Laporan Tutorial STASE JIWA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA Laporan Tutorial

FAKULTAS KEDOKTERAN 14 Oktober 2017


UNIV. AL-KHAIRAAT PALU

TUTORIAL KLINIK
Gangguan mental lainnya akibat kondisi medis umum

Disusun Oleh:
Muftihatu Rahmi 12 777 027
Rezki Ismi Wulandari 12 777 046
Brahmandita 12 777 054
Ifan Pardianto 10 777 010

Pembimbing:
dr. Dewi Suriany, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

2017

1
BAB I

SKENARIO TUTORIAL

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.AK

Umur : 25 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Biromaru

Pekerjaan : Kuli bangunan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Pendidikan : SMA

Tanggal Pemeriksaan : 10 Oktober 2017

Tempat Pemeriksaan : Poliklinik RS Undata Palu

LAPORAN PSIKIATRIK

I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama
Sering pingsan dan mengalami kejang (alloanamnesis)
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Seorang pasien laki-laki berumur 25 tahun datang ke poliklinik
dengan keluhan sering mengalami kejang dan pingsan. Keluhan ini
sudah di alami sejak 3 tahun. Pertama kali pasien mengalami kejang
tahun 2014, saat itu pasien sedang bekerja di tempat proyek. Pada saat
itu pasien sedang membuat dinding rumah, tiba-tiba saja pasien merasa
rindu dan mengingat orang tuanya. Setelah merasakan perasaan rindu

2
itu pasien tiba-tiba mengalami kejang. Saat kejang pasien mengaku
sudah tidak sadarkan diri. Sehingga, pasien tidak mengingat kejadian
pada saat pasien mengalami kejang. Menurut teman kerja pasien yang
melihat pasien mengalami kejang, badan pasien menjadi sangat kaku,
tangan pasien terlipat / tertarik keatas, mata pasien melirik ke atas, dan
mulut pasien mengelurkan busa. Kejang berlangsung sekitar 15-20
menit dan bahkan pernah sampai 60 menit. Setelah mengalami kejang
tersebut, pasien di larikan ke puskesmas terdekat dan mendapatkan
pengobatan rawat jalan di puskesmas tersebut. Menurut pengakuan
ibunya, ketika pasien setelah sadar dari kejangnya. Pasien tampak
diam, kebingungan, dan kadang berbicara tidak jelas. Pasien
mengalami keluhan seperti ini biasanya 2 jam sampai setengah hari.
Kemudian bila sudah sadar penuh, pasien tampak kembali normal
seperti biasanya.
Keesokan harinya pasien sudah merasa sehat dan mulai kembali
bekerja di proyek. Seminggu kemudian pasien mengalami kejang
kembali di tempat kerjanya, pada saat itu pasien sedang bekerja
dengan menaiki tangga. Sehingga pada saat pasien mengalami kejang,
pasien terjatuh kebawah. Menurut pengakuan pasien, semenjak pasien
mengalami kejang dari tahun 2014. Keluhan kejang terjadi secara tiba-
tiba. Kadangkala, pasien mengalami kejang 2 kali sehari. Tetapi,
kadang juga pasien dalam sehari tidak mengalami kejang. Dalam
seminggu pasien biasanya 4 kali mengalami kejang.
Sebelumnya datang berobat ke polikklinik jiwa RS. Undata, pasien
mengaku sebelumnya sudah berobat ke poliklinik saraf dari tahun
2016. Setiap bulan pasien datang kontrol, tetapi pasien tidak merasa
mengalami perubahan dengan keluhan kejangnya. Pasien pernah sekali
putus obat dari poli saraf, karena pada saat itu obat tersebut habis di
RS Undata dan kosong juga di apotik. Setelah itu pasien disarankan
oleh temannya yang memiliki kejang yang sama untuk berobat ke

3
poliklinik jiwa. Setelah berobat di poliklinik jiwa, Pasien mengaku
dalam sebulan ini sudah jarang mengalami kejang dan pingsan.
Pasien mengaku tidak mendengarkan bisik-bisikan ataupun melihat
sesuatu yang aneh atau sesuatu yang tidak bias di liat orang lain.
Pasien juga tidak pernah merasa cemas, gelisah, takut, dan berpikir
kalau ada orang yang membencinya atau ingin membahayakan dirinya.
Tidur pasien bagus, pasien jarang marah, dan pasien tidak pernah
mengamuk. Pasien makan dan minum bagus, BAK dan BAB lancer.
Sebelumnya sekitar sebulan sebelum mengalami kejang. Pasien
mengaku jatuh dari tangga, pada saat kejadian pasien sedang berdiri di
atas tangga untuk memperbaiki genteng rumahnya. Tiba-tiba kayu
tangga tempat kakinya bertumpuh patah sehingga pasien jatuh ke tanah
dan kayu patahan tersebut jatuh tepat di atas kepala pasien. Pasien
tidak mengalami pingsan ataupun lupa ingatan, hanya saja kepala
pasien mengalami pendarahan. Sehingga pasien mendapatkan 15
jahitan di kepalanya.
Pada umur 19 tahun pasien mengaku sudah mengkonsumsi obat
THD. Obat THD tersebut pasien dapatkan dari teman kerjanya di
proyek. Alasan pasien mengkonsumsi obat THD untuk membuat
pasien semangat dan tidak mudah capek, obat THD di konsumsi hanya
1 butir pada saat mau bekerja saja. Pasien mengaku tidak merasa
ketagihan memakai obat tersebut. Terakhir pasien mengkonsumsi obat
THD 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengaku pernah meminum
alcohol bersama teman-temannya, pasien mengenal alcohol pada umur
20 tahun. Tetapi, menurut pengakuan pasien. Pasien meminum alcohol
pada saat saat tertentu saja. Seperti pada saat temannya mengajak dia
minum dan pada saat ada pesta. Pasien hanya minum sedikit saja, tidak
sampai mengalami mabuk. Alasan pasien minum alcohol, hanya ingin
menghargai teman yang mengajak minum.

Hendaya Disfungsi

4
Hendaya Sosial (-)
Hendaya Pekerjaan (-)
Hendaya Penggunaan Waktu Senggang (-)

Faktor Stressor Psikososial


Tidak ditemukan stressor psikososial

Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit


sebelumnya.
Pasien belum pernah berobat ke poliklinik Jiwa RSUD Undata
sebelumnya

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya.


Riwayat kejang tahun 2014
Riwayat trauma tahun 2014

D. Riwayat Kehidupan Peribadi


Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir normal, cukup bulan, di rumah, dan di bantu oleh
dukun. Ibu pasien tidak pernah sakit berat selama
kehamilan. Pasien anak pertama dari tiga bersaudara.

Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 tahun)


Pasien mendapatkan ASI dari ibunya hingga 2 tahun, pertumbuhan
dan perkembangan sesuai umur. Pasien mendapatkan kasih sayang
dari orang tua.

Riwayat Masa Pertengahan (4-11 tahun)


Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Pertumbuhan dan
perkembangan baik. Pasien masuk sekolah dasar di kampungnya

5
pada umur 6 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan sama dengan
anak seusianya..

Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja. ( 12-18 tahun)


Pasien melanjutkan pendidikan sampai lulus SMA. Tidak ada
masalah ketika pasien mengeyam pendidikannya.

Riwayat masa dewasa (>18 tahun)


Setelah lulus pasien mulai bekerja sebagai kuli bangunan bersama dengan
ayahnya. Pada tahun 2014 pasien mengalami pertama kalinya kejang di tempat
kerjannya. Pasien menikah pada tahun 2016 bulan juni.
Riwayat Perkerjaan
Pasien bekerja sebagai kuli bangunan

Riwayat penggunaan zat psikoaktif

THD dari umur 19 tahun


Alcohol dari umur 19 tahun
Merokok dari umur 19 tahun sampe sekarang

E. Riwayat Kehidupan Keluarga


Pasien anak Pertama dari tiga bersaudara. Hubungan dengan ayah dan
ibu baik. Hubungan dengan saudara baik. Tidak ada riwayat menderita penyakit yang
sama dalam keluarga .

F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal bersama istrinya.

G. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupan.


Pasien menyadari dirinya sakit secara penuh, dan memerlukan
pengobatan dari dokter.

6
II. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
Penampilan:
Tampak seorang laki -laki muda memakai kaos oblong
warna hitam, memakai celana panjang jeans warna hitam. Postur
tinggi badan pasien sekitar 160 cm, rambut lurus dan pendek,
tampakan wajah pasien sesuai dengan umurnya. Perawatan diri
baik.
Kesadaran: composmentis
Perilaku dan aktivitas psikomotor : Tenang
Pembicaraan : Spontan, lambat dan intonasi biasa, sesuai dengan
pertanyaan
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

B. Keadaan afektif
Mood : Eutimia
Afek : Luas
Keserasian : Serasi
Empati : Dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)


Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
Pengetahuan dan kecerdasan sesuai taraf pendidikannya.
Daya konsentrasi : Baik
Orientasi : Baik
Daya ingat
Jangka Pendek : Baik
Jangka sedang : Baik
Jangka Panjang : Baik
Pikiran abstrak : Baik
Bakat kreatif : Tidak ada

7
Kemampuan menolong diri sendiri : Baik

D. Gangguan persepsi
Halusinasi : Tidak ada
Ilusi : Tidak ada
Depersonalisasi : Tidak ada
Derealisasi : Tidak ada

E. Proses berpikir
Arus pikiran :
A.Produktivitas : Cukup
B. Kontinuitas : Kadang Irrelevan
C. Hendaya berbahasa : Tidak ada
Isi Pikiran
A. preokupasi :-
B. Gangguan isi pikiran : Tidak ada

F. Pengendalian impuls
Baik
G. Daya nilai
Norma sosial : Baik
Uji daya nilai : Baik
Penilaian Realitas : Baik

H. Tilikan (insight)
Derajat VI: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh pengobatan
dari dokter

I. Taraf dapat dipercaya


Dapat dipercaya

8
III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
Pemeriksaan fisik :
Status internus: T : 120/80 mmHg, N:87x/menit, S: 36.5 C, P : 20 x/menit.
GCS : E4M6V5, fungsi kortikal luhur dalam batas normal , pupil bundar
isokor , reflex cahaya (+)/(+), kongjungtiva tidak pucat, sclera tidak
icterus.

9
BAB II

PEMBAHASAN

A. KATA KUNCI
Laki-laki 25 tahun
Kejang dan pingsan sejak 3 tahun lalu
o Kejang di alami 2 kali sehari
o Seminggu 4 kali kejang
o Durasi serangan biasanya 15-20 menit, kadang sampai 60 menit
o Badan kaku, mulut berbus, mata melirik ke atas saat kejang
Bingung beberapa saat setelah sadar dari pingsan
Bicara tidak nyambung dan diam berlangsung 2 jam-stengah hari
Sebelum kejang ada perasaan rindu pada orang tua
Riwayat napza (THD) sejak berumur 19 tahun, terakhir konsumsi 2 bulan
terakhir, 1 butir setiap minum
Alkohol dan rokok (+)
Riwayat trauma kepala, pingsan (-), lupa ingatan (-), perdarahan (+)
Riwayat berobat di polikilinik saraf 1 tahun lalu
Riwayat putus obat saraf

B. PERTANYAAN
1. Jelaskan patomekanisme riwayat terjading kejang !

Kejang dapat terjadi oleh karena beberapa penyebab. Salah satu penyebab
kejang adalah kelainan pelepasan muatan listrik di neuron. Hal yang perlu
diperhatikan adalah dalam sistem saraf terdapat 2 macam neurotransmitter yang
berperan penting. Neurotransmitter tersebut merupakan neurotransmitter
inhibisi dan eksitasi. Neurotransmitter eksitasi bersifat merangsang, contohnya
adalah glutamate, aspartat, dan asetilkolin. Neurotransmiter inhibisi bersifat
menghambat contohnya adalah GABA

10
Kejang dimulai ketika terdapat gangguan fungsi neuron otak dan gangguan
transmisi sinaps. Gangguan ini akan menyebabkan perubahan pada kanal Na dan
Ca. Perubahan pada kanal ini membuat membrane neuron mudah dimasuki Ca
dan Na, bahkan Na dan Ca tersebut terus menerus masuk ke neuron oleh karena
kanal terus terbuka dan tidak tertutup. Masuknya Na dan Ca ini mencetuskan
depolarisasi membrane dan pelepasan muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan tidak terkendali. Depolarisasi ini terjadi terus menerus. Ketika depolarisasi
terus menerus dan abnormal inilah terjadi kejang. Setelah beberapa saat, terjadi
inhibisi yang merupakan fungsi dari sistem inhibisi yang ada di prasinaps dan
pascasinaps. Selain itu, inhibisi juga dapat terjadi oleh karena kelelahan neuron
akibat kehabisan ATP dan oksigen. Peningkatan karbondioksida yang terjadi saat
oksigen menurun juga mencetuskan inhibisi. Ketika terjadi proses inhibisi ini,
maka kejang akan terhenti. Lepasan muatan abnormal yang terjadi ini dapat
menjalar melalui serabut kortikofugal keformasio retikularis di batang otak, yaitu
inti-inti intralaminer thalamus dan mesensefalon. Inti intralaminer ini akan
melepaskan muatan listriknya dan merangsang seluruh neuron otak melalui
serabut yang menuju ke korteks di kedua hemisfer. Inti intralaminer ini
merupakan pusat lintasan aferen yang member masukan ke korteks serebri dan
mengatur kesadaran. Terputusnya pengiriman impuls aspesifik ke seluruh
korteks akibat muatan listrik yang berlebihan dan tidak terkendali di thalamus
menyebabkan hilangnya kesadaran.

2. Jelaskan apakah ada hubungan riwayat trauma kepala dengan


terjadinya kejang !

Tidak ada, karena Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kejang post traumatika dapat dibagi
menjadi:
a) Kejang post traumatika dini (immediate post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang timbul dalam 22 jam pertama setelah cedera kepala.
b) Kejang post traumatika awal (early post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang terjadi antara hari pertama sampai ketujuh setelah cedera kepala.

11
c) Kejang post traumatika lanjut (late post traumatic seizuries) merupakan
kejang yang timbul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.
d) Post traumatic epilepsi merupakan kejang post traumatika lanjutan yang
timbul berulang-ulang dan bukan disebabkan oleh hal lain kecuali cedera
kepala.

3. Jelaskan perbedaan dari gangguan konversi dengan gejala kejang.


Pingsan, dan serangan epilepsy !

Gangguan konvrensi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat ataupun perifer.
Gangguan ini secara khas terdapat saat stress dan menimbulkan disfungsi cukup
bermakna. Dsm IV-TR mendifinisikan gangguan konversi sebagai gangguan yang
ditandai dengan adanya satu gejala neurologi atau lebih contohnya (paralisis,buta
dan prestesia) yang tidak dapat di jelaskan dengan gangguan medis atau
neurologis yang di ketahui,diagnosis gangguan ini mengharuskan bahwa faktor
psikologis harus berkaitan dengan permulaan atau perburukan gejala.

Pada gangguan konvrensi terdapat kejang semu,klinisi dapat merasa sulit


membedakan kejang semu dengan kejang yang sesungguhnya hanya dengan
pengamatan klinis saja. Bahkan kira-kira sepertiga kejang semu pasien juga
memiliki gangguan epileptic,seperti menggigit lidah,inkontensia urin dan cedera
setelah jatuh dapat terjadi pada kejang semu walaupun gejala ini umumnya tidak
ada.

Namun dapat di bedakan antara kejang semu dan kejang pada penyakit
spilepsi antara lain

1. Pemeriksaan penunjang seperti EEG,pada pasien gangguan konversi tidak


terdapat kelainan neurologis sementara pada pasien dengan penyakit
epilepsy ada.
2. Sebelum terjadinya kejang semu pasien mengalami stressor sementara
pada pasien epilepsy terdapat aura dll
3. Pada gangguan konversi pasien dapat keuntungan baik keuntungan primer
maupun keuntungan sekunder, sementara pada pasien epilepsy tidak.

Pada pasien gangguan konversi dapat di temukan perilaku La Belle


Indiffrence yaitu di mana perilaku ketidak pedulian yang tidak sesuai terhadap
gejala yang serius (gangguan utama). Walau prilaku ini bukan merupakan hal
wajib terjadi pada pasien dengan gangguan konversi.

12
4. Jelaskan jenis-jenis epilepsy dan epilepsy psikomotor!
a. Jenis jenis kejang
1. Kejang parsial
Kejang parsial sederhana
Kejang parsial sederhana dengan gejala motoric
Kejang parsial sederhana dengan gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis
Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks dengan onset parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
Kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial yang menjadi kejang generalisata sekunder
Kejang parsial sederhana menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana menjadi kejang parsial kompleks dan kemudian
menjadi kejang umum
2. Kejang umum
Kejang absans
Absans atipikal
Kejang mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik-klonik
Kejang atonik
b. Epilepsi psikomotor

Epilepsi psikomotor atau epilepsi lobus temporalis atau juga disebut epilepsi
partial kompleks. Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh suatu lesi pada lobus
temporalis sudah dikenal sejak Hippocrates .

Epilepsi lobus temporalis pada tahun 1881 oleh John Hughlings Jackson
disebut: Uncinate Fits dan Dream State. Gibbs menganjurkan nama epilepsi
psychomotor untuk bangkitan gerakan automatik yang disertai kelainan EEG
yang khas. Menurut Lennox nama epilepsi lobus temporalis lebih tepat karena
bangkitan tersebut ternyata disebabkan oleh suatu fokus pada lobus temporalis,
meskipun bagian otak yang lain dapat ikut terkena.

13
Disebut epilepsi lobus temporalis oleh Mahar Marjono karena berhubungan
dengan lobus temporalis atau epilepsi psychomotor karena bangkitannya
meliputi bermacam gejala motorik dan mental.

Gejala klinik yang biasa terlihat pada serangan parsial kompleks (lobus
temporalis, psikomotor) berupa :

1. Penurunan kesadaran
Terjadi penurunan kesadaran; dalam hal ini penderita mengalami gangguan
dalam berinteraksi dengan lingkungannnya. Penderita dapat tampak sadar,
namun apabila diperiksa lebih dekat maka penderita tidak sadar akan
lingkungannya, tidak dapat menjawab pertanyaan atau dapat menjawab
pertanyaan secara tidak tepat, dan kemudian tidak dapat mengingat kembali
tentang apa yang baru saja dialaminya. Serangan parsial kompleks melibatkan
bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran
dan memori, dan pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis
atau frontalis dan sistem limbik.

2. Sensasi Epigastrik
Sensasi epigastrik sebenarnya lebih merupakan halusinasi somatik, biasanya
berupa rasa tidak enak bercampur dengan perasaan takut. Sensasi epigastrik
ini biasanya naik ke dada, tenggorokan, dan kemudian ke mulut dan bibir
sehingga mulut penderita berkomat-kamit atau mengecapkan lidah dan bibir
berkali-kali. Gejala tersebut bersumber pada fokus epilepsi di lobus
temporalis bagian anterior, dan kadang-kadang melibatkan amigdala. Gejala
ini sering disebut otomatisme sederhana atau kompleks (aktivitas motorik
yang berulang-ulang tanpa tujuan, tanpa arah dan aneh). Gejala motorik juga
berupa menarik-narik baju dan perilaku yang sulit dimengerti.
3. Halusinasi dan Ilusi
Pada epilepsi lobus temporalis dapat terjadi halusinasi pembauan atau
penghiduan, pengecapan lidah, pendengaran, penglihatan, dan vestibuler.
Pada tipe lobus temporal mesial berupa halusinasi visual, sedang temporal

14
lateral berupa ilusi seperti makropsia atau mikropsi. Pada beberapa penderita
dapat terjadi perubahan orientasi visual secara mendadak ataupun perubahan
dalam hal depth perception. Halusinasi kadang-kadang disertai oleh
perubahan dalam apresiasi terhadap kecepatan atau intonasi bicara serta
gangguan persepsi waktu. Fenomena vestibuler dapat berupa vertigo
paroksismal. Menurut Acharya dkk aura olfaktori dikaitkan dengan adanya
tumor lobus temporalis.
4. Gangguan Memori
Gangguan memori dan keadaan seperti mimpi meliputi dymnesic syndrome
(djvu, jamais vu) dan keadaan seperti mimpi. Penderita merasa seakan-akan
melayang-layang atau terapung-apung, atau merasa bahwa jiwa dan raganya
seolah-olah terpisah. Disamping itu sering terdapat gangguan afektif yang
berupa perasaan takut, panik, cemas, ekstase, depresi atau kombinasi dari
berbagai episode tadi. Hal ini merupakan fenomena temporo-limbik. Rata-
rata serangan berlangsung selama 1-3 menit. Sesudah serangan penderita
tampak bingung, mengantuk, mengalami perubahan perilaku, dan lupa akan
apa yang telah terjadi. EEG menunjukkan cetusan unilateral atau sering kali
bilateral di daerah temporal atau frontotemporal.
5. Hipergrafia
Hipergrafia meliputi tiga hal pokok ialah cara penulisan (misalnya memakai
bayangan cermin, kode, warna tinta yang berbeda-beda, kaligrafi), rituailized
script excessive (misalnya panjang tulisan dan atau frekuensi serta lamanya
menulis), dan isi atau tema tulisan (misalnya filosofi, etika, moral).
Hipergrafia merupakan salah satu perubahan tingkah laku yang terdapat pada
epilepsi lobus temporalis.

Secara sederhana pasien-pasien dengan epilepsi lobus temporalis dengan


serangan partial komplek akan dijumpai aura diikuti dengan mata melebar (wide
eyed), pandangan kosong (motionless stare), dilatasi pupil, dan berhenti bergerak.
Automatisme oral seperti mengecapkan bibir, mengunyah, dan menelan. Gerakan
otomatis tangan, atau postur dystonik unilateral diri lengan. Pasien setelah

15
serangan akan terlihat bingung, ini membedakannya dengan serangan absence.
Adanya afasia setelah serangan memberikan kesan bahwa lesi berasal dari epilepsi
lobus temporal dominan.Manifestasi kompleksi tersebut berhubungan dengan
kelainan pada lobus temporalis, dikenal sebagai epilepsi lobus temporalis atau
epilepsi psikomotor.

Epilepsi parsial merupakan suatu gejala dari gangguan serebral, maka


penyakit primernya harus ditentukan terlebih dahulu sebelum pengobatan
ditentukan. Oleh karena epilepsi parsial pada orang dewasa seringkali merupakan
tanda pertama tumor intrakranial maka perlu dilakukan pemeriksaan yang
mendalam apalagi disertai tanda-tanda defisit neurologi yang progresif .

5. Jelaskan apakah pasien termasuk kriteria gangguan jiwa !

Gangguan jiwa adalah sindrom atau perilaku atau psikologik seseorang, yang
secara klinik cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala
penderitaan (distress) atau hendaya (disability). Untuk kasus ini, di temukan
adanya distress dan disability pada pasien. Sehingga, pasien masuk dalam kriteria
gangguan jiwa.

6. Sebutkan dan jelaskan Differential diagnosis dari kasus ini !


a. Gangguan konversi
1. Defenisi

Gangguan konversi (conversion disorders) menurut DSM-IV didefinisikan


sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala
neurologis (sebagai contohnya paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping
itu diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan awal
atau eksaserbasi gejala. Adapun menurut PPDGJ III gangguan konversi atau
disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal
antara: ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan segera
(awareness of identity and immediate sensations), dan kendali terhadap gerakan
tubuh.

16
2. Epidemiologi

Gangguan konversi bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam


masyarakat. Tetapi juga gangguan konversi ini tidak jarang ada dalam kasus-
kasus psikiatri. Prevelensinya hanya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi.
Dalam beberapa referensi bisa terlihat bahwa ada peningkatan yang tajam dalam
kasus-kasus gangguan konversi yang dilaporkan, dan menambah kesadaran para
ahli dalam menegakkan diagnosis, menyediakan kriteria yang spesifik, dan
menghindari kesalahan diagnosis antara disosiatif identity disorder,
schizophrenia atau gangguan personal.
Orang-orang yang umumnya mengalami gangguan konversi ini sangat mudah
dihipnotis dan sangat sensitive terhadap sugesti dan lingkungan budayanya,
namun tak cukup banyak referensi yang membetulkan pernyataan tersebut.
Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan konversi ini mengenai
wanita 90% atau lebih, Gangguan konversi bisa terkena oleh orang di belahan
dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.

3. Etiologi

Gangguan konversi belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun


biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan
organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak- anak namun
tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya
gangguan konversi ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah
terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan
konversi.
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :

o Kepribadian yang labil :


o Pelecehan seksual
o Pelecehan fisik
o Kekerasan rumah tangga ( ayah dan ibu cerai )
o Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan

17
Identitas personal terbentuk selama masa kecil, dan selama itupun, anak-
anak lebih mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma
walaupun itu terjadi pada orang lain.

4. Gejala klinis

Pada gangguan konversi, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali


selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari kehari
atau bahkan jam ke jam. Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan konversi
meliputi :
Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang
Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan,
Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi)
Identitas yang buram
Depersonalisasi

5. Factor resiko
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun
emosional semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan konversi.
Anak-ana dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic,
semisalnya perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang infasif juga
dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan konversi ini.

Diagnosis
Pedoman diagnostic PPDGJ III
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada :
a. Gambaran yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum
pada F44 (misalnya F44.0 amnesia disosiatif)
b. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gegala-gejala
tersebut
c. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu
yang jelas dengan problem daan kejadian-kejadian yang stressful atau

18
hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh
penderita)
Gangguan disosiatif (konversi) dibedakan atau diklasifikasikan atas beberapa
pengolongan yaitu :
F444.0 Amnesia Disosiatif
F.44.1 Fugue Disosiatif
F.44.2 Stupor Disosiatif
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
F44.4 Gangguan motoric disosiatif

F.44.5 Konvulsi Disosiatif


F.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
F44.7 Gangguan konversi campuran
F44.8 Gangguan konversi lainnya
F44.9 Gangguan konversi YTT
Sedangkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi keempat (DSM IV) ada 4 diagnostik spesifik gangguan dissosiatif:
Amnesia Disosiatif
Fuga Disosiatif
Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan Depersonalisasi
Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan
Gangguan Trance Disosiatif

DISOSIATIF KONVULSI
Disosiatif konvulsi atau kejang disosiatif adalah suatu kondisi kejang yang
sangat berbeda dengan epilepsi. Bila pada kejang epilepsy didapatkan gelombang
abnormal, pada kenjang disosiatif tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan
rekam otak.
Untuk diagnosis pasti menurut PPDGJ III maka hal-hal berikut ini harus ada :
1) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F44 Disosiatif konvulsif dapat menyerupai kejang epileptic

19
dalam hal gerakannya akan tetapi jarang disertai lidah tergigit, luka serius
karena jatuh saat serangan dan inkontinensia urin, tidak dijumpai kehilangan
kesadaran tetapi diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans.
2) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut.
3) Bukti adanya penyebab psikologis dalam bentuk hubungan waktu yang jelas
dengan problem dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal
yang terganggu (meskipun disangkal pasien).
Kejang disosiatif timbul akibat reaksi dalam menghadapai suatu kecemasan
secara berlebihan atau kondisi yang menimbulkan rasa tidak aman. Reaksi
terhadap kecemasan secara tidak disadari akan diubah ke dalam gangguan saraf
somatomotork dan somatosensorik, misalnya kejang, kelumpuhan dan tidak bisa
merasakan sesuatu. Karena gejala tersebut dapat menghilangkan kecemasan
(primary gain) dan mendapatkan perhatian, kasih saying, hadiah, hak istimewa
(secondary gain) sehingga orang tersebut biasanya cuek, tidak peduli dengan
gangguannya (la belle indefference).
Reaksi yang berlebihan terhadap suatu kecemasan sangat dipengaruhi oleh
factor genetic, pola asuh, pendidikan, pengalaman dan pandangan hidup
seseorang. Factor utama masalah ini adalah kondisi emosional dan tidak dapat
dipisahkan dengan proses tumbuh kembang saat masa kanak-kanak sampai
dengan dewasa, dimana pasti didapatkan benang merah diantara keduanya.
Kejadian saat dewasa merupakan factor pencetus misalnya kegagalan dala
pendidikan, pekerjaan dan pernikahan.
Reaksi yang berlebihan terhadap suatu stressor juga bisa disebabkan karena
stressor yang sangat berat, berlangsung lama, dan cukup spesifik bagi individu
tersebut. Perbedaan yang sangat menonjol dari kedua jenis kejang tersebut adalah:

Gejala klinis Kenjang epilepsi Kejang disosiatif


Tempat Semua tempat Bila ada orang
disekitarnya

20
Aura Pusing, pandangan kabur Tidak
Lidah tergigit, ngompol Tidak
Mulut berbusa
Lama kejang 2 menit 5-15 menit atau lebih
Terapi Anti epilepsi Psikoterapi dan
psokofarmaka

Pasien dengan kejang disosiatif biasanya mempunyai ciri kepribadian yang


emosional, sering membesarkan masalah, tergantung pada orang lain, manja,
mudah ngambek dan tampak kurang dewasa.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila
tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan
pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada. Penanganan
penyakit ini sebagai berikut:
Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun
tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan konversi ini.
Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas
untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan konversi ini.
Barbiturat kerja sedang dan singkat, seperti tiopental, dan natrium
amobarbital diberikan secara intravena dan Benzodiazepine seperti
lorazepam 0,5-1 mg tab (bersama dengan saran bahwa gejala cenderung
dikirim pada satu jam atau lebih) dapat berguna untuk memulihkan
ingatannya yang hilang.
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan konversi ini.
Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial,
meliputi berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa.
Terapinya akan membantu anda mengerti penyebab dari kondisi yang
dialami. Psikoterapi untuk gangguan konversi sering mengikutsertakan teknik
seperti hipnotis yang membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan
gejala disosiatif.

21
Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan kelakuan yang
negatif dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan
semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang
menjadi perilaku pemeriksa.

b. Gangguan somatisasi
1. Defenisi

Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatic yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena
banyaknya keluhan dan banyaknya organ yang terlibat. Gangguan ini bersifat
kronis dan disertai penderitaan psikologis yang signifikan.

2. Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum di


perkirakan 0,1 sampai 0,2 % walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa
angka sebenarnya dapat lebih mendekati 0,5 %. Perempuan dengan gangguan
somatisasi melebihi jumlah laki-laki.

3. Etiologi
Faktor psikososial
Factor biologis dan genetic
4. Diagnosis

Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM IV TR mengharuskan aitan


gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus
memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu
gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat di
jelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium.

Tabel 14-1
Kriteria diagnositik DSM-IV-TR Gangguan Somatisasi

22
A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama satu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi
atau hendaya fungsi social, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang
signifikan.
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala
yang terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :
1) Empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya
empat tempat atau fungsi yang berbeda (cth, kepala, abdomen,
punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama mestruasi, selama
hubungan seksual, atau selama berkemih)
2) Dua gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya dua gejala
gastrointestinal selain nyeri (cth., mual, kembung, muntah selain
selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang
berbeda)
3) Satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau
reproduksi selain nyeri (cth., ketidakpedulian terhadap seks, disfungsi
ereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi
berlebihan, muntah sepanjang hamil)
4) Satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau
deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada
nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan,
paralisis atau kelemahan local, kesulitan menelan atau benjolan di
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba
atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disosiatif seerti
amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)
C. Baik 1 atau 2 :
1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui
atau efek langsung suatu zat (cth., penyalahgunaan obat,
pengobatan)
2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya

23
social atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang
diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium.
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau malingering

c. Malingering
1. Defenisi

Malingering merupakan suatu upaya penciptaan gejala yang palsu atau gejala
yang dilebih-lebihkan yang termotivasi oleh suatu tujuan yang dapat disimpulkan
orang lain, seperti perolehan obat (racun) atau ganti rugi, menghindarkan tugas
militer atau pekerjaan.

2. Epidemiologi

Prevalensi malingering tidak diketahui pasti, walaupun beberapa klinisi


percaya bahwa gangguan ini lebih sering terjadi daripada yang diketahui.
Keadaan ini pun lebih banyak dijumpai pada pria dibandingkan wanita, serta
gangguan kepribadian antisosial lebih banyak terjadi pada orang dewasa dan
gangguan perilaku lebih sering pada anak-anak.

3. Etiologi

Malingering adalah perilaku yang disengaja untuk mendapatkan suatu tujuan,


misalnya:

Menghindari pergi ke penjara atau kebebasan dari penjara


Menghindari pekerjaan atau tanggung jawab keluarga
Keinginan untuk memperoleh narkotika
Keinginan untuk diberikan uang dalam tiligasi
Kebutuhan perhatian

Malingering bukanlah merupakan suatu gangguan ingatan atau psikopatologi.

4. Gambaran klinis dan diagnosis

24
Motivasi untuk berpura-pura (malingering) dapat dikategorikan dalam 3
kelompok :

a) Untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab, bahaya, atau hukuman,


b) Untuk mendapatkan kompensasi, misalnya bebas dari pembiayaan,
c) Untuk membalas setelah suatu kehilangan.

Karakteristik khas Pura-pura sakit :

Jawaban psikotik menjadi kurang dengan kelelahan. Resnick, mengingatkan


bahwa simulator menjadi semakin normal seiring berjalannya waktu. Inilah
salah satu alasan untuk membuat jadwal wawancara yang lebih panjang pada
pasien yang dicurigai berpura-pura sakit.
Pemunculan gejala positif daripada negatif . Delusi dan halusinasi dapat
dibuat, tetapi perilaku katatonik atau flat atau afek yang inappropriate jarang
dapat disimulasikan.
Over-playing dan reminding. Malingerers lebih memperhatikan delusi
mereka.
Penyimpangan lebih terjadi pada isi pikir daripada bentuk pemikiran. Bicara
tidak teratur, asosiasi longgar, dan flight of idea yang menjadi cirri-ciri
gangguan isi pikir hampir mustahil palsu dalam wawancara panjang.
Perkiraan jawaban.
Respon positif terhadap gejala yang disarankan. Malingerers lebih mungkin
disugesti ketika mereka percaya bahwa gejala yang mendukung akan
meningkatkan penampilan psikopatologi. Sebagai contoh, di AS ay Greer,
seorang terdakwa berhenti kencing di luar selnya dan rela buang air besar di
dalam sel setelah diberitahu bahwa hal tersebut akan meyakinkan dokter
bahwa ia tidak kompeten.
Sekumpulan gejala tidak konsisten dengan penyakit mental. Malingerers
cenderung mendukung banyak gejala tanpa pandang bulu. Mereka percaya
bahwa gejala yang lebih banyak akan ditafsirkan sebagai adanya gangguan
yang lebih parah.

25
Malingering tidak mudah untuk didiagnosa karena kesukaran dalam
pengumpulan bukti nyata dan juga gejala berupa emosional dan mental.

Gejala malingering seringkali amat samar, subjektif, lokalisasinya tidak


nyata, dan tidak dapat diukur secara objektif. Gejala yang khas termasuk nyeri di
kepala, di leher, di dada, atau dipunggung, pusing, amnesia, hilangnya daya lihat,
atau daya raba, pingsan, kejang dan halusinasi serta gejala psikotik lainnya. Pasien
sering marah ketika dokter bertanya tentang gejalanya. Orang yang berpura-pura
dapat pula mencederai diri sendiri, atau berpura-pura cedera atau kecelakaan
disengaja agar mendapat kompensasi, pasien mungkin berupaya dengan segala
cara untuk memalsukan data atau catatan medik untuk mendukung keluhan
palsunya itu. Pasien dengan berpra-pura menunjukkan gejala vorbeireiden.

Gambaran klinis orang berpura-pura yang jarang ditemukan dibandingkan


pada penyakit yang sungguhan;

a) Gejala yang samar, tidak jelas, overdramatisasi, dan tidak sesuai klinis yang
selama ini dikenal.
b) Pasien mencari obat yang adiktif, keuntungan finansial, menghindar dari hal
yang tidak nyaman (seperti penjara) atau keadaan lain yang tidak diinginkan.
c) Riwayat pemeriksaan dan data evaluatif tidak mengungkapkan keluhan.
d) Pasien tidak kooperatif dan menolak menerima lembaran kesehatan yang
terlalu bersih atau pernyataan prognosis baik.
e) Penemuannya menunjuk ke arah penyesuaian dengan cerita yang dibuat
sendiri.
f) Riwayat atau catatan medik menunjukkan riwayat episode cedera yang
multiple atau penyakit yang tidak pernah didiagnosis.

Catatan dan data pemeriksaan tampak telah diubah dengan penghapus


(contohnya ada hapusan nyata, zat yang terdaftar dalam urin).

DSM-IV-TR mencakup pernyataan berikut ini mengenai Malingering:

26
Gambaran penting Malingering adalah pembentukan disengaja gejala
psikologis atau fisik palsu atau berlebih-lebihan, yang didorong dengan
keuntungan internal seperti menghindari kewajiban militer,
Menghindari pekerjaan, mendapatkan kompensasi, keuangan, menghindari
tuduhan kriminal, atau mendapatkan obat. Pada beberapa keadaan, malingering
dapat menunjukkan perilaku adaptif-contohnya, memalsukan penyakit saat
tertangkap musuh di waktu perang.
Evaluasi psikologis, juga direkomendasikan sebagai cara untuk
mendiagnosis malingering, ada 3 tes : Computerized Assessment of Response
Bias (CARB), Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), dan The
Test of Memory Malingering (TOMM), tetapi yang secara khusus kita memakai,
Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI-2) sebab pengukuran
dengan tes ini mempunyai angka kebenaran yang lebih tinggi untuk mendiagnosis
malingering. MMPI-2 menyediakan sasaran, informasi secara ilmiah didasarkan
tentang apakah seseorang telah menjawab terus terang dalam tes ini, atau apakah
dia telah melebihi-lebihkan atau memperkecil permasalahan psikologis yang
mungkin untuk memperoleh suatu perangsang eksternal. Misalnya mencari
keuntungan seperti uang dia merusak di dalam kemudian menuntut suatu perkara
dengan luka-luka atau kerugian pribadi. Selain itu biasa juga dipakai The Test of
Memory Malingering (TOMM) suatu tes pengenalan visual ringkas yang
dirancang untuk membantu membedakan antara orang pura-pura sakit dengan
individu yang betul-betul karena gangguan memori.

5. Penatalaksanaan
Dalam menghadapi pasien semacam ini, sikap pemeriksa harus dipertahankan
senetral mungkin, dan hindari sikap konfrontatif. Berilah pasien semua cara
evaluasi dan kita bersikap sama seperti pada pasien lain. Sesungguhnya bila
pemeriksa menduga adanya kasus pura-pura, maka respon pertama pada
pemeriksa harus ingin mengadakan evaluasi klinis yang seksama untuk
membuktikan praduga pemeriksa san untuk menyingkirkan adanya penyakit yang
sesungguhnya. Walaupun pengamatan yang sepintas saja sudah dapat
menunjukkan perilaku yang tidak konsisten dengan keluhannya.

27
Secara garis besar urutan evaluasi dan pengelolaan yang dapat kita lakukan
sebagai berikut :

a) Mulai dengan anggapan bahwa keluhan adalah benar, dan singkirkan


berbagai penyakit medik dan psikiatrik.
b) Harus waspada bila ada pasien yang menampilkan diri dengan masalah
medikolegal dan pasien tidak pernah patuh dalam makan obat.
c) Laksanakan pemeriksaan laboratorium dan diagnostik lainnya sesuai dengan
keluhan.
d) Bila diduga adanya pura-pura, pastikan bahwa segala sesuatu telah diperiksa
tanpa terlupa sebelum berhadapan dengan pasien.
e) Usahakan untuk menegakkan diagnosis pastinya.
f) Setelah semua data terkumpul, beritahu pasien bahwa intervensi medik
sebenarnya tidak ada. Banyak pasien akan meninggalkan terapi saat itu.
Beritahukan bahwa gejalanya adalah suatu gaya menghadapi masalah yang
ada dalam hidup pasien dan tawarkan bantuan untuk mengatasinya.
g) Jangan obati suatu kondisi yang sebenarnya tidak ada atau terjebak untuk
memenuhi tuntutan sang berpura-pura untuk membenarkan satu diagnosis
yang diinginkannya.

Untuk kondisi ini tidak ada indikasi pengobatan yang khas. Yang biasa
psikiater lakukan adalah konsultasi. Orang-orang malinger hamper tidak pernah
menerima hasil dari psikiatris dan berhasil dengan konsultasi yang minimal.
Sebaiknya kita menghindari konsultasi pasien ke spesialis yang lain sebab dengan
konsultasi itu hanya dapat menetapkan dan tidak menghilangkan malingering.
Bagaimanapun, jika tidak ada penyebab pasti yang serius tentang kehadiran
penyakit psikiatris asli, disarankan konsultasi psikiatris.

Hal yang penting dalam menangani pasien malingering adalah:

a) Menghindari sikap konfrontasi dengan pasien, dengan alasan pasien


malingering
b) Memandang gejala medis sebagai sebagai suatu masalah medis yang sah.

28
6. Prognosis

Malingering merupakan perilaku yang secara khas tetap ada sepanjang tujuan
yang diinginkan masih ada bahkan lebih memberat apabila pasien merasa tidak
senang atau kesulitan dalam mencari konfirmasi medis mengenai penyakitnya

d. Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif


1. Definisi

Gangguan penggunaan zat adalah suatu gangguan jiwa berupa penyimpangan


perilaku yang berhubungan dengan pamakaian zat, yang dapat mempengaruhi
susunan saraf pusat secara kurang lebih teratur sehingga menimbulkan gangguan
fungsi social. 3

2. Klasifikasi Penggunaan Zat


a) Penyalahgunaan zat
Merupakan sautu pola penggunaan zat yang patologik yang bersifat patologik,
paling sedikit satu bulan lamanya, sehngga menimbulkan gangguan fungsi sosial
atau okupasional. Pola penggunaan zat yang bersifat patologik dapat berupa
intoksikasi sepanjang hari, terus menggunakan zat tersebut walaupun penderita
mengetahui dirinya sedang menderita sakit fisik berat akibat zat tersebut, atau
adanya kenyataan bahwa ia tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa menggunakan
zat tersebut. Gangguan yang dapat terjadi adalah gangguaan fungsi sosial yang
berupa ketidakmampuan memenuhi kewajiban terhadap keluarga atau kawan-
kawannya karena perilakunya yang tidak wajar, impulsif, atau karena ekspresi
perasaan agresif yang tidak wajar.

b) Ketergantungan zat

Merupakan suatu bentuk gangguan penggunaan zat yang pada umunya lebih
berat. Terdapat ketergantungan fisik yang ditandai dengan adanya toleransi atau
sindroma putus zat.

29
3. Pedoman Diagnosis Berdasarkan PPDGJ III dan DSM 5 5
a) F1x.0 Intoksikasi Akut
b) Pedoman Diagnostik
c) Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan : tingkat dosis zat yang
digunakan (dose- dependent), individu dengan kondisi organic tertentu
yang mendasarinya (misalnya
d) insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil dapat
menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional.
e) Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks social perlu
dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara
keagamaan).
f) Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul
akibat penggunaan alcohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi koginitif, persepsi, afek atau perilaku, atau
fungsi dan respons psikologis lainnya. Intensitas intoksikasi berkurang
dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya menghilang bila
tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebutakan
kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau
terjadi komplikasi lainnya.

Kode lima karakter berikut digunakan untuk menunjukkan apakah


intoksikasi akut itu disertai dengan suatu komplikasi :
F1x.00 Tanpa komplikasi
F1x.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
F1x.02 Dengan komplikasi medis lainnya
F1x.03 Dengan delirium
F1x.04 Dengan distorsi
F1x.05 Dengan koma
F1x.06 Dengan konvulsi
F1x.07 Intoksikasi patologis
Hanya pada penggunaan alcohol

30
Onset secara tiba-tiba dengan agregasi dan sering berupa perilaku tindak
kekerasan yang tidak khas bagi individu tersebut saat ia bebas alcohol
Biasanya timbul segera setelah minum sejumlah alcohol yang pada kebanyakan
orang tidak akan menimbulkan intoksikasi

b) F1x.1 Penggunaan yang Merugikan


Pedoman Diagnostik
Adanya penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang
dapat berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan
obat melalui suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode
gangguan depresi sekunder karena konsumsi berat alcohol).
Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain
dan seringkali disertai berbagai konsekuensi social yang diinginkan.
Tidak ada sindrom ketergantungan (F1x.2), gangguan psikotik
(F1x.5) atau bentuk
spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan alcohol
dan obat.

c) F1x.2 Sindrom Ketergantungan


Pedoman Diagnostik
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan 3 atau
lebih gejala
dibawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya :
(a) adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa
(kompulsi) untuk menggunakan zat psikoaktif;
(b) kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk
sejak mulainya, usaha pengehentian, atau pada tingkat sedang
menggunakan;
(c) keadaan putus zat secara fisiologis (lihat F1x.3 atau F1x.4) ketika
penggunaan zat atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat

31
atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau
mengindari terjadinya gejala putus zat;
(d) terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis yang psikoaktif
yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh
dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada
individu dengan ketergantungan alcohol dan opiate yang dosis hariannya
dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan
bagi pengguna pemula;
(e) secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari
akibatnya;
(f) tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum
alcohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode
penggunaan zat yang berat, atau hendaya fungsi berkaitan dengan
penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna
zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan
besarnya bahaya.

Diagnosis sindrom ketergantungan dapat ditentukan lebih lanjut dengan


kodekarakter berikut :
F1x.20 Kini abstinen
F1x.21 Kini abstinen, tetapi dalam suatu lingkungan yang terlindung (seperti
dalam rumah sakit, komuniti terapeutik, lembaga pemasyarakataF1x.22 Kini
dalam pengawasan klinis dengan terapi pemeliharan atau dengan Pengobatan zat
pengganti (ketergantungan terkendali) (miaslnya dengan Methadone, penggunaan
nicotine gum atau nicotine patch)
F1x.23 Kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi obat aversif atau penyekat
(misalnya naltrexone atau disulfiram)
F1x.24 Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif)

32
F1x.25 Penggunaan berkelanjutan
F1x.26 Penggunaan episodic (dipsomania)

d) F1x.3 Keadaan Putus Zat


Pedoman Diagnostik
Keadaan putus zat merupakan salah satu indicator dari sindrom
ketergantungan (lihat F1x.2) dan diagnosis sindrom ketergantungan zat
harus turut dipertimbangkan
Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini
merupakan alas an rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian
medis secara khusus.
Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan
psikologis
(misalnya anxietas, depresi dan gangguan tidur) merupakan gambaran
umum dari
keadaan putus zat ini. Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa
gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat.

Diagnosis keadaan putus zat dapat ditentukan lebih lanjut dengan


menggunakan kode lima karakter berikut :
F1x.30 Tanpa komplikasi
F1x.31 Dengan konvulsi

e) F1x.4 Keadaan Putus Obat dengan Delirium


Pedoman Daignostik
Suatu keadaan putus zat (f1x.3) disertai komplikasi delirium (lihat criteria
umum delirium pada F05.-)
Termasuk : Delirium Tremens, yang merupkaan akibat dari putus alcohol
secara absolute atau relative pada pengguna yang ketergantungan berat
dengan riwayat penggunaan yang lama. Onset biasanya terjadi sesudah

33
putus alcohol. Keadaan gagelisah toksik (toxic confusional state) yang
berlangsung singkat tetapi adakalanya dapat membahayakan jiwa, yang
disertai gangguan somatic.
Gejala prodromal khas berupa : insomnia, gemetar dan ketakutan. Onset
dapat didahului oleh kejang setelah putus zat. Trias yang klasik dari
gejalanya adalah :
- kesadaran berkabut dan kebingungan
- halusinasi dan ilusi yang hidup (vivid) yang mengenai salah satu
pancainde (sensory modality), dan
- tremor berat.

Biasanya ditemukan juga waham, agitasi, insomnia atau siklus tidur yang
terbalikaktivitas otonomik yang berlebihan. Diagnosis keadaan putus zat dengan
delirium dapat ditentukan dengan penggunaan kodekarakter berikut :
F1x.40 Tanpa komplikasi
F1x.41 Dengan konvulsi

f) F1x.5 Gangguan Psikotik


Pedoman Diagnostik
Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan
zat psikoaktif (biasanya dalam waktu 48 jam), bukan merupakan manifestasi
dari keadaan putus zat dengan delirium (lihat F1x.4) atau suatu onset
lambat (dengan onset lebih dari 2 minggu setelah penggunaan zat)
dimasukkan dalam F1x.75.
Gangguan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif dapat tampil
dengan pola
gejala yang bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh jenis zat yang
digunakan dan
kepribadian pengguna zat. Pada penggunaan obat stimulant, seperti kokain

34
dan amfetamin, gangguan psikotik yang diinduksi oleh obat umumnya
berhubungan erat dengan tingginya dosis dan /atau penggunaan zat yang
berkepanjangan.
Diagnosis gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan berdasarkan distorsi
persepsi
atau pengalaman halusinasi, bila zat yang digunakan ialah halusinogenika
primer (misalnya Lisergide (LSD)), meskalin, kanabis dosis tinggi). Perlu
dipertimbangkan kemungkinan diagnosis intoksikasi akut (F1x.0).

Diagnosis Banding : - Gangguan mental lain yang dicetuskan dan diberatkan


oleh penggunaan zat psikoaktif, misalnya skizofrenia (F20.-), gangguan
afektif (F30-F39), gangguan kepribadian paranoid (F60.0,F60.1).
Diagnosis suatu keadaan psikotik dapat ditentukan lebih lanjut dengan kode
lima karakter berikut :
F1x.50 Lir Skizofrenia (Skizofrenik-like)
F1x.51 Predominan waham
F1x.52 Predominan halusinasi (termasuk halusinasi alcohol)
F1x.53 Predominan polimorfik
F1x.54 Predominan gejala depresi
F1x.55 Predominan gejala manik
F1x.56 Campuran

g) F1x.6 Sindrom Amnestik


Pedoman Diagnostik
Sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat psikoaktif harus memenuhi
criteria umum untuk sindroma amnesik organic (F04).
Syarat utama untuk menentukan diagnosis adalah :
(a) gangguan daya ingat jangka pendek (recent memory), dalam
mempelajari hal baru; gangguan sensasi waktu (time sense, menyusun

35
kembali urutan kronologis, meninjau kejadian yang berulang menjadi satu
peristiwa, dll).
(b) Tidak ada gangguan daya ingat segera (immediate recall), tidak ada
gangguan kesadaran, dan tidak ada gangguan kognitif secara umum;
(c) Adanya riwayat atau bukti yang objektif dari penggunaan alcohol atau
zat yang kronis (terutama dengan dosis tinggi);

Diagnosis Banding : - Sindrom amnesik organic non-alkoholik (F04)


- Sindrom organic lain yang meliputi gangguan daya ingat
yang jelas (F00-F03;F05)
- Gangguan depresif (F31-F33)

h) F1x.7 Gangguan Psikotik Residual atau Onset Lambat


Pedoman Diagnostik
Onset dari gangguan harus secara langsung berkaitan dengan
penggunaan alcohol atau zat psikoaktif
Gangguan fungsi kognitif, afek, kepribadian, atau perilaku yang
disebabkan oleh alcohol atau zat psikoaktif yang berlangsung
melampaui jangka waktu khasiat psikoaktifnya (efek residual zat
tersebut terbukti secara jelas). Gangguan tersebut harus memperlihatkan
sesuatu perubahan atau kelebihan yang jelas dari fungsi sebelmnya
yang normal.
Gangguan ini harus dibedakan dari kondisi yang berhubungan dengan
peristiwa putus zat (F1x.3 dan F1x.4). Pada kondisi tertentu dan untuk zat
tertentu, fenomena putus zat dapat terjadi beberapa hari atau minggu
sesudah zat dihentikan penggunaannya.

Diagnosis Banding : - Gangguan mental yang sudah ada terselubung oleh


penggunaan zat dan muncul kembali setelah pengaru

36
zat tersebut menghilang (misalnya anxietas phobic,
gangguan depresif, skizofrenia atau gangguan skizotipal).
- Gangguan psikotik akut dan sementara (F23.)
- Cedera organic dan retardasi mental ringan atau
sedang (F70-F71) yang terdapat bersama dengan
penyalahgunaan zat psikoaktif.
Kelompok diagnostic ini dapat dibagi lebih lanjut dengan menggunakan kode lima
karakterberikut :
F1x.70 Kilas balik atau flashback
dapat dibedakan dari gangguan psikotik, sebagian karena sifat episodiknya,
sering berlangsung dalam waktu sangat singkat (dalam hitungan detik sampai
menit) dan oleh gambaran duplikasi dari pengalaman sebelumnya yang
berhubungan dengan penggunaan zat.
F1x.71 Gangguan kepribadian atau perilaku
Memenuhi criteria untuk gangguan kepribadian organic (F07.0)
F1x.72 Gangguan afektif residual
Memenuhi criteria untuk gangguan afektif organic (F06.3)
F1x.73 Demensia
Memenuhi criteria umum untuk demensia (F00-F09).
F1x.74 Hendaya kognitif menetap lainnya
suatu kategori residual untuk gangguan dengan hendaya kognitif yang menetap,
tetapi tidak memenuhi criteria untuk sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat
psikoaktif (F1x.6) atau demensia (F1x.73).
F1x.75 Gangguan psikotik onset lambat

i) F1x.8 Gangguan mental dan perilaku lainnya


Kategori untuk semua gangguan sebagai akibat penggunaan zat psikoaktif yang
dapat diidentifikasi berperan langsung pada gangguan tersebut, tetapi yang tidak
memenuhi criteria untuk dimasukkan dalam satu gangguan yang telah disebutkan
di atas.

37
j) F1x.9 Gangguan mental dan perilaku YTT
kategori untuk yang tidak tergolongkan

4. Penatalaksanaan 3
Tujuan terapi dan rehabilitasi
1. Asbtinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA
2. Penggunaan ferkuensi dan keparahan relaps (kekambuhan). Sasaran utamanya
adalah mencegah kekambuhan. Pelatihan relaps prevention programme,
program terapi kognitif, opiate antagonis maintance theraphy dengan
nalterxon merupakan beberapa alternative untuk mencegah kekambuhan.
3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungdi adaptasi social. Dalam kelompok ini
abstinensia bukan merupakan sasarn utama. Terapi rumatan metadon
merupakan pilihan untuk mencapai sasarn terapi golongan ini
Penanganan gawat darurat:
Untuk intoksiakasi akut : Nloxone atau antagonis opiate dengan dosis 0,1mg/kg
IM/IV setiap 2-4 jam.

7. Menentukan diagnose multiaksis !


Aksis I
Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis yang
bermakna berupa diam, tampak bingung, dan kadang
berbicara tidak nyambung. Keadaan ini akan
menimbulkan distress dan hendaya (disabilitas) dalam
pekerjaan dan penggunaan waktu senggang, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami Gangguan Jiwa.
Pada pasien tidak ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai
realita ataupun gejala psikotik positif, seperti halusinasi visual pada
pasien dan waham sehingga didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa
non Psikotik.
Pada riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status interna
dan neurologis ditemukan adanya kelainan yang mengindikasi

38
gangguan medis umum seperti kejang dan tak sadarkan diri yang
menimbulkan gangguan fungsi otak serta dapat mengakibatkan
gangguan jiwa yang diderita pasien ini, sehingga diagnosa
gangguan mental organik dapat disingkirkan dan didiagnosa
Gangguan Jiwa Non Psikotik Organik.
Dari autoanamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki gangguan
medis umum yang menyebabkan pasien memiliki gangguan jiwa
sehingga memenuhi kriteria gejala untuk menegakkan diagnosis
gangguan mental lainnya akibat kondisi medis umum.
Aksis II
Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III
Penyakit system saraf (epilepsy)
Aksis IV
Tidak di ketahui
Aksis V
GAF Scale 60-51 gejala sedang, disabilitas sedang

Table 7.5-4

Kriteria diagnosis DSM IV-TR untuk perubahan keperibadian akibat kondisi


medis umum

A. Gangguan keperibadian persisten yang mencerminkan perubahan pola


keperibadian karakteristik seseorang sebelumnya,(pada anak gangguan
mencakup devisi nyata pertumbuhan normal atau perubahan signifikan
pola perilaku yang biasanya dari seorang anak yang berlangsung paling
sedikit 1 tahun)
B. Terdapat bukti dari anamnesispemeriksaan fisik,atautemuan laboratorium
bahwa gangguan tersebut merupakan konsekuensi fisiologi langsung suatu
kondisi medis umum
C. Gangguan tersebut tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan mental
lain (termasuk gangguan mental lain akibat kondisi medis umum).
D. Gangguan tersebut tidak hanya terjadi selama delirium berlangsung

39
E. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang signifikan secara klinis
atau hendaya dalam fungsi social,okupasional,atau area fungsi lain yang
penting

Tentukan tipe :
Tipe labi : jika gambaran predominan adalah labilitas afek.
Tipe disinhibisi : jika gambaran predominan adalah pengendalan implus
yang buruk sebagaimana di buktikan oleh kesembronoan seksual,dll.
Tipe agresif : jika gambaran predominan adalah prilaku agresif
Tipe apatis : jika gambaran predominan adalah sikap apatis dan indiferen
yang nyata
Tipe paranoid : jika gambaran predominan adalah kecurigaan atau ide
paranoid.
Tipe lain : jika persentasi tidak di tandai oleh satupun sub tipe di atas.
Tipe kombinasi : jika terdapat satu atau lebih gambaran predominan pada
keadaan klinis.
Tipe ytt
Catatan pengkodean : sertakan nama kondisi medis umum pada aksis
1,cth.,perubahan keperibadian akibat epilepsy lobus temporal:,nyatakan
juga kode kondisi medis umum pada aksis III

Gangguan spesifik

Epilepsy
Epilepsy adalah penyakit neurologis kronik paling sering pada populasi
umum dan menyerang kurang lebih 1% populasi di amerika serikat.bagi
psikiater,perhatian utama tentang epilepsy adalah pertimbangan adanya
diagnosis epilepsy pada pasien psikiatri,percabangan psikososial diagnosis
epilepsy, untuk seorang, serta efek psikologis dan kognitif. Obat
antikolfusan yang sering digunakan. Dengan memperhatikan bagian
pertama pertimbangan tersebut, 30-50% penderita epilepsy mengalami
kesulitan psikiatri pada suatau waktu selama perjalanan penyakit. Gejala
prilaku epilepsy paling sering adalah perubahan kepribadian. Psikosis dan
kekerasan lebih jarang terjadi dibanding yang diperkirakan.

Gejala
Praiktal kejadian praiktal (aura) pada epilepsy parsial kompleks mencakup
sensasi otonom ( seperti perut kembung, pipi memerah dan perubahan
nafas), sensasi kognitif ( seperti dejavu jamisvu, fikiran yang dibuat-buat,
keadaan seperti bermimpi), keadaan afektif ( seperti takut, panik, depresi,

40
dan elasi), dan yang klasik, oktomatisme (seperti menampar bibir,
menggosok-gosok, mengunyah).

Gejala iktal.
Periliaku singkat, kacau, dan takterhindibisi menandai kejadian iktal.
Gejala kognitif meliputi
amnesia akan waktu selama serangan periode delirium yang menyembuh
setelah serangan pada pasien epilepsy parsial kopleks,fokus serangan
dapat di temukan pada elktroencefalogram (eeg) pada 25-50 % pasien
penggunaan elektroda sfenoidal atau temporal anterior dan eeg pada
keadaan kurang tidur dapat meningkatkan kemungkinan menemukan
ambormalitas eeg. Eeg normal multiple sering di peroleh pada pasien
parsial kompleks,oleh karena itu,eeg normal tidak dapat di gunakan untuk
menyingkirkan diagnosis epilepsy parsial kompleks.penggunaan rekaman
eeg jangka panjang (biasanya 24-72 jam) dapat membantu klinisi
mendeteksi fokus kejang pada sejumlah pasien. Sebagian besar studi
menunjukan bahwa penggunaan lead nasofaringtidak terlalu meningkatkan
sensifitas eeg namun justru menambah ketidaknyamanan prosedur bagi
pasien

Gejala interiktal`
Gangguan keperibadian.abnormalitas psikiatri yang paling sering
dilaporkan pada pasien epileptic adalah gangguan keperibadian,dan
gangguan tersebut terutama cenderung terjadi pada pasien dengan epilepsy
yang berasal dari lobus temporal.gambaran tersering adalah tampak sangat
religious,pengalaman emosi yang meninggi suatu kualitas yang biasa
disebut viskositas keperibadian dan perubahan perilaku seksual. Sindrom
dalam bentuk yang komplet relative jarang,bahkan pada mereka dengan
kejang parsial kompleks yang berasal dari lobus temporal. Banyak pasien
tidak mengalami gangguan keperibadian,yang lain menderita serangkaian
gangguan yang sangat berbeda dengan sindrom yang klasik.

Gejala psikotik,awitan gejala psikotik pada epilepsy bervariasi. Secara


klasik,gejala psikotik tampak pada pasien yang telah mengalami epilepsy
dalam jangka waktu lama dan awitan gejala psikotik didahului oleh
timbulnya perubahan keperibadian yang berhubungan dengan aktivitas
epileptic otak. Gejala psikosis yang paling khas adalah halusinasi dan
waham paranoid.

Kekerasan

41
Kekerasan episodic menjadi masalah pada sebagian pasien
epilepsy,terutama epilepsy yang berasal dari lobus temporal dan frontal.
Belum di ketahui dengan pasti apakah kekerasan merupakan manifestasi
serangan itu sendiri atau memiliki sumber psikopatologis interiktal.

Gejala Gangguan Mood.


Gejala gangguan mood,seperti depresi dan mania,lebih jarang terlihat pada
pasien epilepsy dibanding gejala lir-skizofrenia. Kalaupun terjadi,gejala
gangguan mood cenderung bersifat episodic dan paling sering muncul bila
fokus epilepsy mengenai lobus temporal hemisfer serebri
nondominan,makna gejala gangguan mood dapat diperlihatkan oleh
meningkatnya insiden percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsy.

8. Prognosis

Dubia ad bonam,

9. Penatalaksanaan sesuai kasus !

Obat anti konvulsan merupakan terapipilihan utama.obat lini pertama untuk


kejang umum adalah valproat dan fenitoin.obat lini pertama untuk kerjang parsial
meliputi karbamazepin,okskarbamazepin,dan fenitoin. Etosuksimid dan valproat
adalah obat lini pertama untuk kejang absans (petit mal). Psikoterapi konseling
keluarga dan terapi kelompok berguna untuk membicarakan masalah psikososial
yang berkaitan dengan epilepsy.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Ed.3.

Jakarta: Bagian Ilmu Kedoteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya; 2007.

2. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari

PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika

Atmajaya; 2013.

3. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed.2. Jakarta: EGC; 2010.

43

Anda mungkin juga menyukai