Pandemi Covid 19
Pandemi Covid 19
Pandemi Covid 19
Banyak teman - temanku yang bilang : “Bowo itu, dalam keseharian sangat disiplin
menerapkan protokol kesehatan, masih kena covid juga”. Saya tidak tau apakah itu
kesaksian yang tulus, atau hanya sekedar ungkapan untuk menenangkan saya,
yang sedang koleps karena terinfeksi covid-19.
Apapun kata orang dan seberapa keras upaya saya selama ini saya menjaga diri,
agar terhindar dari virus corona, tapi faktanya saya terinfeksi. Dan sampai saat ini,
dari mana dan kapan kira-kira saya terpapar? Saya renung-renung dan coba ingat-
ingat, sampai saat ini masih belum ketemu juga.
Pertanyaan standardnya: “Pak Bowo habis perjalanan luar kota kemana?”, “Terima
tamu luar kota siapa saja dan dari mana saja?. Kalau ditarik mundur dari saat gejala
awal dengan masa inkubasi, saya tidak ada perjalanan luar kota. Kemudian kalau
harus menerima tamupun (karena pekerjaan) sudah dengan protokol kesehatan
yang ketat. Jujur, karena pekerjaan, mobilitas saya memang relatif tinggi. Pun
demikian juga sudah dengan kehati-hatian yang sedemikian rupa. Sungguh ini
bukan sebuah apologi terhadap diri saya. Tapi hanya sebuah upaya untuk
menggugah sebuah permenungan, sudah berupaya sedemikian rupa saja, masih
tertapar dan kemudian terinfeksi.
Teman saya menganalogikan: “ Pak Bowo itu ibarat orang berkendara di jalan raya,
sudah hati-hati, tapi masih di atau tertabrak pengendara lain”. Dan bagi sahabat
diluar sana yang sampai saat ini masih abai dengan protokol kesehatan, terlebih
yang sampai detik ini masih belum percaya akan keberadaan virus corona, saya
mengalami terinfeksi dan sangat membahayakan jiwa. Belum dari sisi sosial,
psikologis dan ekonomi menjadi sangat rumit.
Awal Gejala Dimulai
Hari itu walau agak terlambat, saya masuk kerja biasa, tapi tidak bisa sampai jam
pulang, karena badan sungguh-sungguh tidak bisa diajak kompromi. Hari berikutnya
Jum’at tanggal 13 November 2020, badan terasa bersahabat (walau tidak Fit), saya
masuk kerja biasa. Tapi entah kenapa hari itu sepanjang waktu kerja, saya
memutuskan untuk tidak keluar dari ruang kerja. Kebetulan saya menempati satu
ruang sendirian. Hari Sabtu tanggal 14 November 2020 sepanjang hari aku
berbaring, karena kembali tidak enak badan. Bahkan malamnya tidak sekejappun
saya bisa memejamkan mata. Hari Minggu tanggal 15 November 2020 saya pergi ke
salah sebuah rumah sakit langganan untuk periksa dokter. Diperiksa, tensi saya
tinggi sekali 180/115. Ini yang membuat saya tidak bisa tidur, pikir saya. Dikasih obat
penurun tensi dan sejumlah obat yang lain. Hari Senin dan Selasa tanggal 16 dan 17
November 2020 saya istirahat dirumah, dengan mengambil kamar terpisah dari yang
lain.
Hari Rabu tanggal 18 November 2020 saya masuk kerja, tapi hanya setengah hari
dan juga hampir tidak keluar ruangan. Hari Rabu itu, sesampai dirumah, badan
terasa semakin tidak karuh-karuhan ditambah sama sekali tidak ada selera makan.
Padahal dalam keseharian di mulut saya, makanan hanya terasa enak atau enak
sekali. Tapi pada saat itu, mulut kemasukan makanan seperti tertusuk-tusuk jarum.
Bau bumbu masakan menjadi siksaan luar biasa.
Pada Hari Rabu Sore itu, badan saya mulai demam dan batuk. Kemudian saya
memutuskan ke rumah sakit lagi untuk periksa. Saya minta cek laborat (tapi belum
kepikiran rapid test, dan disinilah rupanya letak kebodohan saya). Hasilnya semua
baik. Bahkan trigliserida saya yang biasanya relatif tinggi, saat itu diangka normal.
Saturasi oksigen saat itu juga (masih) normal.
Dokter menambah beberapa obat seperti obat batuk dan penurun panas serta
beberapa vitamin. Saya masih sangat optimis dengan obat tambahan, kondisi akan
menjadi baik kembali.
Tapi apa yang terjadi, kondisi semakin tidak nyaman. Menurunnya nafsu makan
mencapai titik nadir. Praktis saya hanya kemasukan air minum dan sedkit sekali
buah. Sepanjang hari dan malam tidak bisa memejamkan mata sama sekali.
Intensitas batuk semakin tinggi. Suhu tubuh stabil diseputar angka 38. Pergerakan
semakin terbatas, karena bergerak sedikit saja, langsung batuk hebat.
Ternyata Reaktif
Karena kondisi tidak semakin membaik hari Jumat siang tanggal 20 November 2020,
memutuskan untuk ke rumah sakit lagi. Masih di rumah sakit yang sama. Periksa
kali ini ketemu dokter yang berbeda dari periksa sebelumya. Melihat hasil
laboratorium, sekalipun deviasi angkanya tidak (belum) terlalu signifikan, ada
kecurigaan ketidakberesan diparu-paru saya. Kemudian untuk memastikan
semuanya, saya rapid test anti body dan ternyata hasilnya reaktif.
Karena rumah sakit yang saya datangi ini bukan rumah sakit rujukan covid, dokter
mengadvis banyak hal, langkah yang harus saya tempuh.
Setelah menarik nafas sejenak, saya berusaha mengontak beberapa sahabat dan
personal satgas penanganan covid-19, di tempat saya tinggal. “Pak Bowo tetap
tenang, istirahat di rumah sambil kita tata penanganan berikutnya” begitu kata
beberapa teman yang duduk di satgas. Malam itu juga, saya menerima jadwal
bahwa pagi harinya, Sabtu, tanggal 21 November 2020 swab PCR di Puskesmas
terdekat. Sesudah swab saya diadvis dokter untuk isolasi di rumah sambil
melanjutkan obat yang saya dapatkan sebelumya.
Obat saya minum secara disiplin, tapi kondisi tidak semakin membaik. Yang terjadi
malah sebaliknya. Suhu tubuh masih fluktuatif pada kisaran 38, batuk semakin
menjadi-jadi, dan karena hampir tidak ada asupan nutrisi sama sekali, membuat
kondisi tubuh semakin melemah. Sambil memantau peluang isolasi di rumah sakit,
karena konon semua rumah sakit rujukan covid penuh, pada Hari Minggu tanggal 22
November 2020, saya dibantu saudara, memasang infus sambil menambah dan
mengganti beberapa obat. Pun begitu kondisi tidak semakin membaik. Malah pada
Hari senin malam tanggal 23 November 2020, ada tanda-tanda sedikit berat
dipernafasan saya, dan belakangan diketahui saturasi oksigen menunjukkan angka
dibawah normal.
Hari Selasa, tanggal 24 November 2020, karena kondisi semakin drop, tidak peduli
apakah ada ruang apa tidak di rumah sakit, dengan dibantu keluarga, teman serta
saudara, saya dilarikan ke salah satu rumah sakit swasta di Kota Jogja, dan
langsung masuk IGD. Saya tiba dirumah sakit pukul 11.00 WIB. Setelah
mengonfirmasikan sejumlah dokumen laboratorium dan riwayat perawatan dari
rumah sakit sebelumya, saya langsung dimasukkan diruang isolasi IGD.
Dengan cepat dan penuh kasih dokter serta para perawat, melakukan tindakan
pertolongan seperti pemasangan oksigen, infus, pengambilan sampel darah, rekam
jantung dan foto rontgen serta sejumlah tindakan lain. Setelah data medis terkumpul,
disimpulkan saya harus dirawat di rumah sakit.
Persoalan kecil muncul, karena ruangan/bed rawat inap, baru bisa ditempati sore
atau bisa jadi malah malam harinya. Praktis saya sepanjang siang hingga sore
diruang isolasi IGD. Tapi tidak apa-apa, karena setelah mendapatkan pertolongan
dengan sejumlah treatment kedaruratan, saya sedikit merasa nyaman dan ayem.
Pukul 19.30 saya dipindahkan ke bangsal isolasi bagi sahabat - sahabat yang
terinfeksi virus corona. Resmi saya menjalani isolasi di rumah sakit, menjadi pasien
penderita infeksi virus corona.
Semula hanya saya baca dari berbagai media tentang apa, mengapa dan
bagaimana menjalani isolasi di rumah sakit karena terpapar virus corona, kini nyata
saya mengalami sendiri.
Pada awalnya saya membayangkan saja takut, tapi saat ini saya berada tengah-
tengah pusaran rasa takut itu. Nyebur, berkubang dan bergulat dengan sumber rasa
takut itu.
Akan tetapi yang mengherankan, justru hilanglah rasa takut yang semula
menyelimutiku. Yang ada tinggal pikiran sembuh. Terlebih ditolong, dilayani dengan
penuh perhatian dan kasih, oleh dokter serta para sahabat perawat. Dengan SOP
sangat yang ketat, tanpa ragu-ragu menyapa, menyentuh dan bila perlu memegang
saya. Entah dalam kerangka memasukkan obat, memasang atau membetulkan
jarum infus, injeksi, ukur tensi, saturasi hingga membantu bersih diri.
Perlu diketahui karena sesuatu hal (diurai dibelakang) selama 2/3 masa isolasi di
rumah sakit, saya tidak didampingi keluarga. Betul-betul sendiri dalam arti yang
sebenarnya. Tetapi sekali lagi… terimakasih… saya ditemani oleh tim medis yang
luar biasa di rumah sakit. Hal ini yang menjadi salah satu faktor, bahwa dibenak
saya tidak ada pikiran lain, kecuali sembuh. Dan pada saat itu pula, ketika
sebenarnya secara fisik masih sakit dan sangat lemah, saya mulai merenda kisah
sembuh ini.
Optimisme itu aku wujudkan dengan kepatuhan 100% pada protokol pengobatan
yang ditentukan dan terapkan kepadaku oleh Tim Medis rumah sakit. Mulai dari
intervensi obat, vitamin (baik oral, melalui slang infus maupun injeksi langsung
dibeberapa bagian tubuh) hingga beberapa saran terapi. Masih ditambah
pengambilan sample darah maupun cairan tertentu untuk keperluan pemantauan
progres kesehatan. Semua aku taati sepenuh hati. Walau pada beberapa tahapan
tertentu diselingi sedikit diskusi dengan sahabat-sahabat paramedis sembari proses
treatmen. Kalau boleh saya ungkapkan secara jujur, sungguh sebuah proses yang
sakit, melelahkan serta menegangkan.
Belum lagi hingga tulisan ini beredar, saya masih harus melanjutkan tahapan terapi
dan pengobatan, berkait dengan beberapa organ yang terimbas serangan virus
corona.
Berkait dengan proses treatmen ini, pada saat-saat tertentu ketika berjumpa dengan
saudara, sahabat dan siapapun, selalu saya ceritakan betapa proses ini sungguh
sakit dan sangat melelahkan. Belum persoalan tekanan sosial yang luar biasa.
Sehingga selalu saya katakan : “cukup saya saja yang mengalami. Teman-teman
jangan sampai merasakan. Maka selalu waspada, ekstra hati-hati dan selalu patuhi
protokol kesehatan”.
Akhirnya Sembuh
Setelah melalui proses yang menegangkan, jalan berliku dan segenap dinamika,
akhirnya saya diberi kemurahan Tuhan, dikarunia “kehidupan kedua”, sembuh dari
infeksi covid-19. Tidak ada ungkapan lain kecuali bersyukur dan berterimakasih atas
kemurahan Tuhan. Bukan bermaksud untuk mendramatisir, tapi dikala pada puncak
derita rasa sakit, sepertinya segala sesuatunya sudah sampai pada batas akhir.
Saya tidak tau, apakah itu sebuah imajinasi liar dibawah “tekanan” virus yang luar
biasa atau puncak dari rasa takut. Dan saya juga tidak tau apakah itu wajar atau
tidak. Tapi itu yang saya alami dan saya rasakan.
Walaupun kemudian yang terjadi, kulminasi dari rasa itu, menjadi titik balik sebuah
optimisme “SAYA HARUS SEMBUH”. Optimisme itu bukan sebuah arogansi di
hadapan Sang Penguasa Kehidupan. Karena optimisme itu muncul dibalik
ketertundukan dan sikap berserah kepada Hyang Maha Agung, setelah dijembatani
sebuah kesadaran terhadap sebuah penegasan ulang, entah yang keberapa juta
kalinya, bahwa sejatinya manusia itu sangat lemah dihadapan alam (baca juga :
Tuhan) ini.
Terima kasih Tuhan, terima kasih para dokter, para medis, rohaniwan, sanak
saudara, teman dan sahabat kehidupan semua, yang telah dengan penuh kasih
mendampingi saya dan kami sekeluarga, dikala menjalani isolasi dan pengobatan
baik di rumah maupun di rumah sakit.
Dan diakhir kalimat dari kisah sembuh ini, rupanya saya juga harus berterimakasih
kepada virus corona. Karena belakangan, bagi saya, virus corona bermetamorfosa
menjadi guru kehidupan yang luar biasa.
Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus semakin tunduk kepada Hyang
Maha Agung. Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus semakin bisa
menerima kenyataan hidup. Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus
semakin mencintai keluarga. Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus
semakin baik dengan siapapun dan masih banyak lagi pada sisi sisi kehidupan yang
lain.