Alamsyah - Ibih Hasan - Ilmu Ta - Wil Al-Hadits
Alamsyah - Ibih Hasan - Ilmu Ta - Wil Al-Hadits
Alamsyah - Ibih Hasan - Ilmu Ta - Wil Al-Hadits
Alamsyah (202510004)
Ibih TG Hasan (202510032) 1
Asal Usul Bahasa Hadis
Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa mayor di dunia memiliki setumpuk
keistimewaan dari ciri khas tersendiri yang membedakan dengan bahasa
yang lainnya. Bahasa Arab sebagaimana bahasa-bahasa lainnya, memiliki
asal-usul sejarah dan perkembangan. Bahasa Arab mula-mula berasal,
tumbuh, dan berkembang di negara-negara kawasan Timur Tengah.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa pengaruh bahasa Arab
tampak semakin luas dalam pergaulan dunia internasional, sehingga sejak
tahun 1973 bahasa ini diakui secara resmi sebagai bahasa yang sah untuk
dipergunakan di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahasa Arab
juga dianggap bahasa umat Islam, disebabkan dengan adanya al-Qur’an
dan hadis Nabi yang berfungsi sebagai dua sumber pokok ajaran Islam
ditulis dalam bahasa Arab, bahkan tidak terbatas pada dua sumber itu.
2
Apa yang kita lihat dan baca dalam al-Qur’an dan hadis,
berikut buku-buku agama sebagai hasil dari interpretasi
rujukan utama Islam yang semuanya menggunakan bahasa
Arab dalam mengkomunikasikan pesan-pesan religiusnya,
ternyata telah melalui proses evolusi dalam kurun waktu
sejarah perjalanan bahasa Arab sebagaimana yang dipakai
sekarang tidak sama dengan bahasa Arab qadîm disaat
awal munculnya, tapi telah melalui perjalanan panjang
selama ribuan tahun yang berproses sedikit demi sedikit
hingga mencapai kesempurnaan seperti terlihat pada
bahasa al-Qur’an dan bahasa Fushah* yang dijadikan
sebagai alat komunikasi.*
* Bahasa Arab Baku Modern, atau Bahasa Arab Tulisan Modern, ialah istilah yang sebagian besar digunakan oleh ahli bahasa Barat untuk 3
merujuk pada varietas baku, sastra Bahasa Arab yang berkembang di dunia Arab pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
* Husni Mubarak, “Asal Usul Bahasa Arab”, dalam Jurnal Iqra’ Vol. 5 No. 1 Tahun 2011, hal. 109.
Perubahan tersebut terjadi di saat suatu pemakai bahasa berpindah ke tempat lain sekaligus menetap dan
beranak pinak lalu berbaur dengan bahasa lain, di situ terjadi proses perubahan step by step tanpa
dirasakan oleh sipemakainya dan begitulah seterusnya.
beberapa pandangan para sejarawan dan ahli bahasa, tentang asal usul
bahasa sebagai berikut:*
1) Ibnu Fâris, dalam bukunya fiqh al-Lugah, bahwa asal mula bahasa tulis
diprakarsai oleh Nabi Adam, Nabi Adam dipandang sebagai orang pertama
menulis dengan bahasa Suryani Arabiyah. Pendapat lain seperti Ka'ab Al-
Akhbâr menyebutkan bahwa pertama kali yang menulis Arab adalah Nabi
Adam As. Kemudian ditemukan kembali oleh Nabi Ismail As, setelah
peristiwa banjir di zaman Nabi Nuh As. Menurutnya bahwa Nabi Adam
'Alaihissalam menulis 300 tahun sebelum wafatnya. Nabi Adam menulisnya
pada tanah lalu dibakar. Ketika terjadi banjir besar dizaman Nabi Nuh
'Alaihissalam, tulisan tersebut ikut tenggelam. Setelah surut baru kemudian
ditemukan oleh Nabi Ismail As. Pendapat tersebut dapat ditelusuri pada
kitab ulumul Quran karya al-Zarkâsyî, namun demikian untuk membuktikan
argumentasi tersebut sangat sulit, karena jarak waktu antara Nabi Nuh
dengan masa kini sudah terlampau jauh, dan dimungkinkan artefak dan sisa
peradaban tulisan di zaman itu telah tergerus oleh zaman dan alam,
sehingga sampai saat ini para ahli kepurbakalaan di Timur dan Barat belum
menemukan bentuk dan tulisan di zaman itu.
4
* Ibnu Rawandhy N. Hula, “GENEALOGI ORTOGRAFI ARAB (Sebuah tinjauan Historis: Asal-usul, Rumpun Bahasa dan Rekaman
Inskripsi)”, dalam ‘A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hal. 22.
2) Asal mula bahasa tulis dilakoni oleh Nabi Idris, pandangan ini didalilkan pada
hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Hibban bahwa Nabi Saw bersabda ‚Idris
adalah “orang pertama menulis dengan pena”.
6
5) Menurut 'Urwah bin Zubeir RA, pertama kali yang
menulis Arab adalah para leluhur kaum Azd. Di antara
nama-nama mereka adalah Abjad, Hawwaz, Huththa,
Kilman, Sa'fash dan Qorusyat. Mereka semua adalah
para raja negeri Madyan.
Definisi Muhkam Maksudnya adalah hadits shahih atau hasan dan kemudian ada
Secara etimologi: Al-Muhkam adalah isim maf’ul dari hadits yang semisal dengannya dari segi tingkatan maupun kekuatan,
kata ahkama yang berarti menekuni.* Muhkam berarti secara lahir arti hadits tersebut bertentangan dengannya, dan sangat
yang dikokohkan.* Secara terminologi Al-Muhkam mungkin bagi para ulama dan yang mempunyai pemahaman yang
adalah hadits yang diterima yang terbebas dari
dalam, untuk memadukan antara arti keduanya dengan bentuk yang
pertentangan dengan yang semisalnya.* Mayoritas
bisa diterima.
hadits termasuk dalam jenis ini, sangat sedikit hadits
yang kontradiktif dan berselisih jika dilihat dari • Contoh hadits:
keseluruhan jumlah hadits yang ada. Sedangkan • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
antonim dari muhkamul hadits adalah mukhtalaf al-
hadits. Secara etimologi, mukhtalaf al-hadits adalah isim
fa’il dari kata ikhtalafa-yakhtalifu yang berarti berbeda.* َاَل َع ْد َوى َواَل ِطَي َرة
Arti dari mukhtalaf al-hadits adalah hadits yang sampai • “Tidak ada penyakit yang menular dan tidak ada pengaruh
kepada kita dan terlihat bahwa maksud hadits tersebut buruknya”.
saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan • Dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari:
* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits, Jakarta: Ummul Qura, 2016, hal. 67.
* Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, hal. 264. 8
* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits..., hal. 67.
* A. W. Munawir Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir (Indonesia-Arab Terlengkap), Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, hal. 109.
* Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Imu Hadits…, hal. 67.
* Penyakit menahun yang menyerang kulit dan syaraf, yang secara perlahan-lahan menyebabkan kerusakan pada anggota tubuh.
Cara Menggabungkan
Kedua hadits ini shahih, dan secara lahir arti keduanya bertentangan. Sebab yang pertama meniadakan
penularan suatu penyakit, dan yang kedua menetapkannya. Kemudian para ulama memadukan antara
keduanya dan menyatukan arti keduanya dengan beberapa pandangan. Mahmud Ath-Thahhan dalam buku
Dasar-Dasar Ilmu Hadits menyebutkan pendapat yang dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan maksud
seperti berikut:
Salah satu cara menggabungkan antara dua hadits tersebut adalah: dikatakan bahwa suatu penyakit tidak
akan menular dengan dalil sabda Rasulullah Saw, “sesuatu tidak dapat menular kepada sesuatu yang lain”*
juga sabda Nabi Saw untuk yang menyelisihinya bahwa ada seekor unta berkudis berada disekeliling unta
yang sehat, kemudian dia berbaur hingga akhirnya unta yang sehat terkena kudis. Kemudian Nabi Saw
bersabda: siapa yang menulari yang pertama?* Artinya adalah Allah memberikan penyakit kepada unta yang
kedua seperti memberi penyakit kepada unta yang pertama.
Adapun perintah Nabi Saw untuk menjauhi penyakit kusta adalah untuk mencegah perkara yang
menimbulkan kerusakan atau agar orang yang berbaur dengan penderita kusta tersebut tidak terkena
penyakit kusta dengan takdir Allah, bukan karena menularnya penyakit tersebut dengan sendirinya. Kemudian
mengira bahwa terjadinya kusta tersebut dikarenakan berbaurnya dengan penderita kusta, lalu dia meyakini
bahwa benar adanya penularan, maka jatuhlah dia ke dalam dosa. Maka diperintahkan untuk menjauhi orang
yang menderita kusta agar tidak jatuh kedalam pemahaman ini, yang menjerumuskan ke dalam dosa.
9
* Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, Makassar: Alauddin Press, 2015, hal. 5.
Menurut Syafi’iyah, diantaranya Imam al-Gazali memberikan komentar bahwa ‘âmm itu adalah:
َ َش ْيَئ ْي ِن ف
صاِئ ًدا َ اح َد ٍة َعلَى ِ اللَّ ْفظُ ْال َو
ِ اح ُد الدَّا ُل ِمنْ ِج َه ٍة َو
Terjemahnya: “Satu lafadz yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih”.
Sedangkan menurut Imam al-Bazdawi, âmm adalah:
12
Lafadz-Lafadz ‘Amm
Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘amm, diperlukan pemahaman mendalam terhadap
gramatika bahasa Arab terutama yang membahas morfologi paralel (sharaf) dan sintaksis paralel (nahwu).
Dari situ akan kita ketahui maksud dan tujuan nash, apakah arahnya umum atau khusus. Oleh karena
itu penting untuk mengetahui bahasa Arab. Lafadz-lafadz yang menunjukkan lafadz umum adalah:
1) Lafadz( ك& &&لsetiap) dan ( ج&ام&&عseluruhnya). Misalnya sabda Nabi:
... كلكم راع وكلكم مسؤول عن راعيته:عن ابن عمر رضي هللا عنهما عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال
)(متفق عليه
2) Sighat jama’ yang disertai alif lam diawalnya. Misalnya sabda Nabi:
)ص َّدقْ ِن فَِإ نِّي ُأ ِرْيتُ ُك َّن َأ ْك َث َر َْأه َل النَّا ِر (رواه البخارىت
َ ِ يا مع َشر النِّس
آء
َ َ َ َْ َ
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian, sebab aku melihat kalian paling banyak dalam neraka…”
13
3) y الpada lafadz nakirah (umum)
س َش ْيًئا ٌ و َّات ُق ْوا َي ْوًما الَ تَ ْج ِزى َن ْف...
ٍ س َع ْن َن ْف َ
"Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain,....."(QS. al-
Baqarah : 48)
4) Isim Mubham
a. Lafadz م نuntuk yang berakal. Firman Allah:
َ فَ َم ْن َي ْع َم ْل ِم ْث َق
ُال َذ َّرٍة َخ ْي ًرا َي َره
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. az-Zalzalah :
7)
b. Lafadz ماuntuk yang tidak berakal, firman Allah Swt:
Para ulama sepakat bahwa ‘âmm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsish
adalah qath’i dilalalah (penunjukkan yang pasti dan tidak mungkin mengandung makna lain). Mereka pun sepakat
bahwa lafadz ‘âmm yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah
yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafadz ‘âmm yang muthlaq (berdiri secara
independen) tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhshish atau tetap berlaku umum
yang mencakup person atau bagian yang masuk di dalamnya.
Menurut ulama Hanafiyah dilalah ‘âmm itu qath’i. Dan qath’i menurut mereka adalah:
ال يحتمل احتماال ناشئا عن دليل
Terjemahnya: “Tidak memunculkan kemungkinan-kemungkinan (penafsiran) lain yang berasal dari suatu dalil”.
Namun, bukan berarti tidak tertutup kemungkinan adanya takhshish sama sekali. Oleh karena itu, untuk
menetapkan ke qath’ian lafadz ‘âmm pada mulanya tidak boleh ditakhsis sebab apabila pada awalnya sudah
dimasuki takhsish, maka dilalah (penunjukkan) itu bersifat dzanni. Mereka beralasan bahwa: suatu lafadz apabila
ditempatkan pada suatu makna, maka makna itu tetap qath’i sampai ada dalil yang mengubahnya. Hal ini
ditegasnya dengan pernyataan:
16
، واللفظ حين إطالقه يدل على معناه الحقيقي قطعا.إن لفظ العام موضوع حقيقة الستغراق جميع ما يصدق عليه معناه من األفراد
فالعام المطلق عن قرينة تخصصه يدل على العموم قطعا وال ينصرف عن معناه الحقيقي إال بدليل
Terjemahnya: “Sesungguhnya lafadz ‘amm itu merupakan suatu hakikat yang menunjukkan bahwa
seluruh makna yang dikandungnya mencakup seluruh person atau bahagian yang ada dalam lafadz
‘amm itu. Suatu lafadz jika dimutlakkan maknanya, maka lafadz itu menunjukkan makna dan artinya
secara hakiki. Begitu juga lafadz ‘amm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya
menunjukkan pada makna umum dan tidak mungkin akan terjadi pengalihan makna kecuali ada dalil
yang mengalihkannya”.
Menurut jumhur ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah) bahwa dilalah ‘âmm itu adalah
dzanni. Dengan alasan, dilalah ‘âmm itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai
kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafadz ‘âmm banyak sekali bisa
ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa
dilalahnya adalah qath’i.
17
Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:
واهللا بكل شيئ عليم:ليس فى القرآن عام إال وخصص إال قوله تعالي
Terjemahnya: “Seluruh lafadz ‘âmm yang ada dalam Al-Qur’an memungkinkan semua untuk ditakhsis kecuali firman Allah
yang berbunyi: dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen kaedah yang berbunyi:
* Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sahih Bukhari Muslim (Mutiara Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari dan Muslim), Bandung: Cordoba
Internasional Indonesia, 2018, hal. 27.
* Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sahih Bukhari Muslim (Mutiara Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)..., hal. 173.
Hadis yang ‘amm
َّ ث َحتَّى َيَت َو
ضَأ َ َأح َد اَذ إ م ك
ُ ِ الَ ي ْقبل اللَّهُ صال َة َأح
د
ْ ْ َ َ َُ َ
Yang artinya : "Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu.“
Ditakhsis oleh Firman Allah Swt pada surat an-Nisa: 43
Hadits yang ‘âmm dan khâs
‘Âmm
ش ُر
ُ ال ُْع:ُالس َماء
َّ تِ فِ ْيما س َق
َ َ
“Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.” (bukhari muslim)
khâs
ٌص َدقَة ٍ
ق سَأو ِ لَيس فِيما ُدو َن َخمس
ة
َ ُ ْ َ ْ ْ َْ َ ْ
“Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq).” (bukhari
muslim) 20
Hadits yang khas
Firman Allah Swt dalam surat an-Nisa: 11 masih mengandung makna umum di takhsis dengan hadits riwayat bukhari muslim:
ث اَلْ َكافِ ُر اَل ُْم ْسلِ َم) ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه
ُ َواَل يَ ِر،ث اَل ُْم ْسلِ ُم اَلْ َك ِاف َر َ ََأن اَلنَّبِ َّي صلى اهلل عليه وسلم ق
ُ (اَل يَ ِر:ال ِ
َّ -ضي اَللَّهُ َع ْن ُه َما ٍ
َ ُأس َامةَ بْ ِن َزيْد – َر
َ َو َع ْن
Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “ Orang muslim tidak mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim .” (HR. Muttafaq Alaihi).
21
Definisi Khâsh
Khâs menurut bahasa (etimologi) adalah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum.
Dengan kata lain, khâs itu kebalikan dari ‘âmm. Sedangkan khâs menurut istilah (terminologi) adalah lafadz yang
menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan pribadi atau bilangan. Sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah
Lafadz yang diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orang yang tertentu.
Pendapat para ulama terkait lafadz khâs diantaranya:
1) Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khâs adalah lafadz yang merupakan kebalikan dari lafadz ‘amm, yaitu
yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2) Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khâs adalah setiap lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna
satu atas beberapa satuan yang diketahui.
3) Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khâs adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan
satu orang tertentu.
4) Menurut Ulama’ Al Syaukani, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu sebutan saja.*
"اح َةِإْل
ب ا د يفِ
ُ ْ َُأْلُر َب ْع َد ا لنَّ ِهيي
"اَ ْم
َ َ
Artinya: “Status hukum perintah yang jatuh setelah larangan mubah atau boleh.”
Hadits tersebut adalah sebagai baerikut:
* KH. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits)…, hal. 94-95.
b) Adanya penjelasan dari para sahabat, seperti:
...َّار
ن
ل ت
ا س
َّْ م امَّ ِ ضوِء
م ُ ْو
ل ا ك
ُ ر ت
َ مَّ
ل س و ه ِ َألريِْنِم نرس ِولا
ِ هلل ص لَّىا هلل َع لَي م ا
ْ ر ِ َك َان
آخ
ُ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ ْ
َ ُ
Artinya: “…yang terakhir dari dua perintah Nabi Saw adalah meninggalkan wudhu dari sesuatu yang
terkena api.” (HR. Muslim)*
c) Adanya keterangan sejarah. Seperti hadit riwayat Abu Dawud dan Nasai’i dari Syaddad bin Aus, Nabi Saw
bersabda:
ِ َأفْطَر اْلح
اج ُم َوال َْم ْح ُج ْو ُم َ َ
Artinya: “Batal puasa orang yang berbekam dan dibekam.” (HR. Abu Dawud)
Dalam menanggapi hadits di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits tersebut di nasakh dengan hadits Ibnu
Abbas yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
صاِئ ٌم ِ
َ َأن النَّبِ َّي
َ صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ِإ ْحتَ َج َم َو ُه َو ُم ْح ِرٌم َّ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw berbekam, padahal beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa.”
(HR. Muslim) 25
* KH. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits)…, hal. 95.
d) Adanya Ijma’ ulama, seperti:
MUJMAL ialah Sesuatu yang membutuhkan penjelasan seperti lafadz ُق ُرْوٍءpada surat al-Baqarah:
228
ص َن بَِأْن ُف ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ ُق ُرْوٍء ُ َوال ُْمطَلَّ َق
ْ َّات َيَت َرب
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Maka sesungguhnya yang disebut ُق ُرْوٍءitu mencakup antara haidh dan suci.
Sedangkan yang disebut BAYAN adalah mengeluarkan sesuatu dari perkara yang sulit difahami ke perkara
yang lebih jelas. Adapun BAYAN terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
1) BAYAN dengan ucapan seperti pada masalah puasa untuk orang yang berhaji Tamattu’ yang tertera
dalam surat al-Baqarah: 196
... تِ ل َْكَع َشَرةٌ َك ِام َلٌة،ْح ِّج َو َس ْبَع ٍة ِإ َذا َر َج ْعتُ ْم
صَي ُام ثَ َالثَِة ّأيَّ ٍام فِ ىا َل
ِ َف...
"Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna...." 27
2) BAYAN dengan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw dalam memberikan contoh
praktik sholat dan lainnya.
3) BAYAN dengan tulisan, seperti penjelasan tentang kadar zakat dan diyat anggota tubuh, itu telah
ditulis nabi dalam sebuah kitab yang masyhur, hal ini dapat dilihat dari sebuah Hadits:
صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َبَّيَن ُه َما بِ ُكتُبِ ِه ال َْم ْش ُه ْوَرِة
َ ُفَِإ نَّه
“Maka sesungguhnya Nabi Saw telah menjelaskan tentang kadar zakat dan diyat anggota tubuh dengan
kitabnya yang masyhur”
4) BAYAN dengan isyarat, seperti ucapan Rasulullah Saw:
َّ
الش ْه ُر َه َك َذا َو َه َك َذا َو َه َك َذا
“Bulan itu segini, segini dan segini” (Yaitu 30 hari, kemudian Nabi Saw isyarah dengan jarinya 3 kali
dan menahan jempolnya pada isyarah ketiga, itu berarti terkadang hitungan bulan itu ada yang 29 hari).
28
Mutlaq dan Muqayyad dalam Hadis
30
Manthûq dan Mafhûm dalam Hadis
23 Desember 2021
Phone:
Alam 0813 4447 0867
Ibih TG 0812 8261 142