Pemberdayaan Gender Pada Tokoh Adat Untuk Mendukung Peran Perempuan Dalam Pembangunan Desa
Pemberdayaan Gender Pada Tokoh Adat Untuk Mendukung Peran Perempuan Dalam Pembangunan Desa
Pemberdayaan Gender Pada Tokoh Adat Untuk Mendukung Peran Perempuan Dalam Pembangunan Desa
Abstract
In the Pakpak Batak community which adheres to a patriarchal culture system shows that gender reality
has the potential to bring up various issues of gender inequality that have the potential to harm women's
lives in the aspects of education, health, development and politics. The construction of a patriarchal
culture that is not friendly to women is presented by traditional decisions which tend to be impartial to
women through the authority of traditional leaders in traditional institutions. These traditional leaders in
power in traditional institutions place men as traditional decision makers who often determine the social
order of the people in this village. Considering the power of influence of traditional leaders whose majority
of men determine the course of community order, including village development, a strategy is needed as a
solution to anticipate gender gaps or inequalities that harm women. In this case, service is needed, namely
gender empowerment to develop understanding of gender awareness and gender equality in traditional
leaders. This is because up to now the conceptualization of the values of gender awareness and gender
equality has not touched the territory of the traditional leaders in power in the traditional institutions in
this village. It is hoped that after carrying out gender empowerment through service there will be a gender
transformation, namely a change in mindset or views of traditional leaders who are gender-biased into
gender awareness.
Keywords: Gender Awareness, Gender Equality, Customary Figures
How to Cite: Munthe. H.M, Hafi. B. (2018). Pemberdayaan Gender Pada Tokoh Adat untuk Mendukung
Peran Perempuan dalam Pembangunan Desa. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences
(JEHSS). 1 (2): 60-65.
*Didanai oleh: Dana non PNBP USU Tahun 2018, Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka
Pelaksanaan Program Pengabdian Kepada Masyarakat Skim Mono Tahun
No: 172/UN5.2.3.2.1/PPM/2018, tanggal 16 April 2018
PENDAHULUAN
Gender dimaknai sebagai konstruksi sosial yang ideal atau yang diharapkan tentang
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat maupun budaya tertentu.
Sesungguhnya gender bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan sepanjang konstruksi sosial ini
tidak memunculkan isu sosial yaitu ketidakadilan gender dan juga ketimpangan terutama pada
kelompok perempuan. Beberapa isu sosial yang bersumber dari ketidakadilan gender yang
secara realitas lebih sering dialami perempuan diantaranya adalah marginalisasi, subordinasi,
beban ganda dan kekerasan (Fakih, 2008; Ginting dkk, 2015; Nunuk, 2004; Elpina, 2016;
Revida,2006; Nurmila, 2015; Rokhimah, 2015; Saadawi, 2001).
Realitas ketidakadilan gender dan ketimpangan gender yang lebih dominan dialami
perempuan setidaknya diperlihatkan oleh kelompok perempuan Pakpak di pedesaan atau lebih
tepatnya di desa Pagagan Julu VIII di kecamatan Sumbul. Ketidak adilan gender dan ketimpangan
gender yang dialami oleh kelompok perempuan ini secara spesifik bersentuhan dengan struktur
sosial yang disebut kelembagaan adat. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena lembaga adat
menjadi sentral sekaligus penentu keteraturan sosial (social order) pada masyarakat Pakpak.
Artinya, dalam konteks kelembagaan sosial nilai adat merupakan fundamen atau peletak utama
dari nilai-nilai kelembagaan sosial yang lain seperti keluarga, ekonomi, politik dan pendidikan
(Berutu, 1998; Munthe, 2017; Pardede, 2010)
Sesuai dengan keberadaan adat yang dipresentasikan melalui lembaga adat sebagai
simbolisasi keteraturan sosial masyarakat Pakpak maka konstruksi gender yang diperlihatkan
dalam berbagai kelembagaan sosial pada intinya sangat bias pada laki-laki (male dominated).
Realitas dari kelembagaan sosial yang terindikasi male dominated sedemikian dinyatakan dalam
berbagai isu sosial yang berkecenderungan lebih banyak dialami oleh perempuan. Di antaranya;
perempuan sulit mengakses pendidikan dan kesehatan yang setara dengan laki-laki di keluarga.
Selain itu perempuan juga mengalami kesulitan mengakses program-program pembangunan
maupun pemberdayaan masyarakat yang difasiltiasi oleh lembaga pemerintahan desa. Situasi
yang sedemikian sudah cukup mengkhawatirkan karena ini mulai memunculkan dampak yang
kurang baik berupa adanya gejala “feminization of poverty” yaitu suatu kondisi atau situasi yang
memperlihatkan perempuan sebagai kelompok yang rentan mengalami proses kemiskinan yang
bersumber dari persoalan kultural dan juga struktural. Konkritisasi pemiskinan perempuan di
desa ini secara faktual diperlihatkan dalam konstruksi perempuan berbeban ganda (double
burden). Realitas beban ganda pada perempuan dimaknai bahwa mereka harus
bertanggungjawab dalam pekerjaan rumahtangga dan ikut mencari nafkah yaitu biasanya
bekerja di ladang (Munthe, 2017; Pardede, 2010; Bangun, 2013)
Realitas sosial beban ganda yang sudah jelas kurang berpihak pada perempuan di desa ini
merupakan agenda yang disikapi dengan serius. Salah satu strategi yang dianggap berpeluang
menanggulangi ketidakadilan gender pada perempuan yaitu pentingnya mereformasi nilai-nilai
adat yang berpotensi membawa kerugian dalam kehidupan perempuan. Untuk itu perlu
dilakukan suatu pendekatan mengantisipasi ketidakadilan atau ketimpangan gender melalui
kelembagaan adat dalam konteks masyarakat Pakpak di desa ini.
Konkritisasi dari pendekatan yang bertujuan mengantisipasi semakin dalamnya gap
ketimpangan sosial pada perempuan melalui kelembagaan sosial masyarakat Pakpak di desa ini
yaitu pentingnya dilakukan pemberdayaan gender. Sebagai salah satu langkah strategis
mendukung perubahan sebagai solusi ketimpangan gender pada perempuan yaitu perlu sekali
melakukan pemberdayaan gender pada tokoh adat yang mayoritas memegang kekuasaan sentral
di kelembagaan adalah ketidakadilan gender pada perempuan yaitu pentingnya mereformasi
nilai-nilai adat yang berpotensi membawa kerugian dalam kehidupan perempuan. Untuk itu
perlu dilakukan suatu pendekatan mengantisipasi ketidakadilan atau ketimpangan gender
melalui kelembagaan adat dalam konteks masyarakat Pakpak di desa ini. Sebagai salah satu
langkah strategis mendukung perubahan sebagai solusi ketimpangan gender pada perempuan
yaitu perlu sekali melakukan pemberdayaan gender pada tokoh adat yang mayoritas adalah laki-
laki di desa Pegagan Julu VIII.
http://mahesainstitute.web.id/ojs2/index.php/jehss [email protected] 61
SIMPULAN
Pemberdayaan gender yang dilakukan pada tokoh adat atau dewan adat di dalam
masyarakat adat Pakpak desa Pegagan Julu VIII berangkat dari realitas yang memperlihatkan
ketimpangan peran dan partisipasi perempuan dalam segenap aspek pembangunan. Realitas
tersebut memperlihatkan dampak berupa fenomena beban ganda dan pemiskinan yang
membelenggu perempuan karena secara kultural dan struktural adat mereka tersubordinasi
bahkan termarginalkan dalam segala proses pembangunan di tengah masyarakatnya. Salah satu
langkah untuk melakukan perubahan posisi sosial perempuan dapat dicermati dari posisi
strtategis tokoh adat. Para tokoh adat merupakan stakeholder yang memiliki posisi strategis dan
berpengaruh besar menaikkan posisi tawar perempuan dalam pembangunan di dalam
komunitas masyarakat adat yang dipimpinnya. Mengingat posisi tokoh adat yang strategsi
sebagai agen perubahan sosial di masyarakatnya maka kegiatan pengabdian yang berbasis pada
pemberdayaan gender dilakukan pada mereka.
Metode FGD yang dilaksanakan selama kegiatan pengabdian memperlihatkan hasil yaitu
pemahaman awal para tokoh adat tentang apa itu gender, kesetaraan gender dan ketimpangan
gender pada intinya belum ada. Mereka menggunakan norma atau nilai-nilai adat sebagai
pedoman untuk mengatur peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat
adatnya. Dalam realitasnya adat samasekali tidak berpihak dan pro pada kedudukan sosial
perempuan sebab adat cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi.
Berpijak pada realitas gender yang sedemikian maka penyajian dan pendiskusian tentang topik
ketimpangan gender serta kesetaraan gender semakin intens didiskusikan kepada para tokoh
adat dan juga kelompok perempuan. Tujuan dari FGD ini demi menumbuhkan pemahaman yang
tepat dan benar tentang realitas gender yang tidak menguntungkan pada kelompok tertentu
yaitu perempuan. Di samping mendidikusikan topik-topik gender maka dalam kegiatan FGD,
fasilitator juga memutar film bertemakan perempuan dalam pembangunan dari berbagai
masyarakat dan negara. Hasil FGD dibarerngi dengan pemutaran film bertemakan pembangunan
tampaknya menumbuhkan adanya kesadaran para tokoh adat dan juga kelompok perempuan
untuk mau berperan dan terlibat mengambil bagian dalam kegiatan pembangunan desa.
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, S. (2009). Ketertinggalan Perempuan Batak Pakpak dalam Memperoleh Pendidikan Formal,
http//isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act =tampil&id=74113&idc=45
Berutu, L. dan Padang, N. (1998). Tradisi dan Perubahan pada Konteks Masyarakat Pakpak. Medan:
Penerbit Monora.
Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ginting, S. Achmad, N. & Daulay, H. (2015). Ketimpangan Gender Dalam Relasi Kerja di Sektor Pertanian Dan
Rumah Tangga. Departemen Sosiologi FISP, Universitas Sumatera Utara & GIZ.
Elpina. (2016). Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba. Biro Sistem Informasi Data
dan Hubungan Masyarakat Universitas Simalungun. (www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen/upload:
sistem informasi data dan hubungan masyarakat@2016 di akses pada tanggal 11/07/2018/21.23)
Munthe, H.M. (2017), Phenomenon of Women Marginalization in Poor Family in Pakpak Community: “A
Case Studi in PegaganJulu Village, Sumbul Subdistrict, Dairi Regency, North Sumatera”, Journal of
Arts & Humanities, Volume 06, Issues 06, 38-51.
Murniati, P.N. (2004). Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Prespektif Agama dan Keluarga).
Mangelang: Yayasan Adikarya IKAPI.
Nurmila, N. (2015). Pengaruh Budaya Patriark Terhadap Pemahaman Agama. Bandung: Universitas Islam
Negeri Susan Gunung Djati.
Pardede, E. (2010). Menelusuri Bentuk-bentuk Kekerasan Perempuan di Masyarakat Adat, Sidikalang:
Penerbit Pesada. Pesada.
Revida, E. (2006). Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak Toba Sumetera Utara. Departemen Ilmu
Administrasi Negara FISIP dan Program Pascasarjana USU. Jurnal Pemberdayaan Komunitas. 2006,
Vol. 5, No.2, Hal 213-218.
Rokhimah. (2014). Patriarkhisme &Ketidakadilan Gender. Jawa Timur: Muwazah, Vol. 6, No. 1 Juli 2014.
Saadawi, E.N. (2001). Perempuan dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).
http://mahesainstitute.web.id/ojs2/index.php/jehss [email protected] 65