Bicara Iklim: Pemuda Menulis Untuk Keadilan Iklim

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 182

BICARA

IKLIM
PEMUDA MENULIS UNTUK KEADILAN IKLIM
BICARA IKLIM
Moh. Febri Thalani
(Editor)

Friedrich Naumann Foundation for Freedom Indonesia


2021
BICARA IKLIM
© 2021 - Editor: Moh. Febri Thalani

Editor: Moh. Febri Thalani


Layouter: Moh. Febri Thalani & Musthofa Kamal

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit


Jl. Kertanegara No. 51, Kebayoran Baru
DKI Jakarta 12110, Indonesia

Phone: +62(21) 725 6012/13


Email: [email protected]
Website: www.freiheit.org/id/indonesia

i
EXECUTIVE SUMMARY

Buku Bicara Iklim adalah karya yang diciptakan melalui kolaborasi


dari 25 penulis muda yang peduli tentang isu perubahan iklim.
Buku ini membahas empat tema utama pergerakan pemuda dalam
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yaitu: gaya hidup rendah
karbon, keadilan iklim dan ham, teknologi dan inovasi ramah
lingkungan, serta kebijakan dan hukum lingkungan yang lebih baik.

Sebagai yayasan yang bergerak di bidang pendidikan demokrasi,


kebebasan, dan inisiatif masyarakat sipil, Friedrich Naumann
Foundation for Freedom Indonesia (FNF Indonesia) percaya bahwa
anak muda mampu menjadi corong utama untuk mendorong
inisiatif perubahan iklim yang lebih baik melalui tulisan mereka.
Melalui buku ini, kami berharap dapat memfasilitasi tumbuhnya
minat dan kemampuan menulis pemuda aktif lingkungan agar
dapat memperluas dan mengarus utamakan tantangan krisis iklim
di Indonesia.

Buku ini juga kami dedikasikan untuk alm. Mone Thamrin, program
officer Friedrich Naumann Foundation for Freedom Indonesia
2001-2015. Sebagai Sarjana ilmu sejarah Universitas Indonesia
‘86, Pak Mone merupakan sosok yang berpengaruh terhadap
perjalanan diskursus pemuda dan keterlibatan pemuda di politik
dan lingkungan. Beliau merupakan program officer pertama untuk
Climate Change di FNF Indonesia dan melalui bimbingan dan

ii
arahannya, FNF Indonesia berhasil untuk mewadahi terbentuknya
gerakan-gerakan lingkungan pemuda di Indonesia, termasuk
Climate Institute, partner utama kami.

Sebagai ketua department bagian lingkungan hidup di partai


demokrat, Pak Mone Thamrin banyak menjadi mentor dan inspirasi
bagi anak muda penggiat lingkungan, dan sangat cekatan dalam
bekerja dan selalu disiplin. Terlepas dari perangai yang sangat
keras dan karakter yang sangat keras, beliau adalah sosok yang
sangat humanis dalam “memanusiakan manusia.”

Saya berharap, melalui kumpulan tulisan penulis-penulis berbakat


yang telah kami latih ini, diskursus mengenai perubahan iklim tidak
hanya menjadi obrolan abstraksi oleh kaum muda, tapi menjadi
inspirasi untuk aksi nyata dalam mendorong gaya hidup rendah
karbon, menerapkan inovasi dan teknologi yang ramah lingkungan,
menjaga dan mengawasi koridor-koridor hukum dan kebijakan
terkait perlndungan lingkungan, serta mendorong terwujudnya
keadilan iklim (Climate Justice) bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salam,

Jonathan Davy
Program Manager, FNF Indonesia.

iii
DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY....................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................iv
1 KEADILAN IKLIM DAN HAM......................................... 1
1.1 Cap and Dividend: Upaya Mengatasi Ketidakadilan Iklim di
Indonesia......................................................................................... 1
1.2 Keadilan Gender Dalam Kerangka Keadilan Iklim.................. 8
1.3 Keadilan Iklim untuk Semua................................................... 15
1.4 Elegi Perubahan Iklim di Pesisir:Hak untuk Hidup atau Hak
atas Lingkungan Hidup?............................................................... 19
1.5 Pantaskah Kita Mendapat Keadilan Iklim?........................... 28
1.6 Optimalisasi Sektor Kelautan Dalam Nationally Determined
ContributionUntuk Mencapai Perjanjian Paris Melalui Ratifikasi
UU No.16 Tahun 2016 Di Indonesia............................................. 38
2 ANALISIS KEBIJAKAN LINGKUNGAN......................... 43
2.1 Balada Kelapa Sawit: Benci Tapi Rindu Jua.......................... 43
2.2 Kelanjutan Ambisi Iklim Indonesia........................................ 48
2.3 MENGAWAL KEBIJAKAN FOOD ESTATE DI BAWAH PAYUNG
BUILD BACK BETTER.................................................................... 61
2.4 Pembelajaran Pembangunan Ramah Iklim dari Masyarakat
Adat................................................................................................ 67
2.5 Refleksi : Aksi - Edukasi Spiritualitas Krisis Perubahan
Iklim............................................................................................... 76
3 GAYA HIDUP RENDAH KARBON................................. 82
3.1 Hidup Optimal dengan Karbon Minimal di Era Lingkungan
Millenial......................................................................................... 82

iv
3.2 Menatap Pariwisata dari Kacamata Gaya Hidup Rendah
Karbon........................................................................................... 89
3.3 Mengawali Advokasi krisis Iklim dengan Menumbuhkan
Empati............................................................................................ 97
3.4 Mengenal Gaya Hidup Rendah Karbon Untuk Atasi Krisis
Iklim............................................................................................. 101
3.5 Menilik Komunitas Precious Plastic.................................... 111
3.6 Perubahan Itu Bermula dari Meja Makan............................ 118
3.7 Tak Ada Kantong Plastik Di Pasar Ini.................................. 127
4 TEKNOLOGI DAN INOVASI RAMAH IKLIM................ 132
4.1 Analisis Keseimbangan Termal Pada Area Pamer Museum
Geologi Bandung......................................................................... 132
4.2 Kebijakan Strategis dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklim di Sektor Pertanian Indonesia........................................... 146
4.3 Penggunaan Windfloat Energy Sebagai Teknologi Pembangkit
Listrik Ramah Lingkungan Dalam Upaya Mitigasi Iklim........... 151
4.4 Solar Dryer sebagai langkah dalam menghadapi Resiko
Perubahan Iklim dan Penguatan Sumber Pangan pada
Masyarakat Pedesaan................................................................ 157
4.5 Teknologi Dalam Upaya Hidup Ramah Lingkungan........... 164
4.6 Gung Kayon dan Inovasi Iklim dari Rumah......................... 170

v
1 KEADILAN IKLIM DAN HAM

1.1 Cap and Dividend: Upaya Mengatasi


Ketidakadilan Iklim di Indonesia.
Oleh: Dinda Rahmadani

Perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya dapat


mengancam semua orang di seluruh dunia termasuk
di Indonesia. Tetapi, dampak ini akan sangat fatal bagi
mereka, terutama yang berada di tingkat
paling bawah dalam piramida
ekonomi. Dibandingkan dengan
masyarakat yang tinggal di
beberapa geografi lainnya,
masyarakat pesisir dan
mereka yang tinggal di
area perhutanan lebih
rentan terhadap dampak
perubahan iklim.

Nelayan tradisional. Djawaranews.com

Temperatur yang semakin


panas akan mempengaruhi
kondisi cuaca, ketersediaan bahan
pangan, bencana alam, dan berbagai macam penyakit
yang akan sangat memukul mereka yang berada pada

Keadilan Iklim dan HAM | 1


tingkat perekonomian yang rendah (Durning, Climate And
Race, 2010). Untuk mengatasi ketidakadilan iklim ini, maka
dibutuhkan suatu kebijakan yang dapat mengatasi dampak
perubahan iklim, sekaligus membantu meningkatkan
perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Cap
and dividend adalah kebijakan mitigasi yang tepat untuk
mengatasi permasalahan tersebut.

Kebijakan Cap and Dividen Sebagai


Upaya Mengurangi Ketidakadilan Iklim.

Cap and dividend (pembatasan emisi dan pembagian laba)


adalah suatu bentuk solusi berupa kebijakan yang sederhana,
adil, dan terintegrasi untuk mengurangi karbon dan emisi
lainnya yang telah merusak iklim, sekaligus meningkatkan
pendapatan sebagian besar masyarakat. Kebijakan ini
sebenarnya telah dirancang oleh Amerika Serikat di tahun
2019 melalui The Healthy Climate And Family Security Act Of
2019 (Undang-Undang Iklim Sehat Dan Keamanan Keluarga
Tahun 2019) (Climate And Prosperity Organization, 2019).

Dalam Paris Agreement tahun 2015, negara-negara di


dunia berkomitmen untuk menjaga kenaikan suhu bumi di
bawah 2°C, dan bila memungkinkan hingga dibawah 1.5°C.
Dengan begitu,maka masing-masing negara berkomitmen
untuk mengurangi total emisi yang dihasilkan selama
beberapa tahun ke depan. Salah satunya adalah Indonesia
yang berkomitmen menurunkan emisi sampai tahun 2030
sebesar 29% dengan upaya sendiri dan hingga 41% dengan
dukungan internasional (Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, 2019). Lalu bagaimana agar setiap negara mampu
memenuhi target penurunan emisinya masing-masing?

Keadilan Iklim dan HAM | 2


COP 21: Paris Climate Conference 2015. Chinadialogue.net.

Terdapat beberapa kebijakan yang dapat diterapkan untuk


memenuhi target penurunan emisi, seperti cap and trading,
carbon tax, dan cap and dividend. Di antara beberapa
kebijakan tersebut, cap and dividend adalah kebijakan yang
paling solutif dan adil bagi semua pihak. Mengapa demikian?
Mari kita telaah satu persatu dari kebijakan tersebut.

Kebijakan cap and dividend dilakukan dengan melelang izin


emisi yang boleh dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan
dan memberikan hasil lelang tersebut sebagai tunjangan
bagi masyarakat (Durning, Cap And Dividend: Climate Pricing
And Fairnes, 2008). Setelah berkomitmen untuk menurunkan
emisi sebanyak sekian persen, maka pemerintah kemudian
membagi kuota emisi yang boleh dihasilkan oleh industri-
industri. Kuota tersebut tidak serta merta diberikan pada
perusahaan, tetapi pemerintah melelangnya dengan harga
tertentu, dan perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk
mendapatkanya.

Keadilan Iklim dan HAM | 3


Misalnya saja di Amerika, pemerintah menetapkan harga
$50 untuk setiap metrik ton karbon yang diizinkan. Di
tahun pertama perusahaan A mendapat izin emisi karbon
sebanyak 100 metrik ton per tahunnya dari pemerintah,
sementara perusahaan B mendapatkan izin emisi sebanyak
80 metrik ton per tahunnya. Dengan begitu perusahaan A
harus membayar izin emisi dari pemerintah dengan harga
$5000, sementara perusahaan B membayar $4000.

Pembatasan kuota emisi inilah yang dinamakan “cap” atau


“capping”. Kuota emisi yang diberikan oleh pemerintah ini
nantinya akan berkurang setiap tahunnya hingga mencapai
target yang ditetapkan. Pengurangan kuota emisi ini akan
memaksa perusahaan untuk beralih menggunakan energi
alternatif yang lebih efisien sehingga dapat mengurangi
emisi yang dihasilkan.

Pembatasan atau “capping” mungkin dapat mengurangi


emisi tahunan di suatu negara, namun kebijakan ini juga
menambah beban ekonomi bagi masyarakat. Lambat laun
kuota emisi yang diberikan semakin sedikit, hal ini akan
membuat harga bahan bakar juga semakin mahal. Kondisi
ini akan sangat merugikan dan tidak adil bagi mereka yang
berpenghasilan rendah karena daya belinya yang semakin
berkurang.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka dana hasil lelang emisi


yang didapatkan oleh pemerintah kemudian diberikan
kembali pada masyarakat dalam bentuk tunjangan
bulanan. Dengan begitu, masyarakat terutama mereka yang
berpenghasilan rendah tetap mampu membeli bahan bakar
yang lebih mahal. Sistem pemberian tunjangan ini disebut

Keadilan Iklim dan HAM | 4


sebagai dividend. Sistem cap and dividen adalah sistem yang
paling adil dan merupakan kebijakan yang progresif karena
dilakukan dengan membagi beban dan potensi manfaat
yang setara untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Berbeda dengan kebijakan cap and dividend yang progresif,


kebijakan mitigasi lainnya seperti cap and trade dan carbon
tax lebih bersifat regresif. Mengapa demikian? Dalam
kebijakan cap and trade pemerintah memberikan kuota
emisi kepada perusahaan secara gratis (Reyes, 2010). Itu
artinya masyarakat harus menanggung beban ekonomi yang
lebih besar tanpa bantuan tunjangan dari pemerintah. Hal ini
akan berakibat fatal pada negara seperti Indonesia, dimana
masih banyak masyarakat yang berpenghasilan menengah
ke bawah dan masih sangat bergantung pada bahan bakar
fosil. Oleh karenanya kebijakan ini justru akan membuat
pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat.

Pada sistem cap and trade, perusahaan bisa saja


menghasilkan emisi lebih besar daripada kuota yang
diberikan. Kelebihan emisi ini disebut dengan carbon offset.
Meskipun memiliki carbon offset, perusahaan tersebut tetap
dapat memenuhi targetnya dengan membeli kuota emisi
yang tidak digunakan oleh perusahaan lain. Perusahaan-
perusahaan lain dapat menjual kuota emisinya yang tidak
digunakan karena mereka telah berhasil mengurangi emisi
yang dihasilkan dengan beralih menggunakan energi
alternatif yang lebih efisien. Opsi lain dalam mengatasi
carbon offset adalah dengan melakukan investasi pada
upaya pengurangan CO2 di negara berkembang. Sistem jual-
beli kuota emisi ini disebut dengan “carbon trading”.

Keadilan Iklim dan HAM | 5


Sementara itu, pada sistem carbon tax (pajak karbon)
pemerintah mengenakan harga emisi karbon secara langsung
pada bahan bakar fosil (Amadeo, 2020). Semua orang yang
menghasilkan emisi baik di sektor rumah tangga maupun
perusahaan harus membayar harga tersebut. Dengan
mengenakan pajak karbon, maka perusahaan akan berusaha
mencari energi alternatif untuk mengurangi emisi yang
dikeluarkan sehingga harga karbon yang harus dibayarkan
juga berkurang. Namun, sistem ini juga akan memberatkan
masyarakat dengan perekonomian rendah, terutama yang
masih sulit untuk beralih ke energi alternatif. Masyarakat
tersebut tidak hanya mengeluarkan uang untuk membayar
bahan bakar tetapi juga pajak emisi yang dihasilkan.
Sementara hasil pajak yang didapatkan tetap menjadi
wewenang pemerintah yang mungkin akan digunakan untuk
investasi energi terbarukan, atau kepentingan lainnya.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem


cap and dividend merupakan sistem yang dapat membantu
mengurangi ketidakadilan iklim di Indonesia, maupun
negara-negara lain di dunia. Pelelangan batas emisi oleh
pemerintah kepada perusahaan-perusahaan mengharuskan
mereka untuk mengontrol emisi yang dikeluarkan dan
beralih pada energi alternatif yang lebih efisien. Kebijakan ini
tidak hanya mengurangi total emisi karbon nasional, namun
juga membantu memperbaiki perekonomian masyarakat
menengah ke bawah yang rentan terhadap perubahan
iklim melalui tunjangan yang diberikan pemerintah secara
langsung dari hasil pelelangan. Meskipun tidak serta
merta mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, namun
kebijakan ini mampu memperkecil ketidakadilan iklim yang

Keadilan Iklim dan HAM | 6


ditanggung oleh masyarakat, terutama mereka yang terkena
dampak langsung dari perubahan iklim, seperti masyarakat
pesisir.

Referensi
Amadeo, K. (2020, Agustus 1). Carbon Tax, Its Purpose, and How It
Works. Retrieved from The Balance: https://www.thebalance.com/
carbon-tax-definition-how-it-works-4158043
Climate And Prosperity Organization. (2019). The Simple & Fair Path To
A Healthy Climate And Prosperous Families. Retrieved from Climate
And Prosperity Organization: http://climateandprosperity.org/
Conway, D. (2017, Maret). Carbon Tax Guide : A Hand Book For
Policy Makers . Retrieved from CBD: https://www.cbd.int/finan-
cial/2017docs/wb-carbontaxguide2017.pdf
Durning, A. (2008, Januari 28). Cap And Dividend: Climate Pricing And
Fairnes. Retrieved from Insight Institue: https://www.sightline.
org/2008/01/30/cap-and-trade-the-economic-fairness-issue/
Durning, A. (2010, Januari 14). Climate And Race. Retrieved from Insight
Institute: https://www.sightline.org/2010/01/14/climate-and-race/
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019, April 7). Perubahan
Iklim. Retrieved from Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia:
https://kemlu.go.id/portal/id/read/96/halaman_list_lainnya/
perubahan-iklim
On The Commons Organizations. (2008, Desember 25). The Cap and
Dividend Solution. Retrieved from On The Commons Organizations:
https://www.onthecommons.org/cap-and-dividend-solution
Reyes, O. (2010, Agustus). Carbon Trading: How it Works and Why it Fails.
Retrieved from Researchgate: https://www.researchgate.net/publica-
tion/233681598_Carbon_Trading_How_it_Works_and_Why_it_Fails
Wahyudin, Y. (2015, Oktober). Sistem Sosial Ekonomi Dan Budaya
Masyarakat Pesisir. Retrieved from Researchgate: https://www.
researchgate.net/publication/282662169_Sistem_Sosial_Ekonomi_
dan_Budaya_Masyarakat_Pesisir

Keadilan Iklim dan HAM | 7


1.2 Keadilan Gender Dalam Kerangka
Keadilan Iklim.
Oleh: Resty

Keadilan iklim atau climate justice merupakan sebuah


kerangka berpikir sekaligus kerangka pergerakan sipil. Istilah
ini merujuk pada pemikiran bahwa perjuangan melawan
perubahan iklim harus memperhatikan ketidakadilan sosial
yang ada sekarang, baik antara kaya maupun miskin, antara
laki-laki dan perempuan, antara pemerintah dan masyarakat,
serta antara generasi tua dan generasi muda. Bentuk
ketidakadilan tersebut adalah bahwa satu pihak menyumbang
lebih banyak pada kerusakan iklim, namun pihak lain yang
akan merasakan dampak buruknya lebih besar. Contohnya,
para borjuis menyumbang lebih banyak kerusakan namun
para proletar yang akan merasakan dampaknya lebih besar.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep keadilan


iklim menggeser kerangka perubahan iklim dari sekedar
fenomena alam menjadi sebuah isu politik dan etik. Oleh
karena itulah, konsep keadilan iklim sangatlah penting agar
setiap lapisan masyarakat dapat berfungsi sesuai tanggung
jawab mereka untuk mencegah krisis iklim. Di satu sisi,
negara-negara industri, para perusahaan besar, pemerintahan
generasi tua memiliki tanggung jawab moral untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan. Sebab, masyarakat
sipil yang tidak memiliki kuasa yang sama juga memiliki hak
atas tanah, air, dan udara. Maka, mereka memiliki hak untuk
menuntut pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, keadilan
iklim sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia.

Keadilan Iklim dan HAM | 8


Untuk memahami lebih jauh soal bagaimana keadilan iklim
sangat penting bagi Hak Asasi Manusia dan sebaliknya, mari
memfokuskan pembahasan pada satu isu. Salah satu isu
yang cukup kontroversial dalam krisis iklim yaitu isu gender.
Disebut kontroversial karena beberapa pihak mengatakan
bahwa dasar argumen eko-feminisme terlalu dipaksakan,
bahwa krisis iklim tidak mengenal gender. Oleh karena itu,
menarik untuk membahas keadilan iklim dalam kerangka
keadilan gender. Selain itu, isu keadilan gender juga adalah
bagian penting dari Hak Asasi Manusia. Maka, pembahasan
ini diharapkan dapat memberikan benang merah yang jelas
antara keadilan iklim dan Hak Asasi Manusia.

Ketika membahas posisi konsep keadilan gender dalam


isu perubahan iklim, perlu untuk terlebih dahulu melawan
argumentasi bahwa dampak krisis iklim adalah masalah
yang tidak mengenal gender. Untuk membantah argumen ini,
pertama-tama mari menekankan kembali satu premis bahwa
kelompok rentan akan merasakan dampak krisis lebih buruk
dibanding kelompok yang memiliki sumber daya. Berangkat
dari premis ini, maka konklusi bahwa perempuan akan lebih
rentan dalam krisis iklim menjadi masuk akal. Hal ini karena,
baik dari segi sosial-politik maupun ekonomi, perempuan
memiliki posisi yang lemah dalam masyarakat. Ini adalah
konsekuensi logis dari tatanan masyarakat patriarki di mana
perempuan selalu menjadi kelas ke-dua.

Mari urai data yang disebutkan di atas. Dari segi sosial-


ekonomi, kita dapat melihat Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Data menunjukkan bahwa IPM perempuan selalu lebih
rendah dibanding laki-laki. IPM ini meliputi hal-hal krusial

Keadilan Iklim dan HAM | 9


untuk memiliki sumber daya yaitu harapan hidup, melek
huruf, pendidikan, dan standar/kualitas hidup. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2010-2019, IPM perempuan
tidak pernah mencapai 70 sementara IPM laki-laki berkisar
70-76. Ini menunjukkan sebuah ketimpangan sosial-ekonomi
di antara perempuan dan laki-laki. Jika dihadapkan pada
sebuah krisis iklim, perempuan akan jelas lebih terpuruk.

Dari segi politik atau perumusan kebijakan, perempuan juga


sama tidak berdayanya. Di sisi eksekutif, kita tahu bahwa
sepanjang sejarah kepresidenan, Indonesia hanya memiliki
satu presiden perempuan. Itu pun adalah sebuah pencapaian
yang tidak bisa sepenuhnya dirayakan sebab merupakan
produk oligarki dibanding pencapaian perempuan di akar
rumput. Di sisi legislatif, data dari BPS juga menunjukkan
bahwa presentasi perwakilan perempuan terbesar sepanjang
sejarah parlemen Indonesia adalah 20,52%. Maka jelas
bahwa perempuan tidak memiliki pengaruh yang besar pula
dalam merumuskan sebuah kebijakan, termasuk kebijakan
terkait lingkungan.

Kedua data di atas menunjukkan bagaimana lemahnya


posisi perempuan terhadap krisis dan juga kecilnya suara
perempuan dalam keputusan besar untuk mencegah atau
mengatasinya. Untuk memperkuat poin ini, dapat ditinjau
lebih jauh terkait keterkaitan antara perempuan dan alam. Dari
sisi biologis saja, perempuan dihadapkan pada kebutuhan-
kebutuhan yang lebih pada air bersih, misalnya menstruasi.
Dari segi kultural, perempuan juga ditempatkan dalam
masyarakat patriarki di mana mereka lebih banyak berperan
dalam ranah domestik sehingga mereka berkaitan dengan

Keadilan Iklim dan HAM | 10


kebutuhan sehari-hari yang paling dasar seperti memasak
dan mencuci yang tentunya membutuhkan sumber air bersih
pula. Keterkaitan alamiah dan kultural seperti inilah yang
mendasari hubungan perempuan dan alam atau ibu bumi.

Ada beberapa kisah nyata tentang bagaimana krisis iklim


dan ketidakadilan tata ruang menyengsarakan masyarakat
pinggiran, terutama perempuan. Salah satu cerita datang
dari masyarakat nelayan Pulau Kodingareng Lompo,
Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Sulawesi Selatan.
Dalam dokumentasi singkat yang dibuat oleh WALHI
Sulawesi Selatan, terlihat bagaimana kehidupan para nelayan
memburuk setelah ada tambang pasir yang dilakukan oleh
Boskalis di wilayah tangkap nelayan di daerah mereka. Air
menjadi keruh dan para nelayan kesulitan mendapatkan
ikan. Akhirnya pendapatan mereka pun menurun drastis dan
kesulitan memenuhi kebutuhan pokok (Walhi Sulsel, 2020).

Permasalahan gender dalam masalah di atas pun sangat


terlihat. Perbedaan peran dan antara perempuan dan laki-
laki membuat mereka merasakan dampak berbeda pula.
Para perempuan menjadi sangat kesulitan mengatur rumah
tangga karena tidak ada pendapatan. Hal ini karena para
perempuanlah yang mengurus belanja rumah tangga,
termasuk belanja kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah
anak. Menurut kesaksian para perempuan yang diwawancarai
WAlHI, mereka jadinya sering cekcok dengan suami mereka
karena meski dalam situasi ekonomi yang buruk, para suami
tetap tidak berhenti merokok. Akhirnya, mereka terpaksa
harus meminjam uang untuk menutupi kebutuhan. Situasi
inilah yang mendorong para perempuan ini untuk datang ke

Keadilan Iklim dan HAM | 11


Makassar dan menuntut Gubernur agar menghentikan izin
tambang (Walhi Sulsel, 2020).

Cerita di atas memperkuat argumen bahwa tuntutan keadilan


iklim merupakan bagian dari pergerakan perempuan, begitu
pun sebaliknya. Dalam era krisis iklim di mana laut sudah
rusak akibat ulah manusia, para nelayan sudah cukup
kesulitan untuk menyambung hidup. Ditambah lagi jika
pemerintah tidak memiliki perspektif keadilan tata ruang
sehingga justru memberikan izin tambang bagi perusahaan
besar tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat
bawah. Ketidakadilan tata ruang dalam krisis iklim ini pun
akan berdampak lebih buruk bagi perempuan yang tidak
hanya menghadapi kesenjangan antara kelas atas dan
bawah, namun juga kesenjangan gender antara laki-laki dan
perempuan.

Jika krisis iklim semakin parah seperti yang diprediksikan


para ilmuan, maka masalah yang dihadapi perempuan pun
akan semakin sulit. Untuk mendapat gambaran mengenai
hal ini, mari lihat contoh di salah satu negara yang paling
terdampak perubahan iklim. Di salah satu daerah termiskin
India Utara, Uttar Pradesh, para masyarakat tani harus
menghadapi kesulitan untuk menyambung hidup karena
krisis iklim. Akibat pemanasan global, musim panas menjadi
lebih panjang, musim dingin menjadi lebih sulit, serta hujan
yang dapat diprediksi. Akibatnya, pendapatan para petani
menurun dan banyak yang harus bermigrasi secara musiman
untuk menemukan pekerjaan sementara. Sistem patriarki
yang sangat kental pun membuat perempuan di daerah ini
menjadi lebih menderita. Inilah yang kemudian mendorong

Keadilan Iklim dan HAM | 12


Gorakhpur Environmental Action Group (GEAG) untuk melatih
para petani perempuan agar lebih tahan terhadap krisis iklim
(Srivastava, 2020).

Perjuangan para petani perempuan untuk belajar menghadapi


krisis iklim bukanlah tanpa kendala. Para perempuan yang
mengikuti pelatihan ada yang dipukul oleh suami mereka.
Mereka juga diejek dan disebut menghabiskan waktu untuk
hal-hal tidak berguna. Namun, kegigihan mereka belajar
dan mempraktekkan akhirnya membuahkan hasil. Mereka
belajar bagaimana menyemai benih yang lebih efektif dan
juga bagaimana menjaga kelembaban tanah agar hasil
panen terlindungi dari dingin. Selain itu, mereka juga belajar
untuk mencari alternatif lain agar biaya bertani lebih murah,
seperti beralih menggunakan pupuk organik yang terbuat dari
kotoran hewan. Sebagai tambahan, mereka juga menanam
sayuran di lahan kosong demi menambah penghasilan.
Salah satu peserta pelatihan bernama Devi mengatakan
bahwa setelah metode yang ia gunakan terbukti berhasil,
suaminya mulai mendengarkannya (Srivastava, 2020).

Dari kedua cerita di atas, dapat dilihat bagaimana pentingnya


perspektif keadilan gender dalam kerangka keadilan iklim.
Hal ini berarti bahwa perspektif ini perlu dipakai dalam
upaya adaptasi, mitigasi dan upaya pergerakan sipil dalam
menuntut keadilan iklim. Dengan demikian, ketahanan
masyarakat terhadap krisis iklim bisa muncul secara adil
bagi semua pihak, terutama perempuan kelas bawah. Hal
yang lebih menarik lagi adalah, perspektif keadilan gender
bisa jadi bukan hanya kesempatan untuk menyelamatkan
lingkungan, namun juga kesempatan untuk membentuk

Keadilan Iklim dan HAM | 13


tatanan masyarakat baru di mana perempuan memiliki suara
dan posisi yang setara. Jika terwujud, maka terbentuklah
masyarakat berkelanjutan dengan lingkungan yang
berkelanjutan pula.

_____

Referensi
Srivastava, R. (2020, Februari 27). How India’s Women
Farmers Are Taking The Lead On Climate Change.
Retrieved from The Christian Science Monitor: https://
www.csmonitor.com/Environment/2020/0227/
How-India-s-women-farmers-are-taking-the-lead-on-climate-change
Walhi Sulsel. (2020, Juli 4). Potret Kehidupan Masyarakat
Terdampak Tambang Pasir Laut Oleh Boskalis. Retrieved from
Instagram @walhi.sulsel: https://www.instagram.com/tv/
CCMy63eJIl5/?igshid=k0t6ak9tgole

Keadilan Iklim dan HAM | 14


1.3 Keadilan Iklim untuk Semua.
Oleh: Meita Ayu Trisnasari

Greta Thunberg, seorang pelajar Swedia berusia 16 tahun,


pada Agustus 2018 lalu sukses mendapatkan perhatian
dunia. Greta adalah aktivis lingkungan yang sering
mengkampanyekan isu-isu terkait pemanasan global dan
perubahan iklim.  Pada tahun 2018, ia menuntut gagasan
keadilan iklim melalui aksi mogok sekolah.  Aksi yang ia
lakukan di luar gedung parlemen Swedia itu menuntut aktor-
aktor pemerintah dan perusahaan untuk mengubah sistem-
sistem yang mendestruktif lingkungan sehingga berdampak
pada perubahan iklim. Aksi ini pun menginspirasi puluhan
ribu pelajar untuk turut menyuarakan gagasan mengenai
keadilan iklim. Aksi yang dikenal sebagai Youth Strike 4
Climate ini mulai menjalar luas dan digerakkan oleh puluhan
ribu pelajar di Belgia, Jerman, Swedia, Swiss, dan Australia.
Momen bersejarah ini dimanfaatkan oleh puluhan ribu
pelajar untuk menekan pemerintah agar lebih serius dalam
menangani dampak perubahan iklim terhadap lingkungan
di negaranya masing-masing. Namun sebelum membahas
lebih jauh, sebenarnya apa yang terlintas di pikiranmu ketika
mendengar kata keadilan iklim?

Istilah keadilan iklim adalah memandang pemanasan global


sebagai isu etika dan mempertimbangkan keterkaitan sebab
dan akibatnya dengan konsep keadilan, terutama keadilan
lingkungan dan keadilan sosial. Dalam kasus Greta yang
pada saat itu masih berusia 16 tahun, bukanlah hal yang
tidak mungkin bagi Greta untuk turut menginisiasi gerakan
sosial mengenai keadilan iklim. Hal ini dikarenakan gagasan

Keadilan Iklim dan HAM | 15


mengenai keadilan iklim erat kaitannya dengan keadilan
iklim antargenerasi. Perubahan iklim akibat aktivitas
manusia di masa lampau akan membentuk dunia yang
diwariskankepada generasi penerus di masa mendatang,
begitu pula seterusnya. Kerusakan iklim akibat aktivitas
manusia saat ini berpotensi besar mengancam dan
membahayakan keberlangsungan hidup generasi Greta di
masa mendatang. Kesempatan untuk hidup adalah hak
setiap manusia. Merampas hak hidup satu manusia saja
bukan hal yang terpuji, apalagi merampas hak hidup milik
seluruh generasi mendatang?

Sumber Foto: BBC Jika dilihat lebih rinci,


keterkaitan pemanasan
global dan keadilan
sosial bukan hanya
menyeret hak manusia
untuk hidup, namun juga
menyeret hak masyarakat
ekonomi rentan untuk
hidup. Masyarakat yang
memiliki ekonomi rentan
justru terlebih dahulu
Climate Justice March merasakan krisis iklim
yang dilakukan oleh para pelajar di Inggris.
jika dibandingkan dengan
yang lainnya. Misalnya pada kasus banjir besar yang melanda
Jakarta. Bagi masyarakat yang kehidupannya terfasilitasi
dengan baik, mungkin masih bisa beradaptasi, baik itu
dengan mengungsi sementara di hotel maupun membeli
furniture baru. Namun, bagaimana dengan masyarakat
ekonomi rentan? Ketimpangan ini pun tak luput dari konteks

Keadilan Iklim dan HAM | 16


kelola pembangunan yang mendestruktif lingkungan.

“Ya warga sudah biasalah, wilayah kita langganan banjir.


Tapi ya begitu, yang cukup kaget karena airnya ini luber
dari dinding-dinding ini. Saya sempat sebetis airnya, itu di
loteng saya. Saya tidak mau mengungsi bukan karena takut
hilang barang, tapi ya karena emang udah pada nyaman dan
kayak saya saja memang memilih nggak ngungsi. Karena
kita mikirnya kalau di posko itu serba terbatas ya ga enak
lah,” ujar salah satu warga Kampung Pulo di Jakarta yang
terdampak banjir saat diwawancara oleh media Jawa Pos.

Pembahasan mengenai perubahan iklim masih dipandang


oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai
pembahasan yang elitis. Padahal, peristiwa yang dirasakan
oleh masyarakat ekonomi rentan di atas mengindikasikan
adanya ketimpangan sosial dalam beradaptasi terhadap
perubahan iklim. Dampak yang dirasakan akibat dari
perubahan iklim menjadi tidak proporsional. Sehingga, isu
perubahan iklim kurang tepat bila masih dipandang sebagai
pembahasan yang elitis.

Menemukan jalan keluar untuk penghidupan yang adil bagi


seluruh lapisan masyarakat maupun antargenerasi menjadi
jelas sekali urgensinya. Menurut saya, dengan berbagai
keterkaitan antara pemanasan global dan keadilan sosial
yang berujung pada ketidakadilan ini, maka gerakan sosial
untuk menuntut keadilan iklim yang diinisiasi oleh Greta
menjadi gerakan yang sangat wajar dan perlu mendapat
dukungan keras. Dengan mendorong pemerintah untuk
mengadopsi kebijakan hijau dan mentransformasi sistem
yang selama ini mendestruktif iklim, sesungguhnya ini

Keadilan Iklim dan HAM | 17


adalah sebuah kampanye dan aksi menuntut keadilan iklim,
bahwa setiap manusia antar generasi dan tanpa memandang
status sosial akan memiliki hak yang sama untuk memiliki
kehidupan adil dan dapat ditinggali.

Keadilan Iklim dan HAM | 18


1.4 Elegi Perubahan Iklim di Pesisir:
Hak untuk Hidup atau Hak atas
Lingkungan Hidup?
Oleh: Muhammad Ghiffari

Air pasang ketika tengah malam menjadi mimpi buruk yang


berulang dan menjadi kenyataan ketika
Anda merupakan penduduk
pesisir pantai, bahkan bisa
lebih buruk, jika Anda
merupakan penghuni
kepulauan kecil seperti
di Kepulauan Pasifik
Selatan. Pasifik
Selatan dikenal akan
pulau-pulau mungil
dan pesisirnya.
Tanpa memiliki
dataran tinggi, tentu
kawasan ini sangat
rawan untuk tenggelam

Sumber Foto: Quartz; qz.com/1821280/how-to-protect-


atoll-islands-from-climate-change-catastrophe

akibat kenaikan permukaan laut akibat semakin parahnya


tingkat perubahan iklim. Nyawa dan mata pencaharian
sehari-hari yang dapat musnah sewaktu-waktu menjadikan
keduanya pilihan yang sama-sama buruk dan menyedihkan.
Kondisi para penduduk pesisir yang rentan akan bahaya

Keadilan Iklim dan HAM | 19


dampak perubahan iklim ini menuntun kita pada pertanyaan,
solusi seperti apakah yang akan diberikan oleh para
pemangku kebijakan? Jika melihat ada dua ancaman yang
datang bersamaan akibat perubahan iklim, penduduk pesisir
dan pulau-pulau kecil sudah sepantasnya menuntut hak
mereka untuk tetap hidup serta mendapat lingkungan hidup
yang baik. Kedua hak tersebut dapat diartikulasikan ke dalam
rumusan kebijakan dalam upaya menghadapi perubahan
iklim, yaitu hak untuk hidup atau hak atas lingkungan hidup.

Mitigasi & Adaptasi

Pertama, mari kita bahas mengenai upaya menghadapi


perubahan iklim. Dua upaya dalam menghadapi perubahan
iklim adalah mitigasi dan adaptasi.1 Kedua upaya ini
berbeda secara teknis, objek, dan aktor yang terlibat di
dalamnya. Mitigasi, seperti yang kita tahu, menitikberatkan
kepada upaya mencegah atau mengurangi penyebab
perubahan iklim yaitu emisi karbon global yang disebabkan
oleh semakin masifnya kegiatan ekonomi produksi, dll.
Sedangkan adaptasi menitikberatkan kepada upaya dalam
menghadapi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi.
Dalam memandang kedua perbedaan upaya ini, manusia
seringkali dihadapkan pada diskursus tentang upaya mana
yang lebih layak dan mendesak untuk didahulukan.

Perbedaan diskursus salah satunya terletak pada objek


yang harus diselamatkan, dilindungi, atau diperbaiki. Upaya
mitigasi berangkat dari gagasan dimana manusia hidup
berdampingan dan beriringan dengan alam sehingga apa
1 Maslin, M. 2014. Climate change: A very short introduction (Edisi ketiga).
Oxford: Oxford University Press. p.60.

Keadilan Iklim dan HAM | 20


yang dilakukan manusia kepada alam akan berbalik kepada
manusia juga. Kemudian, mencegah sesuatu sebelum
bertambah buruk akan lebih baik daripada terlambat. Para
penduduk pesisir dan kepulauan yang rentan menjadi objek
yang harus diselamatkan, dimulai dengan menyelamatkan
kondisi iklim Bumi terlebih dahulu. Secara tidak langsung,
alam tempat manusia hidup berdampingan juga menjadi
objek yang harus diselamatkan, bahkan lebih dulu ketimbang
manusia. Tantangan mitigasi adalah menyatukan visi yang
sama dari berbagai watak dan kepentingan yang berbeda
dari berbagai pihak—tak hanya negara, namun juga aktor-
aktor lain seperti perusahaan multinasional dan LSM—untuk
bersinergi mengurangi emisi karbon dan mencegah terjadinya
bencana kepada penduduk pesisir yang rentan tersebut. Hal
ini disebabkan karena pihak yang menyebabkan perubahan
iklim semakin buruk secara umum berbeda dengan pihak
yang mengalami dampak dari perubahan iklim tersebut.

Upaya adaptasi dilakukan setelah dampak perubahan iklim


sudah dirasakan oleh manusia. Salah satunya yang diterapkan
oleh penduduk pesisir adalah membangun tanggul anti air
pasang, beralih mata pencaharian lebih ke arah dataran tinggi
ketimbang ke laut, dan bermigrasi ke pulau-pulau yang dirasa
lebih aman untuk ditinggali. Masalah yang dihadapi adalah
tidak semua penduduk dapat menerima upaya ini, bahkan
ancaman yang dihadapi mereka justru bertambah. Sebagai
contoh, migrasi penduduk tidak serta merta menyelesaikan
masalah ‘kehilangan tempat tinggal’. Ada potensi konflik
dengan penduduk lokal di tempat tujuan migrasi dikarenakan
benturan sosial dan budaya yang berbeda. Ancaman rasisme,
kemiskinan, hingga termarjinalkan dari komunitas barunya

Keadilan Iklim dan HAM | 21


menjadi PR yang sulit untuk dijamin oleh negara penerima.2
Upaya lain seperti transfer teknologi tidak sepenuhnya
berjalan optimal dikarenakan gap pengetahuan yang cukup
jauh antara penduduk lokal dan pihak pemberi bantuan. Di
sisi lain, mereka juga berpacu dengan waktu karena dampak
perubahan iklim yang terus memburuk.

Dari kedua upaya yang berbeda tersebut dapat ditarik


hipotesis yaitu upaya mitigasi yang mengedepankan
pencegahan lebih erat kaitannya dengan pemenuhan hak
atas lingkungan hidup yang baik. Sedangkan upaya adaptasi
lebih erat kaitannya dengan hak untuk hidup. Kedua hal
tersebut mencerminkan dua diskursus berbeda dalam upaya
pemenuhan hak asasi manusia dalam konteks perubahan
iklim. Pemenuhan hak untuk hidup merupakan hak asasi
paling dasar saya kira, dalam hal ini adalah kesempatan
untuk menjaga nyawa dan kehidupannya. Sementara hak
atas lingkungan hidup yang baik, bukankah beberapa tempat
di belahan dunia yang lain masih belum dapat terpenuhi
seutuhnya?

Kondisi Masyarakat Pesisir Indonesia.

Seperti Pasifik Selatan, Indonesia juga merupakan negara


kepulauan yang memiliki pantai dan pulau-pulau kecil
yang tersebar di setiap penjuru negeri. Manusia-manusia
penghuni pesisir dan kepulauan ini dihadapkan pada dampak
perubahan iklim yang sama-sama buruk, yakni kehilangan
sumber penghidupan atau kehidupan itu sendiri. Tidak hanya
ketakutan akan kematian karena bencana alam seperti banjir
2 McAdam, J. 2012. Climate Change, Forced Migration, and International Law.
Oxford: Oxford University Press. p.155.

Keadilan Iklim dan HAM | 22


air pasang, namun juga ancaman kehilangan penghidupan
dan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Beberapa di antaranya seperti lautan yang tercemar,
berpindahnya musim tangkap ikan laut, atau semakin
berkurangnya kesuburan tanah bagi tanaman pesisir karena
naiknya permukaan laut.3

Di pesisir Demak, permukaan tanah semakin menurun


akibat perubahan iklim. Semakin tinggi frekuensi banjir
pasang juga menyebabkan banyak sektor perekonomian
terganggu. Penurunan paling tinggi pun terjadi di daerah
padat industri. Lahan sawah pesisir juga mengalami
penurunan kualitas tanah akibat tingginya kadar garam dari
air laut. Di Bali, anomali cuaca seperti La Nina menyebabkan
penurunan jumlah tangkapan ikan di pesisir. Selain itu,
naiknya suhu permukaan laut menyebabkan ikan- ikan
tangkapan berpindah dari tempat langganan nelayan melaut
sehingga nelayan harus berlayar lebih jauh untuk mendapat
tangkapan.4 Tentu hal ini sangat mengganggu efisiensi
waktu dan biaya terutama untuk bahan bakar kapal harian.
Dua contoh di atas merupakan sedikit contoh dari banyak
masalah serupa di berbagai wilayah pesisir Indonesia.

Pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia pun juga terancam


tenggelam. Beberapa di antaranya di wilayah Maluku Utara,
Kepulauan Riau, dan pulau-pulau kecil terluar wilayah
Indonesia. Tetapi sejauh ini pulau-pulau tersebut kebanyakan
3 Gillespie, A., & Burns, W. C. G. 2003. Climate Change in the South Pacific:
Impacts and Responses in Australia, New Zealand, and Small Island States.
Dordrecht: Kluwer Academic. p.243.
4 Subandriyo, J. September 2016. Paceklik Ikan Lemuru Diprediksi Hingga
2017. Pusat Riset Kelautan(daring). <http://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.
php/en/home/1333-paceklik-ikan-lemuru-diprediksi-hingga-2017>. Diakses 30
September 2020.

Keadilan Iklim dan HAM | 23


diketahui tidak berpenghuni. Jadi, urgensi mengenai upaya
adaptasi belum begitu besar karena hampir tidak ada
manusia yang terdampak akibat tenggelamnya pulau-pulau
kecil. Begitu pula dengan pengungsi iklim atau climate
refugee belum sebesar di Pasifik Selatan, yang mana mereka
berpotensi meninggalkan negaranya sendiri jika akhirnya
pulau-pulau yang mereka huni tenggelam karena dampak
perubahan iklim.

Solusi bagi Indonesia.

Apabila menimbang dua opsi dalam upaya menghadapi


perubahan iklim, tentu keduanya bukanlah pilihan yang
bertolak belakang, namun saling melengkapi satu sama
lain yang dapat berjalan beriringan. Mitigasi dilakukan untuk
menyelamatkan lingkungan dan penghidupan manusia.
Sedangkan adaptasi dilakukan untuk membantu manusia
dalam mempertahankan hidupnya dalam kondisi yang
terpuruk karena perubahan iklim. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang harus terpenuhi dalam upaya menghadapi
perubahan iklim dalam kaitannya dengan pemenuhan
Hak Asasi Manusia, yakni hak untuk hidup dan hak atas
lingkungan hidup yang baik.

Penulis sangat meyakini bahwa segala tindakan atau


kebijakan mitigasi perubahan iklim akan sangat menolong
dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Namun jika
dan hanya jika setiap pihak dapat bertanggung jawab dan
bertindak cepat, yakni tanpa korupsi dan birokrasi yang
berbelit-belit. Selain itu, dibutuhkan keterlibatan yang lebih
dari hanya negara kita dalam bertindak. Tujuan mitigasi

Keadilan Iklim dan HAM | 24


perubahan iklim adalah menurunkan tingkat kenaikan suhu
global, yang mana indikator keberhasilan belum dapat
dilihat jika hanya satu atau dua negara yang bertindak.
Oleh karena itu, Indonesia harus meningkatkan gerakan
diplomasi dan politik luar negeri mengenai perubahan iklim
untuk mendorong seluruh negara agar bertindak sesuai
kewajiban masing-masing dalam upaya mitigasi perubahan
iklim. Contoh satu kebijakan yang penulis sangat apresiasi
adalah kerangka kebijakan blue carbon Indonesia yang mana
upaya tersebut menjadi salah satu usulan Indonesia pada
Konferensi Perubahan Iklim tahun 2019 di Jerman.5 Potensi
besar Indonesia sebagai negara maritim dengan garis pantai
yang luas sangat akan membantu upaya mitigasi yang lebih
progresif ke depannya.

Di sisi lain, upaya adaptasi tak kalah pentingnya untuk


memenuhi hak untuk hidup bagi manusia khususnya
penduduk pesisir dan kepulauan kecil. Upaya adaptasi
seringkali disebut resiliensi di Indonesia sebenarnya sudah
mulai beragam dan berjalan sesuai dengan daerah-daerah
yang terkena dampak serius dari perubahan iklim. Dari
transfer teknologi mengenai penyediaan air bersih, tanggul
pencegah banjir air pasang, dan sebagainya. Kemudian
didukung dengan pendanaan yang sesuai dari pemerintah
setempat serta LSM dan gerakan yang melibatkan diri untuk
membantu. Lalu yang terakhir dan tak kalah penting adalah
kaderisasi para pemuda lokal sebagai generasi penerus
supaya mampu memahami dan melakukan yang terbaik

5 Ambari, M. Juni 2019. Indonesia Kembali Serukan Blue Carbon Untuk


Penanganan Perubahan Iklim. Mongabay Environmental News(daring). <https://
www.mongabay.co.id/2019/06/25/indonesia-kembali-serukan-blue-carbon-
untuk-penanganan-perubahan-iklim/>. Diakses 29 September 2020.

Keadilan Iklim dan HAM | 25


dalam upaya resiliensi masyarakat setempat hingga masa
yang akan datang.

Pada akhirnya perubahan iklim bukan hanya sebatas


fenomena alam semata, aspek politik, keamanan dan
HAM juga mengikuti seiring dengan upaya menghadapi
dan mengurangi dampaknya. Diskursus mengenai pilihan
terbaik dari yang terburuk penulis menyebutnya sebagai
elegi yang berarti ratapan kesedihan akan penderitaan, dan
menunjukkan simpati sebagai sesama manusia akan selalu
hadir dalam upaya memberikan rasa keadilan maupun
pemenuhan hak bagi manusia sebagai korban dari dampak
perubahan iklim, tanpa mengurangi alam sebagai korban
dari keserakahan manusia lain. Jika Anda, para pembaca
merupakan pemegang kendali kuasa dan kebijakan, mana
yang akan Anda selamatkan terlebih dahulu? Manusia? Atau
alam? Tentunya penulis yakin, Anda tidak perlu repot mencari
jawaban sembari memikirkan berkurangnya hasil tangkapan
ikan atau jebolnya tanggul air pasang setiap malam yang

Keadilan Iklim dan HAM | 26


mengancam penghidupan dan nyawa Anda. Anda bisa
memikirkannya sambil minum kopi hangat setiap pagi. Tak
lupa juga dengan sajian berita-berita mengenai perubahan
iklim melalui surat kabar daring.

Keadilan Iklim dan HAM | 27


1.5 Pantaskah Kita Mendapat Keadilan Iklim?
Oleh: Destri Kurniasih

Anak-anak usia tiga hingga dua belas tahun bermain


bersama dengan riangnya di pagi hari bulan Juni yang cerah
ini, menyambut datangnya libur panjang sekolah. Mereka
bermain di taman, lapangan, kebun binatang, pantai, sungai,
berenang bersama ataupun piknik di bawah pohon yang
rindang. Namun, ada yang berbeda di tahun ini, tempat-
tempat tersebut justru harus ditutup bagi pengunjung. Saat
ini anak-anak terkurung di rumah dan tidak dapat bertemu
satu sama lain secara langsung, hanya bisa melalui koneksi
internet atau dalam jaringan saja. Anak-anak juga harus
bersekolah dari rumah karena sekolahnya ditutup, tidak ada
lagi belajar bersama di kelas, bermain saat jam istirahat,
ataupun sekedar makan bekal bersama. Memang, sekarang
ini sudah tersedia teknologi yang memungkinkan kita
untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mudah,
tak terpisah jarak dan waktu. Akan tetapi, yang namanya
anak-anak tetap saja membutuhkan interaksi langsung
dengan teman-teman, lingkungan, dan alam sekitar. Mereka
sedang tumbuh, mengenali, mempelajari apa yang ada
disekitarnya. Mereka membutuhkan ruang untuk eksplorasi
dan mencari tahu banyak hal, berinteraksi dan bersosialisasi,
serta mengaktualisasikan dirinya. Alam adalah ruang gerak
mereka. Kini, ruang geraknya menjadi sangat terbatas karena
adanya pandemi Covid-19.

Perubahan dan penyesuaian pada keterbatasan inilah


yang akan semakin banyak terjadi seiring dengan dampak

Keadilan Iklim dan HAM | 28


perubahan iklim yang semakin parah. Perubahan iklim
menyebabkan peningkatan rata-rata suhu udara global dan
efeknya sangat terasa di wilayah tropis seperti di Indonesia.
Di Indonesia, musim kemarau memiliki kecenderungan
semakin panjang dan tak beraturan (LIPI). Musim kemarau
yang berkepanjangan merupakan kondisi yang sangat
baik bagi perkembangan bakteri, virus, jamur serta parasit,
karena kelembaban udara di musim kemarau cukup tinggi.
Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut tumbuh dengan
subur dan dapat bertahan hidup lebih lama. Kondisi ini
menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan bakteri
dan udara semakin banyak terjadi (Knowledge Centre
Perubahan Iklim). Sekarang ini kita telah merasakan suhu
udara semakin panas, bahkan saat masih pagi pun sekitar
pukul sepuluh, rasanya sudah seperti pukul dua belas siang.
Pada saat-saat tertentu malam pun terasa sangat panas.
Suhu udara menjadi tidak nyaman lagi untuk kita berlama-
lama melakukan aktivitas di luar ruangan tanpa perlindungan.
Akibatnya, di dalam ruangan pun kita harus memodifikasi
suhu udara agar terasa nyaman. Penggunaan energi menjadi
semakin tinggi karena menurunnya daya dukung lingkungan.
Menurunnya daya dukung lingkungan disebabkan oleh
manusia juga yang tidak mengindahkan keberlanjutannya
dengan melakukan penebangan pohon dan pembangunan
yang tidak memberikan ruang terbuka hijau; daerah resapan
air pun dibeton.

Keadilan Iklim dan HAM | 29


sumber gambar: DitJen PPI KLHK

Perubahan iklim tak memandang profesi, tidak ada satupun


kelompok masyarakat yang kebal atas dampaknya,
termasuk petani dan nelayan. Petani tidak bisa mulai
menanam karena ketidakpastian awal musim tanam;
musim hujan terlambat datang, awal musim hujan semakin
mundur dari siklusnya. Petani merugi, sawahnya kering,
tidak ada air yang dapat ditampung oleh tanahnya. Di waktu
lain, petani juga mengalami kerugian lagi akibat gagal
panen karena sawahnya terendam banjir atau diserang
hama yang semakin resisten terhadap bahan anti hama
sumber gambar: Yogya Inews

Keadilan Iklim dan HAM | 30


dan semakin tinggi populasinya karena kondisi iklim yang
semakin mendukung perkembang biakkannya. Nelayan pun
sulit melaut karena ombak besar dan badai semakin sulit
diprediksi datangnya. Cuaca buruk semakin
tinggi frekuensinya sehingga membuat
nelayan harus mengurungkan
niatnya untuk melaut. Rumah-
rumah mereka juga kebanjiran
terkena air pasang atau banjir
rob yang semakin sering
terjadi karena kenaikan
muka air laut. Ikan-ikan pun
semakin sedikit yang dapat
ditangkap, karena menjadi
sedikit jumlahnya seiring
dengan kondisi laut yang sudah
tercemar, sehingga menyulitkan sumber gambar: BMKG
telur-telur ikan untuk bertahan, tumbuh,
dan berkembang. Cuaca ekstrim juga semakin
sering terjadi, musim kemarau yang
berkepanjangan, gelombang panas
yang meningkatkan suhu udara
secara ekstrim dan hujan lebat
yang dapat menyebabkan banjir
(Knowledge Centre Perubahan
Iklim). Bencana-bencana alam
akibat cuaca ekstrim semakin
sering terjadi seperti angin
puting beliung, banjir bandang,
sumber gambar: LIPI tanah longsor, curah hujan ekstrim

Keadilan Iklim dan HAM | 31


yang menyebabkan banjir, kekeringan, yang dalam setahun
bisa berkali-kali terjadi di Indonesia.

sumber gambar: beritasatu.com

Gajah, harimau, orangutan Sumatera, orangutan Kalimantan,


badak Sumatera dan badak Jawa, burung jalak Bali dan
burung Cendrawasih asli Papua, anoa asal Sulawesi Tenggara
(Kompas, 11/04/20) adalah sebagian dari hewan-hewan
endemik asal Indonesia yang terancam punah karena hutan
tempat hidupnya dan habitat alaminya dirusak, ditebang
besar-besaran, dibakar untuk dijadikan lahan perkebunan
atau pertambangan. Hutan yang rusak pun mengganggu
keseimbangan ekosistem, sumber air bersih juga berkurang
karena tidak adanya lagi pohon untuk menyimpan cadangan
air. Kebakaran hutan semakin sering terjadi sekarang
ini, terutama yang disebabkan oleh manusia. Asap hasil
kebakaran hutan tidak hanya dirasakan oleh hewan-hewan

Keadilan Iklim dan HAM | 32


di hutan, tetapi dirasakan juga berpuluh-puluh mil jauhnya
dari hutan yang terbakar atau pun dibakar. Kebakaran hutan
tidak hanya menyebabkan kerusakan ekologis, tetapi juga
berdampak terhadap kesehatan pernapasan manusia. Asap
dari kebakaran hutan menjadi polutan di udara yang dapat
menyebabkan iritasi mata, tenggorokan, dan hidung; penyakit
infeksi pernapasan atas (ISPA); penyakit paru obstruktif
kronis; bahkan penyakit jantung. Kabut asap dari kebakaran
hutan juga meningkatkan emisi gas karbondioksida dan
gas-gas rumah kaca lainnya yang menyebabkan pemanasan
global dan perubahan iklim (Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika, 24/08/18).

Pernahkah ketika haus, kemudian kita minum air yang


sangat menyegarkan, lalu terpikirkan dari mana dan
bagaimana sumber air ini berasal? Bagaimana jika sumber
airnya tercemar? Bagaimana jika tidak ada lagi air yang
bisa kita minum? Pernahkah terpikirkan oleh kita? Berapa
banyak air yang kita gunakan dalam sehari untuk memenuhi
kebutuhan hidup? Atau ketika sedang menikmati makanan
kesukaan kita, pernahkah terpikirkan oleh kita dari mana
bahan baku makanan ini? Seberapa jauh jarak yang harus
ditempuh makanan ini untuk sampai ke kita? Berapa banyak
energi yang digunakan untuk mengolah makanan ini? Jika
tidak atau belum pernah terpikirkan hal-hal tersebut, cobalah
untuk memikirkannya. Sekaranglah waktunya untuk berpikir,
merenung, dan menghayati kembali kehidupan ini, sumber-
sumbernya, lingkungan, Bumi yang hanya satu ini, dan juga
alam semesta. Manusia mungkin masih dapat bertahan
dengan bantuan teknologi dan sumber daya alam yang
dimanfaatkan untuk kehidupannya. Namun, jika kondisi ini

Keadilan Iklim dan HAM | 33


dan dampak perubahan iklim terus memburuk sementara
kita tidak berbuat apa-apa untuk menguranginya, apakah
kita masih akan bertahan? Apakah kita masih bisa hidup
dengan layak? Hidup selayaknya manusia yang berbudi,
berakal pikiran, dan berilmu pengetahuan (bermartabat).

sumber gambar: bali express jawa pos

Apakah kita hanya menunggu atau bahkan mempercepat


waktu kepunahan kita sebagai manusia? Ironisnya,
manusialah yang merusak alam dan lingkungannya sendiri,
yang juga berakibat menimbulkan bencana kepunahan
makhluk lainnya. Tanaman, hewan, yang merupakan sumber
makanan bagi manusia pun tidak akan bisa bertahan jika
kenaikan suhu udara terus terjadi melebihi ambang batas
rata-rata syarat hidupnya. Tanaman dan hewan memiliki
syarat kecocokkan dan kenyamanan iklim untuk dapat hidup
dan berkembang biak. Jika mereka tidak dapat bertahan
hidup, tidak dapat berkembang biak, populasinya akan habis
dan punah, manusia pun akan kelaparan dan berlomba untuk

Keadilan Iklim dan HAM | 34


mendapatkan makanan. Tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya migrasi besar-besaran akibat perubahan iklim,
karena manusia akan mencari sumber makanan. Tempat
dimana terdapat banyak sumber makanan itulah yang akan
menjadi tujuan perpindahan manusia.

sumber gambar: IDN Times

Kenyataan-kenyataan tersebut sudah sering terdengar,


terlihat, bahkan terjadi di depan mata kita. Betapa kita banyak
meminta hak kita sebagai manusia, hak untuk hidup dengan
udara yang bersih misalnya. Jika kualitas udara buruk atau
terpolusi kita akan sakit, kita tidak bisa hidup dengan baik,
tetapi kita malah membakar hutan, menggunakan bahan
bakar fosil, tidak mau menanam pohon, menjaga hutan, dan
menggunakan kendaraan umum. Kita menuntut hak untuk
air bersih, tetapi kita merusak hutan, menebang pohon,
membuang limbah ke sumber-sumber air kita, membuang-
buang air dan mengeksploitasi sumber air bersih yang ada.
Kita mengeksploitasi sumber daya dengan seenaknya, dan

Keadilan Iklim dan HAM | 35


tidak memikirkan keberlanjutannya. Kita menuntut untuk
hidup dengan nyaman, tetapi kita mengonsumsi dengan rakus,
membeli semua yang kita mau kemudian membuangnya
jika sudah tidak suka, mencemari udara dengan polutan
kendaraan yang kita gunakan, mencemari lingkungan
dengan sampah yang kita hasilkan. Kita hanya memikirkan
diri sendiri dan kesenangan sesaat tanpa memikirkan sekitar
kita yang telah menyediakan dan mendukung kehidupan kita,
yang terus memberi tanpa meminta bayaran sepeserpun
yaitu lingkungan dan alam semesta ini.

Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya,


sudahkah kita adil dalam pikiran dan perbuatan kepada alam
semesta? Apakah kita lalai menjaga alam semesta? Apakah
kita pantas mendapatkan keadilan dari alam ini jika kitalah
yang menjadi penyebab utama ketidakseimbangannya,
perubahannya? Apakah kita pantas mendapatkan hak atas
keadilan iklim dan lingkungan hidup yang sehat, jika kita
tidak memenuhi kewajiban kita sebagai manusia terhadap
alam? Kewajiban manusia sebagai makhluk berakal yang
diberikan rahmat alam semesta ini adalah sebagai pengatur,
pengelola, yang menjaga keseimbangan dan keberlanjutan
alam ini. Mari kita jaga alam kita, lingkungan kita, mulai
dari diri sendiri, mulai dari gaya hidup yang memikirkan
keberlanjutan alam. Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita!

Keadilan Iklim dan HAM | 36


Referensi
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan Manusia. Knowledge
Centre Perubahan Iklim. http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/in-
dex.php/info-iklim/dampak-fenomena-perubahan iklim/dampa-
k/355-dampak-perubahan-iklim-terhadap-kesehatan-manusia ,
diakses 17 September 2020
Di Indonesia, Musim Kemarau Cenderung Makin Panjang, LIPI, http://
lipi.go.id/berita/di-indonesia-musim-kemarau-cenderung-makin-pan-
jang/118, diakses 1 Oktober 2020
Hewan Langka dan Terancam Punah di Indonesia. Kompas. https://
www.kompas.com/skola/read/2020/04/11/160000669/he-
wan-langka-dan-terancam punah-di-indonesia?page=all , diakses 17
September 2020
WASPADA KARHUTLA Kebakaran Hutan dan Lahan. Infografis BMKG. @
infoBMKG. 24 Agustus 2018

Keadilan Iklim dan HAM | 37


1.6 Optimalisasi Sektor Kelautan Dalam
Nationally Determined Contribution
Untuk Mencapai Perjanjian Paris Melalui
Ratifikasi UU No.16 Tahun 2016 Di
Indonesia.
Oleh: Putra Malik Akbar

Revolusi industri yang terjadi sejak 1850 menyebabkan


kenaikan suhu sebesar tiga derajat celcius dalam satu
abad terakhir (UNFCCC, 2020). Banyak fenomena alam yang
berubah secara drastis di berbagai belahan dunia. Semua
negara kini terlibat dalam penanganan perubahan iklim untuk
mempertahankan kondisi bumi bagi generasi mendatang.

Pada agenda COP ke-21 yang diselenggarakan oleh PBB


sebagai agenda rutin untuk membahas kerangka kerja
penanganan perubahan iklim, terbentuk sebuah kesepakatan
yang disebut sebagai “Paris Agreement” untuk membahas
kontribusi setiap negara dalam upaya pengurangan emisi.

Menurut data yang dilansir melalui laman CarbonBrief,


Indonesia menjadi negara terbesar penghasil emisi keempat
di dunia pada tahun 2015. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
tahunan yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2015, sekitar
2,4 Miliar Ton dan mewakili 4,8% dari total emisi global dunia
di tahun yang sama. Melihat hal tersebut, Indonesia turut
berpartisipasi aktif dalam kontribusi pengurangan emisi
dengan meratifikasi perjanjian tersebut.

Target Indonesia yang dituangkan dalam UU no.16 tahun


2016 ialah mengurangi emisi sebesar 29% dan hingga 41%
dengan bantuan Internasional pada tahun 2030. Sedangkan

Keadilan Iklim dan HAM | 38


sebelum meratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia melalui
Peraturan Presiden no. 61 tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, telah berkomitmen untuk
mengurangi emisi sebesar 26% pada tahun 2020.

Namun nyatanya, hasil capaian penurunan emisi yang


tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional) Indonesia pada tahun 2015-2019 hanya
sebesar 21,4%. Hal ini adalah salah satu bentuk evaluasi
Indonesia dalam mewujudkan komitmennya dalam upaya
pengurangan emisi. Sedangkan mengejar angka sebesar 5%
dalam 1 tahun bukan sesuatu yang mudah.

Kontribusi Indonesia dalam pengurangan emisi terbagi


menjadi lima sektor, diantaranya energi sebesar 16,87%,
kehutanan 7,22%, pertanian 1,21%, industri 0,71% dan
limbah 2,99%. Dalam implementasinya, jika Indonesia
hanya mengandalkan lima sektor tersebut hingga tahun
2030, maka dapat diprediksi bahwa target penurunan emisi
hingga 29% tidak dapat tercapai. Hal ini dibuktikan dengan
rendahnya persentase sebesar 0,71% pada sektor industri
dan meningkatnya proyek PLTU berbahan bakar batubara
sebesar 55% pada tahun 2016 hingga 2025 (Arif Fiyanto
dalam Saturi, 2016). Selain itu, tidak adanya pelibatan sektor
Kelautan pada NDC (Nationally Determined Contribution)
Indonesia. Target penurunan emisi masih menitikberatkan
pada sektor daratan. Padahal, sektor Kelautan melalui
vegetasi ekosistem mangrove dan lamun dapat
menyumbang penurunan emisi dengan masing-masing
nilai sebesar 167 Miliar Ton per tahun dan 3,64 Miliar Ton
per tahun (LIPI, 2018). Melihat potensi sebesar itu, sudah

Keadilan Iklim dan HAM | 39


seharusnya Indonesia memasukkan sektor kelautan pada
NDC. Selain itu, berdasarkan dokumen RPJMN Indonesia
2020-2024 mengenai PRK (Pembangunan Rendah Karbon),
terdapat salah satu strategi untuk melakukan pemulihan
ekosistem pesisir dan kelautan.

Dalam hal ini, perlu adanya kebijakan yang konkret dan


komitmen yang serius dalam implementasi penanganan
perubahan iklim. Kebijakan yang konkret dan komitmen
yang serius dapat ditunjukan dengan melibatkan semua
stakeholders sesuai dengan yang tercantum pada artikel
enam perjanjian paris. Oleh karena itu, diperlukannya
keterpaduan stakeholders melalui Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Laut secara Terpadu. Menurut Effendy (2009),
bentuk keterpaduan stakeholders dengan melakukan
pendekatan dua arah yaitu top down and bottom up sehingga
mampu mengakomodir segenap kepentingan dalam proses
perencanaan dan pengelolaan di wilayah pesisir maupun
lautan. Pentingnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut
secara terpadu dikarenakan beberapa hal, diantaranya
(1) wilayah pesisir bersifat multiple use zone yang mana
terdapat potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan,
(2) karakteristik wilayah yang dinamis akibat pengaruh
dari daratan dan lautan, dan (3) lebih dari satu etnis yang
mendiami kawasan pesisir dan preferensi mata pencaharian
yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa, meskipun pemulihan ekosistem pesisir dan kelautan
menjadi prioritas dalam penanganan perubahan iklim, tidak
semata-mata kawasan tersebut hanya dapat dimanfaatkan
untuk restorasi lingkungan karena adanya kepentingan lain di
kawasan tersebut. Melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Keadilan Iklim dan HAM | 40


Laut secara Terpadu, maka adanya bentuk carrying capacity
yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga swasta
dalam suatu ruangan untuk membahas pembangunan yang
berkelanjutan di wilayah tersebut.

Menurut Darajati (2004), secara garis besar ada tiga proses


perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut secara
Terpadu diantaranya, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi. Selebihnya dapat mengacu pada gambar di bawah
ini.

Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut secara Terpadu (Sumber: Darajati, 2004)

Selebihnya, agar proses Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Laut secara Terpadu dapat berjalan dengan baik, maka

Keadilan Iklim dan HAM | 41


dibutuhkan komponen penunjang, seperti kepemimpinan,
penguatan kelembagaan, kemampuan teknis, dan alat
pengelolaan yang semua hal tersebut disesuaikan dengan
kondisi geografi, demografi, hingga sosekbud dan politik.

_____

Referensi

Carbon Brief. 2020. https://www.carbonbrief.org/profil-carbon-brief-


indonesia. Diakses 18 September 2020.
Darajati, Wahyuningsih. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Makalah Sosialisasi Nasional
MFCDP.
Effendy, Mahfud. 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu:
Solusi Pemanfaatan Ruang, Pemanfaatan Sumberdaya dan
Pemanfaatan Kapasitas Asimilasi Wilayah Pesisir yang Optimal dan
Berkelanjutan.
LIPI. 2018. Potensi Cadangan dan Serapan Karbon Ekosistem Mangrove
dan Padang Lamun di Indonesia. Intisari Pengambil Kebijakan.
Peraturan Presiden no. 61 tahun 2011.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Saturi, Sapariah. 2016. Indonesia Ratifikasi Perjanjian Paris, Apa Langkah
Selanjutnya?. Mongabay: Indonesia.
UNFCCC. 2020. Sekilas tentang Perubahan Iklim – Climate Change at a
Glance. Diakses 18 September 2020.
UU no. 16 tahun 2016.

Keadilan Iklim dan HAM | 42


2 ANALISIS KEBIJAKAN
LINGKUNGAN
2.1 Balada Kelapa Sawit: Benci Tapi Rindu Jua
Oleh : Annisa Rikayani

Hingga saat ini, Indonesia masih menyandang gelar


produsen minyak sawit terbesar di dunia sekaligus menjadi
kontributor penting dalam pasar minyak nabati global.
Namun sayangnya, melimpahnya produksi kelapa sawit di
Indonesia dibarengi dengan segudang isu permasalahan
lingkungan yang mendera. Permasalaan lingkungan yang
timbul tidak bisa lepas dari peran ekspansi besar-besaran
perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, ekspansi perkebunan
kelapa sawit di Indonesia ditengarai menjadi salah satu
penyebab kerusakan lahan dan deforestasi hutan.

Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi

Analisis Kebijakan Lingkungan | 43


Pola pembukan lahan yang dilakukan dengan cara
pembakaran hutan berkontribusi besar terhadap peningkatan
emisi gas rumah kaca dan degradasi lingkungan. Sebuah
studi oleh Varkkey sebagaimana yang terdapat dalam buku
Hutan Kita Bersawit yang diterbitkan oleh Yayasan KEHATI
menyebutkan setidaknya 80% pembakaran pada lahan
gambut melibatkan perusahaan kelapa sawit. Isu lingkungan
telah menjadi salah satu penyebab CPO Indonesia tidak
lagi dimasukkan sebagai bahan baku bio energi di daratan
Eropa. Pernyataan ini tertuang dalam dokumen Delegated
Regulation Renewable Energy Directive II.

Di sisi lain, penolakan CPO Indonesia di Pasar Uni


Eropa (UE) juga dianggap sebagai perlindungan terhadap
komoditas minyak nabati lain yang diproduksi oleh UE.
Santer dikabarkan UE melakukan perang dagang dan
diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia. Seperti yang
diketahui, kelapa sawit hanya tumbuh di wilayah tropis dan
tidak tumbuh di wilayah sub tropis seperti Benua Eropa.

“Kompetitifnya harga minyak sawit dibandingkan dengan


minyak nabati lainnya menyebabkan minyak sawit semakin
dilirik oleh berbagai macam industri di dunia sehingga
pangsa pasar sawit dalam tiga puluh tahun terakhir semakin
meningkat” ujar Guru Besar UGM Prof. Dr.Ir Sri Raharjo
dalam pagelaran UGM Talks yang saya ikuti pada akhir bulan
November 2019 lalu. Tak ayal, keberadaan minyak sawit
semakin mengusik eksistensi minyak nabati yang berasal
dari negara sub tropis. Pasalnya, market share minyak sawit
Indonesia di pasar dunia mencapai 52,5 %.

Kompetitifnya harga minyak sawit tidak terlepas dari

Analisis Kebijakan Lingkungan | 44


produktivitas yang dihasilkannya. Sawit hanya menempati
7% lahan tanaman minyak nabati dunia, tetapi mampu
menghasilkan 32 % dari minyak nabati dunia. Produktivitas
minyak sawit mencapai 4 ton per hektare diikuti oleh
rapeseed, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai yang
berturut-turut sebesar 0,7 ton, 0,6 ton, dan 0,4 ton per hektare.

Selama ini sawit hanya dikenal sebagai bahan baku


minyak goreng. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari,
banyak sekali produk yang menggunakan turunan minyak
sawit mulai dari makanan, oleochemical, sampai bahan
bakar. Produk turunan minyak sawit dapat dijumpai dalam
sejumlah makanan contohnya margarine, mie instan, roti,
es krim, coklat, wafer, dan lainnya. Selain itu, dalam susu
formula juga terkandung minyak sawit hal ini dikarenakan
minyak sawit mengandung Asam Palmitat yang menyerupai
lemak dalam Air Susu Ibu (ASI). Produk turunan minyak
sawit juga terkandung dalam sampo, pasta gigi, sabun, serta
sejumlah produk kosmetik.

Dilihat dari sisi ekonomi, sawit merupakan penyumbang


devisa ekspor non migas tersebesar bagi negara, yakni
sekitar 13,7%. Data dari BPDPKS menunjukkan bahwa
insdustri kelapa sawit telah menyerap jutaan tenaga kerja dan
berkontribusi dalam membantu mengentaskan kemiskinan
di daerah pedesaan.

Begitulah nasib kelapa sawit, dibenci karena persoalan


lingkungan yang menderanya. Namun, kehadirannya sangat
dibutuhkan dan dirindukan untuk memenuhi kebutuhan
berbagai industri dan kebutuhan rumah tangga. Strategisnya
posisi sawit baik di dalam negeri maupun kancah

Analisis Kebijakan Lingkungan | 45


internasional sudah sepatutnya didukung oleh manajemen
lingkungan dan tata kelola yang baik.

Perbaikan tata kelola sawit, utamanya yang berkaitan dengan


perizinan dan regulasi perkebunan sawit harus menjadi
prioritas. Bukan tanpa sebab, merujuk pada data penelitian
dari Auriga sebagaimana yang terdapat dalam buku Hutan
Kita Bersawit menunjukkan setidaknya terdapat 3,4 juta
hektare lahan yang telah ditanami kelapa sawit berada dalam
kawasan hutan. Selain itu, hasil temuan KPK menyebutkan
sistem pengendalian perizinan usaha perkebunan sawit
tidak memadai dan akuntabel. Tumpang tindihnya perizinan
perkebunan sawit agaknya masih menjadi penyakit yang
sukar untuk disembuhkan.

Di sektor birokrasi, perbaikan tata kelola perizinan perkebunan


sawit melalui kebijakan satu peta serta sistem informasi
dan perizinan perkebunan sawit sebagaimana yang digagas
oleh KPK wajib segera ditindaklanjuti. Hal ini penting
dilakukan untuk mengurai permasalahan tumpang tindihnya
perizinan yang dapat berimplikasi pada tumpang tindihnya
penggunaan lahan. Selain itu, di sektor hukum diperlukan
penegakan hukum yang lebih tegas guna memastikan
semua pelaku usaha baik perusahaan maupun pekebun
mematuhi prosedur dan instrumen hukum yang berlaku.
Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan dapat mendukung
penerapan sawit berkelanjutan. Dibutuhkan komitmen kuat
dari pemerintah dalam menyelesaikan persoalan sawit,
tanpa komitmen yang kuat, perbaikan tata kelola sawit
sudah tentu bisa ditebak “mogok di tengah jalan”.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 46


Referensi

BPDPKS. (2019). Optimalisasi Industri Kelapa Sawit Nasional. Indonesia


palm oil industry challenges amidst Environmental Issues (pp. 1-34) (
Slide PPT seminar ). Yogyakarta: HIMIESPA UGM.
KPK. (2019). Pencegahan Korupsi Sektor Komoditas Kelapa Sawit.
Indonesia Palm Oil Industry ChallengesAmidst Enviromental Issues
(pp. 1-35) ( Slide PPT Seminar ) . Yogyakarta: HIMIESPA UGM.
Ma’ruf, A., Marhaento, H., Suradiredja, D., Santoso, H., Saif, I., Zamroni, S.,
et al. (2019). Hutan Kita Bersawit. Jakarta: Kehati.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 47


2.2 Kelanjutan Ambisi Iklim Indonesia.
Oleh: Diah Putri Utami

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB) COP-25 yang diselenggarakan tahun 2019 lalu dinilai
gagal mencapai kesepakatan terutama dalam hal kerjasama
antarnegara dan pembukaan pasar karbon (Media Indonesia,
2019). Selain itu, gap yang disoroti dari ketiadaan partisipasi
kelompok anak dan pemuda dalam penyusunan kebijakan
(policy making) iklim yang mempengaruhi kedua kelompok
ini juga tidak menemukan titik terang setelah COP-25
berlangsung. Brookings (2019) menyebutkan bahwa lebih
dari setengah Nationally Determined Contribution (NDC)
gagal menyebutkan kelompok anak, pemuda atau generasi
mendatang. Meskipun demikian, janji untuk membatasi emisi
gas rumah kaca (GRK) melalui NDC masih diimplementasikan
hingga saat ini. Kontribusi negara-negara yang berkomitmen
terhadap penurunan emisi GRK secara rutin disampaikan
dan diperbarui melalui sekretariat UNFCCC1.

Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan tindak


lanjut dari Persetujuan Paris yang oleh Pemerintah Indonesia
diratifikasi melalui UU No. 16/2016. NDC Indonesia memuat
rencana mitigasi dan adaptasi nasional perubahan iklim.
Di dalamnya disebutkan Indonesia berkomitmen untuk
menurunkan emisi di lima sektor penyumbang emisi dari
skenario bisnis seperti biasa hingga tahun 2030 sebesar 29
persen dengan upaya sendiri dan sebesar 41 persen dengan
bantuan internasional. Sementara strategi adaptasi menyasar
1 UNFCCC atau United Nation Framework Convention on Climate Change
merupakan kesepakatan internasional terkait dengan perubahan iklim yang ber-
tujuan untuk menstabilkan tingkat konsentrasi efek gas rumah kaca di atmosfer,
dengan mencegah perilaku manusia yang berbahaya bagi iklim.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 48


pada penurunan risiko di semua sektor pembangunan.

Untuk mengimplementasikan NDC, diperlukan beberapa


elemen yang harus diperhatikan yaitu sumber daya dan
kapasitas, ketersediaan data dan perangkat, kebijakan
langsung dan tidak langsung untuk memastikan terlaksananya
kegiatan di sektor lain, target di sektor lahan atau sub sektor
non lahan, target di subnasional, peran non state actor, serta
jurisdictional target (Yayasan Madani Berkelanjutan, 2020).
Beberapa elemen tersebut diperlukan untuk menilai peluang
ketercapaian target ambisi iklim, tantangan yang dihadapi,
dan prioritas tindakan yang perlu dilakukan. Maka dari itu,
tulisan ini mencoba memotret perkembangan implementasi
NDC Indonesia yang bersumber dari data dan informasi
sekunder melalui tiga aspek: 1) Kebijakan Nasional; 2)
Pelibatan Masyarakat, serta 3) Pembiayaan.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 49


Kebijakan Nasional.

Undang-Undang No. 16/2016 tentang Pengesahan Paris


Agreement menyebutkan adanya kontribusi yang ditetapkan
secara nasional (NDC) sebagai pernyataan komitmen
implementasi Persetujuan Paris. Sebelum UU No. 16/2016
tersebut muncul, Indonesia telah berkomitmen untuk
mengurangi emisi gas rumah kacanya melalui Peraturan
Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Selain itu, dari
sisi adaptasi, Indonesia juga memiliki Rencana Aksi Nasional
Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) periode 2013-2025.
Hal ini menunjukkan Indonesia telah memiliki komitmen
pengendalian perubahan iklim yang telah diformalkan ke
dalam kebijakan dan dinyatakan kembali di dalam dokumen
NDC pertamanya di tahun 2016.

Di bawah NDC, RAN-GRK dan RAN-API menjadi pedoman dan


acuan bagi sektor-sektor pembangunan untuk menetapkan

Analisis Kebijakan Lingkungan | 50


target dan indikator kerjanya di dalam Rencana Pembangunan
Nasional. Untuk menentukan target dan indikator kerja
masing-masing sektor pembangunan terutama yang menjadi
kontributor emisi Indonesia, RPJMN tahun 2020-2024 telah
memasukkan upaya pengendalian perubahan iklim ke dalam
salah satu Prioritas Nasional. Program Prioritas tersebut
meliputi: (1) Pembangunan Rendah Karbon (untuk mitigasi)
dan (2) Peningkatan Resiliensi Iklim dan Bencana (untuk
adaptasi). Ilustrasi berikut ini bertujuan untuk mempermudah
melihat keterkaitan kebijakan-kebijakan tersebut.

Meskipun telah ditopang dengan kerangka kebijakan


sebagaimana disebutkan di atas, sejumlah studi
merekomendasikan adanya penguatan kebijakan sektoral

Analisis Kebijakan Lingkungan | 51


dan tindakan yang lebih ambisius untuk mencapai target
NDC Indonesia. Sebagai contoh, kertas kerja dari WRI
Indonesia (2017) merekomendasikan tindakan mitigasi
yang lebih ambisius di area kebijakan moratorium hutan,
pemulihan hutan dan lahan gambut yang terdegradasi,
dan konservasi energi. Pada tahun 2020, rekomendasi
tindakan yang lebih ambisius di sektor kehutanan kembali
disampaikan. Kelompok masyarakat sipil pemerhati
komitmen iklim Indonesia mencatat bahwa masih terdapat
9,5 juta hektar potensi hutan alam yang dapat dilindungi
dari kebijakan penghentian izin baru di hutan alam primer.
Selain itu, terdapat juga 34,6% potensi pencapaian target
NDC kehutanan yang berasal dari optimalisasi pencapaian
target serta pemberdayaan masyarakat perhutanan sosial
(Yayasan Madani Berkelanjutan, 2020).

Jika kebijakan di sisi mitigasi telah cukup rinci dan kemajuan


pelaksanaannya dapat dengan mudah dikuantifikasi, maka
lain halnya dengan kebijakan di sisi adaptasi. Meskipun
diikutsertakan dalam dokumen NDC pertama Indonesia,
upaya adaptasi belum cukup memiliki target dan indikator
yang jelas. Di dalam dokumen NDC, kebijakan dan aksi
pra-2020 disebutkan akan mendukung kelancaran transisi
menuju pelaksanaan NDC di bawah kerangka Persetujuan
Paris paska-20202. Hal ini dapat diartikan implementasi
RAN-API menjadi tolak ukur upaya adaptasi perubahan iklim
Indonesia, paling tidak hingga menunggu pembaruan NDC
Indonesia selanjutnya. Perlu diperhatikan bahwa dokumen
RAN-API yang dimiliki Indonesia belum diformalkan ke dalam
peraturan presiden seperti RAN-GRK. Maka dari itu, dari
2 Dikutip dari Dokumen NDC Pertama Indonesia, hlm. 4

Analisis Kebijakan Lingkungan | 52


sisi kebijakan adaptasi masih memiliki sejumlah hal yang
harus didorong agar dapat melibatkan pemerintah daerah
dan aktor di luar pemerintah yang lebih luas. Hal ini juga
termasuk metrik adaptasi (adaptation metrics) yang saat
ini belum dimiliki Indonesia. Metrik adaptasi penting untuk
menilai kebutuhan, tindakan yang diperlukan, dan kemajuan
pelaksanaan adaptasi perubahan iklim.

Kebijakan sektoral lainnya juga perlu konsisten dengan


kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang telah
ada. Hal ini mengingat di tahun 2020, pemerintah telah
mengesahkan perubahan UU Pertambangan Mineral dan
Batubara dan Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, dalam
RUPTL 2019-2028, pemerintah berencana untuk memasang
sekitar 27 GW listrik berbahan bakar batubara hingga tahun
2028. Berbagai kebijakan tersebut dinilai tidak konsisten
dengan komitmen NDC dan menyebabkan status Indonesia
berdasarkan asesmen Climate Action Tracker (CAT)3 adalah
“highly insufficient” atau masih berwarna merah.

Pelibatan Masyarakat.
Dalam proses penyiapan NDC, disebutkan pada halaman 6
dokumen NDC pertama Indonesia bahwa pemerintah telah
menyelenggarakan konsultasi dengan berbagai pemangku
kepentingan yang mewakili kementerian dan institusi
pemerintah lainnya, akademisi, pakar ilmiah, sektor swasta,
dan organisasi masyarakat. Meskipun tidak dijelaskan
3 The Climate Action Tracker adalah analisis ilmiah independen yang melacak
aksi iklim pemerintah dan mengukurnya terhadap tujuan Perjanjian Paris yang
disepakati secara global untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 2°C

Analisis Kebijakan Lingkungan | 53


secara rinci bagaimana proses dan mekanisme konsultasi
dilakukan, terutama ketika NDC secara periodik akan
diperbarui. Analisis IESR (2015) menilai proses Intended
NDC (INDC) sebelum dinyatakan ulang dalam dokumen NDC
tidak transparan sebagaimana proses penyusunan RAN-GRK
pada tahun 2015. Komite Pengarah Perubahan Iklim yang
bertanggungjawab atas proses INDC terbuka atas komentar
dan masukan dari para pemangku kepentingan terutama
organisasi masyarakat sipil dalam jangka waktu dua minggu
setelah draft diedarkan, namun tidak jelas bagaimana
masukan dan umpan balik tersebut diperhitungkan dan
diproses pada perumusan INDC final yang diserahkan ke
UNFCCC.

Konsultasi juga disebutkan telah dilakukan untuk pembaruan


NDC yang saat ini sedang berproses di Kementerian terkait.
Meskipun demikian, tidak ada pelibatan masyarakat maupun
organisasi non-pemerintah walaupun dalam rancangan
dokumen pembaruan NDC yang beredar disebutkan
telah melakukan konsultasi (ICEL, 2020). Selain itu, tidak
ada publikasi yang dapat diakses oleh masyarakat dan
organisasi non-pemerintahan mengenai pembaruan NDC ini.
Adapun dokumen yang dapat diakses publik saat ini adalah
dokumen komunikasi upaya pengendalian (Third National
Communication) dan laporan pembaruan data mitigasi
perubahan iklim (Biennial Update Report), tidak spesifik
berisi mengenai kemajuan implementasi NDC.

Selain itu, belum ada platform atau mekanisme khusus


sebagai akses pelibatan masyarakat. Hal ini disampaikan
dalam catatan rapat dalam forum pembahasan peta jalan

Analisis Kebijakan Lingkungan | 54


NDC di sektor lahan dan peluang partisipasi masyarakat sipil
yang dikoordinasikan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan4.
Sebagai rekomendasinya, diharapkan implementasi NDC
ke depan dapat melibatkan masyarakat sipil yang tidak
hanya bekerja untuk pencapaian NDC. Terlebih, jika peluang
perhutanan sosial dan konservasi energi dioptimalkan untuk
mencapai target NDC, maka masyarakat adat dan berbagai
komunitas di level pemerintahan terendah idealnya diberikan
akses untuk terlibat. Lebih jauh, pengesahan Rancangan UU
Masyarakat Adat seharusnya dapat memperkuat kedudukan
dan akses masyarakat adat untuk terlibat.

Pembiayaan
Pada tahun 2018 Pemerintah Indonesia mengeluarkan
daftar kebutuhan pendanaan untuk mencapai target NDC.
Indonesia menyampaikan estimasi kebutuhan pendanaan
untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2030
mencapai US$247,2 miliar atau sekitar Rp3,461 triliun (Badan
Kebijakan Fiskal, 2019). Estimasi biaya tertinggi ada pada
sektor energi dan transportasi, diikuti oleh sektor kehutanan
dan lahan. Kementerian Keuangan (2020) juga mencatat
hingga tahun 2020 pembiayaan domestik yang berasal
dari anggaran negara telah mendanai 34 persen dari total
kebutuhan pembiayaan iklim untuk mencapai target NDC
Indonesia. Mekanisme tagging anggaran perubahan iklim
yang diterapkan sejak 2016 telah membantu mengidentifikasi
proporsi anggaran perubahan iklim dalam struktur APBN.
4 Pada Februari 2020, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama dengan KKI Warsi,
350.ID, Greenpeace, EcoNusa dan Institute for Essensial Services Reform (IESR)
mengirimkan surat masukan untuk Dokumen Update NDC kepada Direktorat
Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK)

Analisis Kebijakan Lingkungan | 55


Gap antara kebutuhan dan ketersediaan pembiayaan iklim
saat ini masih besar sehingga potensi transfer fiskal di level
pemerintah daerah dan berbagai alternatif pembiayaan publik
lainnya perlu terus didorong. Optimalisasi dana transfer dan
dana desa yang dialokasikan untuk mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim di daerah memerlukan pengarusutamaan
ke dalam dokumen perencanaan pemerintah daerah.
Selain itu, alternatif pembiayaan lainnya yang potensial
untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia adalah
pengembangan obligasi tematik iklim dan SDGs.

Peluang pembiayaan dari sektor privat idealnya diarahkan


kepada pengelolaan infrastruktur alam. Studi kerjasama
antara Paulson Institute, Nature Conservancy, dan Cornel
Atkinson Center for Sustainability (2020) merekomendasikan
skema infrastruktur alam dan penggantian kerugian (offset)
sebagai alternatif proporsi pembiayaan terbesar setelah
pembiayaan domestik yang berasal dari anggaran negara.
Lebih jauh, perlu ada perubahan sistem keuangan yang
berbasis pasar. Sementara Indonesia saat ini baru dilandasi
oleh peraturan OJK No. 51/2017 mengenai penerapan
keuangan berkelanjutan yang didasarkan oleh rencana aksi
dari lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik.

Dari segi pembiayaan internasional, dana yang diperoleh dari


kerjasama multilateral dan bilateral dapat digunakan untuk
mendukung pencapaian NDC. Sebagai contoh pada awal
tahun 2020, Indonesia memperoleh pembayaran insentif
berbasis performa (result-based payment) yang pertama
sebagai bagian dari perjanjian bilateral Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Hal

Analisis Kebijakan Lingkungan | 56


ini disebabkan oleh adanya penurunan angka deforestasi
hutan primer Indonesia sebesar 60 persen pada tahun 2017
dibandingkan dengan tahun 2016 (WRI Indonesia, 2019).
Skema REDD+ meliputi area yang cukup luas, diantaranya
yaitu upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan
peningkatan stok karbon. REDD+ juga mempertimbangkan
partisipasi masyarakat lokal dan adat, sebagai pemangku
kepentingan utama, yang haknya untuk hidup di dalam
atau sekitar hutan harus dijamin. Dengan insentif sebesar
USD 103,8 juta yang diterima Indonesia, diharapkan
penggunaannya menyasar area prioritas yang dapat menjadi
pengungkit pencapaian NDC dengan pelibatan masyarakat
lokal dan adat sesuai prinsip REDD+.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 57


Tindak Lanjut
Setelah melihat potret kemajuan pelaksanaan NDC dari
tiga aspek di atas, untuk mengukur kemajuan pencapaian
NDC Indonesia tentunya perlu telaah dan studi lebih
lanjut. Meskipun jika melihat kebijakan yang ada saat ini
akan lebih mudah mengukur pencapaian jenis kontribusi
NDC dalam hal mitigasi. Peran dari berbagai kelompok
masyarakat idealnya harus terus ditingkatkan dan tidak
hanya kelompok masyarakat yang bekerja untuk NDC. NDC
adalah komitmen dan payung kebijakan iklim Indonesia
yang bersifat intragenerasi sehingga generasi mendatang
perlu mengetahui apa yang akan dilakukan Indonesia dalam
upaya pengendalian perubahan iklim.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 58


Referensi

Badan Kebijakan Fiskal RI. (2019). Buku Pendanaan Publik untuk


Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia 2016-2018.
Brookings. (2019). National Climate Strategies are Forgetting about Girls,
Children, and Youth. Diakses pada 6 Oktober 2020 23.43 di https://
www.brookings.edu/blog/education-plus-development/2019/12/10/
national-climate-strategies-are-forgetting-about-girls-children-and-
youth/
Climate Watch Data. (2020). Country Overview: Indonesia.
Diakses pada 2 Oktober 2020 15.20 di https://
www.climatewatchdata.org/ndcs/country/IDN/
overview?document=first_ndc&section=planning_process
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). (2020).
Pudarnya Ambisi Perubahan Iklim Indonesia. Diakses pada
2 Oktober 2020 15.20 di https://icel.or.id/isu/lain-lain/
pudarnya-ambisi-perubahan-iklim-indonesia/
Kementerian Keuangan RI. (2020). Fiscal Policies of Climate Change.
Disampaikan dalam FGD: To What Extent Adaptation Metrics can
Contribute to Identify the Needs of both National Development
Planning and International Climate Finance?” pada tanggal 29
September 2020.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (N/A). Terjemahan
NDC Indonesia.
Media Indonesia. (2019). Artikel 6 Paris Gagal Disepakati. Diakses pada
18 September 2020 17.15 di https://mediaindonesia.com/read/
detail/278024-artikel-6-paris-gagal-disepakati
Paulson Institute, The Nature Conservancy, and Cornell Atkinson Center
for Sustainability. (2020). Financing Nature: Closing the Global
Biodiversity Financing Gap. Full Report published by Paulson Institute.
The Climate Action Tracker. (2020). Country Summary: Indonesia.
Diakses pada 2 Oktober 2020 15.20 di https://climateactiontracker.
org/countries/indonesia/
Tumiwa, Fabby dan H. Imelda. (2015). A Brief Analysis of Indonesia’s

Analisis Kebijakan Lingkungan | 59


Intended Nationally Determined Contribution (INDC). Institute for
Essential Services Reform (IESR).
Wijaya, Arief, H Chrysolite, M Ge, CK Wibowo, A Pradana, A Utami, K
Austin. (2017). How Can Indonesia Achieve Its Climate Change
Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from
Energy and Land-Use Policies. WRI Indonesia.
World Research Institute (WRI) Indonesia. (2019). Berhasil Kurangi
Deforestasi, Indonesia Mulai Dibayar Norwegia. Diakses pada
18 September 2020 17.00 di https://wri-indonesia.org/id/blog/
berhasil-kurangi-deforestasi-indonesia-mulai-dibayar-norwegia
Yayasan Madani Berkelanjutan. (2020). Perkembangan Peta
Jalan NDC Indonesia. Diakses pada 18 September 2020
17.00 di https://madaniberkelanjutan.id/2020/03/12/
perkembangan-peta-jalan-ndc-indonesia#
Yayasan Madani Berkelanjutan. (2020). Masukan
CSO untuk Dokumen Update NDC. Diakses pada 2
Oktober 2020 15.20 di https://madaniberkelanjutan.
id/2020/03/04-masukan-cso-untuk-dokumen-update-ndc

Analisis Kebijakan Lingkungan | 60


2.3 MENGAWAL KEBIJAKAN FOOD ESTATE
DI BAWAH PAYUNG BUILD BACK BETTER.
Oleh: Moh Wahyu Syaiful Mubarok

Sektor pangan menjadi pilar penting untuk menopang


suatu bangsa agar digdaya. Bahkan agenda ketahanan
pangan turut masuk ke dalam kerangka Zero Hunger pada
Sustainable Development Goals. Karena keberlanjutan
pangan menjadi faktor kunci ketahanan manusia di bumi.
Walaupun demikian, bukan berarti kondisi lumbung pangan
kita baik-baik saja.

Ada dua kondisi yang mengancam stabilitas pangan


nasional, yakni bencana dan buruknya tata kelola. Beberapa
ahli dan kepala negara, termasuk Joko Widodo, berulangkali
menyampaikan kekhawatiran terjadinya krisis pangan akibat
pandemi COVID-19. Apalagi tidak ada yang tahu kapan
mendung pandemi akan pergi menjauh dari bumi.

Lebih jauh, Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) bersama


16 organisasi internasional juga mengingatkan adanya krisis
pangan melalui laporannya yang bertajuk 2020 Global Report
on Food Crisis. Sehingga, narasi ketahanan pangan menjadi
hal yang relevan untuk menjaga keberlangsungan dunia di
masa depan, dengan sektor pertanian sebagai aktor utama.

Pemerintah melirik lumbung pangan sebagai solusi untuk


meningkatkan produksi padi nasional. Sebenarnya, cita-cita
tersebut telah muncul di di tahun-tahun terakhir pemerintahan
Soeharto, yakni pengembangan lahan gambut 1 juta hektar
di Kalimantan Tengah. Proyek tersebut diketuai oleh Menko

Analisis Kebijakan Lingkungan | 61


Ekuin melalui Keppres No. 82/1995 yang melibatkan sepuluh
kementerian. Target pengembangan lahan gambut ini untuk
memproduksi 2 juta ton beras per tahun.

Namun proyek tersebut tidak mengindahkan prinsip-


prinsip ilmiah. Sebanyak 56 juta meter kubik kayu lenyap,
menguntungkan segelintir orang dan lingkungan rusak.
Proyek dengan biaya awal 3 triliun tersebut gagal dan
pemerintah harus menambah 3 triliun lagi untuk rehabilitasi
lingkungan. Saat ini, lokasi tersebut menjadi sumber bencana
kabut asap di setiap musim kemarau.

Pada masa pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono),


cerita coba disusun ulang dengan jargon food estate (lumbung
pangan). Ada dua area yang disasar, yakni Ketapang dengan
luas 100.000 hektar dan Bulungan seluas 300.000 hektar.
Seperti mengulang cerita lama, keduanya juga gagal total. Di
Food Estate Ketapang hingga Agustus 2013 hanya berhasil
dikembangkan 100 hektar, sedangkan di Bulungan menurut
laporan dicetak 1.024 hektar sawah hingga 2014.

Cerita pun terus berlanjut di tahun 2008. Berbekal tiga


landasan hukum, yaitu PP No 26/2008, Perpres No 5/2008,
dan PP No 18/2010, dikembangakan MIFEE (The Merauke
Integrated Food and Energy Estate). Optimisme mencuat
dengan total wilayah yang akan dikembangkan adalah 1,23
juta hektar, apalagi saat itu dunia tengah didengungkan
dengan jargon feed the world. Hingga Mei 2010, 36 investor
masuk dan hanya satu investor untuk padi, lainnya untuk
hutan tanaman industri, perkebunan sawit, tebu, dan jagung.
Proyek tersebut bernasib sama dengan para pendahulunya.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 62


Payung Build Back Better
Guna melewati pandemi, Indonesia memilih langkah
pemulihan build back better, sebuah konsep untuk memulihkan
ekonomi, sosial dan menjaga kelestarian lingkungan.
Menurut BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional), konsep tersebut mengadopsi pemulihan pasca-
bencana. Tujuannya untuk menghindari terjadinya kondisi
kerentanan dan menjadikan proses pemulihan sebagai
transformasi sosial, ekonomi, dan lingkungan menuju arah
yang lebih baik. Kebijakan tersebut adalah implementasi
Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Tujuan dari Build Back Better adalah menghindari terjadinya


kondisi kerentanan semula (yang lama) dan menjadikan
proses pemulihan sebagai transformasi sosial, ekonomi,
dan lingkungan menuju arah yang lebih baik. Sebenarnya
konsep ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Pertama kali
diperkenalkan pasca-bencana Tsunami di kawasan Samudera
Hindia 2006. PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) menawarkan
10 rencana utama untuk membangun kembali lebih baik
sebagai upaya pemulihan pasca-bencana. Di antaranya,
pemulihan harus mengutamakan keadilan dan kesetaraan,
pemerintah harus meningkatkan kesiapan menghadapi
bencana di masa depan, serta pemulihan yang baik harus
membuat masyarakat lebih aman dengan mengurangi risiko
dan membangun ketahanan.

Selama ini, menurut Bappenas, pembangunan pasca-


bencana adalah business as usual. Rekonstruksi pasca-

Analisis Kebijakan Lingkungan | 63


bencana hanya fokus pada perbaikan fisik, pemulihan
cepat yang terkadang meningkatkan kembali kerentanan di
masyarakat. Disebutkan pula oleh Wisner (2004), kerentanan
muncul sebagai kurangnya kapasitas untuk mencegah,
beradaptasi dan memulihkan diri dari dampak bencana.
Build Back Better juga dipakai untuk pemulihan Aceh pasca
bencana tsunami. Terakhir, konsep ini juga dipakai untuk
pemulihan bencana tsunami dan likuifaksi Palu-Donggala.
Bappenas dan JICA mengusung konsep Build Back Better,
Safer and Sustainable for Resilient Indonesia dalam Master
Plan for the Rehabilitation and Reconstruction of the Affected
Regions in the Central Sulawesi.

Secretary of State for Business, Energy, and Industrial Strategy


Inggris, Alok Sharma, dalam kolom opini Kompas (24/08)
menyebut bahwa Pemulihan ekonomi ramah lingkungan
adalah pilihan paling masuk akal. Inisiatif Pembangunan
Rendah Karbon sendiri menunjukkan, jalur pembangunan
rendah karbon akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi
tertinggi dan paling inklusif bagi Indonesia.

Mengawal Kebijakan Food Estate.


Krisis pandemi membuat beberapa negara di dunia seperti
Inggris, Jepang, China, India, Australia, hingga Belanda
berinisiatif untuk menjadikan asas build back better sebagai
landasan untuk memperkuat kerentanan di bidang pertanian.
Meningkatkan produksi untuk menjaga lumbung pangan
di tengah ketidakpastian Covid-19. Dalam skala global,
kita sudah dilanda perlambatan distribusi makanan hingga
pengurangan hasil panen. Pandemi membuat 35 persen

Analisis Kebijakan Lingkungan | 64


mengancam sistem rantai makanan global (FAO, 2020).

Secara global, ada tiga strategi yang diterapkan untuk


mengawal kebijakan food estate di bawah payung build
back better. Strategi pertama adalah keabsahan data untuk
pengambilan keputusan yang lebih baik. FAO Data Lab
dirilis sebagai pusat data pangan dunia dengan melibatkan
analisis geospasial. Langkah ini diambil untuk menjamin
early warning system untuk mendeteksi titik-titik api di bumi.
Strategi kedua, perlu adanya peningkatan sinergi antar
elemen. Contoh nyatanya adalah kerja sama yang dilakukan
oleh FAO dan WHO dalam The Joint FAO/WHO Centre.
Lembaga tersebut dijalankan oleh The Codex Alimentarius
Commission untuk mengatasi zoonosis yang ada di bumi.
Langkah yang ketiga adalah kita perlu melakukan akselerasi
inovasi. Strategi investasi yang lebih baik, teknologi digital
dan inovasi infrastruktur menjadi hal yang esensial untuk
memperoleh data yang lebih baik. Mampu meningkatkan
efisiensi pada aspek produksi makanan dan menjamin akses
pasar.

Strategi tersebut perlu dilakukan penyesuaian untuk


diterapkan di Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki tipe
tanah yang tidak sama di setiap daerah. Untuk melaksanakan
kebijakan food estate, perlu adanya perhatian serius. Guru
Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University dan
Ketua Umum (AB2TI) Asosiasi Bank Benih dan Teknologi
Tani Indonesia), Dwi Andreas Santosa, menyebut bahwa ada
empat pilar dalam pengembangan lahan pangan utamanya
padi. Bila pilar tersebut dipenuhi, maka dapat mendekatkan
Indonesia pada agenda pembangunan rendah karbon

Analisis Kebijakan Lingkungan | 65


dengan minim kerusakan lingkungan.

Pilar pertama adalah kelayakan tanah dan agroklimat. Tidak


ada satu pun tanaman pangan yang bisa berproduksi jika
tanah dan/atau agroklimat tidak cocok untuk tanaman
tersebut. Pilar kedua, kelayakan infrastruktur, baik
infrastruktur irigasi maupun infrastruktur transportasi untuk
pergerakan input dan output ke/dari lahan usaha tani. Pilar
ketiga, kelayakan budidaya dan teknologi, dan pilar keempat
adalah kelayakan sosial dan ekonomi.

Apabila pemerintah tetap melanjutkan pengembangan


lumbung pangan di kawasan bekas lahan gambut sejuta
hektar di Kalimantan Tengah, keempat pilar tersebut mutlak
harus dipenuhi. Perubahan paradigma dan konsep juga perlu
dilakukan dengan mengubah pendekatan ketahanan pangan
ke kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan
petani kecil di puncak teratas arus besar pembangunan
pertanian. Upaya tersebut diharapkan dapat menjaga
kebijakan food estate dari kegagalan yang menimpa di
periode sebelumnya serta memastikan cadangan pangan
nasional tetap aman di masa depan. Menuju agenda
pembangunan rendah karbon dengan melibatkan asas build
back better. Guna menjaga kondisi bumi yang berkelanjutan.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 66


2.4 Pembelajaran Pembangunan Ramah
Iklim dari Masyarakat Adat
Oleh: Rindu Sanubari Rashita Firdaus

Ada sebuah buku yang dari awal cukup menarik perhatian


saya dan setelah membacanya, meninggalkan kesan yang
sangat mendalam. Buku tersebut berjudul “Ayo Ke Tanah
Sabrang: Transmigrasi di Indonesia” karya Patrice Levang1.
Buku tersebut diterbitkan pertama kali di Paris dan berbahasa
Perancis namun secara mendalam membahas kebijakan
transmigrasi di Indonesia dari sisi keilmuan penulisnya yaitu
sebagai ahli agronomi yang juga mendalami ilmu ekonomi
dan antropologi. Bisa jadi keterbatasan literasi saya tentang
transmigrasi yang menyebabkan karya ini yang pertama kali
diterbitkan puluhan tahun lalu yaitu 1997, menjadi terlihat
sebagai karya monumental tentang transmigrasi. Dalam
buku tersebut, tidak hanya dijelaskan dengan detail keadaan
pertanahan seperti kondisi pengairan, tingkat ketergantungan
tiap jenis tanah terhadap aliran air, dan perkebunan di
Indonesia terutama luar Pulau Jawa sebagai tempat tujuan
transmigrasi, namun juga karakter asli masyarakat tersebut
dalam menggarap lahan.

Ada rentetan alasan dan rasionalisasi akan harmoni


lingkungan alam yang menjadi latar belakang masyarakat asli
di wilayah tersebut dalam bekerja. Sayangnya, rasionalisasi
tersebut secara dangkal dianggap sebagai bentuk budaya
kemalasan dan primitif oleh pemerintah pusat. Bagi
pemerintah pusat, budaya pengolahan lahan selain model
petani di Pulau Jawa adalah metode terbelakang sehingga
1 Levang. 2003

Analisis Kebijakan Lingkungan | 67


tidak pantas dilanjutkan. Oleh karena itu, transmigrasi
dianggap sebagai obat yang dapat menyelesaikan banyak
hal yaitu memberikan mengatasi masalah kepadatan
penduduk di Pulau Jawa, memaksimalkan produktivitas
dengan memanfaatkan hutan-hutan yang dianggap sekedar
tanah kosong, sekaligus memperbaiki budaya pertanian
yang dianggap primitif dari masyarakat di luar Pulau Jawa.

Levang menjelaskan bahwa secara tradisional, masyarakat


membatasi produktivitas karena kondisi alam terutama
tanahnya yang tidak sanggup untuk menanggung beban
produksi secara terus menerus sehingga harus banyak
diistirahatkan. Oleh karena itu, masyarakat adat terbiasa
memanfaatkan alam sebatas yang mereka butuhkan untuk
kehidupan sehari-hari. Hal ini ditambah dengan hukum adat
terhadap kepemilikan sumber daya yang secara umum
membuka akses kepemilikan pribadi secara terbatas untuk
menghindari eksploitasi dan ketidakadilan. Hutan bernilai
sosial yang mana pemanfaatannya dianggap sebagai
hidup matinya seluruh komunitas sehingga tidak dapat
sembarangan dieksploitasi. Tidak ada hutan yang tidak
terjamah karena kemalasan, namun hutan yang dijaga demi
nilai sosial dan kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat
memiliki kekayaan kearifan lokal yang mengharmonisasikan
antara kepentingan manusia dengan kesehatan alam.

Sebagian kecil praktek penjagaan hutan oleh masyarakat


adat terlihat di Hutan Adat Larangan Rumbio di Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau. Secara hukum adat, hutan tidak
boleh dialihfungsikan ke bentuk penggunaan yang lain.
Keberadaannya harus tetap sebagai kawasan hutan dan

Analisis Kebijakan Lingkungan | 68


dinyatakan sebagai kawasan terlarang yang tidak boleh
digarap, diwariskan, atau dihibahkan. Bentuk larangan
lain antara lain tidak boleh menebang pohon, tidak boleh
memanfaatkan hasil hutan tanpa seizin ninik mamak
(pemimpin adat), dan tidak boleh menjual hasil hutan.2
Hal yang sama dilakukan oleh masyarakat adat Dayak
Hibun di Kalimantan Barat yang juga menerapkan berbagai
larangan senada agar keberadaan hutan terus terjaga.3
Peranan masyarakat adat terhadap kelestarian hutan
dan pengendalian iklim diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh World Resource Institute (WRI) dan Right and
Resources Initiative (RRI) pada tahun 2014 yang dilakukan
di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika dan Asia,
menunjukan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat
adat dapat mengendalikan laju deforestasi dan emisi karbon
dengan jauh lebih baik.4

Ilmu pengetahuan di era modern juga membuktikan


besarnya peranan hutan bagi kesehatan lingkungan secara
keseluruhan. Hutan berperan penting dalam menanggulangi
perubahan iklim bukan hanya karena karbon yang tersimpan
dalam pohon namun juga sebagai pendingin yang setara
dengan lebih dari 2 unit pendingin ruangan per pohon. Hal
ini karena hutan memiliki kemampuan air yang 100 liter air
yang dialirkan pohon (baru sebagian kecil dari total air yang
dialirkan oleh pohon setiap harinya) setara dengan dua unit
pendingin ruangan sentral yang dihidupkan sepanjang hari
(dinginnya setara dengan pemakaian listrik 70 kilowatt-

2 Alviya, I., Muttaqin, M.Z., Salminah, M. dan Hamdani, F.A.U. 2018


3 Prameswari, S.I., Iskandar, A.M. dan Rifanjani, S. 2019
4 Stevens, C. et al. 2014

Analisis Kebijakan Lingkungan | 69


jam).5 Ironis, karena pada akhirnya hutan semakin hilang,
bumi semakin panas, dan manusia modern memerlukan
teknologi buatan untuk mendinginkan bumi agar kehidupan
sehari-harinya menjadi lebih nyaman dan mendapatkan hal
yang sebelumnya sudah disediakan oleh hutan secara alami.
Masyarakat adat sudah berusaha menjaga hutan karena
prediksi mereka akan kerusakan alam, sebuah prediksi
yang justru dikesampingkan oleh peradaban modern demi
pembangunan.

Pengetahuan pembangunan lestari yang dimiliki dan


dilaksanakan oleh masyarakat adat mampu menyelamatkan
lingkungan alam Indonesia sehingga berhak akan
perlindungan hukum untuk terlibat dalam mitigasi perubahan
iklim. Kajian Woods Hole Research Center (WHRC) bersama
Environmental Defense Fund (EDF) , World Resources
Institute (WRI) dan Rights and Resources Initiative (RRI)
pada tahun 2018 yang menunjukkan kuatnya hubungan
mengamankan lahan dan melindungi hutan masyarakat
adat dan komunitas lokal untuk penanggulangan perubahan
iklim.6 Sayangnya masyarakat adat justru menjadi kelompok
yang paling awal dan paling lama mengalami marginalisasi
oleh negara. Hingga tahun 2020 kini, masyarakat adat
masih harus berjuang agar keberadaan mereka diakui
secara resmi oleh negara dengan terus memperjuangkan
pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Masyarakat Adat. Dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim,
partisipasi masyarakat adat memang diakui menjadi bagian
skema Reduction of Emissions from Deforestation and

5 Gibbs, David., Nancy Harris, dan Francs Seymour. 2018


6 Setyorini, Virna P. 2020

Analisis Kebijakan Lingkungan | 70


Forest Degradation (REDD+) yaitu mekanisme pengurangan
deforestasi dan pengrusakan hutan dengan maksud
mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan
tersebut. Akan tetapi, masyarakat adat tetap tidak memiliki
jaminan pengakuan yang sah.

Keberadaan masyarakat adat diatur dalam konstitusi yaitu


Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang’. Pasal tersebut pada
dasarnya mengamanatkan negara untuk secara spesifik
memiliki UU tentang masyarakat adat. Akan tetapi, sampai
sekarang UU yang dimaksud dalam pasal tersebut masih
tersebar dalam berbagai UU sektoral dan saling bertentangan
seperti UUPA; UU Kehutanan; UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa; UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah; UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.7

Masyarakat adat pernah memiliki pencapaian besar


dalam mempertahankan hutan adatnya yang ditandai
dengan terkabulnya permohonan yang diajukan kelompok
masyarakat adat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK-35) yang memutuskan
hutan adat bukan lagi hutan negara. Beberapa tahun kemudian
terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 Tentang Hutan
7 Sibuea, Harris Y. P. 2019

Analisis Kebijakan Lingkungan | 71


Adat dan Hutan Hak. Peraturan ini menekankan aturan teknis
pemetaan dan penetapan hutan adat melalui berbagai
proses termasuk verifikasi. Permasalahan yang mengikuti
dari semua peraturan tersebut adalah ketidakpastian hukum
atas keberadaan masyarakat hukum adat. Pemerintah
sudah memiliki data sedikitnya 10,56 juta hektar tanah adat
termasuk hutan adat yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) bersama berbagai lembaga namun
hasil pemetaan itu belum juga dilegalkan.8 Pada tahun 2020
dari bulan Januari hingga 25 September 2020, Amnesty
mencatat setidaknya terdapat 61 pembela hak masyarakat
adat yang menjadi korban pelanggaran HAM, termasuk
penangkapan, kekerasan fisik, maupun teror dan intimidasi
seperti yang terjadi di Langkat (Sumatera Utara), Pubabu
(Nusa Tenggara Timur), dan Kinipan (Kalimantan Tengah).9

Masyarakat adat masih memerlukan pengakuan dan


perlindungan yang mengikat kuat secara hukum untuk
melindungi hak hidup serta menjaga praktek pembangunan
hijau yang mengharmoniskan antara iklim dan lingkungan
alam. Tanpa pengakuan tersebut, kondisi masyarakat adat
akan terus melemah dan kalah oleh praktek pembangunan
yang mengedepankan produktivitas tanpa mengukur
kesehatan alam. Isu keadilan iklim tanpa berbicara tentang
keadilan pembangunan terutama bagi masyarakat adat,
hanya akan menjauhkan Indonesia dari permasalahan
utama tentang tergerusnya kesehatan iklim di negara
ini. Masyarakat adat harus diakui keberadaannya secara
sah dan mengikat, dikumpulkan kekayaan pengetahuan

8 Kompas. 29 Agustus 2020


9 Amnesty Internasional. 2020

Analisis Kebijakan Lingkungan | 72


pembangunan hijaunya dan tidak ada lagi stigma budaya
malas terhadap pembatasan mereka terhadap eksploitasi
alam, kemudian diajak berpartisipasi langsung secara sah
untuk mempraktekan cara memperlakukan alam.

Referensi

Afrizal MA. 2007. The Nagari Community, Business and The State:
The Origin and The Process of Contemporary Agrarian Protest
in West Sumatera, Indonesia. Bogor: Sawit Watch & Stratford:
Forest Peoples Programme
Alviya, I., Muttaqin, M.Z., Salminah, M. Dan Hamdani, F.A.U. 2018.
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat Di Hutan
Berfungsi Lindung. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol.15, No.1, Mei 2018: 19-37 , https://www.researchgate.
net/profile/Iis_Alviya3/publication/325968248_COMMUNITY-
BASED_CARBON_EMISSION_REDUCTION_PROGRAM_IN_
PROTECTION_FOREST/links/5b3a2551aca2720785021535/
COMMUNITY-BASED-CARBON-EMISSION-REDUCTION-
PROGRAM-IN-PROTECTION-FOREST.pdf, diakses 29
September 2020
Gibbs, David., Nancy Harris, dan Francs Seymour. 2018. Dalam
Angka: Nilai Hutan Tropis Dalam Persamaan Perubahan Iklim.
WRI Indonesia. https://wri-indonesia.org/id/blog/dalam-an-
gka-nilai-hutan-tropis-dalam-persamaan-perubahan-iklim,
diakses 28 September 2020
Levang, Patrice. 2003. Ayo Ke Tanah Seberang. Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia) dan Institut de Recherche
pour le Développement
Lucas, Anton dan Carol Warren. 2013. The Land, The Law, and The
People. Land for the People The State and Agrarian Conflict in
Indonesia. Ohio: International Studies Southeast Asia Series

Analisis Kebijakan Lingkungan | 73


No. 126 Ohio University Press Athens
Prameswari, S.I., Iskandar, A.M. dan Rifanjani, S. 2019. Kearifan
Lokal Masyarakat Adat Dayak Hibun Dalam Melestarikan
Hutan Teringkang Di Dusun Beruak Desa Gunam Kecamatan
Parindu Kabupaten Sanggau. Jurnal Hutan Lestari, Vol. 7 (4) :
1668 – 16, https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfkh/article/
viewFile/38499/75676584656, diakses 27 September 2020
Sibuea, Harris Y. P. 2019. Urgensi Pembentukan Rancangan
Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat. Info
Singkat Vol. XI, No.04/II/Puslit/Februari/2019. Jakarta:
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. http://berkas.dpr.
go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat---4-II-P3DI-
Februari-2019-215.pdf, diakses 06 Oktober 2020
Stevens, C. Robert Winterbottom. Jenny Springer. Katie Reytar.
2014. Securing Rights, Combating Climate Change: How
Strengthening Community Forest Rights Mitigates Climate
Change. Washington DC: World Resource Institute, p. 64.
https://www.wri.org/publication/securing-rights-combating-cli-
mate-change, diakses 30 September 2020
Surat Kabar Cetak dan Siaran Pers
Setyorini, Virna P. 2020. Dana GCF, pengendali iklim dan penga-
kuan masyarakat adat. https://www.antaranews.com/beri-
ta/1706358/dana-gcf-pengendali-iklim-dan-pengakuan-mas-
yarakat-adat , diakses 30 September 2020
Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Penunggu Terusik. 2020.
Jakarta: Yayasan Amnesty International Indonesia.https://
www.amnesty.id/hak-atas-tanah-masyarakat-adat-penunggu-
terusik/, diakses 7 October 2020
‘Prioritaskan Legalisasi Lahan Adat’. 2020. Kompas. Sabtu, 29
Agustus 2020. hal. 11

Analisis Kebijakan Lingkungan | 74


Regulasi:
Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (2012), https://www.aman.or.id/wp-content/up-
loads/2018/05/putusan_sidang_35-PUU-2012-Kehutanan-tel-
ah-ucap-16-Mei-2013.pdf , diakses 7 Oktober 2020
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019
Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, https://www.mongabay.
co.id/wp-content/uploads/2019/05/P21-Tahun-2019-tentang-
Hutan-Adat-dan-Hutan-Hak.pdf, diakses 5 Oktober 2020

Analisis Kebijakan Lingkungan | 75


2.5 Refleksi : Aksi - Edukasi Spiritualitas Krisis
Perubahan Iklim
Oleh: Maufidah Nazilatul Habibah

Berbicara mengenai problematika perubahan iklim.


Fenomena satu ini semakin banyak diperbincangkan
dan menjadi isu global utama skala dunia dalam aspek
lingkungan. Salah satu dampak yang paling menonjol
dirasakan oleh masyarakat ialah meningkatnya suhu udara
di permukaan bumi. Karena hasil laju emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) juga meningkat dengan cepat. Sehingga pemaknaan
fenomena perubahan iklim sering dikaitkan dengan istilah
pemanasan global (global warming). Perbedaan dari kedua
istilah tersebut lebih mengarah pada sisi sebab-akibat.
Pemahaman umum tentang pemanasan global (cause) dan
perubahan iklim (effect) menjadi dua topik yang berbeda
namun sangat berkaitan.

Proses efek Gas Rumah Kaca terjadi ketika sinar matahari


melewati atmosfer bumi. Sebagian radiasi matahari
diserap oleh permukaan bumi. Sebagian panas ini juga
akan dipancarkan kembali ke atmosfer dalam gelombang
InfraRed (IR). Radiasi IR inilah nantinya akan diserap oleh
GRK di atmosfer. Sebagian diantaranya akan dipancarkan
ke luar angkasa dan sisanya akan direfleksikan kembali ke
atmosfer yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi
(global warming).1

Sedangkan perubahan iklim pada dasarnya merupakan


akibat dari adanya proses alamiah Gas Rumah Kaca. Proses
1 BMKG, “Pemanasan global dan dampaknya terhadap perubahan cuaca-iklim
wilayah indonesia”, dalam https://wxmod.bppt.go.id/dokumen/materi_seminar/
bmkg.pdf diakses pada 19 Mei 2020 pukul 21.14

Analisis Kebijakan Lingkungan | 76


tersebut melibatkan unsur-unsur alam dengan membentuk
lapisan di atmosfer yang berfungsi menyerap radiasi matahari
kemudian menghangatkan bumi. Namun, perkembangan
proses evolusi alam dalam jangka waktu sekitar dua dekade
terakhir menjadi lebih cepat dan meningkat.

Sejauh dari hasil kajian pelbagai penelitian mengindikasikan


bahwa meningkatnya suhu di lapisan permukaan bumi
(trofosfer) juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia
(antropogenik). Aktivitas manusia akan menghasilkan
kumpulan gas berupa, Karbondioksida (CO2), Dinitrogen
oksida (N2O), Metana (CH4), Sulfurheksafluorida (SF6),
Perfluorokarbon (PFCs), dan Hidrofluorokarbon (HFCs).
Hampir dari 80% GRK didominasi oleh gas yang berasal dari
aktifitas manusia.2

Hemat penulis, perubahan iklim menjadi menarik dan


penting untuk dikaji lebih dalam sampai ditemukannya
titik penyelesaian yang tepat dan efisien. Dikarenakan
problematika tersebut tidak hanya membahas perihal
lingkungan. Namun, secara tidak langsung juga berpengaruh
pada segala aspek kehidupan. Dimana manusia sejatinya
merupakan rangkaian dari ekosistem alam yang tidak pernah
lepas dari lingkungannya.

Beberapa sektor kunci yang berpotensi terkena dampak


perubahan iklim diantaranya; mulai dari sektor pengurangan
resiko bencana, pendidikan, perekonomian, energi, perikanan,
ketahanan pangan dan pertanian, kehutanan, kesehatan,
infrastruktur, konservasi SDA & ekosistem, tata ruang,
2 Edvin Aldrian, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia, (Jakarta:
Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Kedeputian Bidang Klimatologi
BMKG, 2011). hal 31.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 77


pariwisata, transportasi, limbah, air, hingga ranah sektor
sosial, politik, dan budaya.

Gambaran mudahnya yakni penulis jelaskan, ketika suhu


udara permukaan bumi semakin panas dari waktu ke waktu.
Maka otomatis memicu proses mencairnya lapisan es di
kutub utara. Sehingga menyebabkan peningkatan paras
muka air laut. Dampak negatif selanjutnya kemungkinan
dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil disekitar pantai.
Di wilayah berbeda, siklus perubahan iklim bisa kita rasakan
dengan adanya pola curah hujan saat musim penghujan
memiliki durasi yang lebih pendek tetapi berintensitas hujan
lebih tinggi. Akibatnya rentan terjadi banjir dan tanah longsor
saat penghujan, sebaliknya kekeringan lebih panjang saat
musim kemarau.

Bila persoalan-persoalan lingkungan diatas tidak segera


ditangani. Lalu, bagaimana dengan kondisi bumi kita di
masa mendatang? Dimana peran manusia sebagai sosok
khilafah di muka bumi? Apakah kita hanya berpangku tangan
menerima kenyataan atas perbuatan kita sendiri?

Tentu tidak. Manusia telah dikaruniai Tuhan berupa nafsu


dan akal. Tinggal ia sendirilah yang menentukan apakah
jiwanya cenderung digiring oleh nafsu atau mencoba
merefleksikan kembali segala pengetahuan yang dimilikinya
dalam kehidupan nyata.

Sayangnya, tidak semua manusia memiliki kepekaan


terhadap lingkungan di sekitarnya. Tidak banyak juga
diantara mereka yang sudah mengetahui dan sadar pada
masalah yang dihadapi. Namun mereka belum mampu atau

Analisis Kebijakan Lingkungan | 78


bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Perwujudan gerak perubahan iklim akan kian terus


berkembang menjadi masalah dan perhatian global. Hal
ini perlu diimbangi dengan memberikan pemahaman
(pengetahuan dan kesadaran) kepada masyarakat untuk bisa
mengendalikan setiap akibat dari adanya perubahan iklim.
Kita tidak bisa mencegah terjadinya bencana, namun kita
bisa melakukan tindakan yang dapat mengurangi dampak
dari setiap adanya kejadian alam.

Menanggapi permasalahan tersebut, sejumlah kelompok


peneliti telah bersinergi dengan pemerintah baik pada skala
nasional maupun internasional guna membuat kebijakan
lingkungan. Salah satu peraturan mengenai Perubahan Iklim
yaitu UU No. 16 Tahun 2016 pada tanggal 24 Oktober 2016.
Didalamnya menegaskan bahwa NDC Indonesia menyatakan
komitmen terhadap kontribusi penurunan emisi GRK pada
tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai
dengan 41% jika ada kerjasama international dari kondisi
tanpa ada aksi. Laporan ini disampaikan secara langsung
kepada Paris Agreement to the United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) yaitu Persetujuan
Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-
Bangsa.

Sedangkan pada tingkat nasional Kementrian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui direktorat jenderal
pengendalian perubahan iklim telah membuat Sistem
Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI).
Panduan tersebut dapat memberikan gambaran lengkap
untuk menunjukkan pencapaian komitmen serta target

Analisis Kebijakan Lingkungan | 79


pencapaian NDC Indonesia kepada masyarakat nasional dan
global.

Berdasarkan rencana strategi KLHK tahun 2015-2019 telah


dicatat dalam Permen LHK No.P.39/Menlhk-Setjen/2015,
bahwa program serta kegiatan DJPPI tahun 2015-2019 terkait
perubahan iklim adalah meningkatkan efektivitas adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim. Target pelaksanaan kegiatan
adaptasi dan mitigasi pada periode 2015-2019 diarahkan
untuk mencapai sekitar 26% dalam menurunkan emisi
GRK pada tahun 2019. Selanjutnya dilakukan peningkatan
ketahanan perubahan iklim di 15 daerah tertentu.

Pentingnya melakukan adaptasi dan mitigasi adalah bentuk


improvement ilmu pengetahuan bahwa proses pemanasan
global dan perubahan iklim kecil kemungkinannya dihentikan
dalam jangka pendek. Penumpukan emisi produk manusia
selama kurun waktu yang lama akan menyebabkan
perubahan dalam sistem global sepanjang abad mendatang.
Sehingga adaptasi juga berfungsi untuk menyiapkan
masyarakat siap siaga menghadapi perubahan iklim di masa
depan. Oleh karena itu, setiap aktor masyarakat seharusnya
saling bersinergi mengkampanyekan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim yang berfokus pada kerentanan perubahan
iklim lokal.

Pada kepentingan tersebut, maka tim fasilitator berperan


dalam menyiapkan kondisi optimal dengan memanfaatkan
potensi dampak positif agar masyarakat dapat melakukan
adaptasi dan mitigasi. Keterbatasan informasi, teknologi,
modal maupun kemampuan negosiasi dengan pihak
pemerintah dapat dilakukan dengan cara berbeda-beda. Hal

Analisis Kebijakan Lingkungan | 80


ini dikarenakan masyarakat selalu memiliki solusi sendiri
untuk masalah yang mereka hadapi.3

Perlu diketahui, patokan dari setiap kebijakan selalu


menimbulkan titik pro-kontra. Sudut pandang berbeda
manakala kebijakan telah diputuskan, namun dari sisi
sejajar tidak menunjukkan adanya perilaku penegakan
atas kebijakan. Justru kebijakan tersebut seolah hanya
diberlakukan kepada masyarakat yang menerima dampak,
bukan diprioritaskan kepada mereka yang menjadi pemberi
dampak atau penyebab. Kasus seperti inilah yang seharusnya
perlu diluruskan. Upaya penanganan masalah global penting
untuk melibatkan semua elemen dan saling bersinergi tanpa
adanya tumpang tindih.

Pemerintah memang tidak salah dengan membuat rumusan


kebijakan. Namun, apakah kebijakan tersebut sudah sampai
secara utuh kepada masyarakat luas?

Realita di lapangan rupanya belum menjawab sepersekian


persen harapan pemerintah untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca. Minimnya edukasi mengenai perubahan iklim
belum sepenuhnya sampai kepada masyarakat. Hanya
sebatas catatan pengetahuan para pelajar-akademisi.
Bahkan untuk mengarah pada aksi adaptasi dan mitigasi
masih diperlukan banyak dukungan kuat dari pelbagai
pihak yang terlibat. Harapan secepatnya tidak lain agar
kebijakan lingkungan seperti ini segera ditindaklanjuti dalam
pengaplikasian baik edukasi hingga pada tahap realisasi
aksi. Tidak hanya berfokus pada satu pihak melainkan
semuanya turut bergerak.
3 Eko Siswanto, Ekologi Sosial ... hal 88-90.

Analisis Kebijakan Lingkungan | 81


3 GAYA HIDUP RENDAH KARBON
3.1 Hidup Optimal dengan Karbon Minimal di
Era Lingkungan Millenial
Oleh: Muhammad Zaidan Akbar

Karbon, terdengar sangat familiar bukan? Apa yang Anda


bayangkan ketika mendengar kata “karbon”? Kebanyakan
dari kita mungkin akan membayangkan gas buangan yang
dihasilkan oleh kendaraan bermotor atau mungkin juga
ada yang membayangkan unsur material kimia. Dua hal
tersebut tidaklah salah, namun yang ingin saya angkat
disini adalah mengenai emisi karbon yang dihasilkan dari
kehidupan kita sehari-hari dan bagaimana cara kita untuk
bisa menguranginya

Dalam keseharian, secara sadar ataupun tidak sadar, kita


menghasilkan emisi karbon dengan jumlah yang fantastis.
Emisi karbon bisa berupa karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida (CO), metana (CH4) dan lainnya. Pernahkah Anda
menghitung atau setidaknya membayangkan berapa banyak
karbon yang kita hasilkan dalam sehari?

Sekarang coba kita refleksikan diri kita, melihat ke belakang


kepada rutinitas kehidupan kita sehari-hari. Pertama, kita
bangun dari tidur lalu mandi, saat mandi kita menggunakan air
yang berasal dari tanah maupun PDAM (Perusahaan Daerah
Air Minum), keduanya membutuhkan listrik. Sebagian besar
listrik yang kita gunakan ini berasal dari bahan bakar fosil
sehingga menghasilkan emisi karbon. Kegiatan selanjutnya

Gaya Hidup Rendah Karbon | 82


adalah makan, makanan yang kita makan seperti daging hasil
ternak, makanan siap saji dan sejenisnya juga menghasilkan
emisi karbon. Selain itu, aktivitas keseharian kita lainnya
adalah mobilisasi. Kita bermobilisasi dengan kendaraan
bermotor yang pastinya menghasilkan emisi karbon. Dalam
menjalani keseharian pun penggunaan teknologi sudah tidak
perlu ditanyakan lagi, baik itu handphone, laptop bahkan
mesin pembuat kopi otomatis semuanya membutuhkan
energi listrik yang menghasilkan emisi karbon pula. Dalam
sehari, kurang lebih kita mandi dua kali, makan tiga kali,
berpergian dengan kendaraan bermotor berkilo-kilometer,
dan menggunakan perangkat elektronik berjam-jam dimana
semua kegiatan tersebut menghasilkan karbon yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan.

Agar kita bisa lebih memahaminya, mari kita amati


sedikit uraian mengenai jumlah emisi karbon yang dihasilkan
ini:

1. Penggunaan listrik sehari-hari berasal dari pembangkit


listrik yang sebagian besar menggunakan bahan
bakar fossil. Menurut penelitian dan data dari www.
climatecommunication.org, pembangkit listrik
merupakan penghasil emisi gas karbon terbesar di
dunia yaitu sebesar 30% dari total emisi karbon.

2. Konsumsi makanan, khususnya yang dihasilkan dari


industri peternakan merupakan penghasil emisi gas
rumah kaca terbesar yang diantaranya didominasi
karbon. Menurut penelitian The World Watch Institute,
Industri ternak menyumbangkan 51% dari total
keseluruhan gas emisi rumah kaca. Hal tersebut

Gaya Hidup Rendah Karbon | 83


disebabkan oleh penggundulan hutan yang ditujukan
untuk pembukaan lahan ternak, pertanian bahan pakan
ternak, dan lainnya.

Disamping itu, hewan ternak seperti sapi dan babi


merupakan penghasil gas metana dengan persentase
terbesar di dunia. Menurut Ruminant Livestock. (U.S.
EPA), Metana (CH4) 100 kali lebih berbahaya daripada
karbon dioksida (CO2). Selain metana, hewan ternak
juga bertanggung jawab atas 65% gas dinitrogen
oksida yang ada di dunia, gas ini adalah gas rumah
kaca dengan potensi 300 kali lebih panas daripada
CO2.

3. Penggunaan alat elektronik dan internet juga


merupakan salah satu penghasil emisi karbon
terbesar. Menurut media massa The Guardian, emisi
karbon yang dihasilkan dari listrik yang digunakan oleh
satu orang untuk berselancar di dunia maya selama
setahun sama dengan yang dihasilkan dari perjalanan
menggunakan mobil sejauh 1.400 kilometer. Selain
itu, untuk pencarian tunggal di Google menghasilkan
0,2 gram CO2 dan menonton video Youtube selama
10 menit menghasilkan 1 gram CO2. Totalnya, Internet
melepaskan sekitar 300 juta ton CO2 per tahun, sama
banyaknya dengan emisi yang dihasilkan semua batu
bara, minyak dan gas yang terbakar di Turki atau
Polandia, atau lebih dari setengah bahan bakar fosil
yang dibakar di Inggris.

Dari beberapa contoh ilustrasi diatas, sekarang kita sudah


memiliki bayangan betapa besarnya emisi karbon yang kita

Gaya Hidup Rendah Karbon | 84


hasilkan.

Keadaan seperti itu dapat kita minimalisir dengan cara


sederhana yang bisa kita lakukan mulai dari diri sendiri. Salah
satu caranya adalah dengan menerapkan gaya hidup rendah
karbon. Gaya hidup rendah karbon merupakan cara hidup
atau pola tingkah laku yang mengedepankan pengurangan
karbon, sehingga kelestarian lingkungan bahkan kesehatan
diri kita pribadi bisa tetap terjaga. Berikut merupakan
beberapa cara gaya hidup rendah karbon:

1. Mengurangi konsumsi makan daging merah dan


apabila memungkinkan beralih ke pola hidup
vegetarian. Menurut penelitian dari Institute for
Ecological Economy di Jerman, emisi yang dihasilkan
dari pola makan daging ekuivalen dengan berkendara
sejauh 4.758 kilometer dengan mobil, emisi yang
dihasilkan ini sama dengan 17 kali emisi pola makan
vegan organik, yang hanya menghasilkan sekitar 281
kilometer berkendara dengan mobil. Dengan kata lain,
dengan pola makan vegan organik kita memproduksi
94% lebih sedikit emisi apabila dibandingkan dengan
pola makan daging.

2. Mengkonsumsi produk-produk lokal. Apabila kita lebih


gemar mengkonsumsi produk impor itu akan berakibat
pada meningkatnya emisi karbon karena produk impor
memerlukan transportasi yang membutuhkan energi
dan bahan bakar lebih banyak untuk sampai ke tangan
kita.

3. Mulai membiasakan jalan kaki, bersepeda atau

Gaya Hidup Rendah Karbon | 85


menggunakan transportasi umum. Dengan tidak
menggunakan kendaraan bermotor pribadi, kita
akan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari
kendaraan bermotor.

4. Menggunakan tumbler atau botol minum sendiri.


Produk minuman kemasan membutuhkan proses
yang panjang mulai dari pabrik hingga ke tangan
kita. Proses tersebut menghasilkan emisi karbon
dalam jumlah besar baik dari sektor produksi dan
juga distribusi. Dengan menggunakan tumbler kita
juga akan mengurangi pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh kemasan minuman tersebut.

5. Mengurangi penggunaan barang elektronik. Dengan


mengurangi penggunaan barang elektronik khususnya
handphone, kita akan lebih jarang mengisi daya
baterai handphone kita. Pengisian daya baterai ini
mungkin sepele namun apabila seluruh manusia ini
menggunakan 1 handphone saja berarti akan terdapat
7 miliar handphone yang membutuhkan isi ulang daya
baterai dengan listrik. Listrik yang digunakan tersebut
berasal dari bahan bakar fosil yang menghasilkan
emisi karbon.

6. Matikan listrik dan lampu ketika tidak dipakai. Hemat


listrik merupakan gaya hidup yang sudah sering kita
dengar semenjak tahun 2000-an dan mungkin masih
akan kita dengar sampai puluhan tahun kedepan
karena gaya hidup untuk mengurangi penggunaan
listrik ini merupakan cara yang efektif dan juga mudah
untuk dilakukan oleh semua orang.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 86


Gaya hidup rendah karbon ini pun tidak hanya bermanfaat
untuk mengurangi emisi namun juga dapat membuat diri
kita lebih sehat dan hemat. Beberapa Manfaat lainnya itu
diantara lain:

1.Hidup lebih hemat. Dengan memilih untuk mengonsumsi


sayuran daripada daging, kita akan mengurangi
pengeluaran kita karena harga sayuran jauh lebih
murah daripada daging. Selain itu, membiasakan
untuk berjalan kaki, bersepeda, atau berpergian
dengan transportasi umum juga lebih murah apabila
dibandingkan dengan menggunakan kendaraan
pribadi.

2. Tagihan listrik berkurang. Mematikan listrik dan lampu


ketika sudah tidak dipakai tentu akan mengurangi biaya
listrik karena waktu pemakaiannya yang lebih sedikit.

3. Tubuh menjadi lebih sehat. Kesibukan kita sehari-hari


kadang membuat kita lupa untuk berolahraga atau
berpola hidup sehat. Sedikitnya waktu yang tersedia
juga menyebabkan kita terbiasa mengonsumsi
junk food dan fast food. Oleh karena itu, gaya hidup
rendah karbon ini akan secara tidak langsung dapat
memperbaiki kebiasaan tidak sehat tersebut. Dengan
berjalan kaki atau bersepeda kita akan dapat membakar
lemak dan kalori yang dihasilkan dari makanan kita
sehari-hari. Selain dengan berolahraga, kita juga akan
lebih sehat dengan mengubah pola makan daging
menjadi pola makan sayuran. Mengonsumsi sayuran
dapat mendetoksifikasi racun dalam tubuh serta
menurunkan kadar kolesterol yang biasanya dihasilkan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 87


oleh lemak jenuh dari daging.

4. Kesehatan mata terjaga. Di era digital ini kita tidak bisa


jauh-jauh dari teknologi. Tiada hari tanpa menatap
layar gadget yang merusak mata. Oleh karena itu,
mengurangi penggunaan barang elektonik seperti
menatap layar televisi, smartphone, laptop, dan
sejenisnya akan membuat kesehatan mata kita tetap
terjaga.

Itulah beberapa gaya hidup rendah karbon serta manfaatnya


yang dapat kita lakukan dan peroleh dengan mudah. Oleh
karena itu, ayo bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam
mengurangi karbon mulai hari ini!.

“Let’s start from ourself! If you can’t use your hands, use your
voice. If u can’t use your voice, use your heart. Every little
things could make a difference”.

Bumi sudah memberi kekayaan dan keindahan yang


dimilikinya. Apa yang akan kita berikan kepada bumi sebagai
balasannya?

Referensi

https://www.climatecommunication.org/change/energy-use/
Goodland, R. and Anhang, J. (2009, December) : Livestock and Climate
Change. World Watch Institute. Retrieved January 11, 2011 from
http://www.worldwatch.org/node/6294
Ruminant Livestock. (2006, March 8). U.S. EPA. Retrieved January 11,
2011 from http://www.epa.gov/rlep
https://www.theguardian.com/environment/2010/aug/12/
carbon-footprint-internet

Gaya Hidup Rendah Karbon | 88


3.2 Menatap Pariwisata dari Kacamata
Gaya Hidup Rendah Karbon
Oleh: Gilang Ramadhan

Setiap hari, semua orang selalu dihadapkan dengan pilihan


dalam hidupnya. Memilih jenis kopi, model baju, mandi
dengan air hangat atau air biasa, minum teh atau susu, pergi
kerja naik sepeda atau mobil, dan masih banyak lagi. Pilihan
tersebut merupakan konsekuensi dari gaya hidup yang
dijalani oleh setiap orang. Keputusan yang diambil kadang
terasa sepele untuk saat ini, namun ternyata dapat berdampak
besar di kemudian hari. Misalnya, memilih untuk membeli air
mineral kemasan dalam botol plastik sekali pakai, atau pun
pergi ke tempat yang relatif dekat menggunakan kendaraan
bermotor pribadi. Dua keputusan yang sepertinya biasa saja
itu, ternyata memiliki pengaruh yang besar bagi alam dan
lingkungan.

Gaya hidup rendah karbon menjadi cara hidup yang


seimbang untuk dapat beriringan dengan kepedulian
lingkungan. Kenyataannya, gaya hidup manusia kini semakin
mengikuti perkembangan zaman yang kian modern. Gaya
hidup di era modern ini justru cenderung membuat pola
pikir kita menjadi lebih konsumtif. Semakin banyak barang
yang kita miliki, semakin merdeka kita secara finansial,
maka semakin bahagia diri kita. Membeli barang yang baru
bukan lagi berdasarkan kebutuhan, tetapi keinginan untuk
menunjukkan bahwa kita mampu membeli apapun dengan
uang yang kita hasilkan. Gaya hidup rendah karbon adalah
cara menjalani hidup dengan mengurangi emisi karbon yang
dihasilkan. Emisi karbon adalah gas yang terbuang dari hasil

Gaya Hidup Rendah Karbon | 89


pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti
karbon dioksida (CO2). Contoh sederhana adalah emisi
karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor. Saat terlepas,
emisi karbon ini membentuk efek rumah kaca di atmosfer.
Hasilnya, Bumi menjadi terasa lebih panas, krisis iklim pun
kian meningkat.

Seluruh negara di dunia kini tengah berjibaku untuk selalu


menerapkan ekonomi rendah karbon dan pembangunan
rendah karbon. Semua sektor kiranya harus mulai
mengadaptasi gaya hidup ini, tak terkecuali sektor pariwisata.

Tantangan Bagi Lingkungan


World Tourism Organization (UNWTO) menjelaskan bahwa
pariwisata adalah suatu fenomena sosial, budaya, dan
ekonomi yang memerlukan perpindahan orang ke negara
atau tempat di luar lingkungan biasanya untuk tujuan pribadi,
bisnis, atau kegiatan professional lainnya (dalam www.
unwto.org: Glossary of Tourism Terms). Berkaitan dengan
definisi itu, pariwisata juga menjadi sektor yang sangat
menguntungkan secara ekonomi, terutama bagi pihak-
pihak yang menggantungkan pendapatan terbesarnya dari
sektor ini. Sebagai negara, Indonesia mengandalkan devisa
utamanya dari sektor pariwisata. Pada 2018, World Travel
and Tourism Council (WTTC) mencatat sektor pariwisata
Indonesia mengalami pertumbuhan tertinggi, menempati
peringkat ke-9 di dunia (Samparaya dalam Kompas.
com: Negara dengan Pertumbuhan Pariwisata Tercepat
Sedunia Indonesia Peringkat 9). Pengembangan destinasi
wisata baru juga semakin gencar dilakukan. Belakangan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 90


ini, destinasi wisata seperti Danau Toba dan Labuan Bajo
sedang populer di Indonesia dan selalu dipromosikan di
kancah internasional. Tentu hal ini membawa dampak yang
baik bagi perekonomian warga setempat dan negara, namun
di sisi lain juga terdapat ancaman kerusakan lingkungan
apabila tidak dikelola dengan baik.

Dampak kerugian dari pariwisata terhadap lingkungan


bukanlah isapan jempol belaka. Pada pertengahan 2019,
warga kota-kota besar di Eropa seperti Amsterdam, Barcelona,
dan Praha mengeluhkan fenomena overtourism yang terjadi
di sana (Inasis dalam Kumparan.com: 5 Kota di Dunia yang
Hadapi Banyak Masalah Akibat Overtourism). Overtourism
dapat diartikan sebagai kondisi di mana jumlah wisatawan di
sebuah destinasi wisata dianggap lebih tinggi dibandingkan
jumlah warga lokalnya. Selain itu, warga lokalnya juga mulai
merasakan ketidaknyamanan karena jumlah tersebut atau
pun perilaku buruk wisatawan, seperti kurang menjaga
kebersihan lingkungan atau vandalisme (Putri dalam
beritagar.id: Ancaman Over-tourism dan Pariwisata yang
Berkelanjutan). Pada April 2018, Presiden Filipina, Rodrigo
Duterte, mengesahkan aturan untuk menutup destinasi
wisata terkenal di sana, yakni Pulau Boracay, selama enam
bulan akibat kerusakan lingkungan yang parah (Samparaya
dalam Kompas.com: Sempat Ditutup 6 Bulan, Pulau Boracay
Kembali Dibuka untuk Turis). Indonesia sebagai negara
berkembang yang bergantung pada sektor pariwisata juga
mengalami masalah serupa. Rencana reklamasi Teluk Benoa
oleh pemerintah mendapat penolakan dari masyarakat
yang menginginkan wilayah Tanjung Benoa tetap menjadi

Gaya Hidup Rendah Karbon | 91


area konservasi. Reklamasi tersebut tentu bertujuan untuk
memenuhi geliat pariwisata di Bali yang masih menjadi
primadona pariwisata Indonesia (Widyaningrum dalam
nationalgeographic.grid.id: Overtourism Mengancam
Indonesia, Apa Sajakah Dampaknya?). Bukti ini memperkuat
fakta bahwa ada bahaya besar yang mengancam lingkungan
di balik pariwisata.

Emisi karbon, sampah plastik, dan limbah industri adalah


masalah yang harus dikelola secara bersamaan dengan
perencanaan dan pembangunan pariwisata itu sendiri.
Lantas, sebagai wisatawan, apa tugas dan peran yang dapat
kita ambil untuk menerapkan gaya hidup yang lebih rendah
karbon saat berwisata?

Menghentikan atau Mengurangi?


Siapa yang tidak kenal dengan Greta Thunberg? Ia adalah
remaja asal Swedia yang menggemparkan dunia karena
aksinya dalam menggalang kesadaran akan krisis iklim yang
sedang terjadi. Dalam waktu cepat, Ia mendapat perhatian
dunia. Wajahnya muncul di berbagai forum lingkungan
tingkat internasional. Sikapnya yang tegas terhadap Donald
Trump, Presiden Amerika Serikat, terkait krisis iklim banyak
meraih dukungan warganet di sosial media. Sisi menarik
dari perjalanan Greta adalah, Ia memutuskan untuk berlayar
mengggunakan kapal menuju berbagai tempat untuk
memenuhi undangan atau melakukan kegiatan kampanye
memerangi krisis iklim. Meskipun Ia harus melintasi
samudera berminggu-minggu, hal itu tetap dilakukannya
karena Ia tahu betapa besar emisi karbon yang dihasilkan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 92


pesawat dibandingkan dengan kapal. Sebuah studi
menjelaskan bahwa secara global, pesawat menghasilkan
2% total produksi emisi CO2 per tahun, dan diperkirakan
meningkat hingga 3% sampai tahun 2045. Jumlah tersebut
menunjukkan bahwa pesawat menyumbang 13% emisi
karbon yang dihasilkan dari total seluruh jenis kendaraan
(Purwanta, 2015:21). Bukan hanya itu, fakta bahwa pengalihan
fungsi hutan menjadi tempat akomodasi pariwisata seperti
hotel dan restoran juga perlu mendapat perhatian serius.

Bagaimana rasanya jika kita memutuskan untuk berhenti


berwisata sama sekali? Dalam kondisi dunia yang tengah
dirundung wabah Covid-19, kita sedang merasakan
rasanya hidup terkekang. Isolasi mandiri, menjaga jarak,
menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan tinggal
di rumah dalam waktu yang lama rasanya sungguh tidak
nyaman. Dunia pariwisata juga ikut lesu akibat terkena
imbas dari kondisi ini. Menurunnya geliat pariwisata
akan berdampak pada pendapatan negara. Padahal dari
pendapatan tersebut, negara dapat membiayai pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, dan jaminan sosial lainnya.

Dilema yang terjadi ketika harus memilih pariwisata atau


lingkungan menuntut kita untuk bertindak sebijak mungkin.
Ada beberapa langkah sederhana untuk mengurangi emisi
karbon dengan menerapkan gaya hidup yang sesuai. Gaya
hidup yang lebih rendah karbon dapat dilakukan dengan cara
yang paling sederhana, yaitu dengan mengubah kebiasaan
saat berwisata. Gunakan tempat air munum atau tumblr,
menggunakan sepeda atau berjalan kaki saat mengelilingi
destinasi wisata, belilah barang sesuai kebutuhan, gunakan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 93


tas serbaguna atau totebag, dan gunakan perangkat teknologi
secara bijak dengan mencabut charger atau mematikan
lampu yang tidak digunakan. Memang, bagi semua orang,
berwisata baik di dalam negeri apalagi ke luar negeri adalah
hal yang ditunggu-tunggu saat pandemi ini. Namun, kita
akan selalu dihadapkan pada dua pilihan besar, berhenti
berwisata sama sekali untuk menjaga agar lingkungan tidak
rusak, atau tetap berwisata namun menerapkan gaya hidup
yang lebih rendah karbon.

Pariwisata Paket Ramah Lingkungan.


Beberapa daerah dan tempat di dunia menawarkan solusi
dengan menerapkan aturan tertentu untuk menyeimbangkan
antara kegiatan pariwisata dan lingkungan. “Di mana langit
dipijak, di situ bumi dijunjung” adalah peribahasa Indonesia
yang menyatakan untuk menghargai kebudayaan, kebiasaan,
dan aturan lokal yang ada di suatu tempat yang kita kunjungi.
Kebiasaan buruk seperti membuang sampah sembarangan,
meludah di tempat umum, dan membuang puntung rokok
tidak pada tempatnya akan menjadi masalah besar, bukan
hanya bagi kita, tapi juga bagi lingkungan di daerah tersebut.

Palau, sebuah negara di Samudera Pasifik yang beribukota


di Ngerulmud, dapat menjadi contoh dalam hal komitmen
untuk menjaga lingkungannya. Sebagai negara kepulauan
kecil, Palau menerapkan aturan baru, yakni Janji Palau atau
Palau Pledge. Setiap wisatawan yang datang ke negara
tersebut harus berkomitmen untuk menjaga alam dan
lingkungan demi anak-anak dan masa depan Palau dengan
menandatangani janji di paspornya. Hal ini adalah sebuah

Gaya Hidup Rendah Karbon | 94


tindakan tegas dan inspiratif yang dapat dicontoh oleh
negara lain, termasuk Indonesia. Dengan adanya aturan
tersebut, maka setiap wisatawan memiliki tanggung jawab
moral dan berada di bawah payung hukum yang jelas untuk
menjaga lingkungan dan keasrian alam sambil berwisata.

Terdapat sebuah peribahasa dari Palau yang sangat dalam


artinya, yaitu “Kita tidak mewarisi lautan dari para nenek
moyang, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita”. Sebuah
peribahasa yang indah namun penuh peringatan. Dari
peribahasa itu juga akan muncul pertanyaan besar, seperti
apa keadaan alam yang akan diwariskan ke anak-cucu kita
selanjutnya?

Bagi setiap orang, pariwisata memiliki makna yang berbeda-


beda. Pariwisata dapat berarti hiburan, kesenangan,
ketenangan, atau bahkan sumber mata pencaharian. Mari kita
tambahkan satu makna penting dalam menatap pariwisata,
yakni untuk menjaga dan lebih mencintai lingkungan.

------

Referensi

“Glossary of Tourism Terms” dalam https://www.unwto.org/glossa-


ry-tourism-terms diakses pada Kamis, 01 Oktober 2020 pukul 17.42
WIB
Inasis, Gitario Vista. 2019. “5 Kota di Dunia Hadapi Banyak Masalah
Akibat Overtourism” dalam https:// www.google.com/ amp/s/ m.
kumparan.com/ amp/ kumparantravel/ 5-kota- di- dunia- yang-hada-
pi- banyak- masalah- akibat- overtourism- 1riplUhQQUC diakses pada
Kamis, 01 Oktober 2020 pukul 19.23 WIB
Purwanta, Wahyu. “Profil Emisi Gas Buang dari Pesawat Udara di

Gaya Hidup Rendah Karbon | 95


Sejumlah Bandara di Indonesia” dalam Jurnal Teknologi Lingkungan.
Vol 16. No. 1. Tahun 2015. Hlm. 21
Putri, Irine Yusiana Roba. 2017. “Ancaman Over-tourism dan Pariwisata
yang Berkelanjutan” dalam https://www.google.com/amp/s/beri-
tagar.id/artikel-amp/telatah/ancaman-over-tourism-dan-pariwisa-
ta-yang-berkelanjutan diakses pada Kamis 01 Oktober 2020 pukul
19.35 WIB
Samparaya, Citra Fany. 2018. “Sempat Ditutup 6 Bulan, Pulau Boracay
Kembali Dibuka untuk Turis” dalam https:// www.google.com/ amp/s/
amp. kompas.com/ travel/ read/ 2018/10/31/ 162117227/ sempat-
ditutup- 6- bulan- pulau- boracay- kembali- dibuka-untuk- turis diakses
pada Kamis, 01 Oktober 2020 pukul 19.40 WIB
2018. “Negara dengan Pertumbuhan Pariwisata Tercepat Sedunia,
Indonesia Peringkat 9” dalam https:// www.google.com/ amp/s/amp.
kompas.com/ travel/read/2018/ 10/04/ 181500527/ negara- dengan-
pertumbuhan- pariwisata- tercepat- sedunia- indonesia-peringkat- 9-
diakses pada Kamis, 01 Oktober 2020 pukul 17.55 WIB
Widyaningrum, Gita Laras (Ed). 2019. “Overtourism Mengancam
Indonesia, Apa Sajakah Dampaknya?” dalam https:// nationalgeo-
graphic.grid. id/ amp/ 131838120/ overtourism-mengancam- indo-
nesia- apa- sajakah- dampaknya ? page = 2 diakses pada Jum’at, 02
Oktober 2020 pukul 14.20 WIB

Gaya Hidup Rendah Karbon | 96


3.3 Mengawali Advokasi krisis Iklim dengan
Menumbuhkan Empati.
Oleh: Ningsih Sepniar Lumban Toruan

Membangun Empati, Membangun Peduli


Pada Krisis Iklim

Sedari SD kita diajari bahwa manusia, hewan dan tumbuhan,


bersama-sama merupakan makhluk hidup. Tetapi saya
pribadi tidak benar-benar paham artinya. Baru di masa
sekaranglah saya melihat tumbuhan dan hewan sama
seperti diri saya yang butuh bernapas, butuh makan, bisa
sakit dan yang paling penting butuh rumah untuk tinggal dan
mendapatkan semua kebutuhan tersebut.

Saya memiliki pemaknaan itu ketika saya duduk dan melihat


daun-daun pohon memainkan cahaya sinar matahari. Ketika
saya melihat ulat memakan daun, melakuan perjalanan ke
Riam Berawatn, sebuah Air Terjun di Bengkayang, Kalbar
dan ketika membaca berita meledaknya Kilang Minyak Deep
Water Horizon dan membunuh binatang di lautan.

Pemaknaan tentang lingkungan sangat berbeda dari apa


yang saya terima ketika kecil dulu. Pohon besar dikatakan
memiliki hantu penunggu hingga harus dijauhi. Hutan diartikan
sebagai tempat asing yang liar sehingga keterlaluan jika kita
membiarkannya terbelakang dengan tidak menghadirkan
kota dan teknologi di sana. Hutan tak diartikan sebagai
tempat tinggal ribuan spesies makhluk hidup lainnya,
spesies yang berbeda dari manusia. Pemaknaan yang salah
pada lingkungan menyebabkan ketiadaan empati.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 97


Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Ketika
kesadaran tersebut tersemat dalam diri kita, kita akan
memandang alam sebagai sesuatu yang berbeda, sehingga
mampu terkoneksi antara pemikiran, kreativitas dengan
empati pada alam. Memandang alam (hutan, laut dan
sebagainya) sebagai rumah tempat hidup bagi makhluk
hidup lain adalah bagian dari empati. Empati ini kemudian
menumbuhkan kepedulian untuk menjaga keselarasan
lingkungan dan upaya untuk melindungi, tidak merusak.
Sebaliknya, ketiadaan empati mengantarkan kita pada krisis
iklim. Hal ini diukur dengan gampangnya kita mengeksploitasi
lingkungan, dan hidup dengan sepraktis dan seinginnya saja.

Cara-cara Untuk Berempati


Penumbuhan kesadaran dan empati sangat penting ketika
hendak membicarakan krisis iklim. Sebab di sinilah akar
masalahnya. Baba Dioum, seorang environmentalist sekali
waktu berkata “Kita hanya akan memelihara apa yang kita
cintai, kita akan mencintai apa yang kita pahami, dan akan
memahami apa yang diajarkan pada kita”. Jika penyebab
krisis iklim adalah ekploitasi berlebih pada lingkungan, maka
eksploitasi terjadi akibat ketiadaan empati.

Menghubungkan perasaan manusia dengan makhluk hidup


lainnya adalah kuncinya. Perasaan terhubung merupakan akar
kepedulian. Kita dimungkinkan untuk mampu mengetahui
bagaimana keadaan makhluk lain ikut berperan dalam
pergulatan di arena kehidupan. Mulai dari tumbuh, memiliki
keturunan, berada dalam rantai siklus yang tak terputus,
berkaitan satu dengan lainnya. Hewan yang di udara, darat,

Gaya Hidup Rendah Karbon | 98


dan lautan dan kita manusia semuanya terkoneksi dengan
cara-cara menakjubkan.

Kesadaran ini memunculkan rasa tanggung jawab untuk


melestarikan kehidupan makhluk hidup lainnya, termasuk
rumah tinggalnya. Dengan cara inilah, kita dapat memenuhi
hak kita seperti tertulis pada UU No. 39 tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa udara bersih adalah hak manusia.

Berkomitmen Mengurus Diri Sendiri


Partisipasi kita dalam mencegah krisis iklim untuk tidak terus
berlanjut semakin mendesak. Memikirkan ulang kebiasan
keseharian kita dan kontribusinya pada krisis iklim adalah
cara kita bertangggung jawab pada diri kita dan generasi
yang akan datang. Beberapa hal di bawah ini, jika kita sudah
terbiasa menjalani kehidupan praktis dan tiada empati
memang akan sulit dilakukan. Tetapi pengorbanan ini sangat
kecil jika dibandingkan dengan hasilnya kelak.

Mari terlibat untuk membeli lebih bijak. Mengonsumsi


sesuatu dengan menggunakan paham optimalisme sangat
tepat. Makanan, gadget, hingga pakaian. Kita cukupkan
sesuai kebutuhan kita. Kita harus sudah menyadari bahwa
semakin banyak hastag OOTD di sosial media, semakin
orang menginginkan mix and match model pakaian. Pabrik
fast fashion terus-menerus update model dan produksi
dalam jumlah yang banyak menghasilkan polusi yang sangat
besar1.

Dalam menentukan apakah ingin membeli suatu barang,


tanyakan ulang apakah benar-benar membutuhkannya? Jika
1 https://theboar.org/2018/11/fast-fashion/

Gaya Hidup Rendah Karbon | 99


ya, adakah alternatif lain selain membeli. Misalnya dengan
membuatnya dari bahan bekas. Keputusan Anda sangat
mempengaruhi produksi karbon. Pemakaian/ pemanfaatan
kembali barang bekas artinya akan sedikit sampah yang
dibuang ke lingkungan. Membatalkan membeli akan
menurunkan permintaan pasar dan menurunkan produksi
pabrik yang sama dengan menurunkan produksi karbon.
Keinginan kita adalah ‘permintaan pasar’ yang menyebabkan
krisis iklim.

Akan jauh lebih baik jika kita juga dapat berkontribusi dalam
mendorong kebijakan publik yang lebih pro pada masa depan.
Kita membutuhkan kebijkan yang mengatur jarak antar
rumah di pemukiman baru, untuk memberikan ruang bagi
lingkungan hijau dan resapan air. Kita pun barangkali harus
memiliki kurikulum yang menumbuhkan empatipada krisis
iklim. Tidak peduli apakah kamu seorang pendaki gunung,
introvert, karyawab bergaji di bawah UMR atau 3 digit bahkan
jika sekarang sedang patah hati sekalipun. Jika kita semua
masih bernapas dan bisa berpikir, kita harus memikirkan
krisis iklim dan bertanggung jawab ikut menghentikannya.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 100


3.4 Mengenal Gaya Hidup Rendah Karbon
Untuk Atasi Krisis Iklim.
Oleh: Dwi Sasetyaningtyas

Mengenal Jejak Karbon


Banyak yang tidak menyangka bahwa setiap aktivitas yang
kita lakukan memberikan dampak terhadap lingkungan. Salah
satu dampak yang ditimbulkan adalah terbentuknya gas-gas
rumah kaca secara berlebihan. Gas-gas rumah kaca ini bisa
berupa gas karbon dioksida, metana, dan uap air yang muncul
secara alami di lingkungan seperti dari letusan vulkanik,
sekresi hewan, dan aktivitas hidup tumbuhan. Gas-gas ini
berfungsi untuk memerangkap panas serta menjaga bumi
kita agar tetap hangat dan layak huni. Namun, jumlah gas-
gas rumah kaca saat ini dihasilkan secara berlebihan akibat
aktivitas manusia. Gas-gas ini kemudian menyebabkan suhu
bumi semakin panas dan fenomena alam lainnya seperti
perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini
kemudian dikenal sebagai fenomena pemanasan global dan
krisis iklim. The Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) menyebutkan bahwa,

“ …Sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global


yang terjadi sejak abad ke-20 sangat mungkin dipicu oleh
peningkatan emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas
manusia”

Salah satu aktivitas manusia yang menjadi penyumbang


terbesar emisi gas rumah kaca adalah penggunaan bahan
bakar yang berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak

Gaya Hidup Rendah Karbon | 101


bumi, batu bara, dan gas. United States Environmental
Protection Agency (EPA) menyebutkan bahwa emisi yang
dihasilkan di sektor industri, energi listrik dan transportasi
menyumbang hingga 70% dari total emisi global. Emisi
gas rumah kaca ini bias berasal dari kegiatan kita sehari-
hari, misalnya berkendara dengan mobil pribadi, bepergian
dengan pesawat terbang, menggunakan listrik di rumah
sampai berkirim email. Hasil pembakaran bahan bakar fosil
ini menghasilkan gas karbon dioksida.

Selanjutnya, aktivitas manusia yang


turut menyumbang gas rumah kaca
adalah industri perkebunan dan
peternakan. Jenis industri ini
menyumbang gas metana
dan nitrogen oksida
dengan jumlah yang
mencapai hingga 25%
dari total emisi global.
Aktivitas manusia lainnya
seperti deforestasi hutan,
pertanian, urbanisasi dll
juga turut serta menyumbang
emisi gas rumah kaca.
Sumber : UN Women Gallery
Tanpa kita sadari, semua aktivitas yang
kita lakukan memberikan dampak terhadap
lingkungan dan menjadi penentu masa depan anak-cucu kita.
Dampak yang ditimbulkan oleh setiap kegiatan manusia, baik
secara langsung maupun tidak langsung dihitung dengan
satuan ton ekuivalen karbon dioksida atau CO2e.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 102


Tree Stump, sumber : World Bank Photo Collection

Isu Sosial dan Lingkungan


Sadar atau tidak sadar, permasalahan lingkungan yang
kerap terjadi merupakan dampak yang ditimbulkan dari
aktivitas manusia. Al Gore, dalam bukunya, Truth to Power,
menyebutkan bahwa manusia menghasilkan setidaknya 110
juta ton polusi gas rumah kaca setiap hari atau setara dengan
energy yang dihasilkan oleh 400.000 bom nuklir Hiroshima.
Gas-gas rumah kaca ini menyebabkan peningkatan polusi
udara dan juga suhu bumi dari tahun ke tahun.

Peningkatan polusi udara setidaknya merenggut 6.5


juta nyawa setiap tahun. Peningkatan suhu bumi juga
memberikan banyak persoalan lingkungan dan sosial. Iklim
yang tidak menentu menyebabkan badai dan banjir di satu
tempat dan kekeringan serta gelombang panas di tempat
lainnya. Hal ini yang kemudian disebut dengan krisis iklim.

Pada tahun 2003, gelombang panas yang menyerang benua


Eropa telah memakan korban hingga menewaskan 70.000

Gaya Hidup Rendah Karbon | 103


orang di Perancis. Kekeringan juga menyebabkan lebih dari
400 petani di India mengakhiri nyawanya karena gagal panen
dan kemiskinan. Suhu tinggi di Bumi juga telah menyebabkan
kebakaran-kebakaran besar yang terjadi tahun ini di Australia
dan Amerika bagian Barat.

Banjir Jakarta, sumber : World Meteorological Organization

Selain gelombang panas dan kekeringan, meningkatnya


suhu bumi menyebabkan cuaca ekstrim yang terjadi di
beberapa tempat, seperti banjir dan badai besar yang
sering terjadi di Texas dan Florida. Peningkatan suhu bumi
juga menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan kutub
selatan. Hal ini menyebabkan beberapa negara dan kota
besar, seperti Kolkata, Mumbai, Guangzhou, Miami bahkan
Jakarta terpapar dengan resiko kehilangan nyawa, tempat
tinggal, dan juga aset karena peningkatan permukaan air
laut.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 104


Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah krisis
iklim semakin parah?

Mulai dari Diri Sendiri dan Dari Rumah


Aktivitas masyarakat urban yang aktif dan tinggal di kota
besar dapat menghasilkan jejak karbon yang mencapai 26
kg CO2e dalam satu hari. Artinya, dalam satu tahun, satu
orang dengan gaya hidup masyarakat urban yang aktif
menyumbang hingga 10 ton CO2e. Jumlah ini cukup besar,
mengingat jumlah penduduk kota besar, seperti Jakarta
yang mencapai hingga 9 Juta Jiwa. Jumlah jejak karbon dari
aktivitas manusia dapat dengan mudah dikurangi dengan
mencoba beralih dan beradaptasi ke gaya hidup rendah
karbon.

Gaya hidup rendah karbon bisa dimulai dengan menjalani


hidup dengan pola 4S atau Selalu Sadar Setiap Saat.
Artinya, kita belajar menjadi lebih sadar dengan dampak dan
konsekuensi yang ditimbulkan, dalam hal ini adalah jejak
karbon yang dihasilkan, dari segala pilihan dan kegiatan yang
kita lakukan. Tiga hal sederhana yang dapat kita lakukan
adalah dengan mencegah, memilah, mengolah, atau prinsip
3AH.

Mencegah
Kita hidup di era dimana iklan-iklan di media terus mendorong
konsumen untuk berlaku konsumtif dan mengikuti
perkembangan tren terbaru, mulai dari fesyen, gaya hidup,
hingga teknologi. Para pelaku industri berlomba-lomba
mendorong konsumen untuk selalu membeli barang-barang

Gaya Hidup Rendah Karbon | 105


baru yang kemudian dipakai dalam beberapa saat dan
kemudian dibuang. Begitu juga dengan plastik sekali pakai,
yang berasal dari minyak bumi.

Produksi 1 kg plastik menghasilkan jejak karbon sebesar


6 kg CO2e. Ini belum termasuk resiko pencemaran limbah
plastik ke lingkungan yang berpotensi menjadi mikroplastik.
Sangatlah tidak masuk akal jika kita menggunakan
sebuah barang yang dampak lingkungannya lebih besar
daripada keberadaan barang itu sendiri. Sayangnya, atas
nama kepraktisan, kebersihan, dan juga lobi-lobi industri,
keberadaan plastik sekali pakai menjadi sulit untuk
dihapuskan. Dengan berhenti membeli barang yang tidak
dibutuhkan dan juga mengurangi penggunaan plastik sekali
pakai, berarti kita telah menolak untuk bersifat konsumtif,
mencegah pemakaian sumber daya secara berlebihan, dan
yang pasti mencegah terciptanya potensi sampah dari hulu.

Memilah
Gaya hidup rendah karbon juga bisa dimulai dari hal-
hal sederhana di rumah, yaitu dengan memilah sampah.
Memilah sampah berarti meningkatkan kemampuan daur
ulang plastik yang berarti juga memperpanjang umur plastik
yang telah diproduksi dari ekstraksi minyak bumi. Memilah
dan mendaur ulang sampah dapat mengurangi jejak karbon
dari barang-barang yang diproduksi hingga 50%.

Mengolah
Banyak yang menganggap bahwa membuang sisa makanan
aman untuk lingkungan. Material organik dari sisa makanan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 106


dianggap akan terurai dalam jangka waktu tertentu tanpa
meninggalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sayangnya, anggapan tentang penguraian sisa makanan ini
kurang tepat. Sebab, sisa makanan yang tidak terolah dengan
baik dan bertumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
akan menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti gas metana
dan karbon dioksida. Fakta ini diperburuk dengan data dari
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang
menyatakan bahwa 58% sampah yang ada di TPA adalah
sampah organik, yang membuat TPA kita semakin penuh.
Menghabiskan makanan dan mengompos di rumah berarti
mengurangi beban TPA di daerah kita, menghargai sumber
daya alam yang telah kita ambil, dan pastinya mencegah
terbentuknya gas - gas penyebab krisis iklim.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 107


Selain prinsip 3AH, kita juga dapat menurunkan emisi jejak
karbon yang kita hasilkan dengan menghabiskan makanan.
Salah satu penyumbang emisi karbon terbesar adalah
sampah makanan dan industri peternakan. Menurut Badan
Food & Agriculture Organization (FAO) jika sisa makanan
adalah sebuah negara, maka emisi karbon yang dihasilkan
oleh sampah makanan secara global menduduki peringkat
3, setelah Amerika dan China atau sebesar 4.4 GigaTonCO2e
setara dengan 8% total emisi global. Menghabiskan makanan
merupakan cara sederhana untuk mencegah terbentuknya
emisi karbon.

Hal sederhana lainnya yang dapat kita lakukan adalah


dengan menerapkan pola makan nabati atau mengurangi
konsumsi daging dan menggantinya dengan protein nabati
serta sayur dan buah. Industri peternakan menyumbang
emisi karbon sebesar 25% dari total emisi global. Hal ini
disebabkan karena sapi menghasilkan gas metana dari gas
buangan dan nafasnya serta asupan protein dan karbohidrat
nabati, yang juga memerlukan lahan untuk penanamannya.
Hal ini diperburuk dengan praktek peternakan sapi yang
seringkali memerlukan pembukaan lahan baru. Seseorang
yang mengadaptasi pola sehat dan pola makan nabati
menghasilkan 73% jejak karbon lebih rendah daripada
masyarakat umum. Artinya, dengan memperbanyak jalan
kaki, bersepeda, mengurangi asupan daging, hingga beralih
ke pola makan nabati atau vegan dapat mengurangi dampak
lingkungan yang kita ciptakan dengan sangat signifikan.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 108


Refleksi Diri
Sebagai penutup dan refleksi diri yang mungkin bisa
menyadarkan semua orang untuk segera melakukan sesuatu
hari ini, dimulai dari diri sendiri, izinkan saya mengutip pidato
dari Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan dan iklim
asal swedia yang giat mengampanyekan keadilan dan krisis
iklim dengan cara mogok sekolah untuk melakukan protes di
depan gedung parlemen Swedia pada tahun 2018. Gerakan
Greta mogok sekolah untuk iklim ini kemudian diadaptasi oleh
remaja di seluruh dunia dalam kampanye #FridaysforFuture.

“….Di tahun 2075, aku akan berulang tahun di usia 78 tahun.


Jika aku memiliki anak, di hari itu aku akan merayakan ulang
tahunku bersama anak dan cucuku. Mungkin mereka akan
bertanya tentang KAMU, orang-orang yang hidup di tahun
2018. Mungkin mereka akan bertanya mengapa KAMU tidak
melakukan apapun ketika masih ada waktu. Apa yang kita
lakukan sekarang akan sangat berpengaruh di hidupku.
Hidup anak dan cucuku. Apa yang kita lakukan hari ini,
adalah hal yang tidak bisa aku dan generasi di masa depan
batalkan…” Greta Thunberg, Pidato di TEDStockholm, 2018.

_____

Gaya Hidup Rendah Karbon | 109


Referensi

EPA. (2014). Global Greenhouse Gas Emissions Data.


Retrieved from https://www.epa.gov/ghgemissions/
global-greenhouse-gas-emissions-data
Gore, A. (2017). An INconvinient Sequel: Turth to Power. Crown
Publishing Group.
IPCC. (2014). Climate Change Report . Retrieved from https://www.ipcc.
ch/site/assets/uploads/2018/02/AR5_SYR_FINAL_SPM.pdf

Gaya Hidup Rendah Karbon | 110


3.5 Menilik Komunitas Precious Plastic
Oleh: Inang J. Shofihara

Pada Jumat (6/9/2019) lalu, aktor kenamaan Hollywood


yang juga aktivis lingkungan Leonardo DiCaprio
mengunggah sebuah foto di akun Instagramnya yang
memicu perbincangan publik Indonesia. Sebab, foto tersebut
berlatar Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)
Bantargebang. Keterangan foto tersebut menceritakan,
seorang pemetik sampah sedang mengumpulkan plastik di
antara sampah domestik. Di situ juga dituliskan bahwa TPST
Bantargebang merupakan tempat pembuangan sampah
terbesar di dunia. Diketahui, TPST Bantergebang saat ini
berstatus sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di
Indonesia dengan luas total 110,3 hektar. Perhatian DiCaprio
ini pun memantik diskusi panjang tentang pengelolaan
sampah di Indonesia. Apalagi, TPST Bantargebang kini
sedang mengalami senjakalanya. Dikutip dari Detik.com,
Senin (24/6/2019) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
menyebut, TPST Bantargebang sudah hampir penuh.
Pasalnya, sejak beroperasi pada 1986 silam, TPST ini sudah
menampung sampah kurang lebih 39 juta ton atau 80 persen
dari kapasitasnya.

Sampah Jakarta, sumber : Tom Fisk,

Gaya Hidup Rendah Karbon | 111


“Rata-rata volume sampah per hari dari wilayah DKI Jakarta
yang terkirim ke TPST Bantargebang pada tahun 2018
sebanyak 7.452,60 ton/hari,” ucap Anies.

Menurutnya, bila total sampah tidak berkurang, maka TPST


milik Pemprov DKI Jakarta yang terletak di Kota Bekasi
tersebut hanya akan sanggup menampung hingga 2021
mendatang. Menghadapi krisis tersebut, Pemprov DKI
Jakarta pun berencana membangun sarana canggih, seperti
landfill mining, pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Sampah, Gedung Pusat Riset dan Edukasi Sampah Nasional,
Cover landfill dan lainnya.

Selain itu, pemerintah pusat juga telah mengeluarkan


Peraturan Presiden No.97/2017 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Aturan ini
menargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan
sampah sejenis dengan besaran sampah rumah tangga 30
persen dan penanganannya sebesar 70 persen.

Menghadapi sampah dengan dua cara


Dikutip dari Mongabay.co.id (27/9/2019), Wakil Koordinator
Kampanye Kebijakan Organis, Yayasan Pengembangan
Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung Yobel Novian
Putra mengungkapkan, ada dua model pengelolaan sampah,
yaitu terpilih dan terdesentralisasi.

Dia menjelaskan, model yang dipelajari dari kota San


Fernando, Filipina ini mampu mengurangi sampah di
kota tersebut hingga 80%. Adapun, model terpilih berarti

Gaya Hidup Rendah Karbon | 112


memilih dan memilah sampah dari sumbernya, sementara
terdesentralisasi dapat diartikan mengolah sampah dari
sumbernya langsung, yaitu masyarakat.

Model ini pun bisa dinilai tepat, sebab menurut KLHK pada
2019 komposisi sampah masih didominasi sampah organik,
yaitu 80%, lalu diikuti sampah plastik 14%, sampah kertas 9%,
karet 5,5%, kemudian sisanya dari sampah logam, kain, kaca,
dan lainnya. Dengan model tersebut, YPBB pun berharap
masalah sampah organik pun dapat selesai di level rumah
tangga. Sebab, mendaur ulang sampah organik cenderung
lebih mudah dan dapat dilakukan secara mandiri.

“Mengurangi itu solusi jangka panjang tapi butuh waktu,


kuncinya itu memilah karena 50% sampah itu organik. Jadi
kebayang sampah bisa diselesaikan dengan kompos di
rumah,” jelas Yobel.

Lalu, bagaimana dengan sampah anorganik?

Hingga kini, berbagai kampanye pengurangan sampah


sering digalakkan, terutama untuk sampah plastik yang
diketahui membutuhkan usaha manusia untuk mengurainya.
Dan sampai saat ini pun, semua setuju bila mengurangi
pemakaian plastik menjadi langkah terbaik. Pertanyaannya
kemudian, bagaimana cara mengatasi masalah sampah
plastik yang sudah ada?

Sebuah komunitas multinasional bernama Precious Plastic


jadi menarik untuk disimak. Proyek yang digagas pria
berkebangsaan Belanda Dave Hakkens ini menggunakan
mesin buatannya sendiri mendaur sampah plastik menjadi
barang baru yang dapat digunakan.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 113


Menariknya, cara mendaur ulang plastik yang dilakukan
Dave terbilang mudah dan bisa menjadi alternatif untuk
dapat dilakukan semua orang di seluruh dunia. Sebab,
pada dasarnya sistem daur ulang Precious Plastic hanyalah
mencacah sampah plastik menjadi biji plastik untuk kemudian
dicetak menjadi barang baru. Bahkan, Dave juga menyiapkan
kanal Youtube untuk mengajari orang yang tertarik, mulai
dari membuat mesin pencacah, mengoperasikan mesin,
mengenal dan memilah jenis plastik, dan membuat barang
baru dari sampah plastik.

Dengan platform yang disediakan ini, Dave berharap setiap


orang atau komunitas dapat menggunakan caranya untuk
membantu mengolah sampah plastik. Apalagi, pengolahan
sampah plastik menjadi barang baru juga memiliki potensi
bisnis. Dengan cara ini, orang atau komunitas dapat
mengkreasikan biji plastik yang dihasilkan untuk menjadi
barang yang bernilai dan dijual. Dari laman preciousplastic.
com, misalnya, komunitas ini memamerkan berbagai macam
produk olahannya yang dapat dijual, seperti meja, kursi,
batako, jam tangan, bahkan hingga aksesoris kecantikan.

Menerapkannya di level kelurahan


Mencontoh pelajaran YPBB lewat model terpilih dan
terdesentralisasi, sistem daur ulang yang ditawarkan
Precious Plastic dapat dipelajari lebih jauh hingga mungkin
dipraktikkan. Dengan sistem ini, masyarakat di level
kelurahan yang dikelola secara swadaya, misalnya Karang
Taruna, dapat mengorganisir semacam “lumbung sampah
plastik”. Di tempat ini, masyarakat akan mengelola sampah

Gaya Hidup Rendah Karbon | 114


plastiknya sendiri dan membuat barang baru yang bernilai
ekonomi.

Sebagai contoh, botol plastik kini dapat diolah menjadi fabrik


sehingga bisa dijadikan bahan pembuatan pakaian hingga
sepatu. Tak hanya itu, pengolahan bahan setengah jadi
menjadi kain ini pun dapat membuka peluang usaha lainnya,
seperti konveksi, desain, hingga pertokoan.

Selain menumbuhkan potensi bisnis, secara tidak langsung


model ini juga mendorong tumbuhnya gaya hidup baru, yaitu
dengan model terpilih. Pasalnya, mereka akan memilah
sampah plastik dengan sampah organik secara mandiri
agar dapat disetorkan di lumbung sampah. Bahkan, bukan
tidak mungkin jenis sampah lainnya seperti logam dan kaca
dapat diselesaikan dengan cara yang sama, yaitu dilebur dan
dibuat menjadi barang baru, dan yang terpenting, dilakukan
secara swadaya di level kelurahan.

Lebih dari itu, kepedulian akan pengelolaan sampah juga


turut mengurangi berbagai masalah akibat limbah yang
tidak terolah. Dikutip dari Mongabay, Rabu (3/6/2019),
sampah tidak hanya merusak kelestarian lingkungan, tetapi
juga mengganggu kesehatan masyarakat. Sebab, sampah
dapat mencemari udara, air, dan tanah. Bahkan secara tidak
langsung, sampah mengakibatkan penyakit yang dibawa
nyamuk dan tikus.

Tentu saja, ide ini membutuhkan pendalaman lebih lanjut.


Sebab, perlu diketahui pula bagaimana dampak untuk
kesehatan dan lingkungan dari aktivitas melebur plastik
menjadi barang baru, hingga berapa banyak sampah yang

Gaya Hidup Rendah Karbon | 115


dibutuhkan untuk membuat, misalnya, satu buah kursi. Tak
hanya itu, produksi sampah setiap kelurahan tentu berbeda-
beda, sehingga konsep ini pertama-tama perlu menyesuaikan
kebutuhan. Untuk itu, diskusi lintas sektor terutama antara
masyarakat, akademisi, peneliti, hingga pejabat terkait
sangat penting dilakukan.

Pada pokoknya, ide ini adalah tawaran untuk mengembangkan


sebuah usaha pemrosesan sampah dengan level komunitas
dan dikerjakan secara swadaya. Bagaimana pun, sampah
harus dapat diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat dan
kalau bisa harus menguntungkan masyarakat.

------

Gaya Hidup Rendah Karbon | 116


Referensi
Instagram Leonardo DiCaprio https://www.instagram.com/p/
B2EuAHtFqcv/?utm_source=ig_embed
Anies Perkirakan Tahun 2021 Bantargebang Tak Mampu Tampung
Sampah DKI https://news.detik.com/berita/d-4598384/anies-
perkiraan-tahun-2021-bantargebang-tak-mampu-tampung-sampah-dki
Peraturan Presiden No.97/2017 https://sipuu.setkab.go.id/
PUUdoc/175342/Perpres%20Nomor%2097%20Tahun%202017%20
-%20Batang%20Tubuh.pdf
Dua Langkah Atasi Sampah oleh Moch Rizqi Hijriah https://www.monga-
bay.co.id/2019/09/27/dua-langkah-atasi-sampah/
Data komposisi sampah dari KLHK http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/
browse/2100
Misi Precious Plastic https://preciousplastic.com/about/mission.html
Mesin-mesin Precious Plastic https://preciousplastic.com/solutions/ma-
chines/overview.html
Produk yang dihasilkan Precious Plastik https://preciousplastic.com/
solutions/products.html
Tidak hanya Kesehatan, Sampah Juga Merusak
Lingkungan https://www.mongabay.co.id/2019/07/03/
tidak-hanya-ganggu-kesehatan-sampah-juga-merusak-lingkungan/

Gaya Hidup Rendah Karbon | 117


3.6 Perubahan Itu Bermula dari Meja Makan
Oleh: Muhammad Sidik Pramono

“Sebulir nasi yang kita makan ialah sama dengan setetes


peluh para petani,” kata-kata tersebut adalah ungkapan
betapa besar perjuangan para petani hingga kita harus
menghargainya dengan menghabiskan nasi beserta lauk
yang kita makan. Sewaktu kecil kita sering ditegur oleh orang
tua untuk tidak menyisakan makanan. Di Jawa khususnya
Jawa Tengah, jika seorang anak yang tidak menghabiskan
makanannya dia akan ditakut-takuti bahwa ayamnya akan
mati semua. Terlepas itu benar atau tidak, mitos atau fakta
tapi secara ilmu pengetahuan, menyisakan makanan ternyata
memiliki dampak besar kepada pemanasan global sekaligus
menambah parah kerusakan iklim yang ada di bumi tercinta
ini. Dalam tulisan ini saya coba mengulas sedikit tentang
pentingnya menghabiskan makanan di kala makan.

Berdasarkan laporan dari Badan Ketahanan Pangan


Kementan menyebut Indonesia menghasilkan sekitar 1,3 juta
ton sampah makanan setiap tahunnya. Sampah makanan
tersebut berasal dari katering, rumah tangga, hotel dan
restoran. Jika dirata-rata, satu orang menghasilkan sampah
makanan 300 kilogram per tahun. Lalu bagaimana sampah
makanan bisa menambah parah kerusakan iklim yang ada
di bumi?

Mengutip dari laman waste4change.com, sampah sisa


makanan yang kita produksi akan menghasilkan gas metana
(CH4) yang sangat berbahaya bagi lapisan ozon. Bagaimana
itu bisa terjadi? Proses penguraian sampah sisa makanan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 118


yang termasuk sampah organik (dekomposisi anaerobik)
menghasilkan gas Metana (CH4). Gas metana merupakan
salah satu Gas Rumah Kaca (GHG) yang dapat mempercepat
degradasi lapisan ozon bumi ini. Perlu kita ketahui bersama,
jika gas metana memiliki efek yang lebih ganas dari pada
karbon dioksida (CO2).

David Wallace-Wells dalam bukunya menuliskan, Metana


setidaknya beberapa lusin kali lebih kuat sebagai gas rumah
kaca dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2). Hal yang
sama juga diungkapkan salah satu profesor di Universitas
Kristen Indonesia, Atmonobudi Soebagio, menuliskan, gas
metana yang terlepas ke atmosfer ialah salah satu gas rumah
kaca yang menyebabkan pemanasan global 25 kali lebih
besar bila dibandingkan dengan gas CO2 untuk periode 100.
Lebih lanjut lagi, metana memiliki efek besar untuk periode
pendek yakni selama 8,4 tahun di atmosfer. Berbanding
terbalik dengan gas CO2 yang mempunyai efek kecil dan
berlangsung dengan periode lebih dari 100 tahun. Dengan
perbedaan periode dan efek, potensi pemanasan yang
disebabkan karena gas metana untuk periode 20 tahunan
senilai 72 kali lebih besar dari pada potensi pemanasan
global yang disebabkan oleh gas karbondioksida.

Perlu kita ketahui bersama, berdasarkan data yang


dikeluarkan Food Sustainability Index 2017 oleh The
Economist Intelligence Unit (EIU), negara tercinta kita,
Indonesia menjadi negara kedua dari bawah yang satu tingkat
lebih baik dari Arab Saudi dalam hal limbah makanan yang
terbuang percuma (Food Loss and Waste). Data yang lebih
spesifik diungkapkan oleh Perwakilan Food and Agriculture

Gaya Hidup Rendah Karbon | 119


Organization of The United Nations (FAO). Melalui Kepala
Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Mark
Smulders, sebagaimana yang dilansir finance.detik.com
menyatakan bahwa 13 juta metrik ton makanan terbuang
setiap tahunnya. Jika 1 ton sampah sisa makanan ketika
pembusukan menghasilkan 50 kg metana maka, dalam
satu tahun negara kita akan menghasilkan 260 ribu ton gas
metana. Apabila dikonversikan ke CO2 dengan periode 20
tahun, maka akan setara dengan 18,72 juta ton CO2. Sebuah
angka yang sangat fantastis dengan konsekuensi kerusakan
iklim yang sangat berbahaya bila kita hanya diam berpangku
tangan membiarkan itu terjadi pada dunia kita.

Rusaknya ozon akan berdapak pada memanasnya suhu


di permukaan bumi. Memanasnya permukaan bumi akan
menghasilkan efek buruk yang tak pernah terbayangkan.
Dalam buku The Uninhabitable Earth dituliskan secara
gamblang tanpa tedeng aling-aling. Mulai dari pemanasan
air laut, kelaparan, kekeringan, laut yang sekarat, udara
yang tak bisa dihirup, tenggelamnya daratan di dunia,
wabah yang diakibatkan karena pemanasan di permukaan
bumi, ambruknya ekonomi, hingga konflik yang disebabkan
karena pemanasan global. Namun, dalam tulisan ini saya
tidak akan panjang lebar mengenai efek yang diakibatkan
karena pemanasan global. Akan tetapi, saya akan mencoba
menawarkan salah satu solusi sederhana yang kiranya dapat
dilakukan oleh setiap individu.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 120


Selesai di Meja Makan
Sampah organik yang ada dihasilkan dari mulai tahap
pendistribusian hasil pertanian hingga proses pengolahan
bahan mentah menjadi bahan matang yang siap dikonsumsi.
Akan tetapi, sampah organisasi paling banyak diproduksi
terjadi pada saat makan. Dari situlah keterkaitan antara
perintah menghabiskan makanan yang saya sampaikan di
atas dengan penyelamatan bumi dari pemanasan global.
Mudahnya adalah begini, pada saat kita dapat menghabiskan
makanan yang kita makan di meja makan, sudah barang pasti
kita tidak akan memproduksi sampah sisa makanan. Pada
saat kita tidak menghasilkan sampah sisa makanan, kita
akan meminimalisir pemroduksian metana ke atmosfer. Jika
metana tidak terlepas ke atmosfer maka pemanasan global
akan bisa dilambatkan untuk beberapa tahun atau bahkan
beberapa dekade yang akan datang. Apabila pemanasan
global dapat direm untuk beberapa waktu, efek kengerian
akibat pemanasan di permukaan bumi sebagaimana yang
dipaparkan dalam buku The Uninhabitable Earth dapat
ditunda beberapa waktu.

Lantas bagaimana jika dalam penyajian makanan di meja


makan dilakukan secara prasmanan yang tak jarang
menyisakan banyak makanan? Dari situ ada dua masalah
pertama, tidak habisnya makanan yang telah kita ambil dan
yang kedua, adalah makanan yang terlanjur diolah namun
masih bersisa. Untuk penyelesaian yang pertama, sebagai
orang Timur yang memegang teguh norma susila, mestinya
kita tidak asing lagi dengan kata-kata makan secukupnya.
Maksud secukupnya di sini dapat diartikan dengan tidak

Gaya Hidup Rendah Karbon | 121


menyisakan makanan.

Tentu saja penyelesaian masalah pertama tidak akan mudah


dilakukan begitu saja di restoran berkonsep all you can eat
atau banyak orang memanggilnya AUCE. Pengunjung restoran
AUCE kerap kali lapar mata. Semua makanan yang tersedia
di meja ingin dicicipinya satu per satu. Untuk menghindari
adanya food waste (sampah makanan), pengelola restoran
menerapkan aturan denda bagi pengunjung yang menyisakan
makanan yang telah diambilnya. Sebagai contoh restoran
Pochajjang Korean Barbeque yang ada di beberapa kota
di Indonesia. Pengelola restoran ini menerapkan denda
sebesar Rp 50.000,00 per 100 gram daging sisa yang ada.
Adanya aturan seperti ini sangat membantu menekan
pengunjung untuk mengambil makanan secukupnya. Ini
untuk permasalahan pertama.

Untuk permasalahan kedua, bila makanan yang diolah tersisa


dan masih layak dikonsumsi maka akan lebih bijak dialihkan
untuk memberikan makan kepada orang yang tidak bisa
makan. Saat ini mulai bermunculan komunitas masyarakat
yang menampung sisa makanan yang masih layak dimakan
untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan
seperti Hunger Bank yang ada di Bandung. Di satu sisi
kita menyelamatkan bumi kita dari penambahan metana
di atmosfer, di sisi lain kita juga dapat berderma terhadap
sesama sekaligus menyelamatkan sesama kita dari bahaya
kelaparan.

Saya pribadi sadar betul guna melakukan penyelesaian


sampah sisa makanan tidak cukup selesai dengan
menghabiskan pada saat makan di meja makan. Harus

Gaya Hidup Rendah Karbon | 122


ada penyelesaian yang kompleks. Mulai dari melakukan
pemilahan terhadap sampah organik khususnya sisa
makanan, selain itu melakukan pemanfaatan sisa makanan
agar tidak menyumbang metana lebih banyak lagi di atmosfer,
atau dengan membuat aturan tegas oleh negara. Akan tetapi,
perlu kita ingat perkataan bahwa sebuah perubahan besar
berawal dari tindakan kecil. Bisa kita bayangkan bersama,
jika sekitar 268 juta penduduk Indonesia tidak menyisakan
sedikitpun makanan, sudah berapa ton metana yang tidak
akan terlepas ke udara? Selain itu, bila dilihat dari efesiensi
dana, gerakan untuk tidak menyisakan makanan pada saat
makan adalah gerakan yang tidak menguras dana terlalu
banyak.

Kunci keberhasilan gerakan ini adalah menciptakan kesadaran


dari masing-masing kita. Perlu kita sadari dan ketahui
bersama bahwa guna melakukan penyelamatan bisa kita
mulai dari diri sendiri. Bermula dari menghabiskan makanan
yang kita makan, mengambil makan secukupnya tanpa
berlebihan, kita dapat turut berkontribusi dalam menunda
atau malah-malah menghilangkan efek yang dihasilkan dari
pemanasan di permukaan bumi. Sudah saatnya kita sadar,
di tangan kita masing-masinglah pemanasan global tidak
bertambah parah. Yakni dengan pola hidup rendah metana
melalui menghabiskan makanan di meja makan, sebuah
perubahan dapat diciptakan.

Keuntungan yang Kita Dapatkan


Apabila gerakan untuk dapat menghabiskan makanan yang
kita makan dapat dilakukan akan ada dampak signifikan di

Gaya Hidup Rendah Karbon | 123


dalam kehidupan kita di bumi ini. Apa saja yang akan kita
dapatkan bila kita dapat mengurangi sisa sampah makanan
yang kita makan? Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal,
bahwa gas metana yang dihasilkan dari pembusukan sampah
sisa makanan akan berimbas pada percepatan pemanasan
global. Sehingga, jika kita dapat mengurangi sampah sisa
makanan yang kita makan, keuntungan secara iklim yang
kita dapatkan adalah penambahan suhu dipermukaan bumi.

Dalam buku Bumi yang Tak Dapat Dihuni pada halaman 14


dijelaskan, pada kenaikan suhu dua derajat saja, efek yang
akan dimbulkan antara lain, mulai hancurnya lapisan es
yang ada di kutub selatan, 400 juta orang akan mengalami
kekurangan air, kota-kota yang berada di sekitar khatulistiwa
menjadi tidak layak huni, di daerah utara bumi akan
mengalami gelombang panas yang dapat menewaskan
ribuan orang di setiap musim panas datang. Di samping itu,
di India akan terjadi gelombang panas ekstrem yang datang
dalam jumlah tiga puluh dua kali banyak dan durasi panas
ekstrem tersebut akan berlangsung lima kali lebih lama. Efek
yang lebih mengerikan akan terjadi bila suhu dipermukaan
bumi naik beberapa derajat lebih panas. Dengan demikian,
keuntungan yang akan kita dapatkan dari mengurangi
emisi metana akibat pembusukan makanan ialah dampak
mengerikan yang dijelaskan dalam buku David Wallace
tersebut dapat kita tunda kedatangannya.

Di sisi lain, secara aspek ekonomi kita juga akan diuntungkan.


Munculnya organisasi seperti Hunger Bank ada di Bandung
yang menyalurkan sisa makanan yang masih layak konsumsi
kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan itu akan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 124


mengurangi angka kelaparan. Menurut detik.com, pada
rentang 2016-2018 sebanyak 22 juta penduduk Indonesia
masih mengalami kelaparan. Jika angka kelaparan tersebut
dapat dikurangi dengan penyaluran makanan sebagaimana
yang dilakukan Hunger Bank, anggaran yang dialokasikan
untuk mengurangi angka kelaparan dapat ditekan dan bisa
digunakan untuk peningkatan ekonomi. Dan juga, kerugian
yang diakibatkan oleh terbuangnya makanan seberat 13
juta ton seperti yang disampaikan Food and Agriculture
Organization of The United Nations (FAO) dapat kita tekan.

Lingkungan yang ada di sekitar kita juga akan merasakan


dampaknya. Pembusukan sampah sisa makanan akan
menimbulkan bau busuk di sekitar tumpukan sampah
makanan. Pemandangan tumpukan sampah tidak akan
timbul jika kita dapat mengendalikan sampah sisa makanan.
Selain itu, kita dapat mencegah pencemaran lingkungan
akibat dari sampah makanan. Dengan melakukan hal
sederhana yakni menghabiskan makanan yang kita makan
ataupun menyalurkan makanan yang masih layak konsumsi
kepada yang membutuhkan, ternyata memiliki dampak
besar kepada krisis iklim, keadaan bumi kita, kepada sesama
manusia. Dan juga berdampak pada ekonomi dan lingkungan
sekitar kita. Maka, kesadaran melakukan hal sederhana
seperti menghabiskan makanan yang kita makan dan
menyalurkan makanan perlu terus dipupuk dan digalakkan
kepada masyarakat luas.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 125


Referensi

David Wallace-Wells, The Uninhabitable Earth (Bumi yang Tak Dapat


Dihuni)
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4534855/
duh-indonesia-peringkat-kedua-negara-paling-banyak-buang-makanan
https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-3317570/13-juta-ton-
makanan-terbuang-percuma-di-ri-setiap-tahun
https://katadata.co.id/timrisetdanpublikasi/analisisdata/5e9a57af981c1/
kelola-sampah-mulai-dari-rumah
https://www.mongabay.co.id/2018/07/05/
sisa-makanan-ternyata-memicu-perubahan-iklim-kok-bisa/
https://waste4change.
com/3-important-facts-about-food-waste-that-you-need-to-know/2/
https://www.google.com/amp/s/jabar.tribunnews.com/
amp/2016/11/01/komunitas-ini-kumpulkan-sisa-makanan-dari-ho-
tel-lalu-berikan-pada-yang-membutuhkan
https://news.detik.com/dw/d-4776060/
laporan-adb-22-juta-orang-indonesia-menderita-kelaparan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 126


3.7 Tak Ada Kantong Plastik Di Pasar Ini
Oleh: Dwi R Manoppo

Pasar yang satu ini berbeda dengan pasar lainnya di Goron-


talo, diberi nama Pasar Seni Maaledungga, di pasar ini anda
tidak akan menemukan selembarpun kantong plastik. Pen-
gurangan pemanfaatan tas plastik dalam aktivitas jual beli di
pasar ini bertujuan untuk dapat membiasakan semua orang
mengurangi sampah plastik. Dan langkah ini pula sebagai
bagian dari kampanye menjaga bumi dari kerusakan akibat
sampah.

Upaya pengurangan ini merupakan cara mencegah setiap


orang dalam aktivitas menghasilkan sampah plastik.
Diprakarsai oleh Komunitas Huntu Art Distrik, pasar
yang terletak di Desa Huntu Kabupaten BoneBolango ini
mewajiban para pengunjung untuk membawah wadah
sendiri dari rumah.

Pasar dengan konsep tradisional ini rutin digelar Minggu


pagi. Setiap warga berhak untuk menjajahkan barang
dagangannya di pasar tersebut, mulai dari hasil pertanian,
olahan makanan, dan kerajinan. Sesuai namanya, pasar ini
juga menyuguhkan pentas seni berupa musik hingga lukisan
bagi para pembelinya.

Selain itu juga, setiap pengunjung yang datang ke pasar ini


tidak diperkenankan untuk membayar dengan uang rupiah.
Para pengunjung diwajibkan menukar uang rupiahnya
dengan kepingan kepingan koin yang dibuat dari bahan
tempurung kelapa. Hal ini juga menambah keunikan dan

Gaya Hidup Rendah Karbon | 127


keseruan di pasar yang berjarak 30 menit dari pusat kota ini.

Dengan pergi ke pasar ini setiap pengunjung akan


merasakan suasana yang jauh berbeda dengan pasar-
pasar yang lain. Berbeda dengan pasar biasanya yang
identik dengan kesemrautan dan hiruk-pikur pembeli
yang saling berdempetan, di pasar ini setiap pengunjung
akan disuguhkan dengan lantunan musik tradisional nan
klasik dari para seniman, ditambah dengan letak pasar
yang dikelilingi pohon-pohon bambu yang rindang akan
menambah nuansa tradisional dan memanjakan mata serta
telinga para pengunjung.

Selain itu, di pasar ini juga setiap pengujung akan dibekali


dengan pengetahun tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Dengan dilarangnya penggunaan kantong plastik setiap
orang yang datang akan diberikan pemahaman tentang
bahaya dari penggunaan bahan plastik berlebihan dalam
kehidupan sehari-sehari, dengan begitu diharapkan akan
memberikan kesadaran bagi setiap mereka yang datang ke
pasar ini.

Kegiatan jual beli memang menjadi salah satu sumber


produksi sampah plastik yang paling masif. Di era dewasa
ini, pemanfaatan kantong plastik sudah merambat hingga ke
desa-desa di Indonesia. Tercatat setiap tahunnya kantong
plastik yang terbuang ke lingkungan itu mencapai 10 Milliar
lembar atau lebih dari 80 ribu ton kantong plastik.1 Padahal
dulu masyarakat desa sering menggunakan wadah berupa tas
dari anyaman untuk keperluan membawa barang. Ditambah
1 Data BPS (Publikasi Statistik Linngkungan Hidup Indonesia, dapat diakses
melalui halaman web www.bps.go.id/publication/2019/12/13/e11bfc8f-
f8392e5e13a8cff3/statistik-lingkungan-hidup-indonesia-2019.html

Gaya Hidup Rendah Karbon | 128


dengan mulai banyaknya ritel-ritel modern di perkotaan yang
juga memberikan kontribusi tidak kalah banyaknya dalam
penggunaan sampah plastik. Dengan penyadaran sejak dini
itu, desa bisa jadi benteng pertahanan dalam membendung
gelombang sampah tersebut.

Satu orang di Indonesia menghasil kurang lebih 0,7


kilogram sampah per harinya. Dan 0,4 persen diantara ialah
sampah plastik. Dari data BPS memperlihatkan Indonesia
memproduksi 64 ton sampah tiap tahunnya, dan 3,2 ton
merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Ada banyak
hal yang bisa dilakukan guna menekan angka produksi
sampah tersebut, tapi ada dua cara yang bisa dilakukan
sedari dini yaitu, pengurangan dan penangan sampah dari
masyarakat itu sendiri.

Pasar Seni Maaledungga bisa menjadi satu contoh gerakan


kampanye menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat
sampah plastik. Namun semua upaya kampanye dan
gerakan itu tak berlangsung lama, jika setiap gerakannya
tidak dibarengi dengan dukungan semua pihak, terlebih juga
pemerintah daerah.

Sejauh ini, intervensi pemerintah daerah dalam mengurangi


sampah plastik masih terbilang kurang, bahkan minim
perhatian. Contohnya, berbagai fasilitas Bank Sampah yang
dibangun di sekolah-sekolah di Gorontalo, kini fasilitas-
fasilitas yang pernah diresmikan langsung oleh pemerintah
itu kebanyakan sudah terbengkalai dan tak beroprasi lagi.
Padahal, selain memberikan bantuan program, pengawasan
dan dukungan juga menjadi hal yang paling utama.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 129


Pemerintah memang sudah menjalankan tugasnya
dengan membuat berbagai regulasi terkait pengelolaan
sampah. Mulai dari pengadaan tempat sampah sampai
alat pengelolaan sampah. Seperti upaya Pemerintah Pusat
untuk menggunakan sampah plastik sebagai bahan untuk
pengaspalan jalan. Namun sekali lagi, berbagai kemelut
terhadap pemanfaatan itu selalu membarenginya, seperti
kritik atas kualitas dari aspal berbahan plastik hingga
persoalan kandungan racun yang ada dalam bahan plastik
tersebut.

Demikian pula di tingkat daerah, Perda terkait pelarangan


penggunaan bahan yang akan menjadi sampah plastik
terkesan disepelekan. Padahal sampah plastik menjadi salah
satu penyebab sering terjadinya banjir di Kota Gorontalo. Dari
data yang dimiliki oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Gorontalo yang menjadi Kabupaten pemilik TPA terbesar
di provinsi itu, Gorontalo menghasilkan 700 ton sampah
perhari.2 Dimana dari total keseluruhan hanya sekitar 30
persen yang berhasil dikelola.

Dari 100, 70 % sampah lainya di Gorontalo tak dapat


dijangkau akibat minimnya armada atau petugas kebersihan
yang dimiliki Pemerintah.3 Alhasil sampah-sampah
terutama sampah plastik sering tak terurus dan berserakan.
Kebanyakan kawasan yang tak terjangkau upaya pemerintah
itu ialah kawasan-kawasan pedesaan. Akibatnya pula sampah

2 Data Pengelolaan Sampah di TPA Gorontalo oleh Dinas Lingkungan Hidup


Kabupaten Gorontalo
3 Wawancara dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gorontalo,
Saiful Kiraman, SE, ME

Gaya Hidup Rendah Karbon | 130


plastik yang dihasilkan, akan dikelola secara sederhana
seperti membakar atau yang terburuk dibuangnya ke sungai.

Sebagai provinsi yang memiliki lebih dari 650 desa, langkah


terbaik dan paling efektif yang bisa dilakukan untuk
menekan jumlah sampah plastik ialah dengan meningkatkan
kesadaran dari tiap desa yang ada. Desa-desa tersebut bisa
menjadi benteng pertahanan untuk menjaga lingkungan dari
pencemaran limbah plastik yang terus meningkat. Pasar
Maaledungga bisa menjadi satu contoh untuk menghadirkan
semangat pedesaan dalam menghadang problem lingkungan
itu.

Pasar Seni Maaledungga, bisa menjadi contoh bagi semua


orang termasuk pemerintah dalam mengembangkan
kebijakan ekonomi yang juga tetap ramah lingkungan. Dan
terutama mengembalikan kebiasaan kita sudah mulai hilang
yakni, tidak tergantung dengan kantong plastik.

Gaya Hidup Rendah Karbon | 131


4 TEKNOLOGI DAN INOVASI
RAMAH IKLIM
4.1 Analisis Keseimbangan Termal Pada
Area Pamer Museum Geologi Bandung
Oleh: Grace Gunawan

Museum Geologi adalah salah satu warisan budaya yang


berada di Kota Bandung. Museum Geologi dibangun di
jaman kolonialisme sebagai bangunan yang digunakan untuk
laboratorium penelitian Geologi, tetapi pada tahun 1945,
semula bangunan ini dialihfungsikan sebagai Museum.
Pada masa kini Museum Geologi tidak menggunakan
sistem penghawaan mekanik. Akan tetapi setelah dilakukan
perubahan ini, Museum Geologi memerlukan AC untuk
memenuhi kenyamanan termal. Penggunaan AC ini tentu akan
sangat mempengaruhi penggunaan energi dalam museum
Geologi, karena 50% dari total energi yang diperlukan oleh
suatu bangunan digunakan untuk HVAC. Di satu sisi, jendela
di museum ini tidak dibuka karena cahaya matahari dapat
menyebabkan pemudaran warna (discolorization) dan debu
dapat masuk benda pameran menjadi kotor.

Selain konsekuensi-konsekuensi tersebut, suhu rata-rata di


Bandung sudah naik setiap tahunnya karena perubahan iklim
(climate change) yang terjadi. Hal ini disebabkan karena
banyaknya zat rumah kaca yang terperangkap di atmosfer
sejak permulaan revolusi industri, sehingga udara panas
dari luar masuk ke dalam ruangan sehingga menyebabkan
ketidaknyamanan termal.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 132


Lonjakan kebutuhan energi di Museum Geologi ini
dapat diminimalisir, jika beban pendinginan bangunan
dapat dikurangi. Pengurangan beban pendinginan ini
dapatdilakukan jika pengindentifikasian sumber panas
yang paling berpengaruh dalam Museum Geologi. Dengan
mengetahui sumber panas tersebut, maka dapat dicari
solusi yang efektif untuk mengisolasi sumber-sumber panas
tersebut, sehingga konsumsi energi di Museum Geologi
dapat dikurangi

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sumber-sumber


panas yang berada di Museum Geologi. Sumber-sumber
panas tersebut berasal dari dalam bangunan (panas internal)
maupun panas yang berasal dari luar bangunan (panas
eksternal).

Metode penelitian untuk menentukan sumber panas adalah


perhitungan Keseimbangan Termal. Berikut ini adalah rumus
dari Keseimbangan Termal.

Qi + Qs +- Qc +- Qv +- Qm -Qe = 0.

Dimana,

Qi= internal heat gain (Watt)

Qs = solar heat flow (Watt)

Qc= conduction heat flow (Watt)

Qv= convection heat flow (Watt)

Qm= mechanical cooling (Watt)

Dari persamaan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 133


Qm= Qi + Qs + Qc + Qv

Nilai Qi ,Qs ,Qc , Qv untuk persamaan diatas dapat diperoleh


dengan cara sebagai berikut.

Qi = Σ internal heat (man-generated heat and equipment)

Qs = A. I. Ө

A = window area (m2)

I = intensitas matahari (W / m2)

Ө = solar gain glass factor

Qc = A. U. ΔT

A = luas tembok (m2)

U = transmittance value (W / m2°C)

ΔT = perbedaan temperatur (0C)

Qv = 1300. V. ΔT

1300 = volumetric specific heat of air (J/m3°C)

V = speed of ventilation (m3 / s)

ΔT = difference of indoor and outdoor temperature (°C)

Keseimbangan termal
sumber: https://www.educate-sustainability.eu

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 134


Metode ini Keseimbangan termal ini sudah digunakan secara
luas di negara berkembang, dan sudah digunakan sebagai
standar untuk menghitung dalam bangunan oleh standar
bangunan di beberapa negara di Eropa, India dan juga
institusi seperti American Society of Heating, Refrigerating
and Air-conditioning Engineers (ASHRAE).

Berdasarkan survei dilakukan pada keempat ruang pamer


yang berada di Museum Geologi untuk mendapatkan data-
data sehingga dapat keseimbangan termal dapat dihitung.
Setiap ruangan di survey secara terpisah sehingga diperoleh
hasil yang didapatkan dapat dianalisa secara rinci. Berikut
ini adalah denah Museum Geologi lantai 1.

Sumber : https://cupeed.files.com

Ruang Geologi Indonesia mempunyai 10 buah jendela,


dimana semua jendela tersebut terpapar langsung oleh sinar
matahari yang berasal dari belakang dan depan bangunan.
Ruangan ini adalah salah satu ruangan yang mempunyai
peralatan elektronik terbanyak seperti komputer prolink,
layar interaktif, TV, proyektor dan lain-lain. Berdasarkan
perhitungan keseimbangan termal, panas di ruangan ini

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 135


36% berasal dari eksterior dan 64% dari interior. Berdasarkan
perhitungan, panas yang dihasilkan pada interior berasal dari
peralatan elektronik dan manusia yang berada di ruangan
tersebut. Untuk mengurangi panas di ruangan ini maka
dibangun air duct di plafon, sehingga panas dari proyektor
dapat disalurkan keluar ruangan. Untuk mengurangi panas
yang berasal dari luar yang masuk melalui pintu lobi maka
dipasang AC air curtain, sehingga udara dari luar tidak
dapat masuk dan tidak terjadi kebocoran udara. Panel
juga digunakan untuk menghalangi panas yang masuk
dari jendela dan konduksi panas pada jendela dan dinding.
Dengan melakukan perubahan-perubahan interior maka
dapat dihemat 13393,92 Watt dan Museum Geologi dapat
menghemat Rp3.458.893,037/bulan.
RUANG GEOLOGI INDONESIA

Sumber :Dokumentasi Pribadi

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 136


Panas Eksterior
1 2

Panas Interior

Sumber Panas Ruang Geologi Indonesia

Ruangan Batuan Mineral yang berada di sebelah Barat


ruang Museum Geologi Indonesia. Setengah bagian yang
dipamerkan berasal dari media elektronik dan bagian lainnya
digunakan oleh pengunjung untuk menonton video yang
diproyeksikan oleh 2 proyektor ke dinding sebelah selatan
ruangan ini. Setengah bagian ruangan ini adalah panel-
panel yang disorot oleh track light. Berdasarkan perhitungan
keseimbangan termal, panas yang di dalam ini berasal dari
interior sekitar 87,93%. Peralatan elektronik dan lampu sorot
adalah salah satu kontributor panas dalam ruangan ini.
Terdapat juga 2 proyektor 3 dimensi dan 11 lampu sorot
yang menerangi panel-panel yang berada di bagian utara dari
ruangan ini..

Sumber panas yang dominan di ruangan ini adalah LCD


projektor dan lighting. Untuk mengurangi sumber panas yang
berasal dari peralatan elektronik, maka dibuat air ducting
untuk menyalurkan udara panas yang berasal proyektor ke
luar bangunan, sehingga udara panas dari proyektor tidak
membebani beban pendinginan bangunan. Selain membuat
air ducting, mengganti semua lampu dengan lampu LED

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 137


yang mempunyai efisiensi 80%. Penghematan yang dicapai
dengan mengisolasi panas dari projektor ,mengganti lampu
dengan LED, mengisolasi panas yang berasal dari jendela
dan mengisolasi panas yang menembus tembok dan
kaca dengan panel. Dengan melakukan semua perubahan
interior tersebut, maka 1.610,41 Watt panas dapat dikurangi
dari ruangan ini, setara dengan penghematan sebesar Rp
415.874,34.

RUANG BATUAN INDONESIA

Sumber :Dokumentasi Pribadi

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 138


Panas Eksterior
1 2

Panas Interior

Sumber Panas Ruang Batuan Indonesia

Ruang Gunung Api adalah ruang pamer yang terkecil di


Lantai 1 Museum Geologi. Ruangan ini sering dipadati oleh
rombongan anak sekolah, sehingga terjadi ketidaknyamanan
termal.

Berdasarkan perhitungan keseimbangan termal, 85,73% total


panas yang ada di ruangan ini berasal dari sumber panas
yang ada di ruang interior. Kontribusi terbesar berasal dari
peralatan elektronik, manusia dan lighting sebesar 17.72 kW
yang berasal dari penggunaan lampu dan peralatan elektronik,
sehingga mengganti lampu dengan LED dan menghalangi
panas yang menembus kaca dan konduktivitas kaca dan
tembok. Jika mengisolasi Penggantian LED dan isolasi
panas dengan menggunakan panel pada ruangan ini akan
mengurangi beban pendinginan ruangan sebesar 2.659,974
Watt yang berarti dapat menghemat Rp 686.915,088/ bulan.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 139


RUANG GUNUNG API INDONESIA

Sumber :Dokumentasi Pribadi

Panas Eksterior
1 2

Panas Interior

Sumber Panas Ruang Gunung Api Indonesia

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 140


Ruang Sejarah Kehidupan adalah satu-satunya area pamer
Museum Geologi yang menggunakan ventilasi alami, jendela
di sisi utara dan selatan dari ruang ini dibuka, sehingga
udara dari luar langsung masuk ke area pamer. Sumber
panas terbesar di ruangan ini adalah pencahayaan. Ruangan
ini menggunakan 3 jenis lampu yang berbeda yaitu lampu
sorot, lampu TL dan lampu track light. Di ruang ini ada 126
buah lampu dengan 3 jenis lampu yang berbeda. Panas yang
berasal dari lampu, peralatan elektronik dan manusia yang
ada di ruangan tersebut 3.208 Watt. Setelah penggantian
lampu dengan LED dan isolasi panas dengan panel maka
ruangan ini dapat menghemat listrik sebesar 9.400,99 Watt
atau Rp 3.661.068,548 setiap bulannya.

RUANG SEJARAH KEHIDUPAN

Panas Eksterior
1 2

Panas Interior

Sumber Panas Ruang Sejarah Kehidupan

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 141


Di Ruang Geologi Indonesia 63,9% panas berasal dari
interior, sedangkan di Ruang Batuan dan Mineral 88% panas
berasal dari interior dan 12% panas berasal dari eksterior. Di
Ruang Gunung Api , panas yang berasal dari interior adalah
85,7% dan panas yang berasal dari eksterior adalah 14,3%.
Di saYap timur Museum Geologi, panas yang berasal dari
interior adalah 85,7%.

Berdasarkan hasil perhitungan keseimbangan termal


disimpulkan bahwa lebih dari 50% panas yang ada di dalam
area pamer Museum Geologi Lantai 1 adalah panas yang
berasal dari ruang interior. Di semua ruangan nilai Qi yang
adalah internal heat gain atau panas yang didapat dari ruang
interior dari benda elektronik, lighting dan pengguna ruangan
tersebut adalah kontributor yang paling banyak. Di Ruang
Geologi Indonesia yang memiliki banyak peralatan elektronik
terutama proyektor yang mengeluarkan panas ke dalam
ruang. Dengan melakukan perubahan dalam interior untuk
mengurangi sumber panas di interior yang tentunya akan
mengurangi beban pendinginan bangunan. Berdasarkan
perubahan-perubahan yang dilakukan maka 13393,92
Watt dapat dihemat di ruang di Ruang Geologi Indonesia,
2208,982 Watt dapat dihemat di Ruang Batuan dan Mineral
penghematan dapat dilakukan dan 2.659,974 Watt dapat
dihemat di Ruang Gunung Api. Sedangkan pada sayap timur
area pamer Museum Geologi lantai 1 yaitu ruang Sejarah
Kehidupan, 9.400,99 Watt dapat dihemat dengan mengganti
semua lampu dengan LED. Penghematan di setiap ruangan
yang dinyatakan dalam satuan Watt ini adalah penghematan
beban pendinginan setiap ruangan.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 142


Dari hasil analisa keseimbangan termal di Museum Geologi
dapat disimpulkan bahwa sumber panas dari dalam ruangan
yang berasal dari peralatan elektronik, lighting, dan manusia
adalah kontributor yang paling berkontribusi di area Pamer
Museum Geologi. Setiap ruangan dalam museum Geologi
mempunyai sumber panas yang berbeda-beda karena itu,
setiap ruangan mempunyai solusi yang berbeda-beda.
Ruang Geologi Indonesia, memerlukan air duct supaya udara
panas yang dihasilkan proyektor dapat disalurkan ke luar
bangunan, sehingga panas tidak terperangkap dalam ruang.
Begitu pula dengan ruang Batuan dan Mineral. Di Ruang
Batuan dan Mineral, Ruang Gunung Api, dan Ruang Sejarah
Kehidupan dilakukan perubahan pada lighting menjadi LED
yang memiliki efisiensi yang lebih tinggi dari lampu flurosen.
Total penghematan di Museum Geologi melalui perubahan
elemen interior adalah 31.806,206 Watt atau 31,806206
kWh. Dengan melakukan perubahan interior di area ruang
pamer Museum Geologi lantai 1, maka Museum Geologi
dapat menghemat biaya operasional Rp 8.213.675 /bulan
untuk tagihan listrik. Penghematan tersebut dihitung dengan
tarif dasar listrik yang berlaku pada Oktober 2017 untuk
Bangunan Publik P1-5500 VA.

Dengan melakukan perubahan interior-interior di Museum


Geologi tanpa merubah bentuk utama bangunan Museum
Geologi Bandung. Perubahan-perubahan interior di Museum
Geologi Bandung tersebut membuat beban pendinginan
bangunan berkurang dengan cara meminimalisasi sumber-
sumber panas yang berada di setiap ruangan. Pengurangan
beban pendinginan bangunan ini tentunya akan mengurangi
daya listrik yang digunakan untuk pendinginan ruangan

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 143


oleh pendingin ruangan, sehingga Museum Geologi dapat
menjadi bangunan yang lebih hemat energi.

------

Referensi

Kwallek, N., Soon, K., Woodson, H., & Alexander, J. L. (2005). Effects of
color schemes and environmental sensitivity to job satisfaction and
perceived performance. Perceptual and Motor Skills, 101, 473-486.
Kwallek, N., Soon, K., & Lewis, C. M.(2007). Work week productivity, visual
complexity, and individual environmental sensitivity in three offices
of different color interiors. Color Research and Application, (32(2),
130-143).
G. Havenith, I. Holmér and K. Parsons.(2002).Personal factors in thermal
comfort assessment: clothing properties and metabolic heat produc-
tion. Energy Buildings, (34(6), 581-591 )
E. Arens, M. A. Humphreys, R. de Dear and H. Zhang.(2010).Are „Class A‟
temperature requirements realistic or desirable?.Build Environment
45(1), hal. 4-10
B. W. Olesen, O. Seppanen and A. Boerstra.(2006). Criteria for the indoor
environment for energy performance of buildings. A new European
standard.Facilities(24(11-12), 445-457 )
Schauss, A. G. (1979). Tranquilizing effect of color reduces aggres-
sive behavior and potential violence. Journal of Orthomolecular
Psychiatry, (8(4), 218-221).
Oreskes, Naomi. (2004). The Scientific Vonsensus on Climat Cahgne.
Science 3 December 2014: Climate Change, (vol. 1, 111-122).
Yao, Prof. George C.( 2010).Architecture Science (ArS). Architetural
Institute of Taiwan and the Architecture and Building Research
Institute (ABRI), Ministry of the Interior, Taiwan.
Lorch, Richard.(2011). Building Research &Information.Routledge-
Taylor& Francis Group.(Volume 37)
Fan, Dr Linda.(2014).Built Environement Project and Asset Management.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 144


Emeralad Group Publishing.
Ridwan, Arifin. (2016). Rating Tool.Diunduh 5 Maret 2017dari http://ww-
w.-gbcindonesia.org/greenship/rating-tools/summary.
Copsey, T.; Dalimunthe, S.; Hoijtink, L.; Stoll, N. (2013) Indonesia: How the
people of Indonesia live with climate change and what communica-
tion can do. BBC Media Action, London, UK 86 pp
McDonough,J. M. (2017). Fluid Dynamics Research(Number2).
IOPublishing, April 2017 (025501-025519)

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 145


4.2 Kebijakan Strategis dalam Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor
Pertanian Indonesia
Oleh: Iswatun Annas

Pentingnya Mitigasi dan Adaptasi Peru


bahan Iklim di Sektor Pertanian
Iklim memiliki peranan penting terhadap sektor pertanian.
Unsur-unsur iklim seperti suhu udara, kelembaban, curah
hujan dan sebagainya sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Namun, kebutuhan manusia
yang semakin meningkat telah berdampak terhadap kondisi
iklim yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim merupakan perubahan unsur-unsur iklim
dalam jangka waktu yang panjang (50-100 tahun) yang
disebabkan sebagian besar oleh antropogenik atau perilaku
manusia dalam mengemisi gas rumah kaca (GRK). Kelompok
gas yang tergolong GRK antara lain: CO2, CH4, N2O, SF6,
PFCs, HFCs dan lainnya. Perubahan iklim merupakan hal
yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global
warming) dan akan berdampak luas terhadap berbagai aspek
kehidupan, terutama sektor pertanian.

Perubahan iklim berdampak secara langsung maupun tidak


langsung terhadap pertanian. Dampak secara langsung
antara lain: (1) penurunan produksi, produktivitas, dan kualitas
komoditas pertanian akibat cuaca ekstrem, peningkatan
suhu, banjir, kekeringan, serta meningkatnya serangan hama
penyakit tanaman; (2) degradasi lahan pertanian akibat banjir,
longsor, kekeringan, dan intrusi air laut; (3) kerusakan serta

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 146


penurunan fungsi infrastruktur pertanian; (4) peningkatan
risiko gagal panen yang sangat berdampak terhadap kondisi
sosial ekonomi petani dan masyarakat. Dampak secara tidak
langsung terhadap pertanian melalui penerapan berbagai
teknologi dan program yang berkaitan dengan mitigasi
perubahan iklim.

Pertanian dan perubahan iklim memiliki keterkaitan yang


saling bertolak belakang. Di satu sisi, pertanian memegang
peranan sebagai sumber ketahanan pangan dan sumber
mata pencahariaan utama masyarakat. Di sisi lain,
pertanian sangat terdampak oleh perubahan iklim seperti
banjir, kekeringan, gagal panen, namun pertanian juga ikut
berkontribusi dalam emisi gas rumah kaca (GRK). Sehingga
penting dalam menentukan kebijakan upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim.

Salah satu komoditas pertanian yang paling rentan terhadap


perubahan iklim adalah tanaman padi. Sebagai contoh,
Petani di Desa Wanguk, Kecamatan Anjatan, Kabupaten
Indramayu. Kerugian terbesar akibat gagal panen di
Desa Wanguk sekitar 430 hektar areal persawahan, 80%
diantaranya mengalami gagal panen. Sehingga produksi
gabah yang normalnya sebanyak 6-8 ton per hektar menjadi
hanya beberapa ton bahkan beberapa kwintal saja. Faktor
utama yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
adanya serangan hama wereng batang coklat (WBC) dan
penyakit kerdil. Kondisi suhu dan kelembaban udara yang
semakin meningkat menyebabkan lingkungan cocok
untuk perkembangan hama penyakit tanaman. Selain itu,
perubahan awal musim hujan juga berpengaruh terhadap

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 147


penurunan produktivitas petani. Belajar dari kejadian gagal
panen akibat perubahan iklim. Petani di Desa Wanguk
menerapkan upaya mitigasi dan adaptasi yaitu dengan
mengubah awal masa tanamnya dan petani berhasil panen.
Selain itu dalam menekan jumlah pengeluaran emisi, petani
memanfaatkan jerami untuk pakan ternak, budidaya jamur
merang dan pembuatan kompos daripada membakarnya.

Selain contoh di atas, berikut ini beberapa upaya mitigasi


dan adaptasi perubahan iklim di sekor pertanian:

A. Teknologi Mitigasi

Teknologi mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi


atau menekan adanya perubahan iklim. Bentuk kebijakan
teknologi mitigasi antara lain: penggunaan varietas rendah
emisi dan teknologi pengelolaan air dan lahan.

1. Penggunaan Varietas Rendah Emisi

Padi sawah merupakan salah satu sumber utama


emisi gas metana di sektor pertanian yaitu antara 20-100
Tg CH4/tahun. Petani Indonesia umumnya menanam padi
varietas IR64. Peningkatan pemahaman kepada petani
terhadap varietas padi rendah emisi harus dilakukan dan
kepastian jumlah pasokan benih serta harga benih yang
terjangkau harus diimplementasikan agar emisi gas metana
oleh tanaman padi semakin berkurang.

2. Aplikasi Teknologi Tanpa Olah Tanah

Aplikasi pengolahan tanah secara kering dapat menekan


emisi gas metana dari tanah dibandingkan dengan
pengolahan tanah basah. Hal tersebut karena perombakan

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 148


bahan organik berlangsung secara aerobik sehingga
karbon(C) terlepas dalam bentuk karbon dioksida(CO2) yang
lebih rendah tingkat pemanasannya dibandingkan CH4.
Tanah yang basah setelah kering dapat memacu emisi gas
CH4.

3. Teknologi Irigasi Berselang

Teknologi irigasi berselang (intermittent) dapat


mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan
air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang
(mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik
dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi
lahan kemudian dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi).

B. Teknologi Adaptasi

Teknologi adaptasi merupakan upaya penyesuaian


terhadap dampak perubahan iklim untuk mengurangi risiko
kegagalan produksi pertanian. Kebijakan teknologi adaptasi
antara lain: penyesuaian masa tanam melalui kalender
tanam, teknik tadah hujan, dan teknik irigasi.

1. Penyesuaian Masa Tanam dengan Kalender Tanam


(KATAM)

Penyesuaian masa tanam merupakan upaya yang


sangat strategis guna mengurangi dan menghindari dampak
perubahan iklim berupa pergeseran musim tanam dan
perubahan pola curah hujan. Kalender tanam dapat dibuat
atas kerjasama antara kementerian Pertanian dengan
instansi terkait cuaca dan iklim seperti Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Kalender tanam

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 149


dilengkapi dengan prediksi iklim untuk mengetahui kejadian
iklim masa yang akan datang sehingga perencanaan
tanam dapat disesuaikan dengan kondisi iklim yang terjadi.
Kalender tanam sangat penting bagi petani, sehingga
pemerintah dan instansi terkait harus mampu memberikan
pemahaman kepada petani mengenai penggunaan kalender
tanam tersebut.

2. Teknologi Tadah Hujan Dan Irigasi

Teknologi tadah hujan menjadi salah satu alternatif


pengelolaan air dengan menampung kelebihan air pada
musim hujan dan dimanfaatkan ketika musim kemarau untuk
irigasi. Pembangunan waduk atau parit sebagai penampung
kelebihan air hujan harus direncanakan dan direalisasikan
dengan baik sehingga ketika musim kemarau panjan, petani
memiliki cadangan air untuk mengairi tanamannya. Irigasi
merupakan upaya pemenuhan kebutuhan air pada kondisi
ketersediaan air yang terbatas dan meningkatkan nilai guna
air. Bentuk teknologi irigasi antara lain: irigasi kapiler, irigasi
bergilir, irigasi tetes, dan irigasi berselang.Beberapa contoh
kebijakan di atas harus dapat dipahami oleh pemangku
setiap kalangan masyarakat. Peranan pemerintah,
akademisi, penyuluh, petani serta setiap stakeholders sangat
dibutuhkan dalam rangka membangun pertanian Indonesia
yang berlandaskan pengetahuan mengenai tantangan
perubahan iklim.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 150


4.3 Penggunaan Windfloat Energy Sebagai
Teknologi Pembangkit Listrik Ramah
Lingkungan Dalam Upaya Mitigasi Iklim
Oleh: Maulida Solekhah

Upaya mitigasi iklim terus dilakukan dari tahun ke tahun,


namun hasil yang diperoleh dari beberapa regulasi yang
dibentuk oleh pemerintah tidak menunjukkan nilai yang
signifikan dalam menekan penyebab perubahan iklim.
Sampai saat ini PBB telah menuangkan tujuan dunia untuk
Penanganan perubahan iklim ke dalam SDGs (Sustainable
Development Goals). 17 tujuan dunia yang tertuang dalam
SDGs saling berkaitan erat. Hal yang perlu disorot lebih jauh
adalah tujuan terciptanya Energi bersih dan terjangkau dan
Penanganan perubahan iklim. Energi memainkan peranan
penting dalam pertumbuhan suatu negara, baik pertumbuhan
ekonomi, industri maupun pertumbuhan sumber daya
manusianya sendiri. Salah satu kunci pertumbuhan industri
modern adalah tersedianya pasokan listrik yang yang dapat
dijangkau oleh semua lapisan masyarakatnya. Saat ini
pembangkit listrik di indonesia didominasi oleh Pembangkit
listrik tenaga nuklir dan pembangkit listrik tenaga uap, meski
beberapa daerah sudah menerapkan pembangkit listrik
tenaga air dan tenaga surya namun hal itu tidak serta merta
membantu menjaga keseimbangan ekologi.

Pada tahun 2018, total produksi energi primer di Indonesia


yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara, dan energi
terbarukan mencapai 411,6 MTOE. Sebesar 64% atau 261,4
MTOE dari total produksi tersebut diekspor terutama batubara

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 151


dan LNG. Berkurangnya produksi energi fosil terutama minyak
bumi serta komitmen global dalam pengurangan emisi gas
rumah kaca, mendorong Pemerintah untuk meningkatkan
peran energi baru dan terbarukan secara terus menerus
sebagai bagian dalam menjaga ketahanan dan kemandirian
energi. Sesuai PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan
Energi Nasional, target bauran energi baru dan terbarukan
pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun
2050. Indonesia mempunyai potensi energi baru terbarukan
yang cukup besar untuk mencapai target bauran energi
angin sebesar 60,6 GW. Untuk kebutuhan energi pemerintah
menggunakan 3 analisis permodelan yaitu analisis
permintaan energi final, transformasi energi dan penyediaan
energi primer. Analisis permintaan energi final dilakukan
menggunakan asumsi pertumbuhan PDB, pertumbuhan
penduduk, juga mempertimbangkan kebijakan, Renstra
dan roadmap terkait pengembangan energi yang berlaku
saat ini. Demikian pula untuk analisis penyediaan energi
primer dilakukan dengan mempertimbangkan pemanfaatan
berbagai jenis sumber. Sedangkan analisis transformasi
energi dilakukan dengan mempertimbangkan RUPTL, RUEN
dan penurunan emisi(Outlook energi indonesia, 2019).

Salah satu Sumber Energi di Indonesia yang masih jarang


dilirik adalah energi angin. Potensi energi angin yang dimiliki
Indonesia diidentifikasi sekitar 978 MW(Notosudjono, 2018).
Perkembangan energi angin saat ini masih tergolong belum
optimal sehingga pemerintah dan golongan akademisi
perlu mengadakan kajian-kajian tentang pengembangan
sumber-sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui
demi mendukung program diversifikasi dan kebijakan energi

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 152


hijau nasional. Misalnya, untuk kasus energi angin, sampai
dengan tahun 2004, kapasitas terpasang dari pemanfaatan
tenaga angin hanya mencapai 0.5 MW dari 9.29 GW potensi
yang ada. (Outlook energi indonesia, 2016). Padahal kita
semua sadar bahwa Indonesia memiliki sumber angin tidak
terbatas dari angin laut hingga angin darat. Angin laut bisa
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber energi masa depan
yang ramah lingkungan serta tidak mengganggu jalannya
industri di Kawasan kota industri.

Windfloat Energi adalah turbin angin lepas pantai yang


dipasang pada struktur terapung yang memungkinkan turbin
menghasilkan listrik di kedalaman air di mana pondasi
turbin tetap berada di bawah permukaan laut. Ladang angin
terapung ini berpotensi meningkatkan kapasitas energi
yang tersedia untuk ladang angin lepas pantai, terutama di
negara-negara dengan perairan dangkal terbatas. Dengan
menempatkan ladang angin lebih jauh di lepas pantai juga
dapat mengurangi polusi visual, menyediakan akomodasi
yang lebih baik untuk jalur penangkapan ikan dan pengiriman,
dan menjangkau angin yang lebih kuat dan lebih konsisten.
Turbin angin terapung komersial sebagian besar berada
pada tahap awal pengembangan, dengan beberapa prototipe
turbin tunggal yang telah dipasang sejak 2007. Pada 2018,
satu-satunya ladang angin terapung yang beroperasi adalah
Hywind Scotland yang dikembangkan oleh Equinor ASA
pada Oktober 2017. Ladang angin ini memiliki 5 turbin
apung dengan kapasitas total 30 MW. Turbin angin terapung
berkapasitas besar pertama sebesar 2,3 megawatt adalah
Hywind dan mulai beroperasi di Laut Utara dekat Norwegia
pada bulan September 2009. Pada tahun 2010 kapal ini

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 153


selamat dari gelombang 11 meter tanpa kerusakan. Pada
2016, turbin tersebut telah menghasilkan 50 GWh dengan
faktor kapasitas keseluruhan 41%.

Pada bulan September 2011, Principle Power, didukung oleh


usaha EDP, Repsol, ASM dan Portugal memasang prototipe
skala penuh kedua di Portugal yang terhubung ke jaringan
dan diberi nama WF1. WF1 dilengkapi dengan turbin Vestas
2 MW dan menghasilkan lebih dari 17 GWh listrik selama 5
tahun ke depan. Unit ini dinonaktifkan pada tahun 2016 dan
kemudian digunakan kembali.

Dua tipe umum dari gambar 2 merupakan


desain yang direkayasa untuk
penahan struktur terapung
yaitu Sistem tambat tungkai
tegangan (tension-leg)
dan Sistem tambat
katener (catenary).
Pemasangan Windfloat
energi menggunakan
Standar desain IEC 61400
–3 yang mensyaratkan
bahwa analisis beban
didasarkan pada kondisi
eksternal spesifik lokasi
seperti angin, gelombang, dan
arus. Energy dapat menahan kondisi
cuaca ekstrim, seperti angin 112 km / jam.
Instalasi sumber energi ini perlu perhatian khusus agar tidak
membahayakan ekosistem bawah laut.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 154


STRUKTUR WINDFLOAT ENERGI

Windfloat energy memang belum terealisasi di Indonesia,


hal ini erat kaitannya dengan regulasi yang berlaku saat
ini juga minimnya pengetahuan tentang proyek tersebut.
Tantangan untuk realisasi sumber energi ini juga berputar
di alokasi dana karena sampai saat ini kementrian ESDM
belum merencanakan alokasi dana khusus untuk sumber
angin lepas pantai. Baru-baru ini sebuah riset dari ITB
mengungkapkan akan terjadi gempa di sejumlah daerah
pesisir pulau jawa. Hal ini membuat ketakutan tersendiri
bagi pemerintah untuk mengembangkan windfloat energi
mengingat sumber energi tersebut akan ditanam di laut
lepas. Namun ada beberapa alternatif lain agar penggunaan
windfloat energi ini dapat diterapkan di laut-laut Indonesia
antara lain dengan membuat komponen tambahan penahan
gelombang juga pemecah gelombang yang dipasang di
komponen dasar( jangkar dasar laut) pada alat windfloat
energy. Modifikasi lain seperti penstabil laju turbin juga
perlu ditambahkan agar turbin dapat berputar konstan dan

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 155


maksimal. Cara ini dapat meminimalisir resiko kerusakan
turbin juga ekosistem bawah laut.

------

Referensi

Hyman, Leonard S. 2010. Restructuring electricity policy and financial.


Energy Economics 32 : 751–757
Notosudjono D 2018 “Teknologi Energi Terbarukan” Bogor : UNPAK
PRESS
Pollitt, Michael G. 2019. The European Single Market in Electricity: An
Economic Assessment. Review of Industrial Organization
(2019) 55:63–87
Outlook Energi Indonesia 2016. Kementrian ESDM
Outlook Energi Indonesia 2019. Kementrian ESDM
https://www.edp.com/en/innovation/windfloat
www.offshorewind,biz
https://www.repsol.com/en/about-us/what-we-do/developing-renew-
able-energies/windfloat/index.cshtml
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Floating_wind_turbine

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 156


4.4 Solar Dryer sebagai langkah dalam
menghadapi Resiko Perubahan Iklim dan
Penguatan Sumber Pangan pada
Masyarakat Pedesaan
Oleh: Ika Bayu Kartikasari

Perubahan iklim adalah yang telah terjadi dari ribuan tahun


yang lalu. Namun dengan semakin pesatnya pertumbuhan
manusia yang menyebabkan peningkatan terjadinya GRK
yang dapat menyebabkan penipisan pada lapisan ozon.
Perubahan iklim pada kondisi pedesaan menyebabkan
terjadinya fenomena alam dan perkiraan musim yang tak
menentu. Sebuah desa di Maluku berhasil mengubah cara
hidup mereka untuk bertahan dari dampak perubahan iklim.
Pertanian di desa tersebut seringkali menanam sayuran dan
rempah-rempah yang pertumbuhannya sangat dipengaruhi
oleh perubahan iklim diantaranya perubahan pola hujan,
pengelolaan air, penggunaan lahan pola tanam serta varietas
tanaman.

Masyarakat Morela masih didominasi oleh lahan sawah dan


kebun memiliki permasalah perubahan iklim. Dampak yang
dialami antara lain bencana dan cuaca buruk seperti gempa
bumi, gelombang tinggi, air pasang, angin puting beliung,
banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, abrasi dan kekeringan.
Salah satu langkah yang bisa diambil dengan memanfaatkan
teknologi sederhana yang dapat membantu para petani untuk
dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Akan tetapi,
perlunya kesiapan pada SDM untuk memanfaatkan teknologi.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 157


MORELA, AMBON

Morela adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan


Leihitu berjarak kurang lebih 109 Km dari ibu kota Kabupaten
Maluku Tengah. Jumlah penduduk Morela sebanyak 3203
Jiwa atau 740 Kepala Keluarga (KK). Masyarakat Morela
banyak menggantungkan kehidupannya dengan bekerja
di sektor pertanian (sebagai petani pala, cengkeh, kakao,
kelapa, dan tanaman hortikultura), sektor kehutanan (rotan
dan damar), dan sektor perikanan (perikanan tangkap
dengan jenis ikan tuna, cakalang dan jenis/ikan karang
lainnya), serta sektor jasa dan perdagangan.

Peningkatkan ketangguhan Masyarakat Morela dalam


menghadapi Perubahan Iklim ditujukan agar masyarakat
khususnya pada sektor pertanian dapat meningkatkan
dan penguatan kapasitas hasil panen terhadap pengaruh
perubahan iklim dan cuaca Salah satunya dengan adanya
pengadaan teknologi paska panen yang tepat guna dan
ramah lingkungan, sebagai solusi alternatif guna mengatasi
dampak cuaca ekstrim (curah hujan yang tinggi) yang

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 158


berakibat pada penurunan kualitas hasil panen cengkeh dan
pala.

Langkah Perubahan
Bagaimana agar masyarakat dapat meningkatkan kesadaran
mereka menghadapi perubahan iklim? Sebelumnya,
diperlukan kajian secara mendalam tentang karakteristik
Desa Morela. Dengan kondisi iklim yang sering berubah dan
kerawanan bencana alam yang mengancam masyarakat
di sekitarnya. Masyarakat yang dikumpulkan meliputi
Lurah desa, tokoh-tokoh agama, ketua RT, dan tokoh-tokoh
masyarakat di masing-masing kelurahan. Masyarakat
melakukan diskusi terbuka dengan menerima masukan
masyarakat dan kendala yang dihadapi kemudian dilakukan
perumusan program yang akan disetujui oleh seluruh anggota
diskusi dan kemudian dilaksanakan. Dapat disimpulkan
bahwa perlu adanya peningkatan teknologi sebagai solusi
alternatif mengatasi dampak cuaca eksterim tersebut.
Proses Pelaksanaan Kegiatan
Studi Literatur
Pengumpulan data

Pengamatan Lapangan

Hasil Diskusi Masyarakat

Pengaplikasian Program

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 159


Pengadaan teknologi paska panen yang
tepat guna dan ramah lingkungan.

Pengadaan teknologi Paska Panen digunakan untuk


mempercepat proses pengeringan hasil panen masyarakat
yang digunakan untuk menghindari musim penghujan
yang dapat menghambat dan mengurangi kerugian dari
hasil panen. Prinsip kerja alat pengering ini sama halnya
dengan cara konvensional para petani lakukan, yaitu dengan
memanfaatkan energi sinar matahari. Alat ini memanfaatkan
energi radiasi matahari yang memantul ke plastik ultra
violet. Karena adanya sistem tertutup maka mempercepat
pengeringan. Proses aliran panas akan terus berlangsung
sampai hasil panen pun kering.

SOLAR DRYER SEBELUM MENGGUNAKAN PLASTIK UV

Kegiatan tersebut bergerak dengan kerjasama antara


pemerintah, kelompok tani dan kelompok usaha perempuan
penghasil makanan olahan berbahan dasar sagu dan kasbi
(singkong) melalui penyediaan pengering bertenaga surya

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 160


(solar dryer). Kegiatan ini juga merupakan bagian dari
rencana aksi masyarakat untuk mengurangi dampak negatif
akibat cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, sekaligus
melestarikan pangan lokal.

DISKUSI BERSAMA KELOMPOK USAHA PEREMPUAN

Sebelum adanya Solar Dryer masyarakat biasanya menjemur


hasil panen di atas genting. Potensi yang dapat sering
terjadi ketika lupa mengangkat ketika masuk musim hujan
sehingga menjadi lembab atau debu yang menempel. Sagu
merupakan makanan asli Maluku sangat popular. Bahan
dasar sagu biasanya disajikan di banyak restoran dan diolah
menjadi papeda. Selain itu, olahan lainnya yang banyak
digemari menjadi sagu gula, sagu bakar, atau tepung sagu
yang dijadikan bahan dasar makanan lainnya.

Sagu menjadi pakan pokok pengganti nasi dan menjadi


komoditas hasil hutan bukan kayu yang memegang peran
penting dalam mendukung diversifikasi pangan. Sebagai
penghasil karbohidrat yang cukup tinggi, sagu memiliki
354 kalori dalam 100 gram. Bukan hanya batang yang

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 161


dimanfaatkan menjadi olahan, daun erring juga digunakan
sebagai bahan bangunan (daunnya dijadikan atap rumah).

Selain sagu, makanan khas Maluku lainnya adalah kasbi


atau singkong. Kasbi dikonsumsi dengan cara direbus,
dijadikan bahan dasar sagu putih, maupun diolah menjadi
kerupuk. Dengan peningkatan teknologi yang diberikan akan
meningkatkan kebutuhan lahan untuk kebutuhan kebun sagu
sehingga menjadi bahan pertimbangan masyarakat ketika
mulai membangun bangunan dan tanaman sagu sebagai
langkah untuk meminimalisir potensi perubahan iklim.

Keuntungan Teknologi Paska Panen


Bagi kelompok perempuan ini, usaha kerupuk kasbi sangat
menguntungkan, bahkan mencapai dua kali lipat dibanding
produk olahan kasbi lainnya. Dengan adanya teknologi
paska panen tentunya akan mempercepat pengeringan
dan peningkatan kapasitas pengeringan sagu. Hasil olahan
berupa Kerupuk kasbi dapat menjangkau konsumen lebih
banyak dan luas dengan keuntungan berkali-kali lipat.

Namun karena pembuatan kerupuk kasbi harus melalui


proses pengeringan, maka biasanya kelompok sangat
bergantung kepada kondisi cuaca. Saat musim panas,
pengeringan kerupuk tidak menjadi masalah, namun ketika
musim hujan, kelompok harus mengeringkan menggunakan
oven, sehingga memerlukan biaya tambahan. Berdasarkan
kajian risiko bencana, cuaca ekstrem yang semakin sering
terjadi turut mengancam sektor ekonomi, khususnya bagi
kelompok perempuan pembuat pangan olahan sagu dan
kasbi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengeringan

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 162


yang ramah lingkungan (solar dryer) turut menjadi prioritas
rencana aksi masyarakat, sebagai upaya adaptasi terhadap
cuaca dan musim yang tidak menentu.

Solar dryer menggunakan plastik ultra violet yang dapat


memerangkap sinar matahari. Dengan solar dryer,
pengeringan akan lebih cepat dan merata. Dari pelatihan
tersebut, para peserta sangat senang karena dengan solar
dryer mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli
minyak tanah untuk oven. Selain itu, sagu dan kasbi yang
dijemur lebih bersih, dan mereka tidak perlu repot memindah-
mindahkan jika tiba-tiba turun hujan. Dari pelatihan ini
bahkan kelompok perempuan berencana membuat solar
dryer berbentuk seperti oven, sehingga dapat mengeringkan
lebih banyak lagi.

Dari pendampingan tersebut masyarakat Desa Morela


dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat menghadapi
perubahan iklim. Masyarakat juga dapat meningkatkan
perekonomian dengan adanya peningkatan solar Dryer
yang digunakan untuk mempercepat proses pengeringan.
Para Petani tidak perlu repot-repot kembali memindahkan
hasil panen ke tempat lain karena adanya teknologi ini
dapat mempercepat pengeringan dan terlindung dari hujan.
Harapan dari adanya teknologi ini adalah masyarakat
khususnya petani dapat mempertimbangkan kembali untuk
kesediaan lahan pertanian dan menanam bibit sagu yang
dapat menguntungkan dari segi ekonomi dan dapat sebagai
tutupan lahan untuk memperlambat proses perubahan iklim
dapat terjadi.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 163


4.5 Teknologi Dalam Upaya Hidup Ramah
Lingkungan
Oleh: Ajeng Puspa Arimbi

Menurut data KLHK, jumlah timbulan sampah di Indonesia


secara nasional sebesar 175.000 ton per hari atau setara
64 juta ton per tahun. Sampah-sampah tersebut terdiri atas
50% sampah organik (sisa makanan dan sisa tumbuhan),
15% plastik, dan 10% kertas. Sisanya terdiri dari logam, karet,
kain, kaca, dan lain-lain (http://ppid.menlhk.go.id). Sampah-
sampah ini tertimbun kian banyak dan diperparah dengan
kenyataan bahwa lahan untuk menampung sampah semakin
sempit. Jika dilihat dari profil pengelolaan sampah nasional,
36% sumber sampah yang utama dihasilkan dari rumah
tangga (http://ppid.menlhk.go.id). Hal ini berarti, tiap orang
yang tinggal di rumahnya masing-masing punya andil besar
atas timbunan sampah yang ada di TPS. Karena itu, upaya
bersama untuk mengatasi masalah sampah harus segera
dilakukan, salah satunya adalah dengan menerapkan gaya
hidup ramah lingkungan. Menurut Kardono (2010), ramah
lingkungan artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada
lingkungan sebagai tempat tinggal manusia.

Ternyata upaya hidup ramah lingkungan kini terbantu oleh


kemajuan teknologi, Teknologi sendiri adalah semua hal
yang diciptakan secara sengaja oleh manusia melalui akal
serta pengetahuannya untuk memberikan kemudahan dalam
kehidupan sehari-hari (Porter, 1992). Menurut Ofani (2015)
teknologi sebagai alat yang digunakan oleh individu untuk
membantu menyelesaikan tugas-tugas mereka. Sedangkan
teknologi ramah lingkungan yaitu teknologi yang diciptakan

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 164


untuk mempermudah kehidupan manusia namun tidak
mengakibatkan kerusakan atau memberikan dampak negatif
pada lingkungan di sekelilingnya (https://media.neliti.com).
Teknologi ramah lingkungan ini membantu pengumpulan
sampah terpilah, transaksi penjualan produk-produk
ramah lingkungan hingga mempermudah meminimalisir
penggunaan benda sekali pakai. Salah satu teknologi
sederhana yang membantu keseharian ramah lingkungan
adalah adanya setruk elektronik. Dengan teknologi ini, setruk
kertas yang dihasilkan tiap kali transaksi dapat tergantikan
dengan setruk berbentuk file yang dapat langsung dikirim ke
gawai masing-masing orang yang melakukan transaksi. Hal
ini tentu saja berdampak pada minimalisir penggunaan kertas
sebagai bahan baku setruk kertas, dan upaya minimalisir
dihasilkannya sampah struk sekali pakai.

Dunia literasi juga kini terbantu oleh teknologi, penggunaan


kertas untuk mencetak buku-buku dapat digantikan
dengan buku elektronik. Bisa dalam bentuk ebook, emodul,
emagazine dan lain sebagainya. Kertas dapat diminimalisir
penggunaannya, sehingga tidak lebih banyak lagi pohon
yang ditebang untuk mencetak satu, dua atau lebih buku.
Di Indonesia sendiri berdasarkan data Kementerian
Perindustrian, besarnya kapasitas industri pulp (serat dari
bahan kayu) 8,6 juta ton di tahun 2011 akan menjadi 20,4 juta
ton di tahun 2020 serta kapasitas industri kertas sebanyak
12,8 juta ton di tahun 2011 bisa mencapai 19,8 juta ton di tahun
2020, kita bisa melihat berapa banyak kayu yang digunakan
dan kertas yang dihasilkan. Konsumsi kertas nasional sendiri
telah meningkat dari tahun 2009 konsumsi kertas sebesar
25 kg per kapita. Di tahun 2015 perkiraan konsumsi kertas

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 165


akan mencapai 36 kg sampai 40 kg per kapita. Penebangan
hutan yang semakin banyak, mengakibatkan dampak buruk
bagi kelestarian sumber daya hutan serta makhluk hidup
lainnya di bumi ini. Walaupun industri pulp menggunakan
hutan tanaman industri, proses yang dilakukan, tetap
merusak lingkungan. Karena untuk membuat 1 ton kertas,
membutuhkan 20 pohon dewasa, lebih dari 90.000 liter air,
lebih dari 1.2 ton batubara dan berbagai bahan kimia lain
yang dapat mencemarkan lingkungan kita. 1 batang pohon
saja dapat memiliki arti yang besar untuk kehidupan, karena
pohon dapat menyerap karbondioksida yang kemudian akan
digunakan untuk menghasilkan oksigen yang dibutuhkan
makhluk hidup atau oksigen untuk 3 orang bernapas. 1
batang pohon juga dapat memberikan kontribusi untuk
penyerapan air yang bisa 2 mencegah terjadinya bencana
alam. Sehingga penebangan pohon untuk produksi pulp dan
kertas akan menjadi masalah berkelanjutan secara ekologis
(http://library.binus.ac.id). Dengan adanya teknologi, segala
jenis dokumen berbahan kertas juga dapat tergantikan oleh
keberadaan gawai. FAO menyebut, sejak 2006 hingga 2016
rata-rata konsumsi kertas cetak dunia turun 4,6 persen,
sedangkan konsumsi kertas untuk kebutuhan tulis-menulis
secara rata-rata turun 1,3 persen (kompas.com).

Selain struk dan buku elektronik, upaya hidup ramah


lingkungan juga dibantu dengan beberapa aplikasi yang
membantu orang-orang untuk mendistribusikan sampah
terpilahnya. Menurut data, total timbulan sampah yang ada
di TPA, yang didaur ulang diperkirakan baru 10-15% saja, 60-
70% ditimbun, dan 15-30% belum terkelola dan terbuang ke
lingkungan, terutama ke lingkungan perairan seperti sungai,

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 166


danau, pantai, dan laut. Persoalan lainnya timbul karena
tercampurnya sampah organik dan sampah anorganik
sehingga menimbulkan kesulitan baru untuk mengelolanya.
Karena itu, upaya pilah sampah akhirnya dapat terbantu oleh
sektor teknologi seperti aplikasi mall sampah, rapel id dan
beberapa aplikasi lain yang sangat membantu masyarakat
yang sudah memilah sampah sekaligus menghasilkan pundi-
pundi rupiah dari upaya tersebut. Contohnya aplikasi rapel
di Yogyakarta yang pernah saya coba, setelah mengunggah
gambar sampah terpilah dan deskripsinya ke dalam aplikasi,
saya tinggal menunggu penjemput sampah datang ke lokasi
saya. Saat dijemput itulah, transaksi penjualan sampah
terpilah terjadi, tanpa saya perlu repot membawa sampah
kemana-mana. Sangat mudah dan efisien bukan?.

Selain aplikasi-aplikasi diatas, upaya pemilahan sampah


juga didukung oleh keberadaan bank sampah. Karena itu,
inovasi seperti website zerowaste.id membantu orang-orang
untuk menemukan bank sampah disekitar mereka. Selain
website zerowaste.id, ada juga sustainmaps dari website
sustaination.id yang membantu menemukan bank sampah,
dropbox sampah elektronik, hingga dropbox jelantah
di daerah Jabodetabek. Beberapa teknologi lain yang
membantu gaya hidup ramah lingkungan lainnya seperti
aplikasi refill my bottle yang membantu orang-orang untuk
mengetahui letak stasiun pengisian air minum. Aplikasi ini
membantu meminimalisir penggunaan air minum dalam
kemasan (AMDK) sekali pakai, dan memaksimalkan potensi
untuk mengisi ulang botol berulang kali pakai dengan air
minum. Beberapa daftar teknologi lagi yang mendukung
upaya hidup ramah lingkungan antara lain :

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 167


No. Nama Teknologi Jasa yang Diberikan
1 Rapel Aplikasi yang menghubungkan pengumpul
dan pemilah sampah di Yogyakarta.

h t t p s : // p l a y. g o o g l e . c o m / s t o r e / a p p s /
details?id=sg.com.jetdigital.werider.app&hl=in
2 Mall Sampah Aplikasi yang menghubungkan pengumpul
dan pemilah sampah di Makassar.

h t t p s : // p l a y. g o o g l e . c o m / s t o r e / a p p s /
d e t a i l s ? i d = m a l l s a m p a h . c o m . d e v.
mallsampah&hl=in
3 Zerowaste.id Website yang memberikan informasi
mengenai bank sampah disekitar tempat
tinggal. Zerowaste.id juga menjual produk-
produk ramah lingkungan.https://zerowaste.id/
4 Sustaination Website yang memberikan informasi
mengenai bank sampah, dropbox sampah
elektronik dan jelantah didaerah Jabodetabek
Sustaination juga menjual produk-produk
ramah lingkungan. https://sustaination.id/
5 Refill My Bottle Aplikasi yang memberikan informasi mengenai
tempat untuk mengisi ulang botol air minum.

h t t p s : // p l a y. g o o g l e . c o m / s t o r e / a p p s /
details?id=com.codelabs.refillmybottle
6 Gringgo Aplikasi yang menyediakan jasa penjemputan
sampah. https://www.gringgo.co/
7 Angkuts Aplikasi yang menyediakan jasa penjemputan
sampah untuk dibawa ke tempat pengelolaan
sampah. https://www.gringgo.co/
8 Waste4Change Layanan pengumpulan sampah kemasan
dimana konsumen secara sukarela dapat
menaruh sampah di lokasi titik Drop Box
Waste4change terdekat untuk mendukung
upaya kolaborasi peningkatan daur ulang
sampah yang diinisiasi oleh sektor industri
dan pengelola sampah. https://waste4change.
com/official/

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 168


Inovasi teknologi seperti ini harus terus didukung agar upaya
hidup ramah lingkungan dapat terus dilakukan oleh seluruh
lapisan mas yarakat. Tetapi juga perlu diingat, keberadaan
dan kemampuan teknologi ini tak dapat maksimal jika
masyarakat belum mau dan mampu menggunakannya.
Saling timbal balik antara masyarakat dan teknologi dapat
terus dilakukan untuk memaksimalkan hidup yang lebih
ramah lingkungan.

------

Referensi

http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2100#:~:text=Data%20
KLHK%20menunjukkan%20jumlah%20timbulan,%2C%20dan%20
kertas%20sebesar%2010%25.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab1/2012-2-01907-DS%20
Bab1001.pdf
https://edukasi.kompas.com/read/2019/08/22/16401711/
peduli-lingkungan-yuk-mulai-kurangi-penggunaan-kertas
https://media.neliti.com/media/publications/254704-pengaruh-teknolo-
gi-ramah-lingkungan-dan-8ef4c076.pdf

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 169


4.6 Gung Kayon dan Inovasi Iklim dari Rumah
Oleh: Candra Septian

Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer bisa muncul


dari aktivitas kita di rumah. Sebagian besar aktivitas kita di
rumah sangat bergantung terhadap listrik untuk kebutuhan
penerangan, hiburan, hingga peralatan rumah tangga lainnya.
Semua aktivitas yang menghabiskan daya listrik di rumah
seperti menonton televisi, menyalakan lampu dan pendingin
ruangan akan berdampak pada jejak karbon kita. Semakin
banyak energi yang kita gunakan, semakin banyak emisi
yang kita hasilkan.

Lantas, pernahkah Anda berpikir bahwa Anda bisa menerangi


seisi rumah, mengisi daya ponsel, menonton televisi, dan
menggunakan pendingin ruangan dengan memanfaatkan
energi dari sinar matahari yang ramah lingkungan?

GUNG KAYON BERSAMA ANJING KESAYANGANNYA

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 170


Di Kabupaten Tabanan, Bali, ada tokoh inspiratif bernama
Gung Kayon. Ia adalah seorang praktisi energi bersih yang
telah memasang belasan panel surya untuk memenuhi
kebutuhan listrik rumahnya.

I Gusti Ngurah Agung Putradhyana atau akrab disapa


Gung Kayon memanfaatkan listrik dari panel surya untuk
penerangan, mengisi daya ponsel, menggiling padi, dan
memotong rumput. Ia mengaku bahwa instalasi panel surya
miliknya hampir memenuhi seluruh kebutuhan listrik sehari-
hari.

Pada Agustus 2019 lalu, saya beruntung bisa belajar dan


berdiskusi mengenai panel surya dengan I Gusti Ngurah
Agung Putradhyana. Saat berbincang di teras rumahnya, Gung
Kayon mengaku bahwa pilihan konsumsinya berpengaruh
pada isu krisis iklim. Oleh karena itu, ia berinovasi dengan
panel surya untuk melepaskan ketergantungan listrik
yang bersumber pada energi fosil, yang pembakarannya
mempercepat laju krisis iklim.

Menurutnya, inovasi panel surya layak digunakan mengingat


Indonesia berada di garis khatulistiwa yang kaya akan sinar
matahari sepanjang tahun. Hal ini diperkuat oleh laporan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa
potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 207,8 GW.[1]

Selain tentunya ramah lingkungan, inovasi Gung Kayon juga


menghasilkan keuntungan ekonomi. Listrik yang dihasilkan
oleh sinar matahari mampu mengurangi ketergantungan
listrik PLN. Untuk setiap bulannya, Gung Kayon mengaku
hanya mengeluarkan Rp. 20.000 per bulan. “Karena kadung

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 171


berlangganan,” ucapnya.

Ia juga mengaku bahwa biaya pemasangan panel surya di


awal akan terasa murah dibandingkan besarnya manfaat di
masa depan: perawatan yang mudah, bisa bertahan sampai
25 tahun, hingga menghemat tagihan listrik bulanan.

PANEL SURYA GUNG KAYON

Dalam upaya mendorong inovasi ini, Gung Kayon juga


mengajak warga desanya untuk memanfaatkan panel surya.
Sewaktu saya berkunjung, Gung Kayon menjelaskan bahwa
beberapa lokasi di sekitar desanya sudah memasang panel
surya seperti Balai Banjar, Pura, dan tempat pemandian atau
Beji.

Apa yang dilakukan oleh Gung Kayon mampu menciptakan


harapan di tengah ancaman krisis iklim. Bahkan, inovasinya
berhasil membuat Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) menganugerahkan penghargaan Energi

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 172


Prakarsa Perorangan kepada Gung Kayon.

Menjawab Tantangan Krisis Iklim.


Rumah tangga di Indonesia masih bergantung pada listrik
yang dihasilkan oleh energi kotor seperti batu bara. Meskipun
masih ada 1,8 juta rumah tangga yang belum teraliri listrik,
pengguna terbesar energi nasional pada 2018 adalah
rumah tangga yang mencapai 42 persen, lebih tinggi dari
konsumsi untuk industri yang hanya mencapai 33 persen.[2]
Oleh karena itu, mengurangi jejak karbon dari rumah punya
dampak signifikan untuk menahan laju krisis iklim.

Inovasi Gung Kayon menjadi jawaban atas tantangan krisis


iklim sekaligus simbol kemandirian energi di Indonesia.
Hubungan antara aktivitas manusia dan energi, seharusnya
membuat kita berpikir untuk memproduksi listrik yang murah
dan ramah lingkungan.

Gung Kayon membuktikan bahwa energi surya mampu


diakses masyarakat dalam skala kecil. Pemanfaatan
panel surya sebagai sumber listrik masih sangat terbatas.
Pengguna panel surya atap hingga Januari 2019 lalu hanya
sekitar 609 pelanggan PLN.[3] Selain itu, rumah tangga yang
menggunakan panel surya umumnya berasal dari kalangan
menengah ke atas yang sadar atas pilihan konsumsinya.
Mereka memanfaatkan energi surya dengan berbagai alasan
seperti mengurangi jejak karbon, menerapkan gaya hidup
ramah lingkungan hingga mengurangi tagihan listrik.

Pemerintah harus mendorong upaya mitigasi yang berbasis

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 173


komunitas masyarakat serta menjamin keterjangkauan
energi bersih. Pemerintah memegang peran kunci dalam
mendorong inovasi ini. Misalnya, dengan memberikan
insentif berupa subsidi harga panel surya dan skema
pendanaan dalam bentuk cicilan untuk skala rumah tangga
melalui bank.

Saat ini adalah momentum yang tepat untuk beralih dari


energi yang kotor menuju energi bersih yang murah dan
mudah diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Setiap
orang bertanggung jawab terhadap emisi yang berasal
dari konsumsi energi. Jika perubahan gaya hidup yang
berkelanjutan seperti Gung Kayon bertemu dengan kebijakan
iklim pemerintah, kita punya peluang untuk mempertahankan
laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius dan
mewariskan bumi yang sehat bagi generasi mendatang.

Referensi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “Akselerasi


Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Di Indonesia
untuk Mencapai 6,5 GW pada Tahun 2025.” Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, 2019, http://iesr.or.id/wp-content/
uploads/2019/10/2019-10-10-Bahan-Paparan-Akselerasi-PLTS-
Mencapai-65-GW-pada-2025-IESR.pdf. Accessed 9 10 2020.
Prakasa, Kaka, and Ayu Andini. “Rumah Tangga Libas Industri Soal
Konsumsi Listrik.” Lokadata, 25 06 2020, https://lokadata.id/artikel/
rumah-tangga-libas-industri-soal-konsumsi-listrik. Accessed 9 10
2020.
Kontan.co.id. “Hingga Januari 2019 ada 609 pelanggan PLN yang me-
makai PLTS Atap.” Kontan.co.id, 19 02 2020, https://industri.kontan.
co.id/news/hingga-januari-2019-ada-609-pelanggan-pln-yang-me-
makai-plts-atap. Accessed 09 10 2020.

Teknologi dan Inovasi Ramah Iklim | 174


Didirikan pada tahun 1958 oleh Presiden pertama Republik
Federal Jerman, Theodore-Heuss. Ia, menamakan
lembaga ini sesuai dengan nama pemikir Jerman,
Friedrich-Naumann (1860-1919) yang memperkenalkan
pendidikan kewarganegaraan di Jerman untuk
mewujudkan warga yang sadar dan terdidik secara politik.

FNF mengawali kegiatannya di Indonesia pada tahun 1969


dan memulai kerjasama resminya dengan Pemerintah
Indonesia sejak 26 April 1971. FNF membagi pengetahuan
dan nasehat kepada politisi, pembuat keputusan,
masyarakat sipil dan masyarakat secara umum. Lembaga
ini bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah,
organisasi masyarakat dan institusi-instistusi pendidikan
untuk berbagi pengetahuan dan membantu menciptakan
perubahan yang positif dan damai pada masyarakat di
negara-negara itu.

ISBN 978-979-1157-36-0

9 789791 157360

Anda mungkin juga menyukai