Bab 1,2,3 POR
Bab 1,2,3 POR
Bab 1,2,3 POR
PENDAHULUAN
1) LATAR BELAKANG
Salah satu hal dan faktor yang sangat penting dalam pencegahan dan penyembuhan
peenyakit adalah obat. Manfaat pengobatan dapat dirasakan apabila pengobatan yang
diberikan tepat dan diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut, prevalensi terjadinya pengobatan
tidak rasional meningkat terutama di beberapa negara berkembang. Akan tetapi dalam laporan
yang diterima oleh World Health Organization (WHO) masih terdapat penggunaan obat yang
tidak rasional dimana terdapat lebih dari 50% dari seluruh penggunaan obat-obatan tidak tepat
dalam peresepan, penyiapan, ataupun penjualannya, sedangkan 50% lainnya tidak digunakan
secara tepat oleh pasien. Selain itu, sekitar sepertiga dari penduduk dunia tidak memiliki akses
obat esensial. Hal ini terjadi karena polifarmasi, penggunaan obat non- esensiaAl, penggunaan
antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara berlebihan, penulisan resep yang tidak
sesuai dengan pedoman klinis (Kardela, Andrajati, & Supardi, 2014). Penggunaan obat yang
tepat dan sesuai dengan pedoman pengobatan akan dapat menunjang optimasi penggunaan
dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat
perlu didukung dengan tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan
Peresepan yang tidak rasional meningkatkan terjadinya efek samping obat, interaksi
obat, biaya pengobatan serta mengakibatkan penurunan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi
obat. Ketidakrasionalan obat juga dapat berpengaruh pada fisik pasien karena obat-obat yang
diberikan secara berlebihan, baik berdasarkan indikasi maupun dosis akan membahayakan
fungsi organ tubuh (Destiani, Naja, Nurhadiyah, Halimah, & Febrina, 2016).
Pada tahun 1993, peresepan di Indonesia masih dikategorikan tidak rasional karena
masih tingginya polifarmasi (3,5 obat per pasien), penggunaan antibiotik yang berlebihan
(43,0%), serta penggunaan injeksi yang berlebihan (10- 80%) (Kardela et al., 2014). Beberapa
yang terjadi di salah satu apotek di Jakarta Selatan tahun 2005 menunjukkan bahwa jenis dan
jumlah obat yang didapatkan oleh anak-anak dibawah 12 tahun diberikan secara berlebih atau
polifarmasi (lebih dari 4 obat) (Sari, 2011). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Temanggung pada tahun 2006, 2007 dan 2008 terkait jumlah item obat
perlembar resep memberikan hasil berturut-turut 2,5; 2,6; dan 2,9 (Akhmad
Fakhriadi,Marchaban, 2011).
2) TUJUAN
Ngadirejo
3) RUMUSAN MASLAH
PEMBAHASAN
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan Media Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil
Puskesmas.
c. Konseling
farmasetik dan perawatan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
c) Tanggal Resep.
b) Duplikasi pengobatan.
d) Kontraindikasi.
e) Efek adiktif.
pengobatan.
Tujuan :
2. Indikator WHO
Pada tahun 1993 indikator penggunaan WHO ditetapkan sebagai metode dasar
untuk menilai suatu penggunaan obat pada unit rawat jalan di fasilitas kesehatan.
Indikator penggunaan obat dapat digunakan untuk mengukur data, baik yang diambil
(Kemenkes, 2012)
1) Indikator peresepan
2) Indikator Pelayanan
3) Indikator Fasilitas
umum untuk mengidentifikasi masalah yang telah digunakan lebih dari 30 negara
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan
kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang rendah. Obat
namun jika penggunaannya salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran dapat
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka
merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang
sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang
resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai
Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak
sesuai dengan kondisi kesehatan pasien (Dewi, Ayu, Dewi, Athiyah, & Nita, 2014).
Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama
akan adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis
yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien. Masalah polifarmasi kemungkinan terjadi
karena dokter berfokus memberikan terapi untuk gejala yang timbul bukan diagnosis
penyakit. Tekanan dari pasien yang menginginkan cepat hilangnya gejala penyakit
juga dapat mendorong dokter untuk meresepkan banyak obat seperti analgesik dan
digunakan maka akan semakin besar pula terjadinya efek negatif dari suatu terapi
yang disebabkan adanya DTPs (Drugs Teraphy Problem) misalnya efek samping obat
dan berkurangnya kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Dewi et al., 2014).
Selain polifarmasi, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat adalah
kemungkinan terjadinya interaksi obat. Semakin banyak item obat dalam setiap
lembar resep dapat menjadi faktor risiko terjadinya interaksi obat (Pujaningsih
6. Obat Generik
Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary
Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya
dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik
kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai
indikasi medis (Menkes, 2010). Penggunaan obat generik diwajibkan terutama pada
Mesi Leorita, Andi Sitti Zaenab Syukriadi, 2017). Pemerintah mulai tahun 1989
7. Antibiotik
Antibiotik adalah salah satu obat yang digunakan dengan tidak rasional,
seperti penggunaan untuk indikasi yang tidak jelas, penggunaan dalam dosis yang
kurang, cara pemberian, waktu dan lama pemberian antibiotik yang tidak memadai.
negatif, antara lain timbulnya efek samping atau toksisitas yang tidak perlu,
pengobatan. Oleh karena itu WHO menerapkan penggunaan obat yang rasional (Neil
Autari, 2017).
infeksi yang bersifat umum. Pemberian antibitik per-oral harus diutamakan apabila
pasien dalam keadaan sadar, dapat minum dan menelan. Pemberian oral dapat
dikecualikan pada pasien yang mengalami infeksi berat dan memerlukan efek terapi
dapat menurunkan resiko infeksi nosokomial secara signifikan (Direktur Jendral Bina
8. Sediaan Injeksi
Menurut Faramakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan
lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke
dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan,
dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis
ganda.
sirkulasi darah dan tidak steril, risiko kerusakan jaringan akibat iritasi lokal, harga
yang lebih mahal, serta sulit dalam koreksi dan penanganan jika terjadi kesalahan
pemberian. Pada dasarnya sediaan injeksi memang tidak diresepkan untuk pasien
rawat jalan kecuali dengan kondisi tertentu, selain resiko efek samping penggunaan
obat injeksi lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan obat secara oral
PENUTUP
A. KESIMPULAN
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Media Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
Kefarmasian di Puskesmas.
Pakai.
B. SARAN
Adanya pemberian informasi dan konseling yang jelas kepada pasien tentang
Adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat rasional dan tidak
rasional