untuk kriteria
kerusakan parameter tanah dan vegetasi.
d. Hasil pengamatan lapangan dan analisa kerusakan tanah akibat
pembukaan dan pematangan lahan (untuk pembangunan rumah) telah
terjadi kerusakan karena telah masuk kriteria baku kerusakan
(Kepmen LH Nomor 201 Tahun 2004) untuk kriteria kerusakan
parameter penutupan hutan mangrove.
e. Hasil analisa tanah di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan
(ICBB) telah terjadi kerusakan tanah akibat pembukaan dan
pematangan lahan (untuk pembangunan rumah) karena telah masuk
kriteria baku kerusakan untuk parameter koloid (liat) dan pasir (PP
Nomor 150 Tahun 2000).

B. Tuntutan Penuntut umum


1) Menyatakan Terdakwa PT. PRIMA MAKMUR BATAM yang
diwakili olehRAMUDAH Als AYANG Binti UMAR (Direktur PT.
PRIMA MAKMUR BATAM) terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam
“Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf aUndang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, sebagaimana dalam Dakwaan
Penuntut Umum.
2) Menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa PT. PRIMA MAKMUR
BATAM yang diwakili oleh RAMUDAH Als AYANG Binti UMAR
(Direktur PT. PRIMA MAKMUR BATAM) dengan berupa pidana
denda sebesar Rp 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dengan
ketentuan apabila Terdakwa PT. PRIMA MAKMUR BATAM yang
diwakili oleh RAMUDAH Als AYANG Binti UMAR (Direktur PT.
PRIMA MAKMUR BATAM) tidak membayar denda tersebut dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan majelis hakim berkekuatan
tetap (inkracht) maka diganti dengan perampasan harta kekayaan /
aset milik Terdakwa PT. PRIMA MAKMUR BATAM yang diwakili
oleh RAMUDAH Als AYANG Binti UMAR (Direktur PT. PRIMA
MAKMUR BATAM) untuk dijual lelang melalui Kantor Lelang
Negara sesuai ketentuan perundang-undangan
3) Menetapkan barang bukti berupa :
1. 1 (satu) unit/buah plang atau papan milik PT. Prima Makmur
Batam yang berada didalam Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu
Linjai di Kelurahan Batu Besar Kec. Nongsa Kota Batam Prov.
Kepri dengan titik koordinat 1.14221 N dan 104. 10938 N;
2. 1 (satu) unit/buah plang atau papan milik PT. Prima Makmur
Batam yang berada didalam Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu
Linjai di Kelurahan Batu Besar Kec. Nongsa Kota Batam Prov.
Kepri dengan titik koordinat 1.04917 N dan 104. 10998 E;
Dirampas untuk dimusnahkan.
3. Lokasi 1 areal lahan terbuka dan bangunan seluas 5,627 Ha
4. Lokasi 2 areal lahan terbuka dan bangunan seluas 14,730 Ha
5. Laporan hasil Pengujian Nomor : ICBB.LHP.XI.2019.1109
Laboratorium Bioteknologi Lingkungan PT. Biodiversitas
Bioteknologi Indonesia ;
6. Laporan hasil Pengujian Nomor : ICBB.LHP.XI.2019.1118
Laboratorium Bioteknologi Lingkungan PT. Biodiversitas
Bioteknologi Indonesia ;
7. 1 (satu) berkas Laporan Hasil Pengujian Laboratorium
Bioteknologi Lingkungan PT. Biodiversitas Bioteknologi
Indonesia Nomor ICBB.LHP.VI.2021.0543 tanggal 22 Juni 2021
atas nama Ramudah selaku Direktur PT. Prima Makmur Batam ;
8. 1 (satu) berkas Laporan Pengujian Laboratorium Bioteknologi
Lingkungan PT. Biodiversitas Bioteknologi Indonesia Nomor
ICBB.LHP.VI.2021.0558 tanggal 28 Juni 2021 atas nama
Ramudah selaku Direktur PT. Prima Makmur Batam ; Terlampir
dalam Berkas Perkara.
4) Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah).

C. Amar Putusan
1.) Menyatakan terdakwa PT. PRIMA MAKMUR BATAM telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Dengan Sengaja Melakukan Perbuatan Yang Mengakibatkan
Dilampauinya Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Dilakukan Oleh Dan Atas Nama Badan Usaha”;
2.) Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa PT. PRIMA
MAKMUR BATAM yang diwakili oleh RAMUDAH alias AYANG
binti UMAR tersebut dengan pidana denda sejumlah Rp.
2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila pidana denda tersebut tidak dibayar dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak putusan majelis hakim berkekuatan hukum tetap
diganti dengan perampasan harta kekayaan/aset milik Terdakwa PT.
PRIMA MAKMUR BATAM yang diwakili oleh RAMUDAH Als
AYANG Binti UMAR untuk dijual lelang melalui Kantor Lelang
Negara sesuai ketentuan perundang-undangan;
3.) Menetapkan Barang Bukti (Tuntutan Penuntut Umum)
4.) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa PT. PRIMA
MAKMUR BATAM yang diwakili oleh RAMUDAH alias AYANG
binti UMAR sejumlah Rp5.000,- (lima ribu rupiah).

D. Analisis
Adapun dalam putusan tersebut Pasal yang dikenakan yakni Pasal 98
ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana diatu bahwasanya, Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Berdasarkan pasal yang
dikenakan Terdakwa telah melakukan delik materiil dalam UUPPLH,
dimana delik materiil merupakan dampak dari suatu perbuatan. Adapun
dalam hal ini pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Direktur
PT. Prima Makmur Batam yakni Ramudah alias Ayang dengan pidana
penjara selama 7 tahun dan denda sebanyak Rp 1 miliar, subsider 6 bulan
penjara. Berdasarkan hal tersebut Terdakwa terbukti, “Dengan Sengaja
Melakukan Perbuatan Yang Mengakibatkan Dilampauinya Kriteria Baku
Kerusakan Lingkungan Hidup Dilakukan Oleh Dan Atas Nama Badan
Usaha” dimana pertimbangannya sudah jelas diuraikan berdasarkan fakta
– fakta hukum yang terungkap dipersidangan baik berdasarkan surat
maupun keterangan saksi – saksi dan Terdakwa sendiri, sehingga
pertimbangan Hakim Tingkat Pertama tersebut dapat disetujui. Terkait
hal tersebut terdapat pula pengaturan pada Pasal 99 ayat (1) :Setiap orang
yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00(tiga miliar rupiah).

C. KESIMPULAN
Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak
pidana lingkungan hidup adalah karena tindak pidana korporasi di bidang
lingkungan hidup memiliki dampak negatif yang meluas dan kompleks sehingga
tidak hanya menimbulkan kerugian secara langsung pada masyarakat dan
lingkungan tetapi juga mengganggu stabilitas keuangan dan perekonomian
negara, mengingat tindak pidana lingkungan hidup tersebut dilakukan bermotif
ekonomi. Dampak terhadap masyarakat meliputi kerugian materi, gangguan
kesehatan, keselamatan, dan kerugian di bidang sosial dan moral, yaitu rusaknya
kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis. Dampak terhadap lingkungan
hidup yaitu tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup tersebut
menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat bersifat sementara maupun
permanen sehingga tindak pidana tersebut tidak hanya perlu ditegakkan secara
represif tetapi juga preventif. Dampak terhadap negara terkait dengan fakta
bahwa tindak pidana lingkungan hidup akibat aktifitas industri memiliki angka
kerugian finansial yang besar sehingga mengganggu stabilitas ekonomi negara
mengingat terjadi penurunan pendapatan negara karena adanya biaya pemulihan
pencemaran/ kerusakan lingkungan yang dikeluarkan negara.
Pola pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
lingkungan hidup dalam UU PPLH masih memiliki beberapa kelemahan
sehingga menjadi salah satu faktor penegakan tindak pidana korporasi di bidang
lingkungan hidup tidak efektif dimana hal ini terlihat dari masih banyaknya
korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Fakta ini
memunculkan beberapa gagasan terkait pola pemidanaan yang tepat untuk
diterapkan dalam penegakan hukum tindak pidana korporasi di bidang
lingkungan hidup, yaitu pengaturan ketentuan terkait pola pemidanaan yang
berdasar pada konservasi lingkungan hidup yang meliputi pemberatan pidana
denda, pengaturan pelaksanaan pidana denda, dan sanksi tindakan perbaikan
akibat tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andhy Yanto Herlan. Dakwaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korporasi di
Bidang Lingkungan Hidup, Perdana Media Group, 2008.
Andi hamzah. Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Rineka Cipta, Jakarta,
1991.
Atmasasmita, Romli, 2010, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis. Kencana Perdana
Media Group, Jakarta.
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali. Sistem Pertanggungjawaban Pidana:
Perkembangan dan Penerapan. Rajagrafindo Persada, Cetakan Pertama,
Jakarta, 2015.
Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum
Pidana. Ctk. Pertama, UPT Penerbitan dan Percetakan UNS, UNS Press,
Surakarta, 2008.
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dala
Justifikasi Teori Hukum,Prenada Media Group, Jakarta
Marjono Raksodipoetra. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014.
Mewengkang, E. (2014). Prinsip Tanggungjawab Perusahaan Terhadap
Pencemaran Lingkungan.
Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:
Kencana, 2010, hlm. 23.
Rahmadi. Hukum lingkungan di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014.

Jurnal
Anjari, Warih. "Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana."
Jurnal Widya Yustisia 1, no. 2 (2016): 247176.
Kurniawan, Ridho. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas
Strict Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan Hidup)."
Jurnal Yuridis 1, no. 2 (2017): 153-168.
Kusumo, Bambang Ali. "Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
di Indonesia." Wacana Hukum 7, no. 2 (2008).
Mardiya, Nuzul Qur'aini. "Pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam
tindak pidana lingkungan hidup/the regulation of corporate liability in
environmental criminal act." Jurnal Hukum dan Peradilan 7, no. 3
(2018): 483-502.
Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan.
P.A.F Lamintang dikutip dalam Widayati, Lidya Suryani. "Ultimum
Remedium dalam Bidang Lingkungan Hidup." Jurnal Fak ultas Huk um
UII 22.1 (2015): 1-24.
Putri, Tri Tuti Aditama, and Ismail Ismail. "Analisis Yuridis Terhadap
Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Pencemaran Lingkungan." JURNAL PIONIR 5, no. 4 (2019).
Ridwansyah, Muhammad. "Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al-Bi’ah)." Jurnal Hukum dan
Peradilan 6, no. 2 (2017): 173-188.
Siregar, Januari, and Muaz Zul. "Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana
Lingkungan Hidup Di Indonesia." Jurnal Mercatoria 8, no. 2 (2015):
107-131.
Suhartono, Slamet. "Corporate responsibility for environmental crime in
Indonesia." Journal of Law and Conflict Resolution 9.1 (2017): 1-8.

Anda mungkin juga menyukai