Bab 1,2,3 POR

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1) LATAR BELAKANG

Salah satu hal dan faktor yang sangat penting dalam pencegahan dan penyembuhan

peenyakit adalah obat. Manfaat pengobatan dapat dirasakan apabila pengobatan yang

diberikan tepat dan diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut, prevalensi terjadinya pengobatan

tidak rasional meningkat terutama di beberapa negara berkembang. Akan tetapi dalam laporan

yang diterima oleh World Health Organization (WHO) masih terdapat penggunaan obat yang

tidak rasional dimana terdapat lebih dari 50% dari seluruh penggunaan obat-obatan tidak tepat

dalam peresepan, penyiapan, ataupun penjualannya, sedangkan 50% lainnya tidak digunakan

secara tepat oleh pasien. Selain itu, sekitar sepertiga dari penduduk dunia tidak memiliki akses

obat esensial. Hal ini terjadi karena polifarmasi, penggunaan obat non- esensiaAl, penggunaan

antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara berlebihan, penulisan resep yang tidak

sesuai dengan pedoman klinis (Kardela, Andrajati, & Supardi, 2014). Penggunaan obat yang

tepat dan sesuai dengan pedoman pengobatan akan dapat menunjang optimasi penggunaan

dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat

perlu didukung dengan tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan

mutu yang baik (Satibi, 2014).

Peresepan yang tidak rasional meningkatkan terjadinya efek samping obat, interaksi

obat, biaya pengobatan serta mengakibatkan penurunan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi

obat. Ketidakrasionalan obat juga dapat berpengaruh pada fisik pasien karena obat-obat yang

diberikan secara berlebihan, baik berdasarkan indikasi maupun dosis akan membahayakan

fungsi organ tubuh (Destiani, Naja, Nurhadiyah, Halimah, & Febrina, 2016).

Pada tahun 1993, peresepan di Indonesia masih dikategorikan tidak rasional karena

masih tingginya polifarmasi (3,5 obat per pasien), penggunaan antibiotik yang berlebihan

(43,0%), serta penggunaan injeksi yang berlebihan (10- 80%) (Kardela et al., 2014). Beberapa

penelitian di Indonesia juga masih menunjukkan ketidakrasionalan penggunaan obat seperti

yang terjadi di salah satu apotek di Jakarta Selatan tahun 2005 menunjukkan bahwa jenis dan
jumlah obat yang didapatkan oleh anak-anak dibawah 12 tahun diberikan secara berlebih atau

polifarmasi (lebih dari 4 obat) (Sari, 2011). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Temanggung pada tahun 2006, 2007 dan 2008 terkait jumlah item obat

perlembar resep memberikan hasil berturut-turut 2,5; 2,6; dan 2,9 (Akhmad

Fakhriadi,Marchaban, 2011).

2) TUJUAN

a. Gambaran rata-rata item obat per lembar resep di Puskesmas

b. Gambaran peresepan obat generik di Puskesmas

c. Gambaran penggunaan antibiotik di Puskesmas

d. Gambaran penggunaan injeksi di Puskesmas

e. Gambaran derajat kesesuaian praktik dengan kebijakan obat nasional yang

diindikasikan dengan peresepan dari daftar Formularium Nasional di Puskesmas

Ngadirejo

3) RUMUSAN MASLAH

1. Apa definisi da Standar Pelayanan kefarmasian di puskesmas

2. Apa indikator WHO

3. Jelaskan penggunaan obat rasional

4. Jelaskan ciri-ciri penggunaan obat yang tidak rasional

5. Jelaskan rata-rata lembar resep

6. Apa definisi obat gererik

7. Apa definisi antibiotik

8. Apa definisi sediaan injeksi


BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman

bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan farmasi

merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada

pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan Media Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil

yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pelayanan farmasi bertujuan untuk :

a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas.

b. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,

keamanan, dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.

c. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan

pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.

d. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan

penggunaan obat secara rasional.

Pelayanan farmasi meliputi :

a. Pengkajian dan pelayanan resep

b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

c. Konseling

d. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)

e. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

g. Evaluasi Penggunaan Obat


1) Pengkajian dan Pelayanan Resep

Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan

farmasetik dan perawatan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi :

a) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.

b) Nama dan paraf dokter.

c) Tanggal Resep.

d) Ruangan/unit asal resep.

Persyaratan farmasetik meliputi :

a) Bentuk dan kekuatan sediaan.

b) Dosis dan jumlah obat.

c) Stabilitas dan Ketersediaan.

d) Aturan dan cara penggunaan.

e) Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat).

Persyaratan klinis seperti :

a) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat.

b) Duplikasi pengobatan.

c) Alergi, interaksi, dan efek samping obat.

d) Kontraindikasi.

e) Efek adiktif.

Kegiatan Penyerahan (dispensing) dan Pemberian Informasi Obat

merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik

obat, memberikan label/etiket, menyerahkan sediaan farmasi dengan informasi

yang memadai disertai pendokumentasian.


Tujuan :

a) Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan.

b) Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi instruksi

pengobatan.

2) Evaluasi Penggunaan Obat

Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur

dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi,

efektif, aman dan terjangkau (rasional).

Tujuan :

a) Mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu.

b) Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu.

Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan sesuai

standar prosedur operasional. Standar Prosedur Operasional (SPO) ditetapkan oleh

Kepala Puskesmas (Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2017).

2. Indikator WHO

Pada tahun 1993 indikator penggunaan WHO ditetapkan sebagai metode dasar

untuk menilai suatu penggunaan obat pada unit rawat jalan di fasilitas kesehatan.

Indikator penggunaan obat dapat digunakan untuk mengukur data, baik yang diambil

secara retrospektif maupun data prospektif pada pelayanan kesehatan (Pujaningsih

Pebriana, Pratiwi Hening Puspitaningtyas, 2013).

Sebelum melakukan identifikasi masalah maupun melakukan monitoring dan

evaluasi Penggunaan Obat Rasional, WHO menyusun indikator, sebagai berikut :

(Kemenkes, 2012)
1) Indikator peresepan

a. Rerata jumlah item dalam tiap resep.

b. Persentase peresepan dengan nama generik.

c. Persentase peresepan dengan antibiotik.

d. Persentase peresepan dengan injeksi.

e. Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.

2) Indikator Pelayanan

a. Rerata waktu konsultasi.

b. Rerata waktu penyerahan obat.

c. Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.

d. Persentase obat yang dilabel secara benar.

3) Indikator Fasilitas

a. Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.

b. Ketersediaan Daftar Obat Esensial.

c. Ketersediaan key drugs.

Menurut WHO pengkajian pola penggunaan obat dengan indikator

penggunaan obat semakin penting untuk meningkatkan rasionalitas penggunaan

obat di negara berkembang. Indikator ini merupakan indikator kuantitatif secara

umum untuk mengidentifikasi masalah yang telah digunakan lebih dari 30 negara

berkembang (Pujaningsih Pebriana, Pratiwi Hening Puspitaningtyas, 2013).


3. Penggunaan Obat yang Rasional

Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan

kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang rendah. Obat

merupakan produk yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

namun jika penggunaannya salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran dapat

membahayakan (Kemenkes, 2010).

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi

kriteria : (Kemenkes, 2012)

a. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.

Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa

mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga

tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

b. Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik antibiotik, misalnya

diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya

dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

c. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki

efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

d. Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek

terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan

rentang terapi yang sempit,akan sangat beresiko timbulnya efek samping.

Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi

yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,

sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

f. Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,

agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari

(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang

harus diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum

dengan interval setiap 8 jam.

g. Tepat Lama Pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing- masing.

Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.

Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian

obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh

terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka

merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan

vasodilatasi pembuluh darah di wajah.

i. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam.

j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.


k. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting

dalam menunjang keberhasilan terapi.

l. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan

upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh

atau mengalami efek samping.

m. Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah

obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.

n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,

ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

1) Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.

2) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering.

3) Jenis sediaan obat terlalu beragam.

4) Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi.

5) Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup

mengenai cara minum/menggunakan obat.

6) Timbulnya efek samping.

4. Ciri-ciri penggunaan obat yang tidak rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai

berikut: (Kemenkes, 2012)

a. Peresepan berlebih (overprescribing)

Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan

untuk penyakit yang bersangkutan.


b. Peresepan kurang (underprescribing),

Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam

hal dosis, jumlah maupun lama pemberian.

c. Peresepan majemuk (multiple prescribing)

Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang

sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk

penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

d. Peresepan salah (incorrect prescribing)

Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang

sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan

resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai

obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya.

5. Rata-rata per Lembar Resep

Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak

sesuai dengan kondisi kesehatan pasien (Dewi, Ayu, Dewi, Athiyah, & Nita, 2014).

Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama

akan adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis

yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien. Masalah polifarmasi kemungkinan terjadi

karena dokter berfokus memberikan terapi untuk gejala yang timbul bukan diagnosis

penyakit. Tekanan dari pasien yang menginginkan cepat hilangnya gejala penyakit

juga dapat mendorong dokter untuk meresepkan banyak obat seperti analgesik dan

antibiotik (Neil Autari, 2017).

Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa semakin banyak jumlah obat yang

digunakan maka akan semakin besar pula terjadinya efek negatif dari suatu terapi

yang disebabkan adanya DTPs (Drugs Teraphy Problem) misalnya efek samping obat

dan berkurangnya kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Dewi et al., 2014).

Selain polifarmasi, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat adalah
kemungkinan terjadinya interaksi obat. Semakin banyak item obat dalam setiap

lembar resep dapat menjadi faktor risiko terjadinya interaksi obat (Pujaningsih

Pebriana, Pratiwi Hening Puspitaningtyas, 2013).

6. Obat Generik

Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary

Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya

untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Sedangkan obat generik bermerek/bernama

dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik

produsen obat yang bersangkutan. Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai

indikasi medis (Menkes, 2010). Penggunaan obat generik diwajibkan terutama pada

Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (Sunandar Ihsan, Sabarudin,

Mesi Leorita, Andi Sitti Zaenab Syukriadi, 2017). Pemerintah mulai tahun 1989

melalui PerMenKes RI No. 085/MENKES/Per/I/1989 tentang Kewajiban Menuliskan

Resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pemerintah. Peraturan ini kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010

tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pemerintah (Tanner, Ranti, & Lolo, 2015).

7. Antibiotik

Antibiotik adalah salah satu obat yang digunakan dengan tidak rasional,

seperti penggunaan untuk indikasi yang tidak jelas, penggunaan dalam dosis yang

kurang, cara pemberian, waktu dan lama pemberian antibiotik yang tidak memadai.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan beberapa dampak

negatif, antara lain timbulnya efek samping atau toksisitas yang tidak perlu,

mempercepat terjadinya resistensi, resiko kegagalan terapi, bertambahnya penyakit

pasien dan bertambah lamanya pasien menderita serta meningkatkan biaya

pengobatan. Oleh karena itu WHO menerapkan penggunaan obat yang rasional (Neil
Autari, 2017).

Peresepan antibiotik harus mengacu dan sesuai dengan ketentuan yang

tercantum dalam Fornas. Antibiotik harus digunakan untuk mengatasi

infeksi yang bersifat umum. Pemberian antibitik per-oral harus diutamakan apabila

pasien dalam keadaan sadar, dapat minum dan menelan. Pemberian oral dapat

dikecualikan pada pasien yang mengalami infeksi berat dan memerlukan efek terapi

segera untuk menyelamatkan nyawa. Mengurangi penggunaan antibiotik intravena

dapat menurunkan resiko infeksi nosokomial secara signifikan (Direktur Jendral Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2014).

8. Sediaan Injeksi

Menurut Faramakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa

larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan

lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke

dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan,

mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau

dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis

ganda.

Penggunaan obat sediaan injeksi memiliki beberapa kerugian dalam

penggunaannya, seperti dapat menyebabkan sepsis akibat pemberian langsung ke

sirkulasi darah dan tidak steril, risiko kerusakan jaringan akibat iritasi lokal, harga

yang lebih mahal, serta sulit dalam koreksi dan penanganan jika terjadi kesalahan

pemberian. Pada dasarnya sediaan injeksi memang tidak diresepkan untuk pasien

rawat jalan kecuali dengan kondisi tertentu, selain resiko efek samping penggunaan

obat injeksi lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan obat secara oral

(Pujaningsih Pebriana, Pratiwi Hening Puspitaningtyas, 2013).


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai

pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan

kefarmasian. Pelayanan farmasi merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian

yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan

Bahan Media Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk

meningkatkan mutu kehidupan pasien.

2. Pelayanan farmasi bertujuan untuk :

 Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas.

 Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin

efektivitas, keamanan, dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis

Pakai.

 Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan

kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.

 Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka

meningkatkan penggunaan obat secara rasional.

3. Pelayanan farmasi meliputi :

 Pengkajian dan pelayanan resep

 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


 Konseling

 Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)

 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

 Pemantauan Terapi Obat (PTO)

 Evaluasi Penggunaan Obat

B. SARAN

 Pelayanan kefarmasian di puskesmas berjalan sesuai dengan standard dan dapat

menjamin efektivitas dan keamanan obat

 Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien

yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.

 Adanya pemberian informasi dan konseling yang jelas kepada pasien tentang

penggunaan obat rasional

 Adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat rasional dan tidak

rasional

Anda mungkin juga menyukai