Laporan Tutorial STASE JIWA
Laporan Tutorial STASE JIWA
Laporan Tutorial STASE JIWA
TUTORIAL KLINIK
Gangguan mental lainnya akibat kondisi medis umum
Disusun Oleh:
Muftihatu Rahmi 12 777 027
Rezki Ismi Wulandari 12 777 046
Brahmandita 12 777 054
Ifan Pardianto 10 777 010
Pembimbing:
dr. Dewi Suriany, Sp.KJ
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
2017
1
BAB I
SKENARIO TUTORIAL
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.AK
Umur : 25 tahun
Alamat : Biromaru
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
LAPORAN PSIKIATRIK
I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama
Sering pingsan dan mengalami kejang (alloanamnesis)
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Seorang pasien laki-laki berumur 25 tahun datang ke poliklinik
dengan keluhan sering mengalami kejang dan pingsan. Keluhan ini
sudah di alami sejak 3 tahun. Pertama kali pasien mengalami kejang
tahun 2014, saat itu pasien sedang bekerja di tempat proyek. Pada saat
itu pasien sedang membuat dinding rumah, tiba-tiba saja pasien merasa
rindu dan mengingat orang tuanya. Setelah merasakan perasaan rindu
2
itu pasien tiba-tiba mengalami kejang. Saat kejang pasien mengaku
sudah tidak sadarkan diri. Sehingga, pasien tidak mengingat kejadian
pada saat pasien mengalami kejang. Menurut teman kerja pasien yang
melihat pasien mengalami kejang, badan pasien menjadi sangat kaku,
tangan pasien terlipat / tertarik keatas, mata pasien melirik ke atas, dan
mulut pasien mengelurkan busa. Kejang berlangsung sekitar 15-20
menit dan bahkan pernah sampai 60 menit. Setelah mengalami kejang
tersebut, pasien di larikan ke puskesmas terdekat dan mendapatkan
pengobatan rawat jalan di puskesmas tersebut. Menurut pengakuan
ibunya, ketika pasien setelah sadar dari kejangnya. Pasien tampak
diam, kebingungan, dan kadang berbicara tidak jelas. Pasien
mengalami keluhan seperti ini biasanya 2 jam sampai setengah hari.
Kemudian bila sudah sadar penuh, pasien tampak kembali normal
seperti biasanya.
Keesokan harinya pasien sudah merasa sehat dan mulai kembali
bekerja di proyek. Seminggu kemudian pasien mengalami kejang
kembali di tempat kerjanya, pada saat itu pasien sedang bekerja
dengan menaiki tangga. Sehingga pada saat pasien mengalami kejang,
pasien terjatuh kebawah. Menurut pengakuan pasien, semenjak pasien
mengalami kejang dari tahun 2014. Keluhan kejang terjadi secara tiba-
tiba. Kadangkala, pasien mengalami kejang 2 kali sehari. Tetapi,
kadang juga pasien dalam sehari tidak mengalami kejang. Dalam
seminggu pasien biasanya 4 kali mengalami kejang.
Sebelumnya datang berobat ke polikklinik jiwa RS. Undata, pasien
mengaku sebelumnya sudah berobat ke poliklinik saraf dari tahun
2016. Setiap bulan pasien datang kontrol, tetapi pasien tidak merasa
mengalami perubahan dengan keluhan kejangnya. Pasien pernah sekali
putus obat dari poli saraf, karena pada saat itu obat tersebut habis di
RS Undata dan kosong juga di apotik. Setelah itu pasien disarankan
oleh temannya yang memiliki kejang yang sama untuk berobat ke
3
poliklinik jiwa. Setelah berobat di poliklinik jiwa, Pasien mengaku
dalam sebulan ini sudah jarang mengalami kejang dan pingsan.
Pasien mengaku tidak mendengarkan bisik-bisikan ataupun melihat
sesuatu yang aneh atau sesuatu yang tidak bias di liat orang lain.
Pasien juga tidak pernah merasa cemas, gelisah, takut, dan berpikir
kalau ada orang yang membencinya atau ingin membahayakan dirinya.
Tidur pasien bagus, pasien jarang marah, dan pasien tidak pernah
mengamuk. Pasien makan dan minum bagus, BAK dan BAB lancer.
Sebelumnya sekitar sebulan sebelum mengalami kejang. Pasien
mengaku jatuh dari tangga, pada saat kejadian pasien sedang berdiri di
atas tangga untuk memperbaiki genteng rumahnya. Tiba-tiba kayu
tangga tempat kakinya bertumpuh patah sehingga pasien jatuh ke tanah
dan kayu patahan tersebut jatuh tepat di atas kepala pasien. Pasien
tidak mengalami pingsan ataupun lupa ingatan, hanya saja kepala
pasien mengalami pendarahan. Sehingga pasien mendapatkan 15
jahitan di kepalanya.
Pada umur 19 tahun pasien mengaku sudah mengkonsumsi obat
THD. Obat THD tersebut pasien dapatkan dari teman kerjanya di
proyek. Alasan pasien mengkonsumsi obat THD untuk membuat
pasien semangat dan tidak mudah capek, obat THD di konsumsi hanya
1 butir pada saat mau bekerja saja. Pasien mengaku tidak merasa
ketagihan memakai obat tersebut. Terakhir pasien mengkonsumsi obat
THD 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengaku pernah meminum
alcohol bersama teman-temannya, pasien mengenal alcohol pada umur
20 tahun. Tetapi, menurut pengakuan pasien. Pasien meminum alcohol
pada saat saat tertentu saja. Seperti pada saat temannya mengajak dia
minum dan pada saat ada pesta. Pasien hanya minum sedikit saja, tidak
sampai mengalami mabuk. Alasan pasien minum alcohol, hanya ingin
menghargai teman yang mengajak minum.
Hendaya Disfungsi
4
Hendaya Sosial (-)
Hendaya Pekerjaan (-)
Hendaya Penggunaan Waktu Senggang (-)
5
pada umur 6 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan sama dengan
anak seusianya..
F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal bersama istrinya.
6
II. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
Penampilan:
Tampak seorang laki -laki muda memakai kaos oblong
warna hitam, memakai celana panjang jeans warna hitam. Postur
tinggi badan pasien sekitar 160 cm, rambut lurus dan pendek,
tampakan wajah pasien sesuai dengan umurnya. Perawatan diri
baik.
Kesadaran: composmentis
Perilaku dan aktivitas psikomotor : Tenang
Pembicaraan : Spontan, lambat dan intonasi biasa, sesuai dengan
pertanyaan
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
B. Keadaan afektif
Mood : Eutimia
Afek : Luas
Keserasian : Serasi
Empati : Dapat dirabarasakan
7
Kemampuan menolong diri sendiri : Baik
D. Gangguan persepsi
Halusinasi : Tidak ada
Ilusi : Tidak ada
Depersonalisasi : Tidak ada
Derealisasi : Tidak ada
E. Proses berpikir
Arus pikiran :
A.Produktivitas : Cukup
B. Kontinuitas : Kadang Irrelevan
C. Hendaya berbahasa : Tidak ada
Isi Pikiran
A. preokupasi :-
B. Gangguan isi pikiran : Tidak ada
F. Pengendalian impuls
Baik
G. Daya nilai
Norma sosial : Baik
Uji daya nilai : Baik
Penilaian Realitas : Baik
H. Tilikan (insight)
Derajat VI: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh pengobatan
dari dokter
8
III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
Pemeriksaan fisik :
Status internus: T : 120/80 mmHg, N:87x/menit, S: 36.5 C, P : 20 x/menit.
GCS : E4M6V5, fungsi kortikal luhur dalam batas normal , pupil bundar
isokor , reflex cahaya (+)/(+), kongjungtiva tidak pucat, sclera tidak
icterus.
9
BAB II
PEMBAHASAN
A. KATA KUNCI
Laki-laki 25 tahun
Kejang dan pingsan sejak 3 tahun lalu
o Kejang di alami 2 kali sehari
o Seminggu 4 kali kejang
o Durasi serangan biasanya 15-20 menit, kadang sampai 60 menit
o Badan kaku, mulut berbus, mata melirik ke atas saat kejang
Bingung beberapa saat setelah sadar dari pingsan
Bicara tidak nyambung dan diam berlangsung 2 jam-stengah hari
Sebelum kejang ada perasaan rindu pada orang tua
Riwayat napza (THD) sejak berumur 19 tahun, terakhir konsumsi 2 bulan
terakhir, 1 butir setiap minum
Alkohol dan rokok (+)
Riwayat trauma kepala, pingsan (-), lupa ingatan (-), perdarahan (+)
Riwayat berobat di polikilinik saraf 1 tahun lalu
Riwayat putus obat saraf
B. PERTANYAAN
1. Jelaskan patomekanisme riwayat terjading kejang !
Kejang dapat terjadi oleh karena beberapa penyebab. Salah satu penyebab
kejang adalah kelainan pelepasan muatan listrik di neuron. Hal yang perlu
diperhatikan adalah dalam sistem saraf terdapat 2 macam neurotransmitter yang
berperan penting. Neurotransmitter tersebut merupakan neurotransmitter
inhibisi dan eksitasi. Neurotransmitter eksitasi bersifat merangsang, contohnya
adalah glutamate, aspartat, dan asetilkolin. Neurotransmiter inhibisi bersifat
menghambat contohnya adalah GABA
10
Kejang dimulai ketika terdapat gangguan fungsi neuron otak dan gangguan
transmisi sinaps. Gangguan ini akan menyebabkan perubahan pada kanal Na dan
Ca. Perubahan pada kanal ini membuat membrane neuron mudah dimasuki Ca
dan Na, bahkan Na dan Ca tersebut terus menerus masuk ke neuron oleh karena
kanal terus terbuka dan tidak tertutup. Masuknya Na dan Ca ini mencetuskan
depolarisasi membrane dan pelepasan muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan tidak terkendali. Depolarisasi ini terjadi terus menerus. Ketika depolarisasi
terus menerus dan abnormal inilah terjadi kejang. Setelah beberapa saat, terjadi
inhibisi yang merupakan fungsi dari sistem inhibisi yang ada di prasinaps dan
pascasinaps. Selain itu, inhibisi juga dapat terjadi oleh karena kelelahan neuron
akibat kehabisan ATP dan oksigen. Peningkatan karbondioksida yang terjadi saat
oksigen menurun juga mencetuskan inhibisi. Ketika terjadi proses inhibisi ini,
maka kejang akan terhenti. Lepasan muatan abnormal yang terjadi ini dapat
menjalar melalui serabut kortikofugal keformasio retikularis di batang otak, yaitu
inti-inti intralaminer thalamus dan mesensefalon. Inti intralaminer ini akan
melepaskan muatan listriknya dan merangsang seluruh neuron otak melalui
serabut yang menuju ke korteks di kedua hemisfer. Inti intralaminer ini
merupakan pusat lintasan aferen yang member masukan ke korteks serebri dan
mengatur kesadaran. Terputusnya pengiriman impuls aspesifik ke seluruh
korteks akibat muatan listrik yang berlebihan dan tidak terkendali di thalamus
menyebabkan hilangnya kesadaran.
Tidak ada, karena Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kejang post traumatika dapat dibagi
menjadi:
a) Kejang post traumatika dini (immediate post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang timbul dalam 22 jam pertama setelah cedera kepala.
b) Kejang post traumatika awal (early post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang terjadi antara hari pertama sampai ketujuh setelah cedera kepala.
11
c) Kejang post traumatika lanjut (late post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang timbul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.
d) Post traumatic epilepsi merupakan kejang post traumatika lanjutan yang
timbul berulang-ulang dan bukan disebabkan oleh hal lain kecuali cedera
kepala.
Gangguan konvrensi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat ataupun perifer.
Gangguan ini secara khas terdapat saat stress dan menimbulkan disfungsi cukup
bermakna. Dsm IV-TR mendifinisikan gangguan konversi sebagai gangguan yang
ditandai dengan adanya satu gejala neurologi atau lebih contohnya (paralisis,buta
dan prestesia) yang tidak dapat di jelaskan dengan gangguan medis atau
neurologis yang di ketahui,diagnosis gangguan ini mengharuskan bahwa faktor
psikologis harus berkaitan dengan permulaan atau perburukan gejala.
Namun dapat di bedakan antara kejang semu dan kejang pada penyakit
spilepsi antara lain
12
4. Jelaskan jenis-jenis epilepsy dan epilepsy psikomotor!
a. Jenis jenis kejang
1. Kejang parsial
Kejang parsial sederhana
Kejang parsial sederhana dengan gejala motoric
Kejang parsial sederhana dengan gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis
Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks dengan onset parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
Kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial yang menjadi kejang generalisata sekunder
Kejang parsial sederhana menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana menjadi kejang parsial kompleks dan kemudian
menjadi kejang umum
2. Kejang umum
Kejang absans
Absans atipikal
Kejang mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik-klonik
Kejang atonik
b. Epilepsi psikomotor
Epilepsi psikomotor atau epilepsi lobus temporalis atau juga disebut epilepsi
partial kompleks. Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh suatu lesi pada lobus
temporalis sudah dikenal sejak Hippocrates .
Epilepsi lobus temporalis pada tahun 1881 oleh John Hughlings Jackson
disebut: Uncinate Fits dan Dream State. Gibbs menganjurkan nama epilepsi
psychomotor untuk bangkitan gerakan automatik yang disertai kelainan EEG
yang khas. Menurut Lennox nama epilepsi lobus temporalis lebih tepat karena
bangkitan tersebut ternyata disebabkan oleh suatu fokus pada lobus temporalis,
meskipun bagian otak yang lain dapat ikut terkena.
13
Disebut epilepsi lobus temporalis oleh Mahar Marjono karena berhubungan
dengan lobus temporalis atau epilepsi psychomotor karena bangkitannya
meliputi bermacam gejala motorik dan mental.
Gejala klinik yang biasa terlihat pada serangan parsial kompleks (lobus
temporalis, psikomotor) berupa :
1. Penurunan kesadaran
Terjadi penurunan kesadaran; dalam hal ini penderita mengalami gangguan
dalam berinteraksi dengan lingkungannnya. Penderita dapat tampak sadar,
namun apabila diperiksa lebih dekat maka penderita tidak sadar akan
lingkungannya, tidak dapat menjawab pertanyaan atau dapat menjawab
pertanyaan secara tidak tepat, dan kemudian tidak dapat mengingat kembali
tentang apa yang baru saja dialaminya. Serangan parsial kompleks melibatkan
bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran
dan memori, dan pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis
atau frontalis dan sistem limbik.
2. Sensasi Epigastrik
Sensasi epigastrik sebenarnya lebih merupakan halusinasi somatik, biasanya
berupa rasa tidak enak bercampur dengan perasaan takut. Sensasi epigastrik
ini biasanya naik ke dada, tenggorokan, dan kemudian ke mulut dan bibir
sehingga mulut penderita berkomat-kamit atau mengecapkan lidah dan bibir
berkali-kali. Gejala tersebut bersumber pada fokus epilepsi di lobus
temporalis bagian anterior, dan kadang-kadang melibatkan amigdala. Gejala
ini sering disebut otomatisme sederhana atau kompleks (aktivitas motorik
yang berulang-ulang tanpa tujuan, tanpa arah dan aneh). Gejala motorik juga
berupa menarik-narik baju dan perilaku yang sulit dimengerti.
3. Halusinasi dan Ilusi
Pada epilepsi lobus temporalis dapat terjadi halusinasi pembauan atau
penghiduan, pengecapan lidah, pendengaran, penglihatan, dan vestibuler.
Pada tipe lobus temporal mesial berupa halusinasi visual, sedang temporal
14
lateral berupa ilusi seperti makropsia atau mikropsi. Pada beberapa penderita
dapat terjadi perubahan orientasi visual secara mendadak ataupun perubahan
dalam hal depth perception. Halusinasi kadang-kadang disertai oleh
perubahan dalam apresiasi terhadap kecepatan atau intonasi bicara serta
gangguan persepsi waktu. Fenomena vestibuler dapat berupa vertigo
paroksismal. Menurut Acharya dkk aura olfaktori dikaitkan dengan adanya
tumor lobus temporalis.
4. Gangguan Memori
Gangguan memori dan keadaan seperti mimpi meliputi dymnesic syndrome
(djvu, jamais vu) dan keadaan seperti mimpi. Penderita merasa seakan-akan
melayang-layang atau terapung-apung, atau merasa bahwa jiwa dan raganya
seolah-olah terpisah. Disamping itu sering terdapat gangguan afektif yang
berupa perasaan takut, panik, cemas, ekstase, depresi atau kombinasi dari
berbagai episode tadi. Hal ini merupakan fenomena temporo-limbik. Rata-
rata serangan berlangsung selama 1-3 menit. Sesudah serangan penderita
tampak bingung, mengantuk, mengalami perubahan perilaku, dan lupa akan
apa yang telah terjadi. EEG menunjukkan cetusan unilateral atau sering kali
bilateral di daerah temporal atau frontotemporal.
5. Hipergrafia
Hipergrafia meliputi tiga hal pokok ialah cara penulisan (misalnya memakai
bayangan cermin, kode, warna tinta yang berbeda-beda, kaligrafi), rituailized
script excessive (misalnya panjang tulisan dan atau frekuensi serta lamanya
menulis), dan isi atau tema tulisan (misalnya filosofi, etika, moral).
Hipergrafia merupakan salah satu perubahan tingkah laku yang terdapat pada
epilepsi lobus temporalis.
15
serangan akan terlihat bingung, ini membedakannya dengan serangan absence.
Adanya afasia setelah serangan memberikan kesan bahwa lesi berasal dari epilepsi
lobus temporal dominan.Manifestasi kompleksi tersebut berhubungan dengan
kelainan pada lobus temporalis, dikenal sebagai epilepsi lobus temporalis atau
epilepsi psikomotor.
Gangguan jiwa adalah sindrom atau perilaku atau psikologik seseorang, yang
secara klinik cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala
penderitaan (distress) atau hendaya (disability). Untuk kasus ini, di temukan
adanya distress dan disability pada pasien. Sehingga, pasien masuk dalam kriteria
gangguan jiwa.
16
2. Epidemiologi
3. Etiologi
17
Identitas personal terbentuk selama masa kecil, dan selama itupun, anak-
anak lebih mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma
walaupun itu terjadi pada orang lain.
4. Gejala klinis
5. Factor resiko
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun
emosional semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan konversi.
Anak-ana dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic,
semisalnya perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang infasif juga
dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan konversi ini.
Diagnosis
Pedoman diagnostic PPDGJ III
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada :
a. Gambaran yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum
pada F44 (misalnya F44.0 amnesia disosiatif)
b. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gegala-gejala
tersebut
c. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu
yang jelas dengan problem daan kejadian-kejadian yang stressful atau
18
hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh
penderita)
Gangguan disosiatif (konversi) dibedakan atau diklasifikasikan atas beberapa
pengolongan yaitu :
F444.0 Amnesia Disosiatif
F.44.1 Fugue Disosiatif
F.44.2 Stupor Disosiatif
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
F44.4 Gangguan motoric disosiatif
DISOSIATIF KONVULSI
Disosiatif konvulsi atau kejang disosiatif adalah suatu kondisi kejang yang
sangat berbeda dengan epilepsi. Bila pada kejang epilepsy didapatkan gelombang
abnormal, pada kenjang disosiatif tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan
rekam otak.
Untuk diagnosis pasti menurut PPDGJ III maka hal-hal berikut ini harus ada :
1) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F44 Disosiatif konvulsif dapat menyerupai kejang epileptic
19
dalam hal gerakannya akan tetapi jarang disertai lidah tergigit, luka serius
karena jatuh saat serangan dan inkontinensia urin, tidak dijumpai kehilangan
kesadaran tetapi diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans.
2) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut.
3) Bukti adanya penyebab psikologis dalam bentuk hubungan waktu yang jelas
dengan problem dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal
yang terganggu (meskipun disangkal pasien).
Kejang disosiatif timbul akibat reaksi dalam menghadapai suatu kecemasan
secara berlebihan atau kondisi yang menimbulkan rasa tidak aman. Reaksi
terhadap kecemasan secara tidak disadari akan diubah ke dalam gangguan saraf
somatomotork dan somatosensorik, misalnya kejang, kelumpuhan dan tidak bisa
merasakan sesuatu. Karena gejala tersebut dapat menghilangkan kecemasan
(primary gain) dan mendapatkan perhatian, kasih saying, hadiah, hak istimewa
(secondary gain) sehingga orang tersebut biasanya cuek, tidak peduli dengan
gangguannya (la belle indefference).
Reaksi yang berlebihan terhadap suatu kecemasan sangat dipengaruhi oleh
factor genetic, pola asuh, pendidikan, pengalaman dan pandangan hidup
seseorang. Factor utama masalah ini adalah kondisi emosional dan tidak dapat
dipisahkan dengan proses tumbuh kembang saat masa kanak-kanak sampai
dengan dewasa, dimana pasti didapatkan benang merah diantara keduanya.
Kejadian saat dewasa merupakan factor pencetus misalnya kegagalan dala
pendidikan, pekerjaan dan pernikahan.
Reaksi yang berlebihan terhadap suatu stressor juga bisa disebabkan karena
stressor yang sangat berat, berlangsung lama, dan cukup spesifik bagi individu
tersebut. Perbedaan yang sangat menonjol dari kedua jenis kejang tersebut adalah:
20
Aura Pusing, pandangan kabur Tidak
Lidah tergigit, ngompol Tidak
Mulut berbusa
Lama kejang 2 menit 5-15 menit atau lebih
Terapi Anti epilepsi Psikoterapi dan
psokofarmaka
21
Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan kelakuan yang
negatif dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan
semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang
menjadi perilaku pemeriksa.
b. Gangguan somatisasi
1. Defenisi
Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatic yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena
banyaknya keluhan dan banyaknya organ yang terlibat. Gangguan ini bersifat
kronis dan disertai penderitaan psikologis yang signifikan.
2. Epidemiologi
3. Etiologi
Faktor psikososial
Factor biologis dan genetic
4. Diagnosis
Tabel 14-1
Kriteria diagnositik DSM-IV-TR Gangguan Somatisasi
22
A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama satu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi
atau hendaya fungsi social, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang
signifikan.
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala
yang terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :
1) Empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya
empat tempat atau fungsi yang berbeda (cth, kepala, abdomen,
punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama mestruasi, selama
hubungan seksual, atau selama berkemih)
2) Dua gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya dua gejala
gastrointestinal selain nyeri (cth., mual, kembung, muntah selain
selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang
berbeda)
3) Satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau
reproduksi selain nyeri (cth., ketidakpedulian terhadap seks, disfungsi
ereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi
berlebihan, muntah sepanjang hamil)
4) Satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau
deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada
nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan,
paralisis atau kelemahan local, kesulitan menelan atau benjolan di
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba
atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disosiatif seerti
amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)
C. Baik 1 atau 2 :
1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui
atau efek langsung suatu zat (cth., penyalahgunaan obat,
pengobatan)
2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya
23
social atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang
diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium.
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau malingering
c. Malingering
1. Defenisi
Malingering merupakan suatu upaya penciptaan gejala yang palsu atau gejala
yang dilebih-lebihkan yang termotivasi oleh suatu tujuan yang dapat disimpulkan
orang lain, seperti perolehan obat (racun) atau ganti rugi, menghindarkan tugas
militer atau pekerjaan.
2. Epidemiologi
3. Etiologi
24
Motivasi untuk berpura-pura (malingering) dapat dikategorikan dalam 3
kelompok :
25
Malingering tidak mudah untuk didiagnosa karena kesukaran dalam
pengumpulan bukti nyata dan juga gejala berupa emosional dan mental.
a) Gejala yang samar, tidak jelas, overdramatisasi, dan tidak sesuai klinis yang
selama ini dikenal.
b) Pasien mencari obat yang adiktif, keuntungan finansial, menghindar dari hal
yang tidak nyaman (seperti penjara) atau keadaan lain yang tidak diinginkan.
c) Riwayat pemeriksaan dan data evaluatif tidak mengungkapkan keluhan.
d) Pasien tidak kooperatif dan menolak menerima lembaran kesehatan yang
terlalu bersih atau pernyataan prognosis baik.
e) Penemuannya menunjuk ke arah penyesuaian dengan cerita yang dibuat
sendiri.
f) Riwayat atau catatan medik menunjukkan riwayat episode cedera yang
multiple atau penyakit yang tidak pernah didiagnosis.
26
Gambaran penting Malingering adalah pembentukan disengaja gejala
psikologis atau fisik palsu atau berlebih-lebihan, yang didorong dengan
keuntungan internal seperti menghindari kewajiban militer,
Menghindari pekerjaan, mendapatkan kompensasi, keuangan, menghindari
tuduhan kriminal, atau mendapatkan obat. Pada beberapa keadaan, malingering
dapat menunjukkan perilaku adaptif-contohnya, memalsukan penyakit saat
tertangkap musuh di waktu perang.
Evaluasi psikologis, juga direkomendasikan sebagai cara untuk
mendiagnosis malingering, ada 3 tes : Computerized Assessment of Response
Bias (CARB), Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), dan The
Test of Memory Malingering (TOMM), tetapi yang secara khusus kita memakai,
Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI-2) sebab pengukuran
dengan tes ini mempunyai angka kebenaran yang lebih tinggi untuk mendiagnosis
malingering. MMPI-2 menyediakan sasaran, informasi secara ilmiah didasarkan
tentang apakah seseorang telah menjawab terus terang dalam tes ini, atau apakah
dia telah melebihi-lebihkan atau memperkecil permasalahan psikologis yang
mungkin untuk memperoleh suatu perangsang eksternal. Misalnya mencari
keuntungan seperti uang dia merusak di dalam kemudian menuntut suatu perkara
dengan luka-luka atau kerugian pribadi. Selain itu biasa juga dipakai The Test of
Memory Malingering (TOMM) suatu tes pengenalan visual ringkas yang
dirancang untuk membantu membedakan antara orang pura-pura sakit dengan
individu yang betul-betul karena gangguan memori.
5. Penatalaksanaan
Dalam menghadapi pasien semacam ini, sikap pemeriksa harus dipertahankan
senetral mungkin, dan hindari sikap konfrontatif. Berilah pasien semua cara
evaluasi dan kita bersikap sama seperti pada pasien lain. Sesungguhnya bila
pemeriksa menduga adanya kasus pura-pura, maka respon pertama pada
pemeriksa harus ingin mengadakan evaluasi klinis yang seksama untuk
membuktikan praduga pemeriksa san untuk menyingkirkan adanya penyakit yang
sesungguhnya. Walaupun pengamatan yang sepintas saja sudah dapat
menunjukkan perilaku yang tidak konsisten dengan keluhannya.
27
Secara garis besar urutan evaluasi dan pengelolaan yang dapat kita lakukan
sebagai berikut :
Untuk kondisi ini tidak ada indikasi pengobatan yang khas. Yang biasa
psikiater lakukan adalah konsultasi. Orang-orang malinger hamper tidak pernah
menerima hasil dari psikiatris dan berhasil dengan konsultasi yang minimal.
Sebaiknya kita menghindari konsultasi pasien ke spesialis yang lain sebab dengan
konsultasi itu hanya dapat menetapkan dan tidak menghilangkan malingering.
Bagaimanapun, jika tidak ada penyebab pasti yang serius tentang kehadiran
penyakit psikiatris asli, disarankan konsultasi psikiatris.
28
6. Prognosis
Malingering merupakan perilaku yang secara khas tetap ada sepanjang tujuan
yang diinginkan masih ada bahkan lebih memberat apabila pasien merasa tidak
senang atau kesulitan dalam mencari konfirmasi medis mengenai penyakitnya
b) Ketergantungan zat
Merupakan suatu bentuk gangguan penggunaan zat yang pada umunya lebih
berat. Terdapat ketergantungan fisik yang ditandai dengan adanya toleransi atau
sindroma putus zat.
29
3. Pedoman Diagnosis Berdasarkan PPDGJ III dan DSM 5 5
a) F1x.0 Intoksikasi Akut
b) Pedoman Diagnostik
c) Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan : tingkat dosis zat yang
digunakan (dose- dependent), individu dengan kondisi organic tertentu
yang mendasarinya (misalnya
d) insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil dapat
menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional.
e) Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks social perlu
dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara
keagamaan).
f) Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul
akibat penggunaan alcohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi koginitif, persepsi, afek atau perilaku, atau
fungsi dan respons psikologis lainnya. Intensitas intoksikasi berkurang
dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya menghilang bila
tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebutakan
kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau
terjadi komplikasi lainnya.
30
Onset secara tiba-tiba dengan agregasi dan sering berupa perilaku tindak
kekerasan yang tidak khas bagi individu tersebut saat ia bebas alcohol
Biasanya timbul segera setelah minum sejumlah alcohol yang pada kebanyakan
orang tidak akan menimbulkan intoksikasi
31
atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau
mengindari terjadinya gejala putus zat;
(d) terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis yang psikoaktif
yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh
dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada
individu dengan ketergantungan alcohol dan opiate yang dosis hariannya
dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan
bagi pengguna pemula;
(e) secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari
akibatnya;
(f) tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum
alcohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode
penggunaan zat yang berat, atau hendaya fungsi berkaitan dengan
penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna
zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan
besarnya bahaya.
32
F1x.25 Penggunaan berkelanjutan
F1x.26 Penggunaan episodic (dipsomania)
33
putus alcohol. Keadaan gagelisah toksik (toxic confusional state) yang
berlangsung singkat tetapi adakalanya dapat membahayakan jiwa, yang
disertai gangguan somatic.
Gejala prodromal khas berupa : insomnia, gemetar dan ketakutan. Onset
dapat didahului oleh kejang setelah putus zat. Trias yang klasik dari
gejalanya adalah :
- kesadaran berkabut dan kebingungan
- halusinasi dan ilusi yang hidup (vivid) yang mengenai salah satu
pancainde (sensory modality), dan
- tremor berat.
Biasanya ditemukan juga waham, agitasi, insomnia atau siklus tidur yang
terbalikaktivitas otonomik yang berlebihan. Diagnosis keadaan putus zat dengan
delirium dapat ditentukan dengan penggunaan kodekarakter berikut :
F1x.40 Tanpa komplikasi
F1x.41 Dengan konvulsi
34
dan amfetamin, gangguan psikotik yang diinduksi oleh obat umumnya
berhubungan erat dengan tingginya dosis dan /atau penggunaan zat yang
berkepanjangan.
Diagnosis gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan berdasarkan distorsi
persepsi
atau pengalaman halusinasi, bila zat yang digunakan ialah halusinogenika
primer (misalnya Lisergide (LSD)), meskalin, kanabis dosis tinggi). Perlu
dipertimbangkan kemungkinan diagnosis intoksikasi akut (F1x.0).
35
kembali urutan kronologis, meninjau kejadian yang berulang menjadi satu
peristiwa, dll).
(b) Tidak ada gangguan daya ingat segera (immediate recall), tidak ada
gangguan kesadaran, dan tidak ada gangguan kognitif secara umum;
(c) Adanya riwayat atau bukti yang objektif dari penggunaan alcohol atau
zat yang kronis (terutama dengan dosis tinggi);
36
zat tersebut menghilang (misalnya anxietas phobic,
gangguan depresif, skizofrenia atau gangguan skizotipal).
- Gangguan psikotik akut dan sementara (F23.)
- Cedera organic dan retardasi mental ringan atau
sedang (F70-F71) yang terdapat bersama dengan
penyalahgunaan zat psikoaktif.
Kelompok diagnostic ini dapat dibagi lebih lanjut dengan menggunakan kode lima
karakterberikut :
F1x.70 Kilas balik atau flashback
dapat dibedakan dari gangguan psikotik, sebagian karena sifat episodiknya,
sering berlangsung dalam waktu sangat singkat (dalam hitungan detik sampai
menit) dan oleh gambaran duplikasi dari pengalaman sebelumnya yang
berhubungan dengan penggunaan zat.
F1x.71 Gangguan kepribadian atau perilaku
Memenuhi criteria untuk gangguan kepribadian organic (F07.0)
F1x.72 Gangguan afektif residual
Memenuhi criteria untuk gangguan afektif organic (F06.3)
F1x.73 Demensia
Memenuhi criteria umum untuk demensia (F00-F09).
F1x.74 Hendaya kognitif menetap lainnya
suatu kategori residual untuk gangguan dengan hendaya kognitif yang menetap,
tetapi tidak memenuhi criteria untuk sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat
psikoaktif (F1x.6) atau demensia (F1x.73).
F1x.75 Gangguan psikotik onset lambat
37
j) F1x.9 Gangguan mental dan perilaku YTT
kategori untuk yang tidak tergolongkan
4. Penatalaksanaan 3
Tujuan terapi dan rehabilitasi
1. Asbtinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA
2. Penggunaan ferkuensi dan keparahan relaps (kekambuhan). Sasaran utamanya
adalah mencegah kekambuhan. Pelatihan relaps prevention programme,
program terapi kognitif, opiate antagonis maintance theraphy dengan
nalterxon merupakan beberapa alternative untuk mencegah kekambuhan.
3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungdi adaptasi social. Dalam kelompok ini
abstinensia bukan merupakan sasarn utama. Terapi rumatan metadon
merupakan pilihan untuk mencapai sasarn terapi golongan ini
Penanganan gawat darurat:
Untuk intoksiakasi akut : Nloxone atau antagonis opiate dengan dosis 0,1mg/kg
IM/IV setiap 2-4 jam.
38
gangguan medis umum seperti kejang dan tak sadarkan diri yang
menimbulkan gangguan fungsi otak serta dapat mengakibatkan
gangguan jiwa yang diderita pasien ini, sehingga diagnosa
gangguan mental organik dapat disingkirkan dan didiagnosa
Gangguan Jiwa Non Psikotik Organik.
Dari autoanamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki gangguan
medis umum yang menyebabkan pasien memiliki gangguan jiwa
sehingga memenuhi kriteria gejala untuk menegakkan diagnosis
gangguan mental lainnya akibat kondisi medis umum.
Aksis II
Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III
Penyakit system saraf (epilepsy)
Aksis IV
Tidak di ketahui
Aksis V
GAF Scale 60-51 gejala sedang, disabilitas sedang
Table 7.5-4
39
E. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang signifikan secara klinis
atau hendaya dalam fungsi social,okupasional,atau area fungsi lain yang
penting
Tentukan tipe :
Tipe labi : jika gambaran predominan adalah labilitas afek.
Tipe disinhibisi : jika gambaran predominan adalah pengendalan implus
yang buruk sebagaimana di buktikan oleh kesembronoan seksual,dll.
Tipe agresif : jika gambaran predominan adalah prilaku agresif
Tipe apatis : jika gambaran predominan adalah sikap apatis dan indiferen
yang nyata
Tipe paranoid : jika gambaran predominan adalah kecurigaan atau ide
paranoid.
Tipe lain : jika persentasi tidak di tandai oleh satupun sub tipe di atas.
Tipe kombinasi : jika terdapat satu atau lebih gambaran predominan pada
keadaan klinis.
Tipe ytt
Catatan pengkodean : sertakan nama kondisi medis umum pada aksis
1,cth.,perubahan keperibadian akibat epilepsy lobus temporal:,nyatakan
juga kode kondisi medis umum pada aksis III
Gangguan spesifik
Epilepsy
Epilepsy adalah penyakit neurologis kronik paling sering pada populasi
umum dan menyerang kurang lebih 1% populasi di amerika serikat.bagi
psikiater,perhatian utama tentang epilepsy adalah pertimbangan adanya
diagnosis epilepsy pada pasien psikiatri,percabangan psikososial diagnosis
epilepsy, untuk seorang, serta efek psikologis dan kognitif. Obat
antikolfusan yang sering digunakan. Dengan memperhatikan bagian
pertama pertimbangan tersebut, 30-50% penderita epilepsy mengalami
kesulitan psikiatri pada suatau waktu selama perjalanan penyakit. Gejala
prilaku epilepsy paling sering adalah perubahan kepribadian. Psikosis dan
kekerasan lebih jarang terjadi dibanding yang diperkirakan.
Gejala
Praiktal kejadian praiktal (aura) pada epilepsy parsial kompleks mencakup
sensasi otonom ( seperti perut kembung, pipi memerah dan perubahan
nafas), sensasi kognitif ( seperti dejavu jamisvu, fikiran yang dibuat-buat,
keadaan seperti bermimpi), keadaan afektif ( seperti takut, panik, depresi,
40
dan elasi), dan yang klasik, oktomatisme (seperti menampar bibir,
menggosok-gosok, mengunyah).
Gejala iktal.
Periliaku singkat, kacau, dan takterhindibisi menandai kejadian iktal.
Gejala kognitif meliputi
amnesia akan waktu selama serangan periode delirium yang menyembuh
setelah serangan pada pasien epilepsy parsial kopleks,fokus serangan
dapat di temukan pada elktroencefalogram (eeg) pada 25-50 % pasien
penggunaan elektroda sfenoidal atau temporal anterior dan eeg pada
keadaan kurang tidur dapat meningkatkan kemungkinan menemukan
ambormalitas eeg. Eeg normal multiple sering di peroleh pada pasien
parsial kompleks,oleh karena itu,eeg normal tidak dapat di gunakan untuk
menyingkirkan diagnosis epilepsy parsial kompleks.penggunaan rekaman
eeg jangka panjang (biasanya 24-72 jam) dapat membantu klinisi
mendeteksi fokus kejang pada sejumlah pasien. Sebagian besar studi
menunjukan bahwa penggunaan lead nasofaringtidak terlalu meningkatkan
sensifitas eeg namun justru menambah ketidaknyamanan prosedur bagi
pasien
Gejala interiktal`
Gangguan keperibadian.abnormalitas psikiatri yang paling sering
dilaporkan pada pasien epileptic adalah gangguan keperibadian,dan
gangguan tersebut terutama cenderung terjadi pada pasien dengan epilepsy
yang berasal dari lobus temporal.gambaran tersering adalah tampak sangat
religious,pengalaman emosi yang meninggi suatu kualitas yang biasa
disebut viskositas keperibadian dan perubahan perilaku seksual. Sindrom
dalam bentuk yang komplet relative jarang,bahkan pada mereka dengan
kejang parsial kompleks yang berasal dari lobus temporal. Banyak pasien
tidak mengalami gangguan keperibadian,yang lain menderita serangkaian
gangguan yang sangat berbeda dengan sindrom yang klasik.
Kekerasan
41
Kekerasan episodic menjadi masalah pada sebagian pasien
epilepsy,terutama epilepsy yang berasal dari lobus temporal dan frontal.
Belum di ketahui dengan pasti apakah kekerasan merupakan manifestasi
serangan itu sendiri atau memiliki sumber psikopatologis interiktal.
8. Prognosis
Dubia ad bonam,
42
DAFTAR PUSTAKA
Atmajaya; 2013.
3. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed.2. Jakarta: EGC; 2010.
43