Ruang Terbuka Hijau

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 73

Ruang Terbuka Hijau

Pendahuluan

Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.

Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis
Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup
bagi:

 kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;


 kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi;

 area pengembangan keanekaragaman hayati;


 area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan;
 tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
 tempat pemakaman umum;
 pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
 pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;
 penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria
pemanfaatannya;
 area mitigasi/evakuasi bencana; dan
 ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak
mengganggu fungsi utama RTH tersebut.

Istilah dan Definisi


Elemen lansekap, adalah segala sesuatu yang berwujud benda, suara, warna dan suasana yang
merupakan pembentuk lansekap, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Elemen
lansekap yang berupa benda terdiri dari dua unsur yaitu benda hidup dan benda mati; sedangkan
yang dimaksud dengan benda hidup ialah tanaman, dan yang dimaksud dengan benda mati
adalah tanah, pasir, batu, dan elemen-elemen lainnya yang berbentuk padat maupun cair.

Garis sempadan, adalah garis batas luar pengaman untuk mendirikan bangunan dan atau pagar
yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai,
tepi saluran, kaki tanggul, tepi situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta api, jaringan
tenaga listrik, pipa gas.

Hutan kota, adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan
rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan
sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Jalur hijau, adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di
dalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang pengawasan jalan (RUWASJA).
Sering disebut jalur hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada
umumnya berwarna hijau.

Kawasan, adalah kesatuan geografis yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional serta mempunyai fungsi utama tertentu.

Kawasan perkotaan, adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Koefisien Dasar Bangunan (KDB), adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh
lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

Koefisien Daerah Hijau (KDH), adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh
ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan
luas tanah perpetakan/daerah perencanan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana
tata bangunan dan lingkungan.
Lansekap jalan, adalah wajah dari karakter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan
jalan, baik yang terbentuk dari elemen lansekap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang
mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lansekap buatan manusia
yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lansekap jalan ini mempunyai ciri-ciri khas karena
harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi
kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah,
nyaman dan memenuhi fungsi keamanan.

Penutup tanah, adalah semua jenis tumbuhan yang difungsikan sebagai penutup tanah.

Peran masyarakat, adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan
keinginan sendiri di tengah masyarakat sesuai dengan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
penataan ruang.

Perdu, adalah tumbuhan berkayu dengan percabangan mulai dari pangkal batang dan memiliki
lebih dari satu batang utama.

Pohon, adalah semua tumbuhan berbatang pokok tunggal berkayu keras.

Pohon kecil, adalah pohon yang memiliki ketinggian sampai dengan 7 meter.

Pohon sedang, adalah pohon yang memiliki ketinggian dewasa 7-12 meter.

Pohon besar, adalah pohon yang memiliki ketinggian dewasa lebih dari 12 meter.

Ruang terbuka, adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih
bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka terdiri atas ruang terbuka
hijau dan ruang terbuka non hijau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Ruang terbuka non hijau, adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk
dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.

Ruang terbuka hijau privat, adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang
pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung
milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Ruang terbuka hijau publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah
kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Sabuk hijau (greenbelt), adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi
perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya
agar tidak saling mengganggu.

Semak, adalah tumbuhan berbatang hijau serta tidak berkayu disebut sebagai herbaseus.

Tajuk, adalah bentuk alami dari struktur percabangan dan diameter tajuk.

Taman kota, adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana kegiatan
rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat kota.

Taman lingkungan, adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana
kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat lingkungan.

Tanaman penutup tanah, adalah jenis tanaman penutup permukaan tanah yang bersifat selain
mencegah erosi tanah juga dapat menyuburkan tanah yang kekurangan unsur hara. Biasanya
merupakan tanaman antara bagi tanah yang kurang subur sebelum penanaman tanaman yang
tetap (permanen).

Tanggul, adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu
untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai.

Vegetasi/tumbuhan, adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan baik yang berasal dari
kawasan itu atau didatangkan dari luar, meliputi pohon, perdu, semak, dan rumput.

Wilayah, adalah kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan kondisi geografis.

Fungsi dan Manfaat

RTH memiliki fungsi sebagai berikut:

Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:

 memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru
kota);
 pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung
lancar;
 sebagai peneduh;
 produsen oksigen;
 penyerap air hujan;
 penyedia habitat satwa;
 penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;
 penahan angin.

Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:

1. Fungsi sosial dan budaya:


o menggambarkan ekspresi budaya lokal;
o merupakan media komunikasi warga kota;
o tempat rekreasi; wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam
mempelajari alam.
2. Fungsi ekonomi:
o sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur;
o bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain.
3. Fungsi estetika:

o meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro:


halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara
keseluruhan;
o menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
o pembentuk faktor keindahan arsitektural;
o menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak
terbangun.

Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan
kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan
ekologi dan konservasi hayati.

Manfaat RTH

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:

1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk
keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk
dijual (kayu, daun, bunga, buah);
2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih
udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah,
pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi
hayati atau keanekaragaman hayati).
Tipologi RTH
Tipologi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebagai berikut:

 Fisik : RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan
lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman,
lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan.
 Fungsi : RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi.

 Struktur ruang : RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang,


tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan.
 Kepemilikan : RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat.

Penyediaan RTH
Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan dapat didasarkan pada:

 Luas wilayah
 Jumlah penduduk
 Kebutuhan fungsi tertentu

Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

 ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;
 proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20%
ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;
 apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki
total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi
tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.
 Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota,
baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan
antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang
berlaku.
 250 jiwa : Taman RT, di tengah lingkungan RT
 2500 jiwa : Taman RW, di pusat kegiatan RW
 30.000 jiwa : Taman Kelurahan, dikelompokan dengan sekolah/ pusat kelurahan
 120.000 jiwa : Taman kecamatan, dikelompokan dengan sekolah/ pusat kecamatan
 480.000 jiwa : Taman Kota di Pusat Kota, Hutan Kota (di dalam/kawasan pinggiran), dan
Pemakaman (tersebar)

Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana
misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi
perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu.

RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik
tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH
sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

Prosedur Perencanaan

Ketentuan prosedur perencanaan RTH adalah sebagai berikut:

 penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditentukan dalam
rencana tata ruang (RTRW Kota/RTR Kawasan Perkotaan/RDTR Kota/RTR Kawasan
Strategis Kota/Rencana Induk RTH) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat;

 penyediaan dan pemanfaatan RTH publik yang dilaksanakan oleh pemerintah disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
 tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTH publik meliputi:

o perencanaan;
o pengadaan lahan;
o perancangan teknik;
o pelaksanaan pembangunan RTH;
o pemanfaatan dan pemeliharaan.
 penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang dilaksanakan oleh masyarakattermasuk
pengembang disesuaikan dengan ketentuan perijinan pembangunan;
 pemanfaatan RTH untuk penggunaan lain seperti pemasangan reklame (billboard) atau
reklame 3 dimensi, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

o mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku pada masing-masing daerah;


o tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman misalnya
menghalangi penyinaran matahari atau pemangkasan tanaman yang dapat
merusak keutuhan bentuk tajuknya;
o tidak mengganggu kualitas visual dari dan ke RTH;
o memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan pengguna RTH;
o tidak mengganggu fungsi utama RTH yaitu fungsi sosial, ekologis dan estetis.
Mengenal Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area yang memanjang berbentuk jalur dan atau area
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. Dalam Undang-undang No. 26 tahun
2007 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang
terdiri dari 20% publik dan 10% privat. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Contoh RTH Publik adalah taman kota, hutan kota, sabuk hijau (green belt), RTH di sekitar
sungai, pemakaman, dan rel kereta api. Sedangkan RTH Privat adalah RTH milik institusi
tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain
berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Penyediaan RTH memliki tujuan sebagai berikut :

1. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air,


2. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan
lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
3. Meningkatakan keserasian lingkunagn perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan
perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

RTH yang telah ada baik secara alami ataupun buatan diharapkan dapat menjalankan empat (4)
fungsi sebagai berikut :

1. Fungsi ekologis antara lain : paru-paru kota, pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, produsen
oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitas satwa, penyerap polutan dalam udara, air dan
tanah, serta penahan angin.
2. Fungsi sosial budaya antara lain : menggambarkkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi,
dan tempat rekreasi warga.
3. Fungsi ekonomi antara lain : sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, buah,
daun, dan sayur mayur. Beberapa juga berfungsi sebagai bagian dari usaha pertanian,
perkebunan, kehutanan, dan lain-lain.
4. Fungsi estetika antara lain meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik skala
mikro (halaman rumah/lingkungan pemukiman), maupun makro (lansekap kota secara
keseluruhan); menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak
terbangun.

Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai kebutuhan,
kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologis. dan
konservasi hayati.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi dalam kategori sebagai berikut :

1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan
dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun,
bunga, dan buah).
2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih udara yang
sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, dan pelestarian fungsi
lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati dan keanekaragaman
hayati)

Melihat besarnya fungsi dan peran RTH untuk menjamin kesimbangan kota, Medco Foundation
membuat sebuah program yang dinamakan GreenPOTS. GreenPOTS merupakan kegiatan
edukasi kepada masyarakat untuk menciptakan, mempertahankan, , dan memanfaatkan RTH
privat yang ada disekitarnya. Masyarakat diberikan pengetahuan dan penyadaran bahwa dengan
melakukan kegiatan penghijauan dalam skala kecil baik di rumah maupun komunitas akan
berkontribusi langsung dalam mendukung pencapaian target RTH perkotaan.

Mengenal Ruang Terbuka Hijau


Keterangan :
KDB = Angka yang menyatakan jumlah (persentase) luasan lahan yang boleh dibangun.
Nilai KDB 80% artinya suatu area harus menyediakan RTH sebesar 20% dari total luas lahan
yang akan dibangun. Nilai KDB berbeda – beda untuk setiap wilayah tergantung peruntukan
lahan dalam rencana tata kota

Sumber :

1. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang


2. Peraturan Menteri PU No : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
RUANG TERBUKA dan RUANG TERBUKA HIJAU

I. RUANG TERBUKA (OPENSPACE)

Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman,
produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin
parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang
terbuka (Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.

Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat
tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara
gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.

Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk
adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu
berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya,
bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik
dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.

Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas
maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan,
trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya. Dilihat dari sifatnya ruang terbuka bisa
dibedakan menjadi ruang terbuka privat (memiliki batas waktu tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya
bersifat pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruang terbuka semi privat (ruang publik yang kepemilikannya
pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan, Ancol) dan ruang terbuka umum
(kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh masyarakat tanpa batas waktu tertentu, contoh
alun-alun, trotoar). Selain itu ruang terbuka pun bisa diartikan sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman
rekreasi, dll).

Ditinjau dari pengertian di atas, ruang terbuka tidak selalu harus memiliki bentuk fisik (baca: lahan dan lokasi)
definitif. Dalam bahasa arsitektur, ruang terbuka yang telah berwujud fisik ini sering juga disebut sebagai ruang
publik, sebutan yang sekali lagi menekankan aspek aksesibilitasnya.

Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan bermakna.
Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Secara
demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus
terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai
salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi
fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh maupun lansia.
Ruang-ruang terbuka atau ruang-ruang publik ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau
dan/atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat)

II. RUANG TERBUKA HIJAU (Green Openspaces)

Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang
didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota,
dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas
atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah
ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.

Sejumlah areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang publik, telah tersingkir akibat
pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer” (container development) yakni bangunan yang
secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya,
yang berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas
saja yang “percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu.

Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang
terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan,
arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional
atau daerah dengan standar-standar yang ada.

Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang
mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan
pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru kota, sistem transportasi, dan berbagai insentif
pengembangan kawasan, persampahan dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata
luasan RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota
tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita
penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan
pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.

Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap
kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan
seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi
wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian
pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan
keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.

Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) Dan Ruang
Terbuka Hijau Binaan (RTH Binaan).
Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal
memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh
tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.

Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah
pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.

Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal
memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan
tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.

Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang
terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan
terhadap flora

III. RUANG TERBUKA BINAAN (Built Openspaces)

Ruang Terbuka Binaan atau Built Openspaces, terdiri dari Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBPU) Dan Ruang
Terbuka Binaan Privat (RTBPV).

Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal
memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan
tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan.

Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut,
daerah rekreasi, dan Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid,
halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan kantin.

Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal
memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.

Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil

Bagan Struktur Ruang Terbuka

RUANG TERBUKA

BINAAN PRIVAT
(RTBPV)

RUANG TERBUKA

BINAAN PUBLIK

(RTBPU)

RUANG TERBUKA

OPENSPACE

RUANG TERBUKA

HIJAU LINDUNG

(RTHL)

RUANG TERBUKA

HIJAU BINAAN

(RTH BINAAN)

RUANG TERBUKA

BINAAN

(RTB)

Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau
mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman
budi daya.

Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan
bakau, dsbnya.

Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau
mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan.

Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi,

dan Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid, halaman gereja, plaza di antara gedung
perkantoran dan kantin.

RUANG TERBUKA
HIJAU

(RTH)

Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau
mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan
sebagian kecil tanaman.

Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang
berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap flora

Adapun kawasan ruang terbuka hijau binaan dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan olahraga taman, kebun hortikultura, hutan kota,
taman di lingkungan perumahan, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan
tinggi, dan termasuk bangunan pelengkap atau kelengkapannya

Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau
mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.

Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil.

IV. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA

Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap
perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik.

a. Daya Dukung Ekosistem

Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan
komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang
terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini
ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.

b. Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor

– Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan
manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan
SO2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut,
meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu,
pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan
komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian
yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan
berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan
menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini
tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.

– Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan
aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu
membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya,
sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian
ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah
suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan
gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi
gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.

c. Pengamanan Lingkungan Hidrologis

– Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan
ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan
vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh
bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang
diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.

– Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air tanah, maka
secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang
ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/
penggaraman pada benda-benda tertentu.

d. Pengendalian Suhu Udara Perkotaan

– Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka
hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau
menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala
meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.

– Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai
indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap
penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui indeks tersebut
akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus
dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri.

e. Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan

– Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-
komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang
rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan
komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur
panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia.
Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponen-komponen dengan struktur panas
yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape
yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini
dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.

– Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam
menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan
struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara
komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas
oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah
dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.

f. Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan

– Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek
penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi.

– Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah
menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat
sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak,
ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan
demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah
lingkungan permukiman.

V. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA

Pendekatan ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh pengguna, terutama di kawasan
perkotaan. Secara umum manfaat yang diinginkan adalah berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya
membangun kesehatan jasmani dan rohani manusia.

a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkungan


b. Penciptaan susunan ruang vista
c. Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan.

5.1. Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar

Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang disesuaikan
dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah.

Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk
memperoleh masukan yang komprehensif mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan dihasilkan.

5.1.2 Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri

Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam
hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang
tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung
Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan.

Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk
memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.

Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat
dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan
detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan
rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia.

Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai
pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert
Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.

Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek
keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun
dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang
terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m 2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu
orang, Grove (1983).

Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat
mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km 2,
diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan
24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang.

Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan
beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan
taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang.
Sementara itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan
masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat.

Menurut Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal
yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :

Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi

Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga

Daerah tempat pertemuan warga

Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat

Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini
dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu
yang sangat penting bahkan dibutuhkan.

Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai 8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan.
Oleh karenanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang
Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat.

Untuk menentukan standar RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang berlaku di
negara lain.

Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar


No. Kota Populasi (juta RTH (m2/jiwa)
jiwa)

1 Singapura 2,70 7,0

2 Baltimore 0,93 27,0

3 Chicago 3,37 8,80

4 San Fransisco 0,66 32,20

5 Washington DC 0,76 45,70

6 Muenchen 1,27 17,60

7 Amsterdam 0,81 29,40

8 Geneva 0,17 15,10

9 Paris 2,60 8,40

10 Stocholm 1,33 80,10

11 Kobe 1,40 8,10

12 Tokyo 11,80 2,10

Sumber : Liu Thai Ker, 1994


Dalam rangka optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota, contoh kasus pengembangan
pembangunan pertamanan yang diterapkan di Roterdam (A.B Grove dan R.W. Cresswell dalam City Landscape)
dapat dikemukakan tabel dibawah ini:

Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam terbagi sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut ini :

Tabel Pembagian Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam

Unit Jenis Ruang Terbuka Hijau Keterangan

1 Ruang Terbuka Hijau di Lokasi Luas = + 50 – 5000m2


Perumahan (House Block
Greenspace) Jarak Tempuh, max = 250 m

Lokasi : di dalam area perumahan

Standard : 2,8 – 3,7 m2/ penduduk

2 Ruang Terbuka Hijau di Bagian Luas = + 5000m2 (4 Ha)


Kota (Quarter Greenspace)
Jarak Tempuh, Max = 400 m

Lokasi : radius + 300 – 500 m

Standard : 3,6 – 4,5 m2/ penduduk

3 Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Luas = + min 8 Ha


Kota (District Greenspace)
Jarak tempuh, max = 800 m

Lokasi : di wilayah kota

Standar : 3,7 – 4,8 m2/ penduduk

Ruang Terbuka ini melayani 2 s/d 3 ruang terbuka hijau bagian


wilayah kota

4 Ruang Terbuka Hijau Kota Luas = 20 – 200 Ha


(Town Greenspace)
Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi

Standar : 9 – 12,8 m2/ penduduk


5.1.3. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri

Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota
dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%,
termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti
keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan
sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.

Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan
mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui
merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian
seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas
pekarangan hingga komunitas pada level kota.

Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20
– 30%. Sementara kondisi eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang terbuka
hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang
Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam,
dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67
m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan
dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m 2/penduduk.

Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan
adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun
raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka
setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.

Dibandingkan dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau
bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati +
1,61 m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota
Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1989. Laporan Dinas Pertamanan DKI 1988 – 1989. Dinas Pertamanan DKI

Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Depdagri, Ruang Terbuka Hijau Kota. Jakarta, 1990

Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di indonesia dalam
menghadapi dinamika abad XXI.

Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar
Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Hester R.T, 1975 Neighborhood Space. Husting son and Rose.

Jurnal Arsitektur Lansekap Indonesia nomor 04 tahun 1998.


Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.

Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).

Pemerintah DKI Jakarta, Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Tahun 1991. Jakarta, Maret
1992.

Pemerintah Kotamadya DT II Ambon, Aspek Pertamanan Dalam Program Trotoarisasi Kota Ambon. Ambon, 1990.

Pemerintah Kotamadya DT II Malang,, Sejarah Perencanaan Kota Malang Sejak Jaman Kolonial Dan
Perkembangannya Ditinjau Dari Aspek Pertamanan. Jakarta, 23 Agustus 1990.

Pemerintah Kotamadya DT II Surabaya, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis Pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau Di Surabaya. Jakarta, 1990.

Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi
Bandung, 2000.

Rustam Hakim, 1995, Peran Arsitektur Lansekap Dalam Wilayah Perkotaan, FALTL Universitas Trisakti, Jakarta.

Rustam Hakim, 1988, Unsur unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bina Aksara, Jakarta.

Rustam Hakim, 1996, Tahapan dan Proses Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, penerbit Bina Aksara Jakarta

Rustam Hakim, 2004, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, penerbit Bina Aksara Jakarta

Dusseldorp, D.B.M.W.Van, 1981. Participation in Planed Development : Influence by Government of Developing


Contries of Local Level in Rural Areas.

Susanto A., 1993. Gerakan Penghijauan Sejuta Pohon Menuju Jakarta Berwawasan Lingkungan. Dinas Bina
Program Dinas Pertanaman DKI Jaya.
Hester R.T, 1975 Neighborhood Space. Husting son and Rose.

Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.

Liliawati, E, Mudjono, 1998, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Penerbit Harvarindo.

Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).

Robinette, J., 1983. Lanscape Planning For Energy Conservation. Van Nostrand Reinhold Co., New York.

Soemarwoto, O., 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Jambatan Jakarta.

Walter, JK Stephen, 1993, Enterprise Government And The Public, McGrawHill Inc.
PENGERTIAN, KLASIFIKASI DAN FUNGSI RUANG TERBUKA HIJAU

Taman Beringin di Jl. Jend. Sudirman, sebagai salah satu RTH di Kota Medan

Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka (open spaces) merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan
tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces),
Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ruang publik (public spaces) mempunyai pengertian yang hampir
sama. Secara teoritis yang dimaksud dengan ruang terbuka (open spaces) adalah: Ruang yang
berfungsi sebagai wadah (container) untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun
berkelompok, serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan
(UUPR no.24/1992)

Suatu wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai
penutup dalam bentuk fisik.

Ruang yang berfungsi antara lain sebagai tempat bermain aktif untuk anak-anak dan dewasa,
tempat bersantai pasif untuk orang dewasa, dan sebagai areal konservasi lingkungan hijau/

Ruang yang berdasarkan fungsinya sebagai ruang terbuka hijau yaitu dalam bentuk taman,
lapangan atletik dan taman bermain.

Lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan yang
mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi; konservasi lahan dan sumber daya alam
lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan.

Beberapa pengertian tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) diantaranya adalah: Ruang yang
didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun didalam kota, dalam bentuk taman, halaman,
areal rekreasi kota dan jalur hijau.
Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan
maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka
yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai kawasan pertamanan kota, hutan
kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan hijau
pekarangan.

Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan


permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan rekreasi.

Dan pengertian ruang publik (public spaces) adalah suatu ruang dimana seluruh masyarakat
mempunyai akses untuk menggunakannya. Ciri-ciri utama dari public spaces adalah: terbuka
mudah dicapai oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelompok dan tidak selalu
harus ada unsur hijau, bentuknya berupa malls, plazas dan taman bermain.

Jadi RTH lebih menonjolkan unsur hijau (vegetasi)dalam setiap bentuknya sedangkan public
spaces dan ruang terbuka hanya berupa lahan terbuka belum dibangun yang tanpa tanaman.
Public spaces adalah ruang yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sedangkan RTH dan
ruang terbuka tidak selalu dapat digunakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Ruang terbuka hijau membutuhkan perencanaan yang lebih baik lagi untuk menjaga
keseimbangan kualitas lingkungan perkotaan. Mempertahankan lingkungan perkotaan agar tetap
berkualitas merupakan penjabaran dari GBHN 1993 dengan asas trilogi pembangunannya yaitu
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, dan stabilitas nasional
melalui pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup.

Klasifikasi Ruang Tebuka Hijau Kota

Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan


pengelolaannya adalah sebagai berikut :

§ Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara
teratur dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta
memiliki fungsi relaksasi.

§ Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan
raya.

§ Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang
terbuka hijau.

§ Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu
lapangan, lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu
lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
§ Kawasan Hijau Pemakaman.

§ Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah
dan tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan
buah-buahan.

§ Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan
jalan, taman pulau jalan dan sejenisnya.

§ Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran,


perdagangan dan kawasan industri.

Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota, lapangan
O.R, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.

Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan hijau
taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki
hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana
untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH
lainnya.

Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Kegiatan–kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau


mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan
perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik jika setiap
orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH bagi kota yaitu:
untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota dengan sasaran untuk
memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih
baik dan sehat.

Berdasarkan fungsinya menurut Rencana Pengembangan Ruang terbuka hijau tahun


1989 yaitu :

1. RTH yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dimana penduduk dapat melaksanakan
kegiatan berbentuk rekreasi, berupa kegiatan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga, dan
rekreasi pasif seperti taman.

2. RTH yang berfungsi sebagai tempat berkarya, yaitu tempat penduduk bermata pencaharian
dari sektor pemanfaatan tanah secara langsung seperti pertanian pangan, kebun bunga dan usaha
tanaman hias.
3. RTH yang berfungsi sebagai ruang pemeliharaan, yaitu ruang yang memungkinkan
pengelola kota melakukan pemeliharaan unusur-unsur perkotaan seperti jalur pemeliharaan
sepanjang sungai dan selokan sebagai koridor kota.

4. RTH yang berfungsi sebagai ruang pengaman, yaitu untuk melindungi suatu objek vital
atau untuk mengamankan manusia dari suatu unsur yang dapat membahayakan seperti jalur hijau
disepanjang jaringan listrik tegangan tinggi, jalur sekeliling instalasi militer atau pembangkit
tenaga atau wilayah penyangga.

5. RTH yang berfungsi sebagai ruang untuk menunjang pelestarian dan pengamanan
lingkungan alam, yaitu sebagai wilayah konservasi atau preservasi alam untuk mengamankan
kemungkinan terjadinya erosi dan longsoran pengamanan tepi sungai, pelestarian wilayah
resapan air.

6. RTH yang berfungsi sebagai cadangan pengembangan wilayah terbangun kota di masa
mendatang.

Fungsi RTH kota berdasarkan Inmendagri no.14/1998 yaitu sebagai:

1. Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan

2. Sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan

3. Sarana rekreasi

4. Pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik darat,
perairan maupun udara

5. Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk
kesadaran lingkungan

6. Tempat perlindungan plasma nutfah

7. Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro

8. Pengatur tata air

Melihat beberapa fungsi tersebut diatas bisa disimpulkan pada dasarnya RTH kota mempunyai 3
fungsi dasar yaitu:

v Berfungsi secara sosial yaitu fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan dan
olahraga. Dan menjalin komunikasi antar warga kota.

v Berfungsi secara fisik yaitu sebagai paru-paru kota, melindungi sistem air, peredam bunyi,
pemenuhan kebutuhan visual, menahan perkembangan lahan terbangun/sebagai penyangga,
melindungi warga kota dari polusi udara
v Berfungsi sebagai estetika yaitu pengikat antar elemen gedung dalam kota, pemberi ciri dalam
membentuk wajah kota dan unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.

Sangat penting untuk diingat bahwa tumbuhan merupakan kehidupan pelopor yang menyediakan
bahan makanan dan perlindungan kepada hewan maupun manusia. Sementara untuk kota di luar
negeri taman identik dengan peradaban suatu bangsa, sehingga mereka sangat memperhatikan
masalah pembanguan fungsi, misalnya Di Italia; terkenal sebagai tempat asal pemusik kelas
dunia memiliki taman dengan ciri khas permainan musik lewat water orchestra, Di Yunani;
orang terkenal gemar memasak dan mengobati memiliki taman dengan ciri khas kitchen garden,
Di Mesir; taman memiliki ciri khas tanaman herba, rempah-rempah dan wewangian, di Inggris;
taman dengan rumput terpangkas rapi dengan seni pemangkasan yang terkenal yaitu topiary, di
Cina dan Jepang; dengan tradisi Buddhisme, taoisme merancang taman yang berfungsi spirit
kerohanian dengan ciri khas taman adalah air, batu dan bukit-bukitan dan di Sydney yang
berpenduduk asli suku Aborigin menganggap tanah dan alam bagian dari hidup mereka, jadi
pemerintah membangun taman nasional (suaka alam) dengan mempekerjakan masyarakat sekitar
sebagai pengelola taman dan setelah itu mengembalikannya kepada penduduk tradisional
sepenuhnya, lalu pemerintah menyewa taman tersebut dari penduduk, sehingga sehingga kedua
pihak mengelolanya bersama.

sumber: http://paradigmakaumpedalaman.blogspot.co.id

Sumber: www.teraskreasi.com

http://trtb.pemkomedan.go.id/artikel-699-pengertian-klasifikasi-dan-fungsi-ruang-terbuka-hijau-
.html#ixzz42sMoXi1k
Ruang Terbuka Hijau Dalam Perencanaan Kota
Penulis : Febry Aristian
Jurusan Teknik Perencanaan wilayah dan kota
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Abstrak
Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya, sehingga
pengembangannya mestinya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan fisik dan
spiritual. Tapi banyak ditemukan suatu kota yang perencanaannya dilakukan secara kurang
memadai, sehingga menjadi lesu. Dalam makalah ini membahas tentang peran RTH dalam
perencanaan kota karena RTH merupakan Sesuatu yang sangat penting dalam perencanaan
kota. Dengan dibentuknya ruang-ruang terbuka hijau tersebut, dapat disusun suatu jaringan
RTH-kota yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman,
segar, bersih, sehat, dan indah. Di samping memperhitungkan aspek luas, bentuk, dan tipe RTH,
keberhasilan pengembangan RTH ini akan sangat ditentukan oleh adanya dukungan dari
seluruh lapisan masyarakat serta pengaturannya dituangkan dalam Peraturan Daerah.

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi.
Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk
aspek lingkungan. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang
terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya,
ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun.
Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain
dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal
tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap
aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa
ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-
ruas jalan tertentu1[1].
Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai
berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem
transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan
utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari
suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan
kotanya.
2. Rumusan Masalah
Beradasarkan latar belakang di atas maka hal yang akan dibahas di sini adalah definisi
serta peran dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam perencanaan kota.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Ruang Terbuka

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka
hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari
ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman
dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya
dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya.
Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang
terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang
diperuntukkan sebagai genangan retensi. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami
yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-
alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Secara ekologis
RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan
menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain
seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya
keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan
sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain
taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya2[2].
Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif
untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri
dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga
menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Hal ini umumnya
merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis.
Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai
bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar
dan telah menimbulkan berbagai ketidak nyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi
kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai suatu teknik bioengineering
dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.
Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai
berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem
transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan
utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari
suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan
kotanya3[3].
2. Ruang Terbuka Hijau
Secara historis pada awalnya istilah ruang terbuka hijau hanya terbatas untuk vegetasi
berkayu (pepohonan) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari lingkungan kehidupan
manusia. Danoedjo (1990) dalam Anonimous (1993) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau di
wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, dimana didominasi
oleh tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alami. Ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan
berdasarkan letak dan fungsinya sebagai berikut :

 ruang terbuka kawasan pantai (coastal open space);


 ruang terbuka di pinggir sungai (river flood plain);
 ruang terbuka pengaman jalan bebas hambatan (greenways);
 ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan Bandar Udara.

Berdasarkan fungsi dan luasan, ruang terbuka hijau dibedakan atas :

 Ruang terbuka makro, mencakup daerah pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota,
dan pengaman di ujung landasan Bandar Udara;
 Ruang terbuka medium, mencakup pertamanan kota, lapangan olah raga, Tempat
Pemakaman Umum (TPU);
 Ruang terbuka mikro, mencakup taman bermain (playground) dan taman lingkungan
(community park).

Haryadi (1993) membagi sistem budidaya dalam ruang terbuka hijau dengan dua sistem
yaitu sistem monokultur dan sistem aneka ragam hayati. Sistem monokultur hanya terdiri dari
satu jenis tanaman saja, sedang sistem aneka ragam hayati merupakan sistem budidaya dengan
menanam berbagai jenis tanaman (kombinasi antar jenis) dan dapat juga kombinasi antar flora
dan fauna, seperti perpaduan antaran taman dengan burung-burung merpati. Banyak pendapat
tentang luas ruang terbuka hijau ideal yang dibutuhkan oleh suatu kota.

Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984)


menyatakan bahwa prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50% dari luas
kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari luas kota. Direktorat Jendral Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum, menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau yang
dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit
atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu. Lain halnya jika ruang
terbuka hijau akan dimanfaatkan secara fungsional, maka luasannya harus benar-benar
diperhitungkan secara proporsional.
RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai fungsi yang terkait
dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang
dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan
dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan
identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem
perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi
pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan ke-
inginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan
determinan utama dalam menentukan besaran RTH fungsi-onal ini.
Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas
lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional
dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan. Kelestarian
RTH suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang
sesuai dengan arah rencana dan rancangannya.
3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Tanaman secara fisiologis bersifat menetralisir keadaan lingkungan yang berada di bawah
daya tampung lingkungan. Kemampuan ini dapat berasal dari kerja fotosintesis yang dapat
menyerap polutan udara; melalui proses evapotranspirasi dapat menyimpan air hujan sebagai
imbuhan untuk air tanah; sedangkan aroma yang dikeluarkan tanaman, maupun bentuk fisik
tanaman (bentuk tajuk dan pilotaxy batang yang khas) secara tidak langsung bermanfaat untuk
melindungi lingkungan dari terik matahari atau mencegah erosi dan sedimentasi. Dengan
kemampuan tersebut, maka tanaman dalam ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai berikut :

a. Ameliorasi iklim, artinya dapat mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Ruang terbuka
hijau menghasilkan O2 dan uap air (H2O) yang menurunkan, serta menyerap CO2 yang bersifat
gas rumah kaca sehingga dapat menaikkan suhu udara dan berpengaruh pada iklim mikro
setempat
b. Memberikan perlindungan terhadap terpaan angin kencang dan peredam suara. Tanaman
berfungsi sebagai pematah angin (windbreak) dan peredam suara (soundbreak)
c. Memberikan perlindungan terhadap terik sinar matahari. Kehadiran tanaman dalam ruang
terbuka hijau akan mengintersepsi dan memantulkan radiasi matahari untuk fotosintesis dan
transpirasi sehingga di bawah tajuk akan terasa lebih sejuk
d. Memberikan perlindungan terhadap asap dan gas beracun, serta penyaring udara kotor dan debu
e. Mencegah erosi. Arsitektur tanaman (pilotaxi) berupa pohon akan mempengaruhi sifat aliran
batang (steam flow) air hujan yang tertampung oleh tajuk, sehingga dapat mempengaruhi tata air
dan erosi lahan.
f. Merupakan sarana penyumbang keindahan dan keserasian antara struktur buatan manusia secara
alami;
g. Ruang terbuka hijau berfungsi secara tidak langsung untuk memperbaiki tingkat kesehatan
masyarakat.
h. Membantu peresapan air hujan sehingga memperkecil erosi dan banjir serta membantu
penanggulangan intrusi air laut. Tanaman dalam ruang terbuka hijau yang diperuntukkan untuk
mencegah intrusi air laut adalah jenis tanaman yang berkemampuan dalam menyerap,
menyimpan, dan memasok air. Sebagai sarana rekreasi dan olah raga;
i. Tempat hidup dan berlindung bagi hewan dan pakan mikroorganisme;
j. Sebagai tempat konservasi satwa dan tanaman lain;
k. Sarana penelitian dan pendidikan;
l. Sebagai pelembut, pengikat, dan pemersatu bangunan;
m. Meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ruang terbuka hijau, apabila jenis tanaman yang
ditanam bernilai ekonomi;
n. Sarana untuk bersosialisasi antar warga masyarakat;
o. Sebagai media pengaman antar jalur jalan.

Sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau di wilayah perkotaan memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan penyelenggaraan ruang terbuka hijau
di kota sesuai dan tertuang dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota masing-
masing;
2. Bagi daerah yang telah memiliki Ruang Terbuka Hijau, maka harus mengadakan
penyesuaian dengan peraturan instruksi ini;
3. Melaksanakan pengelolaan dan pengendalian fungsi serta peranan Ruang Terbuka Hijau
dengan melarangnya untuk penggunaan dan peruntukan ruang yang lain;
4. Melaksanakan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk mencapai pembangunan
berwawasan lingkungan.

4. Elemen Pengisi RTH


RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi
dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang
berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan
memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan
rancangan RTH yang berbeda.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta
kriteria arsitektural dan hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan
pertimbangan dalam men-seleksi jenis-jenis yang akan ditanam.Persyaratan umum tanaman
untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a. Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota,
b. Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c. Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d. Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang
e. Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural
f. Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota
g. Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h. Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal
i. Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu
(ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan
tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna
mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.
5. Teknis Perencanaan RTH
Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah
perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu
a. Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara
komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
1) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah
2) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya)
3) Arah dan tujuan pembangunan kota RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis
yang ber-lokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat.
b. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH
c. Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi) Seleksi
tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
Menurut Correa, (1988), dalam penelitian dikatakan bahwa apabila RTH diabstraksikan
kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
a. Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
b. Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
c. Daerah tempat pertemuan warga
d. Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat

6. Pendekatan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya

Pendekatan ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh
pengguna, terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat yang diinginkan adalah
berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya membangun kesehatan jasmani dan
rohani manusia.
a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkungan
b. Penciptaan susunan ruang vista
c. Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan.
 Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar

Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman


penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan
konsistensi kebijakan pemerintah.
Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai
bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai bentuk pengaturan
yang akan dihasilkan.

a) Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri


Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah
berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam
bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di
lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan,
The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan.
Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan
berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang
kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar
dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New
York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap
yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya
mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota
sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi
semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang
dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang, Grove
(1983).
Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa
kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang
terbuka hijau kota.
b) Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri
Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk
rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang
terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan
jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang
terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15
%.
Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang
sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin
memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi
upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku
pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level
komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota.
Sebagai contoh Pembangunan infrastruktur di kota Makassar makin maju. Tapi ruang
terbuka hijau makin minim. Begitu minimnya, ruang terbuka hijau (RTH) di makassar tak cukup
sepuluh persen dibanding luas wilayah. Padahal seharusnya, minimal 30 persen. Minimnya RTH
ini tentu berdampak pada kesehatan lingkungan. Sebab kota yang sehat, tentu harus memiliki
paru-paru kota. Dan paru-paru kota itu adalah taman-taman kota. Hadirnya taman kota yang
cukup juga sangat penting dalam mewujudkan makassar sebagai kota dunia 2025
mendatang4[4].

7. Upaya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas RTH

Ruang terbuka hijau sebaiknya ditanami pepohonan yang mampu mengurangi polusi
udara secara signifikan.. Menurut penelitian di laboratorium,pohon yang baik di tanam adalah
pohon felicium, mahoni, kenari, salam, perdu dan anting anting. Upaya yang penanaman bisa
pula dilakukan warga kota di halaman rumah masing-masing. Dengan penanaman pohon atau
tanaman perdu tadi, selain udara menjadi lebih sejuk, polusi udara juga bisa dikurangi. Untuk
menutupi kekurangan tempat menyimpan cadangan air tanah, setiap keluarga bisa melengkapi
rumahnya, yang masih memiliki sedikit halaman, dengan sumur resapan. Sumur resapan
merupakan sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah
maupun dari air hujan yang disalurkan melalui atap bangunan. Bentuknya dapat berupa sumur,
kolam dengan resapan, dan sejenisnya. Pembuatan sumur resapan ini sekaligus akan mengurangi
debit banjir dan genangan air di musim hujan. Salah satu contoh upaya yang baik untuk
mengembalikan kualitas dan kuantitias RTH yang dapat diterapkan di lingkungan permukiman
adalah beberapa kebijaksanaan perencanaan oleh pemerintah
Upaya yang harus dilakukan Kota Makassar dalam menjaga keseimbangan ekologi
lingkungan sebagai berikut:
 Pada kawasan terbangun kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:
o Untuk kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total kawasan.
o Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang terbuka hijau
minimum 15 % dari luas kawasan.
o Untuk kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka hijau minimum 20
% terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
 Pada kawasan terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan
tanahnya. Secara umum pengendalian KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah semakin besar
kapling bangunan, nilai KDB dan KLB makin kecil, sedangkan semakin kecil ukuran kapling,
maka nilai KDB dan KLB akan semakin besar.
 Untuk mengendalikan kualitas air dan penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan baik yang
telah ataupun akan membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan air. Hal ini sangat
penting artinya untuk menjaga agar kawasan terbangun kota, tinggi muka air tanah agar tidak
makin menurun. Pada tingkat yang tinggi, kekurangan air permukaan ini akan mampu
mempengaruhi kekuatan konstruksi bangunan.
 Untuk meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu dikembangkan kawasan resapan
air yang menampung buangan air hujan dari saluran drainase. Upaya lain yang perlu dilakukan
adalah dengan membuat kolam resapan air pada setiap wilayah tangkapan air.
 Untuk kawasan pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu jalur
angkutan umum adalah 250 meter.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif
untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri
dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga
menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Hal ini umumnya
merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis.
Maka dari itu perlunya keberadaan RTH untuk melestarikan dan menjaga kestabilan lingkungan
perkotaan.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta
kriteria arsitektural dan hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan
pertimbangan dalam menseleksi jenis-jenis yang akan ditanam. RTH perkotaan mempunyai
manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi
ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan
lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan
kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota. Untuk
mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal,
pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam membangun
dan mengembangkannya.

B. Saran
 Beberapa upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah:
 Melakukan revisi UU 24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat lebih mengakomodasikan
kebutuhan pengembangan RTH;
 Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk peyelenggaraan dan pengelolaan
RTH;
 Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik kota, dan indikator
keberhasilan pengembangan RTH suatu kota;
 Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau
(green cities);
 Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di
beberapa wilayah kota.
 Upaya yang dilakukan masyarakat adalah tetap menjaga kebersihan lingkungan dan senantiasa
mendukung seluruh rencana pemerintah dalam merencanakan RTH di wilayah kota.

DAFTAR PUSTAKA

Yunus, Hadi Sabar, (2005). Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Widyastama, R. 1991. Jenis Tanaman Berpotensi untuk Penghijauan Kota.


http://rustam2000.wordpress.com/persepsi-masyarakat-terhadap-aspek-perencanaan-ruang-
terbuka-hijau-kota-jakarta/
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/ruang-terbuka-hijau/
Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di
indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.
http://rustam2000.wordpress.com/ruang-terbuka-hijau/
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=44:adpu4433-
perencanaan-kota&catid=29:fisip&Itemid=74
http://perencanaankota.blogspot.com/2008/09/penyediaan-ruang-terbuka-hijau-rth-pada.html
PENGERTIAN, KLASIFIKASI DAN FUNGSI RUANG TERBUKA HIJAU
11:00 PM

Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka (open spaces) merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan
akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open
spaces), Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ruang publik (public spaces) mempunyai pengertian
yang hampir sama. Secara teoritis yang dimaksud dengan ruang terbuka (open spaces)
adalah: Ruang yang berfungsi sebagai wadah (container) untuk kehidupan manusia, baik
secara individu maupun berkelompok, serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan
berkembang secara berkelanjutan (UUPR no.24/1992)

Suatu wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak
mempunyai penutup dalam bentuk fisik.

Ruang yang berfungsi antara lain sebagai tempat bermain aktif untuk anak-anak dan
dewasa, tempat bersantai pasif untuk orang dewasa, dan sebagai areal konservasi lingkungan
hijau/

Ruang yang berdasarkan fungsinya sebagai ruang terbuka hijau yaitu dalam bentuk
taman, lapangan atletik dan taman bermain.

Lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah
perkotaan yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi; konservasi lahan dan
sumber daya alam lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan.

Beberapa pengertian tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) diantaranya adalah: Ruang
yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun didalam kota, dalam bentuk taman,
halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau.
Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih
bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai kawasan
pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur
hijau dan kawasan hijau pekarangan.

Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan


permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan rekreasi.

Dan pengertian ruang publik (public spaces) adalah suatu ruang dimana seluruh
masyarakat mempunyai akses untuk menggunakannya. Ciri-ciri utama dari public spaces
adalah: terbuka mudah dicapai oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelompok
dan tidak selalu harus ada unsur hijau, bentuknya berupa malls, plazas dan taman bermain.

Jadi RTH lebih menonjolkan unsur hijau (vegetasi)dalam setiap bentuknya sedangkan
public spaces dan ruang terbuka hanya berupa lahan terbuka belum dibangun yang tanpa
tanaman. Public spaces adalah ruang yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sedangkan
RTH dan ruang terbuka tidak selalu dapat digunakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Ruang terbuka hijau membutuhkan perencanaan yang lebih baik lagi untuk menjaga
keseimbangan kualitas lingkungan perkotaan. Mempertahankan lingkungan perkotaan agar
tetap berkualitas merupakan penjabaran dari GBHN 1993 dengan asas trilogi pembangunannya
yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, dan stabilitas
nasional melalui pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.

Klasifikasi Ruang Tebuka Hijau Kota

Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada


kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :

§ Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur
dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki
fungsi relaksasi.

§ Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.

§ Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang
terbuka hijau.

§ Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan,
lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan
olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.

§ Kawasan Hijau Pemakaman.


§ Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan
tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan
buah-buahan.

§ Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan,
taman pulau jalan dan sejenisnya.

§ Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran,


perdagangan dan kawasan industri.

Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota,
lapangan O.R, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH
produktif.

Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan
hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena
memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi
sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian
dari fungsi RTH lainnya.

Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Kegiatan–kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau


mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas
lingkungan perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik
jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH bagi kota
yaitu: untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota dengan sasaran
untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga kota dengan menciptakan lingkungan
yang lebih baik dan sehat.

Berdasarkan fungsinya menurut Rencana Pengembangan Ruang terbuka hijau tahun


1989 yaitu :

1. RTH yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dimana penduduk dapat melaksanakan kegiatan
berbentuk rekreasi, berupa kegiatan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga, dan rekreasi pasif
seperti taman.

2. RTH yang berfungsi sebagai tempat berkarya, yaitu tempat penduduk bermata pencaharian
dari sektor pemanfaatan tanah secara langsung seperti pertanian pangan, kebun bunga dan
usaha tanaman hias.

3. RTH yang berfungsi sebagai ruang pemeliharaan, yaitu ruang yang memungkinkan pengelola
kota melakukan pemeliharaan unusur-unsur perkotaan seperti jalur pemeliharaan sepanjang
sungai dan selokan sebagai koridor kota.
4. RTH yang berfungsi sebagai ruang pengaman, yaitu untuk melindungi suatu objek vital atau
untuk mengamankan manusia dari suatu unsur yang dapat membahayakan seperti jalur hijau
disepanjang jaringan listrik tegangan tinggi, jalur sekeliling instalasi militer atau pembangkit
tenaga atau wilayah penyangga.

5. RTH yang berfungsi sebagai ruang untuk menunjang pelestarian dan pengamanan lingkungan
alam, yaitu sebagai wilayah konservasi atau preservasi alam untuk mengamankan
kemungkinan terjadinya erosi dan longsoran pengamanan tepi sungai, pelestarian wilayah
resapan air.

6. RTH yang berfungsi sebagai cadangan pengembangan wilayah terbangun kota di masa
mendatang.

Fungsi RTH kota berdasarkan Inmendagri no.14/1998 yaitu sebagai:

1. Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan

2. Sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan

3. Sarana rekreasi

4. Pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik darat,
perairan maupun udara

5. Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk
kesadaran lingkungan

6. Tempat perlindungan plasma nutfah

7. Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro

8. Pengatur tata air

Melihat beberapa fungsi tersebut diatas bisa disimpulkan pada dasarnya RTH kota
mempunyai 3 fungsi dasar yaitu:

§ Berfungsi secara sosial yaitu fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan dan
olahraga. Dan menjalin komunikasi antar warga kota.

§ Berfungsi secara fisik yaitu sebagai paru-paru kota, melindungi sistem air, peredam bunyi,
pemenuhan kebutuhan visual, menahan perkembangan lahan terbangun/sebagai penyangga,
melindungi warga kota dari polusi udara

§ Berfungsi sebagai estetika yaitu pengikat antar elemen gedung dalam kota, pemberi ciri dalam
membentuk wajah kota dan unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.

Sangat penting untuk diingat bahwa tumbuhan merupakan kehidupan pelopor yang
menyediakan bahan makanan dan perlindungan kepada hewan maupun manusia. Sementara
untuk kota di luar negeri taman identik dengan peradaban suatu bangsa, sehingga mereka
sangat memperhatikan masalah pembanguan fungsi, misalnya Di Italia; terkenal sebagai
tempat asal pemusik kelas dunia memiliki taman dengan ciri khas permainan musik lewat water
orchestra, Di Yunani; orang terkenal gemar memasak dan mengobati memiliki taman dengan
ciri khas kitchen garden, Di Mesir; taman memiliki ciri khas tanaman herba, rempah-rempah dan
wewangian, di Inggris; taman dengan rumput terpangkas rapi dengan seni pemangkasan yang
terkenal yaitu topiary, di Cina dan Jepang; dengan tradisi Buddhisme, taoisme merancang
taman yang berfungsi spirit kerohanian dengan ciri khas taman adalah air, batu dan bukit-
bukitan dan di Sydney yang berpenduduk asli suku Aborigin menganggap tanah dan alam
bagian dari hidup mereka, jadi pemerintah membangun taman nasional (suaka alam) dengan
mempekerjakan masyarakat sekitar sebagai pengelola taman dan setelah itu
mengembalikannya kepada penduduk tradisional sepenuhnya, lalu pemerintah menyewa taman
tersebut dari penduduk, sehingga sehingga kedua pihak mengelolanya bersama.
Makalah Ruang Terbuka Hijau

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu komponen penting lingkungan. Ruang terbuka hijau sebagai
unsur utama tata ruang kota mempunyai fungsi yang sangat berpengaruh besar yang berguna bagi
kemaslahatan hidup warga, khususnya bagi warga Kabupaten Garut.

Dalam hal ini ruang terbuka hijau mempunyai fungsi yaitu sebagai pendukung utama keberlanjutan
perikehidupan warga kota selain itu juga hutan kota dapat dijadikan sebagai pelunak dan penyejuk
lingkungan

Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa pada hakikatnya ruang terbagi
kedalam kawasan lindung (alami,konservasi) dan kawasan budi daya atau terbangun. Walau telah ada
peraturannya, pada kenyataanya telah terjadi degradasi kualitas lingkungan air, udara, dan tanah di
hamper seluruh wilayah kota karena lemahnya penegakan hukum.5[1]

Oleh karena itu dalam hal ini dengan cara mengambil salah satu sample RTH di Kab. Garut yakni Hutan
Kerkof, kami akan mencoba menganalisis dan mengidentifikasi apakah sample yang kami pilih tersebut
telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut UU No. 26 Tahun 2007.

B. Identifikasi Masalah

1. Apakah Ruang Terbuka Hijau di Kab. Garut telah sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007?
2. Bagaimana dampak Ruang Terbuka Hiijau terhadap lingkungan di Kab. Garut?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui implementasi UU No. 26 Tahun 2007 terhadap ruang terbuka hijau di Kab.
Garut
2. Untuk mengetahui dampak Ruang Terbuka Hijau terhadap Kab. Garut

D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :

Bab I Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan ini berisikan tentang latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan
Penulisan, dan Sistematika Penulisan

Bab II Landasan Teori

Bab III Pembahasan


Bab III Penutupan,

Dalam bab penutup ini terdiri dari : Kesimpulan dan Saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/ jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Menurut Peraturan Daerah Kab. Garut No. 29 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wiilayah Kab. Garut Tahun 2011-2031 Pasal 1 poin 40 menyatakan bahwa Ruang terbuka hijau
yang selanjutnnya disebut RTH adalah area memanjang/ jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan bahwa dalam Pasal 1
dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam.
2. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Pasal 1 bahwa dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan :
1. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas balk
dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjangljalur di mana
dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.
2. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah
bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan
tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Pengertian RTH menurut Purnomo Hadi (1995), adalah:
1. Suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup
tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu);
2. “Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas
geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tetumbuhan hijau
berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri
utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya),
sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang
fungsi RTH yang bersangkutan”.
Klasifikasi Ruang Tebuka Hijau Kota
Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan
pengelolaannya adalah sebagai berikut :
 Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur
dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki
fungsi relaksasi.
 Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.
 Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang
terbuka hijau.
 Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan,
lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan
olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
 Kawasan Hijau Pemakaman.
 Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan
tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan
buah-buahan.
 Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan,
taman pulau jalan dan sejenisnya.
 Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran,
perdagangan dan kawasan industri.
 Kawasan taman wisata alam.
 Kawasan taman rekreasi.
 Kawasan taman lingkungan perumahan dan permukiman.
 Kawasan taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial.
 Kawasan taman hutan raya.
 Kawasan hutan lindung.
 Kawasan bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah.
 Kawasan cagar alam.
 Kawasan kebun raya.
 Kawasan kebun binatang.
 Kawasan lapangan olah raga.
 Kawasan lapangan upacara.
 Kawasan parkir terbuka.
 Kawasan lahan pertanian perkotaan.
 Kawasan jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET).
 Kawasan sempa dan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa.
 Kawasan jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian.
 Kawasan daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan
 Kawasan taman atap (roof garden).
Tujuan Penyelenggaraan RTH
Tujuan penyelenggaraan RTH adalah:

a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;


b. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam
dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat;
c. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan
perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Fungsi RTH
RTH memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:


 memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);
 pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;
 sebagai peneduh;
 produsen oksigen;
 penyerap air hujan;
 penyedia habitat satwa;
 penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;
 penahan angin.

b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:


 Fungsi sosial dan budaya:
o menggambarkan ekspresi budaya lokal;
o merupakan media komunikasi warga kota;
o tempat rekreasi;
o wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
 Fungsi ekonomi:
o sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur;
o bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lainlain.
 Fungsi estetika:
o meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah,
lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan;
o menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
o pembentuk faktor keindahan arsitektural;
o menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan
kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air,keseimbangan
ekologi dan konservasi hayati.
Disamping fungsi-fungsi umum tersebut, RTH, khusus nya dari berbagai jenis tanaman pengisi,
secara rinci mempunyai multi fungsi antara lain, sebagai: penghasil oksigen, bahan baku pangan,
sandang, papan, bahan baku industry, atau disebut sebagai: fungsi ekologis, melalui pemilihan
jenis dan system pengolahannya (rencana, pelaksanaan, dan pengawasan/pengaturan) yang tepat
dan baik. Maka , tanaman atau kumpulannya secara rinci dapat berfungsi pula sebagai: pengatur
iklim mikro, penyerap dan penjerap polusi media udara, air dan tanah, jalur pergerakan satwa,
penciri (mascot) daerah, pengontrol suara, pandangan, dan lain-lain.
RTH kota dapat berfungsi untuk sebagai hal-hal berikut.
1. Identitas Kota
2. Upaya Pelestarian Plasma Nutfah
3. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
4. Mengatasi Genangan Air
5. Produksi Terbatas
6. Ameliorasi Iklim
7. Pengelolaan Sampah
8. Pelestarian Air Tanah
9. Penapis Cahaya Silau
10. Meningkatkan Keindahan
11. Sebagai Habitat Burung
12. Mengurangi Stress ( Tekanan Mental )
13. Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi6[2]
RTH yang memiliki berbagai Fungsi seperti edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, potektif,
higienis, edukatif, estetis, dan social ekonomis. Fungsi tersebut dafat di penuhi oleh semua jenis
RTH yang ada di perkotaan, dengan pengertian sebagai berikut
1. Fungsi Edhapis, yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik lainya, dapat di penuhi
dengan penanaman pohon yang sesuai, misalnya memilih pohon yang buah atau bijinya atau
serangga yang hidup di daun-daunnya, digemari oleh bururng.
2. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah dan air, dapat diwujudkan
dengan tidak membiarkan lahan terbuka tanpa tanaman penutup sehingga menimbulkan erosi,
serta meningkatkan infiltrasi air kedalam tanah melalui mekanisme perakaran pohon dan daya
serap air dari humus.
3. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis dan
respirasi tanaman. Untuk memiliki fungsi ini secara baik seyogyanya RTH memiliki cukup
banyak pohon tahunan.
4. Fungsi protektif adalah melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik matahari melalui
kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak.
5. Fungsi higiens adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik di udara maupun di air,
dengan cara memilih tanaman yang memiliki kemampuan menyerap So, No dan atau logam
berat lainnya. Penelitian tentang itu telah banyak dilakukan oleh para praktisinya.
6. Fungsi edukatif adalah RTH biasanya menjadi sumber pengetahuan masyarakat tenang berbagai
hal, misalnya macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, manfaat serta khasiatnnya, nama
ilmiahnya. Untuk itu, pada tanaman tertentu dapat diberikan papan informasi yang dapat
memberikan pengetahuan baru yang menarik.
7. Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyumbangkan keindahan pada lingkungan
sekitarnya, baik melalui keindahan warna, bentuk, kombinasi tekstur, bau-bauan ataupun bunyi
dari satwa liar yang menghuninya.
8. Fungsi sosial ekonomi adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan social dan tidak menutup
kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanam hias atau pedagang musiman
seperti terjadi lapangan gasibu pada hari minggu pagi.
Bentuk-bentuk RTH 7[3]
Manfaat RTH
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:
a. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan
dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun,
bunga, buah);
b. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih udara yang
sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi
lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman
hayati).8[4]
Ketentuan Hukum RTH
Ketentuan Hukum RTH adalah:
1. UU No 26 Tahun 2007 ( Pasal 1 Butir 31, Pasal 28, 29, 30 dan 31)
2. Peraturan Mentri dalam Negeri No 1 Tahun 2007

BAB III
PEMBAHASAN

A. Implementasi UU No. 26 Tahun 2007 terhadap Ruang Terbuka Hijau di Kab. Garut
Penghijauan kota seharusnya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan, sehingga
pemerintah daerah mesti memiliki program tersendiri. Pelaksanaan program tersebbut dilakukan
oleh suatu badan pemerintah yang ditunjuk khusus, dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan baik berupa pembuatan tanaman pot ditengah kota,
serta aneka kegiatan lainnya.
Dalam hal ini pemerintah daerah sebagaimana yang disebutkan dalam perencanaan tata ruang
kota yang ditegaskan dalam Pasal 28 berikut ini.
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutadis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota,
dengan ketentuan selain rincian pada Pasal 26 ayat (1) mengenai rencana tata ruang kabupaten
ditambahkan
a. Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau
b. Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non hijau, dan
c. Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan
umum, kegiatan sector informal, dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan social ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah.
Penjelasan Pasal 28 menyatakan bahwa: Pemberlakuan secara mutatis-mutadis dimaksudkan
bahwa ketentuan mengenai perencanaan tata ruang wilayah kabupaten berlaku pula dalam
perencanaan tata ruang wilayah kota.
Pengaturan Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam pasal 29 berikut ini.
(1) RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau public dan
ruang terbuka hijau privat
(2) Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota
(3) Proporsi RTH public pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah
kota.
Penjelasan terhadap Pasal 29 :
Ayat (1)
Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang
termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum,
dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat,
antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami
tumbuhan.
Ayat (2)
Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih meningkatkan
fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong
untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya.
Ayat (3)
Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen yang disediakan oleh
pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih
dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH dan ruang terbuka non hijau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dalam peraturan menteri.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Pasal 11 dinyatakan bahwa :
(1) Perencanaan pembangunan RTHKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dijabarkan lebih
lanjut dalam bentuk rencana pembangunan RTHKP dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi, dan
untuk Pemerintah Aceh ditetapkan dengan Qanun Aceh, serta untuk Pemerintah Kabupaten/Kota
di Aceh ditetapkan dengan Qanun Kabupaten/Kota.
(2) Perencanaan pembangunan RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah Kabupaten Garut No. 29
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Garut Tahun 2011-2031 masuk dalam
rencana kawasan lindung sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, yang kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 26 (1) poin e ,bahwa ruang terbuka hijau termasuk dalam
kawasan perlindungan setempat.
Pasal 26 (6) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa RTH sebesar 30 (tiga puluh persen) dari luas kawasan
perkotaan.
Dalam Pasal 45 ayat 6 dinyatakan bahwa perwujudan kawasan perlindungan setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. penegakan aturan garis sempadan pantai dan sempadan sungai;
b. penataan kawasan sempadan pantai dan sempadan sungai; dan
c. pengelolaan, pemeliharaaan, pelestarian dan rehabilitasi kawasan sempadan.
Seperti yang kita lihat bahwa pengaturan mengenai RTH diruang lingkup perda saja terlihat
kurang mendukung seperti pada pasal 45 ayat 6 tersebut bahwa hanya kawasan perlindungan
setempat dengan jenis sempadan saja yang mendapat pengelolaan, pengelolaan, pemeliharaaan,
pelestarian dan rehabilitasi, ini artinya bahwa tidak ada kepastian hokum yang mengatur lebih
lanjut mengenai ruang terbuka hijau.
Dalam hal ini juga didalam Peraturan Daerah tidak disebutkan bagian-bagian wilayah mana saja
yang menjadi kawasan ruang terbuka hijau. dari hal-hal ini seolah-olah pemerintah daerah
kurang memperhatikan pentingnya kawasan ruang terbuka hijau. Dari data yang kami dapat dari
dinas lingkungan hidup juga terlihat data-data yang kurang memadai mengenai RTH, berikut
data mengenai kawasan RTH di Kab. Garut :
RUANG TERBUKA HIJAU
Luas
No Nama Taman m² lokasi
1 Taman Tugu Batas Kota 115 Tarogong Kaler
Alun-Alun
2 Tugu Alun-alun Tarogong 600 Tarogong
3 Taman Ciateul 367,5 STM Negeri
4 Taman Simpang Lima 178 Jalan Cimanuk
5 Taman Suci 86,3 Jln Sudirman
6 Taman Bratayuda 863,4 Jln Bratayuda
7 Taman Copong 151 Jln Sudirman
8 Taman Alun-alun Garut 600 Alun-alun Garut
9 Bunderan tugu Adipura Tarogong Kaler
10 Segitiga Patriot
11 Segitiga Hampor
12 Segitiga Depan Dewan
13 Jalur Tengah Pembangunan
14 Segitiga Rumah Sakit
15 Kiansantang
16 Alun-alun Jalur Tengah
17 Bunderan Kerkop
18 Segitiga SMA 6 Garut
19 Cempaka Jalur Tengah
20 Batas Kabupaten Garut-Tasik
21 Segitiga Tegal Kurdi
22 Segitiga Lapang Jayaraga
23 Bunderan Guntur
LOKASI HUTAN KOTA
Luas
No Nama (Ha) Lokasi
1 Hutan Kota Copong 0,6 Jln Sudirman
2 Hutan Kota Kerkop 0,4 Jln Merdeka
3 Hutan Kota Nusa Indah 0,5 Jln Subyadinata
4 Hutan Kota Situ Bagendit 5,1 Jln Banyuresmi
5 Hutan Kota Situ Cangkuang 6,5 Jln Cangkuang
6 Hutan Kota Ngamplang 5,5 Jln Tasikmalaya
Dari data di atas kami ambil satu sample mengenai salah satu ruang terbuka hijau di Kab. Garut,
yakni Hutan Kota Kerkof memiliki luas sebesar 0,4 Ha dan terletak di Jalan Merdeka. Hutan
kota kerkof memiliki bentuk yang bulat melingkar yang juga berfungsi sebagai persimpangan
jalan.
Hutan Kota Kerkof memiliki beberapa tanaman yakni :

1. Angsa
2. Akasia
3. Bungur
4. Beringin
5. Bunga sepatu
6. Bunga kertas
7. Batrawali
8. Cinderela
9. Flamboyant
10. Gedang
11. Hampelas
12. Jeruk bali
13. Jawer kotok
14. Jarak
15. Johor
16. Jambu batu
17. Jati
18. Kiara payung
19. Kisireum
20. Katapang
21. Kiara
22. Kayu manis
23. Ki acret
24. Lamtoro gung
25. Lampeni
26. Mahkota dewa
27. Manglid
28. Manga
29. Nyamplung
30. Nangka
31. Pulai
32. Sungkai
33. Sengon
34. Saga
35. Sukun
36. Tanjung
37. Tisuk
38. Trembesi
39. Wareng
Namun dari daftar beberapa tanaman yang kami dari hutan kota kerkof ini. Tetapi dalam hal ini
ada hal yangperlu diperhatikan yaitu kondisi hutan kota kerkof yang sangat tidak kondusif
apalagi untuk dikunjungi oleh masyarakat setempat. Terlihat dari pagar yang di gembok oleh
petugas, sampah yang berceceran dimana-mana, kondisi cat yang sudah kotor, pagar yang rusak,
tembok yang kotor dengan coretan dan pamphlet, banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan
disana sehingga mengotori area hutan kota kekof, tembok yang retak-retak, pohon yang di corat-
coret, daun yang bertebaran dimana-mana. Hal yang sangat memprihatinkan adalah kondisi
hutan kerkof yang seperti tempat pembuangan sampah, terlihat dari kondisi disana yang banyak
sekali sampah plastic yang berasal dari pedagang-pedagang makanan dan masyarakat yang
hanya sekedar duduk untuk menikmati makanan yang berasal dari penjual yang berlokasi dihutan
kerkof tersebut. Jika dilihat dari luas hutan kota kerkof yang hanya memiliki luas sebesar 0,4 Ha
maka untuk kawasan setingkat Garut di mana tingkat polusinya cukup tinggi diperlukan hutan
kota sedikitnya 40 hektare.
Dari kondisi ini hutan kota kerkof masih jauh dari kata ideal.

B. Dampak Ruang Terbuka Hijau terhadap Kab. Garut


Saat ini Kab. Garut memiliki hutan kota dengan total sekitar 18,6 Ha. Padahal untuk kawasan
setingkat Garut dimana tingkat polusinya cukup tinggi diperlukan hutan kota sedikitnya 40 Ha.
Keberadaan kawasan hutan kota sendiri memberikan dampak yang positif terutama untuk
mendukung upaya meminimalisir polusi udara akibat gas buang kendaraan bermotor dan lainnya,
sekaligus meningkatkan ketersediaan dan kualitas oksigen di kawasan perkotaan.

Meskipun dengan jumlah yang minim hutan kota di Kab. Garut tentu sangat memberikan
kontribusi yang besar terhadap upaya untuk memaksimalkan keberadaan ruang terbuka hijau
untuk membangun kota sehat dengan berbagai manfaatnya demi keberlangsungan hidup
masyarakat sekitar. Berikut dampak ruang terbuka hijau bagi Kab. Garut yakni :

a. Manfaat Penyehatan Lingkungan

Penyerap dan penjerap partikel timbal dari kendaraan bermotor, kendaraan bermotor merupakan
sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan. Salah satu upaya menurunkan
kadar pencemaran dengan memperbanyak tanaman di perkotaan dengan jenis yang mampu
menyerap dan menjerap timbal dan sebagai penyerap gas karbondioksida
b. Manfaat Ekonomi

Sebagai tempat berjualan biasanya edagang banyak menjajakan makanan dan minuman
jualannya di tempat yang teduh di bawah pohon yang rindang selain itu juga sebagai penunjang
rekreasi dan pariwisata, ini biasanya dilakukan orang untuk menghilangkan kejenuhannya.

c. Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Sebagai sarana pendidikan ruang terbuka hijau yang dikembangkan menjadi sebuah hutan kota
ataupun kebun raya memiliki nilai pendidikan yang tinggi. Para pelajar yang berkunjung ke
tempat ini akan dapat belajar mengenai ilmu tumbuhan dan ilmu lingkungan yang langsung
didapat dari alam dan juga sebagai sarana penelitian dengan memanfaatkan kekayaan flora dan
fauna serta ekosistem yang ada di dalam kawasan hutan kota. Ini terbukti dengan adanya orang
yang berjualan diarea sekitar hutan kota kerkof

d. Manfaat Produksi

Persediaan air tanah melalui pembangunan taman kota serta hutan kota, dengan penanaman
pohon diharapkan akan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas air tanah. Pohon-pohon yang
ditanam, akarnya akan mampu mengikatkan dan menyaring air, sehingga air menjadi lebih baik
kualitasnya. Selain itu akar pohon juga dapat membuat rekahan tanah sehingga air lebih mudah
masuk kedalam tanah. Daun-daun yang berjatuhan akan terdekomposisi dan membentuk humus
yang tebal sehingga dapat mengikat air lebih banyak

Sebaliknya jika ruang terbuka hijau tidak dimanfaatkan secara baik maka akan menimbulkan
dampak yang buruk

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2001), kurangnya ruang terbuka hijau mengakibatkan
:

a. Menjadi daerah kumuh

Saat ini kondisi ruang terbuka hijau pada kawasan perkotaan banyak mengalami penurunan baik
secara kuantitas maupun kualitas. Penyediaan ruang terbuka hijau sangat sedikit karena beralih
fungsi untuk berbagai keperluan. Perhatian yang rendah terhadap upaya konservasi
menyebabkan kota menjadi kumuh dan tidak nyaman untuk ditempati.
b. Merusak estetika kota

Ruang terbuka hijau yang tidak terpelihara dengan baik cenderung menjadi tempat pembuangan
sampah yang dapat mengeluarkan bau tidak sedap, menjadi tempat sarang tikus dan nyamuk,
serta menjadi tempat gubuk-gubuk liar sehingga mengurangi nilai estetika kota.

c. Kehilangan keanekaragaman hayati

Keterbatasan ruang terbuka hijau menyebabkan kita banyak mengalami kehilangan


keanekaragaman hayati, yang seharusnya dapat menjadi bahan pengetahuan dan pemahaman
terhadap lingkungan.

d. Berkurangnya tempat rekreasi

Berkurangnya tempat rekreasi dan tempat berolahraga, mengakibatkan anak-anak menjadi tidak
mempunyai tempat untuk bermain, anak muda tidak mempunyai tempat untuk berolahraga dan
orangtua tidak mempunyai tempat untuk bersantai dan bersosialisasi.

e. Berkurangnya tempat resapan air

Ruang terbuka hijau di perkotaan umumnya tidak memadai karena didominasi dengan bangunan
gedung dan perkerasan. Pembangunan ini mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air
sehingga menurunkan suplai air tanah dan air permukaan, serta mengganggu aliran air tanah
yang dapat digunakan untuk sumber air minum. Pengurangan ruang terbuka hijau juga
menyebabkan menurunnya fungsi penyerapan air sehingga dapat menimbulkan banjir.

f. Terjadinya pencemaran udara

Tidak tersedianya ruang terbuka hijau yang memadai, dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran udara, karena pada dasarnya tanaman dapat memberikan udara yang bersih sehingga
menimbulkan kesejukan dan kenyamanan bagi lingkungannya.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah lingkungan bukan hanya menjadi masalah pribadi ataupun golongan, tapi juga
merupakan masalah global, sehingga peran masyarakat dan pemerintah harus saling mendukung
untuk menciptakan suatu kondisi lingkungan yang baik. Pembangunan yang dilakukan saat ini
belum mengikuti perencanaan dan strategi daerah sehingga ketersediaan ruang terbuka hijau
belum memadai.

Ruang terbuka hijau memiliki manfaat baik secara ekologi, ekonomi, estetika, dan sosial.
Kurangnya ketersediaan ruang terbuka hijau dapat mengganggu lingkungan, merusak estetika,
mengganggu kesehatan dan berkurangnya daerah resapan air. Perlu adanya peningkatan jumlah
luasan ruang terbuka hijau baik berupa hutan kota, taman kota, maupun jalur hijau. Pengelolaan
ruang terbuka hijau pada kawasan perkotaan harus dilakukan secara baik dan berkelanjutan.
Selain itu perlu adanya peranan aktif dari masyarakat yang berkolaborasi dengan pemerintah
sehingga mendapatkan kondisi lingkungan yang berkualitas.

B. Saran
Saat ini setiap daerah telah memiliki otonomi daerah, dengan demikian Pemerintah Daerah
seharusnya lebih memperhatikan kualitas lingkungan kotanya masing-masing agar menjadi
tempat yang sehat dan produktif. Sehingga kota tidak hanya maju secara ekonomi, tapi juga maju
secara ekologi. Pemerintah Daerah melalui dinas terkait yang dalam hal ini adalah dinas
kehutanan harus melakukan pengelolaan ruang terbuka hijau khususnya hutan kota kerkof yang
merupakan salah satu paru-paru di Kab. Garut dengan memperhatikan etika dan estetika
lingkungan sehingga ruang terbuka hijau ini dapat berfungsi secara maksimal.

Dengan melakukan pengelolaan ruang terbuka hijau secara baik dan benar diharapkan akan dapat
memberikan manfaat bagi kita, diantaranya dapat memperindah kota, menyejukkan udara kota,
mengurangi kebisingan, menyerap polutan, sebagai sarana rekreasi, penelitian dan habitat bagi
aneka ragam mahluk hidup, dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Dengan manfaat yang kita
rasakan tersebut, maka pembangunan, penataan dan pengembangan ruang terbuka hijau harus
dapat dilaksanakan secara baik dan terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur buku :
 Hasni. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. 2008. Jakarta:RajaGrafindo
Literatur Perundang-Undangan :
 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
 Peraturan Daerah Kab. Garut No. 29 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wiilayah Kab.
Garut Tahun 2011-2031

9[1] Hasan, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2008), hlm. 233.
10[2] Ibid. hlm. 242-250
11[3] Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Hlm.241
12[4] Ketentuan Umum Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Hlm.
5-6
PEMANFAATAN LAHAN UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU

BAYU ALFIAN
60800110019

TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pemanfaatan Lahan untuk Ruang
Terbuka Hijau”.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya
kepada :

1. Bapak pembimbing mata kuliah Studio Perencanaan Wilayah


2. Rekan-rekan semua di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin
3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik
selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan
dalam penulisan makalah ini.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin
Makassar 11 Maret 2012

Penulis

DAFTAR ISI
Sampul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya
ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan
bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan
dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka(Openspace) untuk
artikulasi dan kesehatan masyarakat.
Lahan merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki karakteristik unik, yakni (i)
sediaan/luas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses
artifisial (reklamasi) sangat kecil; (ii) memiliki sifat fisik (jenis batuan, kandungan mineral,
topografi, dsb.) dengan kesesuaian dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung
spesifik. Oleh karena itu lahan perlu diarahkan untuk dimanfaatkan untuk kegiatan yang paling
sesuai dengan sifat fisiknya serta dikelola agar mampu menampung kegiatan masyarakat yang
terus berkembang. Perkembangan kegiatan masyarakat yang membutuhkan lahan sebagai
wadahnya meningkat dengan sangat cepat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan
pertumbuhan ekonomi. Akibatnya terjadi persaingan pemanfaatan lahan, terutama pada
kawasan-kawasan yang telah berkembang di mana sediaan lahan relatif sudah sangat terbatas.
Agar kegiatan masyarakat dapat berlangsung secara efisien dan dapat menciptakan keterpaduan
dalam pencapaian tujuan pembangunan, perlu dilakukan pengaturan alokasi lahan dengan
mempertimbangkan aspek kegiatan masyarakat (antara lain intensitas, produktivitas,
pertumbuhan) dan aspek sediaan lahan (antara lain sifat fisik, lokasi, luas). Dalam rangka
efisiensi alokasi pemanfaatan lahan, diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh
sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang.
Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan
berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya
yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang merupakan pedoman
pemanfaatan ruang/lahan oleh sektor sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 1992 Tentang
Penataan Ruang.
Pasal 11
Seksi Peta Situasi
1. Seksi Peta Situasi mempunyai tugas melaksanakan pembuatan peta situasi dan site plan.
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Seksi Peta Situasi menyelenggarakan
fungsi :
a. Melaksanakan penyusunan program rencana dan program kerja pada Seksi Peta Situasi;
b. Membuat dan memeriksa rencana peta situasi dan rencana peletakan (site plan);
c. Menyusun peta situasi dan site plan;
d. Menyusun dan memeriksa perletakan fasilitas sosial dan fasilitas umum pada kawasan perumahan;
e. Menyusun dan memeriksa rancangan ruang terbuka, penghijauan (open space);
f. Menyusun laporan hasil pelaksanaan tugas;
g. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh atasan.

B. Rumusan Masalah
1. Kebutuhan Lahan Terbuka Hijau di Kota Makassar
2. Isu Pemanfaatan Lahan untuk Ruang Terbuka Hijau
3. Aspek Pengendalian Pemanfaatan Lahan
4. Reformasi Bidang Penataan Ruang Terbuka Hijau
5. Konversi Pemanfaatan Lahan yang Tidak Terkontrol

BAB II
PEMBAHASAN

1. Kebutuhan Lahan Terbuka Hijau di Kota Makassar


Ketersedian Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar di analisis dengan menggunakan
Pendekatan Ekologis yang berdasarkan pada kemampuan tanaman dalam menyerap CO2. Setiap
luasan 1 Ha mempunyai kemampuan dalam menyerap CO2 yang dihasilkan oleh manusia
sebanyak 2000 orang atau dengan kata lain bahwa setiap orang memerlukan 5 m2 Ruang Terbuka
Hijau.
Berdasarkan jumlah penduduk di Kota Makassar dan prediksi jumlah penduduk pada tahun
2017, maka kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar disajikan dalam tabel berikut :
No Tahun Jumlah Penduduk Kebutuhan RTH (Ha)
1 2000 1.112.688 556,34
2 2001 1.130.384 565,19
3 2002 1.148.312 574,16
4 2003 1.160.011 580,01
5 2004 1.179.023 589,51
6 2005 1.193.434 596,72
7 2006 1.223.540 611,77
8 2007 1.235.239 617,62
9 2017 2.274.383 1.137,19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan penduduk setiap tahun berbanding lurus
dengan kebutuhan akan ruang terbuka hijau. Dari data tahun 2000 misalnya, dengan jumlah
penduduk 1.112.688 jiwa maka membutuhkan ruang terbuka hijau seluas 556,34 Ha. Tahun
2001 memperlihatkan bahwa terjadi pertambahan penduduk dari tahun sebelumnya menjadi
1.130.384 jiwa sehingga membutuhkan ruang terbuka hijau seluas 565,19 Ha. Tahun 2007
memperlihatkan pertumbuhan penduduk yang pesat dengan laju 1,67, penduduk kota Makassar
menjadi 1.235.239 jiwa sehingga Ruang Terbuka Hijau yang dibutuhkan untuk menyerap CO2
yang dikeluarkan oleh setiap penduduk kota Makassar seluas 617,62 Ha.
2. Isu Pemanfaatan Lahan untuk Ruang Terbuka Hijau
Dalam perspektif ekonomi, tujuan utama dari pemanfaatan lahan adalah untuk mendapatkan nilai
tambah tertinggi dari kegiatan yang diselenggarakan di atas lahan. Namun harus disadari bahwa
kegiatan tersebut memiliki keterkaitan baik dengan kegiatan lainnya maupun dengan lingkungan
hidup dan aspek sosial budaya masyarakat. Dapat dipahami apabila penyelenggaraan sebuah
kegiatan dapat menimbulkan berbagai dampak yang perlu diantisipasi dengan pengaturan
pemanfaatan lahan.
Pemanfaatan Lahan yang Kurang Memperharikan Daya Dukung Lingkungan
Perhatian terhadap daya dukung lingkungan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang
nyaman dan berkelanjutan. Daya dukung lingkungan merupakan kemampuan lingkungan untuk
mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang berkembang di dalamnya, dilihat dari ketersediaan
sumber daya alam dan buatan yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan yang ada, serta
kemampuan lingkungan dalam mentolerir dampak negatif yang ditimbulkan. Perhatian terhadap
daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas pada lokasi di mana sebuah kegiatan berlangsung,
namun harus mencakup wilayah yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian,
keseimbangan ekologis yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan
dalam satu ekosistem.Tidak dapat dipungkiri saat ini masih dijumpai pemanfaatan lahan yang
kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
permasalahan yang masih kita hadapi seperti semakin berkurangnya sumber air baku, baik air
permukaan maupun air bawah tanah terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan. Di
samping itu, tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh di kawasan perkotaan mencerminkan
pengembangan kawasan perkotaan yang melampaui daya dukung lingkungan untuk memberikan
kehidupan yang sejahtera kepada masyarakat. Permasalahan banjir yang frekuensi dan
cakupannya meningkat juga disebabkan oleh maraknya pemanfaatan lahan di kawasan resapan
air tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kawasan yang lebih luas.
Terkait daya dukung lingkungan, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam
pemanfaatan lahan:
a. Ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
kegiatan yang akan dikembangkan. Dalam konteks ini ketersediaan tersebut harus
diperhitungkan secara cermat, agar pemanfaatan sumber daya alam dapat dijaga pada tingkat
yang memungkinkan upaya pelestariannya.
b. Jenis kegiatan yang akan dikembangkan harus sesuai dengan karakteristik geomorfologis lokasi
(jenis tanah, kemiringan, struktur batuan). Hal ini dimaksudkan agar lahan dapat didorong untuk
dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan sifat fisiknya.
c. Intensitas kegiatan yang akan dikembangkan dilihat dari luas lahan yang dibutuhkan dan skala
produksi yang ditetapkan. Hal ini sangat terkait dengan pemenuhan kebutuhan sumber daya alam
dan sumber daya buatan sebagaimana telah disampaikan di atas. Intensitas kegiatan yang tinggi
akan membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar yang mungkin tidak sesuai dengan
ketersediaannya.
d. Dampak yang mungkin timbul dari kegiatan yang akan dikembangkan terhadap lingkungan
sekitar dan kawasan lain dalam satu ekosistem, baik dampak lingkungan maupun dampak sosial.
Hal ini dimaksudkan agar pengelola kagiatan yang memanfaatkan lahan dapat menyusun
langkah-langkah antisipasi untuk meminimalkan dampak yang timbul.
e. Alternatif metoda penanganan dampak yang tersedia untuk memastikan bahwa dampak yang
mungkin timbul oleh kegiatan yang akan dikembangkan dapat diselesaikan tanpa mengorbankan
kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat.
3. Aspek Pengendalian Pemanfaatan Lahan
Rencana tata ruang yang berkualitas merupakan prasyarat dalam penyelenggaraan penataan
ruang. Namun demikian rencana tata ruang tersebut harus dibarengi dengan pengendalian
pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan ruang/lahan
dapat tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Terkait pengendalian, terdapat 3 (tiga) perangkat utama yang harus disiapkan yakni:
A. Rencana Detail Tata Ruang
Fungsi utama dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah.
Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan skala peta yang besar, rencana detail dapat
dijadikan dasar dalam pemberian ijin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Penyiapan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan
beberapa prinsip dasar. Pertama, rencana detail tata ruang harus dapat langsung diterapkan,
sehingga kedalaman rencana dan skala petanya harus benar-benar memadai. Kedua, rencana
detail tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat, untuk itu harus diamanatkan
dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana
tata ruang wilayah. Ketiga, rencana detail tata ruang harus memiliki legitimasi yang kuat dari
seluruh pemangku kepentingan, sehingga harus disusun dengan pendekatan partisipatif.
B. Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari RDTR yang berisi ketentuan yang harus
diterapkan pada setiap zona peruntukan. Dalam peraturan zonasi dimuat hal-hal yang harus
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk
pengaturan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang terbuka hijau
publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif,
dan berkelanjutan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan
perizinan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaat ruang.
C. Mekanisme Insentif-Disinsentif
Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang
yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif
dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata
ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai
dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan
disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana.
Penetapan perangkat insentif dan disinsentif harus memperhatikan unsur keadilan dalam
penerapannya. Perangkat insentif dan disinsentif yang ditetapkan juga harus sesuai dengan
kemampuan pembiayaan pemerintah, sehingga dimungkinkan pemberian insentif tertentu,
misalnya izin bangunan lebih tinggi bagi yang bersedia membangun ruang terbuka hijau publik
maupun yang membebaskan daerah tertentu untuk resapan air.
4. Reformasi Bidang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Adanya permasalahan terkait pemanfaatan lahan sebagaimana diuraikan di atas mencerminkan
penyelenggaraan penataan ruang sejauh ini belum mampu sepenuhnya memenuhi harapan
terwujudnya ruang wilayah yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah yang sistematis yang diharapkan mampu mengefektifkan penyelenggaraan
penataan ruang, termasuk dalam pengaturan pemanfaatan lahan agar sesuai dengan rencana tata
ruang. Beberapa langkah penting yang saat ini tengah dilaksanakan antara lain adalah:
a. Revisi UU Tentang Penataan Ruang
Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum yang lebih jelas bagi
penyelenggaraan penataan ruang. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU No. 24 Tahun
1992 Tentang Penataan Ruang yang dirasakan tidak tegas dalam memberikan arahan bagi
penyelenggaraan direvisi sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan pedoman oleh para
pemangku kepentingan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Beberapa ketentuan yang mengalami perubahan signifikan
antara lain adalah (i) pengaturan sanksi, (ii) peraturan zonasi sebagai piranti izin, (iii) mekanisme
insentif-disinsentif, (iv) ruang terbuka hijau publik, (v) standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, (vi) pengawasan penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah maupun
masyarakat, (vii) kejelasan hirarki fungsional antar rencana tata ruang, dan (viii) kejelasan
struktur ruang seperti pada kawasan metropolitan dan agropolitan.
b. Penyiapan Norma, Standar, Pedoman dan Manual Bidang Penataan Ruang
Pelaksanaan ketentuan undang-undang membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan, standar,
pedoman, dan manual yang bersifat operasional. Kurangnya NSPM bidang penataan ruang
selama ini telah disadari sebagai satu kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Untuk
itu pemerintah berkomitmen untuk terus menerus memperluas dan mempertajam penyiapan
NSPM yang dibutuhkan dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. NSPM perencanaan tata ruang ditujukan untuk menjamin
produk rencana tata ruang yang berkualitas, yang disusun dengan berdasarkan pada daya dukung
lingkungan, kebutuhan pelayanan prasarana dan sarana, dan kebutuhan pengembangan kegiatan
masyarakat yang terus berkembang, serta melalui proses partisipatif memperhatikan kepentingan
seluruh pemangku kepentingan. NSPM pemanfaatan ruang ditujukan untuk mengarahkan
perumusan program, pentahapan pelaksanaan program, dan pembiayaan program, beserta
implementasinya agar dapat saling bersinergi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Aspek koordinasi antar instansi sektoral, kerjasama antar-daerah, dan kerjasama
antara pemerintah dengan masyarakat diberi perhatian khusus di dalam NSPM pemanfaatan
ruang. NSPM pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi
upaya-upaya yang dibutuhkan untuk menjamin agar pemanfaatan ruang tetap sesuai dengan
rencana tata ruang yang ditetapkan.
c. Pengawasan Penyelenggaraan Penataan Ruang
Dengan adanya undang-undang penataan ruang dan NSPM bidang penataan ruang maka
penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan proses yang memiliki landasan hukum. Berbagai ketentuan dalam undang-undang
dan NSPM diharapkan dapat memberikan kepastian bahwa penyelenggaraan proses-proses
tersebut akan mendorong terwujudnya ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.Agar
penyelenggaraan penataan ruang tidak melenceng dari tujuan terwujudnya ruang yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan, maka proses-proses yang ada di dalamnya perlu diawasi
kesesuaiannya dengan ketentuan yang ada di dalam undang-undang dan NSPM bidang penataan
ruang. Perspektif ini merupakan pola pikir yang menegaskan bahwa penataan ruang bukan
sekedar proses untuk mengontrol perilaku masyarakat dalam memanfaatkan ruang, tetapi juga
merupakan sebuah proses yang harus diawasi masyarakat agar tetap sesuai dengan kaidah hukum
yang berlaku.
d. Penegakan Hukum
Hal lain yang dirasakan perlu untuk dipertegas dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah
penegakan hukum. Dalam konteks ini, terhadap semua tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah
yang berlaku harus dilakukan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Berbagai
pelanggaran dalam penyelenggaraan penataan ruang selama ini tidak mendapatkan tindakan yang
proporsional, sehingga terus berlangsung dan cenderung meningkat. Terkait pemanfaatan lahan,
dalam RUU Penataan Ruang telah dirumuskan ketentuan bahwa pelanggaran terhadap rencana
tata ruang merupakan tindakan yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata, maupun
administratif. Disamping itu, untuk mengefektifkan proses penegakan hukum dirumuskan pula
ketentuan mengenai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang memiliki kewenangan
khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap indikasi pelanggaran di bidang
penataan ruang. Efektivitas langkah-langkah “reformasi” tersebut di atas memerlukan dukungan
dari seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha. Hal ini
mengingat bahwa langkah-langkah tersebut dirasakan sebagai kebutuhan dalam mengefektifkan
penyelenggaraan penataan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan.
5. Konversi Pemanfaatan Lahan yang Tidak Terkontrol
Konversi pemanfaatan lahan dari satu jenis pemanfaatan menjadi pemanfaatan lainnya perlu
diperhatikan secara khusus. Beberapa isu penting yang kita hadapi saat ini antara lain adalah:
a. Konversi lahan-lahan berfungsi lindung menjadi lahan budidaya yang berakibat pada
menurunnya kemampuan kawasan dalam melindungi kekayaan plasma nuftah dan menurunnya
keseimbangan tata air wilayah.
b. Konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian secara nasional telah mencapai
35.000 hektar per tahun. Khusus untuk lahan pertanian beririgasi di Pulau Jawa, laju alih
fungsinya telah mencapai 13.400 hektar per tahun yang tentunya disamping mengancam
ketahanan pangan nasional, juga dapat mengganggu keseimbangan lingkungan.

c. Konversi ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan menjadi lahan terbangun telah menurunkan
kualitas lingkungan kawasan perkotaan.Permasalahan tersebut di atas terjadi akibat dari
kurangnya perhatian terhadap kepentingan yang lebih luas. Untuk mengatasinya diperlukan
perangkat pengendalian yang mempu mengarahkan agar pemanfaatan lahan tetap sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lahan merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki karakteristik unik, yakni (i)
sediaan/luas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses
artifisial (reklamasi) sangat kecil; (ii) memiliki sifat fisik (jenis batuan, kandungan mineral,
topografi, dsb.) dengan kesesuaian dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung
spesifik.
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Kota Makassar maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan di Kota Makassar berdasarkan pendekatan ekologis
pada tahun 2007 adalah seluas 617,62 Ha dengan jumlah penduduk 1.235.239 jiwa.
2. Kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Makassar pada tahun 2017 dengan jumlah penduduk
2.274.383 jiwa adalah seluas 1.137,19 Ha.
3. Pengembangan ruang terbuka hijau dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan cara
ekstensifikasi.
B. Saran
Saya selaku penulis menyarankan bahwa setelah membaca makalah ini diharapkan agar pembaca
dapat mengetahui dan memahami betapa penting sebuah lahan untuk dijadikan sebagai Ruang
Terbuka Hijau di kota Makassar yang saat ini masih kekurang Ruang Terbuka Hijau.

Anda mungkin juga menyukai