Kel 5 - Perc 2 - 18117 - Agnes Lallo Allolayuk

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

LABORATORIUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
JURUSAN FARMASI

PERCOBAAN II
“PENGARUH FAKTOR FORMULASI TERHADAP BIOAVAIBILITAS
SEDIAAN ORAL”

DISUSUN OLEH:
NAMA : AGNES LALLO ALLOLAYUK
STAMBUK : G 701 18 117
KELAS /KELOMPOK : B/V (LIMA)
TANGGAL : 10 MARET 2021
ASISTEN : ARIF RAHMAN

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
A. Latar Belakang
Bioavailabilitas merupakan derajat suatu obat atau substansi lain mencapai
jaringan target setelah diberikan. Berkaitan dengan bioavailabilitas, harus
dibedakan dengan absorbsi, pada proses absorbsi penyerapan dilakukan pada
tempat pemberian obat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas mulai dari obatnya sendiri, faktor penderita dan interaksi di
saluran gastrointestinal. Sifat fisikokimia dari suatu obat akan menentukan
jumlah obat yang tersedia untuk diabsorbsi, begitu juga dengan ukuran
molekul obat juga menentukan dalam hal kecepatan absorbsi obat. Bentuk
sediaan obat juga turut menentukan bioavailabilitas suatu obat. Kecepatan
pengosongan lambung itu sangat tergantung dari ada tidaknya motilitas
Gastro Intestinal (G), stabilitas pH lambung, adanya makanan, bentuk tubuh,
aktifitas fisik yang berat, stres, nyeri hebat, ulkus peptikum, stenosis pilorus
dan gangguan fungsi tiroid. (Rinidar, dkk. 2020).

Bioavailabilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan


untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu
tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas. Semakin tinggi kecepatan disolusi suatu obat yang
berbanding lurus dengan banyaknya konsentrasi obat yang terlarut dalam
saluran cerna maka akan semakin banyak pula obat yang diabsorbsi sehingga
meningkatkan bioavailabilitas. Begitu juga dengan waktu tinggal obat,
apabila obat ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran pencernaan,
diharapkan proses absorbsinya menjadi lebih optimal dan dapat
meningkatkan bioavaibilitas (Darusman, F., dkk. 2016).

Aplikasi dalam bidang farmasi adalah seorang farmasis dapat mengetahui


faktor apa saja yang berpengaruh pada pemberian obat dalam sediaan oral
sehingga dapat berguna ketika bekerja sebagai pelayanan masyarakat seperti
di rumah sakit dan apotek dan juga pada bagian industri farmasi seperti dalam
formulasi obat. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan ini.
B. Maksud Percobaan
Memahami pengaruh faktor formulasi sediaan terhadap ketersediaan hayati
berdasarkan waktu onset ofaction (mula kerja) dan durasi (lama kerja) obat
yang diberikan per oral.

C. Tujuan Percobaan
Mengetahui pengaruh faktor formulasi sediaan terhadap ketersediaan hayati
berdasarkan waktu onset ofaction (mula kerja) dan durasi (lama kerja) obat
yang diberikan per oral.

D. Prinsip Percobaan
Prinsip pada percobaan ini yaitu memberikan sediaan pada hewan uji dan
melihat efek yang terjadi setelah pemberian masing-masing sediaan lalu
disimpulkan bagaimana pengaruh faktor formulasi berupa bahan pengental
sediaan terhadap ketersediaan hayati atau bioavailabilitas berdasarkan waktu
onset ofaction (mula kerja) dan durasi (lama kerja) obat yang diberikan per
oral.
E. Dasar Teori
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) memegang peranan penting dalam
proses farmakokinetik. Bioavailabilitas merupakan derajat suatu obat atau
substansi lain mencapai jaringan target setelah diberikan. Kecepatan jumlah
obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai tempat kerjanya atau masuk
ke dalam sirkulasi sistemik (Rinidar, 2020).

Pemberian obat secara oral adalah rute yang paling disukai karena
menawarkan keuntungan seperti kemudahan penggunaannya, sangat
fleksibel, dan dosis yang akurat. Namun, pemberian obat secara oral juga
memiliki beberapa kelemahan terutama ketika bentuk sediaan seperti tablet
dan kapsul, yang dapat menyebabkan kesulitan menelan (dysphasia), dan
pemberian obat memiliki rasa yang tidak enak, yang menyebabkan
ketidakpatuhan pada pasien terutama pada anak dan usia lanjut terutama
mereka yang tidak memiliki akses ke air minum. Selain itu obat yang
diberikan secara oral memiliki kelemahan zat aktif obat mengalami first past
effect, dimana memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai efek
farmakologis yang diingikan (Safitri, dkk, 2019).

Bioavailabilitas obat oral sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kelarutan dan
permeabilitas. Kelarutan yang rendah membatasi laju kelarutan obat yang
menyebabkan bioavailabilitas obat rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan
suatu teknik formulasi untuk peningkatan kelarutan obat sehingga
bioavailabilitasnya tinggi. Kelarutan adalah bagian dari senyawa kimia padat,
cair, dan gas yang disebut zat terlarut untuk larut dalam pelarut padat, cair,
atau gas untuk membentuk larutan homogen dari zat terlarut dalam pelarut.
Kelarutan suatu zat pada dasarnya tergantung pada pelarut yang digunakan
serta pada suhu dan tekanan. Tingkat kelarutan suatu zat dalam pelarut
spesifik diukur sebagai konsentrasi saturasi saat menambahkan lebih banyak
zat terlarut tidak meningkatkan konsentrasinya dalam larutan. Kelarutan
terjadi di bawah keseimbangan dinamis yang berarti kelarutan dihasilkan dari
proses pelarutan dan penggabungan fase yang simultan dan berlawanan
(contohnya seperti pengendapan padatan). Kesetimbangan solubilitas terjadi
ketika dua proses berlangsung pada laju yang konstan (Hasanah, 2018).

Kelarutan yang rendah di dalam air serta kurangnya kemampuan


permeabilitas menembus barrier absorpsi dapat mempengaruhi
bioavailabilitas suatu senyawa bahan alam di dalam tubuh. Tidak hanya itu,
bioavailabilitas suatu senyawa juga sangat dipengaruhi oleh stabilitas
senyawa terhadap pH lambung dan kolon, metabolisme oleh mikroflora
normal dalam saluran pencernaan, absorpsi melalui dinding usus, mekanisme
aktif pompa efflux dan metabolisme lintas pertama. Contoh senyawa bahan
alam yang memiliki permasalahan bioavailabilitas di dalam tubuh misalnya
kurkumin dengan kelarutan yang sangat rendah dan metabolisme lintas
pertama yang tinggi, kuersetin yang mudah terdegradasi oleh asam lambung
ataupun enzim pencernaan, emodin yang kemampuan permeabilitas
perkutannya rendah, silimarin yang memiliki kelarutan rendah dan 80%
dieksresikan melalui sistem empedu setelah mengalami glukoronidasi dan
sulfatasi serta naringenin yang sangat mudah terdegradasi oleh cahaya, panas,
oksigen dan asam lambung. Oleh sebab itu sangat penting untuk melakukan
pengembangan formula sehingga bioavailabilitas senyawa bahan alam dapat
meningkat (Ramadon, 2016).

Uji bioavailabilitas terkait erat dengan makna bioequivalensi suatu produk


yaitu merupakan equivalen farmasetik atau equivalen alternatif. Beberapa
obat yang mempunyai jumlah absorbsi yang sama tetapi memiliki perbedaan
dalam laju absorbsi maka dianggap masih termasuk dalam equivalen secara
farmasetik dengan catatan perbedaan laju absorbsi tidak menyebabkan
perbedaan efek terapi secara bermakna. Uji bioavailabilitas terbagi menjadi
dua tahap yaitu uji bioavalabilitas secara relatif dan uji bioavalabilitas secara
absolute. Availabilitas relatif merupakan jumlah obat yang beredar dalam
tubuh dari suatu produk obat dibandingkan terhadap baku murni yang telah
diketahui jumlah obat itu sendiri (Lazuardi, M., 2019).
F. Uraian Bahan
1. Aquadest (FI III, 1979, hal. 96)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Air suling
Rm/Bm : H2O/ 18,02
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,


tidak memiliki rasa
Kelarutan : -
Kegunaan : Pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

2. Na CMC (FI III, 1979 hal. 401)


Nama Resmi : Karboksimetil Selulosa Natrium
Nama Lain : Carboxymethyl Cellulosa Sodium
Rm/Bm : -/ -
Rumus Struktur : -
Pemerian : Serbuk atau garam putih hingga cream dan
higroskopis
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam etanol dan
membentuk larutan koloidal tidak larut
dalam etanol, eter dan pelarut organic
lainnya
Kegunaan : Suspending agent
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Persyaratan kadar : Mengandung tidak kurang 6,5% dan tidak
lebih dari 9,5%

3. Farmagel atau Gelatin (FI III, 1979:265).


Nama Resmi : GELATINUM
Nama Lain : Gelatin
RM/BM : -
Rumus Struktur : -
Pemerian : Lembaran, kepingan, serbuk atau butiran, tidak
berwarna atau kekuningan pucat, baud an rasa
lemah.
Kelarutan : Kelarutan jika direndam dalam air mengembang
dan menjadi lunak, rangsur-anggur menyerap air 5
sampai 10 kali bobotnya; larut dalam air panas
dan jika didinginkan terbentuk rudir praktis tidak
larut dalam etanol (95%) P, dan kloroform Pdan
dalam eter P. Larut dalam campuran gliserol P dan
air, jika dipanaskan lebih mudah larut, larut dalam
asam asetat P.
Kegunaan : Pendispersi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

4. Tragakan (FI Edisi III : 1979:612)


Nama resmi : TRAGACANTHA
Nama lain : Tragakan
RM/BM : -
Rumus struktur : -
Pemerian : Tidak berbau, hamper berasa
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, tetapi
menggembang pada massa homogen, lengket
dan seperti gelatin.
Kegunaan : Pendispersi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

5. Carbopol (HPE, 2009; 110)


Nama resmi : CARBOPOL
Nama lain : Carbomer
RM/BM : (C3H4O2)n / 72.6
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk halus, putih, sedikit berbau khas,


higroskopis
Kelarutan : Larut dalam air dan gliserin, setelah dinetralisasi
dalam etanol (95%)
Kegunaan : Sebagai gelling agent
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

6. HPMC (HPE, 2009 ; 314)


Nama resmi : HYDROXYPROPYL METHYLCELLULOSE
Nama lain : Hypromellose
RM/BM : CH32H60O19 / 748.8
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk atau butiran putih, putih kekuningan atau


putih keabu-abuan, higroskopis.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air panas, kloroform,
etanol (95%) dan eter, larut dalam campuran
etanol dan diklorometana, campuran metanol dan
diklorometana dan campuran air dan alkohol.
Kegunaan : Sebagai suspending agent

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

G. Uraian Sampel
1. Fenobarbital (FI Edisi III, hal. 481)
Nama Resmi : PHENOBARBITALUM
Nama Lain : Fenobarbital, Luminal
Rm/Bm : C12H12N2O3 /232,24
Rumus Struktur :

(Pubchem, 2021)
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, putih tidak berbau,
rasa agak pahit
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, larut dalam etanol
(95%) P, dalam eter P, dalam larutan alkali
hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.
Kegunaan : Hipnotikum, sedativum
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup bak.

H. Uraian Hewan
1. Tikus Putih (Rathus norvegicus) (Rejeki, 2018)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rottus norvegicus

I. Prosedur Kerja
1. Hewan uji dan dibagi ke dalam 3 kelompok:
 Kelompok 1 diberi sediaan dengan farmagel A
 Kelompok 2 diberi sediaan dengan tragakan
 Kelompok 3 diberi sediaan dengan CMC.
2. Timbang berat masing-masing hewan, hitung volume pemberian sesuai
dengan dosis dan berat badan.
3. Catat waktu saat mulai timbulnya efek.
4. Catat waktu saat hilangnya refleks balik badan (RBB) atau righting reflex
(bila hewan ditelentangkan, tidak bisa kembali ke posisi normal dalam
waktu 30 detik).
5. Setelah refleks tersebut hilang, catat wakti saat reflex kembali (sebagai
durasi).
6. Hasil pengamatan dari tiap kelompok dikumpul dan dibuatkan tabel,
kemudian disusun rancangan percobaannya dan dilanjutkan dengan uji
statistic terhadap data yang diperoleh.
7. Simpulkan bagaimana pengaruh bahan pengental terhadap bioavailabilitas
sediaan yang diberikan secara oral.
J. Alat Dan Bahan
J.1 Alat
- Timbangan - Lap kasar
- Stopwatch - Gelas beker
- Dispo 5 mL - Erlenmeyer
- Kandang - Batang pengaduk
- Sonde - Pipet volume

J.2 Bahan
- Aquadest - Kapas - HPMC
- Kertas Koran - Handscoon - Carbopol
- Masker - Larutan Farmagel A 1%
- Larutan tragakan 1% - Larutan CMC 1 %

J.3 Uraian Sampel


- Fenitoin

J.4 Hewan Uji


- Tikus Putih (Rattus norvegicus)
K. Cara kerja
1. Disiapkan alat dan bahan serta hewan uji.
2. Ditimbang dan ditandai tikus yang akan digunakan
3. Dihitung KD, Stok dan Vp.
4. Dibagi menjadi 3 kelompok hewan uji yaitu
(I) Fenitoin HPMC 1%,
(II) Fenitoin + Carbopol 1%,
(II) Fenitoin + Na CMC 1%.
5. Diberikan secara oral ketiga perlakuan tersebut pada masing-masing
hewan uji.
6. Dicatat waktu terjadinya onset obat dan durasi obat
7. Dianalisis data.
L. Skema Kerja

Alat dan Bahan

- disiapkan

Hewan uji

- ditimbang
- dihitung Kd, Stok, Vp
- diambil 5 ekor

Carbopol + Fenitoin NaCMC + Fenitoin

Onset dan Durasi

Analisis data
M. Analisis Data
N. Pembahasan
Bioavailabilitas merupakan suatu ukuran kecepatan dan jumlah zat aktif yang
berada dalamsirkulasi sistemik dan mampu mencapaitempat aksi.
Ketersediaan hayati suatu obatdapat dapat dinyatakan dalam
ketersediaanhayati absolut atau ketersediaan hayatirelatif. Parameter
bioavailabilitas merupakan indikator penting dalam kontrolkualitas suatu
produk obat serta bermanfaat untuk memperkirakan efektifitas terapi
(Siswanto, dkk, 2017).

Tujuan dari percobaan ini yaitu mengetahui cara mengamati pengaruh faktor
formulasi sediaan terhadap ketersediaan hayati berdasarkan waktu onset of
action (mula kerja) dan durasi (lama kerja) obat yang diberikan per oral.

Cara kerja dari percobaan ini yaitu pertama pada pemberian rute oral Na CMC
dan Fenitoin. Disiapkan alat dan bahan, Dibuat suspense Na CMC dan
fenitoin, Diambil tikus dari kandang, Dimasukkan larutan obat ke dalam dispo
sebanyak volume pemberian, Dimasukkan sonde ke dalam mulut tikus secara
perlahan-lahan melalui tepi langit sampai ke esophagus, Dicatat dan diamati
geliatnya selama 5 menit . Kedua Pemberian rute oral Carbopol dan Fenitoin,
Disiapkan alat dan bahan, Dibuat suspense Carbopol dan Fenitoin, Diambil
tikus dari kandang, Dimasukkan larutan obat kedalam dispo sebanyak volune
pemberian, Dimasukkan sonde ke dalam mulut tikus secara perlahan melalui
tepi langit sampai ke esophagus, Dicata dan diamati geliat yang terjadi selama
5 menit.

Alasan kenapa pada percobaan ini menggunakan durasi yang berbeda-beda


yaitu agar supaya membandingkan dari menit pertama sampai menit
selanjutnya mana yang memberikan efek yang dapat dilihat dari banyaknya
geliatan tikus.

Mekanisme kerja obat fenitoin adalah meningkatkan kanal Na+ inaktif untuk
semuaa potensial membran yang diberikan fenitoin cenderong perlu kanal Na+
yang inaktif dan mencegah kembalinya kedalam katup. Phenytoin memiliki
onset sekitar 0,5-1,5 jam dengan durasi 15-30 menit (Mims, 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Darusman, F., dkk. (2016). Sistem Penghantaran Obat Glimepirid


Sebagalantidiabetika Oral Dengan Pelepasan Dimodifikasi Melalui
Pembentukan Mikrogranul Mukoadhesif Untuk Penyakit Diabetes Mellitus
Tipe II. Jurnal Farmasi, Universitas Islam Bandung., ISSN: 2477-2364.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi


III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Jakarta.

Hasanah dan Taofik Rusdiana. (2018). Metode Penambahan Surfaktan Sebagai


Substrat Pg-P Untuk Meningkatkan Kelarutan Obat Lipofilik. Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 2 42

Lazuardi, M. (2019). Bagian Khusus Ilmu Farmasi Veteriner Edisi 1. Airlangga


University Press; Jawa Timur.

Safitri., dkk. (2019). Superdisintegran dalam Sediaan Oral. Majalah Farmasetika.


Universitas Padjadjaran. 4 (3) 2019, 57-66

Ramadon. (2016). Pemanfaatan Nanoteknologi Dalam Sistem Penghantaran


Obat Baru Untuk Produk Bahan Alam. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia,
September 2016, hlm. 118-127 Vol. 14, No. 2 ISSN 1693-1831

Rinidar, dkk. (2020). Pengantar Farmakologi: Analgesik-Antipiretik-Anti


Inflamasi. Syiah Kuala University Press; Darusalam.

Anda mungkin juga menyukai