848 1793 1 SM
848 1793 1 SM
848 1793 1 SM
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggali dampak keberadaan Badan Usaha Milik
Desa pada kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode Community
Based Research, di mana penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: in-
depth interview dengan partisipan yang menjadi aktor kunci dalam BUMDes, tahap
selanjutnya melakukan Diskusi Kelompok berdasarkan kelompok kepentingan yang
ada di desa tersebut, dan pada tahap akhir dilakukan Focus Group Discussion dimana
diskusi dilakukan oleh pelbagai pihak yang berkepentingan. Hal ini dilakukan juga untuk
melakukan konfirmasi atas hasil temuan pada tahap sebelumnya. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan keberadaan BUMDes tidak dipungkiri membawa perubahan di
bidang ekonomi dan sosial. Keberadaan BUMDes tidak membawa manfaat signifikan
bagi peningkatan kesejahteraan warga secara langsung, Permasalahan yang muncul
terkait BUMDes adalah akses masyarakat terhadap air dan akses masyarakat untuk
mendapatkan pekerjaan di BUMDes.
Abstract
This research aims to explore the impact of the presence of village-owned enterprises
(BUMD) on the welfare of the community. This research uses Community Based Research
in which the research was conducted in several stages, namely: in-depth interviews with
participants who become the key actors in BUMDes, group discussions based on interest
groups that exist in the village, and Focus Group Discussion which the discussions were
conducted by various interested parties. It is conducted to confirm the findings in the
previous stage. The results of this study indicate that the existence of BUMDes do not bring
a change in the economic and social fields. BUMDes existence do not bring significant
benefits to improving the welfare of citizens directly. The problems that arise related to
BUMDes is people’s access to the water and to jobs in BUMDes.
1. Pendahuluan
Desa merupakan unit terkecil dari negara yang terdekat dengan masyarakat dan secara riil
langsung menyentuh kebutuhan masyarakat untuk disejahterakan. Menurut Undang-Undang
Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014) Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebagai wakil negara, desa wajib melakukan pembangunan baik pembangunan fisik
maupun pembanguan sumber daya manusia, sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan
kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Pertumbuhan ekonomi desa seringkali dinilai lambat dibandingkan pembangunan
ekonomi perkotaan. Untuk meningkatkan hal tesebut dibutuhkan dua pendekatan yaitu: a)
Kebutuhan masyarakat dalam melakukan upaya perubahan dan mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan, dan b) Political will dan kemampuan pemerintah desa bersama masyarakat dalam
mengimplementasikan perencanaan pembangunan yang sudah disusun (Rutiadi, 2001 dalam
Bachrein, 2010).
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong gerak ekonomi desa
melalu kewirausahaan desa, dimana kewirausahaan desa menjadi strategi dalam pengembangan
dan pertumbuhan kesejahteraan (Ansari, 2016). Kewirausahaan desa ini dapat diwadahi
dalam Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dikembangkan oleh pemerintah maupun
masyarakat desa (Prabowo, 2014). BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa
yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lain untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa (UU Nomor 32 Tahun 2004). Hal tersebut semakin didukung
oleh pemerintah dengan keluarnya PP Nomor 47 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa desa
mempunya wewenang untuk mengatur sumber daya dan arah pembangunan. Hal tersebut
membuka peluang desa untuk otonom dalam pengelolaan baik kepemerintahan maupun sumber
daya ekonominya.
Sebagai unit terkecil dari negara, desa secara riil langsung menyentuh kebutuhan
masyarakat. Indonesia memiliki 74.093 desa (BPS, 2013), dimana lebih dari 32 ribu desa masuk
dalam kategori desa tertinggal (Susetiawan, 2011). Salah satu strategi untuk menanggulangi hal
ini adalah mewujudkan kewirausahaan desa dimana sumber daya dan fasilitas yang disediakan
secara spontan oleh komunitas masyarakat desa untuk merubah kondisi sosisal pedesaan
(Ansari, 2013). Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 dan terbitnya PP Nomor 47 Tahun
2015 menghendaki adanya desa yang mandiri dan otonom dalam pengelolaan sumber daya
yang dimilikinya dimana BUMDes diharapkan berperan dalam peningkatan perekonomian
pedesaan (Prabowo, 2014). Di sisi lain, desa memiliki keterbatasan. Dalam hal ini, modal sosial
desa lebih besar daripada modal ekonomi. Modal sosial yang dimaksud adalah ikatan sosial,
jembatan sosial, dan jaringan sosial. Modal sosial ini bersifat parokial (terbatas) menjadi modal
sosial yang paling dangkal dan tidak mampu memfasilitasi pembangunan ekonomi (Eko et al.,
2014) Berdasarkan hal tersebut, perlu kiranya pengkajian peranan BUMDes pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa.
Kehidupan masyarakat di sebagian besar wilayah DIY berada di kawasan pedesaan
(Prabowo, 2014). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY juga relatif rendah. Ada
tiga kabupaten yang memiliki IPM relatif rendah atau dibawah angka 80 yaitu Kabupaten
Bantul (75,58), Kabupaten Kulonprogo (75,33), dan Kabupaten Gunungkidul (71,11). Di
ketiga kabupaten tersebut, desa-desanya selama ini diandalkan sebagai penyangga kehidupan
masyarakat, khususnya di bidang produksi pangan. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka
penelitian ini bertujuan untuk menggali peranan BUMDes pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa. Penelitian dilaksankan di Propinsi DIY dan secara fokus dilakukan di Penelitian
ini dilakukan di tiga desa yang terletak di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul.
2. Landasan Teori
Teori diperlukan sebagai bingkai dalam melakukan penelitian. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Teori Resource Based View (RBV) dan Teori pemangku kepentingan
(Stakeholder Theory).
(Freeman et al., 1983). Pemangku kepentingan memiliki beberapa atribut, yaitu: kekuasaan,
legitimasi, dan urgensi. Penjabaran atribut-atribut pemangku kepentingan secara ringkas
dipaparkan pada Tabel 1.
Teori pemangku kepentingan menitikberatkan pada siapa yang memegang kekuasaan,
legitimasi, dan mempunyai kepentingan (urgency) di dalam organisasi (Mitchell et al., 2011
dalam Kusuma, 2015). Dalam konteks riset ini, hal tersebut merujuk pada siapa yang memegang
kekuasaan dan legitimasi, memiliki kepentingan dan peran khusus dalam dinamika desa,
menguasai pengetahuan serta sumber daya, dan memiliki kepentingan pada pembangunan
ekonomi desa. Selanjutnya, dalam riset ini disebut sebagai key stakeholder desa.
Tabel 1
Identifikasi Pemangku Kepentingan
Atribut Definisi Dasar
Kekuasaan Relasi antar aktor dimana satu aktor • Paksaan : Kekuatan/ancaman
dapat meminta aktor yang lain untuk • Kemanfaatan: insentif materi
melakukan sesuatu tanpa dapat dibantah • Normatif : pengaruh simbolis
Legitimasi Persepsi umum atau asumsi tentang • Individual
tindakan seseorang adalah pantas, • Organisasi
diharapkan, dan tepat menurut sistem, • Sosial
norma, nilai, kepercayaan
Urgensi Tingkatan dimana pemangku • Sensitifitas waktu : derajad dimana
kepentingan memiliki klaim untuk penundaan atas klaim atau relasi tidak dapat
diperhatikan diterima oleh pemangku kepentingan
• Bersifat kritis/mendesak :
Pentingnya klaim atau relasi dari pemangku
kepentingan
(Sumber : Mitchell et al., 1997 dalam Kusuma, 2015)
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Community Based Research yang dilakukan
secara kualitatif. Pendekatan tersebut digunakan untuk menggali pemahaman yang luas dari
masyarakat desa di tingkat mikro, messo, dan makro mengenai potensi desa secara keseluruhan,
serta mengkaji arah dan motivasi pembangunan ekonomi perdesaan.
Untuk memperoleh data dan informasi yang tepat, pengumpulan data dilakukan dengan
cara : Observasi keadaan desa secara langsung maupun mempelajari dokumen-dokumen milik
desa yang menjadi data sekunder, Personal interview pada orang-orang kunci (key stakeholder)
desa, Group discussion dilakukan bersama kelompok-kelompok masyarakat yang berpengaruh
seperti PKK, gapoktan, pengelola BUMDes, karang taruna, kelompok usaha bersama (KUB),
kelompok masyarakat difabel, dan kepala dusun, Focus group discussion dilakukan bersama
perwakilan masing-masing anggota kelompok masyarakat dan lembaga desa sebagai upaya cross
check atas informasi yang diperoleh dari langkah-langkah pengumpulan data sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis) untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Analisis isi didefinisikan sebagai metode riset untuk interpretasi subyektif atas isi
data melalui proses klasifikasi sistematis dari pemberian kode dan pengidentifikasian tema
atau pola (Wahyuni, 2012). Metode ini meringkas dan mengklasifikasi data dalam jumlah
besar menjadi beberapa kategori yang merepresentasikan arti yang sama (Weber (1990) dalam
Wahyuni, 2012). Secara ringkas, tahapan analisis data bisa dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Tahapan Analisis Data
Analisis Data dan Representasi Keterangan
Pengorganisasian Data Membuat dan mengorganisir arsip-arsip data.
Membaca dan membuat catatan Membaca hasil transcript, membuat catatan pinggir,
dan membuat inisial kode.
Mendeskripsikan data menjadi kode dan tema Mendeskripsikan kasus-kasus beserta kon-teksnya.
Mengklasifikasi data menurut kode dan tema Menggunakan kategori yang teragregasi untuk
membangun tema atau pola.
Menginterpretasikan data 1. Menggunakan interpretasi langsung.
2. Membangun naturalistic generalization atas apa
yang sudah dipelajari.
Menampilkan dan memvisuaslisasi data Menampilkan gambaran yang dalam dan terinci dari
kasus-kasus yang diteliti meng-gunakan narasi, tabel,
dan gambar.
Sumber: Adaptasi dari Creswell (2010) dalam Kusuma (2015)
Untuk memastikan validitas dan kredibilitas, penelitian ini menggunakan beberapa cara
yaitu validasi responden (member checking) dan triangulasi (Yin, 2009; Creswell, 2010; Wahyuni,
2012). Triangulasi yang digunakan dalam penelitan ini adalah triangulasi sumber.
4. Analisis Data
Penelitian ini dilakukan di tiga desa yang terletak di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul.
Penelitian yang dilakukan mampu menggali fenomena dinamika ekonomi dan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) di ketiga desa tersebut.
Hasil wawancara menunjukkan adanya kesamaan fenomena dimana di ketiga desa tersebut
mayoritas anak muda berusia produktif pergi merantau. Sumber daya manusia yang ada adalah
orang tua dan anak yang masih duduk di bangku sekolah. Pekerjaan penduduk di ketiga desa
tersebut mayoritas adalah sebagai petani.
Untuk mewujudkan desa yang mandiri, pemerintah mendorong setiap desa untuk
mendirikan BUMDes. Ketiga desa tersebut memiliki BUMDes yang telah beroperasi. Secara
rinci, dinamika BUMDes ketiga tersebut akan dijelaskan dalam analisa tiap desa berikut ini.
A. DESA 1
Desa 1 terletak di Kabupaten Gunung Kidul memiliki BUMDes bernama Hkp yang
telah berdiri dari tahun 2011. BUMDes ini mengelola pariwisata dengan aset yang bernama
Water Byur.
muncul dari ketidakpahaman mereka tentang laporan yang diberikan, sebagian lagi
menyatakan bahwa mereka enggan membaca laporan yang dibuat oleh pengelola. Masalah
komunikasi juga mumcul akibat rasa kecewa masyarakat yang merasa pendapatnya tidak
didengarkan baik oleh pengelola BUMDes maupun Pemerintah Desa. Ada beberapa
permasalahan yang tidak ditanggapi, terutama terkait akses jalan dari lokasi Water Byur
ke sawah mereka. Dari pihak pemerintah desa menuturkan hambatan komunikasi ini juga
muncul dari masyarakat yang tidak berani bicara terbuka, hanya bersifat “grenengan”.
b. Transparansi dan Akuntabilitas
BUMDes telah memiliki mekanisme pelaporan rutin setiap tahun. Laporan tersebut
dibuat tertulis dan diberikan kepada pemangku kepentingan. Permasalahan yang muncul
adalah warga tidak mengerti tentang isi laporan, tidak membacanya, atau tidak mengetahui
apabila ada laporan tahunan.
Transparansi yang diminta oleh warga selain keuangan adalah transparansi perekrutan
karyawan. Masyarakat meminta adanya transparansi proses perekrutan karyawan. Selama
ini masyarakat sekitar BUMDes merasa bahwa BUMDes kurang transparan pada proses
perekrutan karyawan, serta tidak merekrut warga sekitar sebagai karyawan.
c. Kapasitas Manajerial
Permasalahan dalam kapasitas manajerial terungkap dari pengelola BUMDes serta
Pemerintah Desa. Kelemahan utama baik dari BUMDES dan Pemerintah Desa adalah
dalam hal administrasi/inventaris dan juga keuangan. Pencatatan keuangan belum
menggunakan standar akuntansi (SAK ETAP - Standar Akuntansi Keuangan Entitas
Tanpa Akuntabilitas Publik-bukan perusahaan yang listing di bursa efek).
Dari hasil wawancara tampak juga kebutuhan untuk peningkatan kapasitas pengelola
dalam hal manajemen pemasaran, SDM, dan strategi. Pengelola juga membutuhkan
peningkatan kapasitas dalam hal pengembangan inovasi serta profesionalisme. Pengelola
BUMDes diharapkan profesional dan memiliki kapasitas, karena selama ini pengelola
BUMDes didominasi oleh pensiunan PNS.
d. Legal Standing
Permasalahan terkait legal standing adalah belum adanya peraturan desa yang
mengukuhkan keberadaan BUMDes. BUMDes juga belum memiliki akta notaris.
B. DESA 2
Desa 2 memiliki BUMDes yang bernama BUMDes Sjt yang berdiri pada tahun 2003.
BUMDes Sjt sudah memiliki legal standing, baik dalam bentuk akta notaris maupun peraturan
desa yang memperkuat keberadannya. BUMDes ini memiliki usaha di bidang penyediaan air
bersih, pariwisata, dan koperasi simpan pinjam. Untuk usaha air bersih dan pariwisata, BUMDes
Sjt memiliki omset sekitar 1,3 Miliar rupiah dalam satu tahunnya. Investasi awal pendirian
BUMDes berkisar 7-10 Miliar rupiah. Pengelola BUMDes selalu membuat laporan tahunan.
Dengan modal yang besar tersebut, BUMDes Sjt menyumbang PADes yang cukup
besar kepada desa. Jumlah PADes yang disumbangkan ke desa pada tahun 2013 sebanyak Rp
64.000.000,- yang merupakan 25% dari laba BUMDes. Setiap dusun menerima kurang lebih
Rp 6.000.000,- per tahun. Jumlah yang dapat dikatakan cukup besar. Namun hasil penelitian ini
menemukan hal yang menarik dimana sebagian besar partisipan penelitian menyatakan bahwa
keberadaan BUMDes ini belum membawa peningkatan kesejahteraan bagi warga Desa 2.
membayar angsuran. Koperasi ini membutuhkan suntikan modal untuk dapat berjalan
kembali.
d. Kapasitas Manajerial Pengelola
Pengelola BUMDES membutuhkan penambahan kapasitas manajerial, terutama dalam
bidang keuangan. Pencatatan yang dilakukan masih sederhana. Hal ini sangat penting
terkait dengan besarnya nilai aset, omset, dan juga akuntabilitas. Pengelola juga memerlukan
penguatan di bidang pengelolaan SDM dan juga pemasaran. Kemampuan manajemen
strategi juga dibutuhkan dalam pengelolaan BUMDes.
e. Komunikasi
Sebagian besar warga mengetahui keberadaan BUMDes Sjt, hanya saja mereka tidak
memahami secara detail. Warga tidak paham tentang pengelolaan, aset, hasil, dan kegiatan
dari BUMDes.
f. Transparansi dan Kepercayaan Warga
Partisipan penelitian menuturkan perlunya transparansi terutama dalam hal
pengelolaan BUMDes. Buruknya pelayanan PAB membuat warga tidak mempercayai
kapabilitas pengelola, sehingga mereka menuntut adanya pengelolaan yang transparan.
Buruknya kualitas pelayanan ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan warga terhadap
kemampuan pengelola BUMDes.
Warga juga meminta adanya transparansi terkait keuangan BUMDes serta sosialisasi
terkait kegiatan BUMDes. Partisipan menuturkan adanya ketidakpastian nilai keuntungan
dari BUMDes. Partisipan juga menghendaki adanya pembagian keuntungan dengan
penghitungan yang jelas bagi setiap pedukuhan.
g. Sumber Daya Manusia (SDM)
Pengelola BUMDes yang menjadi partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa
ada keperluan untuk meningkatkan kualitas SDM dari BUMDes. Diperlukan pelatihan dan
pendampingan untuk meningkatkan kualitas SDM dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan.
C. DESA 3
Desa 3 memiliki BUMDes yang bernama SBM. BUMDes ini baru berdiri pada tahun
2014. SBM mengelola usaha bernama Embung Merdeka. Keberadaan Embung ini telah
ada sejak tahun 2013 sebelum adanya BUMDes. BUMDes SBM belum memberikan hasil
usaha dan berkontribusi kepada PADes karena masih dalam tahap perintisan, sehingga masih
membutuhkan modal investasi untuk pengembangannya.
Secara finansial, Embung Merdeka belum memberikan manfaat kepada masyarakat,
namun dari sisi pertanian, embung bermanfaat untuk pengairan sawah dan mengurangi konflik
karena air. Embung ini juga berguna untuk penyediaan air bersih dan juga mengurangi hama
tikus. Pada awalnya embung ini adalah milik bersama dari warga Sumbermulyo. Warga bebas
dan leluasa dalam mengelola embung, namun setelah dijadikan aset BUMDes, pengelolaan
Embung Merdeka berada di tangan Pemerintah Desa. Keputusan terkait penggunaan embung
sangat tergantung keputusan dari Pemerintah Desa.
lainnya. Sedangkan dari pihak pengelola BUMDes menuturkan tidak adanya kepedulian
warga terhadap BUMDes. Dia mengatakan tidak adanya kesadaran warga untuk menjaga
dan memelihara embung merdeka.
g. Relasi BUMDES dan Pemerintah Desa
Pengambilan keputusan di BUMDes menggunakan mekanisme musyawarah dan
rapat dengan pemangku kepentingan. Hanya saja, Pemerintah Desa lebih dominan dalam
pengambilan keputusan dibandingkan pengurus BUMDES. Seorang pengelola menuturkan
bahwa mereka mengikuti “apa kata desa saja” dalam pengambilan keputusan.
5. Pembahasan
Keberadaan BUMDes tidak dipungkiri membawa perubahan di bidang ekonomi dan
sosial. Kontribusi BUMDes terutama dalam bentuk Pendapatan Asli Desa, dimana keuntungan
bersih BUMDes dialokasikan untuk pemasukan Desa. Keuntungan BUMDes dialokasikan
untuk beberapa pihak dengan prosentase yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis di atas,
tampak bahwa alokasi keuntungan dari ketiga BUMDes yang diperuntukkan bagi pedukuhan
mendapat prosentase yang paling kecil. Hal ini berdampak pada kecilnya alokasi keuntungan
yang diterima oleh dusun, yang notabene berelasi langsung dengan warga. Pendapat warga
yang mengatakan bahwa BUMDes tidak bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dapat
disebabkan oleh kecilnya prosentase yang diterima dusun-dusun. Selain itu, fasilitas-fasilitas
yang diberikan oleh BUMDes untuk digunakan warga, sebagian besar dapat dikatakan salah
sasaran. Pengguna fasilitas didominasi warga dari luar desa, ataupun warga yang memiliki relasi
dengan pengelola. Sedangkan masyarakat desa atau bahkan yang berada di sekitar BUMDes
tidak merasakan secara langsung manfaat ekonomis dari keberadaan BUMDes.
Permasalahan yang sering mengemuka adalah permasalahan perekrutan karyawan
BUMDes. Warga merasa bahwa BUMDes tidak memberdayakan orang-orang sekitar. Di sisi
lain, nampak adanya tuntutan profesionalisme dari warga kepada pengelola BUMDes. Kedua
hal ini akan memunculkan dilema pada tata kelola BUMDes dimana BUMDes dituntut bekerja
profesional, di sisi lain harus mengakomodasi tuntutan penyerapan tenaga kerja lokal, dimana
SDM lokal memiliki kapasitas dan kapabilitas yang terbatas.
Komunikasi dan sosialisasi menjadi hal yang perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan partisipan, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat masih kurang
tersosialisasi terkait kegiatan dan pelaporan kinerja yang dilakukan BUMDes. Hal ini
menyebabkan munculnya tuntutan masyarakat pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
BUMDes.
dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan warga berpendapat bahwa keberadaan
BUMDes tidak membawa manfaat signifikan bagi peningkatan kesejahteraan warga.
BUMDes dan Pemerintah Desa memiliki relasi yang erat, karena Pemerintah Desa
menjadi pengawas dari kegiatan yang dilakukan BUMDes. Dalam pengambilan keputusan,
BUMDes menggunakan mekanisme musyawarah dan Pemerintah Desa adalah pemangku
kepentingan utama yang terlibat dalam musyawarah tersebut. Hal yang menjadi tantangan bagi
BUMDes dan Pemerintah Desa adalah menjaga keseimbangan relasi, dimana dominasi satu
pihak terhadap pihak lainnya patut dihindari.
Komunikasi dan sosialisasi merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh BUMDes.
Kurangnya komunikasi dan sosialisasi memunculkan ketidakpercayaan warga kepada
kemampuan pengelola dalam pengelolaan BUMDes. Kurangnya komunikasi dan sosialisasi ini
memunculkan tuntutan adanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan BUMDes.
Profesionalisme menjadi tuntutan bagi pengelola BUMDes. Tuntutan itu juga muncul dari
masyarakat. Pengelola BUMDES perlu meningkatkan kualitas pelayanan dan juga kemampuan
mengelola organisasi. Permasalahan muncul dimana hampir sebagian besar pengelola BUMDes
adalah karyawan paruh waktu yang memiliki pekerjaan lain selain di BUMDes.
Daftar Pustaka
Ansari, B., et al. (2013). Sustainable Entrepreneurship in Rural Areas. Research Journal of
Environmental and Earth Science Vol. 5 No. 1: 26-31.
Arfianto, A.E.W. & Balahmar, A.R.U. (2014). Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan
Ekonomi Desa. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik Vol. 2 No. 1: 47-56.
Bachrein, S. (2010). Pendekatan Desa Membangun di Jawa Barat: Strategi Pembangunan dan
Kebijakan Pembangunan Perdesaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 8 No. 2, Juni
2010: 133-149.
Barney, J. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management
Vol. 17 No. 1: 99-120.
BPS DIY. (2013). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013.
Creswell, Jj.W. (2010). Qualitative Inquiry and Research Design: Chosing Among Five Approach.
University of Nebraska, Lincoln: SAGE Publication Ltd.
De Massis, A., et al. (2015). Product Innovation in Family versus Nonfamily Firms: an
Exploratory Analysis. Journal of Small Bussiness Management Vol. 53 No. 1: 1-36.
Eko, S., et al. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD).
Kusuma, G.H. (2015). Metode Transfer Pengetahuan pada Perusahaan Keluarga di Indonesia,
Modus, Vol. 27, No.2, pp. 125-139
Langley, A. (1999). Strategies For Theorizing From Process Data. Academy of Management
Review Vol. 24 No.4 : 691 – 710.
Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press.
Mitchell, R.K., et al. (1997). Toward a Theory of Stakeholder Identification and Salience:
Defining the Principle of Who and What Really Counts. The Academy of Management
Review, Vol. 22, No. 4 (Oct., 1997): 853-886.
Prabowo, T.H.E. (2014). Developing BUMDes (Village-owned Enterprise) for Sustainable
Poverty Alleviation Model Village Community Study in Bleberan-Gunung Kidul-
Indonesia. World Applied Sciences Journal 30 (Innovation Challenges in Multidiciplinary
Research & Practice): 19-26.
Wahyuni, S. (2012). Qualitative Research Method: Theory and Practice (Vol. 1). Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Yin, R. K. (2009). Case Study Research. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.