Neurotrauma Guideline 2014
Neurotrauma Guideline 2014
Neurotrauma Guideline 2014
Editor:
Joni Wahyuhadi
Wihasto Suryaningtyas
Rahadian Indarto Susilo
Muhammad Faris
Tedy Apriawan
Tim Neurotrauma
RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya,
2014
Tim Neurotrauma dan Kontributor
Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS
Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC
Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS
Dr. dr. Agus Turchan, SpBS
Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA
Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS dr.
Eko Agus Subagio, SpBS
dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS
dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS
dr. Muhammad Faris, SpBS dr.
Achmad Fahmi, SpBS
dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS
dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS dr.
Tedy Apriawan, SpBS
dr. Alfan Syah Putra Nasution dr.
Yusuf Hermawan
dr. Mohammad Kamil
dr. Geizar Arsika Ramadhana dr.
Yusnita Rahman
dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi dr.
Mochamad Rizki Yulianto
dr. Yudhistira Kaysa Karim dr.
Adi Wismayasa
dr. Gibran Aditiara Wibawa dr.
Fatkhul Adhiatmadja
dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo dr.
Wisnu Baskoro
Sekretariat Neurotrauma:
SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf
RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga
Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8
Surabaya
Telp: 031-5501325/ 5501304
Fax: 031-5025188 e-
mail: [email protected]
SAMBUTAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SOETOMO, SURABAYA
Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga
merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari
jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik
untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses pendidikan
dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.
Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga
memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa
fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum
semuanya terjawab dengan jelas.
Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para
klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis,
dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan kemajuan di
masa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb
SAMBUTAN
Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat
menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, edisi
kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base Medicine
(EBM).
Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah,
merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya bagi
pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan
pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan
bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma.
Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis,
perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses
pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang telah ada
selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan wawasan
keilmuan.
Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku
pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya.
Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi
kemanusiaan. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
KATA PENGANTAR
Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian
para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan perawatan
gawat darurat.
Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian.
Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai
12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara
3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke
tahun dan pada tahun 2013 sebesar 3 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah,
cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi
produktfitas dan kemajuan bangsa.
Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd
edition. McGraw-Hill. New York, 1996
DAFTAR SINGKATAN
Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf,
dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya
tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera
otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang
didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa
kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan
berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim syaraf
dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi
ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif, metode
neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari pasien
cedera otak.
Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius
di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.
Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data:
1
• Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara
6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar
literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.
• Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih
tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan
menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.
• Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien
cedera otak yang datang ke IRD.
Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr.
Soetomo menunjukkan bahwa cedera otak memerlukan penanganan yang
komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat
penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
2
Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per
tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka
morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional.
Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada
tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga
dengan membentuk tim neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf, anestesi,
peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat
Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan pengumpulan
data, identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi literatur serta
penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.
Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak di
RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan
intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.
B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat
analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional,
kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan
3
guideline (moderate clinical certainty).
C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif,
serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus,
dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan option
(unclear clinical certainty).
Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan
laboratorium serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin berubah
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian
pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan
klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.
Editor
5
4. Pemeriksaan neurologis
5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6. Menentukan diagnosis pasti
7. Menentukan tatalaksana
6
-jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan
-jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya
-jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas
dengan tangan
- buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus.
10. Resusitasi pasien
- hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation
bags, atau alat bantu ventilasi lain.
11. Penempatan pasien
- pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan ditempatkan
pada ruangan khusus
Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities with
Limited Resources )
Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan dan
keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan yang
akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan
melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan sarana
yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.
7
C. Circulation Apakah perfusi Pulse rate dan volume
Adekuat …..? Warna kulit
Capilarry return
Perdarahan
Tekanan darah
D. Disability Apakah ada kecacatan Tingkat kesadaran
( status neurologis ) neurologis …? menggunakan sistem
GCS atau AVPU.
8
– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang,
vertigo
1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,
luka tembus dan benda asing.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima
orbita dan fraktur mandibula
9
III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera
kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan:
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari
tanda lateralisasi.
10
Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat
kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5 menunjukkan
bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan penanganan yang
kurang tepat
11
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50
tahun.
13
- Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan
memerlukan observasi ketat.
14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK
Pasien
VS. Stabil
Neurologis Stabil Cepat
memburuk
R. Perawatan ( LCU )
Resusitasi + Rediagnosis
KRS
ICU ROI - 1 Operasi
15
IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang IV.3 Algoritma
Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat
Operasi
Penderita
Membaik Memburuk
• Stabilisasi + Resusitasi
VS. Stabil
• Rediagnosis cito
Neurologis Stabil
16
• Tanda vital stabil CT scan kepala, dipasang bersamaan saat operasi emergensi
foto leher lat, thorak fot AP,
• Pemeriksaan radiologis lain atas
indikasi
• Pemeriksaan refleks batang otak. Hati- • Bila keadaan fungsi vital telah stabil
hati pada pemeriksaan reflek • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU
oculocephalik • Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita, obat-
• Pasang ICP monitor, pertahankan obatan yang diberikan dan rencana perawatan)
tekanan <15 mmhg.atau<22 cm H2O
pada pasien yang tidak ada indikasi
operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi-ROI R. HCU - F R. Perawatan ( LCU )
intrakranial indikasi operasi, ICP monitor
Penjelasan Rekomendasi :
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca
trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan
untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang
pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early type) pada pasien
yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau
Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada
fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun 2013 tentang
levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa levetiracetam
memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis kejang pasca
17
trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek samping yang lebih
sedikit.
Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan
resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah
trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan
kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin
yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk
mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.
18
efektifitas pemberian
feniotin untuk
mencegah kejang
pasca trauma
5 Chang SB, Meta analisis II/B Pengobatan profilaksis dengan Lowenstein beberapa
penelitian Fenitoin, dimulai dengan dosis
19
DH, 2003 level l,ll untuk loading segera setelah trauma mengetahui
peranan efektif menurunkan resiko profilaksis obat anti kejang dini pasca
trauma. epilepsi pada Profilaksis tidak efektif untuk penderita cedera kejang
fase lanjut. Faktor resiko otak berat terjadinya kejang :
cedera otak berat, amnesia atau
tidak sadar berkepanjangan,
hematom intrakranial atau
kontusio serebri, dan fraktur
depress.
6 Torbic H Meta analisis II/B Profilaksis anti kejang efektif et al., 2013 penelitian
level I diberikan pada 1 minggu
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and treatments:
early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol.
20
Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post
traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502.
Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic brain injury.
Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66
Penjelasan Rekomendasi :
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat
menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK
me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe
“non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama
perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III
21
Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 –
1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol harus
dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah.
Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol.
Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam
setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan
peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat
menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang
lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat.
Komplikasi pemberian hipertonik salin diantaranya adalah rebound edema, kerusakan BBB,
penurunan tingkat kesadaran karena hipernatremia, dan central
22
% dengan dosis 0,25 -
0,5g/kg intravena
terhadap TlK. CPP dan
CBF
2 Gemma Prospective randomized II/B Hypertonic saline sama
et al., 1997 efektifnya dengan manitol
Clinical study dalam menurunkan edema
membandingkan efek otak selama proses operasi
bedah saraf
hypertonic saline 7,5 %
dengan manitol 20 %
23
6 Ichai C, et Prospective open I/A Terapi dengan menggunakan
al., 2009 randomized study larutan sodium laktat
hiperosmolar lebih efektif
membandingkan terapi dalam menurunkan TIK bila
sodium laktat
hiperosmolar dengan dibandingkan dengan manitol
manitol dalam
menurunkan TIK pada
kasus cedera otak
Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada
penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr.
Soetomo Surabaya. 1999
24
Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium
Laktat dan Manitol terhadap Progresifitas Penurunan Tekanan
Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah
Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The
Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic
Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 – 479
Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004
Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion
pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9
Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of cerebral
edema and intracranial hypertension, Crit Care Med,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13
Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain
injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013
25
Penjelasan Rekomendasi :
Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan
pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi
ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada
pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi
pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari
penderita.
Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi sampai
dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum terbukti
menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak ada insiden
definitive terhadap infeksi CSF.
2 III/C
Holloway et Analisa retrospektif dari 61 pasien dengan
al.,1996 584 pasien cedera otak venticulostomy
26
berat berkaitan dengan ditemukan infeksi. Pada efek
penggantian kateter umumnya infeksi terhadap insiden
ditemukan pada 10 hari terjadinya infeksi pertama setelah
pemasangan
ventriculostomy. Tidak
ada pengaruh antara
kateter yang diganti setiap
5 hari atau tidak.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections:
Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.
Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of
monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg
1996;85:419–24.
Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong Journal of
Emergency Medicine
27
Guideline 1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien
trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari.
Penjelasan rekomendasi :
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien
cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa nyeri.
NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri
dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX).
Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam
menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar prostaglandin
terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat pula
menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.
28
Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau 30
mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan dengan
dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.
2 Hedenmalm III/C
Secara retrospektif Insiden agranulocytosis 92%
K et al.,
membahas laporan kasus terjadi pada 2 bulan
2002
agranulocytosis akibat pertama pemakaian
pemakaian metamizole metamizole
29
4 Prasetya H, eksperimental semu pada II/B Ketoprofen dan
Bajamal pemakaian ketoprofen dan
acetaminophen bermanfaat
acetaminophen pada COR
A.H., 2005 mengurangi nyeri pada
COR
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Hedenmalm K et al. Agranulocytosis and other blood dyscrasias associated
with dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol 2002;58(4):265-74.
Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and
analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm
2002;59(2):150-78
Prasetya H, Bajamal A.H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian
Paracetamol 650 mg Suppositoria denganKetoprofen 100 mg
Suppositoria terhadap Nyeri Kepala pada Penderita Cedera Otak
Ringan. Karya Akhir, 2005.
Guideline : Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak secara
statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna
Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor
kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau
30
meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid
tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian
reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga
terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu.
Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi
bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan
mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid dibeberapa
penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien
dengan cedera otak.
31
3 CRASH trial Penurunan angka III/C Tidak ada penurunan
collaborators, kematian dengan angka kematian dengan
pemberian pemberian
2004 metilprednisolon dalam metilprednisolon dalam
2 minggu setelah cedera 2 minggu setelah
kepala cedera kepala
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005
CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death within 14
days in 10 008 adults with clinically significant head injury
32
Guideline 1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif
untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP.
Penjelasan rekomendasi :
Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak, dapat
memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan pasien
dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan yang
sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang ideal
haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke otak.
(ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak dan
reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah dalam
pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic window untuk
evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.
Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3
mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20
menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan
510mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.
Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti infus siringe
pump (0.3-7.5 mg/kgBB/jam) atau thiopental 1-6 mg/kg/hr. Dexmedetomidine
diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit, diikuti dengan dosis
maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam.
Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions
33
Head injury, Head injury, Cerebrovascular Hepatic Alcohol
mechanical spontaneus accident encelophaty withdrawl
syndrome
ventilation,
breathing GCS
GCS ≤ 8 >8
Analgesia Opioids NSAID - - -
Sedation Midazolam Light sedation: Light sedation: Isoflurane for Midazolam
Propofol propofol & propofol & short periods Other
Barbiturates midazolam midazolam benzodiazepines
(Uncontrolled
Neuroleptic. Neuroleptic. Clonidine
ICP)
Phenothiazine Phenothiazine Neuroleptics
Clomethiazole
Antagonist No No No? Yes Yes
Monitoring Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions,
invasive neurologial neurologial neurologial neurological
haemodinamic functions functions functions, liver function.
monitoring, function tests
ICP SjO2
GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs; SjO2,
oxygen saturation of the jugular vein.
34
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Sanchez Meneliti safety dan I/A Baik propofol, midazolam, et al., 1998
efficacy penggunaan ataupun kombinasi keduanya propofol; midazolam
dinyatakan aman untuk pasien araupun kombinasi dengan trauma kepala.
propofol dan
midazolam pada pasien
trauma kepala
propofol
dibandingkan dengsn
fentanil, morphin
kombinasi dengan
midazolam dan
propofol di unit
perawatan
neurointensif.
35
terapi sedasi dan terapi
osmotik gagal. 4
Shigemori
Pertimbangan
II/B Diazepam
dapat digunakan
Dexmedetomidine merupakan
sedasi tanpa efek neurologis
dan memberikan efek proteksi
pada otak.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate
infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain
oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi:
10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06.
36
Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain
trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35
Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the BrainFailure
Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park
1998;86(6):1219-24.
Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition.
Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head
injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo) 52,
1 – 30, 2012.
37
Penjelasan Rekomendasi :
Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga
membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding yang adekuat
karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien
dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian mana
yang paling baik
Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat
memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca trauma.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu setelah trauma)
berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan berat badan sebesar 15%
perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari ke-7, maka pemberian nutrisi
harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma atau cedera.
3. Krakau K Systematic review mengenai I/A Hasil review et al., 2006 status
metabolik dan terapi menunjukkan
hiperkatabolisme,
dan intoleransi
gastrointestinal
sampai 2 minggu
pasca trauma.
Kecenderungan
morbiditas dan
mortalitas yang lebih
rendah pada
penderita yang
mendapat early
feeding
kelebiihan cairan,
elektrolit atau glukosa
yang dapat
merugikan pasien.
39
5. Roger Hartl et Penelitian retrospektif pada III/C Jumlah nutrisi
al., 2008 pasien dengan cedera otak berat berhubungan dengan
dan pemberian nutrisinya mortalitas.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008
Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat
emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients.
Infusiontherapie.1990;17(5):246-8.
Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe
traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67.
Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic brain
injury. 2008
Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest cerebral
hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4) : 340-6
40
Penjelasan rekomendasi
Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden
perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH
asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site
of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih
lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde
(Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005)
Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50
mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena perinfus
dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector diberikan
dengan dosis 1 gr/6 jam.
41
3 David C. Meta analisis dari I/A Pemberian regimen acid
Metz,2005 Randomized Controlled suppressive agent dapat
mencegah terjadinya SRMD
Trials tentang
dan stress ulcer dengan
penggunaan acid menjaga keasaman lambung.
Referensi
David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-
Related Mucosal Disease. Medscape. 2005
Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of
HealthSystem Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress
ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79.
Penjelasan Rekomendasi :
42
Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi
biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak dan
menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin juga
berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase serta
menghambat enzim phospholipase A2.
Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka
lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post
concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat
diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil penelitian :
b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin
dibanding tanpa pemberian obat tersebut
a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan adanya
pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian citicoline
3 Spiers
PA,Hochanadel
G, 1999
43
Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan
nd II/B Hasil: adanya perbaikan tahun setelah cedera otak
dalam fungsi memori
pada pasien dengan
pemberian citicoline
dibanding dengan tanpa
pemberian obat tersebut
(p<0,02)
44
4 Zafonte et al, CORBIT (The I/A Citicoline tidak
2009 Citicoline Brain Injury memberikan perbaikan
outcome yang signifikan
Treatment), suatu RCT
dibandingkan dengan
besar yang kelompok placebo
menilai efektifitas
pemberian citicoline
terhadap outcome
fungsional pasien
dengan cedera kepala
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J
Neurology Science.103: 539-42, 1991
Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two
cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999
Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal
of Neurotrauma 26:2207–2216 (December 2009)
45
3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 – 2400 mg/hari) memberikan hasil yang
positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada
parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan fungsi
koordinasi motorik
Penjelasan Rekomendasi :
Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif,
meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme
phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan
oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal
→ dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD.
Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera
dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis
dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30
gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan dosis PO 4,8
gr/hari.
46
2 Goscinski l, et Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari
al., 1998 kasus-kontrol untuk memberikan hasil yang positif
mengetahui efektifitas untuk memperbaiki kondisi
pemberian piracetam pada pasien yang dapat dilihat pada
100 pasien cedera parameter: partial oxygen
mengetahui pengaruh
piracetam pada cedera
otak.
4 Zavadenko Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg NN, et al.,
case/control untuk (1600 – 2400 mg/hari)
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of postconcussional
syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978
47
Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T,
Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after
craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999
Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain injury
and piracetam efficacy in their treatment in adolescents.
Penjelasan Rekomendasi:
Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah dan
mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera, sedangkan
tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian saraf di daerah
penumbra. Ada mekanisme absolut dan relatif proses neuroprotektif. Mekanisme
relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi saluran sodium, modulasi
antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA reseptor, antioksidan, anti radikal
bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis adenosin. Mekanisme absolut meliputi :
faktor neurotropik, neurotrophic factor-like
molecules, sitokin.
48
pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada tidak merusak
agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan daya tahan sel
neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia, eksisitotoksis, zat
toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan aktivitas sinaptik dalam
proses belajar
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
49
Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral
Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page: 154-
165
50
2 Harting, T.M Penelitian Kombinasi sel punca embrionik
et al., 2009 prospektif pluripotentiality dengan beberapa
hasil diferensiasi sel germinal memiliki
menggunakan kerangka kerja konseptual yang baru
hewan coba tikus untuk perbaikan SSP.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of
traumatic brain injury. J Neurosurg 110:1186–1188, 2009., Departments
of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford Health System, Detroit,
Michigan
Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell
therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17,
2008
Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous
mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J. Neurosurg.
/ Volume 110 / Page 1189–1197 / June 2009
Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of
injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:1125–1138, 2010
51
and motor and cognitive impairments: cell graft biodistribution and
soluble factors in young and aged rats. J Neurosci.
Waktu :
Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito
pembedahan atau evakuasi Metode :
Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan,
bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik
Penjelasan Rekomendasi :
Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala
awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif
52
dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau ketebalan
> 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan tindakan
pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan volume < 30 cc
dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan tindakan evakuasi.
Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm, pergeseran midline <5 mm
tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor dilakukan manajemen non
operatif yang agresif.
Referensi
Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery
2006;58:7-15
Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.Mitesh V. American Journal of Neuroradiology
1998;20:115-6
Indikasi pembedahan :
SDH Akut
1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :
a. Dengan ketebalan > 10 mm
b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan
2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK 3)
Pasien SDH dengan GCS < 9 :
b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed
c. Dan/atau TIK > 20 mmHg
SDH Kronis
1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau
kejang
54
Waktu :
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan
secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi
hematom.
Metode :
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS
transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan
pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.
Penjelasan Rekomendasi :
Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama
pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%90%.
Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat,
kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi,
pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada
efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting
daripada tindakan evakuasi hematom.
55
2 Widodo, Penelitian prospektif eksperimental II/B Tidak ada
Kasan U, untuk mengetahui perbedaan hasil perbedaan
akhir antara tindakan operasi dan
1999 bermakna secara
konservatif pada penderita cedera
otak berat dengan hematom
statitistik antara
subdural akut traumatika tipis.
tindakan operasi
dan konservatif
pada penderita
cedera otak berat
dengan hematom
subdural akut
traumatika tipis.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
56
Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis
pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006
Indikasi pembedahan :
57
1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal
atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur
midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna.
58
3 Bullock Manajemen bedah pada et al., III/C Evakuasi massa segera
2006 perdarahan parenkim otak dilakukan bila ada efek
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bullock et al. Surgical management of posterior fossa mass lesions.
Neurosurgery 2006;58:47– 55.
Cooper PR (ed), 1993, Head Injury, 3rd ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al. Traumatic intracerebral hematomas:
timing of appearance and indications for operative removal. J Trauma
1986; 26:787-94.
59
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed MC Graw Hill
Comp New York.
Indikasi pembedahan :
1) Pasien dengan efek massa pada CT Scan kepala.
Efek massa ditandai dengan :
a) Kompresi atau obliterasi ventrikel IV
b) Kompresi atau hilangnya sisterna basalis, atau
c) Hidrosefalus obstruktif
2) Pasien dengan defisit neurologis
Waktu :
Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan segera
bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi yang progresif dan penderita
dengan GCS > 8 memiliki prognosa / outcome yang lebih baik Metode :
Penjelasan Rekomendasi :
Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari seluruh
cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa posterior
didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang fossa
posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.
60
Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik. Terapi
konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior
Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak didapatkan
defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat diterapi konservatif
dengan observasi ketat dan CT scan serial
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Kizikilc et Laporan kasus pasien III/C Terapi konservatif
al., 2003 SDH trauma fosa dapat dilakukan secara
posterior dengan kista selektif pada kasus
arakhnoid SDH fosa posterior
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Avella et al. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa :
Clinicoradiological analysis of 24 patients. 2003.
Bullock et al. Surgical management of Posterior fossa mass lession.
Neurosurgery 2006;58:47-55
Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA
61
Kizikilc et al. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with
an Arachnoid Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003; 29: 242-
6
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw
Hill Co. New York.
VI.5 Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii
Indikasi pembedahan :
1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis.
2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule
3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah
4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari
Waktu :
Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir
menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak
LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi
insiden infeksi Metode :
Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell
tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki atau
dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang terbentuk
diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal. Tindakan operasi
untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa posterior, menelusuri
62
tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang petrosus. Diusahakan
melakukan penutupan primer, namun bila tidak memungkinkan dapat dilakukan graft
fascia lata atau graft lemak atau otot untuk menutupi defek. Tindakan operasi untuk
Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yamg diketahui dengan tindakan
diagnostik radiologis.
Penjelasan Rekomendasi :
Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang
persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan
pendengaran, atau kebutaan.
Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi
konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS
perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan
secara spontan.
63
1 Turchan A. Prospektif case control II/B Pemberian obat antibiotik
1995 insiden propilaksis untuk
pencegahan meningitis
meningitis pada pada fraktur dasar
pemberian antibiotik tengkorak tidak bermakna
pada fraktur dasar dibandingkan placebo.
tengkorak
didapatkan indikasi
pembedahan.
3 Bachli H, et Review beberapa III/C Penanganan pembedahan
al., 2009 penelitian mengenai dari fraktur basis kranii
tingkat keparahan secara bermakna dapat dari fraktur
basis didasarkan dari tingkat
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with
correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial
classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37:
305-311
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.
Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK.
64
Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull Base
lnstitute'
Penjelasan Rekomendasi :
Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus diintubasi
atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan oksigen
dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien harus
mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau klinis
65
pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan midazolam
i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine.
2 Liew B et Keluaran pasien cedera otak II/B Pasien dengan DAI tanpa
al., 2009 berat dengan diffuse lesi massa memiliki
tekanan intrakranial yang
axonal injury yang diterapi normal sehingga
dengan manajemen pemasangan ICP monitor
ICPCPP dibandingkan
terapi
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
66
Referensi
Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and
prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol. 12
(4)
Indikasi :
1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah proses
resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio, edema serebri
atau penyempitan sisterna basalis).
2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika
didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut : a. Usia > 40 tahun
Metode:
67
Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler,
dengan lokasi insersi pada titik kocher.
Penjelasan Rekomendasi :
Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan
oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak
yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan
hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP adalah dengan
memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.
Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau lebih
rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
68
Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring in
Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81.
Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw Hill
Comp New York.
Penjelasan rekomendasi :
Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta
Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:
69
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I
Pemasangan
ICP
Monitor
Menjaga
70
CPP>70mmHg
Hipertensi
TIK
CT Pertahankan
Manitol
Scan
ulang terapi
0.25-1.0
TIK
- g/KgBB
ya tidak
Hipertensi
TIK?
Hiperventilasi sampai
PaCO2 30-35mmHg
-
ya tidak
Hipertensi
TIK?
Terapi tersier
penanganan TIK
Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma
November 1996)
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II
71
Sedasi dan analgesik
Penggunaan Ventilator
(PaCO2 30-35 mmHg, PEEP ) sampai
- 10 cmH2O
Terapi Lanjutan
Manitol
Drainase
CSF
Decompressive Craniectomy
Koma dengan
barbiturat
Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions. 2004
72
Sedasi
Drainase
CSF
Manitol
Mild -
Hiperventilasi
hipothermi -
32
Hiperventilasi agresif
Barbiturat
Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997
73
1 Bullock et Jalur kritis III/C Sesuai skema I, drainase CSF
al., 1996 penanganan TIK setelah itu manitol
2 Peter Reilly, Algoritma penanganan III/C Skema III,drainase CSF dulu
1997 TIK baru pemberian manitol
CSF
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,
Journal of Neurotrauma,November 1996.
Penjelasan Rekomendasi :
Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5
persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS (persentil
kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x Usia dalam
tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan End-tidal
74
CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala. Hipoksia
didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau saturasi oksigen
90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya
Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak
hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi,
sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek
berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia, hipotensi
dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia meningkatkan angka
mortalitas secara signifikan
75
1 Fisher et Penelitian double-blind cross III/C Cairan hipertonis saline
al, 1992 over membandingkan 3% dapat menurunkan
TIK dan mengurangi
penggunaan cairan saline intervensi yang lain (
3% (1025 mOsm/L) dan thiopental dan
0,9% (308 mOsm/L) pada hiperventilasi). Kadar
anak dengan cedera otak Serum sodium
berat meningkat sekitar 7
mEq/L setelah
pemberian saline 3%
76
Group dengan pemberian
salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan penggunaan
ringer laktat 5 Sakellaridis Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada
perbedaan et al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992;
4 : 4-10
77
VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial
Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option : ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera otak berat
Penjelasan Rekomendasi :
ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita
COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari
keadaan berikut :
1) Motor posturing
2) Hipotensi sistemik
Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan terjadinya TIK yang tinggi atau menyingkirkan
penggunaan ICP monitor
ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT untuk
mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau tanpa
pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan resiko
kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg
78
1 Eder et al., Studi retrospektif pada III/C Anak-anak dengan
2000 anak dengan cedera otak cedera pada batang otak
dan TIK > 40 mm
berat. berhubungan dengan
kematian dan kondisi
Membandingkan
vegetatif yang tinggi.
beberapa faktor dan TIK
monitor terhadap
outcome
3% dalam menurunkan
TIK
3 Downard Penelitian retrospektif III/C TIK > 20 mmHg
et al., 2000 pada anak yang dilakukan berhubungan dengan
peningkatan resiko
pemasangan kematian
TIK
4 Chambers Penelitian observational III/C TIK > 35 mm
et al., 2001 pada pada anak-anak dan merupakan prediktif
dewasa yang dilakukan faktor untuk hasil akhir
TIK dan CPP monitor yang jelek pada anak
dan dewasa
79
ICP monitor > 20mmHg pada 72 jam
pertama.
6 Cruz et al., Penelitian retrospektif III C ICP yang tinggi pada hari
2002 mengenai efek dari 1-5 pertama,
pemasangan ICP pada berhubungan dengan
pasien pediatric penurunan ekstraksi
oksigen otak dan
prognosis yang buruk.
pediatric
8 Adelson et Penelitian rondomized IIIC ICP > 20 adalah
al, 2005 controlled trial terapi prediktor buruk untuk
prognosis yang paling
hyptotermi dan normotermi sensitif. Rerata ICP yang
pada terapi peningkatan rendah berhubungan
TIK pada pasien pediatric dengan prognosis yang
baik
80
Lund pada pasien pediatri outcomen pasien.
TIK
11 Grinkeviciute et Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak
al, 2008 satu senter mengenai ada perbedaan outcome
hubungan beberapa terapi
TIK tinggi pada pasien pada kelompok dengan
pediatri tekanan ICP rerata baik
(22.2mmHg) dan buruk
(24.6mmHg)
12 Jagannathan et Penelitian observasional III C Outcome yang baik
al, 2008 mengenai terapi berhubungan dengan
pemasangan ICP dalam manajemen kenaikan
hubungannya dengan TIK yang baik.
tindakan craniektomy
dekompresi pada pasien
pediatric
81
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia after severe traumatic brain injury in children. Neurosurgery
2005; 56:740 –754; discussion 740 –754
Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and intracranial
hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma:
Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –
779; discussion 779 –780
Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs
Nerv Syst 2000;16: 21-24
82
Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results
improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120
Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain injury
in pediatric patients: Treatment and outcome using an intracranial
pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive Care Med 2005;
31:832– 839
Penjelasan Rekomendasi :
Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap
outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi
peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK <
20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan COB
belum dapat ditegakkan
83
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
20 mmHg
3 Sharples et Penelitian prospektif. III/C CBF berbanding
al., 1995 Mengetahui hubungan antara terbalik dengan TIK
84
5 Cruz et al., Penelitian prospektif pada terapi III C
2002 monitoring ICP pada pasien
pediatri.
85
8 Kan et al., Penelitian prospektif untuk III/C Pasien yang
2006 mengetahui mortalitas dan dilakukan
morbiditas pada pasien kraniektomi
anakanak dengan cedera otak dekompresi hanya
berat yang dilakukan untuk peningkatan
kraniektomi dekompresi TIK memiliki
mortalitas yang tinggi
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
86
Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia after severe traumatic brain injury in children. Neurosurgery
2005; 56:740 –754; discussion 740 –754
Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and
metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to
age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time
after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152
Penjelasan Rekomendasi :
Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak.
Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme :
1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi resultante
diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK ( bersifat
sementara < 75 menit )
2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti pergerakan
air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul sekitar > 6
jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak
Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan
penggunaan manitol :
Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi
yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan
pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan
ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan
penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam-
1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L. Kadar serum
sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%. Timbulnya
hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak.
88
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Fisher et Penelitian double-blind cross III/C Cairan hipertonis saline
al., 1992 over 3%dapat menurunkan
membandingkan TIK danmengurangi
penggunaan cairan saline intervensi yanglain
3% (1025 mOsm/L) dan (thiopental
0,9% (308 mOsm/L) pada danhiperventilasi). anak
dengan cedera otak Kadar Serum
7 mEq/Lsetelah
pemberian saline3%
3%Timbulnya
hipernatremia dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-
anak. 3 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline
et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam
4 Simma Penelitian prospektif III/C Pasien yang diterapi et al., 2000 random terbuka
dengan salin hipertonis
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 :
4-10
Penjelasan Rekomendasi:
Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada
TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI berat,
didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya dilakukan
ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan angka
kematian.
Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK,
kematian hanya terjadi pada pasien dengan hipertensi intrakranial tak
terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal
sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus :
91
1) Hipertensi intrakranial yang membandel setelah pamasangan kateter
ventrikulostomi yang berfungsi baik,
selama setidaknya 10
menit.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
92
Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external lumbar
drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg 1991-2;
17: 115-120
Penjelasan Rekomendasi:
Hiperventilasi → Hipocapnia (PaCO2 ↓) → Vasokonstriksi otak → Pe↓ CBF → pe ↓
volume darah otak → pe ↓ TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada
cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu :
93
1. Sedasi dan analgesia
2. Blokade neuromuskular
3. Pengeluaran LCS
4. Terapi hiperosmolar
94
3 Diringer et Penelitian kohort prospektif, II/B Hiperventilasi pada awal
al.,2002 13 pasien dengan cedera cedera otak tidak terbukti
otak berat, dibagi dalam 2 menyebabkan iskemia
grup, membandingkan grup
yang diterapi dengan
hiperventilasi sedang, dan
berat
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and Metabolic
Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain
Penjelasan Rekomendasi :
Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi intrakranial
yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic brain injury pada
anak-anak menurunkan TIK secara signifikan (rata-rata penurunan 9 mmHg).
Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi lebih awal dan TIK tidak
pernah > 40 mmHg
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No. Penuls Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada III/C Pasien yang dioperasi
pada anak-anak dengan survivalnya lebih baik
shaken baby syndrome yang dibandingkan yang
dilakukan operasi dekompresi hanya mendapat
atau terapi medis terapi medis
96
3. Taylor et Single center PRCT, 27 III/C Kraniotomi
al., 2001 cedera otak berat pada anak dekompresi secara
dengan hipertensi intrakranial
yang membandel dengan nyata menurunkan
terapi medis dan drainase TIK dalam 48 jam
ventrikel yang dirandom setelah dirandomisasi
antara bitemporal
dekompresi kraniotomi vs dan hasilnya tidak
tanpa pembedahan terlalu bermakna
terhadap perbaikan
klinis
4. Hejazi et Penelitian retrospektif 7 kasus III/C Semua pasien
al., 2002 serial pada pasien pediatri mengalami perbaikan
komplit pada
yang mengalami monitoring selama 8
bulan post operasi.
brain swelling dengan ICP
inisial>45mmHg telah
dilakukan craniektomi
dekompresi
6. Ruf et al., 2003 Studi kasus serial pada 6 III/C 3 pasien mengalami
kasus dengan skor GCS 3-7, perbaikan komplit, 2
kisaran usia 5-11 tahun yang pasein mengalami
dilakukan craniektomy kecacatan pada
unilateral dan bilateral monitoring selama 6
dekompresi. bulan. ICP post
operasi teregulasi
dibawah 20 mm Hg.
97
7. Kan et al., 2006 Studi kasus serial pada 6 III/C 5 dari 6 pasien
pasien pediatri dengan rerata meninggal. 3 dari 4
skor GCS 4.6 yang dilakukan
craniektomi dekompresi. pasien memiliki ICP
<
20 mmHg
8. Rutgliano et Studi kasus retrospektif pada III/C 5 dari 6 pasien
al, 2006 6 pasien dengan kisaran usia memiliki ICP tidak
dibawah 20 tahun yang tinggi. 1 pasien
dilakukan craniektomy mengalami kenaikan
dekompresi ICP, setelah
dilakukan operasi
kedua ICP kembali
normal.
98
dan 1 pasien
meninggal.
10. Jagannathan Studi kasus serial pada 23 III/C ICP yang tinggi
et al., 2007 pasien dengan rerata usia sebanding dengan
1.9 tahun yang dilakukan
craniektomy dekompresi mortalitas,
post cedera kepala. didapatkan pula
99
intraserebral
hipertensi yang
refrakter.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Cho DY, Wang YC, Chi CS: Decompressive craniotomy for acute
shaken/impact syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192–198
Ellis JA et al. Internal cranial expansion surgery for the treatment of refractory
idiopathic intracranial hypertension. 2012
Figaji AA, Fieggen AG, Peter JC: Early decompressive craniotomy in children with
se- vere traumatic brain injury. Childs Nerv Syst 2003; 19:666 – 673
Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy
in the treatment of severe refractory posttraumatic cerebral edema.
Neurosurgery 1997; 41:84–94
100
Rutigliano D, Egnor MR, Priebe CJ, et al: Decompressive craniectomy in pediatric
pa- tients with traumatic brain injury with intractable elevated intracranial
pressure. J Pe- diatr Surg 2006; 41:83– 87; discussion 83– 87
Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.
Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai “cedera otak” saja, adalah
perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak akibat
penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan,
penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam kategori cedera otak
ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak
tidak dimasukkan dalam kelompok ini.
101
Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus
anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola
dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan pada orang
dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan
anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak
terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin
melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi
untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara
terpisah pada kartu monitoring seringkali menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan
apakah ada penurunan kesadaran pada waktu benturan. Gegar otak bisa sangat
singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat
terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa
terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan
penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya
setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan.
102
kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala,
khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan
dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan
apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak
kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur.
Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada
meningen yang menghasilkan timbulnya hematom ekstradural. Tidak adanya fraktur
tidak menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah
pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak
termasuk bayi.
Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari luka,
hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena
mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting
untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi
peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah
bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk
melakukan pembedahan sebagai pertimbangan pemberian transfusi darah
segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil
kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali
untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana pada
orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti perkiraan
kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan perubahan yang
tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam setelah
cedera ringan dianjurkan.
Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan
tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan
suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil bisa menyulitkan
saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut.
103
Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai
dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain
Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3),
2003
104
Gejala dari conccusion karena trauma olahraga diklasifikasikan dalam 4 kelompok :
gangguan fisik, kognitif, emosi, dan gangguan tidur.
- Menjawab
pertanyaan dengan
pelan
2.
Amnesia post trauma > 30 menit
105
Berat 1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit Tiap ada penurunan
2. atau kesadaran
3. Hidrosefalus
4. SAH spontan
5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari)
• CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau lebih
dari 1 minggu
106
• Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika pada
pemeriksaan tidak didapatkan kelainan
• CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau
lebih dari dua minggu.
Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi yang
berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT scan) pada
atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung penilaian dari
dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang disarankan adalah
: 1. Concussion berat
2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan
3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada
musim kompetisi yang sama.
107
No Tingkat keparahan
2 Ringan 1 minggu *
Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal †
Referensi
Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports
medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4
Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain
injury. Psychiatric annals. 42 : 10
Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan penelitian
yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical
certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya
pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk
tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera
otak.
108
Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran
dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung pada
pelayanan dan pendidikan serta penelitian dibidang neurotrauma.
Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami
namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini
secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.
109