Makalah Kepemilikan
Makalah Kepemilikan
Makalah Kepemilikan
Oleh:
Amatul firdhausya
Irmayani AR
Laila mufidah
Kelas :
MPS 2012 C
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ KEPEMILIKAN
HARTA DALAM ISLAM”. Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ‘’
FIQIH MUAMALAH.’’
Kami menyadari sepenuhnya dalam upaya penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, hal tersebut terjadi karena terbatasnya kemampuan kami. Namun berkat
bimbingan, bantuan serta petunjuk dan arahan dari berbagai pihak, ahkirnya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Untuk itu kami menghaturkan ucapan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.
Penulis
BAB I
A. PENDAHULUAN
Allah telah menjadikan harta sesuatu yang indah dalam pandangan manusia, manusia diberi
tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap harta. Allah telah menerangkan dalam al-Qur’an
surat al-Fajr:20 yang artinya
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”.
Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini harus mendapatkan bimbingan wahyu
yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah tujuan hidup ini akan tetapi hanya sebagai
wasilah belaka yang nanti di hari kiamat harus dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan
Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan
sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang
menimbunnya.
Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk
mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta pengaturan
hak-hak orang lain dalam harta itu.
PEMBAHASAN
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya
memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau
harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu
barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat
mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual
maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang
dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu
dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain
tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. QS 2: 284
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang
mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka
terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya.
Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini
memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan
keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan,
hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak
untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah
memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum
Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang
yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang
"miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan
tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi
(yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2. Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki
karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam
bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu
kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan
yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di
dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang
sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk
sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap
Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim
mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang
dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk
memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan
penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat
kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan
imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna
(tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis).
Kepemilikan Sempurna.
a. Al-Istila ‘alal mubah: harta atau kekayaan yang belum pernah dimiliki oleh orang
lain.
b. Al-Uqud: akad-akad yang menjadikan pindahnya kepemilikan.
c. Al-Khalfiyyah: harta peninggalan dari yang lain.
d. At-tawallud minal mamluk: yang muncul dari harta yang dimiliki.
(a)Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan, Yang dimaksud dengan barang-
barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang
belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di
sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan
di laut.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti
dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu
(i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang
mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya."
(ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya,
kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah
SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
Dan Berakhirnya pemilikan ini, yaitu bila pemiliknya wafat sehingga seluruh miliknya
berpindah kepada ahli warisnya dan harta yang dimiliki itu rusak atau hilang.
Walau bagaimanapun, kesan pemilik harta secara al-naqis menyebabkan mereka tidak
boleh melakukan sesuka hati terhadap harta tersebut. . Misalnya seseorang menjajikan kepada
orang lain untuk menempati rumahnya selama tiga tahun, orang lain itu hanya memiliki
manfaat bertempat tinggal selama tiga tahun, ia tidak bisa menjualnya.
Sebab sebab adanya kepemilikan yang ditetapkan syara’ ada empat yaitu :
2. Akad
Ihrozul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara’ boleh dimiliki. Yang
dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa
harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk
dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara
atau ikan di sungai dan di laut.
AQAD / AKAD
Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa
diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad.
Shighat, yaitu Ijab dan Qobul (Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan
atau kesepakatan dua pihak yang melakukan akad)
Akad shahih, akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’.
Akad tidak shahih ( Fasidah), akad yang cacat / tidak sempurna.
Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya,
seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum ditetapkan
Akad musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli.
Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing dalam
perut ibunya
Akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang karena
tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah
Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh
dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena
keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya
Akad mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
Akad tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti
akad hibah.
Akad yang tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad mu'awadhah pada akhirnya seperti
akad qarad dan kafalah
Akad dhaman , yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda
akad diterima seperti qarad.
Akad amanah , yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang
memegang benda, seperti titipan.
Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi
yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
Akad fauriyah , yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya
sebentar saja seperti jual beli.
Akad istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I'arah
Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti
jual beli dan I'arah.
Akad tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan
dilakukan tanpa adanya hutang.
b. Tidak bisa sembarangan dalam membatalkan sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur
secara syar’i
c. Akad merupakan payung hukum didalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak bisa
menggugat atau memilikinya.
KHALAFIYAH
Ihya’u Mawat Al-ardh yaitu membuka lahan baru yang belum dibuka/ dikerjakan dan dimiliki
orang lain.
Membuka lahan baru yang belum yang belum dimiliki atau dijadikan kahan oleh orang lain
.Hukumnya adalah mubah, sabda rasululllah S.A.W
Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan yang
berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal adanya
kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam kerangka
syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur cara perolehan dan pemanfaatan
kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu :
adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab
kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-’amal), 2) Warisan (al-irts), 3)
Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari
hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, 5) Harta
yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang
temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan
yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupa sehari-hari
seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan, barang tidak mungkin
dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid
dsb, dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb.
c) rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak
ada pemiliknya.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara
madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada
pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara
karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara
kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas
tanah
BAB III
KESIMPULAN
Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha serta
inisiatif individu di dalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Islam juga telah
memberikan batasan-batasan tertentu yang sesuai syariat sehingga seseorang dapat
menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum.
Sebenarnya kerangka sistem islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan kebebasan
individu di dalam mencari dan memiliki harta benda dan campur tangan pemerintah
(intervensi) yang sangat terbatas hanya terhadap harta yang sangat diperlukan oleh
masyarakat, selain itu tidak.
Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa di kelola dan dimiliki secara
perorangan (KA, pos, listrik, air, dsb), tapi semua itu menjadi milik dan dikelola oleh negara
untuk kepentingan umum.
Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum,
DAFTAR PUSAKA
http://ricky-diah.blogspot.com/2011/09/makalah-kepemilikan-dan-sebab-sebabnya.html