Alamsyah - Ibih Hasan - Ilmu Ta - Wil Al-Hadits

Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 36

Ilmu Ta’wîlul Hadîts

Bahasa Hadis dan


Dalalahnya Sebagai Dasar
Memahami Kandungan
Hadis Nabi

Alamsyah (202510004)
Ibih TG Hasan (202510032) 1
Asal Usul Bahasa Hadis
Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa mayor di dunia memiliki setumpuk
keistimewaan dari ciri khas tersendiri yang membedakan dengan bahasa
yang lainnya. Bahasa Arab sebagaimana bahasa-bahasa lainnya, memiliki
asal-usul sejarah dan perkembangan. Bahasa Arab mula-mula berasal,
tumbuh, dan berkembang di negara-negara kawasan Timur Tengah.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa pengaruh bahasa Arab
tampak semakin luas dalam pergaulan dunia internasional, sehingga sejak
tahun 1973 bahasa ini diakui secara resmi sebagai bahasa yang sah untuk
dipergunakan di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahasa Arab
juga dianggap bahasa umat Islam, disebabkan dengan adanya al-Qur’an
dan hadis Nabi yang berfungsi sebagai dua sumber pokok ajaran Islam
ditulis dalam bahasa Arab, bahkan tidak terbatas pada dua sumber itu.

2
Apa yang kita lihat dan baca dalam al-Qur’an dan hadis,
berikut buku-buku agama sebagai hasil dari interpretasi
rujukan utama Islam yang semuanya menggunakan bahasa
Arab dalam mengkomunikasikan pesan-pesan religiusnya,
ternyata telah melalui proses evolusi dalam kurun waktu
sejarah perjalanan bahasa Arab sebagaimana yang dipakai
sekarang tidak sama dengan bahasa Arab qadîm disaat
awal munculnya, tapi telah melalui perjalanan panjang
selama ribuan tahun yang berproses sedikit demi sedikit
hingga mencapai kesempurnaan seperti terlihat pada
bahasa al-Qur’an dan bahasa Fushah* yang dijadikan
sebagai alat komunikasi.*

* Bahasa Arab Baku Modern, atau Bahasa Arab Tulisan Modern, ialah istilah yang sebagian besar digunakan oleh ahli bahasa Barat untuk 3
merujuk pada varietas baku, sastra Bahasa Arab yang berkembang di dunia Arab pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
* Husni Mubarak, “Asal Usul Bahasa Arab”, dalam Jurnal Iqra’ Vol. 5 No. 1 Tahun 2011, hal. 109.
Perubahan tersebut terjadi di saat suatu pemakai bahasa berpindah ke tempat lain sekaligus menetap dan
beranak pinak lalu berbaur dengan bahasa lain, di situ terjadi proses perubahan step by step tanpa
dirasakan oleh sipemakainya dan begitulah seterusnya.

beberapa pandangan para sejarawan dan ahli bahasa, tentang asal usul
bahasa sebagai berikut:*
1) Ibnu Fâris, dalam bukunya fiqh al-Lugah, bahwa asal mula bahasa tulis
diprakarsai oleh Nabi Adam, Nabi Adam dipandang sebagai orang pertama
menulis dengan bahasa Suryani Arabiyah. Pendapat lain seperti Ka'ab Al-
Akhbâr menyebutkan bahwa pertama kali yang menulis Arab adalah Nabi
Adam As. Kemudian ditemukan kembali oleh Nabi Ismail As, setelah
peristiwa banjir di zaman Nabi Nuh As. Menurutnya bahwa Nabi Adam
'Alaihissalam menulis 300 tahun sebelum wafatnya. Nabi Adam menulisnya
pada tanah lalu dibakar. Ketika terjadi banjir besar dizaman Nabi Nuh
'Alaihissalam, tulisan tersebut ikut tenggelam. Setelah surut baru kemudian
ditemukan oleh Nabi Ismail As. Pendapat tersebut dapat ditelusuri pada
kitab ulumul Quran karya al-Zarkâsyî, namun demikian untuk membuktikan
argumentasi tersebut sangat sulit, karena jarak waktu antara Nabi Nuh
dengan masa kini sudah terlampau jauh, dan dimungkinkan artefak dan sisa
peradaban tulisan di zaman itu telah tergerus oleh zaman dan alam,
sehingga sampai saat ini para ahli kepurbakalaan di Timur dan Barat belum
menemukan bentuk dan tulisan di zaman itu.
4
* Ibnu Rawandhy N. Hula, “GENEALOGI ORTOGRAFI ARAB (Sebuah tinjauan Historis: Asal-usul, Rumpun Bahasa dan Rekaman
Inskripsi)”, dalam ‘A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hal. 22.
2) Asal mula bahasa tulis dilakoni oleh Nabi Idris, pandangan ini didalilkan pada
hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Hibban bahwa Nabi Saw bersabda ‚Idris
adalah “orang pertama menulis dengan pena”.

3) Kemudian Ibnu ‘Arabi berpandangan bahwa Nabi Ismail belajar


bahasa Arab dari Jibril secara baik dan fasih sampai ilmu tersebut
kepada kegerasi kenabian Muhammad Saw. Ismail As dipandang
sebagai orang yang pertama kali menulis bahasa Arab. Pendapat
ini diperkuat oleh ibnu Katsir pada kita Al-Bidayah wa al-Nihayah,
bahwa Isma’il As orang pertama kali menggunakan bahasa Arab
dari kabilah Jurhum, kemudian mereka tinggal di Mekkah bersama
ibunya Hajar sampai bahasa Arab menjadi bahasa al-Qur’an.
Karena tulisan merupakan Tauqify maka Nabi Ismail pada
hakekatnya diajarkan langsung oleh Allah, sebagaimana dalam
surah al-‘Alaq bahwa: Allah mengajarkan manusia dengan pena,
mengajarkan manusia apa yang dia tidak tahu‛. Meski demikian
pendapat ini masih terus dipertentangkan.*
5
* Ibnu Rawandhy N. Hula, “GENEALOGI ORTOGRAFI ARAB (Sebuah tinjauan Historis: Asal-usul, Rumpun Bahasa dan Rekaman
Inskripsi)”, dalam ‘A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra Arab…, hal. 23
4) Mengutip Jawwad Ali, bahwa awal mula bahasa Arab digunakan dan dipelopori oleh Nabi Ismail As.,
sedangkan jenisnya adalah bahasa Arab Jurhum. Bahasa Arab Jurhum kemungkinan kehilangan daya tarik,
lalu mereka memolesnya dengan bahasa Arab Quraisy yang mendahuluinya hampir sekitar dua ribu tahun. Ibn
Ustâ mencatat pernyataan Ibn 'Abbas bahwa yang pertama-tama membuat aturan grammar dan alfabet bahasa
Arab tak ada orang lain melainkan Ismail. Allah SWT kemudian menugaskan Ismail sebagai Nabi dan Rasul,
untuk mengajak umatnya menyembah Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat kepada orang miskin.
Oleh karena itu, Allah mengutus rasul dalam bahasa kaumnya sendiri, maka Ismail juga sudah pasti berdakwah
dalam bahasa Arab. Keturunannya diakui bahwa Nabi Ismail diberi karunia dua belas putra, di antaranya
Nebajoth/Nabat: dilahirkan dan dididik di sekitar Jazirah Arab yang semestinya mereka juga menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Putra-putranya memelihara risalah ayah dengan menggunakan skrip Arab;
sudah pasti mereka tidak mengubah skrip apa pun yang dipakai di Palestina (tanah air Ibrahim), semenjak dua
generasi ini sudah berada dan hidup di Saudi Arabia. Ketika Nabat kemudian berhijrah ke arah utara, dia
semestinya membawa alfabet dan bahasa Arab bersamanya. Dan keturunan inilah yang akhirnya mendirikan
dinasti Nabatean (600 Sebelum Masehi-50 Masehi). Sedangkan ortografi Nabtî merupakan ortografi yang
digunakan oleh orang Arab dan menjadi cikal bakal lahirnya tulisan kûfi.

6
5) Menurut 'Urwah bin Zubeir RA, pertama kali yang
menulis Arab adalah para leluhur kaum Azd. Di antara
nama-nama mereka adalah Abjad, Hawwaz, Huththa,
Kilman, Sa'fash dan Qorusyat. Mereka semua adalah
para raja negeri Madyan.

6) Ibnu Quthaibah, berpendapat tulisan Arab dikenal di Mekah


melalui seorang bernama Harb bin Umayyah bin Abu Al-
Syams, dan Harb belajar kepada Bisyr bin Abdul Al-Malik,
saudara Ukaidir tokoh Daumatu Al-Jandal. Ia belajar pada
orang al-Anbar (Iraq sekarang), kemudian itu ia pergi ke
Mekah. Tulisan orang al-Anbar, diperbaiki (disempurnakan)
oleh ulama Kufah, dan tulisan ini dipakai pada masa itu.
Tulisan itu tiada berbaris dan tiada bertitik. Kemudian
bentuk tulisan itu diperbaiki oleh Abu Ali Muhammad ibn Ali
ibn Muqlah dan kemudian diperbaiki oleh Ali ibn Hilâl al-
Bagdâdî yang terkenal dengan nama Ibnu al- Bawwâb.
7) Pendapat lain, mengatakan bahwa orang yang pertama kali
menulis Arab adalah Marâmir bin Murrah dari penduduk
Anbâr, dari Anbâr ini kemudian menyebar kepada manusia
lainnya, yang selanjutnya diajarkan di Makkah.
7
Al-Muhkamât dan Al-Mutasyâbihât dalam
Hadits

Definisi Muhkam Maksudnya adalah hadits shahih atau hasan dan kemudian ada
Secara etimologi: Al-Muhkam adalah isim maf’ul dari hadits yang semisal dengannya dari segi tingkatan maupun kekuatan,
kata ahkama yang berarti menekuni.* Muhkam berarti secara lahir arti hadits tersebut bertentangan dengannya, dan sangat
yang dikokohkan.* Secara terminologi Al-Muhkam mungkin bagi para ulama dan yang mempunyai pemahaman yang
adalah hadits yang diterima yang terbebas dari
dalam, untuk memadukan antara arti keduanya dengan bentuk yang
pertentangan dengan yang semisalnya.* Mayoritas
bisa diterima.
hadits termasuk dalam jenis ini, sangat sedikit hadits
yang kontradiktif dan berselisih jika dilihat dari • Contoh hadits:
keseluruhan jumlah hadits yang ada. Sedangkan • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
antonim dari muhkamul hadits adalah mukhtalaf al-
hadits. Secara etimologi, mukhtalaf al-hadits adalah isim
fa’il dari kata ikhtalafa-yakhtalifu yang berarti berbeda.* َ‫اَل َع ْد َوى َواَل ِطَي َرة‬
Arti dari mukhtalaf al-hadits adalah hadits yang sampai • “Tidak ada penyakit yang menular dan tidak ada pengaruh
kepada kita dan terlihat bahwa maksud hadits tersebut buruknya”.
saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan • Dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari:

‫فِ َّر ِم َن ال َْم ْج ُذ ْوِم فِ َر َار َك ِم َن اَأل َس ِد‬


kata lain makna hadits tersebut kontradiktif. Secara
terminologi, mukhtalaf al-hadits adalah hadits yang
diterima yang diselisihi oleh yang semisalnya, dengan
kemungkinan untuk dapat dipadukan antara keduanya.* • “Jauhi penyakit kusta* sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”.

* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits, Jakarta: Ummul Qura, 2016, hal. 67.
* Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, hal. 264. 8
* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits..., hal. 67.
* A. W. Munawir Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir (Indonesia-Arab Terlengkap), Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, hal. 109.
* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits…, hal. 67.
* Penyakit menahun yang menyerang kulit dan syaraf, yang secara perlahan-lahan menyebabkan kerusakan pada anggota tubuh.
Cara Menggabungkan
Kedua hadits ini shahih, dan secara lahir arti keduanya bertentangan. Sebab yang pertama meniadakan
penularan suatu penyakit, dan yang kedua menetapkannya. Kemudian para ulama memadukan antara
keduanya dan menyatukan arti keduanya dengan beberapa pandangan. Mahmud Ath-Thahhan dalam buku
Dasar-Dasar Ilmu Hadits menyebutkan pendapat yang dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan maksud
seperti berikut:
Salah satu cara menggabungkan antara dua hadits tersebut adalah: dikatakan bahwa suatu penyakit tidak
akan menular dengan dalil sabda Rasulullah Saw, “sesuatu tidak dapat menular kepada sesuatu yang lain”*
juga sabda Nabi Saw untuk yang menyelisihinya bahwa ada seekor unta berkudis berada disekeliling unta
yang sehat, kemudian dia berbaur hingga akhirnya unta yang sehat terkena kudis. Kemudian Nabi Saw
bersabda: siapa yang menulari yang pertama?* Artinya adalah Allah memberikan penyakit kepada unta yang
kedua seperti memberi penyakit kepada unta yang pertama.
Adapun perintah Nabi Saw untuk menjauhi penyakit kusta adalah untuk mencegah perkara yang
menimbulkan kerusakan atau agar orang yang berbaur dengan penderita kusta tersebut tidak terkena
penyakit kusta dengan takdir Allah, bukan karena menularnya penyakit tersebut dengan sendirinya. Kemudian
mengira bahwa terjadinya kusta tersebut dikarenakan berbaurnya dengan penderita kusta, lalu dia meyakini
bahwa benar adanya penularan, maka jatuhlah dia ke dalam dosa. Maka diperintahkan untuk menjauhi orang
yang menderita kusta agar tidak jatuh kedalam pemahaman ini, yang menjerumuskan ke dalam dosa.
9

* HR. At-Tirmidzi dalam Kitab Al-Qadar, Jilid 4/450.


* Fath Al-Bari Kitab At-Tib, 10/171, HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad.
Definisi Mutasyâbih
Secara etimologi: Mutasyabih berarti tasyabuh, yakni bila satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan Syubhah ialah
keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara kongkrit maupun abstrak.*
Mutasyabih adalah kesamaan nama-nama para perawi baik tulisannya maupun bacaannya, sedangkan nama-nama
ayah mereka berbeda bacaannya namun tulisannya sama atau sebaliknya, nama ayah mereka sama tulisan dan
bacaannya sedangkan nama mereka berbeda bacaannya namun sama tulisannya.* Contoh:
1) “Muhammad bin Uqail” dengan “Muhammad bin Aqil”. Yang pertama huruf ‘Ain dalam nama ayahnya di baca
dhammah sedangkan yang kedua dibaca fathah.
2) “Syuraih bin An-Nu’man” dengan “Suraij bin An-Nu’man”, yang pertama nama perawi tersebut dimulai
dengan huruf “Syin” dan diakhiri dengan huruf “Ha”, sedangkan yang kedua di awali dengan huruf “Sin” dan
diakhiri dengan huruf “Jim”.
3) Sedangkan yang dikategorikan oleh para ulama hadits sebagai “Mutasyabih” adalah nama-nama yang sama
tulisan dan bacaannya, nama-nama yang berbeda urutannya seperti “Al-Aswad bin Yazid” dengan “Yazid bin Al-
Aswad” dan nama-nama yang berbeda satu huruf atau dua hurufnya saja seperti “Mutharrif bin Wasil” dengan
Mu’arrif bin Wasil”. Dimana kedua nama ini berbeda, yang pertama menggunakan huruf “Tha” dibaca fathah
sedangkan yang kedua menggunakan huruf “Ain”. Sebagai contoh yang lain adalah nama “Muhammad bin
Hunain” dengan Muhammad bin Jubair”.* Atau pada sebagian huruf, seperti: Ayyub bin Sayyar dan Ayyub bin
Yasar.*
* Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an…, hal. 265. 10
* Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, hal. 204.
* Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, hal. 204.
* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits…, hal. 246-247.
Al-‘Âmm dan Al-Khâssh dalam Hadits
Definisi Al-’Âmm
‘Amm secara etimologi adalah:
‫ش ُم ْو ُل َأ ْم ٍر لِ ُمتَ َع ِّد ِد‬
ُ
“Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).”
Lafadz ‘âmm ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh person yang
tidak terbatas dalam jumlah tertentu.* Sedangkan ‘Amm menurut terminologi adalah:
ً‫اح ٍد َد ْف َعة‬
ِ ‫ض ٍع َو‬
ْ ‫ب َو‬ َ ‫صلُ ُح لَهُ ِب َح‬
ِ ‫س‬ ْ َ‫ق لِ َج ِم ْي ِع َما ي‬ ْ ‫اللَّ ْفظُ ْال ُم‬.
ُ ‫ستَ ْغ ِر‬
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata sekaligus.”
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian ‘Amm yang berbeda-beda, akan tetapi pada
hakekatnya definisi pengertian yang sama.
Menurut ulama Hanafiyah:
‫ان بِااللَّ ْف ِظ َأ ْو ِبا ْال َم ْعنَى‬
َ ‫س َوا ٌء َأ َك‬
َ ‫ُك ُّل لَ ْف ٍظ يَ ْنتَ ِظ ُم َج ْم ًعا‬
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
11

* Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, Makassar: Alauddin Press, 2015, hal. 5.
Menurut Syafi’iyah, diantaranya Imam al-Gazali memberikan komentar bahwa ‘âmm itu adalah:

َ َ‫ش ْيَئ ْي ِن ف‬
‫صاِئ ًدا‬ َ ‫اح َد ٍة َعلَى‬ ِ ‫اللَّ ْفظُ ْال َو‬
ِ ‫اح ُد الدَّا ُل ِمنْ ِج َه ٍة َو‬
Terjemahnya: “Satu lafadz yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih”.
Sedangkan menurut Imam al-Bazdawi, âmm adalah:

‫اح ٍد‬ ْ ‫صلُ ُح لَهُ بِ َو‬


ِ ‫ض ٍع َو‬ ْ َ‫ق لِ َج ِم ْي ِع َما ي‬ ْ ‫اللَّ ْفظُ ْال ُم‬
ُ ‫ستَ ْغ ِر‬
Terjemahnya: “Lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadz tersebut dengan satu kata”.
Dari beberapa pengertian di atas, secara substansial tidak memiliki perbedaan makna. Artinya, suatu lafadz bisa
dikatakan ‘amm apabila kandungan maknanya tidak memberikan batasan pada jumlah yang tertentu.

12
Lafadz-Lafadz ‘Amm

Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘amm, diperlukan pemahaman mendalam terhadap
gramatika bahasa Arab terutama yang membahas morfologi paralel (sharaf) dan sintaksis paralel (nahwu).
Dari situ akan kita ketahui maksud dan tujuan nash, apakah arahnya umum atau khusus. Oleh karena
itu penting untuk mengetahui bahasa Arab. Lafadz-lafadz yang menunjukkan lafadz umum adalah:
1) Lafadz‫( ك& &&ل‬setiap) dan ‫( ج&ام&&ع‬seluruhnya). Misalnya sabda Nabi:
...‫ كلكم راع وكلكم مسؤول عن راعيته‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫(متفق عليه‬
2) Sighat jama’ yang disertai alif lam diawalnya. Misalnya sabda Nabi:
)‫ص َّدقْ ِن فَِإ نِّي ُأ ِرْيتُ ُك َّن َأ ْك َث َر َْأه َل النَّا ِر (رواه البخارى‬‫ت‬
َ ِ ‫يا مع َشر النِّس‬
‫آء‬
َ َ َ َْ َ
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian, sebab aku melihat kalian paling banyak dalam neraka…”
13
3) y‫ ال‬pada lafadz nakirah (umum)
‫س َش ْيًئا‬ ٌ ‫و َّات ُق ْوا َي ْوًما الَ تَ ْج ِزى َن ْف‬...
ٍ ‫س َع ْن َن ْف‬ َ
"Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain,....."(QS. al-
Baqarah : 48)
4) Isim Mubham
a. Lafadz‫ م ن‬untuk yang berakal. Firman Allah:
َ ‫فَ َم ْن َي ْع َم ْل ِم ْث َق‬
ُ‫ال َذ َّرٍة َخ ْي ًرا َي َره‬
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. az-Zalzalah :
7)
b. Lafadz‫ ما‬untuk yang tidak berakal, firman Allah Swt:

‫واهلل بصير بما تعملون‬


14
"Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hujurat: 18)
c. Lafadz‫ أي‬pada firman Allah SWT:

ُ ‫َأيًّا َّما تَ ْدعُ ْوا َف لَهُ ا َأْلْس َمآءُ ا ل‬..


...‫ْح ْسنَى‬
"......Dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama
yang terbaik) ........ (QS. Al-Israa : 110)
d. Lafadz‫ أين‬dhorof makan pada firman Allah SWT:
‫ت‬ ُّ ‫َأينَ َما تَ ُك ْوُن ْوا يُ ْد ِر‬...
ُ ‫كك ُم ال َْم ْو‬ ْ
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu........." (QS. an-Nisa : 78)
e. Lafadz‫ م تى‬untuk dhorof zaman. Seperti lafadz:
‫ت طَالِ ٌق‬ ِ ‫متَى س َفر‬
ِ ْ‫ت فََأن‬
ْ َ َ
”Kapan saja kamu pergi, maka kamu terthalaq”. 15
Dilalah lafadz ‘Âmm

Para ulama sepakat bahwa ‘âmm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsish
adalah qath’i dilalalah (penunjukkan yang pasti dan tidak mungkin mengandung makna lain). Mereka pun sepakat
bahwa lafadz ‘âmm yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah
yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafadz ‘âmm yang muthlaq (berdiri secara
independen) tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhshish atau tetap berlaku umum
yang mencakup person atau bagian yang masuk di dalamnya.
Menurut ulama Hanafiyah dilalah ‘âmm itu qath’i. Dan qath’i menurut mereka adalah:
‫ال يحتمل احتماال ناشئا عن دليل‬
Terjemahnya: “Tidak memunculkan kemungkinan-kemungkinan (penafsiran) lain yang berasal dari suatu dalil”.
Namun, bukan berarti tidak tertutup kemungkinan adanya takhshish sama sekali. Oleh karena itu, untuk
menetapkan ke qath’ian lafadz ‘âmm pada mulanya tidak boleh ditakhsis sebab apabila pada awalnya sudah
dimasuki takhsish, maka dilalah (penunjukkan) itu bersifat dzanni. Mereka beralasan bahwa: suatu lafadz apabila
ditempatkan pada suatu makna, maka makna itu tetap qath’i sampai ada dalil yang mengubahnya. Hal ini
ditegasnya dengan pernyataan:

16
،‫ واللفظ حين إطالقه يدل على معناه الحقيقي قطعا‬.‫إن لفظ العام موضوع حقيقة الستغراق جميع ما يصدق عليه معناه من األفراد‬
‫فالعام المطلق عن قرينة تخصصه يدل على العموم قطعا وال ينصرف عن معناه الحقيقي إال بدليل‬
Terjemahnya: “Sesungguhnya lafadz ‘amm itu merupakan suatu hakikat yang menunjukkan bahwa
seluruh makna yang dikandungnya mencakup seluruh person atau bahagian yang ada dalam lafadz
‘amm itu. Suatu lafadz jika dimutlakkan maknanya, maka lafadz itu menunjukkan makna dan artinya
secara hakiki. Begitu juga lafadz ‘amm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya
menunjukkan pada makna umum dan tidak mungkin akan terjadi pengalihan makna kecuali ada dalil
yang mengalihkannya”.
Menurut jumhur ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah) bahwa dilalah ‘âmm itu adalah
dzanni. Dengan alasan, dilalah ‘âmm itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai
kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafadz ‘âmm banyak sekali bisa
ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa
dilalahnya adalah qath’i.
17
Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:

‫ واهللا بكل شيئ عليم‬:‫ليس فى القرآن عام إال وخصص إال قوله تعالي‬
Terjemahnya: “Seluruh lafadz ‘âmm yang ada dalam Al-Qur’an memungkinkan semua untuk ditakhsis kecuali firman Allah
yang berbunyi: dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen kaedah yang berbunyi:

‫ما من عام إال وقد خصص‬


Terjemahnya: “Tidak ada suatu lafadz âmm kecuali sudah dimungkinkan untuk ditakhsis”.
Pakar Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyyah membantah argumen tersebut dengan alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut
tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”. Dari kedua
sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi kalangan pakar Ushul Fiqh. Masalah ini mempunyai
dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa masalah di antaranya:
1) Apakah lafadz ‘âmm yang qath’i itu boleh ditakhsis oleh dalil dzanni?
2) Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafadz ‘âmm disuatu tempat dan di tempat lain menggunakan lafadz
khash yang satu sama lainnya saling bertentangan. Apakah persoalan ini bisa dikategorikan sebagai persoalan
ta’arud (dalil yang kontradiksi)?
18
Contoh hadis ‘Amm sebagai berikut:
‫ض ُك ْم‬
ُ ‫ب َب ْع‬ِ
‫ر‬ ‫ض‬
ْ ‫ي‬ ‫ا‬‫ار‬‫ف‬َّ ‫ك‬
ُ ‫ي‬ ِ ‫ الََترِجعوا بع‬:‫ال‬
‫د‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬
َ ‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ال‬ ِ‫ص‬
‫ت‬ ِ ‫ ِإ ْسَت ْن‬:‫ال لَهُ فِي ح َّج ِة اْلو َد ِاع‬
َ َ‫ق‬ ‫م‬َّ
‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ِ ‫َأن النَّبِ َّي صلَّى اهلل َعلَي‬
‫ه‬ َّ ٍ
‫ر‬ ‫ي‬‫ر‬ِ ‫ج‬ ‫ث‬
ُ ‫ي‬ ِ‫ح‬
‫د‬
ُ َ ً ْ ُ
َ ْ ْ َ َ َ َ ََ ْ ُ َ ْ َ ْ َ
)‫ باب اإلنصات للعلماء‬٤۳ :‫ كتاب العلم‬۳ :‫ (أخرجه البخاري في‬.‫ض‬ َ َ‫ِرق‬
ٍ ‫اب َب ْع‬
Artinya: Hadis Jarîr ra, bahwa Nabi Saw bersabda kepadanya ketika haji Wada’: “Wahai manusia, diam dan dengarkanlah”.
Lalu beliabersabda: “Janganlah kalian sepeninggalku kembali kepada kekafiran, sebagian kalian memenggal leher yang
lain.” (HR. Bukhari).*
Contoh hadis yang lain:
‫ ثُ َّم لَ ْم يَ ِج ُد ْوا ِإالَّ َأ ْن يَ ْستَ ِه ُم ْوا‬،‫ف اَْألَّوِل‬ َّ ‫َّاس َما فِي النِّ َد ِاء َو‬
ِّ ‫الص‬ ُ ‫ لَ ْو َي ْعلَ ُم الن‬:‫ال‬ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ
َ ‫َأن َر ُس ْو َل اهلل‬ َّ ،‫ث َأبِي ُح َرْي َرَة‬ ُ ْ‫َح ِدي‬
:‫ (أخرجه البخاري فى‬.‫الص ْب ِح َأَلَت ْو ُه َما َولَ ْو َح ْب ًوا‬ ُّ ‫ َولَ ْو َي ْعلَ ُم ْو َن َما فِي اْ َلعتَ َم ِة َو‬،‫َّه ِج ْي ِر الَ ْستََب ُق ْوا ِإلَْي ِه‬
ْ ‫ َولَ ْو َي ْعلَ ُم ْو َن َما فِي الت‬،‫َعلَْي ِه الَ ْسَت َه ُم ْوا‬
)‫ باب تسوية الصفوف عند اإلقامة وبعدها‬۷۱ :‫ كتاب األذان‬۱۰
Artinya: Hadis Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: “Seandainya manusia mengetahui apa kebaikan
yang terdapat pada azan dan shalat pada shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan cara
mengundi, niscaya mereka akan melakukannya. Seandainya mereka mengetahui kebaikan yang terdapat dalam bersegera
menuju shalat, niscaya mereka akan berlomba-lomba. Seandainya mereka mengetahui kebaikan yang terdapat pada shalat
Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.” (HR. Bukhari)* 19

* Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sahih Bukhari Muslim (Mutiara Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari dan Muslim), Bandung: Cordoba
Internasional Indonesia, 2018, hal. 27.
* Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sahih Bukhari Muslim (Mutiara Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)..., hal. 173.
Hadis yang ‘amm
َّ ‫ث َحتَّى َيَت َو‬
‫ضَأ‬ َ ‫َأح َد‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ِ ‫الَ ي ْقبل اللَّهُ صال َة َأح‬
‫د‬
ْ ْ َ َ َُ َ
Yang artinya : "Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu.“
Ditakhsis oleh Firman Allah Swt pada surat an-Nisa: 43
Hadits yang ‘âmm dan khâs
‘Âmm

‫ش ُر‬
ُ ‫ ال ُْع‬:ُ‫الس َماء‬
َّ ‫ت‬ِ ‫فِ ْيما س َق‬
َ َ
“Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.” (bukhari muslim)
khâs

ٌ‫ص َدقَة‬ ٍ
‫ق‬ ‫س‬‫َأو‬ ِ ‫لَيس فِيما ُدو َن َخمس‬
‫ة‬
َ ُ ْ َ ْ ْ َْ َ ْ
“Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq).” (bukhari
muslim) 20
Hadits yang khas

Firman Allah Swt dalam surat an-Nisa: 11 masih mengandung makna umum di takhsis dengan hadits riwayat bukhari muslim:
‫ث اَلْ َكافِ ُر اَل ُْم ْسلِ َم) ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬
ُ ‫ َواَل يَ ِر‬،‫ث اَل ُْم ْسلِ ُم اَلْ َك ِاف َر‬ َ َ‫َأن اَلنَّبِ َّي صلى اهلل عليه وسلم ق‬
ُ ‫ (اَل يَ ِر‬:‫ال‬ ِ
َّ -‫ضي اَللَّهُ َع ْن ُه َما‬ ٍ
َ ‫ُأس َامةَ بْ ِن َزيْد – َر‬
َ ‫َو َع ْن‬
Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “ Orang muslim tidak mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim .” (HR. Muttafaq Alaihi).

21
Definisi Khâsh

Khâs menurut bahasa (etimologi) adalah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum.
Dengan kata lain, khâs itu kebalikan dari ‘âmm. Sedangkan khâs menurut istilah (terminologi) adalah lafadz yang
menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan pribadi atau bilangan. Sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah
Lafadz yang diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orang yang tertentu.
Pendapat para ulama terkait lafadz khâs diantaranya:
1) Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khâs adalah lafadz yang merupakan kebalikan dari lafadz ‘amm, yaitu
yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2) Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khâs adalah setiap lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna
satu atas beberapa satuan yang diketahui.
3) Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khâs adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan
satu orang tertentu.
4) Menurut Ulama’ Al Syaukani, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu sebutan saja.*

H. Moch. Tolchah, ”Aneka Pengkajian Studi Al-Qur’an,” dalam http://digilib.uinsby.ac.id/6878/21/Bab%2017. 22


Diakses pada 06 Desember 2021
Nâsikh Mansûkh dalam Hadits
Definisi Nâsikh Mansûkh
Kata “an-naskh (‫ ”)ا لنسخ‬adalah bahasa Arab yang berarti ganda, yaitu al-inzâl ‫ )ا إلنزا (ل‬artinya menghilangkan, dan an-naql (‫ )ا لنقل‬artinya
menyalin, sebagaimana kalimat ‫كتاب‬
" ‫تل‬‫( "ن سخ ا‬aku telah menyalin kitab), maksudnya “aku telah menyalin isi kitab untuk dipindahkan ke kitab
lain”.
Sedangkan menurut istilah Nâsikh adalah:
ِ ‫الشار ِِع ح ْكما ِمن ْه ُمت َقدِّما بِح ْك ٍم‬
‫ِّرا‬
ً ‫َأخ‬َ‫ت‬‫م‬ُ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫م‬ ُ ً َُ ً ُ َّ ‫َرفْ ُع‬
Artinya: “Menghapusnya Syari’ (pembuat hukum) terhadap hukum (yang datangnya lebih) dahulu (untuk) diganti dengan hukum yang
(datangnya) kemudian.”*
Maksudnya ialah Syari’ (pembuat hukum) menghapus sebuah hukum dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian.
Jadi, ilmu an-Nâsikh wa al-Mansûkh menurut ulama hadis ialah:

‫ض َها‬ ِ َ‫ضها بَِأنَّهُ ن‬


ِ ‫اس ٌخ و َعلَى ب ْع‬ ِ ‫ث الْح ْك ِم َعلَى ب ْع‬
ُ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ض ِة الَّتِى الَيم ِكن التَّوِفيق بينها‬ َ ِ
‫ر‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ْم‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ث‬ِ ‫ي‬ ِ ‫ث َع ِن اَأْلح‬
‫اد‬ ُ ‫ح‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ى‬ ِ َّ‫ال ِْعلْم ال‬
‫ذ‬
َ َ َ َ ُ َْ ْ َ َ ُ
َْ ْ ْ ُ ُْ َ
َ ُ ْ َ َ َْ ُ
ِ ِ
ُّ َ‫ت ت‬
‫َأخ ُرهُ كاَ َن نَاس ًخا‬ ُ ‫ت َت َق ُّد ُمهُ َكا َن َم ْن‬
َ َ‫س ْو ًخا َوَما َثب‬ َ َ‫ فَ َما َثب‬،‫خ‬ ُ ‫اَأْل َخر بَأنَّهُ َم ْن‬.
ٌ ‫س ْو‬
Artinya: “Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang (secara lahiriah) berlawanan, yang diantara keduanya tidak
memungkinkan untuk dipertemukan lantaran adanya materi (yang secara lahiriah) bertentangan, padahal hakikatnya saling
hapus menghapus. Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansûkh” dan yang datangnya
kemudian dikenal dengan sebutan “nâsikh.”* 23
* KH. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits), Yokyakarta: Pustaka
Pesantren, 2013, hal. 93.
* M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal. 119.
Melihat definisi di atas, az-Zuhriy berkomentar bahwa ilmu nâskh dan mansûkh termasuk salah satu disiplin ilmu
yang paling banyak menyita waktu dan energi, sebab tingkat kesulitan dan ketelitian yang dibutuhkan untuk
menguasainya lebih tinggi. Terutama ketika melakukan istinbath hukum dan ketentuan nash yang masih belum
jelas atau kurang jelas kepastian hukum yang dikehendakinya.
Dari faktor tersebut, untuk mengetahui nâsikh dan mansûkh, dapat dilihat dari ada tidaknya hal-hal sebagai
berikut:*
a) Adanya penjelasan Nabi Saw sendiri dalam haditsnya, seperti hadits tentang “ziarah kubur”, dimana pada
masa awal Islam dilarang, tapi dikemudian hari diperbolehkan, berdasarkan kaedah:

"‫اح َة‬‫ِإْل‬
‫ب‬ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ي‬‫ف‬ِ
ُ ْ ُ‫َأْلُر َب ْع َد ا لنَّ ِهيي‬
‫"اَ ْم‬
َ َ
Artinya: “Status hukum perintah yang jatuh setelah larangan mubah atau boleh.”
Hadits tersebut adalah sebagai baerikut:

‫ت َن َه ْيتُ ُك ْم َع ْن ِزيَ َارِة الْ ُق ُب ْوِر َف ُزْوُرْو َها‬


ُ ‫ُك ْن‬
Artinya: “Aku (Nabi Saw) dahulu pernah melarang kamu sekalian berziarah kubur, (sekarang berziarahlah
kamu sekalian ke kubur itu”. (HR. Imam Tirmidzi, Imam Malik, Muslim, Abu DAud, dan Nasa’i). 24

* KH. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits)…, hal. 94-95.
b) Adanya penjelasan dari para sahabat, seperti:

...‫َّار‬
‫ن‬
‫ل‬ ‫ت‬
‫ا‬ ‫س‬
َّْ ‫م‬ ‫ا‬‫م‬َّ ِ ‫ضوِء‬
‫م‬ ُ ‫ْو‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ك‬
ُ ‫ر‬ ‫ت‬
َ ‫م‬َّ
‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ِ ‫َألريِْنِم نرس ِولا‬
ِ ‫هلل ص لَّىا هلل َع لَي‬ ‫م‬ ‫ا‬
ْ ‫ر‬ ِ ‫َك َان‬
‫آخ‬
ُ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ ْ
َ ُ
Artinya: “…yang terakhir dari dua perintah Nabi Saw adalah meninggalkan wudhu dari sesuatu yang
terkena api.” (HR. Muslim)*
c) Adanya keterangan sejarah. Seperti hadit riwayat Abu Dawud dan Nasai’i dari Syaddad bin Aus, Nabi Saw
bersabda:
ِ ‫َأفْطَر اْلح‬
‫اج ُم َوال َْم ْح ُج ْو ُم‬ َ َ
Artinya: “Batal puasa orang yang berbekam dan dibekam.” (HR. Abu Dawud)
Dalam menanggapi hadits di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits tersebut di nasakh dengan hadits Ibnu
Abbas yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:

‫صاِئ ٌم‬ ِ
َ ‫َأن النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ِإ ْحتَ َج َم َو ُه َو ُم ْح ِرٌم‬ َّ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw berbekam, padahal beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa.”
(HR. Muslim) 25

* KH. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits)…, hal. 95.
d) Adanya Ijma’ ulama, seperti:

ُ‫اجلِ ُد ْوهُ فَِإنْ َعا َد ِفى ال َّرابِ َع ِة فَا ْقتُلُ ْوه‬


ْ َ‫لخ ْم َر ف‬
َ ‫ش ِر َب ْا‬
َ ْ‫َمن‬
Artinya: “Siapa saja yang meminum minuman keras, maka deralah. Jika dia berbuat keempat kalinya, maka
bunuhlah ia.” (HR. Tirmidzi)
Dalam menanggapi hadits di atas, Imam Nawawi berkomentar dalam kitab syarah Muslim bahwa ijma’ menunjukkan
adanya nasakh pada hadits ini, tidak menasakh tapi hanya menunjukkan adanya nasakh.
Adapun pelopor pembahasan masalah ada tidaknya nâsakh mansûkh dalam hadits adalah:*
• ‫الناسخ والمنسوخه‬/an-Nâsikh wa al-Mansûkh, karya Qatadah bin Da’amah ad-Dausiy (61-118).
• ‫ناسخ الحديث ومن سوخه‬/Nâsikh al-Hadits wa Mansûkhih, karya Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram (w.261 H).
• ‫ناسخ الحديث ومن سوخه‬/Nâsikh al-Hadits wa Mansûkhih, karya Abu Hafsh Umar Ahmad al-Baghdadiy (Ibnu
Syahin/297-385 H). Lalu Imam Syafi’i, dilanjutkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan Ahmad bin Ishaq ad-Dinariy (318 H),
kemudian disusul dengan kitab:
• ‫اإلعتبار فى الناسخ والمنسوخ من اآلثار‬/al-I’tibâr fî an-Nâsikhi wa al Mansûkhi min al-Âtsâr, karya Abu Bakar Muhammad
bin Musa al-Hazimiy al-Hamdaniy (584 H). 26
* KH. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits)…, hal. 95-96.
Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Hadits

MUJMAL ialah Sesuatu yang membutuhkan penjelasan seperti lafadz ‫ ُق ُرْوٍء‬pada surat al-Baqarah:
228
‫ص َن بَِأْن ُف ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ ُق ُرْوٍء‬ ُ ‫َوال ُْمطَلَّ َق‬
ْ َّ‫ات َيَت َرب‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Maka sesungguhnya yang disebut ‫ ُق ُرْوٍء‬itu mencakup antara haidh dan suci.
Sedangkan yang disebut BAYAN adalah mengeluarkan sesuatu dari perkara yang sulit difahami ke perkara
yang lebih jelas. Adapun BAYAN terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
1) BAYAN dengan ucapan seperti pada masalah puasa untuk orang yang berhaji Tamattu’ yang tertera
dalam surat al-Baqarah: 196
...‫ تِ ل َْكَع َشَرةٌ َك ِام َلٌة‬،‫ْح ِّج َو َس ْبَع ٍة ِإ َذا َر َج ْعتُ ْم‬
‫صَي ُام ثَ َالثَِة ّأيَّ ٍام فِ ىا َل‬
ِ َ‫ف‬...
"Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna...." 27
2) BAYAN dengan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw dalam memberikan contoh
praktik sholat dan lainnya.
3) BAYAN dengan tulisan, seperti penjelasan tentang kadar zakat dan diyat anggota tubuh, itu telah
ditulis nabi dalam sebuah kitab yang masyhur, hal ini dapat dilihat dari sebuah Hadits:
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َبَّيَن ُه َما بِ ُكتُبِ ِه ال َْم ْش ُه ْوَرِة‬
َ ُ‫فَِإ نَّه‬
“Maka sesungguhnya Nabi Saw telah menjelaskan tentang kadar zakat dan diyat anggota tubuh dengan
kitabnya yang masyhur”
4) BAYAN dengan isyarat, seperti ucapan Rasulullah Saw:
َّ
‫الش ْه ُر َه َك َذا َو َه َك َذا َو َه َك َذا‬
“Bulan itu segini, segini dan segini” (Yaitu 30 hari, kemudian Nabi Saw isyarah dengan jarinya 3 kali
dan menahan jempolnya pada isyarah ketiga, itu berarti terkadang hitungan bulan itu ada yang 29 hari).
28
Mutlaq dan Muqayyad dalam Hadis

‫اهيَ ِة بِالَ َق ْي ٍد ِم ْن ُقُي ْوِد َها‬


ِ ‫ ما َد َّل َعلَى الْم‬:‫الْمطْلَ ُق‬
َ َ ُ
“MUTHLAQ ialah mengambil pengertian dari lafadz yang menunjukkan hakikat dan tidak
ada yang mengikat (bebas).”
‫اهيَ ِة بَِق ْي ٍد ِم ْن ُقُي ْو ِد َها‬
ِ ‫ ما َد َّل َعلَى الْم‬:‫الْم َقيَّ ُد‬
َ َ ُ
“MUQAYYAD ialah mengambil pengertian dari lafadz yang menunjukkan hakilat dengan
beberapa ikatan”.
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya khithab (petuah) itu jika datang secara muthlak, maka
akan tetap kemuthlakannya. Dan jika datang secara muqayyad, maka akan tetap pula
kemuqayyadannya. Kemudian apabila datang dengan muthlaq pada satu tempat dan
muqayyad ditempat yang lain, maka akan menjadi muqayyad. Seperti dalam keterangan
memerdekakan hamba sahaya perempuan yang dimuqayyadi dengan mu’minah, pada
sebagian hukum diantaranya pada kafarat membunuh yang termaktub dalam surat an-Nisa: 92 29
...‫ َف تَ ْحِرْيُر َر َقبَ ٍة ُمْؤ ِم َن ٍة‬...
".....Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman....“
Dan contoh lafadz Muthlaq yaitu terdapat pada surat al-Mujadalah: 30 dalam
menjelaskan tentang kafarat Dzihar.
...‫ َف تَ ْحِرْيُر َر َقبَ ٍة‬...
"......Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak......"

30
Manthûq dan Mafhûm dalam Hadis

Definisi Manthûq dan Mafhûm


‫ظ ِفى َم َح ِّل النُّط ِْق‬
ُ ‫ َما َد َّل َعلَْي ِه اللَّ ْف‬:‫فالمنطوق‬
MANTHUQ ialah mengambil pengertian dari lafadz yang diucapkan (yang dituliskan)
‫ظ الَ ِفى َم َح ِّل النُّط ِْق‬
ُ ‫ َما َد َّل َعلَْي ِه اللَّ ْف‬:‫والمفهوم‬
MAFHUM ialah mengambil pengertian dari lafadz yang tidak diucapkan (yang tidak
dituliskan)
MANTHUQ terbagi menjadi dua bagian:
1) Yang tidak membutuhkan Ta‟wil dan disebut Nash, misalnya pada surat al-Baqarah: 196

...‫صَي ُام ثَ َالثَِة َأياٍَّم‬


ِ َ‫ف‬...
"..... Maka wajib berpuasa tiga hari...." 31
2) Yang membutuhkan Ta‟wil dan dan disebut Dzahir, misalnya pada surat adz-Dzariyat: 47
‫الس َماءَ َبَن ْيَن َها بَِأيْ ٍد َوِإنَّا لَ ُم ْو ِسعُ ْو َن‬
َّ ‫َو‬
“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa”.
Asalnya lafadz‫ َأيْ ٍد‬adalah jama’ lafadz ‫ٍد‬ َ‫ ي‬bermakna tangan, karena mustahil bagi Allah mempunyai tangan maka dita’wil
menjadi makna Kekuatan/kekuasaan.
Sedangkan MAFHUM juga terbagi menjadi dua bagian:
1) MAFHUM MUWAFAQOH yaitu:
‫ت َع ْنهُ ُم َوافِ ًقا لِل َْم ْنطُْو ِق بِ ِه‬
ُ ‫َو ُه َو َما َكا َن ال َْم ْس ُك ْو‬
“Yaitu Pemahaman yang diambil sesuai dengan yang diucapkan (ditulis)”.
Misalnya: tentang larangan memukul kedua orang tua, yang dapat dipahami dari surat al-Isra: 23
...‫فَ َال َت ُقْللَ ُه َما ٍُّأفَواَل َت ْنَه ْرُهَما َوقُْللَ ُه َما َق ْواًل َك ِريًْما‬
".....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." 32
Dan larangan membakar harta anak yatim yang terdapat pada surat an-Nisa: 10
‫ال الْيَتَ َمى ظُل ًْما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُ ْو َن فِى بُطُْونِ ِه ْم نَ ًارا‬
َ ‫ِإ َّن الَّ ِذيْ َن يَْأ ُكلُ ْو َن َْأم َو‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan
api sepenuh perutnya.”

2) MAFHUM MUKHALAFAH yaitu:

‫ت َع ْنهُ ُم َخالًِفا لِل َْمْنطُْو ِق بِ ِه‬


ُ ‫َو ُه َو َما َكا َن ال َْم ْس ُك ْو‬
“Yaitu Pemahaman yang diambil berlawanan dengan yang diucapkan (ditulis)”.
Misalnya tentang tidak wajib zakatnya hewan-hewan yang dipelihara, diambil dari mafhum mukhalafah dari
Hadits Nabi Saw:
ٌ‫فِى َساِئ َم ِة الْغَنَ ِم َزَكاة‬
“Untuk kambing yang dilepas bebas itu wajib zakat” 33
Dan tentang tidak bolehnya melakukan ibadah haji selain bulan-bulan yang telah
ditentukan, diambil dari mafhum mukhalafah surat al-Baqarah: 197
ٌ ‫ْح ُّج َأ ْش ُه ٌر َّم ْعلُ ْوَم‬
‫ات‬ َ ‫ال‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,...”
Dan juga tentang bolehnya berjualan pada hari Jum’at sebelum adzan Jum’at
berkumandang, dari mafhum mukhalafah surat al-Jumu’ah: 9
ِ ‫اس ع وا ِإ َلى ِذ ْكِرا‬
...‫هلل َو َذُر ا َلْبْي َع‬ ‫ف‬
َ ِ ‫لص َالِة ِم ني وِم ا لْجمع‬
‫ة‬ َّ ِ‫ِإذَا ُن وِد يل‬...
َْ ْ َُ ُ ْ َ ْ َ ْ
"Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli."
34
Contoh Manthûq dan Mafhûm dalam Hadis

ِ ‫ " ُت ْقطَع اَلْي ُد ِفي رب ِع ِدينا ٍر فَص‬:‫وفي الحديث‬


‫ وأما‬،‫ أن السارق تقطع يده إذا سرق ربع دينار أو أكثر‬:‫اع ًدا " المنطوق في هذا الحديث‬ َ َ ُُ َ ُ
‫ السارق ال تقطع يده إذا سرق أقل من ربع دينار‬:‫المفهوم منها‬
Dan dalam hadits: “Tangan dipotong seperempat dinar ke atas.” Yang berlaku dalam hadits ini adalah bahwa pencuri akan
dipotong tangannya jika mencuri seperempat dinar atau lebih.
Dalam hadis yang lain dikatakan:
‫ اَل ُت ْقطَ ُع يَ ُد َسا ِر ٍق‬:‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم‬ ِ ‫ َعن َعاِئ َشةَ ر‬:)1684( ‫ظ لِمس ِلم‬
ْ َ‫ض َي اَللَّهُ َعْن َها قَال‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ت‬ َ ْ ْ ُ ُ ‫) َوالِلَّ ْف‬6789 ( ‫البخاري‬
ِ
ِ
‫صاع ًدا‬ َ َ‫ِإاَّل في ُربُ ِع دينَا ٍر ف‬
MANTUQH hadis ini adalah: seorang pecuri akan dipotong tangannya jika ia mencuri seperempat dinar atau lebih.
MAFHUM hadis ini adalah: seorang pencuri jika mencuri lebih sedikit dari seperempat dinar maka tidak dipotong tangannya.
Contoh hadis mafhum lain:
Misalnya tentang tidak wajib zakatnya hewan-hewan yang dipelihara, diambil dari mafhum mukhalafah dari Hadits Nabi Saw:
َّ ‫"في َساِئ َم ِة الغَنَ ِم‬
‫الزَكاة" البخاري‬
35
"Untuk kambing yang dilepas bebas itu wajib zakat ”
THANK YOU!

23 Desember 2021

Phone:
Alam 0813 4447 0867
Ibih TG 0812 8261 142

Email:
[email protected]
[email protected]

Anda mungkin juga menyukai