Neurotrauma Guideline 2014

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 119

PEDOMAN

TATALAKSANA CEDERA OTAK


(Guideline for Management of Traumatic Brain Injury)

Editor:

Joni Wahyuhadi

Wihasto Suryaningtyas
Rahadian Indarto Susilo

Muhammad Faris

Tedy Apriawan

Tim Neurotrauma
RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya,
2014
Tim Neurotrauma dan Kontributor
Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS
Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC
Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS
Dr. dr. Agus Turchan, SpBS
Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA
Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS dr.
Eko Agus Subagio, SpBS
dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS
dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS
dr. Muhammad Faris, SpBS dr.
Achmad Fahmi, SpBS
dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS
dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS dr.
Tedy Apriawan, SpBS
dr. Alfan Syah Putra Nasution dr.
Yusuf Hermawan
dr. Mohammad Kamil
dr. Geizar Arsika Ramadhana dr.
Yusnita Rahman
dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi dr.
Mochamad Rizki Yulianto
dr. Yudhistira Kaysa Karim dr.
Adi Wismayasa
dr. Gibran Aditiara Wibawa dr.
Fatkhul Adhiatmadja
dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo dr.
Wisnu Baskoro

Sekretariat Neurotrauma:
SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf
RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga
Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8
Surabaya
Telp: 031-5501325/ 5501304
Fax: 031-5025188 e-
mail: [email protected]
SAMBUTAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SOETOMO, SURABAYA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat


dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo –
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dapat
menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”
edisi kedua tahun 2014.

Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk


menjawab tantangan di bidang pelayanan, pendidikan,
penelitian dan pengembangan. Di bidang pelayanan,
pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang
berhubungan dengan penanganan cedera otak, sehingga
dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan
angka kecacatan dan kematian akibat cedera otak.

Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga
merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari
jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik
untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses pendidikan
dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.
Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga
memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa
fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum
semuanya terjawab dengan jelas.

Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para
klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis,
dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan kemajuan di
masa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb

SAMBUTAN

Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

dr. Dodo Anondo, MPH


DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat
menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, edisi
kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base Medicine
(EBM).

Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu


kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada
pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf. Cedera Otak adalah salah
satu kasus emergency bidang bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang
cepat,
tepat, dan akurat.

Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah,
merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya bagi
pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan
pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan
bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma.

Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis,
perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses
pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang telah ada
selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan wawasan
keilmuan.

Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku
pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya.
Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi
kemanusiaan. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM

KATA PENGANTAR

Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian
para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan perawatan
gawat darurat.

Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian.
Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai
12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara
3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke
tahun dan pada tahun 2013 sebesar 3 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah,
cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi
produktfitas dan kemajuan bangsa.

Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta


ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan kesehatan
di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah saraf, saraf
dan anestesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku
pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah dipahami. Buku ini
dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada saat
yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan dan ketepatan adalah
faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cedera pada
susunan saraf.
Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya
penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi
kemanusiaan.

Ketua Tim Neurotrauma


RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.

Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS.


DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA


SAMBUTAN
Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya
Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN 1
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN 3
III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES) 6
III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage 6
III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 6
III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution) 6
III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas 8
III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 8
III.3 Survey Sekunder 9
III.3.1 Anamnesis 9
III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum 9
III.3.3 Pemeriksaan Neurologis 10
III.4 Observasi 11
III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala 11
III.6 Pemeriksaan CT Scan 12
III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit 12
III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala 13
III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang 13
III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI) 13
III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1 14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA 15
IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan 15
IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang 16
IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat 17
V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA 18
V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang 18
V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline 22
V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter 26
Ventrikel
V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik 28
V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid 31
V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer 33
V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi 37
V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent 40
V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline 42
V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam 44
V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide 47
V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell) 49
VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN 50
(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)

VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) 50


VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH) 52
VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak 56
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior 58
VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii 60
VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury (DAI) 63
VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR 65
INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT)
VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi 65
VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial 66
VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK 72
VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi 72
VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial 75
VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat 80
VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial 83
VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK 87
VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB 89
VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri 91
IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA 99
IX. PENUTUP 103

Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd
edition. McGraw-Hill. New York, 1996

DAFTAR SINGKATAN

CBF : Cerebral Blood Flow


CMRO2 : Cerebral Metabolic Rate of O2

COB : Cedera Otak Berat

COR : Cedera Otak Ringan

COS : Cedera Otak Sedang

CPP : Cerebral Perfusion Pressure

CSF : Cerebro Spinal Fluid

CSS : Cairan Serebro Spinal

CT Scan : Computed Tomography Scanning

EDH : Epidural Hematoma

EVD : External Ventricular Drainage

GCS : Glasgow Coma Scale

HCU : High Care Unit

ICP : Intracranial Pressure

IRD : Instalasi Rawat Darurat


KRS : Keluar Rumah Sakit

LCT : Long Chain Triglycerides

LCU : Low Care Unit

MAP : Main Arterial Pressure

MCT : Medium Chain Triglycerides

MRS : Masuk Rumah Sakit

NSAID : Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs

PPI : Proton Pump Inhibitor

RCT : Randomized Control Trial

ROI : Ruang Observasi Intensif

SDH : Sub Dural Hematoma

SRMD : Stress Related Mucosa Damage

TBI : Traumatic Brain Injury

TIK : Tekanan Intra Kranial

AAN : American Academy of Neurology


I. PENDAHULUAN

Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf,
dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya
tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera
otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang
didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa
kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan
berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim syaraf
dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi
ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif, metode
neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari pasien
cedera otak.

Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius
di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.

Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data:

Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo


Th. 2002 - 2013
Tahun Ʃ penderita Ʃ penderita Total % Total kematian %
CO COB Kematian COB
2002 2005 455 225 11.22 169 37.14
2003 1910 467 210 10.99 127 27.19
2004 1621 275 134 8.27 81 29.45
2005 1670 199 103 6.17 65 32.66
2006 1588 195 98 6.17 49 25.13
2007 1231 159 75 6.09 30 18.85
2008 1339 196 81 6.05 38 19.34
2009 1487 209 76 5.11 29 13.87
2010 916 126 123 13.4 98 77.7
2011 1050 145 124 11.8 96 66.2
2012 1026 173 106 9.96 72 41.6
2013 1411 166 101 7.1 80 48.1

1
• Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara
6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar
literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.
• Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih
tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan
menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.

• Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien
cedera otak yang datang ke IRD.

Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr.
Soetomo menunjukkan bahwa cedera otak memerlukan penanganan yang
komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat
penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan
mortalitas.

Pembenahan Hospital Care meliputi:


1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:
a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran
(PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak.

b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider)


c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat
d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU)
e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris
2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara:
a. Sosialisasi Guideline
b. Peningkatan sistem rujukan
c. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cara pendidikan
berkelanjutan.

3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain


4. Evaluasi berkala

2
Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per
tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka
morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional.

Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini.

II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN

Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada
tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga
dengan membentuk tim neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf, anestesi,
peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat
Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan pengumpulan
data, identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi literatur serta
penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.

Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak di
RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan
intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.

Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi


tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C
(Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) :

A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau


intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat
prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari
penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard atau
standard (high degree of clinical certainty).

B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat
analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional,
kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan

3
guideline (moderate clinical certainty).
C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif,
serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus,
dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan option
(unclear clinical certainty).

Level of Evidence (pembuktian klas)

Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011


No level of Evidence finding
Evidence
1. I-a Evidence diperoleh berdasar hasil metaanalisis atau sistemik
review dari berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola
(randomized controlled trials Study / RCT)

2. I -b Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan


kontrol/kelola ( RCT)

3. II - a Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan


pembanding, tapi tanpa randomisasi

4. II - b Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian


dengan rancangan quasi-eksperimental

5. III Evidence berasal dari penelitian deskriptif non eksperimental


(studi komparatif, korelasi dan studi kasus)

6. IV Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun


pengalaman klinik ahli yang diakui.

KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 :


(Diagnostik maupun Tindakan)
1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B )
Rekomendasi : A
2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b)
Rekomendasi : B
4
3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV )
Rekomendasi : C
Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan.
Diharapkan secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter
spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya.

Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan
laboratorium serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin berubah
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian
pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan
klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.

Editor

III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES )

III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD


Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label
sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada
dokter jaga bedah saraf.

III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat


1. General precaution
2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation)
3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)

5
4. Pemeriksaan neurologis
5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6. Menentukan diagnosis pasti
7. Menentukan tatalaksana

III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution ) Perlindungan


umum (General precaution) terdiri dari :

a. Informed to Consent dan Informed Consent


b. Perlindungan diri
No Jenis Perlindungan
1. Mencuci tangan dengan antiseptik
- setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda
yang terkontaminasi
- segera setelah melepas sarung tangan
- diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda
2. Pemakaian sarung tangan
- jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau
benda – benda yang terkontaminasi
- jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak
3. Pemakaian Masker, dan goggles
- untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan
berhadapan dengan darah atau cairan tubuh
4. Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)
- untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh

- mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang


melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh
5. Linen
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi
- jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien
6. Alat perawatan pasien
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah terkontaminasi
dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta lingkungan
sekitarnya
- alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali
7. Kebersihan lingkungan
- area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan
menggunakan desinfektan
8. Benda tajam

6
-jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan
-jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya
-jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas
dengan tangan
- buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus.
10. Resusitasi pasien
- hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation
bags, atau alat bantu ventilasi lain.
11. Penempatan pasien
- pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan ditempatkan
pada ruangan khusus

Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities with
Limited Resources )

c. Persiapan alat dan sarana pelayanan

Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan dan
keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan yang
akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan
melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan sarana
yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.

III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas

Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan


perbaiki

A. Airway Patensi saluran napas ? Obstruksi ?


Suara tambahan ?
B. Breathing Apakah oksigenasi Rate dan depth
Efektif…. ? Gerakan dada
Air entry
Sianosis

7
C. Circulation Apakah perfusi Pulse rate dan volume
Adekuat …..? Warna kulit

Capilarry return
Perdarahan
Tekanan darah
D. Disability Apakah ada kecacatan Tingkat kesadaran
( status neurologis ) neurologis …? menggunakan sistem
GCS atau AVPU.

Pupil (besar, bentuk,


reflek cahaya,
bandingkan kanan-kiri)

E. Exposure Cedera organ lain… ? Jejas, deformitas, dan


(buka seluruh pakaian) gerakan ekstremitas.
Evaluasi respon terhadap
perintah atau rangsang
nyeri

Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak

III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak


1. Penanganan cedera otak primer
2. Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder
3. Optimalisasi metabolisme otak
4.Rehabilitasi
III.3. Survey Sekunder
III.3.1 Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah:
– Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
– Keluhan utama
– Mekanisma trauma
– Waktu dan perjalanan trauma
– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
– Amnesia retrograde atau antegrade

8
– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang,
vertigo

– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala


– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,
hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah

III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum


Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan
khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,


– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:

1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :

a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,
luka tembus dan benda asing.

b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill


hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe
serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.

c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima
orbita dan fraktur mandibula

d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan


bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.


Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.

9
III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera
kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan:

GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)


GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)
GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)
b. Saraf kranial, terutama:
• Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya,
reflek konsensuil  bandingkan kanan-kiri

• Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.


c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.

d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari
tanda lateralisasi.

e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek


tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.
III.4 Observasi
Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan
suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar
observasi neurologis sebagai berikut:

10
Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat
kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5 menunjukkan
bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan penanganan yang
kurang tepat

III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala


Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala
5. Kecurigaan luka tembus
6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak

11
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50
tahun.

III.6. Pemeriksaan CT Scan


Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :
1. GCS< 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
kejang.

3. Nyeri kepala, muntah yang menetap


4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ ) 9. Indikasi sosial

III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit


Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran


2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah

3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi


4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus
5. Fraktur tengkorak
6. CT scan abnormal
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit

8. Umur pasien diatas 50 tahun


9. Anak-anak
10. Indikasi sosial

III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala


Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan :
12
- Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
- Tidak ada gejala neurologis
- Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
- Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
- Ada yang mengawasi di rumah - Tempat tinggal dalam kota

III.9 Lembar Pesanan saat Pulang


Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera
dibawa ke IRD bila :

- Muntah makin sering


- Nyeri kepala atau vertigo memberat
- Gelisah atau kesadaran menurun
- Kejang
- Kelumpuhan anggota gerak

III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI)


Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI :
- GCS < 8
- GCS < 13 dg tanda TIK tinggi
- GCS < 15 dengan lateralisasi
- GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.
- Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi.
- Pasien pasca operasi
Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1
- pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan
transportable ( layak transport ).

- Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1

III.11 Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1


- Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi

13
- Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan
memerlukan observasi ketat.

- Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska


pindah dari ICU/ROI IRD.

14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK

IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan

Pasien

IRD 1. Stabilisasi airway, breathingdan sirkulasi (ABC)


2. Anamnesis, fisik diagnostik
3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi
4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi
5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi
6. Lapor jaga bedah saraf

• Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam


(anak < 2 tahun: D5 0.25 NS)
MRS di ruang • Puasa 6 jam
OPERASI
HCU - F • Obat simptomatik IV atau supp
• Observasi ketat sebagai pasien cidera
otak
• Catat keadaan vital dan neurologis bila
akan dikirim ke ruangan perawatan
ICU - ROI • Serah terima penderita serta informasi
lengkap keadaan penderita

VS. Stabil
Neurologis Stabil Cepat
memburuk

R. Perawatan ( LCU )

Resusitasi + Rediagnosis

KRS
ICU ROI - 1 Operasi

15
IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang IV.3 Algoritma
Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat
Operasi

Penderita

• Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang


collar brace
IRD • Lapor jaga bedah saraf
• Atasi hipotensidengan cairan isotonis, cari penyebabnya
• Pemeriksaandarah (DL, BGA, GDA, cross match )
• Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam
• Anamnesis,pemeriksaanfisik umum dan neurologis
• Obat simptomatikIV atau supp
• Bila telah stabil  CT scan kepala, foto leher lat, thorak
foto AP Pemeriksaan  radiologislain atas indikasi
• Pasang kateter, evaluasi produksiurine

Operatif ICU-ROI MRS di ruang HCU - F

Membaik Memburuk

• Stabilisasi + Resusitasi
VS. Stabil
• Rediagnosis cito
Neurologis Stabil

ICU - ROI Operasi


Ruang
Perawatan (LCU )
MRS di ICU
• Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi
• Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh
Penderita hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube
bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan cricothyrotomi dan
persiapan intubasi atau tracheostomi
• Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200 atau Spo2
>97 % ), pasang pipa lambung
• Pasang collar brace
• Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tandatanda
pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa..
• Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah). Cari
IRD penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.
• Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal
dan atau gagal jantung, manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit
atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga
osmolalitas darah < 320 mOsm.
• Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang
berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus10-18 mg/kgBB
encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB
• Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0 ,9 % ) 1,5 ml/kgBB/jam
pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas indikasi.
Lapor jaga bedah saraf . Pemeriksaan lab DL, BGA, GDA, cross match
• Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake
terakhir, alergi
• Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
• Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi
• Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine

16
• Tanda vital stabil CT scan kepala, dipasang bersamaan saat operasi emergensi
foto leher lat, thorak fot AP,
• Pemeriksaan radiologis lain atas
indikasi
• Pemeriksaan refleks batang otak. Hati- • Bila keadaan fungsi vital telah stabil
hati pada pemeriksaan reflek • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU
oculocephalik • Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita, obat-
• Pasang ICP monitor, pertahankan obatan yang diberikan dan rencana perawatan)
tekanan <15 mmhg.atau<22 cm H2O
pada pasien yang tidak ada indikasi
operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi-ROI R. HCU - F R. Perawatan ( LCU )
intrakranial indikasi operasi, ICP monitor

V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA

V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline 1) Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama
pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan
levetiracetam.

2) Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin


dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan
resiko kejang fase lanjut pasca trauma.

3) Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang


fase dini pasca trauma
Option :-

Penjelasan Rekomendasi :
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca
trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan
untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang
pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early type) pada pasien
yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau
Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada
fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun 2013 tentang
levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa levetiracetam
memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis kejang pasca

17
trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek samping yang lebih
sedikit.

Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:


1. GCS ≤ 10
2. Immediate seizures
3. Kontusio kortikal
4. Fraktur linier
5. Penetrating Head Injury
6. Fraktur depresi
7. Alkoholik kronis
8. Post traumatic Amnesia> 30 menit
9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom
10. Defisit neurologis fokal
11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun

Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan
resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah
trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan
kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin
yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk
mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.

Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis


500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading dose.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penilaian TP/DR Kesimpulan
1 Temkin Penelitian II/B Fenitoin hanya efektif untuk et al., 1990 randomized double
mencegah kejang dini pasca

blind untuk trauma mengetahui

18
efektifitas pemberian
feniotin untuk
mencegah kejang
pasca trauma

2 Golden N, Penelitian II/B Faktor resiko terjadinya epilepsi 1996


retrospektif dengan pasca trauma dini:

rancangan case -usia < 15 tahun


control study untuk -fraktur depress mengetahui -lesi
intrakranial

pengaruh faktor -defisit neurologis fokal risiko


terhadap angka kejadian epilepsi pasca trauma dini

3 Annegers Penelitian II/B Faktor resiko yang signifikan:


et al., 1998 retrospektif untuk - subdural hematom
mengetahui - skull factures
karakteristik cedera - amnesia lebih dari satu hari
otak yang - usia > 65 tahun
berhubungan
dengan timbulnya
kejang pasca trauma

4 Temkin Penelitian II/B Tidak didapatkan perbedaan


et al., 1999 randomized double yang signifikan untuk terjadinya blind untuk
kejang pasca trauma lanjut mengetahui pada pasien yang
mendapatkan

efektifitas fenitoin terapi fenitoin selama 1 minggu yang diberikan


dibandingkan dengan yang selama 1 minggu mendapatkan terapi
asam dibandingkan asam valproat selama 1 atau 6 bulan valproat
yang diberikan selama 1 atau 6 bulan sebagai profilaksis kejang
pasca trauma

5 Chang SB, Meta analisis II/B Pengobatan profilaksis dengan Lowenstein beberapa
penelitian Fenitoin, dimulai dengan dosis
19
DH, 2003 level l,ll untuk loading segera setelah trauma mengetahui
peranan efektif menurunkan resiko profilaksis obat anti kejang dini pasca
trauma. epilepsi pada Profilaksis tidak efektif untuk penderita cedera kejang
fase lanjut. Faktor resiko otak berat terjadinya kejang :
cedera otak berat, amnesia atau
tidak sadar berkepanjangan,
hematom intrakranial atau
kontusio serebri, dan fraktur
depress.

6 Torbic H Meta analisis II/B Profilaksis anti kejang efektif et al., 2013 penelitian
level I diberikan pada 1 minggu

dan II untuk pertama pasca trauma. mengetahui


Alternatif obat yang efektif efektivitas obat
adalah phenytoin dan obatan anti kejang
levetiracetam. dan faktor risikonya

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and treatments:
early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol.

Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309.


Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain lnjuries.
TheNEJM 1998

Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic


drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology.

Neurotogy 2003; 60:10-6.


Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma
Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah

Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996

20
Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post
traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502.

Temkin et al. Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a


randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593–600.

Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic brain injury.
Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66

V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis


Standard Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar
lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan
manitol

Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB. Pemberian


secara bolus dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB lebih dianjurkan
dibandingkan pemberian secara terus menerus

1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan ICP


Monitor jika didapatkan tanda-tanda herniasi transtentorial
atau terjadi penurunan kesadaran yang progresif. Serum
osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l untuk mencegah
terjadinya gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam
kondisi euvolemia dan dipasang katater urine untuk
memonitor produksi urine.

2) Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat


hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan
dengan manitol

Penjelasan Rekomendasi :
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat
menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK
me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe
“non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama
perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III

21
Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 –
1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol harus
dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah.
Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol.

Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis.


Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8
Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga
pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum <320 mmol/l.
Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis dan harus
dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat dikurangi
dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan secara bertahap.

Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam
setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan
peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat
menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang
lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat.

Komplikasi pemberian hipertonik salin diantaranya adalah rebound edema, kerusakan BBB,
penurunan tingkat kesadaran karena hipernatremia, dan central

pontine myelinolisis (CPM). Sodium laktat hipertonis dapat memberikan keluaran


pasien yang lebih baik dengan indikator Glasgow Outcome Scale, Barthel Index, dan
Karnoffsky Score bila dibandingkan dengan manitol dan dapat diberikan pada pasien
dengan kondisi syok.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Pembuktian (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Mendelow Penilaian pengaruh III/C Terjadi penurunan TlK, dan et al.,1985
pemberian manitol 20 peningkatan CBF dan CPP

22
% dengan dosis 0,25 -
0,5g/kg intravena
terhadap TlK. CPP dan

CBF
2 Gemma Prospective randomized II/B Hypertonic saline sama
et al., 1997 efektifnya dengan manitol
Clinical study dalam menurunkan edema
membandingkan efek otak selama proses operasi
bedah saraf
hypertonic saline 7,5 %
dengan manitol 20 %

3 Balafif F., Studi case control II/B Manitol secara bermakna


Bajamal A.H., Membandingkan antara menurunkan mortalitas COB
1999 pasien COB tipe "non
tipe “non surgical mass
surgical mass lession"
yang mendapat manitol lession” bila tidak ada episode
secara empiris dengan
hypotension atau hypoksia
tanpa manitol.
selama perawatan pada GCS

3-5 atau CT scan


menunjukkan kontusio grade
lll
4 Qureshi et Review dari literatur III/C Hipertonik saline
al., 2000 tentang hipertonik salin
menunjukkan efek yang
dalam terapi edema otak
dan hipertensi menguntungkan dalam hal
intrakranial penurunan TIK sekaligus
menjaga hemodinamik pada

penelitian klinis dan di


laboratorium
5 Faris M., Penelitian eksperimen I/A Hipertonik sodium laktat dan
Wahyuhadi J., dengan analisis manitol efektif dan aman
komparatif antara dalam pengobatan
2009
pemberian sodium laktat peningkatan TIK. Hipertonik
dengan manitol dalam sodium laktat lebih efektif
menurunkan TIK dibandingkan manitol

23
6 Ichai C, et Prospective open I/A Terapi dengan menggunakan
al., 2009 randomized study larutan sodium laktat
hiperosmolar lebih efektif
membandingkan terapi dalam menurunkan TIK bila
sodium laktat
hiperosmolar dengan dibandingkan dengan manitol
manitol dalam
menurunkan TIK pada
kasus cedera otak

7 Ardyansyah A., Penelitian eksperimen I/A Hipertonik natrium laktat


dapat menurunkan TIK lebih
Wahyuhadi J., dengan analisis komparatif
banyak dan lebih lama
2011 antara pemberian
dibandingkan manitol
Hipertonik natrium laktat
dengan manitol dalam
menurunkan TIK

8 Wakai et Randomized control trial I/A Pemberian manitol lebih baik


al., 2013 dengan pemberian dibandingkan dengan
pemberian pentobarbital dan
manitol pada pasien kurang menguntungkan jika
trauma akut cedera dibandingkan dengan
otak sedang dan berat
pemberian cairan hipertonik
saline. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel
Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan
Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi
dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf RSU
Dr Soetomo, 2011

Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada
penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr.
Soetomo Surabaya. 1999

24
Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium
Laktat dan Manitol terhadap Progresifitas Penurunan Tekanan
Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah

Saraf RSU Dr Soetomo,2009


Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Catvi MR, Cipriani A, Garancini MP.
7.5% Hypertonic saline versus 20% mannitol during elective neurosurgical
supratentorial procedures, J Neurosurg Anesthesiol, 1997;9(4):329 – 34

Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The
Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic
Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 – 479
Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004
Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion
pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9

Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive Guide.


McGraw Hill, 2007, p177 – 205

Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of cerebral
edema and intracranial hypertension, Crit Care Med,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13

Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain
injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013

V.3 Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan


Kateter Ventrikel
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option 1. Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter
ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi resiko infeksi
2. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan resiko
infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.

25
Penjelasan Rekomendasi :
Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan
pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi
ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada
pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi
pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari
penderita.

Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi sampai
dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum terbukti
menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak ada insiden
definitive terhadap infeksi CSF.

Cephalosporin generasi ke 1 dan 2 merupakan jenis antibiotik yang di rekomendasikan.


Pada trauma penetrasi craniocerebral, tidak didapatkan bukti yang mendukung
penggunaan antibiotik profilaksis namun para ahli menyarankan pemberian antibiotika
broad spectrum secara rutin berkaitan dengan beratnya komplikasi yang mungkin
terjadi.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Sunbarg et Analisa rertrospektif dari III/C Dari seluruh pasien
al.,1996 648 pasien yang memakai COB tidak ada insiden
definitive terhadap
TIK monitor. infeksi CSF.
142-nya adalah COB.
Tidak ada yang
mendapat antibiotik
profilaksis.

2 III/C
Holloway et Analisa retrospektif dari 61 pasien dengan
al.,1996 584 pasien cedera otak venticulostomy

26
berat berkaitan dengan ditemukan infeksi. Pada efek
penggantian kateter umumnya infeksi terhadap insiden
ditemukan pada 10 hari terjadinya infeksi pertama setelah

pemasangan
ventriculostomy. Tidak
ada pengaruh antara
kateter yang diganti setiap
5 hari atau tidak.

3 Arabi et Analisa terhadap insidens III/C Penggunaan antibiotik


al., 2005 infeksi lokal maupun sistemik
ventrokulostomy dan tidak menurunkan resiko evaluasi terhadap
faktor infeksi pada

resikonya. pemasangan kateter


ventrikel.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections:
Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.
Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of
monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg
1996;85:419–24.

Sundbarg G, Nordstrom C-H, Soderstrom S. Complication due to prolonged


ventricular fluid pressure recording. Br. J Neurosurg 1988;2:485–95.

Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong Journal of
Emergency Medicine

V.4 Rekomendasi penggunaan analgetik


Standard : Belum ada data pendukung

27
Guideline 1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien
trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari.

2. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa


diberikan per-oral.

3. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp bermanfaat


mengurangi nyeri pada COR.
Option 1. Belum ada data yang tidak membolehkan metamizol diberikan pada pasien
trauma kepala (Insiden agranulocytosis 92% terjadi pada 2 bulan
pertama pemakaian metamizol)

2. Indometasin dapat bermanfaat untuk menurunkan tekanan intrakranial


yang refrakter pada cedera kepala berat.

Penjelasan rekomendasi :
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien
cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa nyeri.
NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri
dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX).
Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam
menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar prostaglandin
terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat pula
menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.

Indometasin merupakan golongan NSAID yang mempunyai sifat anti inflamasi,


analgesik dan antipiretik melalui efek inhibisi reversibel terhadap enzim COX.
Indometasin dapat berfungsi sebagai terapi alternatif dalam manajemen peningkatan
tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi indometasin
dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial masih belum
dipahami sepenuhnya.

28
Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau 30
mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan dengan
dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan

1 Jacobi J Review literatur pada et al., II/B Ketorolac dan


2002 Medline search 1994-2001 untuk acetaminophen boleh
digunakan pada pasien
penyusunan trauma kepala
guideline dengan review
dari metaanalisis dan tabel
evidence

2 Hedenmalm III/C
Secara retrospektif Insiden agranulocytosis 92%
K et al.,
membahas laporan kasus terjadi pada 2 bulan
2002
agranulocytosis akibat pertama pemakaian
pemakaian metamizole metamizole

3 Roberts et Review : Peran III/C


al., 2002 indometasin pada Indometasin
penanganan cedera kepala dipertimbangkan pada
penanganan cedera kepala
dengan peningkatan TIK
yang refrakter

29
4 Prasetya H, eksperimental semu pada II/B Ketoprofen dan
Bajamal pemakaian ketoprofen dan
acetaminophen bermanfaat
acetaminophen pada COR
A.H., 2005 mengurangi nyeri pada

COR
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Hedenmalm K et al. Agranulocytosis and other blood dyscrasias associated
with dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol 2002;58(4):265-74.

Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and
analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm

2002;59(2):150-78
Prasetya H, Bajamal A.H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian
Paracetamol 650 mg Suppositoria denganKetoprofen 100 mg
Suppositoria terhadap Nyeri Kepala pada Penderita Cedera Otak
Ringan. Karya Akhir, 2005.

Roberts R, Redman J. Indomethacin - A Review of its Role in the Management


of Traumatic Brain Injury. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 271280

V.5 Rekomendasi penggunaan kortikosteroid


Standard : Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien
dengan COB. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan
menurunkan TIK pada pasien dengan COB

Guideline : Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak secara
statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna

Option : Tidak ada penurunan angka kematian dengan pemberian


metilprednisolon dalam 2 minggu setelah cedera kepala

Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor
kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau
30
meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid
tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian
reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga
terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu.

Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi
bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan
mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid dibeberapa
penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien
dengan cedera otak.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Kasan U., 1994 Penelitian prospektif II/B Outcome terapi dengan
komparatif penggunaan dan tanpa
dengan dan tanpa kortikosteroid pada
kortikosteroid pada pasien memar otak
pasien cedera otak secara statistik tidak
berbeda bermakna

2 Aiderson P., 1997 Penelitian Randomized I/A Review sistemik pada


Controlled Trials untuk RCT untuk
menilai kuantitas kortikosteroid pada
efektifitas dan cedera otak akut
keamanan tentang menunjukan efek yang
penggunaan tidak jelas
kortikosteroid pada
trauma kepala

31
3 CRASH trial Penurunan angka III/C Tidak ada penurunan
collaborators, kematian dengan angka kematian dengan
pemberian pemberian
2004 metilprednisolon dalam metilprednisolon dalam
2 minggu setelah cedera 2 minggu setelah
kepala cedera kepala

4. Alderson P., 2005 Penelitian Randomized I/A Penelitian yang terbesar


Controlled Trials untuk menyimpulkan
menilai kuantitas mortalitas dengan
efektifitas dan steroid pada penelitian
keamanan tentang ini menyarankan steroid
penggunaan tidak lagi digunakan
kortikosteroid pada rutin pada cedera otak
trauma kepala

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005
CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death within 14
days in 10 008 adults with clinically significant head injury

(MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004; 364:


1321–28

Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of


randomized controlled trials, BMJ 1997.

Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif


Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi 1994.

V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer


Standard : Baik propofol, midazolam, ataupun kombinasi keduanya dinyatakan
aman untuk pasien dengan trauma kepala.

32
Guideline 1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif
untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP.

2. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta


memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal.

3. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan


memberikan efek proteksi pada otak.
Option :-

Penjelasan rekomendasi :
Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak, dapat
memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan pasien
dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan yang
sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang ideal
haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke otak.
(ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak dan
reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah dalam
pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic window untuk
evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.

Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK.

Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3
mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20
menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan
510mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.

Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti infus siringe
pump (0.3-7.5 mg/kgBB/jam) atau thiopental 1-6 mg/kg/hr. Dexmedetomidine
diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit, diikuti dengan dosis
maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam.

Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions

33
Head injury, Head injury, Cerebrovascular Hepatic Alcohol
mechanical spontaneus accident encelophaty withdrawl
syndrome
ventilation,
breathing GCS
GCS ≤ 8 >8
Analgesia Opioids NSAID - - -
Sedation Midazolam Light sedation: Light sedation: Isoflurane for Midazolam
Propofol propofol & propofol & short periods Other
Barbiturates midazolam midazolam benzodiazepines
(Uncontrolled
Neuroleptic. Neuroleptic. Clonidine
ICP)
Phenothiazine Phenothiazine Neuroleptics
Clomethiazole
Antagonist No No No? Yes Yes
Monitoring Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions,
invasive neurologial neurologial neurologial neurological
haemodinamic functions functions functions, liver function.
monitoring, function tests
ICP SjO2

GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs; SjO2,
oxygen saturation of the jugular vein.

34
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Sanchez Meneliti safety dan I/A Baik propofol, midazolam, et al., 1998
efficacy penggunaan ataupun kombinasi keduanya propofol; midazolam
dinyatakan aman untuk pasien araupun kombinasi dengan trauma kepala.

propofol dan
midazolam pada pasien
trauma kepala

2 Karabinis Meneliti safety dan I/A Waktu pemeriksaan et al., 2004


efficacy sedasi neurologis lebih cepat dan berbasis analgesia lebih mudah
diprediksi dengan menggunakan menggunakan ramifentanil ramifentanil,
dibandingkan dengan kombinasi dengan penggunaan fentanil ataupun
midazolam dan morphin.

propofol
dibandingkan dengsn
fentanil, morphin
kombinasi dengan
midazolam dan
propofol di unit
perawatan
neurointensif.

3 Chen HI Meneliti penggunaan III/C Penggunaan barbiturat dapat et al., 2008


barbiturat terhadap meningkatkan oksigenasi

keadaan intractable jaringan otak pada penderita peningkatan TIK


dengan TIK yang meningkat ketika penggunaan pasca
trauma.

35
terapi sedasi dan terapi
osmotik gagal. 4
Shigemori
Pertimbangan
II/B Diazepam
dapat digunakan

M et al., penggunaan sedasi pada kasus epilepsy tetapi


2012 tidak cocok untuk
mengevaluasi tingkat
kesadaran. Midazolam
mengurangi CBF sehingga
cenderung aman dan efektif
untuk anestesiadan sedasi
pasien dengan peningkatan
ICP. Propofol memberikan
hasil yang baik dalam fungsi
sedasi serta memudahkan
dalam evaluasi fungsi
neurologis secara.

Dexmedetomidine merupakan
sedasi tanpa efek neurologis
dan memberikan efek proteksi
pada otak.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate
infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain
oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi:

10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06.

36
Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain
trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35

Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive


care unit patients with brain injuries: a randomized, controlled trial. Crit
Care.2004;8(4): 268 - 80.

Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the BrainFailure
Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park

GR and Sladen RN. Blackwell Science 1995. pp 130-144


Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al. Propofol versus Midazolam: safety and efficacy for
sedating the severe trauma patient. Anesth Analg.

1998;86(6):1219-24.
Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition.
Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head
injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo) 52,
1 – 30, 2012.

V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi


Standard : Pemberian nutrisi dini
Guideline 1. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total
harus tercapai dalam 7 hari setelah trauma.

2. Kebutuhan nutrisi pasien cedera otak yang tidak dilumpuhkan


sebesar 140% dari kebutuhan basal, dan pada pasien yang
dilumpuhkan sebesar 100% dari kebutuhan basal

3. Nutrisi dapat diberikan secara enteral dan parenteral


4. Sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein
5. Pemberian lemak sebaiknya yang merupakan kombinasi LongChain
Triglyserides (LCT) dan Medium-Chain Triglyserides (MCT)
Option : Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah
pengosongan lambung dan memudahkan pemberian dan terhindar
dari tercabut saat pasien gelisah karena letaknya yang jauh dari
wajah pasien

37
Penjelasan Rekomendasi :
Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga
membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding yang adekuat
karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien
dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian mana
yang paling baik

Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat
memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca trauma.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu setelah trauma)
berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan berat badan sebesar 15%
perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari ke-7, maka pemberian nutrisi
harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma atau cedera.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No. Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Calon B Meneliti nilai metabolik MCT II/B MCT memiliki efek et
al.,1990 dan LCT pada penderita menguntungkan

trauma kepala pada metabolisme


protein viseral pasca
trauma

2. Sarafzadeh Mengukur perubahan II/B Hiperventilasi et al.,2003 metabolik pada


penderita memiliki potensi

impending atau manifest terjadinya efek hypoxia pada


pasien cedera samping otak. Meneliti safety dan
metabolisma

efficacy penggunaan propofol cerebral. Keadaan dan


midazolam pada pasien metabolisme cerebral

trauma kepala anaerob tergantung


38
dari derajat dan
lamanya episode
hipoksik

3. Krakau K Systematic review mengenai I/A Hasil review et al., 2006 status
metabolik dan terapi menunjukkan

nutrisi pada penderita cedera peningkatan otak sedang –


berat metabolic rate,

hiperkatabolisme,
dan intoleransi
gastrointestinal
sampai 2 minggu
pasca trauma.
Kecenderungan
morbiditas dan
mortalitas yang lebih
rendah pada
penderita yang
mendapat early
feeding

4. Aaron M. Cook et Review artikel III/C Terapi nutrisi


al., 2008 termasuk pemberian
cairan yang tepat dan
monitoring elektrolit
yang ketat untuk
mencegah

kelebiihan cairan,
elektrolit atau glukosa
yang dapat
merugikan pasien.

39
5. Roger Hartl et Penelitian retrospektif pada III/C Jumlah nutrisi
al., 2008 pasien dengan cedera otak berat berhubungan dengan
dan pemberian nutrisinya mortalitas.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008
Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat
emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients.

Infusiontherapie.1990;17(5):246-8.
Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe
traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67.

Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic brain
injury. 2008
Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest cerebral
hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4) : 340-6

V.8 Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Supresssor


Agent
Standard : Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid supressive agent dengan
H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI), dan gastric

mucosal protector dapat membantu penurunan insiden perdarahan


gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD). Proton

pump inhibitor (PPI) lebih dianjurkan karena memiliki karakteristik


cara kerja dan durasi kerja yang lebih baik dibandingkan H2 Blocker
dan gastric mucosal protector
Guideline :-
Option :-

40
Penjelasan rekomendasi
Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden
perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH
asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site
of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih
lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde
(Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005)

Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50
mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena perinfus
dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector diberikan
dengan dosis 1 gr/6 jam.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 S Trippoli, Meta analisis dari I/A Pemberian ranitidine dan
et al., penelitian tentang sucralfat kurang efektif dalam
penggunaan ranitidine pencegahan perdarahan
2000 versus sucralfat dalam gastrointestinal yang
pencegahan stress ulcer disebabkan oleh stress ulcer

2 Michelle Meta analisis dari I/A Pemberian obat profilaksis


E, Allen, Randomized Controlled untuk pencegahan perdarahan
Trials tentang gastrointestinal yang
2004
profilaksis terapi disebabkan oleh stress ulcer
terhadap stress ulcer memberikan hasil yang sedikit
significan dalam menurunkan
insiden perdarahan
gastrointestinal

41
3 David C. Meta analisis dari I/A Pemberian regimen acid
Metz,2005 Randomized Controlled suppressive agent dapat
mencegah terjadinya SRMD
Trials tentang
dan stress ulcer dengan
penggunaan acid menjaga keasaman lambung.

suppressive agent untuk


pencegahan SRMD dan
stress ulcer
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-
Related Mucosal Disease. Medscape. 2005
Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of
HealthSystem Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress
ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79.

S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in intensive care


patients given ranitidine and sucralfate for prevention
of stress ulcer: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ
2000;321:1103-07

V.9 Rekomendasi penggunaan Citicoline


Standard : Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang
signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo
Guideline 1. Pemberian citicolin pada pasien sindroma post concussion,
ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala
pasca comotio

2. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca cedera


menunjukkan perbaikan yang bermakna
Option : Pemberian Citicolin pada jangka waktu lama setelah cedera
Otak dapat memberikan peningkatan kemampuan Kognitif

Penjelasan Rekomendasi :

42
Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi
biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak dan
menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin juga
berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase serta
menghambat enzim phospholipase A2.

Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka
lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post
concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat
diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil penelitian :

a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan


dengan kelompok placebo

b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin
dibanding tanpa pemberian obat tersebut
a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan adanya
pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian citicoline

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis 2 Calatayud MV,
1 Levin HS, 1991 Perez JB, Aso
Escario J., 1991

3 Spiers
PA,Hochanadel
G, 1999

43
Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan
nd II/B Hasil: adanya perbaikan tahun setelah cedera otak
dalam fungsi memori
pada pasien dengan
pemberian citicoline
dibanding dengan tanpa
pemberian obat tersebut

(p<0,02)

nd II/B Hasil: adanya perbaikan


dalam fungsimotor,
kognisi dan psikis serta
didapatkan adanya
pemendekan masa
waktu rawat inap pada
pasien dengan
pemberian citicoline

n III/B Citicoline memberikan


hasil perbaikan fungsi
kognisi setelah cedera
otak sedang dan berat.

44
4 Zafonte et al, CORBIT (The I/A Citicoline tidak
2009 Citicoline Brain Injury memberikan perbaikan
outcome yang signifikan
Treatment), suatu RCT
dibandingkan dengan
besar yang kelompok placebo

menilai efektifitas
pemberian citicoline
terhadap outcome
fungsional pasien
dengan cedera kepala

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J
Neurology Science.103: 539-42, 1991

Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with head


injury. JNeurology Science. 103: 515-18, 1991

Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two
cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999

Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal
of Neurotrauma 26:2207–2216 (December 2009)

V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam


Standard : Belum ada data pendukung
Guideline 1. Pemberian piracetam dengan dosis 24-30 gr/hari secara
bermakna dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis
pada pasien cedera otak.

2. Setelah pengobatan piracetam 8 minggu dengan dosis 4800 mg


ditemukan pengurangan tanda dan gejala sindroma post
concussional seperti vertigo, sakit kepala, kelelahan, gangguan
kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain.

45
3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 – 2400 mg/hari) memberikan hasil yang
positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada
parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan fungsi
koordinasi motorik

Option : Dosis tinggi piracetam (24-30 g/hari) memperbaiki kondisi pasien


jika pengobatan dimulai segera setelah cedera.

Penjelasan Rekomendasi :
Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif,
meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme
phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan
oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal

→ dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD.

Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera
dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis
dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30
gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan dosis PO 4,8
gr/hari.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

1 Hakkarainen Penelitian double-blind II/B Hasil: setelah pengobatan, 8


H., Hakamies dengan 60 pasien dengan minggu ditemukan
pengurangan tanda dan gejala
L., 1978 sindroma post concussion
sindroma post concussion
yang diberikan selama 212
seperti vertigo, sakit kepala,
bulan, dengan dosis 4800
kelelahan, gangguan
mq perhari.
kesadaran, peningkatan
kerinqat dan gejala lain.

46
2 Goscinski l, et Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari
al., 1998 kasus-kontrol untuk memberikan hasil yang positif
mengetahui efektifitas untuk memperbaiki kondisi
pemberian piracetam pada pasien yang dapat dilihat pada
100 pasien cedera parameter: partial oxygen

No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan


otak sedang dan berat pressure dan kadar gula darah
3 Goscinski l, Penelitian observasional III/C Hasil: dosis tinggi piracetam et al.,
1999 yang dilakukan pada tahun (24-30 g/hari) memperbaiki 1995-
1996 dengan jumlah kondisi pasien jika pengobatan pasien 100 orang
untuk dimulai segera setelah cedera.

mengetahui pengaruh
piracetam pada cedera
otak.

4 Zavadenko Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg NN, et al.,
case/control untuk (1600 – 2400 mg/hari)

2008 mengetahui efektifitas memberikan hasil yang positif pemberian


piracetam untuk memperbaiki kondisi pada 42 pasien
trauma pasien yang dapat dilihat pada kepala tertutup cedera
parameter kemampuan fungsi otak sedang dan berat kognitif
(memori, atensi) dan fungsi koordinasi motorik.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of postconcussional
syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978

Goscinski l, Sliwonik S, SondejT, KwiatkowskiS, Moskala M, CichonskiJ, Wegrzyn


D, Uhl H, Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol

Neurochir Pol Sep-Oct;32(5):1't 89-97, 1 998

47
Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T,
Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after
craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999

Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain injury
and piracetam efficacy in their treatment in adolescents.

Neurosci Behav Physiol; 108(3):43-8, 2008.

V11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptida


Standard Belum ada data yang mendukung
Guideline Belum ada data yang mendukung
Option Neuroprotektif pada cedera otak traumatik untuk mencegah dan
mengurangi cedera sekunder, serta meningkatkan proses
pemulihan dari cedera. Neuroprotektif ditargetkan untuk
mengurangi kerusakan otak dan memberikan harapan yang bagus
pada kasus cedera otak dan stroke.

Penjelasan Rekomendasi:
Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah dan
mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera, sedangkan
tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian saraf di daerah
penumbra. Ada mekanisme absolut dan relatif proses neuroprotektif. Mekanisme
relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi saluran sodium, modulasi
antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA reseptor, antioksidan, anti radikal
bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis adenosin. Mekanisme absolut meliputi :
faktor neurotropik, neurotrophic factor-like

molecules, sitokin.

Faktor neurotropik berperan dalam : pembangunan ontogenetik yang berperan dalam


kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator, saluran ion,

48
pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada tidak merusak
agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan daya tahan sel
neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia, eksisitotoksis, zat
toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan aktivitas sinaptik dalam
proses belajar

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Muresanu Review , neuroprotektif III/C Neuroprotektif meningkatkan
et al., 2007 pada cedera otak daya tahan sel neuron akibat
traumatik adalah untuk agen yang merusak
mencegah dan (hipoksia, iskemia,
mengurangi cedera hipoglikemia, eksisitotoksis,
sekunder, serta pada zat toksik, dan trauma)
proses pemulihan dari
cedera.

2. Teasdale, G.M Review, neuroprotektif III/C Konsep neuroproteksi telah


et al., 1997 ditargetkan untuk semakin luas diketahui
mengurangi kerusakan dengan memberikan terapi
otak dan memberikan sedini mungkin dan banyak
harapan yang bagus hal-hal baru yang diketahui
pada kasus cedera otak berperan dalam mekanisme
dan stroke cedera otak dan banyak
dikembangkan secara luas
obat neuroprotektan yang
punya target yang spesifik

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi

49
Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral
Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page: 154-
165

Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head


Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury. Editor
: Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal. London.
UK

V.12 Rekomendasi penggunaan sel punca (Stem Cell)


Terapi sel punca telah mengalami kemajuan signifikan sebagai strategi pengobatan
untuk berbagai penyakit selama dekade terakhir. Cedera otak dapat menyebabkan
kematian sebagian sel otak. Saat ini terdapat beberapa data dari banyak laboratorium
bahwa pengobatan cedera otak (TBI), stroke, perdarahan intraserebral, cedera tulang
belakang, dan penyakit neurodegeneratif menggunakan sel batang mesenchymal
(MSC) menghasilkan manfaat fungsional, meskipun tanpa mengurangi lesi,
menunjukkan bahwa sel-sel ini merangsang pemulihan fungsi dan merombak cedera
jaringan.

Tabel Pembuktian (Evidence) Clinical Trial


No Penulis Deskripsi Kesimpulan
1 Harting, T.M Penelitian Infus intravena sel punca mesenkimal
et al., 2008 prospektif tidak menghasilkan hasil yang
signifikan dari sel yang rusak atau
menggunakan proses pemulihan motorik atau fungsi
hewan coba tikus kognitif sampel.

50
2 Harting, T.M Penelitian Kombinasi sel punca embrionik
et al., 2009 prospektif pluripotentiality dengan beberapa
hasil diferensiasi sel germinal memiliki
menggunakan kerangka kerja konseptual yang baru
hewan coba tikus untuk perbaikan SSP.

3 Richardson Review Literatur Dengan paradigma baru neurogenesis


R.M et al., endogenik dan transplantasi
diferensiasi NPC memberikan harapan
2010
pada terapi penyakit destruktif SSP
seperti TBI dan SCI.

4 Tajiri N, et al., Experimental Penurunan yang signifikan dari


2014 menggunakan kerusakan dan kehilangan sel dari
korteks dan hippocampus pada terapi
hewan coba tikus
Intravenous transplants of human
adipose-derived stem cell

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of
traumatic brain injury. J Neurosurg 110:1186–1188, 2009., Departments
of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford Health System, Detroit,
Michigan

Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell
therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17,
2008

Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous
mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J. Neurosurg.
/ Volume 110 / Page 1189–1197 / June 2009

Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of
injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:1125–1138, 2010

Tajiri N, et al. Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell


protect the brain from traumatic brain injury-induced neurodegeneration

51
and motor and cognitive impairments: cell graft biodistribution and
soluble factors in young and aged rats. J Neurosci.

2014 Jan 1;34(1):313-26. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2425-13.2014


Vadivelu S., Platik. M.M., Choi L., Lacy M.L., Shah A.R. Multi-germ layer lineage
central nervous system repair:nerve and vascular cell generation by
embryonic stecells transplanted in the injured brain., J Neurosurg
103:124–135, 2005

VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN


(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)
VI.1 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Pengambilan keputusan operatif atau non operatif berdasarkan keadaan
klinis dan radiologis penderita. Indikasi pembedahan atau evakuasi
massa dilakukan bila terdapat efek massa dan penurunan fungsi
neurologi secara progresif
Indikasi pembedahan :
1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm,
atau pergeseran midline > 5 mm, atau

2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor

Waktu :
Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito
pembedahan atau evakuasi Metode :

Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan,
bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik

Penjelasan Rekomendasi :
Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala
awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif
52
dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau ketebalan
> 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan tindakan
pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan volume < 30 cc
dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan tindakan evakuasi.
Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm, pergeseran midline <5 mm
tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor dilakukan manajemen non
operatif yang agresif.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Mitesh V, 1998 Analisis Retrospektif III/C Pengambilan
terhadap 221 pasien keputusan
operatif atau non
EDH operatif
berdasarkan
radiologis dan
keadaan klinis
penderita
2 Bullock Manajemen III/C Evakuasi massa bila
et al., 2006 pembedahan ada efek massa dan
hematoma epidural penurunan fungsi
neurologi secara
progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery
2006;58:7-15

Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.Mitesh V. American Journal of Neuroradiology
1998;20:115-6

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw


Hill Co. New York.
53
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill
Co. New York.

VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline 1. Menurunkan TIK dengan drainase LCS transventrikel dan
monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi
dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10mm)

2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statitistik antara tindakan


operasi dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan
hematom subdural akut traumatika tipis.
Option : Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan
rekomendasi. Dengan indikasi pembedahan sebagai berikut:

Indikasi pembedahan :
SDH Akut
1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :
a. Dengan ketebalan > 10 mm
b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan
2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK 3)
Pasien SDH dengan GCS < 9 :

a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline, jika


mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat
kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit

b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed
c. Dan/atau TIK > 20 mmHg

SDH Kronis
1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau
kejang

2. Ketebalan lesi > 1cm

54
Waktu :
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan
secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi
hematom.

Metode :
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS
transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan
pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.

Penjelasan Rekomendasi :
Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama
pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%90%.
Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat,
kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi,
pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada
efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting
daripada tindakan evakuasi hematom.

Tindakan drainase LC S transventrikel lebih baik dibandingkan dengan


pembedahan evakuasi hematom dan dekompresi pada SDH tipis
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Wilberger Penelitian retrospektif analitik untuk II/B Kemampuan untuk
et al.,1991 mengetahui apakah operasi yang mengontrol TIK
dilakukan kurang dari 4 jam setelah lebih berpengaruh
trauma memberi hasil akhir yang terhadap hasil akhir
lebih baik dibandingkan
waktu pelaksanaan
evakuasi hematom

55
2 Widodo, Penelitian prospektif eksperimental II/B Tidak ada
Kasan U, untuk mengetahui perbedaan hasil perbedaan
akhir antara tindakan operasi dan
1999 bermakna secara
konservatif pada penderita cedera
otak berat dengan hematom
statitistik antara
subdural akut traumatika tipis.
tindakan operasi
dan konservatif
pada penderita
cedera otak berat
dengan hematom
subdural akut
traumatika tipis.

3 Hartanto, Penelitian prospektif analitik II/B Tindakan


Kasan U, evakuasi hematom dan dekompresi pembedahan
dibanding penanganan secara
2003
konservatif pada penderita dengan (evakuasi
cedera otak berat dengan hematom dan
komplikasi hematom subdural dekompresi) lebih
kurang dari 1cm dan efek massa baik daripada
lebih dari 5 mm. penanganan secara
konservatif.

4 Thohari K, Studi prospektif observasional II/B Tindakan drainase


Bajamal untuk mengetahui perbedaan CSF transventrikel
hasil akhir antara tindakan lebih baik
A.H.,
pembedahan evakuasi hematom dibandingkan
2006

dan dekompresi dengan drainase CSF dengan


transventrikel pada penderita dengan pembedahan
cedera otak berat dengan komplikasi evakuasi
hematom subdural hematom dan
dekompresi.
kurang dari 1 cm dan efek massa lebih
dari 5 mm.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

56
Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA

Greenberg, MS 2010, Handbook of Neurosurgery, 7th eds, Thieme, New York.


Hartanto RA, Kasan U. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural
akut tipis pada cedera otakberat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUDDr Soetomo. 2003

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC


Grow Hill Comp, New York.

Palmer JD. Head trauma in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New


York 1997. pp. 499-580

Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis
pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006

Valadka AB, Andrews BT, 2005, Neurotrauma: Evidence-Based Answers to


Common Questions, Thieme, New York, Stuttgart.

Widodo J., Kasan U. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita


dengan komplikasihematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera
otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS IIlmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah

Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999


Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity,
mortality, andoperative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.

VI.3 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Indikasi, waktu dan metode pembedahan

Indikasi pembedahan :
57
1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal
atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur
midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna.

2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc


3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi neurologis
yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang refrakter dengan
medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan.

Waktu dan Metode :


Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi fokal
dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy dekompresi bifrontal dalam 48
jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral edema
diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan pengobatan. Prosedur
dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal dan kraniektomy
dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan hipertensi
intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis dan
radiologis adanya impending herniasi transtentorial

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR kesimpulan
1 Soloniuk et Manajemen dan indikasi III/C Indikasi operasi dibuat
al, 1986 operasi ICH trauma berdasarkan data dari
yang ada dan waktu
kapan untuk dilakuan
evakuasi.

2 De Luca et Pengalaman pengarang IV/C Operasi dekompresi


al, 2000 penanganan pasien untuk peningkatan TIK

dengan peningkatan tekanan harus dilakukan


intracranial. sesegera mungkin,
sebelum keadaan yang
irrversibel terjadi.

58
3 Bullock Manajemen bedah pada et al., III/C Evakuasi massa segera
2006 perdarahan parenkim otak dilakukan bila ada efek

masa dan penurunan


fungsi neurologi progresif

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bullock et al. Surgical management of posterior fossa mass lesions.
Neurosurgery 2006;58:47– 55.
Cooper PR (ed), 1993, Head Injury, 3rd ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.

De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al. The role of decompressive craniectomy


in the treatment of uncontrollable post-traumatic intracranial
hypertension. Acta Neurochir Suppl 2000;76:401-4.

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 Neurotrauma, MC Graw


Hill Comp, New York.

Palmer JD. Head Trauma in Manual of Neurosurgery Churchill Livingstone, New


York 1997. pp 499-580

Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al. Traumatic intracerebral hematomas:
timing of appearance and indications for operative removal. J Trauma
1986; 26:787-94.

59
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed MC Graw Hill
Comp New York.

VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Indikasi, waktu dan metode pembedahan

Indikasi pembedahan :
1) Pasien dengan efek massa pada CT Scan kepala.
Efek massa ditandai dengan :
a) Kompresi atau obliterasi ventrikel IV
b) Kompresi atau hilangnya sisterna basalis, atau
c) Hidrosefalus obstruktif
2) Pasien dengan defisit neurologis

Waktu :
Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan segera
bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi yang progresif dan penderita
dengan GCS > 8 memiliki prognosa / outcome yang lebih baik Metode :

Kraniektomi suboccipital merupakan metode yang banyak dipakai dan


direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior

Penjelasan Rekomendasi :
Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari seluruh
cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa posterior
didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang fossa
posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.

60
Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik. Terapi
konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior

Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak didapatkan
defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat diterapi konservatif
dengan observasi ketat dan CT scan serial
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Kizikilc et Laporan kasus pasien III/C Terapi konservatif
al., 2003 SDH trauma fosa dapat dilakukan secara
posterior dengan kista selektif pada kasus
arakhnoid SDH fosa posterior

2 Avella et Laporan kasus 24 pasien III/C Pada pasien dengan


al., 2003 SDH trauma fosa GCS > 8 yang segera
posterior dilakukan operasi
memiliki outcome yang
lebih baik

3 Bullock et Manajemen bedah lesi III/C Evakuasi massa yang


al., 2006 massa fosa posterior dari segera bila ada efek
analisa 24 dokumen masa dan penurunan
medline secara review fungsi neurologi
sistematis progresif

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Avella et al. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa :
Clinicoradiological analysis of 24 patients. 2003.
Bullock et al. Surgical management of Posterior fossa mass lession.
Neurosurgery 2006;58:47-55

Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA

61
Kizikilc et al. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with
an Arachnoid Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003; 29: 242-
6

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw


Hill Co. New York.

Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw
Hill Co. New York.
VI.5 Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii

Standard : Belum ada data yang mendukung


Guideline : Pemberian antibiotika profilaksis untuk pencegahan meningitis
pada fraktur basis cranii tidak bermakna dibandingkan placebo

Option : Penatalaksanaan Fraktur basis cranii terdiri dari perawatan


konservatif dan atau tindakan pembedahan

Indikasi pembedahan :
1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis.
2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule
3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah
4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

Waktu :
Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir
menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak
LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi
insiden infeksi Metode :

Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell
tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki atau
dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang terbentuk
diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal. Tindakan operasi
untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa posterior, menelusuri

62
tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang petrosus. Diusahakan
melakukan penutupan primer, namun bila tidak memungkinkan dapat dilakukan graft
fascia lata atau graft lemak atau otot untuk menutupi defek. Tindakan operasi untuk
Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yamg diketahui dengan tindakan
diagnostik radiologis.

Penjelasan Rekomendasi :
Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang
persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan
pendengaran, atau kebutaan.

Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama 5 hari


untuk memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir
menganjurkan pemberian PNC 1-2 juta unit/hari pada kasus kebocoran LCS. Kultur
nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur.
Pasien dipertahankan dalam posisi bed rest total dengan elevasi posisi the head of
bed, untuk mengurangi aliran LCS.

Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi
konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS
perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan
secara spontan.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

No Penulis Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan

63
1 Turchan A. Prospektif case control II/B Pemberian obat antibiotik
1995 insiden propilaksis untuk
pencegahan meningitis
meningitis pada pada fraktur dasar
pemberian antibiotik tengkorak tidak bermakna
pada fraktur dasar dibandingkan placebo.
tengkorak

2 Katzen T. et Review beberapa III/C Penanganan fraktur dasar


al., 2007 penelitian tentang tengkorak dapat

fraktur dasar dilakukan dengan tengkorak konservatif


bila tidak

didapatkan indikasi
pembedahan.
3 Bachli H, et Review beberapa III/C Penanganan pembedahan
al., 2009 penelitian mengenai dari fraktur basis kranii
tingkat keparahan secara bermakna dapat dari fraktur
basis didasarkan dari tingkat

kranii keparahannya (CMF-ISS)

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with
correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial
classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37:
305-311

Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.

Greenberg, Mark S. 2010. Handbook of NeuroSurgery 7th Ed. Thieme Publishers,


pp 887-889.

Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK.

64
Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull Base
lnstitute'

Kaye AH. Essential Neurosurgery.Blackwell Publishing, Ltd. Massachusetts. 2005


pp 50-51

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC


Grow Hill Comp, New York.

Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal


Mencegah Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah Tulang
Dasar Tengkorak.Laboratorium llmu Bedah RSUD Dr Soetomo. Fakuhas
Kedokteran UniversitasAirlangga. 1995

Wahyuhadi J, dkk. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Tim Neurotrauma RSUD


Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007, pp 5, 31-
32

VI.3 Rekomendasi Pembedahan pada Diffuse Axonal Injury (DAI)


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline 1. Pasien dengan DAI tanpa lesi massa memiliki tekanan
intrakranial yang normal sehingga pemasangan ICP monitor
tidak diperlukan

2. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal


injury dan menurunkan terjadinya vasospasm.
Option :-

Penjelasan Rekomendasi :
Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus diintubasi
atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan oksigen
dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien harus
mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau klinis

65
pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan midazolam
i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine.

Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan


menurunkan terjadinya vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap
4 jam segera setelah pasien masuk RS

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Farhaoudi M Efek nimodipine pada II/B Nimodipine memperbaiki
et al., 2007 hemodinamik cerebral, prognosis pasien dengan
vasospasm dan prognosis diffuse axonal injury dan
jangka pendek pasien menurunkan terjadinya
dengan diffuse axonal vasospasm.
injury

2 Liew B et Keluaran pasien cedera otak II/B Pasien dengan DAI tanpa
al., 2009 berat dengan diffuse lesi massa memiliki
tekanan intrakranial yang
axonal injury yang diterapi normal sehingga
dengan manajemen pemasangan ICP monitor
ICPCPP dibandingkan
terapi

konservatif di RS. Sultanah tidak diperlukan bila


Aminah, Johor Bahru dibandingkan dengan
bentuk cedera otak berat
yang lain. Keluaran pasien
dengan diffuse axonal
injury yang diterapi secara
konservatif lebih baik
dalam hal lama rawatan di

RS/ICU dan perbaikan


GCS

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

66
Referensi
Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and
prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol. 12
(4)

Liew B et al., Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients withDiffuse


Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah Aminah,

Johor Bahru – An Observational Study. Med J Malaysia Vol . 64 No. 4


December 2009

VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL


(GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND
TREATMENT )

VII.1 Indikasi pemasangan alat pantau tekanan intrakranial-


Ventrikulostomi
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mmHg
atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan lebih baik
dinilai dari status kognitif.

Option : Indikasi dan metode pemasangan ICP monitor

Indikasi :
1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah proses
resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio, edema serebri
atau penyempitan sisterna basalis).

2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika
didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut : a. Usia > 40 tahun

b. TDS < 90 mmHg


c. Postural bilateral atau unilateral

Metode:

67
Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler,
dengan lokasi insersi pada titik kocher.

Penjelasan Rekomendasi :
Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan
oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak
yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan
hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP adalah dengan
memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.
Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau lebih
rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Randall M. Monitoring tekanan II/B Pasien dengan cedera kepala
et al., 2012 intrakranial berat dengan tekanan intra
dipertimbangkan kranial 20 mm Hg atau lebih
sebagai terapi standar rendah memberikan
untuk pasien cedera outcome yang signifikan
kepala berat dinilai dari status kognitif.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC


Grow Hill Comp, New York.

Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New


York 1997. pp 499-580

Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.

68
Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring in
Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81.

Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw Hill
Comp New York.

VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Beberapa option dalam penanganan ICP

Penjelasan rekomendasi :
Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta
Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:

• Pemasangan ICP Monitor


• Menjaga CPP>70 mmHg
• Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)
• Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB
• Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg
• Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCo2<30mmHg,
Hypothermia, Decompressive Craniecktomy.

69
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I

Pemasangan
ICP
Monitor

Menjaga

70
CPP>70mmHg

Hipertensi
TIK

CT Pertahankan
Manitol
Scan
ulang terapi
0.25-1.0
TIK
- g/KgBB

ya tidak
Hipertensi
TIK?

Hiperventilasi sampai
PaCO2 30-35mmHg
-

ya tidak
Hipertensi
TIK?

Terapi tersier
penanganan TIK

Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma
November 1996)
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II

71
Sedasi dan analgesik

Penggunaan Ventilator
(PaCO2 30-35 mmHg, PEEP ) sampai
- 10 cmH2O

Head 30° dengan


Up yang leher
Terapi Dasar lurus

Terapi Lanjutan

Manitol

Cairan hipertonik THAM

Drainase
CSF

Decompressive Craniectomy

Koma dengan
barbiturat

Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions. 2004

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III

72
Sedasi

Drainase
CSF

Manitol

Mild -
Hiperventilasi
hipothermi -
32

Hiperventilasi agresif

Barbiturat

Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Pengarang Diskripsi TP/DR Kesimpulan

73
1 Bullock et Jalur kritis III/C Sesuai skema I, drainase CSF
al., 1996 penanganan TIK setelah itu manitol
2 Peter Reilly, Algoritma penanganan III/C Skema III,drainase CSF dulu
1997 TIK baru pemberian manitol

3 Valadka et Algoritma penanganan III/C Sesuai skema II, pemberian


al., 2004 TIK manitol setelah itu drainase

CSF
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,
Journal of Neurotrauma,November 1996.

Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury,


1997

Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004

VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIK PADA ANAK

VIII.1 Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi

Standard : Belum ada data yang cukup


Guideline : Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi
Option : Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS ≤
8

Penjelasan Rekomendasi :
Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5
persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS (persentil
kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x Usia dalam
tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan End-tidal
74
CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala. Hipoksia
didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau saturasi oksigen
90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya

hipoksia pada anak-anak.

Hipoventilasi didefenisikan sebagai pernafasan yang tidak adekuat sesuai usianya,


pernafasan yang tidak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau
didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol

jalan nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%.

Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda


penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak
disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera
lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan
kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskuler perifer sulit
didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan.

Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak
hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi,
sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek
berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia, hipotensi
dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia meningkatkan angka
mortalitas secara signifikan

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan

75
1 Fisher et Penelitian double-blind cross III/C Cairan hipertonis saline
al, 1992 over membandingkan 3% dapat menurunkan
TIK dan mengurangi
penggunaan cairan saline intervensi yang lain (
3% (1025 mOsm/L) dan thiopental dan
0,9% (308 mOsm/L) pada hiperventilasi). Kadar
anak dengan cedera otak Serum sodium
berat meningkat sekitar 7
mEq/L setelah
pemberian saline 3%

2 Khanna Studi prospektif tentang III/C Terjadi penurunan yang


et al., 2000 penggunaan cairan signifikan pada TIK dan
hipertonis saline 3% (1025 peningkatan CPP selama
pemberian cairan saline
mOsm/L)
3% Timbulnya
hipernatremi dan
hiperosmoler dapat
ditoleransi secara aman
pada pasien anak-anak

3 Peterson Penelitian retrospektif untuk III/C Cairan hipertonis Saline


et al., 2000 mengetahui efek cairan 3%efektif dalam
hipertonis Saline 3% dalam menurunkan TIK
menurunkan TIK

4 Simma Penelitian prospektif random III/C Pasien yang diterapi


et al., 2000 terbuka membandingkan dengan salin hipertonis
penggunaan saline memerlukan intervensi

hipertonis (598 mOsm/L) tambahan yang lebih dengan ringer


laktat yang sedikit dibandingkan diberikan lebih dari 3 hari
dengan pemberian pada 35 anak dengan dengan
ringer laktat cedera otak berat dalam mengatur TIK.

76
Group dengan pemberian
salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan penggunaan
ringer laktat 5 Sakellaridis Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada
perbedaan et al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi

mannitol dan saline baik dalam hal hipertonis terhadap


penurunan ICP dan

hipertensi intrakranial pada durasi kerjanya pasien


dengan cedera otak berat

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992;
4 : 4-10

Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment


of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric
traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al . Prolonged hypernatremia controls elevated
intracranial pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med
2000; 28 : 1136 -1143

Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and


hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg
2011; 114 : 545-548

Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study


of fluid management in children with severe head injury : Lactated
Ringer’s solution versus hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 :
1265-1270

77
VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial
Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option : ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera otak berat

Penjelasan Rekomendasi :
ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita
COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari
keadaan berikut :

1) Motor posturing
2) Hipotensi sistemik
Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan terjadinya TIK yang tinggi atau menyingkirkan
penggunaan ICP monitor

ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT untuk
mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau tanpa
pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan resiko
kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg

(anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek


Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan
dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan
cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF,
mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi
berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan

78
1 Eder et al., Studi retrospektif pada III/C Anak-anak dengan
2000 anak dengan cedera otak cedera pada batang otak
dan TIK > 40 mm
berat. berhubungan dengan
kematian dan kondisi
Membandingkan
vegetatif yang tinggi.
beberapa faktor dan TIK
monitor terhadap
outcome

2 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline


et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam
menurunkan TIK.
cairan hipertonis Saline

3% dalam menurunkan
TIK
3 Downard Penelitian retrospektif III/C TIK > 20 mmHg
et al., 2000 pada anak yang dilakukan berhubungan dengan
peningkatan resiko
pemasangan kematian
TIK
4 Chambers Penelitian observational III/C TIK > 35 mm
et al., 2001 pada pada anak-anak dan merupakan prediktif
dewasa yang dilakukan faktor untuk hasil akhir
TIK dan CPP monitor yang jelek pada anak
dan dewasa

5 White et Penelitian retrospektif dan III C 14% survivor pada


al., 2001 observasional terhadap kelompok 1 dan 41%
136 pasien di NICU dan
PICU dengan nonsurvivor pada
kelompok 2 memiliki ICP

79
ICP monitor > 20mmHg pada 72 jam
pertama.

ICP pada 6 jam, 12 jam


dan 24 jam pertama
yang rendah
berhubungan secara
signifikan dengan
outcome yang baik.

6 Cruz et al., Penelitian retrospektif III C ICP yang tinggi pada hari
2002 mengenai efek dari 1-5 pertama,
pemasangan ICP pada berhubungan dengan
pasien pediatric penurunan ekstraksi
oksigen otak dan
prognosis yang buruk.

7 Pfenninger, Penelitian retrospektif III C Hipertensi intrakranial


Santi, 2002 mengenai hubungan sebanding dengan
prognosis buruk.
pengukuran ICP dan
monitoring tekanan vena
jugular dengan outcome
pada pasien

pediatric
8 Adelson et Penelitian rondomized IIIC ICP > 20 adalah
al, 2005 controlled trial terapi prediktor buruk untuk
prognosis yang paling
hyptotermi dan normotermi sensitif. Rerata ICP yang
pada terapi peningkatan rendah berhubungan
TIK pada pasien pediatric dengan prognosis yang
baik

9 Wahlstrom
 et Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak


mengenai terapi monitoring terbukti adanya
al, 2005
ICP menggunakan protokol hubungan signifikan
antara ukuran ICP dan

80
Lund pada pasien pediatri outcomen pasien.

10 Stiefel M, et Penelitian retrospektif III/C Pemasangan monitor


al, 2006 pada pasien anak-anak PO2jaringan merupakan
yang dilakukan
pemasangan monitor TIK tambahan yang berguna
dan PO2 jaringan dan aman pada
pemasangan monitor

TIK
11 Grinkeviciute et Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak
al, 2008 satu senter mengenai ada perbedaan outcome
hubungan beberapa terapi
TIK tinggi pada pasien pada kelompok dengan
pediatri tekanan ICP rerata baik
(22.2mmHg) dan buruk

(24.6mmHg)
12 Jagannathan et Penelitian observasional III C Outcome yang baik
al, 2008 mengenai terapi berhubungan dengan
pemasangan ICP dalam manajemen kenaikan
hubungannya dengan TIK yang baik.
tindakan craniektomy
dekompresi pada pasien
pediatric

81
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia after severe traumatic brain injury in children. Neurosurgery
2005; 56:740 –754; discussion 740 –754

Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of


cerebral perfusionpressure and intracranial pressure in severe brain injury
by using receiver operatingcharacteristic curves : An observational study
in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :412-416

Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and intracranial
hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma:
Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –
779; discussion 779 –780

Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion pressure


and survival in pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-
659

Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs
Nerv Syst 2000;16: 21-24

Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial


pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic
brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125

Jagannathan J, Okonkwo DO, Yeoh HK, et al: Long-term outcomes and


prognostic factors in pediatric patients with severe traumatic brain injury
and elevated intracranial pressure. J Neurosurg Pediatr 2008; 2:240 –249

Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated


intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med
2000; 28 : 1136 -1143

82
Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results
improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120

Stiefel M, Joshua D, Storm P, et al : Brain tissue oxygen monitoring in pediatric


patients with severe traumatic brain injury. J Neurosurg 2006; 105:281-
286

White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely headinjured


children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540

Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain injury
in pediatric patients: Treatment and outcome using an intracranial
pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive Care Med 2005;
31:832– 839

VIII.3 Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat


Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option 1. Hipertensi intrakranial didefenisikan sebagai peningkatan patologis
pada TIK
2. Tatalaksana segera dimulai bila TIK ≥ 20 mmHg
3. Interpretasi dan terapi hipertensi intrakranial didasarkan pada titik
kritis TIK yang dikaitkan dengan : pemeriksaan klinis, pemantauan
variabel fisiologis misal CPP dan foto serial

Penjelasan Rekomendasi :
Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap
outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi
peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK <
20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan COB
belum dapat ditegakkan

83
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)

No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan


1 Shapiro and Studi prospektif non random III/C Peningkatan TIK >20
Marmarou, menentukan hubungan mmHg berbanding
1982 antara TIK dan PVI (Pressure terbalik dengan PVI

Volume Index) (Pressure Volume


Index)
2 Cho Penelitian retrospektif pada III/C Outcome yang jelek
et al., 1995 shaken baby syndrome pada bila TIK > 30 mmHg
pasien < 2 tahun, yang
dipasang TIK / operasi. dibandingkan TIK <

20 mmHg
3 Sharples et Penelitian prospektif. III/C CBF berbanding
al., 1995 Mengetahui hubungan antara terbalik dengan TIK

CBF dengan TIK

4 White et Penelitian retrospektif dan III/C 14% survivors dan


al., 2001 observasional terhadap 136 41% nonsurvivors
pasien di NICU dan PICU dengan
ICP monitor memiliki ICP >

20mmHg pada 72 jam


pertama. ICP pada 6
jam, 12 jam dan 24
jam pertama yang
rendah berhubungan
secara signifikan
dengan outcome yang
baik.

84
5 Cruz et al., Penelitian prospektif pada terapi III C
2002 monitoring ICP pada pasien
pediatri.

Rerata ICP 15-21


mmHg pada hari ke 25
didapatkan pada
kelompok pasien
pasien dengan
outcome yang baik.
Rerata ICP 19-26
mmHg pada hari ke 25
didapatkan pada
kelompok pasien
dengan outcome yang
buruk.
6. Pfenninger, Penelitian retrospektif III C Hipertensi intrakranial
Santi, 2002 mengenai hubungan dengan tinggi > 20
pengukuran ICP dan mmHg sebanding
monitoring tekanan vena dengan prognosis
jugular dengan outcome pada buruk.
pasien pediatric

7 Adelson et Penelitian rondomized controlled IIIC Rerata ICP pada anak-


al., 2005 trial terapi anak dengan

hyptotermi dan normotermi prognosis baik (11.9


pada terapi peningkatan TIK + 4.7 mm Hg) vs
pada pasien pediatri prognosis buruk
(24.9 + 26.3 mm
Hg). Ukuran ICP >
20 mmHg sebanding
dengan prognosis
buruk

85
8 Kan et al., Penelitian prospektif untuk III/C Pasien yang
2006 mengetahui mortalitas dan dilakukan
morbiditas pada pasien kraniektomi
anakanak dengan cedera otak dekompresi hanya
berat yang dilakukan untuk peningkatan
kraniektomi dekompresi TIK memiliki
mortalitas yang tinggi

9 Grinkeviciute Penelitian observasional satu et III C Tidak ada perbedaan


al., 2008 senter mengenai hubungan outcome pada
kelompok dengan
beberapa terapi TIK tinggi pada tekanan ICP rerata
pasien pediatri

baik (22.2mmHg) dan


buruk (24.6mmHg)

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

86
Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia after severe traumatic brain injury in children. Neurosurgery
2005; 56:740 –754; discussion 740 –754

Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact


baby syndrome. Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198

Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and


intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma:

Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774


–779; discussion 779 –780
Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial
pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic
brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125

Kan P, Amini A, Hansen K, et al : Outcome after decompressive craniectomy


for severe traumatic brain injury in children. Journal Neurosurgery:
Pediatrics 2006; 105:337-342

Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results


improving? . Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120

Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on


treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825

Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and
metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to
age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time
after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152

White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely headinjured


children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540

VIII.4 Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan


Intrakranial
87
Standard : Pemberian manitol lebih baik dibandingkan dengan pemberian
pentobarbital dan kurang menguntungkan jika dibandingkan
dengan pemberian cairan hipertonik saline.

Guidelines : Tidak ada perbedaan diantara mannitol dan saline hipertonis


terhadap hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera otak
berat dalam hal penurunan ICP dan durasi kerjanya

Option : Cairan hipertonis NaCl 3% dan manitol dapat digunakan untuk


mengendalikan TIK

Penjelasan Rekomendasi :
Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak.
Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme :
1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi resultante
diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK ( bersifat
sementara < 75 menit )

2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti pergerakan
air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul sekitar > 6
jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak

Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan
penggunaan manitol :

1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan


2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli
3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L

Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi
yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan
pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan
ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan
penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam-
1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L. Kadar serum
sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%. Timbulnya
hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak.
88
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Fisher et Penelitian double-blind cross III/C Cairan hipertonis saline
al., 1992 over 3%dapat menurunkan
membandingkan TIK danmengurangi
penggunaan cairan saline intervensi yanglain
3% (1025 mOsm/L) dan (thiopental
0,9% (308 mOsm/L) pada danhiperventilasi). anak
dengan cedera otak Kadar Serum

berat. sodiummeningkat sekitar

7 mEq/Lsetelah
pemberian saline3%

2 Khanna Studi prospektif tentang III/C Terjadi penurunan yang et al.,


2000 penggunaan cairan signifikan pada TIK dan hipertonis saline 3%
peningkatan CPP selama (1025mOsm/L) pemberian cairan saline

3%Timbulnya
hipernatremia dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-
anak. 3 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline
et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam

cairan hipertonis Saline menurunkanTIK.


3% dalam menurunkan TIK.

4 Simma Penelitian prospektif III/C Pasien yang diterapi et al., 2000 random terbuka
dengan salin hipertonis

membandingkan memerlukan intervensi penggunaan saline


tambahan yang lebih hipertonis (598 mOsm/L) sedikit
dibandingkan dengan ringerlaktat yang dengan pemberian
diberikan lebih dari 3 hari dengan ringer laktat pada 35 anak
dengan dalam mengatur TIK.

cedera otak berat Groupdengan pemberian


89
salin hipertonis memiliki
waktu tinggal di ICU
lebih singkat,
penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat,
lebih sedikit komplikasi
dibandingkan dengan
penggunaan ringer laktat

5 Wakai, 2013 Randomized control trial I/A Pemberian manitol lebih


dengan pemberian manitol baik dibandingkan
pada pasien trauma akut dengan pemberian
cedera otak sedang dan pentobarbital dan kurang
berat menguntungkan jika
dibandingkan dengan
pemberian cairan
hipertonik saline.

6 Sakellaridis et Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada perbedaan


al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi
mannitol dan saline baik dalam hal
hipertonis terhadap penurunan ICP dan
hipertensi intrakranial pada durasi kerjanya
pasien dengan cedera otak
berat

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 :
4-10

Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment


of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric
traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
90
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated
intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000;
28 : 1136 -1143

Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and


hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011;
114 : 545-548

Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled


study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated
Ringer’s solution versushypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-
1270

VIII.5 Peran pengeluaran LCS Pada pengendalian TIK


Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Drainase cairan serebrospinal (3 ml) secara signifikan mengurangi ICP
dan meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.

Option : Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter


ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal

Penjelasan Rekomendasi:
Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada
TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI berat,
didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya dilakukan
ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan angka
kematian.

Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK,
kematian hanya terjadi pada pasien dengan hipertensi intrakranial tak
terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal
sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus :

91
1) Hipertensi intrakranial yang membandel setelah pamasangan kateter
ventrikulostomi yang berfungsi baik,

2) Sisterna basal yang terbuka


3) Dan tidak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen
pada foto

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Shapiro, Penelitian retrospektif, III/C Drainage meningkatkan
Marmaron, 1982 22 pasien dengan EVD PVI, menurunkan TIK,
ditentukan TIK/PVI kematian hanya pada

pasien dengan TIK tak


terkendali
2 Baldwin and laporan serial klinis, lima III/C Tiga dari lima selamat
rekate, 1991- pasien dengan drain setelah penurunan TIK
lumbar
1992
3 Levy et al., Penelitian retrospektif, III/C Penderita dari 16
1995 16 pasien dengan orang , kematian pada
lumbar drain dua pasien dengan
TIK tak terkendali

4 Kerr E Mary, et Case control, untuk II/B Drainase cairan


al., 2001 mengetahui efek serebrospinal (3 ml)
drainase LCS pada ICP secara signifikan
monitor terhadap perfusi mengurangi ICP dan
otak meningkatkan CPP

selama setidaknya 10
menit.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :

92
Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external lumbar
drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg 1991-2;
17: 115-120

Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral


perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11
(4):Article 1; 1-6. 2001
Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in pediatric
head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460.

Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on


treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825

VIII.6 Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik


dengan COB

Standard : Belum ada data yang cukup


Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option : Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2<35 mmHg) harus dihindari
pada anak

Penjelasan Rekomendasi:
Hiperventilasi → Hipocapnia (PaCO2 ↓) → Vasokonstriksi otak → Pe↓ CBF → pe ↓
volume darah otak → pe ↓ TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada
cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu :

1) Penurunan asidosis otak


2) Peningkatan metabolisme otak
3) Perbaikan tekanan darah dari aliran darah otak
Hiperventilasi → Pe ↓ TIK dan pe ↑ CPP
4) Peningkatan perfusi pada area otak yang iskemia

Hiperventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi


hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan :

93
1. Sedasi dan analgesia
2. Blokade neuromuskular
3. Pengeluaran LCS
4. Terapi hiperosmolar

Hiperventilasi agresif (PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi


tingkat kedua pada hipertensi intrakranial refrakter. CBF, SaO2 vena jugularis, atau
monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi terjadinya
iskemia pada kondisi ini. Hiperventilasi agresif singkat dapat dipertimbangkan pada
kasus herniasi otak atau penurunan kondisi neurologis. Hiperventilasi dihubungkan
dengan resiko iskemia iatrogenik. Hipocapnia (alkalosis respiratoris) menimbulkan
pergeseran ke kiri dari kurva dissosiasi Hb-O2 → mengganggu pembawaan oksigen ke
jaringan otak yang cedera dan masih intak.
Tidak ada bukti bahwa hiperventilasi sedang (PaCO2 25 – 30 mmHg) pada awal cedera
otak dapat menyebabkan iskemia global ataupun regional. Meskipun aman,
Hiperventilasi sementara masih diragukan manfaatnya.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Stringer et Penelitian serial non II/B Iskemia karena
al.,1993 randomuntuk pengukuran hiperventilasi terjadi dan
mempengaruhi jaringan
CBF.Diukur TIK, CPP, otak yang cedera dan
masih intak.
MAP,ETCO2, XeCT, CBF

2 Skippen et Penelitian kohort II/B Bila PaCO2 turun, TIK akan


al.,1997 prospektif,23 anak dengan turun dan CPP meningkat

cedera otakberat, GCS < 8.


Umur 3 hingga 16 thn, rata-
rata 11 tahun. PaCO2
dipertahankan pada > 35,

25-35 dan < 25torr

94
3 Diringer et Penelitian kohort prospektif, II/B Hiperventilasi pada awal
al.,2002 13 pasien dengan cedera cedera otak tidak terbukti
otak berat, dibagi dalam 2 menyebabkan iskemia
grup, membandingkan grup
yang diterapi dengan
hiperventilasi sedang, dan
berat

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and Metabolic
Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain

Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108


Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional
cerebral blood flow inhead-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-
1409

Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al. Hyperventialtion-induced cerebral


ischemia inpatients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -
enhanced CT.AJNR 1993;14: 475-484

VIII.7 Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri


Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option 1. Kraniektomy dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien
pediatri dengan:
a. Cedera Otak Berat (COB)
b. Edema serebri (brain swelling)
c. Hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi
medis intensif

d. COB dengan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan


mengalami perbaikan dari cedera otaknya.
95
2. Kraniektomy dekompresi tampaknya kurang efektif pada pada
pasien cedera otak sekunder yang berat

3. Outcome yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan GCS


sekunder dan atau sindroma herniasi otak yang masih dalam
proses dalam waktu 48 jam pertama setelah cedera

4. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik adalah kelompok


dengan outcome yang tidak baik

Penjelasan Rekomendasi :
Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi intrakranial
yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic brain injury pada
anak-anak menurunkan TIK secara signifikan (rata-rata penurunan 9 mmHg).
Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi lebih awal dan TIK tidak
pernah > 40 mmHg
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No. Penuls Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada III/C Pasien yang dioperasi
pada anak-anak dengan survivalnya lebih baik
shaken baby syndrome yang dibandingkan yang
dilakukan operasi dekompresi hanya mendapat
atau terapi medis terapi medis

2. Polin et al., Penelitian case control, 35 III/C Outcome yang baik


1997 pasien cedera otak berat didapatkan pada usia
yang dilakukan dekompresi muda, operasi lebih
kraniektomi dengan pre dan awal dan TIK tidak
post operatif TIK monitor dan pernah >40 mmHg
terapi medis

96
3. Taylor et Single center PRCT, 27 III/C Kraniotomi
al., 2001 cedera otak berat pada anak dekompresi secara
dengan hipertensi intrakranial
yang membandel dengan nyata menurunkan
terapi medis dan drainase TIK dalam 48 jam
ventrikel yang dirandom setelah dirandomisasi
antara bitemporal
dekompresi kraniotomi vs dan hasilnya tidak
tanpa pembedahan terlalu bermakna
terhadap perbaikan

klinis
4. Hejazi et Penelitian retrospektif 7 kasus III/C Semua pasien
al., 2002 serial pada pasien pediatri mengalami perbaikan
komplit pada
yang mengalami monitoring selama 8
bulan post operasi.
brain swelling dengan ICP
inisial>45mmHg telah
dilakukan craniektomi
dekompresi

5. Figaji et Studi pada 5 kasus pasien III/C Semua pasien


al., 2003 pediatri yang mengalami mengalami perbaikan

deteriorisasi neurologis (GCS dan skor GOS 4 – 5


<8) yang dilakukan tindakan pada monitoring1440
craniektomi. bulan.

6. Ruf et al., 2003 Studi kasus serial pada 6 III/C 3 pasien mengalami
kasus dengan skor GCS 3-7, perbaikan komplit, 2
kisaran usia 5-11 tahun yang pasein mengalami
dilakukan craniektomy kecacatan pada
unilateral dan bilateral monitoring selama 6
dekompresi. bulan. ICP post
operasi teregulasi
dibawah 20 mm Hg.

97
7. Kan et al., 2006 Studi kasus serial pada 6 III/C 5 dari 6 pasien
pasien pediatri dengan rerata meninggal. 3 dari 4
skor GCS 4.6 yang dilakukan
craniektomi dekompresi. pasien memiliki ICP
<

20 mmHg
8. Rutgliano et Studi kasus retrospektif pada III/C 5 dari 6 pasien
al, 2006 6 pasien dengan kisaran usia memiliki ICP tidak
dibawah 20 tahun yang tinggi. 1 pasien
dilakukan craniektomy mengalami kenaikan
dekompresi ICP, setelah
dilakukan operasi
kedua ICP kembali
normal.

9. Skoglund et pasien pediatri dengan GCS III/C 3 pasien memiliki


al., 2006 3-15, riwayat deteriorisasi, skor GOS 5pada
herniasi dan kenaikan ICP monitoring selama 1
yang dilakukan unilateral tahun, 1 pasien
atau bilateral craniektomy dengan GOS 4, 3
dekompresi. pasien dengan GOS
3

98
dan 1 pasien
meninggal.

10. Jagannathan Studi kasus serial pada 23 III/C ICP yang tinggi
et al., 2007 pasien dengan rerata usia sebanding dengan
1.9 tahun yang dilakukan
craniektomy dekompresi mortalitas,
post cedera kepala. didapatkan pula

survival rate sebesar


70% dengan
mortalitas terutama
pada pasien dengan
multitrauma.

4. Ellis JA et Penelitian retrospektif III/C Internal cranial


al., 2012 terhadap 10 pasien yang expansion adalah
menjalani operasi internal operasi yang aman
cranial expansion selama 5 dan efektif untuk
tahun pasien dengan

99
intraserebral
hipertensi yang
refrakter.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Cho DY, Wang YC, Chi CS: Decompressive craniotomy for acute
shaken/impact syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192–198
Ellis JA et al. Internal cranial expansion surgery for the treatment of refractory
idiopathic intracranial hypertension. 2012

Figaji AA, Fieggen AG, Peter JC: Early decompressive craniotomy in children with
se- vere traumatic brain injury. Childs Nerv Syst 2003; 19:666 – 673

Hejazi N, Witzmann A, Fae P: Unilateral decompressive craniectomy for children


with severe brain injury. Report of seven cases and review of the relevant
literature. Eur J Pedi- atr 2002; 161:99–104

Jagannathan J, Okonkwo DO, Dumont AS, et al: Outcome following


decompressive craniec- tomy in children with severe traumatic brain
injury: A 10-year single-center experience with long-term follow up. J
Neurosurg 2007; 106: 268 –275

Kan P, Amini A, Hansen K, et al: Outcomes after decompressive craniectomy for


severe traumatic brain injury in children. J Neuro- surg 2006; 105:337–
342

Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy
in the treatment of severe refractory posttraumatic cerebral edema.
Neurosurgery 1997; 41:84–94

Ruf B, Heckmann M, Schroth I, et al: Early decompressive craniectomy and


duraplasty for refractory intracranial hypertension in children: results of
a pilot study. Crit Care 2003; 7:R133–R138

100
Rutigliano D, Egnor MR, Priebe CJ, et al: Decompressive craniectomy in pediatric
pa- tients with traumatic brain injury with intractable elevated intracranial
pressure. J Pe- diatr Surg 2006; 41:83– 87; discussion 83– 87

Skoglund TS, Eriksson-Ritzen C, Jensen C, et al: Aspects on decompressive


craniectomy in patients with traumatic head injuries. J Neurotrauma
2006; 23:1502–1509

Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early


decompressive craniectomy in children with traumatic brain injury and
sustained intracranial hypertension. Childs Nerv Syst 2001; 17:154–162

Tinjauan antara Cedera Otak Pediatri dan Dewasa :


Perbandingan antara Cedera pada anak dan dewasa menurut “National Pediatric
Trauma Registry” menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cedera otak
traumatik lebih besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk menilai
terapi pada anak dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan tingkat
perkembangan pada tiap fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian yang
memenuhi syarat untuk dijadikan standard penanganan pada masa akut hingga
rehabilitasi. Karena tidak benar anggapan bahwa “ anak adalah miniatur orang
dewasa”, maka tidaklah tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu saja
literatur penelitian pada orang dewasa atau guideline yang ada untuk orang dewasa
pada anak. Usaha-usaha untuk mengenali aspek khusus pada anak dikaji dan guideline
yang disusun adalah sebagai pendamping guideline yang ada untuk orang dewasa.
Guideline yang disusun sebagian besar adalah hasil konsensus bersama.

Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.
Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai “cedera otak” saja, adalah
perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak akibat
penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan,
penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam kategori cedera otak
ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak
tidak dimasukkan dalam kelompok ini.
101
Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus
anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola
dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan pada orang
dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan
anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak
terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin
melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi
untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara
terpisah pada kartu monitoring seringkali menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan
apakah ada penurunan kesadaran pada waktu benturan. Gegar otak bisa sangat
singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat
terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa
terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan
penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya
setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan.

Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai


beratnya cedera kepala. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk memastikan
tidak ada perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak trauma tidak sama
resikonya dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang dewasa. Pada umumnya
anak anak membaik dan sembuh total setelah serangan, tidak ada indikasi pemberian
anti konvulsan. Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak kecil meningkatkan resiko
kerusakan otak oleh penetrasi objek dimana pada orang dewasa tidak bisa tembus.
Beberapa luka tusuk pada kepala anak harus diterapi seolah-olah telah terjadi trauma
langsung pada otak. Luka masuk harus diperiksa dengan teliti untuk mencari tanda
fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak. Jika masih ragu-ragu, CT scan dapat
digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada sisi itu. Rujukan ke ahli bedah saraf
diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Fraktur impresi, baik yang
sederhana maupun yang komplikata umumnya berkaitan dengan kerusakan lokal
terhadap otak dibawahnya. Energi benturan secara substansial dapat diserap pada sisi
trauma dan efek akselerasi pada otak diminimalisir. Tidak adanya riwayat hilangnya

102
kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala,
khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan
dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan
apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak
kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur.
Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada
meningen yang menghasilkan timbulnya hematom ekstradural. Tidak adanya fraktur
tidak menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah
pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak
termasuk bayi.

Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari luka,
hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena
mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting
untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi
peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah
bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk
melakukan pembedahan sebagai pertimbangan pemberian transfusi darah
segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil
kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali
untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana pada
orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti perkiraan
kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan perubahan yang
tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam setelah
cedera ringan dianjurkan.

Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan
tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan
suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil bisa menyulitkan
saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut.

103
Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai
dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain
Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3),
2003

(Rainer Gedeit.Head Injury. Pediatrics in Review Vol.22 No.4 April 2001)

IX. Cedera otak terkait olahraga


Cedera otak merupakan diagnosis klinis dari cedera kepala dengan gangguan fungsi
neurologis yang dapat berupa gejala akut dari gangguan fungsi kognitif. Diperkirakan
terdapat 1,7 sampai 3,8 juta kerjadian cedera otak tiap tahunnya di AS, 10% nya
berhubungan dengan trauma olahraga. Pada umumnya cedera otak dapat sembuh
sendiri dengan perbaikan gejala dalam satu minggu namun dapat juga terjadinya
sequel dari cedera otak dari yang ringan berupa nyeri kepala dan yang berat sampai
meninggal. Diagnosis yang tepat dan pengobatan sesuai dengan pedoman standar
sangat penting ketika merawat atlet yang mengalami cedera otak dan kemungkinan
meningkatnya gangguan jangka panjang.

Conccusion karena trauma olahraga

104
Gejala dari conccusion karena trauma olahraga diklasifikasikan dalam 4 kelompok :
gangguan fisik, kognitif, emosi, dan gangguan tidur.

Gangguan fisik Gangguan kognitif Gangguan Gangguan tidur


emosi

- Nyeri kepala - Mental Mudah marah Mengantuk


- Mual muntah -
“berkabut” - Merasa Sedih Tidur lebih lama
Gangguan
keseimbangan - Mudah “lambat” Lebih emosi Susah tidur
dan gugup
lelah

- Gangguan visus - - Susah


konsentrasi
Sensitif dengan cahaya
- Mudah lupa
- Sensitif dengan
bising
- Mengulang
- Mati rasa
pertanyaan
- kesemutan

- Menjawab
pertanyaan dengan
pelan

Derajat concussion berdasarkan system Cantu dan AAN :


Grade Sistem Cantu Sistem AAN
Ringan 1. Amnesia post traumatic < 30 1. Bingung
menit 2. Tidak pernah penurunan
2. kesadaran
Tidak pernah penurunan kesadaran
3. Gejala hilang < 15 menit
Sedang 1. penurunan kesadaran n < 5 menit Seperti diatas namun gejala
atau masih masih ada > 15 menit

2.
Amnesia post trauma > 30 menit

105
Berat 1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit Tiap ada penurunan
2. atau kesadaran

Amnesia post trauma ≥ 24 jam

Kontraindikasi untuk kembali bermain olahraga yang memerlukan kontak fisik :


1. Gejala post concussion yang persisten
2. Sisa gejala trauma kepala pada sistem saraf pusat yang menetap ( dementia
organik, hemiplegia, hemianopsia homonym)

3. Hidrosefalus
4. SAH spontan
5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari)

Pedoman untuk atlit bisa kembali bermain (AAN guideline)


Grade AAN Rekomendasi penanganan concussion pada olahraga
Ringan • keluar dari kontes
• periksa setiap 5 menit untuk gejala amnesia dan post concussive
• Dimungkinkan bisa kembali bermain jika gejala menghilang dalam
15 menit
Sedang • Keluar dari kontes
• Tidak disarankan kembali bermain pada hari itu
• Periksa secara berkala untuk tanda-tanda berkembangnya
gangguan intrakranial

• Periksa kembali pada hari berikutna

• CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau lebih
dari 1 minggu

• Latihan kembali setelah 1 minggu bebas gejala


Berat • Transportasi ambulans dari lapangan ke UGD RS jika belum sadar
( pasang stabilisator C-Spine)
• Segera lakukan pemeriksaan neurologi. neuroimaging yang sesuai

106
• Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika pada
pemeriksaan tidak didapatkan kelainan

• Segera ke RS setiap ada tanda kelainan atau mental status tidak


normal yang berkelanjutan.

• Periksa status neurologi tiap hari sampai semua gejala membaik


atau stabil

• Adanya penurunan kesadaran yang berlangsung lama, perubahan


mental status yang persisten, perburukan gejala post concussion
atau pemeriksaan neurologi yang tidak normal evaluasi
neurosurgical segera atau transfer ke trauma center.

• Setelah penurunan kesadaran < 1 menit pada concussion derajat 3,


jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama satu minggu

• Setelah penurunan kesadaran > 1 menit pada concussion derajat 3,


jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama dua minggu.

• CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau
lebih dari dua minggu.

Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi yang
berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT scan) pada
atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung penilaian dari
dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang disarankan adalah
: 1. Concussion berat
2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan
3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada
musim kompetisi yang sama.

Rekomendasi pada concussion berulang pada satu musim kompetisi


Concussion Panduan sebelum kembali bermain

107
No Tingkat keparahan

2 Ringan 1 minggu *
Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal †

3 Ringan Disarankan untuk tidak bermain lagi pada musim ini, CT


scan atau MRI†

Sedang Disarankan tidak bermain lagi pada musim ini,dan hindari


2 Berat olahraga yang memerlukan kontak fisik

* tanpa gejala-gejala pada saat istirahat dan aktivitas


† jika didapatkan abnormalitas akut pada CT/MRI: akhiri musim kompetisi.
Pertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi pada olahraga yang bersifat
kontak fisik

Referensi
Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports
medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4

Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain
injury. Psychiatric annals. 42 : 10

Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi


rehabilitation research and practice.

Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850.


PENUTUP

Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan penelitian
yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical

certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya
pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk
tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera
otak.

108
Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran
dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung pada
pelayanan dan pendidikan serta penelitian dibidang neurotrauma.

Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami
namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini
secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.

109

Anda mungkin juga menyukai