Makalah Penggunaan Kosmetika Halal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

INTEGRASI KEISLAMAN TERKAIT PENGGUNAAN KOSMETIKA HALAL

BLOK KOMUNITAS

Disusun oleh:

Citra Pramuningtyas Sanjaya (20190320085)


Ayun Pranandari (20190320086)
Sinta Elviani (20190320087)
Senja Regena Utami (20190320088)
Erin Nur Sa’ban (20190320089)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021

1|Page
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
Tugas Kelompok untuk memenuhi tugas blok Keperawatan Komunitas. Dalam penulisan karya
tulis ini penulis membahas tentang “Integrasi Keislaman terkait Penggunaan Kosmetika Halal”.

Dengan menyelesaikan karya tulis ini, tidak jarang kami menemui kesulitan. Namun
kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun
untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik
lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Yogyakarta, 2 September 2021

2|Page
DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................................1

Kata Pengantar.....................................................................................................................2

Daftar Isi..............................................................................................................................3

BAB I

Latar Belakang.......................................................................................................4

Pengertian Kosmetik halal.....................................................................................6

Manfaat Kosmetik Halal........................................................................................7

Perilaku Pembelian Kosmetik Berlabel Halal.......................................................8

BAB II

Penggunaan Kosmetik Dalam Perspektif Islam......................................................9

BAB III

Kesimpulan..............................................................................................................12

Daftar Pustaka......................................................................................................................13

3|Page
BAB I

A. Latar belakang

Pertumbuhan penduduk Muslim dunia dan peningkatan pendapatan di negara-negara


mayoritas Muslim yang menunjukkan tren positif telah membawa peningkatan yang signifikan
terhadap permintaan produk halal secara global. Jika sebelumnya pasar produk halal dianggap
terbatas dan kurang menguntungkan, saat ini produk halal telah mampu menjadi primadona yang
digunakan beberapa negara untuk meningkatkan devisa. Dengan potensi pasar yang diperkirakan
mencapai $2,7 triliun secara global (World Halal Forum, 2013) dan permintaan yang tidak hanya
datang dari konsumen Muslim, tampaknya menjadi motivasi bagi sejumlah negara seperti
Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Jepang berlomba menjadi pusat produk halal atau Halal Hub
(Global Pathfinder Report, 2011). Seperti dikutip dari Webb (2014), beberapa perusahaan asing
seperti Tesco dan Sainsbury’s bahkan membuat lorong khusus yang menjual produk makanan
halal. Permintaan produk halal ini pun tidak hanya untuk produk makanan saja namun telah
meluas ke kategori produk lain seperti kosmetik, farmasi, jasa keuangan, dan pariwisata.

Bagi umat Muslim mengkonsumsi produk halal merupakan sebuah kewajiban. Kata “halal”
berasal dari bahasa Arab yang artinya diperbolehkan atau sesuai hukum Islam (Issa, Z., 2009;
Borzooei dan Maryam, 2013). Lawan kata dari halal ini adalah haram yang berarti dilarang atau
tidak diperbolehkan. Halal dan haram tidak hanya berhubungan dengan kegiatan konsumsi
namun terkait dengan seluruh kegiatan yang dilakukan manusia seperti kegiatan berdagang yang
harus bersih dari unsur riba dan perbuatan curang. Hukum mengenai kehalalan suatu hal
mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, seperti pada Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168. “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu” (QS. 2:168)

Sebagai negara dengan lebih dari 200 juta (80,2%) penduduk menganut agama Islam dapat
dikatakan Indonesia adalah pasar yang potensial bagi produk halal. Bagi konsumen (Muslim)
Indonesia, status kehalalan produk merupakan isu yang sensitif karena berhubungan dengan
kehidupan spiritual dimana konsumen meyakini bahwa perbuatan melanggar aturan agama

4|Page
seperti mengkonsumsi produk yang tidak halal akan membawa konsekuensi tidak hanya di
kehidupan sekarang namun juga di kehidupan lain (akhirat). Perusahaan besar sekalipun dalam
tempo singkat bisa kehilangan pasar ketika produk yang ditawarkan diduga mengandung zat
yang tidak halal. Sucipto (2009) mengatakan bahwa kelompok sadar halal di Indonesia semakin
besar dan pemerintah sedang mempersiapkan undang-undang mengenai jaminan halal. Adanya
perkembangan informasi dan teknologi yang begitu pesat akan semakin meningkatkan kesadaran
konsumen (consumer awareness) terhadap produk halal (Lada, 2009). Hal ini berarti masalah
“halal” nantinya tidak hanya isu religi saja namun bisa menjadi isu nasional yang serius.

Ketika berbicara mengenai kehalalan suatu produk tidak bisa terlepas dari konsep thoyyib.
Jika halal mengacu pada hukum boleh atau tidaknya suatu produk dikonsumsi, thoyyib lebih
menekankan pada aspek kualitas produk seperti kandungan gizi, kebersihan dan keamanan
produk, kesehatan, keterjangkauan harga, serta manfaat lainnya. Konsep thoyyib pada produk
halal mensyaratkan produsen produk halal memproduksi produk yang benar-benar berkualitas
dan bermanfaat. Aspek thoyyib ini pula dapat dikatakan sebagai keunggulan daya saing untuk
produk-produk halal. Rezai et all (2012) dan Rahim et al (2013) dalam mengatakan bahwa
konsumen produk halal tidak hanya berasal dari kalangan Muslim namun juga dari konsumen
non Muslim di Malaysia yang menikmati keunggulan rumah makan yang sudah bersertifikat
halal sebagai rumah makan yang menyajikan produk yang bersih dan berkualitas.

Namun demikian, jika dicermati dari fenomena produk halal yang terjadi belakangan ini,
produsen produk halal global masih cenderung “bermain aman” dengan memilih pasar makanan
seperti daging, susu, dan produk olahan hewan lainnya. Hal ini sangat wajar mengingat makanan
merupakan kebutuhan dasar manusia, di samping kesadaran konsumen (consumer awareness)
terhadap kehalalan produk non makanan juga masih rendah. Akibatnya, tingkat persaingan
semakin ketat sehingga hambatan untuk masuk bagi pemain baru semakin besar dan tingkat
margin yang ditawarkan semakin tipis. Para produsen tidak hanya bersaing dengan produk lokal
namun juga produk import. Persaingan yang begitu ketat ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika
produsen bisa menemukan area lain di pasar produk halal yang masih memiliki peluang besar
seperti produk farmasi dan kosmetik. Di Indonesia sendiri untuk produk kosmetik, baru 41
merek kosmetik yang sudah memiliki sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

5|Page
B. Definisi Kosmetik Halal

Definisi kosmetik berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI


No.1176/MenKes/Per/VIII/2010 adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar)
atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan
dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik. Kosmetik juga merupakan suatu bahan yang digunakan pada tubuh manusia
sebagai pembersih (cleansing), mempercantik (beautifying), penambah daya tarik (promoting
attractiveness), atau pengubah penampilan (altering appearance) tanpa berakibat pada struktur
atau fungsi tubuh. Selain itu, Kosmetik merupakan sebuah bahan yang digunakan pada area
wajah untuk menutupi kekurangan pada kulit, sehingga hasilnya wajah akan terlihat lebih
menarik dan para perempuan akan lebih percaya diri.

Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang artinya diperbolehkan atau sesuai hukum Islam
(Issa, Z., 2009; Borzooei dan Maryam, 2013). Ada beberapa alasan untuk berfokus pada kata
“halal” sebagai aspek branding. Pertama, halal mampu menjadi indikasi bahwa produk tersebut
murni dan sehat. Kedua, membantu produsen kosmetik untuk menembus pasar baru dengan
menambahkan nilai produk dalam lingkungan yang kompetitif. Terakhir, konsumen yang
beragama Islam tidak dapat mengakses produk halal dimana saja seperti di pasar tetapi hanya di
beberapa outlet (Baroozei dan Asgari, 2013 ).

Kosmetik halal di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan


konsumen Muslim sehingga memberikan rasa tenang dan aman dalam menggunakan kosmetik,
namun saat ini permintaan kosmetik halal juga datang dari konsumen non Muslim yang melihat
produk halal sebagai produk yang aman. Alasan penting menggunakan produk kosmetik halal,
terutama untuk perempuan muslim ialah agar ibadahnya sah. Ibadahnya dapat sah diterima
ketika menggunakan kosmetik halal. Hal ini dikarenakan kosmetik halal tidak ada kandungan
najis di dalamnya.

6|Page
C. Manfaat Kosmetik Halal

1. Manfaat universal
Produk skincare yang halal memiliki manfaat yang universal, jika suatu produk telah mendapat
sertifikasi halal, artinya telah lolos uji dari BPOM dan MUI, yang tahapan pengujiannya lebih
banyak dan hasilnya bisa dipastikan aman bagi kesehatan.

2. Aman dipakai dalam jangka waktu panjang


Skincare atau kosmetik adalah produk yang biasanya dipakai dalam jangka waktu yang panjang,
artinya keamanan dari produk yang akan kita pakai dalam jangka panjang tersebut harus benar-
benar terjamin. Label halal bisa menjadi jaminan keamanan atas kandungan dalam produk,
seperti mengandung bahan alami, tidak mengandung bahan berbahaya, dan tidak mengandung
bahan nonhalal sehingga aman digunakan untuk jangka panjang.

3. Tidak mengandung bahan berbahaya


Dampak penggunaan suatu produk yang mengandung bahan berbahaya atau tanpa label halal
terbukti dapat memicu autisme pada anak. Hal ini mungkin berlaku bagi ibu hamil, tapi bukan
berarti proses tersebut dapat terjadi saat sedang hamil saja, bahkan mungkin dampak negatif ini
bisa berlangsung sejak lama yakni sejak pemakaian pertama produk non halal.

4. Potensi bahaya minim


Kosmetik atau skincare adalah salah satu produk yang bereaksi langsung dengan tubuh baik
melalui pemakain luar maupun pemakaian dari dalam melalui obat-obatan, karena itu potensi
bahayanya perlu ditekan dengan menentukan halal atau tidaknya produk tersebut.

5. Memperhatikan bahan berasal dari binatang


Ada banyak kosmetik atau skincare yang mungkin menggunakan bahan-bahan baku yang
berbahaya, salah satunya yang berasal dari binatang. Sedangkan produk halal memperhatikan
proses penyembelihan binatang yang harus dilakukan secara islam

7|Page
D. Perilaku Pembelian Kosmetik Berlabel Halal
● Sikap (Attitude)
Seseorang akan cenderung memiliki “niat” lebih untuk melakukan sesuatu jika kegiatan
tersebut adalah hal yang disukainya. Ketika konsumen merasa senang atau suka membeli
kosmetik halal maka konsumen akan cenderung memiliki niat untuk membeli kosmetik halal lagi
di masa depan.
● Norma Subjektif (Subjective Norms)
Norma subjektif ini adalah persepsi individu atas orang-orang yang penting bagi dirinya
terhadap suatu objek. Jika sikap didorong dari hasil evaluasi diri sendiri, lain halnya dengan
norma subjektif yang berasal dari pengaruh luar (normative belief). Hal ini membuat perspektif
sosial ataupun organisasi sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang konsumen
Muslim. Semakin banyak orang yang penting bagi dirinya menganjurkan untuk membeli
kosmetik halal maka dia akan cenderung memiliki niat yang lebih untuk membeli kosmetik halal.
Norma subjektif ini akan semakin kuat ketika seseorang atau konsumen berada di situasi yang
lebih diktator (Vencantesh dan Davis, 2000)
Konsumen Muslim yang memiliki religiositas tinggi umumnya cenderung akan memiliki
kesadaran yang lebih tinggi untuk mengkonsumsi produk halal9 . Di samping itu, kelompok
konsumen ini juga cenderung memiliki ikatan sosial yang kuat karena frekuensi melakukan
ibadah secara berjamaah yang lebih sering sehingga akan semakin besar normative belief pada
diri konsumen. Penelitian sebelumnya mengenai produk halal dengan menggunakan model TPB
menunjukkan bahwa sikap dan norma subjektif merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi
intensi seseorang untuk mengkonsumsi produk halal (Soesilowati, 2009; Lada et al, 2009;
Tarqiainen dan Sundqvist, 2005; Bonne et al, 2010).
● Persepsi Kendali Perilaku (Perceived Be- havioral Control)
Azjen (1991) mendefinisikan variabel persepsi kendali perilaku sebagai seberapa jauh seseorang
percaya atau merasa mampu untuk melakukan sesuatu. Jika seseorang mempersepsikan dirinya
memiliki sumber daya untuk membeli kosmetik halal, maka niat untuk membeli kosmetik
dengan label halal akan semakin besar. Penelitian yang dilakukan oleh Alam dan Nazura (2011)
dan Vencantesh (2000).

8|Page
BAB II
A. Penggunaan Kosmetik Dalam Perspektif Islam

Produk Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membersihkan,
menjaga, meningkatkan penampilan, merubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles,
memercik atau menyemprot. Penggunaan kosmetik ada yang berfungsi sebagai obat dan yang
berfungsi sekedar pelengkap.1 Penggunaan kosmetik merupakan memakai alat kosmetik pada
bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap menjadi baik dan indah.
Kosmetik memiliki fungsi memperindah penampilan manusia atau aroma tubuh manusia,
karena keindahan akan menarik perhatian orang-orang sekaligus memberikan kesan positif
terhadap mereka, disisi lain Islam merupakan agama yang menaruh perhatian pada persoalan
kebersihan, kesucian serta keindahan tersebut. Islam bahkan mengajurkan merawat dan
memelihara diri, banyak nas-nas didalam Al-Qur”an maupun Hadits yang memberikan motivasi
agar seseorang muslim maupun muslimah memperhatikan keindahan, bagi muslimah bahkan
dianjurkan untuk berhias diri untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti contoh salah satunya
yaitu untuk menyenangkan suami.
Islam menganjurkan muslimah untuk memakai kosmetik yang mengandung bahan-bahan
yang tidak akan membahayakan tubuhnya, tidak berlebihan dan tidak mengubah ciptaan Allah
SWT, Islam memberikan batasan dalam persoalan berhias diri, batasan tersebut tersirat dalam
(Al-Qur’an surah Al-Azhab:33).

Artinya:dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ta'atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Dalam penggunaan kosmetik tidak menghendaki adanya sesuatu yang membahayakan bagi
penggunanya dalam sebuah kaidah dijelaskan.

Artinya :hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang
berbahaya adalah haram.

9|Page
Kosmetik yang akan digunakan harus sehat dan tidak membahayakan kulit atau diri
penggunanya. Kosmetik yang dipilih harus benar-benar aman untuk digunakan serta bukan dari
bahan yang dilarang oleh Syariat
Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 Allah SWT berfirman
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan; Karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu (QS. Al-Baqarah:168)”.
Kosmetik memang bukan sesuatu yang dapat dimakan, namun dikaitkan pada sesuatu yang suci.
Sebab apabila kosmetik tersebut mengandung barang najis maka akan menghalangi sahnya suatu
ibadah bagi umat muslim. Mengkonsumsi sesuatu yang halal dan baik itu memiliki manfaat
jangka panjang yang luar biasa khususnya untuk kesehatan, karena Allah tidak akan menyuruh
hamba-Nya untuk hal yang sia-sia (tidak bermanfaat).
Beberapa kaidah fikih juga tidak luput dari rujukan yang diambil oleh MUI. Misalnya,
yang berbunyi "Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang
berbahaya adalah haram." Kaidah lainnya, yaitu "(Hukum) segala sesuatu tergantung kepada
tujuannya". Dari rujukan di atas dan beberapa fatwa sebelumnya, MUI menyimpulkan,
penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias boleh dengan syarat barang yang digunakan
halal dan suci. Kemudian, tidak berbahaya dan ditujukan untuk kepentingan yang diperbolehkan
secara syar'i. Penggunaan kosmetika dalam atau yang masuk ke dalam tubuh dengan bahan yang
haram dan najis hukumnya haram. Sedangkan, penggunaan kosmetika luar dengan bahan najis
selain babi diperbolehkan dengan syarat disucikan terlebih dahulu. Secara keseluruhan, MUI
mengeluarkan delapan keputusan hukum terkait kosmetika dan penggunaannya. MUI berharap
keputusan yang dikeluarkan MUI bisa dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Maka Fatwa MUI No:26 Tahun 2013 memutuskan tentang standar kehalalan produk
kosmetika dan penggunaannya,
1. penggunaan kosmetik untuk kepentingan berhias hukumnya boleh tetapi dengan syarat bahan
yang digunakan dalam kometik harus halal dan suci dan ditujukan untuk kepentingan yang
dibolehkan secara syar’i dan kosmetik yang digunakan tidak membahayakan.
2. Dalam penggunaan kosmetik untuk dikonsumsi atau dimasukan kedalam tubuh yang
menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram,

10 | P a g e
3. Penggunaan kosmetik luar yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi
dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian.
4. Penggunaan kosmetik yang semata-mata berfungi tahsiniayyat (penyempurna) tidak ada
rukhshah (keringanan) untuk memanfaatkan kometika yang haram.
5. Produk kometik yng mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil
rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
6. Produk kosmetika yang menggunakan bahan baku atau bahan tambahan dari keturunan hewan
halal yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makhruh tahrim sehingga harus
dihindari.
7. Produk kosmetik yang menggunakan bahan dari produk mikroba yang tidak diketahui media
pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang
kehalalan dan kesucian bahannya.

11 | P a g e
BAB III

Kesimpulan
Definisi kosmetik berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI adalah bahan
atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa
mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau
memperbaiki bau badan atau melindungi atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik. Ada beberapa alasan untuk berfokus pada kata “halal” sebagai aspek
branding. Pertama, halal mampu menjadi indikasi bahwa produk tersebut murni dan
sehat. Kedua, membantu produsen kosmetik untuk menembus pasar baru dengan
menambahkan nilai produk dalam lingkungan yang kompetitif. Alasan penting
menggunakan produk kosmetik halal, terutama untuk perempuan muslim ialah agar
ibadahnya sah. Ibadahnya dapat sah diterima ketika menggunakan kosmetik halal. Hal ini
dikarenakan kosmetik halal tidak ada kandungan najis di dalamnya.
Perilaku pembelian kosmetik berlabel halal terdiri dari : sikap (attitude), norma
subjektif (subjective norms), persepsi kendali perilaku (perceived be- havioral control).
Islam menganjurkan muslimah untuk memakai kosmetik yang mengandung bahan-bahan
yang tidak akan membahayakan tubuhnya, tidak berlebihan dan tidak mengubah ciptaan
Allah SWT, Islam memberikan batasan dalam persoalan berhias diri, batasan tersebut
tersirat dalam (Al-Qur’an surah Al-Azhab:33).

12 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Endah, Nur Hadiati. (2014). Perilaku Pembelian Kosmetik Berlabel Halal Oleh Konsumen
Indonesia. Vol 22 (01)

Intansari, Debby. Pemilihan Kosmetik Berlabel Halal. Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Cahyono, Afiq Dwi. 2016. Urgensi Penerapan Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Mui)
Terhadap Produk Umkm (Studi Kasus Kota Mataram). Dari Jurnal Unram

Retno, Fatma Latifah.2007. Buku Pangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. (Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.)

13 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai