Awal Mula Dibentuknya Ilmu Nahwu Ini Ialah
Awal Mula Dibentuknya Ilmu Nahwu Ini Ialah
Awal Mula Dibentuknya Ilmu Nahwu Ini Ialah
NIM : 201360049
TEMPAT TINGGAL : PADARINCANG, SERANG.
ASAL SEKOLAH : SMAN 1 MANONJAYA, TASIKMALAYA.
Awal mula dibentuknya ilmu nahwu ini ialah. pada masa pemerintahan khalifah Ali Bin Abi
Thalib wilayah kekuasaan islam melampaui sungai Eufrat, Tigris dan Dariyah, semakin luasnya wilayah
yang dikuasai oleh islam pada saat itu, semakin banyak pulalah pemeluk agama islam. Pemeluk agama
islam bukan hanya dari kalangan arab saja tapi dari dalam kalangan non arab sendiri juga banyak. Maka
disitulah ditemukan kesalahan-kesalahan dalam membaca teks Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber
ajaran islam. Khalifah Ali Bin Abi Thalib menganggap kesalahan-kesalahan ini sangat fatal terutama bagi
orang-orang yang akan mempelajarai ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa arab, oleh karena
itu khalifah Ali Bin Abi thalib mempunyai inesiatifnya untuk menyusun Qowaid Nahwiyah dengan
memerintahkan seorang muridnya yakni Abu Aswad Al Duali.
Orang yang pertama menyusun ilmu nahwu ialah Abu Aswad Al-Duali. Terdapat suatu kisah
yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak
perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang
indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, ال َّس َما ِء أَحْ َسنُ َما. “Apakah yang paling indah
di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah
mengatakan, ُب َن َّي ُة َيا ُنج ُْو ُم َها. “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan
mengatakan, ت ِا َّن َماُ ب اَ َر ْد َ ُّ ال َّتعَج. “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkankekaguman”. Maka sang ayah
mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, ال َّس َما َء اَحْ َس َن َما. “Betapa indahnya langit”. Bukan, ال َّس َما ِء أَحْ َسنُ َما..
“Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca
al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan berikut, َأَنَّ هللا
َ ”" َب ِرى ٌء م َِّن ْالم ُْش ِرك. Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di
ِين َو َر ُس ولِ ُه
fathakan. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan
rasulnya..” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya
kalimat tersebut adalah, " ِين َو َرس ُْولُ ُه َ َّ“ "أَنSesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri
َ هللا َب ِرى ٌء م َِّن ْال ُم ْش ِرك
dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan
Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang. Kemudian hal ini disadari oleh
khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab
inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan
selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, “ ا ُ ْن ُح َه َذا ال َّنحْ َوIkutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara
bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah
tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abu
Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian
al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan
Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Dari kejadian Diatas aswad menceritakan kepada Ali Bin Abi Thalib. Mendengar perkataan
Aswad beliau berkata ketahuilah “ketahyuilah aswad ini terjadi karena percampuran bahasa arab dan
bahasa asing . kemudian Ali Bin Thalib menyuruh kepada Aswad untuk membeli kertas. Setelah selang
beberapa hari Ali Bin Abi Thalib mengajarkan tentang lughot-lughot bahasa arab. Beliau menyuruh
kepada Aswad untuk mencatatnya. Yang pertama kali beliau ajarkan adalah masalah pembagian kalam
yang jumlahnya ada tiga bagian yaitu : Isim, Fiil, dan Huruf. Kemudian beliau menjelaskan tentang
jumlah yang menjadi sighot ta’ajub. Setelah itu sayyidina Ali memerintahkan kepada Abul Aswad agar
mencari contoh-contoh lain yang sama dengan apa yang diajarkan oleh beliau. Dari sinilah ilmu ini
kemudian dinamakan ilmu nahwu yang artinya contoh atau misal.
Perkembangan dan penyusunan sejarah ilmu nahwu dapat diruntut menjadi beberapa periode
sebagai berikut ini:
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai
munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa
dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan
tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas
(analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri
masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai
munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum
bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
Yang menarik pada masa ini para ulama nahwu terjun langsung kesetiap kampong-kampung
arab badui untuk meneliti dan mengambil banyak sampel tentang kosakata arab yang murni atau pun
susunan kalimat bahasa arab yang belum tercampur dengan dialek azam dan masuknya lahn. Setelah itu
di tulis, seperti yang dilakukan imam kholil ahmad dalam menyusun kitab Al-A’in. disamping itu aliran ini
terpengaruh oleh logika formal karena lebih cendrung menggunakan metode qiyas/silogisme karena
melihat dari historisnya aliran ini mewarisi budaya helenis yunani, juga ilmu mantiq dan ilmu kalam
berkembang pesat dikota basrah ini.
Dan yang lebih menarik aliran kufah ini dalam menetukan suatu penelitian dengan
menggunakan satu sampel saja sudah cukup. Aliran ini mengeritik aliran basrah karena aliran basrah
terlalu rumit dan terpengaruh mantik yang membuat ilmu nahwu sulit untuk dipelajari.
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu
sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam
Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai
saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad.
Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing.
Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga
memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad.
Aliran bagdad ini, melihat dari peran dan fungsinya adalah sebagai pendamai dari aliran basrah-
kufah yang saling berseteru, mengkritik satu sama lain yang menganggap aliran merekalah yang paling
benar. Tetapi dengan adanya aliran ini konfik antara madrasah basrah-kufah bias didamaikan seiring
waktu berjalan. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran
Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira
pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli
nahwu klasik.
Ketika Thariq bin Ziyad berhasil menaklukan Andalusi, banyak dari para prajurit bawahannya
adalah para kaum terpelajar. Mereka menguasai bahasa, syair, dan nahwu. Wawasannya itu terlontar
dalam obrolan-obrolan mereka. Jadi belum terbentuk ilmu yang sistematis.Khalifah Abdurrahman al-
Nashir, seorang gubernur Andalusia, ketika itu menginginkan kekuasaannya kokoh dengan ilmu
pengetahuan, syair, dan sastra, sebagaimana yang terjadi pada masa daulah Abbasiyyah. Setelah
berpikir panjang, ia menganggap bahwa yang pantas mengurusi persoalan tersebut adalah Abu Ali al-
Qali, yang memiliki kecenderungan pada bani umayah. Di mana ayahnya adalah seorang pelayan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Abu Ali dibesarkan di Bagdad, dan belajar pada guru-guru di sana. Ia adalah orang yang
bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga menguasai ilmu hadits, bahasa, sastra, nahwu, dan sharaf,
dari guru-guru (masyayikh) yang sudah terkenal, seperti al-Harawi dalam bidang hadits, Ibnu
Darastawih, salah seorang ahli nahwu dan sastrawan terkemuka, Zujaj, Akhfash, Ibnu Siraj, Ibnu al-
Anbariy, Ibnu Abi al-Azhar, Ibnu Quthaibah dan yang lainnya. Ia tinggal di Bagdad selama 25 tahun.
Abu Ali telah mengarang beberapa kitab seperti al-Amali yang berisi tentang bahasa dan syair,
kitab al-mamdud wa al-maqshur, al-Ibil wa nitajuha, hily al-insan, fa’alta wa af’alta, tafsir mu’allaqat al-
sab’, dan kitab al-bari’ fi al-Lughah, yang disusun berdasarkan huruf mu’jam yang katanya setebal 3000
halaman. Selanjutnya, banyak dari orang Andalusia yang belajar kepadanya, seperti Ibnu Quthiyyah dan
Abu Bakar al-Zubaidiy. Ibnu Quthiyyah adalah seorang ahli bahasa dan nahwu yang besar, di samping ia
sebagai seorang penyair dan sejarawan. Sebagai ulama nahwu Ibnu Quthiyyah telah mengarang kitab al-
Af’al. Sedang Abu Bakar al-Zubaidiy adalah seorang ahli nahwu yang sangat terkenal. Ia telah mengarang
kitab mukhtashar al-‘ain.
Pada periode selanjutnya, di antara ulama nahwu Andalusia ada yang bernama al-Syalubaini. Ia
adalah seorang imam dalam bidang nahwu. Begitu masyhurnya ia. Sehingga banyak siswa yang ingin
belajar padanya. Ia telah mengarang kitab dalam bidang nahwu yaitu, kitab tauthiah. Ia lahir di
Isybiliyyah pada tahun 562 H dan meninggal pada tahun 645 H..
Setelah Syalubaini, muncul dua orang ahli nahwu yang tak kalah populer, yaitu Ibnu Kharuf dan
Ibnu ‘Ushfur. Kedua-duanya sama-sama memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam bidang nahwu. Ibnu
Kharuf berasal dari Isybiliyah. Ia adalah seorang imam pada zamannya dalam bahasa Arab di Andalusia.
Ia adalah salah seorang yang mensyrahi kitab karya Sibawaih, di samping mensyarahi kitab-kitab lainnya
seperti kitab al-jumal. Ibnu ‘Ushfur juga berasal dari Isybiliyyah yang membawa panji-panji Arab di
Andalusia, setelah gurunya Abu Ali al-Qali. Dan ia telah banyak mengajarkan bahasa Arab di beberapa
tempat di andalusia, seperti Isybiliyyah, Syirisy, Maliqah, Lurqah, dan Marsiyyah.
Periode selanjutnya adalah Ibnu Malik. Ia memiliki nama lengkap Jamaludin Muhammad bin
Abdillah. Ia dilahirkan di kota Hayyan, salah satu kota di Andalusia sekitar tahun 600 H.. Ia belajar nahwu
kepada ulama di kota tersebut, juga kepada Abu Ali al-Syalubaini. Kemudian ia berangkat ke Mesir dan
Damaskus. Di sana ia mempelajari ilmu syaria’ah dan menjadi seorang ahli di bidang tersebut. Ia
memperoleh kemasyhuran sebanding dengan kemasyhuran imam Sibawaih. Yang membedakan ia
dengan ulama nahwu lainnya adalah karena ia sangat ketat dalam memegang kaidah nahwu. Hal ini
terlihat dalam kaidah-kaidah yang tertuang dalam karyanya yang sangat populer, alfiyyah. Kitab ini
mendapat posisi penting dalam bidang nahwu. Kitab ini telah menyedot jutaan pelajar untuk
menghafalkannya, baik di Timur maupun di Barat sampai hari ini. Selain alfiyyah, ia juga telah
mengarang sejulah kitab seperti, al-kafiyyah al-syafiyyah, al-Tashil, lamiyyat al-Af’al, al-Miftah fi Abniyat
al-Af’al, dan Tuhfatul maujud fi al-maqshur wa al-mamdud. Menurut Ahmad Amin, Sibawaih telah
menazhamkan nahwu Sibawaih, lalu mennjelaskannya dan mendekatkan pada masyarakat, dan
membuat generalisasi, sehingga kita tidak jauh dari kebenaran. Ia juga seorang imam dalam bidang
qiraat yang sangat luas ilmu bahasanya.
Ulama selanjutnya adalah Abu Hayyan al-Gharnathiy. Ia juga dianggap sebagai ulama besar
nahwu Andaliusia. Ia seorang ahli bahasa Arab. Ia lahir dari keturunan Barbar. Ia lahir di tahun 654 H.. ia
bermadzhab Zhahiriy sebagaimana Ibnu Hazm. Ia ahli dalam bidang nahwu, tafsir, hadits, dan syair.
Karya-karyanya mencapai jumlah kurang lebih 65 buah kitab. Tapi yang sampai pada kita hanya sepuluh
buah.
Sebagaimana telah diceritakan di atas, maka yang merintis madzhab Andalusia ini adalah Abu Ali
al-Qali. Namun demikian sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Amin, semua ahli nahwu semenjak Abu
Ali al-Qali, masih bertaqlid pada nahwu Sibawaih. Kendati ada beberapa ulama seperti Ibnu Malik dan
Abu Hayyan, mereka hanya beriajtihad madzhab -kalau dalam istilah fiqih-, tidak berijtihad muthlaq.
Karena memang Khalil bin Ahmad al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pondasi
nahwu dengan pilar-pilarnya yang kokoh, yang sulit digoyahkan pula ditumbangkan.
Tetapi ada seorang ulama Andalusia yang mencoba menggoyangkan pondasi Khalil dan Sibawaih
tersebut. Ia bernama Ibnu Madha al-Qurthubiy. Ia berijtihad dengan mutlak dalam bidang nahwu. Ia
hidup pada masa dinasti al-muwahhidun. Ia diangkat menjadi pemimpin para Qadhi, ketika kepempinan
Ya’kub bin Yusuf. Dinasti Muwahhidun sangat dikenal dengan keberaniannya dalam mempublikasikan
madzhabnya. Hal itu ditandai dengan peristiwa pembakaran kitab-kitab madzhab fiqih, atas perintah
Yusuf bin Ya’qub, dan menggiring masyarakat untuk memahami al-Qur’an dan hadits secara zhahir.
Menurut Dr. Syauqi Dhaif, masa ini adalah masa ketika dikarangnya kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat.
Masa ketika maghrib (Andalusia) memberontakan/revolusi masyriq (Bagdad), dalam segala hal, seperti
fiqih dan cabang-cabangnya. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah
mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang
empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya.
Begitulah kata Dhaif Langkah ini diikuti oleh Ibnu Madha al-Qurthubiy dengan mengarang kitab
al-Radd ‘ala al-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan nahwu Masyriq ke tempatnya. Atau denga
kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan nahwu Masyriq dan memurnikannya dari cabang-
cabang dan ta’wil sudah usang. Ia ingin menerapkan madzhab zhahiri pada bidang nahwu, sebagaimana
pemimpinnya. Ibnu Madha hendak merobohkan madzhab Sibawaih. Ia mengarang tiga buah kitab, yaitu
al-musyriq fi al-nahw, tanzih al-Qur’an ‘amma la yaliqu bil bayan, dan al-Radd ‘ala al-Nuhat. Ketiga kitab
tersebut berisi bantahan atas nahwu Sibawaih beserta para pendukungnya, serta menganjurkan untuk
membentuk nahwu baru.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Mesir, dan akhirnya di Syam.
Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.